Anda di halaman 1dari 14

Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya terdapat banyak faktor penyebab tindak

pidana korupsi. Oleh karenya, merupakan suatu yang sangat sulit

untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab dilakukannya tindak

pidana korupsi secara keseluruhan. Pada bagian ini, penulis akan

mencoba menguraikan beberapa faktor dasar yang menyebabkan

tindak pidana korupsi.

Thomas Hobbes melihat tindak pidana korupsi sebagai

persoalan biasa, bukan kejahatan. Menurut filosofi ini, tindak pidana

korupsi merupakan sesuatu yang alamiah. Tindak pidana korupsi

berkaitan erat dengan karakter diri manusia itu sendiri. Karakter

hakiki manusia itu memengaruhi perspektif terhadap lingkungan

atau masyarakatnya. Dengan demikian, karakter hakiki manusi

akan mempengaruhi sebuah sistem di mana ia hidup.1

Robert Klitgaard menyatakan bahwa penyebab utama tindak

pidana korupsi adalah pemberian hadiah yang sudah merupakan

adat istiadat. Kebiasaan-kebiasaan memberikan hadiah ini

(khususnya untuk negara-negara dengan budaya ketimuran) terus

dilakukan sehingga dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar dan

dalam perkembangannya kemudian berkembang menjadi suap (seolah


1 Adrian Blau, Hobbes On Corruption, (UK :
University Of Manchester Publisher, 2009), Hal.
52
membudaya). Tidak hanya sebatas itu, kebiasaan memberikan hadiah

dalam perkembangannya dapat menjadi tindak pidana korupsi

(gratifikasi).2

Baharudin Lopa menyatakan bahwa lemahnya sistem

merupakan salah satu sebab terjadinya tindak pidana korupsi

diberbagai sektor. Tidak dapat disangkal bahwa lemahnya mekanisme

di berbagai sektor birokrasi dewasa ini seperti dikeluhkan oleh

penguasa nasional termasuk penguasa keciul maupun penguasa asing

karena masih banyakanya mata rantai yang harus mereka lalui untuk

memperoleh izin atau fasilitas-fasilitas tertentu (misalnya saja fasilitas

kredit). Keadaan yang kurang menggemberikan ini, dalam praktiknya

menyebanbkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi

sebagai salah satu bentuk perbuatan tindak pidana korupsi, bahkan

tanpa berliku-likunya mekanisme administrasi, tindak pidana korupsi

ini tetap saja berlangsung.3

2 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana


Korupsi, (Depok, Pena Multi Media, 2008), Hal.
83
3 Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan
Penegakan Hukum, Kompas, 23 Maret 2002, Hal.
15.
Mengutip dari buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional,

adapun penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi dapat pula

dijabarkan dalam beberapa aspek:4

1. Aspek Individu Pelaku Korupsi

Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia

melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang

dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannnya

untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang terdorong untuk

melakukan korupsi antara lain sebagai berikut:

a. Sifat tamak manusia


Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang

yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih

bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Kemungkinan orang

tersebut melakukan korupsi tersebut juga tanpa adanya godaan

dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan korupsi

mungkin juga sudah sangat kecil karena sistem pengendalian

manajemen yang ada sudah sangat bagus. Dalam hal pelaku

korupsinya seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia

melakukan korupsi adalah unsur dari dalam diri sendiri, yaitu sifat-

4 BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi


Nasional, (Jakarta:Pusat Pendidikan dan Latihan
Pengawasan BPKP), Hal. 83
sifat tamak, sombong, takabur, rakus yang memang ada pada

manusia.
b. Moral Yang Kurang Kuat Menghadapi Godaan
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah

untuk terdorong berbuat korupsi karena adanya godaan. Godaan

terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari

atasannya, teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luaar

yang dilayani. Bila seorang pegawai yang melihat atasannya

melakukan korupsi, maka pegawai, tersebut cenderung akan

melakukan korupsi juga. Karena dia berpendapat bahwa apabila

atasannya tersebut mengetahui perbuatannya, tidak akan

mengenakan sanksi atau paling tidak hanya mengenakan sanksi

yang ringan.
Hal ini terjadi karena atasannya juga mempunyai rasa takut

jika dilaporkan oleh bawahannya mengenai perbuatan korupsinya.

Lebih-lebih jika seorang pegawai melakukan korupsi karena

melakukan kolusi dengan atasannya. Atasannya cenderung akan

melindungi bawahan kolusi dengan atasannya. Atasannya cendrung

akan melindungi bawahan yang melakukan korupsi tersebut, karena

apabila pegawai tersebut ditindak maka dia akan terbawa juga.


c. Penghasilan Kurang Mencukupi Kebutuhan Hidup yang Wajar.
Penghasilan pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi

kebutuhan hidup pegawai tersebut beserta keluarganya secara

wajar. Apabila ternyata penghasilannya sebagai pegawai negeri


tidak dapat menutup kebutuhan hidupnya yang wajar, misalnya

hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan,

maka mau tidak mau pegawai negeri tersebut harus mencari

tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupanya.

Dalam hal seperti itu, adalah suatu keterpakasaan untuk mencari

tamabahan pengahasilan, karena apabila hal itu tidak dilakukan

maka dirinya dan keluarganya akan mati kelaparan. Usaha untuk

mencari tamabhan penghasilan tersebut tentu sudah merupakan

bentuk korupsi, misalnya korupsi waktu, korupsi pikiran, tenaga,

dalam arti bahwa seharusnya pada jam kerja waktu, pikiran dan

tenaganya dicurahkan untuk keperluan dinas ternyata

dipergunakan untuk keperluan lain. Hal seperti itu akan lebih parah

apabila mendapatkan kesempatan untuk melakukan korupsi

terhadap sumber daya yang dimiliki organisasinya.


d. Kebutuhan Hidup Yang Mendesak.
Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga,

kebutuhan untuk membayar hutang, kebutuhan untuk membayar

pengobatan yang mahal karena istri atau anak sakit, kebutuhan

untuk membiayai sekolah anaknya, kebutuhan untuk mengawinkan

anaknya merupakan bentuk-bentuk dorongan seorang pegawai

yang berpenghasilan kecil untuk berbuat korupsi. Dalam hal seperti

ini, tentu akan sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem yang
dapat membantu memberikan jalan keluar bagi para pegawai untuk

menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak,

misalnya sistem asuransi.

e. Gaya Hidup Konsumtif

Gaya hidup yang konsumtif di kota-kota besar mendorong

pegawai untuk dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah,

pakaian yang mahal, hiburan yang mahal dan sebagainya. Sebagai

misalnya, gaya hidup yang popular menyediakan sarana untuk

melaksanakan hobby tersebut. Apabila pegawai tersebut memang

bukan pegawai yang tingkatannya cocok dengan hobbynya

tersebut, sedangkan dirinya ingin berdaya hidup seperti itu

sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sarananya dengan cara-

cara yang legal, maka akan mendorong dirinya untuk melakukan

berbagai hal, termasuk korupsi, agar hobbynya dapat terlaksana.

Hal itu menjadikan pegawai yang walaupun sudah mendapatkan

gaji yang layak akan berusaha menambah penghasilannya guna

memenuhi tuntutan jaman tersebut.

f. Malas atau Tidak Mau bekerja Keras


Orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin

segera mendapatkan sesuatu yang banyak tetapi malas untuk

bekerja keras guna meningkatkan penghasilannya. Kalau ada


kesempatan untuk dengan mudah mendapatkan penghasilan yang

besar tanpa usaha yang setimpal mengapa tidak dimanfaatkan.


g. Ajaran-ajaran Agama kurang Diterapkan Secara Benar
Secara umum, masyarakat di Indonesia adalah masyarakat

yang beragama di mana ajaran-ajaran dari setiap agama yang

diakui keberadaannya di Indonesia dapat dipastikan melarang

perbuatan-perbuatan korupsi. Para pelaku korupsi, secara umum

adalah orang-orang yang juga beragama. Mereka memahami

ajaran-ajaran agama yang dianutnya, yang melarang korupsi. Akan

tetapi, pada kenyatannya mereka juga melakukan korupsi. Ini

menunjukkan bahwa banyak ajaran-ajaran agama yang tidak

diterapkan secara benar oleh pemeluknya.


2. Aspek Organisasi
Aspek organisasi yang berpeluang untuk meingkatkan tindak

pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa hal berikut ini:5


a. Kurang adanya sifat keteladanan seorang pemimpin.
b. Tidak ada kultur organisasi yang benar.
c. Kultur organisasi biaanya mempunyai pengaruh kuat terhadap

anggotanya, apabila kultur organisasi tidak dikelola demgam

baik.
d. Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah kurang

memadai.
e. Kelemahan sistem pengendalian manajemen.

5 Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana


Korupsi kajian terhadap Harmonisasi Antara
Hukum Nasional dan The United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC).,
(Bandung: PT.Refika Aditama,2015), Hal. 60
f. Manajemen cendrung menutupi tindak pidana korupsi yang

terjadi di dalam organisasi.


3. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi

Berada
a. Nilai-nilai Yang Berlaku di Masyarakat Ternyata Kondusif Untuk
Terjadinya Korupsi

Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak

anggota masyarakat yang pergaulan sehari-harinya ternyata dalam

menghargai seseorang didasarkan pada kekayaan yang dimiliki

orang yang bersangkutan. Ini dapat dilihat bahwa sebagian besar

anggota masyarakat akan memberikan perlakuan yang berbeda

terhadap seseorang apabila melihat penampilan atau kendaraannya

yang mewah.
b. Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Yang Paling Dirugikan Oleh
Setiap Praktek Korupsi Adalah Masyarakat Sendiri.

Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa apabila

terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan paling dirugikan

adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari

bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka

secara pasti hal itu juga merugikan masyarakat sendiri. Mislanya,

apabila terjadi korupsi dalam bentuk manipulasi kualitas pekerjaan

borongan untuk perbaikan jalan. Dari kejadian tersebut masyarakat

akan memandang bahwa yang dirugikan adalah uang pemerintah


atau uang daerah, tanpa menarik kesimpulan lebih lanjut bahwa

yang dirugikan adalah masyarakat sendiri karena masayarakat

tidak dapat menikmati mulusnya jalan yang selesai diperbaiki

sebaimana mestinya.6
c. Masayarakat Kurang Menyadari Bahwa Masyarakat Sendiri
Terlihat Dalam Setiap Praktek Korupsi

Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa apabila

terjadi perbuatan korupsi yang terlibat dan yang harus bertanggung

jawab adalah aparat pemerintahnya. Massayarakat kurang

menyadari bahwa pada hampir setiap perbuatan korupsi, yang

terlibat dan mendapatkan keuntungan adalah termasuk anggota

masyarakat tertentu. Jadi, tidak hanya aparat pemerintah saja yang

diserang oleh masyarakat dalam masalah korupsi adalah aparat

pemerintah sedangkian pihak swasta (anggota masyarakat sendiri)

yang terkait dengan korupsi tidak disentuh walaupun diketahui

bahwa jarang ada perbuatan korupsi yang tidak melibatkan swasta.


d. Masyarakat Kurang Menyadari Bahwa Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Hanya Akan Berhasil Kalau Masyarakat
Ikut Aktif Melakukannya

Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa pihak yang

bertanggungjawab untuk melakukan pemberantasan korupsi adalah

pemerintah. Pandangan seperti itu adalah keliru, dan ini terbukti

bahwa selama ini pemberantasan korupsi masih belum berhasil

6 BPKP, Op.Cit,.Hal.94
karena upaya pemberantasan korupsi tersebut masih lebih banyak

mengandalkan pada pemerintahan.

e. Generasi Muda Indonesia Dihadapkan Dengan Praktek Korupsi

Sejak Dilahirkan
Praktek-praktek korupsi di Indonesia sudah sedemikian

luasnya, sehingga seorang bayi yang dilahirkan di jaman orde baru

orang tuanya akan terkait dengan praktek korupsi tersebut,

misalnya dalam hal pengurusan akte kelahiran harus mentoleransi

pungli, selanjutnya, sejak masuk ke taman kanak-kanak, sekolah

dasar sampai perguruan tinggi selalu berhadapan dengan praktek-

praktek pungli. Aktifitas kehidupan yang lainnya pada kenyatannya

juga terkait dengan pungli, misalnya dalam pengurusan surat ijin

mengemudi.7
f. Penyalah Artian Pengertian-Pengertian Dalam Budaya Bangsa

Indonesia

Dikatakan bahwa budaya bangsa timur adalah budaya yang

kondusif untuk terjadinya korupsi. Pemahaman seperti ini sedikit

banyak menjadikan banyak pihak permisif terhadap praktek korupsi

di Indonesia. Dampak berikutnya adalah mendorong seseorang

untuk mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan korupsi

yang dilakukannya dengan dalih merupakan budaya timur. Misalnya

pengertian kekeluargaan disalahartikan dengan pengertian bahwa


7 Ibid,.Hal. 97
dalam segala hal maka yang dinomorsatukan adalah keluarga atau

kerabatnya. Apabila di waktu kemudian ada yang mengetahui

praktek perbuatan seperti itu, maka dicari-cari alasan bahwa hal itu

adalah budaya timur, budaya asli bangsa Indonesia. Apabila dikejar

terus dengan berbagai pertanyaan, maka akan dijawab dengan

sebagai orang timur, maka harus menjaga nama baik keluarga

dank arena itu harus meningkatkan martabat keluarga dengan cara

apapun. Hal ini seperti akan melahirkan nepotisme.

4. Aspek Politis
Aspek poitis dalam hali ini yakni kebijaksanaan pemerintah

dalam bentuk kehendak politik yang secara jelas menggariskan

bahwa tindak pidana korupsi adalah problem nasional yang

ditanggulangi secara tuntas. Kehendak politik ini harus merupakan

tekad yang tercemin secara nyata dalam berbagai kegiatan

penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Berbagai usaha

dalam rangka mewujudkan kehendak politik ini diantaranya berupa

pembaruan perundang-undangan tindak pidana khusus tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi., pembentukan dan

pendayagunaan lembaga-lembaga pengawasan dan pengendalian

yang ditujukan untuk mencegah dan menindak dilakukannya tindak

pidana korupsi.8
8 Http://delanoprasetyo.blogspot.com diakses
pada tanggal 27 Januari 2017 Pukul 23.46
Keterkaitan antara tindak pidana korupsi dengan politik

tergambar dalam keadaan di mana tindak pidana korupsi seringkali

dilakukan untuk kepentingan politik. Hal ini tergambar misalnya

uang hasil korupsi digunakan untuk kampanye partai politik,

memberikan gratifikasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk

memenangkan perolehan suara partai politik, melakukan politik

uang dengan menggunakan uanghasil korupsi dan sebagainya.9


5. Aspek Hukum
Faktor hukum juga tidak kalah pentingnya sebagai penyebab

terjadinya tindak pidana korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi

terkait dengan pertanyaan: mengapa begitu sulit mengungkapkan

kasus tindak pidana korupsi? Untuk kasus di Indonesia misalnya,

banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang

menyebabkan tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena

adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterprestasi dan

memihak kepada pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.10


Penanggulangan tindak pidana korupsi dengan menggunakan

sarana hukum pidana berarti kebijakan penanggulangan tindak

pidana korupsi harus diusahakan dan diarahkan pada usaha-usaha

9 Ibid
10 Saldi Isra, Getiing rid of corruption in
Indonesia: The Future, dalam The Jakarta Post,
Edisi Khusus Akhir Tahun, 30 Desember, Jakarta,
2004
untuk mencegah dan menghapus faktor-faktor yang berpotensi

menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi.


Sudarto menyatakan bahwa suatu Clean Government, di

mana tidak terdapat atau setidak-tidaknya tidak banyak terjadi

perbuatan-perbuatan tindak pidana korupsi, tidak bisa diwujudkan

hanya dengan peraturan-peraturan hukum meskipun itu hukum

pidana terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung

dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapanagan politik,

ekonomi, dan lain sebagainya.11


6. Aspek Lingkungan
Faktor lingkungan dapat menyebabkan dilakukannya tindak

pidana korupsi. Untuk itu, dibutuhkan upaya untuk menciptakan

iklim lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya moral atau

etika yang tinggi di lingkungan professional sehingga dapat

mencegah dilakukannya tindak pidana korupsi. Upaya tersebut

dapat dilakukan dengan penerapan prosedur-prosedur yang

demokratis dalam lingkungan internal para professional.12


7. Aspek Sosial dan Budaya
Aspek sosial dan budaya yang mewarnai setiap sikap atau

perilaku individual yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi

11 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,


(Bandung: Alumni, 1981), Hal. 124
12 Dionysios Spinellis, Crime Of Politicians In
Office (Top Hat Crimes, general Report For The
Round Table Discussion at the XV International
Congress Of Penal Law (Tuesday September 6,
1994), Hal. 34-36
perlu diperhitugkan dalam rangka mencegah dan memberantas

tindak pidana korupsi. Penggalian aspek sosial budaya dan

structural ini pada dasarnya dapat dimanfaatkan dalam

penanggulangan tindak pidana korupsi, hal ini menjadi penting

mengingat secara potensial, nilai-nilai budaya nenek moyang masih

kuat hidup dalam kehidupan masyarakat dan hal iini memiliki daya

preventif (pencegahan). Kekuatan ini merupakan kehendak pribadi

yang merupakan daya tangkal terhadap tindak pidana korupsi.13

13 Kristian dan Yopi Gunawan,.Op.Cit..,Hal. 68

Anda mungkin juga menyukai