Anda di halaman 1dari 8

Beaux Arts dan Bauhaus, Masihkah Berpengaruh pada Pendidikan

Arsitektur?

Nadia Oktiarsy, 1106001252

Some would argue that architecture is not a discipline but a set of


disciplines. --Piotrowski dan Robinson, 2001, halaman 82.

Profesi arsitek sering kali disalahartikan kebanyakan orang Indonesia sebagai


profesi prestis yang tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Tidak jarang pula yang
menganggap profesi arsitek sebagai profesi yang hanya bekerja dengan kalangan atas.
Namun pada kenyataannya, profesi arsitek justru menghadapi banyak berbagai hal baru
dimana terdapat masalah yang harus diselesaikan dalam lingkup luas yang berkaitan
dengan personal, teknis, peraturan, dan isu-isu lingkungan, namun dipertimbangkan
dengan sesuatu yang hal estetis dan kreatif (Mehran Gharaati K., 2006). Sistem studio,
yang diterapkan di design studio atau kerap diartikan studio perancangan, merupakan
salah satu strategi pendidikan arsitektur sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini
menjadikan adanya relativitas visi dan misi dari setiap pendidikan arsitektur dari waktu
ke waktu sehingga kemungkinan berubahanya trend sistem studio sangat besar.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan sistem studio yang


dianggap berpengaruh, sistem studio yang berasal dari Eropa, yaitu dari Perancis, Beaux-
Arts, dan dari Jerman, Bauhaus. Berubahnya kebutuhan dan berkembangnya teknologi
juga menjadikan arah sistem studio yang sekarang seakan-akan berbeda dari kedua sistem
studio yang pernah mempengaruhi sistem pendidikan arsitektur di dunia tersebut. Hal ini
menjadikan banyaknya pertanyaan apakah pengaruhnya dari kedua sistem studio baik
Beaux Arts dan Bauhaus pada saat ini, serta bagaimana sikap yang harus diambil apabila
sistem studio tersebut sudah tidak dianggap sesuai dengan kebutuhan.

Awal adanya perkembangan design studio yang paling berpengaruh yaitu cole
des Beaux-Arts (School of Fine Arts) dan Bauhaus. Sistem studio bisa saja menerapkan
sistem magang (apprenticeship) atau sistem kuliah (pupilage), dan pengajaran akan
membentuk sebuah kelompok (Lueth, 2008). Perbedaannya pengajaran pada Beaux-Arts
yaitu menempatkan mahasiswa di dalam sebuah studio selama duabelas jam yang diisolir
pada sebuah ruang bersekat untuk menyelesaikan tugasnya. Hal ini bertujuan agar
mahasiswa dapat meningkatkan konsentrasi, mengeluarkan semua ide untuk memecahkan
masalah, dan mengeluarkannya dalam bentuk gambar-gambar. Setelah proses tersebut
selesai, mahasiswa kembali ke studio bersama dan berdiskusi dengan kelompok yang
dibimbing oleh great master baik secara teori atau secara lapangan (Chafee, 1977).
Mahasiswa kembali lagi ke ruangannya untuk membuat jawaban dari hasil diskusi, terus
berlanjut dan berulang-ulang sampai akhirnya akan ada penilaian dari super jury yang
sudah ditunjuk oleh pembimbing, bagi mereka yang mendapatkan hasil terbaik dari juri
maka akan mendapatakan prizes dan award (www.beauxartsatelier.org/curriculum/,
diakses tanggal 31 Maret 2014).

Hal ini menjadikan sistem Beaux-Arts sebagai atelier yang berbasis magang
yang berarti mahasiswa akan tergambar langsung bagaimana situasi kerja yang akan
dihadapi. Mahasiswa juga mendapatakan pembelajaran melalui master atau instrukturnya
saja, sehingga ilmu yang dominan didapat berasal dari master tersebut (Lueth, 2008).
Kecenderungan metode ini menjadikan mahasiswa hanya mengulang apa yang sudah
diajarkan oleh masternya. Karakter yang diciptakan oleh Beaux-Arts yaitu orang-orang
yang memiliki basis pengetahuan desain yang sudah pernah ada. Pada kurikulum Beaux-
Arts, mahasiswa akan mempelajari bagaimana mengopi dari karya-karya yang sudah ada
dan kemudian dianalisa dan diterapkan pada karyanya sendiri.

a.

b.
c.

(sumber: Drexler, Arthur (ed) (1977); a. mahasiswa bekerja pada sekat-sekat


ruangannya sendiri ketika diinstruksikan untuk memecahkan masalah dan fokus pada
idenya, b. suasana pada tahun 1800-an saat diskusi kelompok, c. suasana penjurian)

Beaux-Arts hanya mengembangkan arsitektur Romawi dan Yunani, sehingga


ciri-ciri rancangan yang diterapkan pada sistem studio Beaux-Arts menurut Klein dan
Fogle (1986) diantaranya: atap datar, berornamen dan lantai satu yang tinggi, ruang
berhierarki atau bertangga, jendela dan pintu berbentuk busur, simetris, berpatung
(statuary) atau berbagai artwork lainnya yang menunjukkan identitas bangunan, berpilar
besar. Sehingga metode pembelajaran arsitektur di Beaux-Arts lebih cenderung
mengedepankan tipikal bangunan yang sama dan tidak terlalu berubah dari arsitektur
Romawi dan Yunani, masih berpengaruh sampai akhir abad 20. Misalnya pada rancangan
sekolahnya dibanding dengan Parthenon, masih terlihat adanya rancangan bangunan
dengan material dan struktur massif, kedua bangunan mempunya ciri seperti halnya yang
sudah dipaparkan oleh Klein dan Fogle.

(sumber: www.artandarchitecture.org.uk dan www.bible-history.com, diakses tanggal 31


Maret 2014)

Seiring perkembangan zaman seiring adanya revolusi industri di Inggris


menjadikan kecenderungan pendidikan arsitektur mengarah ke suatu permasalahan yang
peka terhadap lingkungannya. Metode pembelajaran Beaux-Arts dianggap hanya melihat
sisi sejarah dan seni, namun tidak berprospek kedepan. Arsitektur bukan sebagai The Art
of Building saja, tapi fungsi bangunan sudah menjadi lebih kompleks. Sehingga
diperlukan pengetahuan penunjang lain dalam perencanaan sebuah bangunan. Handinoto
dan Samuel Hartono dalam tulisannya (diunduh tanggal 31 Maret 2014). Hal ini yang
menjadikan seorang arsitek dengan gerakan barunya di zaman itu, Walter Gropius,
mendirikan Bauhaus, di Weimar, Jerman, pada tahun 1919.

Bauhaus mempunyai tujuan untuk menciptakan desainer yang terampil dalam


konstruksi dan sebagai seniman yaitu arsitek, pelukis, dan pemahat (Benovolo, 1982). Hal
ini menjadikan Bauhaus memiliki sistem kuliah pengetahuan dasar yang diajarkan di
tahun awal dan menggunakan sistem studio ketika sudah dianggap lulus dari kuliah dasar.
Mahasiswa akan diberi teori-teori sebagai pendahuluan dan pengantar dalam perancangan
selama 6 bulan, kemudian mahasiswa diharuskan masuk kedalam workshop, atau kerap
diartikan bengkel, selama 3 tahun yang dibimbing dua orang sebagai master of craft dan
master of design (Benovolo, 1982). Setelah proses-proses tersebut, mahasiswa
melakukan penjurusan seperti memilih menjadi arsitek, produk desainer, pemahat, atau
seniman lainnya.

Metode workshop ini menuntut mahasiswa untuk mengembangkan kreatifitasnya


dengan pengetahuan sifat dasar bahan bangunan yang diperlukan agar desain-desain yang
dihasilkan memiliki bentuk dan karakter baru pula karena bahan material tersebut.
Bauhaus menganggap bentuk-bentuk yang diterapkan pada arsitektur lama dapat
menghambat kreatifitas mahasiswa, institusi ini menjadi sangat kontradiktif dengan
Beaux-Arts yang rancangannya dianggap kuno, sehingga terciptalah pengaruh arsitektur
modern yang mengabaikan pelajaran sejarah arsitektur (Handinoto dan Samuel Hartono,
diunduh tanggal 31 Maret 2014).

Sistem pendidikan arsitektur di Bauhaus digambarkan melalui tiga fakultas, yaitu


arsitektur, lukis, dan pahat, yang dilambangkan melalui tiga bintang pada lambing
Bauhaus. Sedangkan sistem pendidikan arsitektur di Bauhaus digambarkan menjadi
bentuk lingkaran yang dibagi menjadi 3 tahap, dimana mahasiswa diajarkan terlebih
dahulu dasar teori dan pengantar, kemudian mempelajari teknik konstruksi dan material,
dan tahap akhir yaitu penjurusan yang dibagi menjadi dua: perancangan arsitektur atau
perencanaan kota.
Gambar 3 bintang yang menggambarkan Lingkaran kurikulum Bauhaus tahun 1937
Fakutasnya (sumber: Benovolo 198

Tingkat kekreativitasan mahasiswa Bauhaus berbeda dengan mahasiswa-


mahasiswa Beaux-Arts karena lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya yang sedang
terjadi. Namun yang menjadi evaluasi Bauhaus dalam menerapkan sebuah metode
pendidikan yaitu melupakan nilai-nilai sejarah yang pernah dilakukan sehingga rancangan
Bauhaus cenderung hanya fungsional namun belum tentu terdapat unsur seni dan
keindahan seperti halnya yang dilakukan dalam perancangan Beaux-Arts.

Dari kedua metode pembelajaran baik dari Beaux-Arts dan Bauhaus memiliki
kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Namun yang perlu dicatat adalah kondisi dan
kebutuhan setiap zaman akan berbeda sehingga perubahan trend pada kurikulum
pendidikan sudah seharusnya berubah. Hal ini menjadikan kurikulum sebaiknya dibuat
lebih fleksibel dan berguna untuk jangka panjang, bukan hanya diterapkan satu ranah
disiplin satu karakter. Kekreativitasan mahasiswa dengan berbagai latar belakang dan
bidang yang dikuasainya akan membentuk karakter yang mandiri, bukan saja berasal dari
instruktur seperti halnya di Beaux-Arts dan Bauhaus. Hal ini menjadikan kemungkinan
sistem pendidikan arsitektur dapat menciptakan disiplin baru, bukan saja menerapkan
disiplin ke dalam sebuah rancangan (Piotrowski dan Robinson, 2001).

So the question becomes how a school of architecture can train a spectrum


of architects, covering a wider range of competencies of confronting various
professional needs? The answer lies in the flexibility of the education system
to provide learners with a wide gamut of disciplines. This way, education
reveals the latent talent(s) of students and fosters their own individual
interests in architecture. Mehran Gharaati K., 2006

Resiko yang akan dihadapi apabila kurikulum yang fleksibel adalah institusi
tersebut kurang membentuk identitas lulusannya. Seperti halnya Beaux-Arts dan Bauhaus
yang memiliki identitas tersendiri, secara tidak langsung orang-orang akan memahami
karakter lulusan dari kedua sekolah tersebut. Bagi mahasiswa yang kurang peka terhadap
esensi kurikulum yang diterapkan dan penggugahan dari pihak institusi tidak
tersampaikan, yang akan terjadi adalah kemungkinan tidak tercapainya tujuan baik
institusi dan mahasiswa, kemudian mahasiswa hanya menjadi bahan eksperimen. Berarti
memang ada baiknya sistem studio yang dihadirkan suatu identitas yang setidaknya
terintegrasi pada kurikulum.

Sampai saat ini belum pasti ada metode pendidikan arsitektur yang tepat, namun
seharusnya baik dari pihak institusi dan mahasiswa dapat menyadari bahwa ada tujuan
tertentu yang disesuaikan dengan konteksnya, pada saat itu, dan di lokasi itu. Beaux-Arts
dan Bauhaus sudah memberikan kontribusinya pada dunia arsitekur terutama dalam
mencetak orang-orang dengan metodenya tersendiri. Kebudayaan dan sejarah tetap
dibutuhkan karena dari hal-hal tersebut arsitek tau esensi bagaimana usaha manusia di
masa lalu dalam berinovasi dan menjadi kreatif. Kebutuhan dan teknologi terus berubah,
sistem pendidikan arsitektur sekarang merupakan suatu hal yang berpengaruh, bukan saja
menerapkan disiplin yang sudah ada, namun mengembangkan dan menciptakan disiplin
tersebut agar profesi arsitek berguna untuk menghadapi kebutuhan yang akan datang.
Belajar dari hal tersebut, diperlukan juga pengalaman-pengalaman yang dapat diambil
contoh baiknya, dan dievaluasi kekurangannya.

Referensi:

Al-Qawasmi, Jamai, et al. 2006. Changing Trends in Architectural Design Education.


Arab Region. Center for the Study of Architecture.

Benevolo, Leonardo. 1982. History of Modern Architecture. Cambridge. Massachusetts:


MIT Press.
Chafee, Richard. 1977. The Teaching of Architecture at the cole des Beaux-Arts. New
York: Museum of Modern Art.

Drexler, Arthur. 1977. The Architecture of the Ecole Des Beaux Arts. New York: The
Museum of Modern Art.

Gharaati K., Mehran. 2006. A New View on Architectural Design Studio; Comprehensive
StudioI. Canada. McGill University: School of Architecture.

Handinoto, & Samuel Hartono. ___. Pendidikan SIstim Studio Dari Beaux-Arts ke
Bauhaus, Sampai Abad 21 di Indonesia. Surabaya. Universitas Kristen Petra:
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur. (diunduh tanggal 31
Maret 2014)

Klein, Marilyn W. & David P. Fogle.. 1986. Clues to American Architecture (edisi 3).
University of Virginia: Starrhill Press.

Lueth, Patience Lamunu Opiyo. 2008. The Architectural Design Studio as a Learning
Environment: A Qualitative Exploration of Architecture Design Student
Learning Experiences in Design Studios from First-Through-Fourth-year. Iowa
State University. Educational Leadership and Policy Studies: ProQuest.

Piotrowski, Andrzej & Julia W. Robinson. 2001. The Discipline of Architecture.


Minneapolis, MN. London: University of Minnesota Press.

Anda mungkin juga menyukai