S2 2016 359542 Introduction PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak melek terhadap informasi yang dibawa media menimbulkan

berbagai permasalahan. Bagi anak-anak, tidak melek media mengakibatkan mulai

dari kecanduan menonton tayangan televisi, bermain games online, chatting

melalui social media, konten pornografi internet, infotainment, hingga berita

kriminal. Anak-anak cenderung menginternalisasi pesan-pesan media dan

mengintegrasikannya dalam pembentukan diri (Herlina, 2011, p. 24-27). Bagi

remaja, tidak melek media mengakibatkan perilaku konsumtif (terhadap pulsa

internet), konten sinetron, musik, dan reality show. Remaja menganggap bahwa

citra yang muncul di televisi adalah sesuatu hal yang nyata, sehingga mereka

mencitrakan diri sebagai tokoh-tokoh sinetron dan penyanyi, mulai dari gaya

berpakaian, potongan rambut, hingga perilaku sehari-hari (Suprati, 2011, p. 102).

Bagi ibu-ibu, selain menjadi konsumtif, tidak melek media dapat mencontohkan

perilaku kecanduan konten media pada anak, sampai dengan menyerahkan

pengasuhan anak pada televisi (Zamroni & Sukiratnasari, 2011, p. 97). Bahkan

bagi kehidupan pers yang rawan konflik di Sumatera Utara, tidak melek terhadap

informasi yang dibawa media dapat mengakibatkan Insiden Berdarah Protap.

Aksi unjuk rasa menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli Utara (Protap) pada 3

Februari 2009 yang berakhir ricuh dan menewaskan ketua DPRD Sumatera Utara,

Aziz Angkat.

1
Keberpihakkan berita yang dimuat Surat Kabar Harian Sinar Indonesia

Baru (SKH SIB) tentang tuntutan pembentukan Protap sebelum insiden dianggap

sebagai provokator dan ikut bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi.

Insiden ini mengakibatkan seruan DPRD kepada aparat kepolisian untuk

membubarkan SKH SIB. Yayasan KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan, dan

Penerbitan Sumatera) bekerjasama dengan LSPP Jakarta menemukan bahwa

berita di SIB memang memiliki kecenderungan memihak kepada kelompok

pendukung Protap. Ketua pembentukan Protap, GM Panggabean, adalah pemilik

SKH SIB, sehingga tidak mengherankan jika beritanya mendukung Protap.

Pemanfaatan media massa untuk kepentingan politik segolongan orang

mengakibatkan terjadinya kericuhan yang berujung maut. Jika saja masyarakat,

terutama para pendemo yang ikut serta dalam insiden Protap melek terhadap

informasi atau mampu mengenali provokasi yang dimuat dan memahami

kepentingan pemberitaan informasi yang ada di belakangnya, tentu kerusuhan ini

tidak perlu terjadi. Insiden ini akhirnya mendorong Yayasan KIPPAS

mengadakan kegiatan pendidikan literasi media kepada kelompok-kelompok

masyarakat (LSM) dan pekerja media (Tim Peneliti PKMBP, 2013, p. 33-35).

Selain insiden semacam ini, tidak sedikit pula kita mendengar kabar seseorang

diculik oleh kenalannya di facebook, mempercayai informasi hoax melalui

aplikasi pesan instan, bahkan dengan mudah ikut menyebarkan informasi hoax

tersebut.

Pada Oktober 2014 lalu di Yogyakarta dan sekitarnya muncul isu tentang

kawanan geng motor beraliran sesat bernama geng klitih yang sedang mencari

2
mangsa dengan cara menebaskan pedang kepada pengendara motor lainnya 1.

Isu ini cukup meresahkan masyarakat, termasuk penulis sendiri. Banyak yang

tidak berani keluar di malam hari dan suasana menjadi mencekam. Penyebaran

berbagai informasi mengenai peristiwa serta testimoni korban yang dibacok

pedang geng motor menyebar dengan cepat melalui Whatsapp. Ditengah

kecemasan, masyarakat sudah tidak mampu lagi berpikir jernih untuk menvalidasi

informasi yang beredar, meskipun kemudian tidak pernah muncul pemberitaan isu

geng motor di berbagai media massa. Pada kenyataannya, tidak pernah pula

ditemui korban dari geng motor ini. Aplikasi pesan instan seperti Whatsapp

menjadi media yang sangat massif untuk penyebaran informasi hoax. Lalu lintas

informasi melalui Whatsapp dapat terjadi setiap detik, seperti yang dialami

penulis sendiri.

Di Amerika pada April 1991, FCC menyelidiki radio KROQ-FM,

Pasadena-Los Angeles, untuk siaran hoax pengakuan pembunuhan palsu pada

acara waktu berkendara pagi. Tim pagi radio ini, Kevin Ryder dan Gene Bean

Baxter, telah mengembangkan acara yang dinamakan "Mengakui Kriminal

Anda". Pendengar didorong untuk menelepon dan mengungkapkan "kejahatan"

pribadi di udara. Salah satu penelepon mengaku telah membunuh pacarnya.

"Pembunuh yang mengaku" ini sebenarnya adalah Doug Roberts, teman dari

penyiar acara yang bekerja di Arizona. Penipuan mulai terurai setelah Roberts

datang untuk bekerja di KROQ dan audiens mendengar kesamaan antara suara

Roberts dengan "pembunuh. Ketika dilakukan penyelidikan internal, Roberts

1
http://krjogja.com/m/read/232595/geng-motor-bacok-pelajar-tangan-nyaris-putus.kr, diakses
tanggal 2 Oktober 2014

3
mengakui tipuannya. Tim penyelidik memberhentikan para penyiar yang terlibat

dan KROQ-FM menyiarkan beberapa permintaan maaf. Stasiun ini juga bekerja

sama dengan polisi dan mengajukan tawaran restitusi. FCC mengirim surat untuk

tim penyelidik guna mengawasi apakah radio ini benar-benar bertindak "secara

bertanggung jawab dan efektif" setelah mengetahui bahwa siaran tersebut tipuan.

Hingga akhirnya, pada tahun 1992 FCC memberlakukan aturan yang melarang

siaran hoax yang dapat membahayakan masyarakat (Creech, 2007, p. 212-213).

Dapat dilihat bahwa masyarakat mengetahui kebohongan siaran berita ini melalui

membandingkan suara si penyiar radio. Hal ini berarti masyarakat melakukan apa

yang dirumuskan Potter (2014) sebagai kemampuan analisis dan evaluasi dalam

teori literasi media. Sehingga dapat diketahui bahwa acara tersebut ditujukan

untuk meraih rating pendengar yang tinggi. Ada kepentingan media massa dibalik

disiarkannya acara ini, meskipun dilakukan oleh oknum penyiar.

Literasi media adalah pendidikan yang mengajari khalayak media agar

memiliki kemampuan menganalisis pesan media, memahami bahwa media

memiliki tujuan komersial/bisnis dan politik sehingga mereka mampu

bertanggungjawab dan memberikan respon yang benar ketika berhadapan dengan

media (Rochimah, 2011, p. 28). Sejak kemudahan berinteraksi disediakan oleh

TIK, kedudukan manusia terhadap pesan yang dibawa media berubah, tidak hanya

sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen dan distributor. Kedudukan

sebagai produsen dan distributor sekaligus idealnya dapat dimanfaatkan untuk

mengendalikan laju informasi. Dengan massifnya informasi menerpa seseorang,

seharusnya manusia sebagai individu merdeka mampu mengontrol pesan atau

4
informasi yang menerpa. Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak

(Abrar, 2003). Lebih lanjut Abrar menegaskan bahwa pemakaian teknologi

komunikasi selalu melahirkan perubahan sosial dalam masyarakat; pemakaian

komputer untuk komunikasi telah menyebabkan orang lebih percaya pada

informasi yang ada di komputer daripada kenyataan yang sebenarnya. Ketika

mencari informasi di internet, mereka menciptakan alasan untuk mencari

informasi yang baru lagi dan lagi. Mereka menyerahkan sebagian, kalau tidak

seluruh, otoritas diri mereka pada internet. Seorang individu pengguna teknologi

komunikasi harus tahu persis apakah kelak perilakunya baik dan responnya

proporsional. Dengan melek terhadap informasi yang dibawa teknologi

komunikasi, manusia akan memiliki otoritas dirinya, dan tidak akan terombang-

ambing oleh ketidakpastian informasi yang saat ini banyak beredar. Seorang

pengguna yang melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai suatu

pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab (Zamroni &

Sukiratnasari, 2011, p. 84).

Jika saja saat menerima informasi hoax geng klitih para mahasiswa

melakukan analisa, mencari informasi yang sama di media massa lainnya,

membandingkan dengan fakta yang terjadi di sekitar, tentu keresahan masyarakat

yang terjadi tidak akan berlarut-larut. Testimoni korban dibacok pedang yang

terus disebarkan membuat masyarakat ketakutan, padahal tidak pernah ditemukan

korban, dan tidak ada pula satupun media massa lokal yang memberitakan. Isu

geng klitih ini akhirnya mereda dengan sendirinya, seiring dengan berhentinya

penyebaran informasi mengenai kejadian di aplikasi pesan instan Whatsapp.

5
Dalam menyebarkan informasi, idealnya seseorang mampu melakukan apa yang

dikatakan Jenkins dkk (2009) sebagai appropriation dalam teori literasi media

baru, yaitu mampu menyadur informasi yang diterima di media baru secara legal

dan etis. Mulai dari meminta izin menyebarkan, mencantumkan sumber yang

dapat ditelusuri kebenarannya, sampai dengan memahami konsekuensi

penyebaran tak terbatas yang dimungkinkan oleh aplikasi pesan instan Whatsapp.

Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi gerakan literasi media yang dilakukan

Yayasan KIPPAS. Seorang penyiar radio komunitas HAPSARI FM memberikan

testimoni: Paling tidak ketika kami mengambil materi dari surat kabar, kami bisa

memilih informasi yang fakta, dan memang ada manfaatnya bagi kami (Tim

Peneliti PKMBP, 2013, p. 42). Dengan demikian informasi yang diterima

pendengar HAPSARI FM dapat mencerdaskan dan tidak menyesatkan.

Menurut Pasal 4 UURI No.11 tahun 2008 mengenai Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE), pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi

elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: Mencerdaskan kehidupan bangsa

sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; Mengembangkan perdagangan

dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat; Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; Membuka

kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan

kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi

seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; Dan memberikan rasa aman,

keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi

6
Informasi 2 . Kelima tujuan mulia ini hanya bisa dicapai jika seseorang melek

terhadap informasi. Sebagaimana yang sampaikan Zamroni & Sukiratnasari,

(2011, p. 84), bahwa sebagai konsumen, masyarakat harus cerdas dan mampu

memilih informasi apa yang dibutuhkan. Era digital mendorong terjadinya banjir

informasi dalam masyarakat termasuk melalui aplikasi pesan instan seperti

Whatsapp. Jika masyarakat kurang responsif, akibatnya informasi yang disediakan

media jadi membuat konsumtif, menyesatkan, dan pragmatis, alih-alih

mensejahterakan dan memberi rasa aman. Sebagaimana yang diakibatkan oleh

penyebaran informasi hoax geng klitih dari mahasiswa ke mahasiswa.

Sebagai kaum terdidik, mahasiswa seharusnya mampu memahami,

menganalisis, menilai, dan mengkritisi informasi yang dibawa oleh teknologi

komunikasi. Sayangnya malah banyak mahasiswa yang ikut terhegemoni. Selain

menyebarkan informasi hoax, tidak melek terhadap informasi di dalam gadget

mengakibatkan penyalahgunaan seperti menggunakan tablet untuk bermain game

saat proses kuliah berlangsung 3 . Zamroni & Sukiratnasari (2011, p. 89)

mengatakan bahwa tingkat literasi biasanya berhubungan dengan tingkat

pendidikan dan daya kritis masyarakat. Makin tinggi pendidikan dan daya kritis

seseorang, makin tinggi tingkat literasinya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi

penulis untuk melihat pengalaman komunikasi penyebaran informasi hoax yang

dilakukan mahasiswa. Bagaimana sebenarnya respon mahasiswa penyebar

informasi hoax ketika pertama kali menerima informasi? Apakah mahasiswa

mempertanyakan kebenaran informasi tersebut, membandingkan informasi

2
www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU1108.pdf, diakses tanggal 14 Mei 2015
3
http://news.liputan6.com, diakses tanggal 2 Oktober 2014

7
dengan kenyataan disekitar, dan mengevaluasi informasi? Kemudian apakah

mahasiswa menggunakan informasi yang ditemui dengan legal dan etis? Lalu apa

sebenarnya motivasi mahasiswa saat menyebarkan informasi hoax mengingat

selalu ada alasan dibalik tindakan yang dilakukan seseorang? Oleh karena itu,

penelitian ini akan melihat pengalaman komunikasi mahasiswa penyebar

informasi hoax melalui teori literasi media baru. Mengetahui motivasi

menyebarkan informasi hoax dibutuhkan untuk membantu menjelaskan faktor-

faktor penyebab kemampuan literasi media yang akan dilihat dalam penelitian ini.

Begitu pula dengan pengetahuan mengenai informasi hoax mahasiswa.

Mengetahui pengetahuan mengenai informasi hoax mahasiswa akan membantu

menjelaskan kemampuan literasi media yang yang dikuasai melalui pengalaman

komunikasi menyebar informasi hoax yang dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana literasi media

baru mahasiswa pascasarjana UGM tahun ajaran 2014/2015, penyebar informasi

hoax pada periode Januari s.d. Maret 2015?

C. Tujuan Penelitian

Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah menelusuri kemampuan

analisis, evaluasi, pengelompokkan, sintesis dan abstraksi mahasiswa melalui

pengalamannya dalam menyebarkan informasi hoax.

8
1. Untuk mengetahui interpretasi mahasiswa penyebar hoax ketika

berhadapan dengan informasi yang diterima dalam aplikasi pesan instan

Whatsapp.

2. Untuk mengetahui apakah mahasiswa penyebar informasi hoax melakukan

analisis, evaluasi, pengelompokkan, sintesis, abstraksi dan memanfaatkan

informasi dalam aplikasi pesan instan Whatsapp dengan etis saat dan

setelah menerima informasi hoax.

3. Untuk melihat masing-masing kemampuan literasi media penyebar

informasi hoax, mulai dari analisis, evaluasi, pengelompokkan, sintesis,

abstraksi sampai dengan memanfaatkan informasi yang berada di aplikasi

pesan instan Whatsapp, serta pengetahuan mengenai informasi hoax dan

motivasi menyebarkan informasi hoax itu sendiri. Sehingga didapatkan

kesimpulan bagaimana literasi media mahasiswa pascasarjana penyebar

informasi hoax.

4. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk memperdalam keilmuan

peneliti mengenai literasi media karena peneliti sangat tertarik dan mulai

terlibat dalam gerakan pendidikan literasi media.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya studi tentang literasi media,

khususnya terhadap pesan yang beredar di media baru, yaitu aplikasi pesan

instan Whatsapp, yang kajiannya belum banyak ditemukan di Indonesia.

9
2. Manfaat praktis

a. Jawaban pertanyaan penelitian ini, yaitu mengetahui bagaimana

literasi media mahasiswa pascasarjana penyebar informasi hoax, dapat

memberikan gambaran pada masyarakat bagaimana fenomena ini

terjadi. Dengan demikian diharapkan masyarakat dapat mengetahui

cara menyikapi sebuah informasi yang datang menerpa melalui media

baru, sehingga masyarakat tidak terombang-ambing oleh banjir

informasi yang terjadi saat ini.

b. Menelusuri literasi media mahasiswa pascasarjana penyebar informasi

hoax dapat menjadi dasar untuk merumuskan solusi yang tepat agar

seseorang dapat melek terhadap informasi yang beredar di media baru,

khususnya aplikasi pesan instan seperti Whatsapp. Hal ini dapat

menjadi bahan pertimbangan baru bagi gerakan literasi media di

Indonesia yang saat ini masih didominasi oleh literasi terhadap televisi

dan mulai merambah pada penggunaan internet.

E. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa pascasarjana

UGM tahun ajaran 2014/2015 penyebar informasi hoax. Penulis menelusuri dan

membuktikan informasi hoax yang beredar dalam grup Whatsapp mahasiswa

pascasarjana tersebut dengan mendapatkan konfirmasi dari anggota grup lainnya

dan menelusuri kebenaran kontak atau URL yang disertakan di dalam informasi

atau pemberitaan mengenai informasi hoax, sehingga dapat dipastikan bahwa

10
informasi-informasi tersebut adalah hoax. Ada tiga grup Whatsapp mahasiswa

pascasarjana UGM yang diikuti oleh penulis. Grup yang pertama adalah IKM,

grup ini beranggotakan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi angkatan tahun

2013 genap dengan konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media (IKM), di mana

peneliti juga tergabung di dalamnya. Grup kedua adalah Forum Ilmu Sosial

Humaniora (FISH) Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM 2014. Anggota grup

ini merupakan mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosial Humaniora dan

menggunakan grup sebagai sarana untuk berdiskusi seputar topik sosial

humaniora. Grup ketiga adalah ODOA (One Day One Ayat), merupakan grup

menghafal Al-Quran satu hari satu ayat, beranggotakan mahasiswa pascasarjana

dari berbagai program studi. Peneliti membatasi penelusuran informasi hoax

mulai dari awal semester genap tahun ajaran 2014/2015 yaitu bulan Januari

sampai dengan bulan Maret 2015. Pembatasan waktu selama tiga bulan ini

dikarenakan sudah cukup bagi peneliti untuk mendapatkan aktor-aktor yang dapat

mewakili objek penelitian yang dibutuhkan.

F. Posisi Penelitian

Menurut Zamroni & Sukiratnasari (2011, p. 89) tingkat literasi biasanya

berhubungan dengan tingkat pendidikan dan daya kritis masyarakat. Makin tinggi

pendidikan dan daya kritis seseorang, makin tinggi tingkat literasinya. Tetapi

dalam penelitian Literasi Media Berbasis Komunitas (Wiratmo, 2011),

ditemukan bahwa beberapa komunitas yang menjadi objek penelitian termasuk

salah satunya komunitas mahasiswa, belum melek terhadap media. Begitu juga

11
dengan penelitian yang dilakukan oleh Mazdalifah (2011) dengan judul

Mengembangkan Literasi Media di Perguruan Tinggi menunjukkan hasil

adanya ketertarikan mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU akan kajian dan

penerapan kurikulum literasi media dalam pembelajaran, tetapi masih jauh untuk

sampai pada pengukuran tingkat literasi media mahasiswa. Selanjutnya, penelitian

yang dilakukan oleh Arif (2013) kepada mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu

Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya, menunjukkan bahwa tingkat literasi

media mahasiswa tergolong medium, dengan tingkat kekritisan yang masih

rendah.

Penelitian Wiratmo (2011) memotret pengalaman gerakan literasi media

yang yang dilakukan LESPI Semarang terhadap beberapa komunitas.

Mengandalkan posisi strategis komunitas sebagai ujung tombak penyebarluasan

isu literasi media, Wiratmo menggunakan definisi literasi media oleh Sonia

Livingstone (2004), yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis,

mengevaluasi dan membuat pesan dalam berbagai konteks. Model ini menurut

Livingstone dapat diterapkan pada media konvensional dan media baru.

Pengertian kemampuan mengakses menurut Livingstone akan membawa

pengguna untuk berkembang, terus melakukan update, upgrade, pengembangan

hardware dan aplikasi software. Pengertian kemampuan analisis menurut

Livingstone meliputi pemahaman mengenai agensi, kategori, teknologi, bahasa,

representasi dan khalayak media. Kemampuan evaluasi menurut Livingstone

merupakan penilaian sembari melakukan spesifikasi dan legitimasi yang berdasar

pada literasi kritis-estetika, politis, ideologis dan ekonomis. Mengenai kreasi

12
konten, pengertian Livingstone merujuk pada dua hal, yaitu pemahaman

mendalam mengenai aturan dan manfaat atas materi yang diproduksi secara

profesional (jika memiliki pengalaman langsung memproduksi konten) dan

pemahaman bahwa internet adalah medium yang menawarkan kesempatan yang

tidak terbayangkan pada masyarakat umum untuk memproduksi konten online.

Dalam kasus yang dibawa Wiratmo, di mana objek gerakannya adalah beragam

komunitas, ada beberapa masalah yang belum dapat dirangkul oleh Livingstone.

Antara lain adalah kesenjangan materi sosial-demografis, sumber daya sosial dan

simbolik, kesenjangan dalam mengakses pengetahuan, komunikasi dan partisipasi

online yang akan terus berlangsung.

Komunitas-komunitas ini antara lain adalah Komunitas Perempuan

Nelayan, Kelompok Lansia, PKL Semarang, Darma Wanita, Rumah Pintar, PKK,

Federasi Serikat Buruh Indonesia, Forum Anak, Pusat Studi Gender IAIN

Walisongo dan sebagainya. Hasil evaluasi gerakan ini menyatakan bahwa apa

yang telah dilakukan LESPI belum mencapai hasil sebagaimana batasan

kemampuan akses, analisis, evaluasi dan mencipta konten menurut Livingstone.

Tetapi setidaknya gerakan ini merupakan langkah awal proses pengenalan menuju

penanaman pemahaman akan pentingnya literasi media. Beberapa komunitas

dinilai potensial untuk dikembangkan sebagai mitra penyebaran gerakan literasi

media selanjutnya, sayangnya komunitas yang dimaksud bukanlah komunitas

yang beranggotakan para mahasiswa, melainkan Komunitas Lansia, Rumah Pintar

dan PKK Kemijen. Definisi literasi media Livingstone belum mengakomodir

keberagaman komunitas seperti kesenjangan materi sosial-demografis misalnya.

13
Definisi ini juga membutuhkan pembentukan budaya baru yang melahirkan

kesadaran, komitmen serta sudut pandang kritis per-individu dalam kehidupan

bermasyarakat. Belum adanya faktor pokok yang berupa peraturan bermedia baru

yang disyaratkan Livingstone untuk dipahami, juga menjadi permasalahan

tersendiri bagi definisi literasi media ini untuk dapat diterapkan di Indonesia.

Jikapun dialihkan pada pemahaman akan perundang-undangan mengenai

bermedia seperti UU ITE, menurut penulis hal ini kurang tepat mengingat UU

ITE dibuat oleh pemerintah, bukan merupakan keresahan bermedia masyarakat

yang diakomodir bersama oleh masyarakat dan pemerintah dalam bentuk

peraturan resmi, sehingga belum cukup untuk dijadikan pedoman dalam aktivitas

bermedia oleh masyarakat. Tetapi disisi lain, Livingstone telah menawarkan teori

literasi media yang sesuai dengan karakter media baru dan menampilkannya

dengan cukup sederhana dan padat (cukup lengkap).

Mazdalifah (2011) juga mendokumentasikan gerakan literasi media

terhadap mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara yang

memasukkan materi literasi media ke dalam kurikulum pendidikan, khususnya

mata kuliah Media dan Masyarakat sejak tahun 2009. Strategi memasukkan

literasi media dalam pengajaran mata kuliah ini dinilai efektif dalam mengenalkan

dan mengembangkan literasi media kepada mahasiswa. Berdasarkan hasil

pengamatan, belum banyak mahasiswa yang memahami apa sebenarnya literasi

media. Gerakan ini menanamkan beragam teori dan permasalahan literasi media

di Indonesia pada mahasiswa saat perkuliahan.

14
Penelitian Arif (2013) dengan judul Tingkat Literasi Media Berbasis

Kompetensi Individual Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi IAIN

Sunan Ampel Surabaya menghasilkan bahwa kemampuan literasi media

mahasiswa secara umum berada pada level medium atau menengah. Hasil ini

dibantu pencapaiannya oleh sikap welcome mahasiswa terhadap kehadiran

teknologi dan produk media serta keaktifan partisipasi mahasiswa di media sosial.

Selanjutnya, faktor-faktor yang ikut menentukan kemampuan literasi media

mahasiswa antara lain adalah internal diri mahasiswa (kemauan, komitmen dan

kesadaran bermedia) dan budaya kritisisme di kalangan mahasiswa yang masih

perlu dikembangkan. Pengukuran tingkat literasi media ini dilakukan melalui teori

kompetensi yang diturunkan menjadi dua sub variabel: Pertama, keahlian teknis

dengan indikator kemampuan menggunakan komputer dan internet, keseimbangan

penggunaan media; Kedua, pemahaman kritis dengan indikator pemahaman

konten/teks media, pengetahuan tentang regulasi media dan perilaku bermedia.

Kemudian kompetensi sosial dengan sub variabel kemampuan berkomunikasi

dengan indikator kemampuan interaksi sosial, partisipasi sosial dan menciptakan

kreasi konten media. Teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori

pendidikan yang berbasis pada kapasitas seseorang untuk memenuhi standar-

standar mengenai suatu hal, literasi media dalam hal ini. Teori ini tidak berangkat

dari keresahan bermedia, dan tidak mengakomodir karakter media baru, murni

berpusat pada diri pengguna media saja. Tetapi disisi lain, peneliti dapat dengan

bebas memasukkan faktor-faktor kemampuan literasi media yang ingin dilihat

peneliti pada mahasiswa. Sehingga semua kemampuan literasi media bisa

15
dimasukkan sebagai indikator penelitian. Selain itu, teori ini dapat menjelaskan

faktor-faktor dari dalam diri manusia yang menyebabkan manusia menjadi tidak

melek ataupun melek.

Mahasiswa yang merupakan objek penelitian dalam tiga penelitian

terdahulu yang membahas kemampuan literasi media mahasiswa yang berada

pada jenjang pendidikan strata satu. Dua penelitian berangkat dari evaluasi

gerakan literasi media yang dikenakan pada mahasiswa, menghasilkan bahwa

mahasiswa belum melek terhadap media, satu penelitian berangkat dari keresahan

akan determinisme teknologi, menggunakan teori kompetensi (teori pendidikan),

menghasilkan bahwa kemampuan literasi media mahasiswa tergolong medium.

Hasil yang berbeda-beda ini menunjukkan kompleksitas kemampuan literasi

media. Oleh karena itu menjadi penting untuk menelusuri literasi media

mahasiswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu mahasiswa pada

jenjang pendidikan strata dua atau pascasarjana. Apakah hasilnya sama dengan

tiga penelitian literasi mahasiswa strata satu ataukah berbeda, mengingat

fenomena penyebaran keresahan geng klitih melalui aplikasi pesan instan

Whatsapp di Yogyakarta beberapa waktu lalu diterima penulis dari mahasiswa

pascasarjana UGM lainnya.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melihat literasi media mahasiswa

pada jenjang pendidikan pascasarjana. Selain itu, literasi media baru dalam

penelitian ini lebih spesifik kepada aplikasi pesan instan Whatsapp, berbeda

dengan tiga penelitian terdahulu yang mengukur literasi pada semua jenis media.

Menelusuri kemampuan literasi media mahasiswa melalui pengalaman

16
menyebarkan informasi hoax, penelitian literasi media yang berangkat dari

kesadaran perilaku komunikasi mahasiswa, juga belum pernah peneliti temukan di

Indonesia.

G. Kerangka Pemikiran

Setelah menjelaskan posisi penelitian pada bagian sebelumnya, bagian ini

akan menjelaskan teori yang dipilih untuk penelitian secara mendalam. Ada tiga

teori yang akan dipaparkan dibagian ini, yaitu literasi media, informasi hoax dan

motivasi menyebarkan informasi hoax. Ketiga teori ini kemudian diturunkan

menjadi konsep, indikator dan definisi operasional. Penurunan konsep ini

menyesuaikan langsung dengan media baru yang digunakan objek penelitian,

yaitu aplikasi pesan instan Whatsapp.

1. Literasi Media

Teori literasi media diakui cukup unik, meskipun berbagai rumusan dan

gerakan literasi media telah dilakukan dan tersebar diseluruh dunia, terjadi

ketidakseragaman dalam mendefinisikan literasi media. Tiga penelitian terdahulu

yang telah dibahas menunjukkan hal ini. Definisi yang dipakai beragam, dengan

indikator pengukuran yang beragam pula tentunya. Diakui Potter (2004 dalam

Adiputra, 2008, p. 5), konsep literasi media lebih kompleks daripada konsep

literasi, karena berkaitan dengan berbagai konsep, yaitu konsep pendidikan media,

berpikir kritis dan aktivitas memproses informasi. Belum lagi perbedaan jenis

media yang begitu beragam dan masih terus berkembang. Di antara sekian banyak

definisi literasi media, peneliti mencermati sebuah teori yang dibangun dari dasar

17
dan masih terus berkembang hingga saat ini, yaitu teori literasi media oleh Potter.

Adiputra (2008, p. 5-7) memaparkan tiga definisi literasi media Potter (serta

cakupan kemampuan yang dibutuhkan didalamnya), yaitu definisi payung,

definisi proses dan definisi tujuan yang dirumuskan oleh Potter.

Definisi payung literasi media adalah: Sebuah perspektif yang secara

aktif kita pakai ketika menerpa diri dengan media massa untuk

menginterpretasikan makna pesan yang kita hadapi. Kita membangun perspektif

kita dari struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan kita, kita

butuh alat dan bahan baku. Peralatan itu adalah keterampilan kita. Bahan baku

adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. Penggunaan aktif berarti bahwa

kita memperhatikan pesan dan berinteraksi secara sadar dengan pesan-pesan itu.

Ada seperangkat kemampuan yang runut dan rinci dalam pengertian literasi media

menurut Potter, yaitu rudimentary dan advance skill. Rangkaian kemampuan awal

atau rudimentary skill, terdiri dari maturarion dan component skill. Maturation

merupakan kematangan manusia secara kognitif, emosional dan moral yang

diperoleh ketika masih anak-anak yang membawa pada tingkat fungsional literasi.

Sedangkan kemampuan komponen atau component skill terdiri dari kemampuan

menerima informasi dan memakainya kembali ketika diperlukan, kemampuan

mengenali simbol atau unsur-unsur penyusun pesan, kemampuan mengenal pola

pesan yang membentuk makna, kemampuan mencocokkan arti pola pesan dengan

kenyataan. Serangkaian kemampuan lanjutan atau advance skill, terdiri dari

message focus skill dan message extending skill. Kemampuan memfokuskan

pesan atau message focus skill terdiri dari kemampuan menganalisa,

18
membandingkan elemen pesan, mengevaluasi pesan dan mengabstraksi pesan.

Sedangkan kemampuan memperluas pesan atau message extending skill terdiri

dari kemampuan deduksi, induksi dan menyintesiskan pesan. Semua rangkaian

kemampuan ini harus terus-menerus dilatih untuk mengembangkan pemaknaan

dan penghargaan kita terhadap pesan-pesan media. Definisi awal Potter tentang

literasi media mencakup kemampuan dasar mengakses dan memaknai pesan sejak

kecil hingga dewasa yang menurut Potter terus berkembang seiring waktu

sehingga manusia dapat mengontrol pesan yang menerpa dirinya. Definisi ini

merangkul media cetak, audio, audio visual dan internet di dalam komputer.

Tetapi kedudukan audiens masih sebatas konsumen, belum menjadi produsen

seperti yang saat ini terjadi. Bila disesuaikan dengan kondisi Indonesia, definisi

ini masih sangat mungkin dipakai untuk daerah pelosok yang baru atau mulai

terterpa media baru.

Definisi proses literasi media adalah seperangkat kecakapan yang berguna

dalam proses mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan mengkomunikasikan

informasi dalam berbagai jenis format media baik cetak maupun yang bukan

berbentuk cetak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa literasi media digunakan sebagai

model instruksional berbasis eksplorasi yang mendorong individu

mempertanyakan secara kritis apa yang mereka lihat, dengar dan baca.

Menyediakan alat untuk menolong audiens agar dapat menganalisis secara kritis

pesan media untuk mendeteksi propaganda, sensor dan bias dalam berita dan

berbagai program yang berkaitan dengan kehidupan publik dan memahami

struktur institusi media, seperti kepemilikan media dan pendanaannya. Pada

19
definisi ini dituntut kekritisan konsumen terhadap media massa. Posisi audiens

masih ditempatkan sebagai konsumen yang harus memiliki kemampuan

mengkomunikasikan pesan yang didapat di media kepada orang lain.

Interaktivitas tanpa batasan jarak dan waktu belum tercakup dalam definisi ini.

Kemudian, definisi tujuan literasi media adalah Terinformasi;

Pemahaman kritis tetang media massa. Termasuk menguji teknis akses, teknologi

dan institusi dalam proses produksi media; Mampu menganalisis secara kritis

pesan media; Dan mengenali peran yang dimainkan audiens dalam mengartikan

pesan-pesan tersebut. Definisi terakhir ini menunjukkan bahwa literasi media

adalah sesuatu yang lebih luas dari sekedar mengkonsumsi informasi. Seorang

yang memahami media (media literate) berarti individu tersebut dapat pula

memproduksi, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai

bentuk sesuai dengan jenis media. Literasi media didefinisikan juga sebagai

kecakapan untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang responsif

terhadap perubahan bentuk pesan di dalam masyarakat. Manifestasi konkretnya

adalah kemampuan individu tidak hanya dalam hal mengumpulkan informasi,

melainkan juga memproduksinya sesuai dengan kondisi aktual dalam kehidupan

bersama. Literasi media pada tingkat lanjut ini bergerak dari mengenali dan

memahami informasi ke tahap yang lebih tinggi, selain kecakapan berpikir kritis

seperti mempertanyakan, menganalisis dan mengevaluasi informasi media, juga

kritis terhadap peran audiens (bahkan diri sendiri) dalam mengartikan atau

menggunakan pesan media. Audiens media sudah ditempatkan sebagai konsumen

sekaligus produsen dalam definisi ini, sesuai dengan karakter interaktivitas

20
internet dalam telepon pintar yang tidak terhambat jarak dan waktu. Mongontrol

diri tidak hanya dari pesan media yang menerpa, tetapi juga dari memaknai,

memproduksi atau menggunakan pesan media secara etis. Definisi ini sangat

sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.

Potter memberikan syarat kemampuan literasi media yang lengkap,

terstruktur dan padat, yang berangkat dari aspek kognitif pengguna media. Karena

itu teori ini sangat tepat bila digunakan untuk melihat faktor penyebab melek atau

tidaknya dari dalam diri manusia itu sendiri, sama seperti teori kompetensi yang

di pakai Arif dalam penelitian terdahulu. Struktur pengetahuan yang menjadi

syarat Potter untuk memenuhi kemampuan agar melek terhadap media disusun

dengan sangat rapi dan berurutan dari dalam pikiran manusia sangat cukup untuk

membaca literasi media seseorang dalam media apapun, termasuk media baru.

Akan tetapi karena itu juga teori ini menjadi sangat abstrak, tidak praktis untuk

diterapkan ataupun dipahami langsung oleh yang membacanya. Selain itu,

dibutuhkan banyak penyesuaian untuk mengintegrasikan kemampuan-

kemampuan ini dengan platform media baru, yang saat ini memungkinkan

berjenis-jenis aplikasi yang masing-masing membutuhkan kemampuan yang bisa

saja berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan pengguna media tersebut. Inti

kemampuan literasi media yang ditawarkan Livingstone masih lebih mudah

dipahami dan diterapkan langsung dengan platform media baru.

Sementara itu, pada 2009 Jenkins, Purushotma, Weigel, Clinton, &

Robinson muncul merumuskan literasi media baru dengan dua belas inti

kemampuan literasi media baru. Teori ini bersifat sangat praktis berdasarkan

21
karakter media baru. Karena media baru sangat kompleks, Jenkins et al membagi

membagi inti keterampilan literasi media menjadi dua belas: play, performance,

simulation, appropriation, multitasking, distributed cognition, collective

intelligence, judgment, transmedia navigation, networking, negotiation,

visualization. Terobosan yang dilakukan Jenkins et al dengan dua belas inti

kemampuan yang disyaratkan bersifat sangat teknis pada media baru. Contohnya

pada kemampuan pertama yaitu play, yang artinya tidak hanya pada kemampuan

mengakses, tetapi juga mengeksplorasi TIK yang dihadapi. Hal ini sangat sesuai

dengan platform telepon pintar yang dapat menampung banyak aplikasi yang

membutuhkan kemampuan masing-masing untuk menggunakannya, untuk

memenuhi kebutuhan pengguna terhadap aplikasi tersebut. Selain itu, sifat teknis

juga menyebabkan teori ini cukup praktis untuk mengukur literasi media

seseorang terhadap media baru.

Teori literasi media oleh Livingstone, Potter dan Jenkins sama-sama

mencanangkan kesadaran dalam mengakses pesan media, memilih dan mereduksi

waktu yang dihabiskan untuk mengakses semua jenis media dan menyaring

informasi untuk kebutuhan individu sehingga media selalu menimbulkan

keuntungan bagi manusia. Kemudian, ketiga teori ini juga mensyaratkan cara

pandang kritis, menganalisis dan mempertanyakan bagaimana pesan

dikonstruksikan beserta komitmen untuk otomatis selalu menerapkannya. Tetapi

ketiga teori ini juga memiliki kelemahan masing-masing seperti yang telah penulis

jelaskan sebelumnya. Karena penulis meneliti literasi media baru pada pengguna

aplikasi pesan instan Whatsapp, maka peneliti memilih teori yang paling

22
merangkul secara mendetail karakter media baru dan praktis untuk melihat literasi

media mahasiswa penyebar informasi hoax, yaitu teori literasi baru oleh Jenkins.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, teori literasi media baru

oleh Jenkins et al bersifat sangat praktis berdasarkan karakter media baru. Karena

media baru sangat kompleks, Jenkins et al membagi membagi inti keterampilan

literasi media menjadi 12: play, performance, simulation, appropriation,

multitasking, distributed cognition, collective intelligence, judgment, transmedia

navigation, networking, negotiation, visualization. Berikut penjelasan masing-

masing 12 inti kemampuan ini:

a. Play

Kemampuan play disini diartikan sebagai kemampuan menggunakan.

Menggunakan dalam artian tidak hanya sekedar mengakses, tetapi juga

mengeksplor media baru yang digunakan. Menurut Jenkins, pengguna media

baru wajib mengeksplorasi dan mengetahui seluk-beluk aplikasi media baru

yang digunakan. Hal ini akan membentuk hubungan pengguna dengan pikiran,

komunitas dan lingkungan di dalam gadget (interaksi di dalamnya) serta

menambah pengetahuan pengguna. Dengan begitu, semakin banyak kita

menggunakan media, semakin kita melek terhadapnya. Mengkonsumsi media

akan menjadi sebuah proses pembelajaran kehidupan yang membentuk struktur

pengetahuan, sebagai bentuk pemecahan masalah terhadap semua hal dalam

kehidupan yang dapat dipelajari dalam kegiatan mengkonsumsi media.

Pengguna media baru akan mengetahui fungsi, kelemahan, kelebihan, maupun

cara penggunaan media baru tersebut, yang akan menciptakan kesadaran

23
terhadap pengguna. Semakin mengenal Whatsapp melalui eksplorasi

penggunaannya, semakin melek seseorang terhadap aplikasi pesan instan

Whatsapp.

b. Simulation

Kemampuan simulation diartikan sebagai kemampuan untuk

menginterpretasikan dan menyelewengkan informasi pesan media.

Kemampuan ini dicanangkan Jenkins agar manusia dapat berdamai dengan

lautan informasi. Kemampuan ini didapatkan melalui bereksperimen,

berhipotesis, menguji dengan variabel update. Percobaan langsung seperti ini

membuat manusia lebih paham, memperkaya pengalaman dan kemungkinan

penemuan-penemuan baru, menguji teori melalui trial and error yang

dilakukan, sebagaimana para pakar menemukan dan menyimpulkan sifat dunia

virtual. Kesadaran akan pengalaman bersimulasi ini merupakan kelanjutan dari

kesadaran aktivitas bermedia yang sudah dilewati pada kemampuan play atau

menggunakan media. Semakin manusia melakukan simulasi aplikasi pesan

instan Whatsapp, semakin melek manusia terhadap lautan informasi di dalam

Whatsapp. Hal ini dikarenakan melalui trial and error yang dilakukan manusia

mendapatkan pengalaman langsung, sehingga dapat mengidentifikasi mana

yang benar dan mana yang salah seiring berjalannya waktu dan dapat

mengenali mana informasi yang sebenarnya dibutuhkan.

c. Performance

Performance merupakan kemampuan untuk bermain peran atau mengadopsi

alternatif identitas dalam tujuan improvisasi dan penjelajahan mempelajari

24
sesuatu. Sesuatu yang dimaksudkan di sini adalah pengetahuan dan

pengalaman seputar menggunakan media baru. Menurut Jenkins, dengan

menjalani peran-peran ini dapat menumbuhkan kekayaan pemahaman akan diri

manusia itu sendiri dan peran sosialnya, termasuk cara mereka terkoneksi

dengan orang-orang di lingkungan maya tersebut, sehingga membantu dan

dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Kemampuan mengadopsi beragam

identitas membuat manusia dapat memahami perspektif orang lain, peran lain,

negara lain, saat lain (konteks), interaksi sosial, posisi sosial, baik di dunia

nyata ataupun virtual. Oleh karena itu, semakin manusia menguasai

kemampuan ini, semakin melek media manusia tersebut.

d. Appropriation

Kemampuan appropriation diartikan sebagai sebuah proses di mana manusia

mengambil sebagian budaya dan menyatukannya dengan berbagai konten

media. Bentuknya dapat berupa musik, subtitle, fashion, maupun picture.

Semakin manusia menguasi kemampuan ini akan semakin melek media karena

dari proses ini manusia mempelajari dan berpikir lebih dalam tentang budaya

yang akan digunakan, etika dan implikasi legal dari mengkreasikan konten

media.

e. Multitasking

Multitasking adalah kemampuan memindai lingkungan dan mengalihkan fokus

ke detail-detail elemen pesan. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam

kemampuan ini. Pertama, atensi atau perhatian, yaitu kemampuan mengkritisi,

menyaring informasi asing dan fokus ke rincian paling detail dari lingkungan

25
informasi itu, sehingga mencegah keberlimpahan informasi dengan mengontrol

informasi yang masuk ke dalam memori jangka pendek manusia. Kedua,

memindai dan memetakan informasi ke dalam kategorinya masing-masing,

sehingga dapat mengurangi masuknya informasi ke memori jangka pendek.

Keduanya dipekerjakan oleh otak untuk memanajemen kendala memori jangka

pendek secara cerdas dengan menyaring dan memetakan pesan/informasi yang

masuk. Kemampuan multitasking meningkatkan metode memonitor dan

merespon lautan informasi yang beredar di sekitar kita. Konteks dunia yang

beralih cepat oleh hadirnya media baru melatarbelakangi kemampuan ini.

Manusia harus dapat membedakan antara mengerjakan tugas dengan

mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking).

f. Distributed cognition

Distributed cognition adalah kemampuan berinteraksi dengan penuh makna

dengan peralatan (media baru) yang memperluas kapasitas mental manusia.

Yang dimaksud dengan interaksi penuh makna disini adalah menyadari peran

masing-masing elemen dalam media baru atau dalam aplikasi pesan instan

Whatsapp misalnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kapasitas mental

adalah kapasitas menyelesaikan masalah yang terjadi dalam interaksi dalam

media baru dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Sehingga perspektif kemampuan ini adalah membawa kecerdasan terdistribusi

antara otak, badan dan dunia nyata.

26
g. Collective intelligence

Distributed cognition adalah kemampuan untuk menyatukan pengetahuan dan

membandingkan pendapat dengan orang lain menuju tujuan bersama. Dalam

media baru, seringkali terbentuk komunitas yang terjadi akibat ketertarikan

akan suatu hal. Di dalam aplikasi pesan instan Whatsapp misalnya, muncul

berbagai komunitas seperti One Day One Juz, yang bertujuan khatam Al-Quran

dengan membagi bacaan Al-Quran pada 30 orang setiap harinya. Di dalam

komunitas ini terjadi saling berbagi pengetahuan mengenai seputar hal yang

digemari. Pengetahuan komunitas seperti ini merubah sifat konsumsi media,

beralih dari bentuk media pribadi yang berpusat pada revolusi digital, menuju

media sosial/komunal yang berpusat pada budaya konvergensi media.

h. Judgment

Judgment adalah kemampuan mengevaluasi keandalan dan kredibilitas

sumber-sumber informasi yang berbeda. Meskipun informasi dibagi dari

orang-orang yang mempunyai ketertarikan yang sama (dalam komunitas

misalnya), belum tentu informasi yang beredar didalamnya kredibel. Jenkins

membandingkan Wikipedia dan Encyclopedia Britannica untuk menjelaskan

hal ini. Hasilnya menunjukkan tingkat kredibilitas yang sama. Artinya, sumber

terpercaya pun juga memiliki kemungkinan untuk cacat. Oleh karena itu

manusia harus berpikir untuk membaca semua sumber informasi dari

perspektif kritis. Manusia harus bisa membedakan yang fakta dari yang fiksi,

argumen dari dokumentasi, kebenaran dari pemalsuan dan marketing dari

pencerahan.

27
i. Transmedia navigation

Transmedia navigation adalah kemampuan untuk mengikuti aliran cerita dan

informasi antara beberapa pengandaian. Dalam era konvergensi, konsumen

menjadi pemburu dan pengumpul informasi, untuk menarik informasi dari

beberapa sumber dan membuat sintesis baru. Oleh karena itu manusia harus

mahir membaca dan menulis melalui gambar, teks, sounds dan simulasi. Cerita

transmedia yang paling dasar adalah yang diceritakan di beberapa media.

Kemampuan ini meningkatkan pembelajaran untuk memahami relasi antar

sistem media yang berbeda.

j. Networking

Networking adalah kemampuan untuk mencari, menyintesis dan menyebarkan

informasi. Dalam dunia di mana pengetahuan diproduksi secara kolektif dan

komunikasi terjadi antar media, kapasitas untuk berjejaring muncul sebagai

sebuah kemampuan sosial dan budaya. Kemampuan ini meningkatkan

kemampuan untuk berselancar antar komunitas sosial yang berbeda. Partisipasi

dalam komunitas sosial yang berskala besar menjadi investasi dalam

mengumpulkan dan mencatat data untuk pengguna lainnya. Keaktifan

partisipasi dibutuhkan dan bergantung pada etos sosial untuk berbagi

pengetahuan. Yang lainnya bergantung pada analisis otomatis perilaku kolektif

(dari faktor sosial dan psikologis).

k. Negotiation

Negotiation adalah kemampuan untuk melayari beragam komunitas,

memahami dan menghargai beragam perspektif serta berpegang dan mengikuti

28
berbagai norma di setiap komunitas. Arus komunikasi dalam media baru dapat

membuat budaya berjalan dengan mudahnya. Manusia dapat membentuk

komunitas bahkan tanpa saling mengenal sebelumnya, keberagaman budaya di

dalamnya dapat menjadi permasalahan. Sehingga manusia akan membagun

pemahaman tentang konteks keberagaman budaya yang terjadi dalam

komunitas. Konteks ini dibaca melalui prasangka dan asumsi yang sudah ada

pada masing-masing anggota (tidak semua orang dapat menerima

keberagaman). Hal ini juga beresiko menimbulkan konflik nilai dan norma.

Belum lagi permasalahan seperti munculnya grup games yang pemainnya

merupakan gay atau lesbi. Oleh karena itu manusia harus dapat bernegosiasi

untuk memahami berbagai perspektif, menghormati dan merangkul perbedaan

pandangan, memahami perbedaan norma sosial, meredakan konflik dengan

menyatukan pendapat. Dengan menguasai kemampuan ini juga manusia dapat

mengenali konten media mana yang mengabadikan stereotype (ras, kelas, etnis,

agama dan sebagainya) dan berkontribusi terhadap kesalahpahaman sehingga

manusia tersebut tidak akan melakukannya (melek media). Negosiasi dalam hal

ini ada dalam dua jalan, yaitu terhadap perbedaan perspektif dan terhadap

keberagaman komunitas.

l. Visualization

Visualization adalah kemampuan untuk membuat dan memahami representasi

visual informasi dalam tujuan mengekspresikan ide, menemukan pola-pola dan

mengidentifikasikan trend.

29
Keduabelas kemampuan ini disaring kembali berdasarkan kebutuhan

penelitian, yaitu berkaitan dengan kemampuan literasi media yang dibutuhkan

dalam berinformasi dalam aplikasi pesan instan seperti Whatsaap, di mana subjek

penelitian telah menyebarkan informasi hoax di dalam grup Whatsapp. Oleh

karena itu, hanya tujuh kemampuan literasi media yang digunakan sebagai unit

analisis dalam penelitian ini, yaitu simulation, appropriation, multitasking,

collective intelligence, judgment, negotiation dan visualization.

2. Informasi hoax

Secara singkat informasi hoax adalah informasi yang tidak benar 4. Dalam

cambridge dictionary 5 , kata hoax sendiri berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan

menipu, trik penipuan, rencana penipuan disebut dengan hoax. Kemudian, situs
6
hoaxes.org dalam konteks budaya mengarahkan pengertian hoax sebagai

aktivitas menipu: Ketika koran sengaja mencetak cerita palsu, kita menyebutnya

hoax. Kita juga menggambarkannya sebagai aksi publisitas yang menyesatkan,

ancaman bom palsu, penipuan ilmiah, penipuan bisnis, dan klaim politik palsu

sebagai hoax. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih istilah informasi

hoax sebagai salah satu konsep penelitian. Pemilihan istilah ini didasarkan pada

pengertian dasar kata hoax itu sendiri (tipuan), dan bentuknya yang berupa

informasi ketika disebarkan (sebagai objek) di Whatsapp. Dengan demikian

informasi hoax, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informasi tipuan.

4
http://www.hoaxbusters.org/hoax10.html, diakses tanggal 30 Juni 2015
5
http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax#translations, diakses tanggal 14 Maret
2016
6
http://hoaxes.org/Hoaxipedia/What_is_a_hoax, diakses tanggal 14 Maret 2016

30
Menurut David Harley dalam buku Common Hoaxes and Chain Letters

(2008), ada beberapa aturan praktis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

hoax secara umum. Pertama, informasi hoax biasanya memiliki karakteristik surat

berantai dengan menyertakan kalimat seperti "Sebarkan ini ke semua orang yang

Anda tahu, jika tidak, sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Kedua,

informasi hoax biasanya tidak menyertakan tanggal kejadian atau tidak memiliki

tanggal yang realistis atau bisa diverifikasi, misalnya "kemarin" atau "dikeluarkan

oleh..." pernyataan-pernyataan yang tidak menunjukkan sebuah kejelasan.

Kemudian yang ketiga, informasi hoax biasanya tidak memiliki tanggal

kadaluwarsa pada peringatan informasi, meskipun sebenarnya kehadiran tanggal

tersebut juga tidak akan membuktikan apa-apa, tetapi dapat menimbulkan efek

keresahan yang berkepanjangan. Keempat, tidak ada organisasi yang dapat

diidentifikasi yang dikutip sebagai sumber informasi atau menyertakan organisasi

tetapi biasanya tidak terkait dengan informasi. Siapapun bisa mengatakan: "Saya

mendengarnya dari seseorang yang bekerja di Microsoft (atau perusahaan

terkenal lainnya).

Belum banyak literatur mengenai informasi hoax yang dapat ditemui

peneliti. Harley sendiri membuat sebuah panduan untuk mengenali informasi hoax

dan email berantai dikarenakan banyaknya laporan mengenai informasi hoax dan

email berantai yang beredar, menimbulkan keresahan di masyarakat. Meskipun

sudah dikonfirmasi, usang dan tidak relevan, informasi-informasi ini terus

beredar, sehingga panduan untuk mengenali dan mengatasi hoax menjadi sangat

penting. Ciri-ciri informasi hoax dan email berantai yang dikemukakan Harley

31
sesuai dengan tiga informasi hoax yang disebarkan mahasiswa di dalam grup

Whatsapp masing-masing, yaitu memuat kalimat yang mengajak untuk

menyebarkan informasi seluas-luasnya, tidak mencantumkan tanggal dan

deadline, tidak mencantumkan sumber yang valid dan memakai nama dua

perusahaan besar. Meskipun dalam informasi yang memuat tanggal

pembuatan/penyebaran dan tanggal kadaluarsa informasi juga terkadang tidak

dapat membuktikan bahwa informasi tersebut bukan hoax, keempat ciri-ciri ini

setidaknya dapat membantu kita dalam memfokuskan lokus pemikiran kita ketika

berhadapan dengan sebuah informasi. Sehingga idealnya kita harus bersikap

skeptis terhadap setiap informasi yang ditemui sekalipun terlihat benar, lengkap,

dan sangat meyakinkan.

Situs hoaxbusters menyebutkan beberapa jenis hoax, antara lain hoax

hadiah (menyebutkan bahwa anda memenangkan sejumlah hadiah), hoax simpati

(menyebarkan informasi tentang orang yang sakit, butuh bantuan atau penculikan)

dan urband legend (menyebarkan tentang parfum merek tertentu tidak tahan lama

baunya). Harley mengatakan bahwa informasi hoax masih akan terus berkembang

seiring dengan perkembangan kemajuan jaman. Ada juga informasi yang pada

esensinya benar tetapi kegunaan dan nilainya dipertanyakan, disebut Harley

dengan semi-hoax.

Lebih lanjut Harley menyebutkan bahwa kebanyakan informasi hoax

beredar dari niat baik untuk menunjukkan perhatian atau membantu orang lain.

Tetapi ada juga informasi hoax yang dimaksudkan untuk kesenangan personal

ketika berhasil menipu orang lain. Yang penting mengenai informasi hoax adalah

32
penyebarannya ke publik, menyebar dalam jumlah yang luas. Untuk

menghadapinya, kita harus berpikir kritis (bahkan skeptis) dengan mengeluarkan

argumentasi semacam: Bill Gates tidak akan masuk ke dalam barisan orang

terkaya dengan memberikan uangnya sebagai hadiah kepada orang-orang yang

mau menyebarkan email tentang dirinya. Jika kita menyebarkan informasi tanpa

mengecek kebenarannya, Harley menilainya sebagai sebuah tindakan yang naif

sekaligus malas. Hal ini sejalan dengan konsep literasi media yang mensyaratkan

seseorang untuk berkomitmen menggunakan sudut pandang kritis dan

meluangkan waktu untuk memeriksa kebenaran informasi yang kita temui.

3. Motivasi menyebar informasi hoax

Pada awalnya terdapat dua aliran teori motivasi (Goble, 1987). Pertama,

aliran Freudianisme yang dikemukakan oleh Sigmund Freud (1900), mengatakan

bahwa sumber motivasi manusia adalah nafsu. Freud menyepakati bahwa manusia

merupakan hasil evolusi dari binatang, sehingga semua yang dilakukan manusia

berasal dari dorongan nafsu belaka, manusia cenderung melakukan hal yang

negatif. Freud memisahkan nafsu dan superego, yang hanya dimiliki oleh kaum

religius dan dinilai sangat kekanak-kanakan. Tindakan manusia lahir dari nafsu

dan superego yang disatukan oleh ego. Aliran kedua adalah Behaviorisme oleh

John B. Watson, yang dirumuskan tepat pada peralihan ke abad 19. Aliran ini

lebih sering disebut dengan mazhab kedua, mengemukakan bahwa sumber

motivasi manusia berasal dari lingkungan (luar). Watson juga berpendapat bahwa

manusia adalah binatang yang dibentuk oleh orang tua sebagai proses belajar

melalui stimulus dan respon yang diberikan pada anak hingga tingkah laku

33
membentuk sistem kebiasaan dan akhirnya menjadi kepribadian. Etika, moral dan

nilai-nilai hanyalah hasil proses belajar asosiatif. Hingga akhirnya muncul

pencerahan mazhab ketiga oleh Abraham Maslow pada 1987. Maslow

berpendapat bahwa tingkah laku manusia berasal dari dorongan atau motivasi

yang berasal dari berbagai kebutuhan yang bertingkat. Tingkah laku manusia lahir

dari perasaan, keinginan, aspirasi dan lain sebagainya yang berasal dari internal

dan eksternal (lingkungan) manusia itu sendiri. Sumber motivasi berpusat pada

diri manusia itu sendiri, tidak hanya dari nafsu saja atau lingkungan saja,

melainkan menyeluruh. Melalui teori ini, Maslow ingin membuktikan bahwa

manusia mampu melakukan sesuatu yang lebih mulia daripada perang, prasangka

dan kebencian, sebagaimana yang dicanangkan Freudianisme dan Behaviorisme

dan bahwa segala bentuk tingkah laku luhur adalah kodrat pada manusia. Teori

motivasi Maslow menyelidiki tingkah laku manusia secara totalitas, tidak

memisahkan antara dorongan, naluri dan kebutuhan, sehingga jawaban yang

didapatkan tuntas, tidak sebagian-sebagain. Oleh karena itulah peneliti memilih

teori motivasi Maslow untuk menganalisa motivasi penyebaran informasi hoax

oleh mahasiswa.

Menurut Maslow motivasi adalah dorongan pada manusia untuk

melakukan sesuatu atas dasar kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki, termasuk

dalam menyebarkan informasi hoax. Manusia dimotivasikan oleh sejumlah

kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan

berasal dari sumber genetis atau naluriah (1987, p. 70). Mengenai informasi

hoax, Harley menerangkan bahwa sebagian besar karya hoax pada awalnya

34
dibuat dari niat baik, dengan mengajak untuk menyebarkan surat/informasi

berantai yang bermanfaat (seperti mengingatkan akan masalah virus). Tentu saja,

beberapa hoax (atau semi-hoax) muncul dari kesalahpahaman atau terpisah dari

kebenaran karena menyebar lebih lanjut di Internet (sehingga tidak sesuai dengan

konteks wilayah dan waktu). Namun, banyak juga informasi hoax yang dimulai

oleh seorang individu yang menyesatkan, merasa meningkat harga dirinya setiap

kali salah satu korbannya merasa bodoh ketika menyadari bahwa mereka telah

tertipu.

Ada beberapa kebutuhan dasar manusia menurut Maslow. Pertama,

kebutuhan fisiologis, merupakan kebutuhan paling dasar, paling kuat dan paling

jelas dari antara sekalian kebutuhan manusia yaitu kebutuhannya akan makanan,

minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Kedua, kebutuhan akan rasa

aman. Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, kebutuhan akan keteraturan dan

stabilitas muncul. Jika tidak terpenuhi, maka manusia akan cemas. Kebebasan

yang ada batasnya lebih disukai daripada dibiarkan sama sekali. Kedua kebutuhan

awal ini tidak dibahas lebih jauh karena belum berkaitan dengan permasalahan

penelitian. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki dan

akan kasih sayang (kebutuhan sosial). Orang akan mendambakan hubungan penuh

kasih sayang dengan orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa

memiliki tempat di tengah kelompoknya dan dia akan berusaha keras mencapai

tujuan yang satu ini. Maslow menyukai rumusan Carl Rogers tentang cinta:

keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati. Karena

itu seseorang tentu cenderung akan mencari dan melakukan berbagai hal agar

35
dapat diterima di dalam kelompoknya sebagaimana yang dikatakan Harley.

Termasuk saling menerima dan memberi informasi.

Keempat, kebutuhan akan penghargaan. Maslow menemukan bahwa

setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yaitu harga diri

dan penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan

diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan dan

kebebasan. Penghargaan dari orang lain meliputi prestise, pengakuan,

penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan. Hal ini

menjelaskan pernyataan Harley mengenai banyaknya informasi hoax yang

dimulai dengan tujuan menyesatkan oleh orang yang merasa meningkat harga

dirinya setiap kali korbannya (penerima informasi hoax) merasa tertipu. Harga

diri pembuat hoax meningkat karena berhasil mengungguli orang lain, merasa

lebih kompeten dan kepercayaan dirinya akan meningkat. Jika kemudian ada yang

merespon, mengakui atau bahkan waspada terhadap informasi darinya, maka ini

merupakan sebuah penghargaan dari orang lain terhadap dirinya. Lebih lanjut

Maslow menyebutkan, seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih

percaya diri serta lebih mampu, maka juga lebih produktif. Maka tidak menutup

kemungkinan pembuat hoax akan semakin banyak membuat informasi hoax untuk

mendapatkan respon dan penghargaan yang sama. Begitu pula potensi yang

berlaku pada seseorang yang berniat baik menyebarkan informasi, meskipun dia

tidak mengetahui bahwa informasi tersebut hoax, akan semakin produktif

menyebarkan informasi setelah informasi yang disebarnya mendapat respon dan

atau penghargaan dari orang lain.

36
Kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri. Pemaparan tentang kebutuhan

psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan

kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, merupakan salah satu aspek

penting teorinya tentang motivasi pada manusia. Maslow menegaskannya dengan

kalimat: Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Selanjutnya,

Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki hasrat untuk tahu dan memahami.

Maslow berkeyakinan bahwa salah satu ciri mental yang sehat ialah adanya rasa

ingin tahu, alasannya di antara lain adalah: Sejarah mengisahkan banyak contoh

tentang orang-orang yang menantang bahaya besar untuk berburu pengetahuan,

misalnya Galileo dan Columbus; Hasil-hasil penelitian terhadap orang-orang yang

masak secara psikologis menunjukkan bahwa mereka itu tertarik pada hal-hal

yang penuh rahasia, yang tak dikenal dan yang tak dapat dijelaskan; Pengalaman

Maslow menangani kasus orang dewasa yang depresi dapat sembuh setelah

mengikuti saran agar menyibukkan diri dalam sesuatu kegiatan yang bernilai,

sehingga diyakini adanya kebutuhan-kebutuhan kognitif; Pemenuhan rasa ingin

tahu ternyata secara subjektif juga memuaskan.

Dalam menyebarkan informasi hoax, kebutuhan aktualisasi diri ini dapat

dipahami jika penyebar hoax bertujuan memahami atau menguji penyebaran

informasi hoax itu sendiri. Sebagaimana para peneliti literasi media menguji

dampak menonton sinetron pada remaja misalnya. Dari pengujian ini dapat

ditemukan berbagai pengetahuan seperti pola penyebaran atau respon terhadap

informasi hoax itu sendiri, sesuai dengan yang diinginkan oleh penyebar hoax itu

sendiri. Maslow mengatakan banyak orang melaporkan bahwa belajar dan

37
menemukan sesuatu menimbulkan rasa puas dan bahagia. Maslow menyimpulkan

semuanya sebagai proses pencarian makna, adanya hasrat untuk memahami,

menyusun, mengatur, menganalisis, menemukan hubungan-hubungan dan makna-

makna, membangun suatu sistem nilai-nilai.

Dari ketiga landasan teori yang telah dipaparkan, penulis merumuskan unit

analisis sebagai inti dari kegiatan penelitian:

Tabel 1.1 Unit analisis penelitian,


dirumuskan dari teori literasi media baru Jenkins (2009)
Unit
Indikator Pertanyaan
Analisis

Simulation Bisa mengenali a. Apakah mahasiswa


kredibilitas informasi mempertanyakan kebenaran
yang ditemui di informasi tersebut saat membaca
Whatsapp pesan?

b. Apakah mahasiswa memeriksa


kelengkapan informasi tersebut?

c. Apakah mahasiswa membandingkan


informasi tersebut dengan konteks
dunia nyata?

d. Apakah mahasiswa membandingkan


informasi dengan informasi dalam
tautan situs/sumber informasi yang
tertera?

e. Apakah mahasiswa membandingkan


pengetahuan yang didapat dari
informasi di Whatsapp dengan

38
pengetahuan yang sama di media
lain?

f. Apakah mahasiswa memberikan


penilaian pada akhirnya terhadap
informasi tersebut, terkait kebenaran
informasi?

Appropriation 1. Bisa menyadur a. Apakah mahasiswa meminta izin


informasi Whatsapp pada pengirim informasi saat akan
secara legal dan etis mengedit dan atau menyebarkan
2. Mampu memahami informasi?
konsekuensi penyebaran
b. Apakah mahasiswa mencantumkan
tak terbatas informasi
sumber saat menyebarkan
dalam Whatsapp
informasi?

c. Apakah mahasiswa memahami


konsekuensi penyebaran sebuah
informasi yang tidak terbatas di
Whatsapp?

Multitasking 1. Mampu memindai a. Apakah mahasiswa melakukan


pesan saat membuka pemindaian pesan informasi saat
Whatsapp membuka Whatsapp?

2. Mampu memetakan b. Apakah saat melakukan pemindaian


manfaat informasi saat mahasiswa langsung memetakan
memindai pesan manfaat pesan tersebut?

3. Mampu merespon pesan c. Apakah mahasiswa dapat merespon


Whatsapp dengan tepat pesan Whatsapp dengan tepat sambil
sambil mengerjakan mengobrol dengan orang lain?
pekerjaan lain

39
Collective Mampu menyatukan a. Apakah mahasiswa menyertakan
intelligence pengetahuan yang pengetahuan yang di dapat dari
didapat dari informasi di sumber atau media lain dalam
Whatsapp dan dari merespon pesan/informasi di grup
informasi di sumber atau Whatsapp?
media lain menuju
b. Apakah mahasiswa menyimpulkan
tujuan bersama dalam
pengetahuan-pengetahuan yang
grup Whatsapp.
didapatkan dari interaksi dalam grup
Whatsapp tersebut mengenai
sebuah informasi?

Judgment Mampu mengenali a. Apakah mahasiswa menganalisa


kredibilitas sumber keterpercayaan sumber informasi?
informasi
b. Apakah mahasiswa mencari dan
membandingkan informasi yang
sama disumber-sumber informasi
lainnya?

Negotiation 1. Mampu memahami a. Apakah mahasiswa memahami


adanya perbedaan etika, adanya perbedaan etika, nilai dan
nilai dan norma antar norma antar anggota grup
anggota grup Whatsapp Whatsapp?

2. Mampu merespon pesan b. Bagaimana mahasiswa menyikapi


dengan bijak perbedaan pendapat mengenai
sebuah pesan informasi di grup
Whatsapp?

c. Apakah mahasiswa dapat menahan


diri dari mengeluarkan kata-kata
yang dapat menyinggung/menyulut
konflik anggota lain dalam

40
merespon pesan Whatsapp?

d. Apakah mahasiswa memilih calon


penerima pesan saat akan
menyebarkan informasi di
Whatsapp?

e. Apakah mahasiswa memberitahu


ketika menemukan informasi hoax
ada di dalam grup Whatsapp?

f. Apakah mahasiswa mengkonfirmasi


setelah mengetahui bahwa informasi
yang disebarkannya adalah hoax?

Visualization Mampu a. Apakah mahasiswa mengedit/


mengedit/mengkreasikan mengkreasikan informasi yang
/membuat konten diterima atau membuat sendriri
media/informasi dan informasi sebelum disebarkan di
memahami representasi Whatsapp?
visual informasi dalam
b. Apa latar belakang atau tujuan
tujuan mengekspresikan
dikreasikannya konten
ide, menemukan pola-
media/informasi tersebut?
pola dan
mengidentifikasikan
trend

Pengetahuan Mampu menyebutkan Apakah mahasiswa dapat menjelaskan


tentang ciri-ciri informasi hoax ciri-ciri informasi hoax?
informasi hoax

41
Motivasi 1. Kebutuhan sosial a. Kenapa mahasiswa menyebarkan
menyebarkan informasi hoax?
2. Kebutuhan penghargaan
informasi hoax
b. Apakah mahasiswa menyebarkan
3. Kebutuhan aktualisasi
informasi hoax agar mendapat
diri
tempat atau diterima di grup
Whatsapp?

c. Apakah mahasiswa menyebarkan


informasi hoax agar diakui dan
dihargai kompetensinya?

d. Apakah mahasiswa menyebarkan


informasi hoax untuk memenuhi
rasa ingin tahu mengenai
penyebaran informasi hoax atau
reaksi orang terhadap informasi
hoax?

Berdasarkan unit analisis penelitian di atas, berikut penjelasan definisi

operasional dari masing-masing unit analisis:

1. Simulation

Kemampuan mengenali kredibilitas informasi yang ditemui di Whatsapp,

terbiasa memeriksa elemen pesan, membandingkan dengan konteks kekinian

di dunia nyata dan menilai pesan tersebut.

2. Appropriation

Kemampuan untuk menyadur informasi yang di dapatkan di Whatsapp secara

legal. Mahasiswa wajib memahami bahwa hukum plagiarisme juga berlaku

42
terhadap informasi di dalam Whatsapp. Termasuk juga memahami

konsekuensi dari penyebaran pesan yang tak terbatas di dalam Whatsapp.

3. Multitasking

Kemampuan merespon pesan Whatsapp sambil mengerjakan pekerjaan lain.

Mahasiswa harus memahami bahwa konteks dunia yang beralih cepat

berlaku semenjak munculnya media baru, sehingga dapat mengerjakan

beberapa pekerjaan sekaligus wajib dikuasai.

4. Collective Intelligence

Kemampuan menyatukan pengetahuan yang didapat dari Whatsapp dan

pengetahuan yang di dapat dari sumber atau media lain. Dengan demikian

mahasiswa dapat menyesuaikan diri dengan konvergensi media.

5. Judgment

Kemampuan mengenali kredibilitas sumber informasi dengan bersikap kritis

dan melakukan tindakan untuk membuktikan kredibilitas sumber berita

tersebut.

6. Negotiation

Kemampuan merespon pesan dengan bijak, memahami dan menghargai

perbedaan perspektif dan keberagaman nilai antar anggota kelompok.

7. Visualization

Kemampuan membuat dan mengkreasikan konten media untuk disebarkan di

Whatsapp.

8. Pengetahuan tentang Informasi hoax

Kemampuan mahasiswa menjelaskan ciri-ciri informasi hoax.

43
9. Motivasi menyebarkan informasi hoax

Dorongan yang menyebabkan mahasiswa menyebarkan informasi hoax,

apakah karena kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan atau kebutuhan

aktualisasi diri.

H. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivisme

yang bersifat interpretif. Dalam penelitian ini peneliti menempatkan empati dan

interaksi dialektis antara peneliti dan subjek penelitian untuk menjawab

pertanyaan penelitian, yaitu melihat literasi media baru mahasiswa pascasarjana

penyebar informasi hoax.

1. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Ada

tiga aliran fenomenologi 7 , yaitu fenomenologi klasik oleh Edmund Husserl

yang menekakan pada esensi subjek (kesadaran manusia) dan aktivitasnya 8 ,

disebut juga dengan fenomenologi transendental. Kedua, fenomenologi

persepsi oleh Alfred Schutz, menekankan pada persepsi dan interpretasi orang

atas pengalaman subjektifnya, mempertimbangkan aspek kausalitas dalam

pemberian makna oleh manusia. Ketiga, fenomenologi hermeneutik oleh

Martin Heideggers, menekankan bahwa realitas merupakan pengalaman dari

penggunaan bahasa yang berada dalam konteksnya.

7
Ninik Sri Rejeki, Fenomenologi: Metode Penelitian untuk Memahami Pengalaman dalam Mix
Methodology dalam Penelitian Komunikasi, 2011, Yogyakarta, ASPIKOM, hlm. 136-138.
8
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, 2011, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 160.

44
Penelitian ini beraliran fenomenologi klasik, di mana literasi media yang

diteliti bertujuan pada otoritas diri manusia terhadap konten media massa,

apapun bentuknya. Sehingga penelitian ini menekankan pada kesadaran

manusia dan aktivitas yang dilakukannya saat bertemu informasi di dalam

media. Tidak hanya melihat atau mengamati perilaku bermedia dan menarik

maknanya, melainkan menggali kesadaran informan penelitian dalam aktivitas

bermedia mulai dari saat bertemu informasi sampai dengan menyebarkan

informasi tersebut. Sebagai metode penelitian, fenomenologi adalah cara

membangun pemahaman tentang realitas, dilihat dari sudut pandang aktor

sosial yang mengalami peristiwa dalam kehidupannya 9. Penelitian ini melihat

pengalaman aktor sosial, yaitu mahasiswa pascasarjana UGM penyebar

informasi hoax di aplikasi pesan instan Whatsapp, terkait literasi media

barunya.

2. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui dua metode, yaitu observasi

wawancara mendalam. Pertama, metode observasi di mana periset hanya

bertindak mengamati tanpa ikut terjun melakukan aktivitas seperti yang

dilakukan kelompok yang diriset baik kehadirannya diketahui atau tidak 10 .

Observasi ini dibutuhkan periset untuk mengamati penyebaran beserta

konfirmasi jika informasi tersebut adalah hoax dan perilaku penyebaran

informasi informan penelitian. Kedua, metode wawancara mendalam, di mana

9
Ninik Sri Rejeki, Fenomenologi: Metode Penelitian untuk Memahami Pengalaman dalam Mix
Methodology dalam Penelitian Komunikasi, 2011, Yogyakarta, ASPIKOM, hlm. 139.
10
Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, 2008, Jakarta, Kencana, hlm.110.

45
peneliti melakukan kegiatan wawancara terus-menerus untuk menggali

informasi dari responden, terutama untuk memahami literasi media baru

mahasiswa pascasarjana UGM penyebar informasi hoax. Wawancara dilakukan

menggunakan jenis angket terbuka, di mana responden mempunyai kebebasan

untuk menjawab tanpa adanya alternatif jawaban yang diberikan periset.

a. Tipe data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang dikumpulkan

langsung oleh peneliti kepada responden melalui observasi grup Whatsapp

dan wawancara mendalam terhadap subjek penelitian.

b. Teknik pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara:

1) Mendokumentasikan hasil pengamatan di grup Whatsapp dan

menangkap makna perilaku menyebar informasi hoax oleh subjek

penelitian.

2) Mendokumentasikan hasil wawancara mendalam dengan membuat

transkrip hasil wawancara subjek penelitian.

3) Menyesuaikan kembali data dengan pertanyaan penelitian agar tersusun

rapi, terlihat mana data yang dibutuhkan dan tidak, serta mengurangi

jawaban yang diulang-ulang.

4) Menganulir temuan data yang tidak sesuai dengan pertanyaan penelitian.

5) Menyesuaikan jawaban pertanyaan penelitian dengan pertanyaan

penelitian yang lebih tepat, kemudian menunjukkan makna yang

melekat dalam teks, terutama makna tersembunyi yang terkandung

46
dalam teks.

c. Teknik penyajian data

Data penelitian disajikan dalam bentuk narasi agar dapat mendeskripsikan

jawaban subjek penelitian dengan runut, lengkap dan jelas, disertai dengan

kutipan-kutipan hasil wawancara agar data temuan penelitian dipaparkan

dengan objektif. Kemudian, peneliti menyarikan hasil paparan ini dalam

bentuk tabel dan atau bagan untuk memudahkan peneliti dalam

menganalisis data dan menarik kesimpulan hasil penelitian.

d. Teknik analisis data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data fenomenologi, sebagaimana yang ditulis oleh Ninik Sri Rejeki (2011, p.

143-144). Berikut tahap-tahap analisis data fenomenologi dilakukan setelah

disesuaikan dengan kebutuhan penelitian:

1) Kategorisasi sejumlah data dalam tema-tema konseptual yang telah

ditentukan peneliti, yaitu kemampuan literasi media baru, pengetahuan

mengenai informasi hoax, dan motivasi menyebar informasi oleh

Informan, berdasarkan pengalaman komunikasi yang telah dipaparkan.

2) Mendeskripsikan setiap kategori konseptual masing-masing Informan

dengan menyertakan kutipan jawaban Informan, sehingga hasil

eksplanasi benar-benar berupa potret atas realitas yang terjadi.

3) Mendeskripsikan makna konsensus atau konstruksi sosial dari deskripsi

konseptual masing-masing informan (compare and contrast)

sebelumnya kemudian menyimpulkannya.

47
4) Sinkronisasi antara temuan penelitian (kemampuan literasi media baru

Informan terkait menerima dan menyebarkan informasi hoax,

pengetahuan mengenai informasi hoax, dan motivasi menyebar

informasi hoax) dengan konsep-konsep awal (teori) penelitian.

5) Eksplanasi temuan penelitian atas realitas berbekal teori dengan

beragam perspektif (Abrar, 2005). Penggunaan beragam perspektif ini

dilakukan untuk membuka peluang kajian Ilmu Komunikasi dengan

ilmu-ilmu di bidang lain.

6) Merumuskan temuan-temuan menarik dalam penelitian.

48

Anda mungkin juga menyukai