Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN PADA LANSIA

DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK

Nama : DWI SULISTIYANI


Nim : 14.1.072
Ruang : PWU Trisna Mukti Turen

I.I KONSEP TEORI


1.1 Definisi
Imobilisasi adalah ketidak mampuan untuk bergerak secara aktif akibat
berbagai penyakit atau impairment (gangguan pada alat/ organ tubuh) yang
bersifat fisik atau mental. Imobilisasi merupakan ketidakmampuan seseorang
untuk menggerakkan tubuhnya sendiri. Imobilisasi dikatakan sebagai faktor
resiko utama pada munculnya luka dekubitus baik di rumah sakit maupun di
komunitas. Kondisi ini dapat meningkatkan waktu penekanan pada jaringan
kulit, menurunkan sirkulasi dan selanjutnya mengakibatkan luka dekubitus.
Imobilisasi disamping mempengaruhi kulit secara langsung, juga
mempengaruhi beberapa organ tubuh. Misalnya pada system
kardiovaskuler,gangguan sirkulasi darah perifer, system respirasi,
menurunkan pergerakan paru untuk mengambil oksigen dari udara (ekspansi
paru) dan berakibat pada menurunnya asupan oksigen ke tubuh. (Lindgren et
al. 2004).

1.2 Etiologi
Penyebab imobilitas bermacam-macam. Pada kenyataannya, terdapat
banyak penyebab imobilitas yang unik pada orang-orang yang di imobilisasi.
Semua kondisi penyakit dan rehabilitasi melibatkan beberapa derajat
imobilitas. Ada bebetapa faktor yang berhubungan dengan gangguan
aktivitas pada lansia, yaitu:
1. Tirah baring dan imobilitas
2. Kelemahan secara umum
3. Gaya hidup yang kurang gerak
4. Ketidakseimbanag antara suplai oksigen dan kebutuhan
Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan
lingkungan internal dan eksternal.
a) Faktor Internal
Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan
aktivitas adalah:
1. Penurunan fungsi muskuloskeletal
- Otot : adanya atrofi, distrofi, atau cedera
- Tulang : adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau
osteomalaisa.
- Sendi : adanya artritis dan tumor
2. Perubahan fungsi neurologis
Misalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-obatan,
penyakit vaskuler seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis
multiple, penyakit degeneratif, terpajan produk racun, gangguan metabolik
atau gangguan nutrisi.
3. Nyeri
Nyeri dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis
dan trauma.
4. Defisit perseptual
5. Berkurangnya kemampuan kognitif
6. Jatuh
7. Perubahan fungsi sosial
8. Aspek psikologis
b) Faktor Eksternal
Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor
tersebut adalah program terapeutik, karakteristik tempat tinggal dan staf,
sistem pemberian asuhan keperawatan, hambatan-hambatan,dan kebijakan-
kebijakan institusional.
1. Program terapeutik
Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya pada program
pembatasan yang meliputi faktor-faktor mekanis dan farmakologis, tirah
baring, dan restrain.
Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau
bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan
traksi) atau alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan pemberian cairan
intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan pemberian oksigen). Agens
farmasetik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi yang
digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi
pergerakan atau menghilangkannya secara keseluruhan.
Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan
penyakit cedera. Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat
menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan oksigen, dan beban kerja
jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem
muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi yang
berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah
baring dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor fisiologis atau
psikologis lain.
Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada
lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara langsung
terhadap imobilitas dengan membatasi pergerakan ditempat tidur dan secara
tidak langsung terhadap peningkatan resiko cedera ketika seseorang
berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.
2. Karakteristik penghuni institusi
Tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya klien
dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam suatu studi
tentang status mobilitas pada penghuni panti jompo, mereka yang dapat
berjalan dianjurkan untuk menggunakan kursi roda karena anggapan para
staf untuk penghuni yang pasif.
3. Karakteristik staf
Karakteristik dari staf keperawatan yang mempengaruhi pola mobilitas
adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman
tentang konsekuensi fisiologis dari imobilitas dan tindakan-tindakan
keperawatan untuk mencegah atau melawan pengaruh imobilitas penting
untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan mobilitas.
Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong
lansia mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah
komplikasi imobilitas.
4. Sistem pemberian asuhan keperawatan
Jenis sitem pemberian asuhan keperawatan yang digunakan dalam
institusi dapat mempengaruhi status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik
fungsional atau tugas telah menunjukkan dapat meningkatkan
ketergantungan dan komplikasi dari imobilitas.
5. Hambatan-hambatan
Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan
fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas,
pengetahuan dalam menggunakan alat bantu mobilitas tidak adekuat, lantai
yang licin, dan tidak adekuatnya sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan
arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak memfasilitasi atau memotivasi
klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.
6. Kebijakan-kebijakan institusi
Faktor lingkungan lain yang penting untuk lansia adalah kebijakan-
kebijakan dan prosedur-prosedur institusi. Praktik pengaturan yang formal
dan informal ini mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional
dan kebebasan individu. Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya
pada mobilitas.

1.3 Dampak Masalah pada Lansia


Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari
imobilitas. Perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan
penyakit kronis menjadi predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-
komplikasi ini. Secara fisiologis, tubuh bereaksi terhadap imobilitas dengan
perubahan-perubahan yang hamper sama dengan proses penuaan, oleh
karena itu memperberat efek ini.
Suatu pemahaman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari
interaksi kompetensi fisik, ancaman terhadap imobilitas, dan interpretasi pada
kejadian. Imobilitas dapat mempengaruhi tubuh yang telah terpengaruh
sebelumnya. Sebagai contoh, setelah masa dewasa awal terdapat
penurunan kekuatan yang jelas dan berlangsung terus secara tetap.
Oleh karena itu, kompetensi fisik seorang lansia mungkin berada pada
atau dekat tingkat ambang batas untuk aktivitas mobilitas tertentu.
Perubahan lebih lanjut atau kehilangan dari imobilitas dapat membuat
seseorang menjadi tergantung.

1.4 Manifestasi Klinis


Dampak fisik dari imobilitas dan ketidakaktifan sangat banyak dan
bermacam-macam. Masalah-masalah yang berhubungan dapat
mempengaruhi semua sistem pada tubuh.
Tabel 2.1 Dampak Fisiologis dari imobilitas dan ketidakaktifan
No Efek Hasil
1. Penurunan konsumsi oksigen Intoleransi ortostatik
maksimum

2. Penurunan fungsi ventrikel kiri - Peningkatan denyut jantung


- Sinkop

3. Penurunan curah jantung Penurunan toleransi latihan

4. Penurunan volume sekuncup Penurunan kapasitas


kebugaran
5. Peningkatan katabolisme
protein - Penurunan massa otot tubuh
- Atrofi muskular
- Penurunan kekuatan otot
6.
Peningkatan pembuangan Osteoporosis
7. kalsium
Konstipasi
8. Perlambatan fungsi usus
Penurunan evakuasi kandung
9. Pengurangan miksi kemih

10. Gangguan metabolisme glukosa Intoleransi glukosa

Penurunan ukuran thoraks Penurunan kapasitas fungsional


11. residual

Penurunan aliran darah - Atelektasis


pulmonal - Penurunan PO2
12. - Peningkatan pH

- Penurunan volume plasma


Penurunan cairan tubuh total - Penurunan keseimbangan
natrium
13. - Penurunan volume darah
total
Gangguan sensori - Perubahan kognisi
14. - Depresi dan ansietas
- Perubahan persepsi

Gangguan tidur - Bermimpi pada siang hari


- Halusinasi

1.5 Penatalaksanaan
1) Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan dan episodik. Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan, moblilitas dan aktivitas tergantung pada fungsi system
musculoskeletal, kardiovaskuler, pulmonal. Sebagai suatu proses episodik
pencegahan primer diarahkan pada pencegahan masalah-masalah yang
dapat tmbul akibat imoblitas atau ketidak aktifan.
a. Hambatan terhadap latihan
- Bahaya-bahaya interpersonal termasuk isolasi social yang terjadi ketika
teman-teman dan keluarga telah meninggal.
- Perilaku gaya hidup tertentu (misalnya merokok dan kebiasaan diet
yang buruk)
- Depresi gangguan tidur
- Kurangnya transportasi dan kurangnya dukungan.
- Hambatan lingkungan termasuk kurangnya tempat yang aman untuk
latihan dan kondisi iklim yang tidak mendukung.
- Sikap budaya
- Gender juga dianggap sebagai hambatan karena aktivitas fisik diterima
sebagai sesuatu yang lebih penting bagi kaum pria daripada wanita.
b. Pengembangan program latihan
Program latihan yang sukses sangat individual, diseimbangkan, dan
mengalami peningkatan. Program tersebut disusun untuk memberikn
kesempatan pada klien untuk mengembangkan suatu kebiasaan yang teratur
dalam melakukan bentuk aktif dari rekreasi santai yang dapat memberikan
efek latihan.
Aktivitas atau latihan harus disesuaikan dengan kapasitas klien. Sebelum
seorang lansia memulai program latihan, dianjurkan untuk melakukan
pengkajian sebelum latihan, yang meliputi sedikitnya riwayat lengkap dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter atau praktisi keperawatan.
Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang
faktor-faktor pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan
keterikatan dan meningkatkan pengalaman, yaitu:
1. Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama dan
setelah aktivitas diberikan).
2. Kecenderungan alami (predisposisi atau penngkatan kearah latihan
khusus).
3. Kesulitan yang dirasakan.
4. Tujuan dan pentingnya lathan yang dirasakan.
5. Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang
akan berhasil)
c. Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh
klien, instruksi tentang latihan yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien
untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan yang terlalu keras sama
pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.
2) Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat
dkurangi atau dicegah dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan
intervensi berasal dri suatu pengertian tentang berbagai factor yang
menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan.
Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan
pencegahan komplikasi. Diagnosis keperawatan dihubungkan dengan
pencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik.
3) Penatalaksanaan terapeutik
Pengobatan terapeutik ditujukan kearah perawatan penyakit atau
kesakitan yang dihasilkan atau yang turut berperan terhadap masalah
imobilitis dan penanganan konsekuensi aktual atau potensial dari imobilitas.
Contoh-contoh pendekatan terhadap penanganan imobilitas meliputi terapi
fisik untuk mempertahankan mobilitas dan kekuatan otot, kompresi
pneumatik intermiten dan kekuatan otot, kompresi pneumatik intermiten atau
stoking kompresi gradien untuk meningkatkan aliran darah vena dan
mencegah tromboembolisme, spirometri insesif untuk hiperinflasi alveoli, dan
tirah baring, kecuali untuk eliminasi

Anda mungkin juga menyukai