Anda di halaman 1dari 47

BAB I

MAKSUD DAN TUJUAN

A. Maksud
Maksud dari praktikum mengenai morfologi butir kerakal ini
adalah praktikan dapat:
- Menganalisa aspek morfologi butir sampel berukuran pasir meliputi
bentuk, sphericity, dan roundness dengan pengamatan dibawah
mikroskop
- Menentukan bentuk butir dengan visual pembanding Zingg (1935)
- Menentukan nilai sphericity dengan visual pembanding Rittenhouse
(1943) dan mengkonversikan nilai tersebut pada klasifikasi sphericity
Folk (1968)
- Menentukan nilai roundness dengan visual pembanding Powers (1953)

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum mengenai morfologi butir kerakal ini
adalah praktikan dapat mengetahui agen transportasi,
mekanisme transportasi, dan jarak transportasi.
BAB II
DASAR TEORI

Menurut Pettijohn (1975), Fritz & Moore (1988), Tucker


(1991), Boggs (1987, 1992) dan yang lainnya, morfologi butir
merupakan aspek tekstur sedimen yang utama di
mana biasanya dibicarakan setelah membahas ukuran butir dan
aspek yang terkait dengannya terutama adalah sortasi sedimen
atau batuan sedimen.
Aspek morfologi butir menurut Tucker (1991) adalah
bentuk (form), derajat kebolaan (sphericity), dan derajat
kebundaran (roundness). Sedangkan Pettijohn (1975) dan Boggs
(1992) menganggap bahwa sphericity adalah metoda untuk
menyatakan suatu bentuk butir (form), sehingga aspek morfologi
luar suatu butir meliputi bentuk (form), kebundaran (roundness),
dan tekstur permukaan. Kebanyakan ahli sedimentologi
menggunakan aspek bentuk, derajat kebolaan, dan derajat
kebundaraan sebagai morfologi butiran pada pengamatan
tekstur butir secara megaskopis dan mikrospokis. Sedangkan
analisa pada tekstur permukaan butir masih jarang dilakukan.
Pengamatan tekstur permukaan butir biasanya mengacu pada
kenampakan relief mikro permukaan butir, sehingga memerlukan
peralatan khusus untuk mengamatinya. Sejauh ini, kebanyakan
tekstur butiran yang diamati adalah pada butiran kuarsa dengan
alat SEM (scanning electron microscope) untuk mengamati
karakteristik butiran kuarsa pada berbagai lingkungan
pengendapan.
A. Bentuk Butir
Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan
kenampakan partikel secara tiga dimensi yang berkaitan dengan
perbandingan antara ukuran panjang sumbu panjang, menengah
dan pendeknya (Surjono, 2011). Ada berbagai cara untuk
mendefinisikan bentuk butir. Cara yang paling sederhana
dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara menggunakan
perbandingan b/a dan c/b untuk mengelaskan butir dalam empat
bentuk yaitu oblate, prolate, bladed, dan equant (ditunjukkan
pada Gambar 2.1 dan Tabel 2.1). Dalam hal ini, a : panjang
(sumbu terpanjang), b : lebar (sumbu menengah), dan c :
tebal/tinggi (sumbu terpendek). Sejauh ini penamaan butir dalam
bahasa Indonesia belum dibakukan sehingga seringkali
penggunaan istilah asal tersebut masih dikekalkan. Pengkelasan
bentuk butir ini biasanya diperuntukkan pada butiran yang
berukuran kerakal sampai berangkal (pebble) karena kisaran
ukuran tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengukuran
secara tiga dimensi. Pengukuran bentuk butir pada bongkah
jarang dilakukan karena keterbatasan alat dan cara yang harus
dilakukan, terutama pada bongkah dengan diameter yang
mencapai puluhan sampai ratusan centimeter. Pada butir pasir
yang bisa diamati secara tiga dimensi, pendekatan secara
kualitatif bisa juga dilakukan untuk mendefinisikan bentuk butir
meskipun tingkat akurasinya rendah.
Gambar 2.1. Klasifikasi butiran pebble (kerakal-berangkal)
berdasarkan perbandingan antar sumbu.
Sumber: http://dokumen.tips/download/link/morfologi-
butir-sedimen
No.
b/a c/b Bentuk
Kelas

I > 2/3 < 2/3 Oblate (Discoidal)

Equant
II > 2/3 > 2/3
(Equiaxial/spherical)

III < 2/3 < 2/3 Bladed (Triaxial)

IV < 2/3 > 2/3 Prolate (Rod-shaped)

Tabel 2.1. Klasifikasi bentuk butir menurut Zingg (1935).

B. Sphericity
Sphericity () didefinisikan secara sederhana sebagai
ukuran bagaimana suatu butiran mendekati bentuk bola
(Surjono, 2011). Semakin butiran berbentuk menyerupai bola
maka nilai sphericity-nya semakin tinggi. Wadell (1932)
mendefinisikan sphericity yang sebenarnya (true sphericity)
sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas permukaan
sebuah bola yang keduanya mempunyai volume sama. Lewis &
McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan ini sangat sulit
untuk dipraktekkan. Sebagai pendekatan, perbandingan luas
permukaan tersebut dianggap sebanding dengan perbandingan
volume, sehingga rumus sphericity menurut Wadell (1932)
adalah :

Vp : volume butiran yang diukur


Vcs : volume terkecil suatu bola yang melingkupi partikel
tersebut
(circumscribing sphere)
Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan
tersebut dengan :

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan


intercept sphericity (I) yang dapat dihitung dengan mengukur
sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel
dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958)
menganggap bahwa intercept sphericity tidak dapat secara tepat
menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran
yang dapat diproyeksikan secara maksimum mestinya
diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya
lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan
rumus , justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka
mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal
dengan maximum projection sphericity (p) atau sphericity
proyeksi maksimum. Secara matematis p dirumuskan sebagai
perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan
proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama,
atau secara ringkas dapat ditulis dengan:

Dalam hal ini L, I, dan S adalah sumbu-sumbu panjang,


menengah dan pendek sebagaimana dalam rumus Krumbein
(1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang
diajukan oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid
dibandingkan dengan intercept sphericity, terutama kalau
diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran
gravitasi dan es.
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity
dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan
sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua
bentuk butir. Gambar 2.2 menunjukkan bahwa partikel dengan
bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai sphericity yang
sama.
Gambar 2.2. Hubungan antara sphericity matematis
dengan bentuk butir klasifikasi Zingg. Kurva
menunjukkan kesamaan nilai sphericity. (Pettijohn,
1975).
Sumber: http://dokumen.tips/download/link/morfologi-
butir-sedimen

Analisa sphericity butir pasir didasarkan pada visual


pembanding Rittenhouse (1943) dan dilanjutkan dengan
pengkonversian kepada klasifikasi Folk (1968) sebagaimana
ditunjukkan dalam tabel 2.2 sebagai berikut.
Gambar 2.3. Visual pembanding sphericity pada
kenampakan 2 dimensi (Rittenhouse, 1943)
Hitungan Matematis Kelas
< 0.75 Very Elongate
0.60-0.63 Elongate
0.63-0.66 Subelongate
0.66-0.69 Intermediete Shape
0.69-0.72 Subequent
0.72-0.75 Equent
> 0.75 Very Equent
Tabel 2.2. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968).

Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar


dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan sumber, namun
demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak
mengalami perubahan bentuk karena abrasi dan pemecahan
selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang
berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir
atau lebih kecil, bentuk butir juga lebih banyak dipengaruhi oleh
bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir
pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada
mineral kuarsa. Hal ini disebabkan sifat mineral kuarsa yang
keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah
pada batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat
perbandingan bentuk butiran setelah mengalami transportasi,
pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen
batuan (lithic) boleh juga dilakukan.
Bentuk butir akan berpengaruh pada kecepatan
pengendapan (settling velocity). Secara umum batuan yang
bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai
kecepatan pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian
bentuk butir akan mempengaruhi tingkat transportasinya pads
sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris
cenderung tertahan lebih lama pada media suspensi
dibandingkan yang spheris. Bentuk juga berpengaruh pads
transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum
butiran yang spheris dan prolate lebih mudah tertranspor
dibandingkan bentuk blade dan disc (oblate). Lebih jauh analisis
sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai
contoh, Boggs (1987) menyatakan bahwa dari pengamatan
bentuk butir saja tidak dapat digunakan untuk menafsirkan suatu
lingkungan pengendapan.
C. Roundness
Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan
dengan ketajaman pinggir dan sudut suatu partikel sedimen
klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan
roundness sebagai rata-rata aritmetik roundness masing-masing
sudut butiran pada bidang pengukuran. Roundness masing-
masing sudut diukur dengan membandingkan jari-
jari lengkungan sudut tersebut dengan jari-jari lingkaran
maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran
tersebut (Gambar 2.3).
Menurut Folk (1968), pengukuran sudut-sudut tersebut
hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs
(1987) menegaskan bahwa cara tersebut memerlukan waktu
yang banyak dan harus dibantu alat circular protractor atau
electronic particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka penentuan roundness butiran adalah dengan
membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal
atau butir pasir dengan tabel visual secara sketsa (Krumbein,
1941) dan/atau tabel visual foto (Powers, 1953). Kedua tabel
tersebut disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4 sedangkan
Tabel 3 menunjukkan kelas roundness menurut Wadell
(1932) dan korelasinya pada visual Powers (1953).
Gambar 2.3. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran
maksimum pada butiran (R) dan jari-jari lengkungan pada
sudut butiran (r). (Boggs, 1987 dalam Surjono, 2011)
Sumber: http://dokumen.tips/download/link/morfologi-butir-
sedimen

Rumusannya :

r : jari-jari lingkaran kecil,


R : jari-jari lingkaran maksimum,
N : banyaknya sudut.

Gambar 2.4. Tabel visual roundness secara sketsa.


(Krumbein, 1941 dalam Surjono, 2011)
Sumber: http://dokumen.tips/download/link/morfologi-
butir-sedimen

Gambar 2.5. Visual foto roundness butiran (Powers,


1953 dalam Surjono, 2011)
Sumber:
http://dokumen.tips/download/link/morfologi-butir-
sedimen

Interval Kelas Visual Kelas


(Waddell, (Powers, 1953)
1932)

0,12 0,17 Very angular

0,17 0,25 Angular

0,25 0,35 Subangular

0,35 0,49 Subrounded

0,49 0,70 Rounded

0,70 1,00 Well rounded

Tabel 2.3. Hubungan antara roundness Wadell (1932) dan


korelasinya pada visual roundness Powers (1953).

Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh


komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi, dan jarak
transpornya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik keras dan
resisten seperti kuarsa dan zircon lebih sulit membulat selama
proses transpor dibandingkan butiran yang kurang keras seperti
feldspar dan piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai
berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran
pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir
lebih kecil dari 0.05-0.1 mm tidak menunjukkan perubahan
roundness oleh semua jenis transpor sedimen (Boggs, 1987).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diperhatikan untuk
melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral
yang sama dan kisaran butir yang sama besar.
BAB III
ALAT DAN BAHAN

A. Alat
Alat yang diperlukan dalam praktikum kali ini yaitu:
- Plastik sampel secukupnya;
- OHP Marker;
- Tusuk gigi atau jarum pentul;
- Kalkulator;
- Kertas HVS secukupnya;
- Alat tulis lengkap.
B. Bahan
Bahan dalam praktikum ini ialah sampel pasir yang diambil
dari tiga lapangan pengamatan pada saat acara pengambilan
sampel di STA 12 yang terletak di pinggiran sungai Progo, desa
Babakan, Srandakan, Bantul.
BAB IV
LANGKAH KERJA

A. Penentuan Bentuk Butir

Mulai

Mineral kuarsa, feldspar, dan litik masing-masing dipilih 25 butir dengan ukuran mesh 60

Masing-masing mineral dan litik diamati bentuk butirnya

Dibandingkan dengan visual pembanding Zingg (1943)

Dibuat tabulasi data

Selesai

Selesai
B. Penentuan Nilai Sphericity

Mulai

Sampel pada penentuan bentuk butir digunakan lagi

Masing-masing mineral dan litik diamati nilai sphericity-nya

Dibandingkan dengan visual pembanding Rittenhouse (1943)

Dikonversikan dengan klasifikasi Folk (1968)

Dibuat tabulasi data

Selesai
C. Penentuan Nilai Roundness

Mulai

Sampel pada penentuan sphericity digunakan lagi

Sampel diamati secara visual di bawah mikroskop dengan visual Powers (1953)

Dibuat tabulasi data

Selesai
BAB V
ANALISIS DATA

A. Hasil Pengukuran dan Penentuan Bentuk Butir


1. STA 12 LP 1

Mineral
Bentuk (a) Kuarsa Feldspar Litik
f fk f fk f fk
Oblate 13 13 10 10 12 12
Prolate 2 15 5 15 4 16
Bladed 3 18 6 21 5 21
Equant 7 25 4 25 4 25
Jumlah 25 25 25
Tabel 5.1. Frekuensi kumulatif bentuk butir LP 1.

1 : Oblate
2 : Prolate
3 : Bladed
4 : Equant

Gambar 5.1. Kurva frekuensi kumulatif bentuk butir LP 1.


2. STA 12 LP 2

Mineral
Bentuk (a) Kuarsa Feldspar Litik
f fk f fk f fk
Oblate 11 11 8 8 11 11
Prolate 5 16 5 13 5 16
Bladed 3 19 6 19 5 21
Equant 6 25 6 25 4 25
Jumlah 25 25 25
Tabel 5.2. Frekuensi kumulatif bentuk butir LP 2.
Kurva Frekuensi Kumulatif
Bentuk Butir STA 12 LP 2

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

1 : Oblate
2 : Prolate
3 : Bladed
4 : Equant
Gambar 5.2. Kurva frekuensi kumulatif bentuk butir LP 2.
3. STA 12 LP 3

Mineral
Bentuk (a) Kuarsa Feldspar Litik
f fk f fk f fk
Oblate 8 8 10 10 8 8
Prolate 3 11 2 12 3 11
Bladed 7 18 8 20 10 21
Equant 7 25 5 25 4 25
Jumlah 25 25 25
Tabel 5.3. Frekuensi kumulatif bentuk butir LP 3
Kurva Frekuensi Kumulatif
Bentuk Butir STA 12 LP 3

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

1 : Oblate
2 : Prolate
3 : Bladed
4 : Equant
Gambar 5.3. Kurva frekuensi kumulatif bentuk butir LP 3
B. Penentuan Nilai Sphericity
1. STA 12 LP 1

Kuarsa Feldspar Litik


Sphericity a
f f2 fk a*f f f2 fk a*f f f2 fk a*f
0,45 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Very 0,51 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Elongate 0,53 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,55 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,59 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Elongate 0,61 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Subelongat 0,63 2 4 2 1,26 0 0 0 0 0 0 0 0
e 0,65 5 25 7 3,25 0 0 0 0 0 0 0 0
Intermediat 0,67 4 16 11 2,68 1 1 1 0,67 2 4 2 1,34
e shape 0,69 4 16 15 2,76 2 4 3 1,38 3 9 5 2,07
Subequent 0,71 3 9 18 2,13 2 4 5 1,42 2 4 7 1,42
0,73 1 1 19 0,73 2 4 7 1,46 4 16 11 2,92
Equent
0,75 0 0 19 0 5 25 12 3,75 2 4 13 1,5
Very 0,77 3 9 22 2,31 3 9 15 2,31 2 4 15 1,54
Equent 0,79 1 1 23 0,79 0 0 15 0 1 1 16 0,79
0,81 0 0 23 0 2 4 17 1,62 4 16 20 3,24
0,83 2 4 25 1,66 6 36 23 4,98 3 9 23 2,49
0,85 0 0 25 0 1 1 24 0,85 1 1 24 0,85
0,87 0 0 25 0 1 1 25 0,87 1 1 25 0,87
0,89 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,91 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,93 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,95 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,97 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
Jumlah 25 85 359 17,57 25 89 272 19,31 25 69 286 19,03
Mean 0,703 0,772 0,761
Ralat 0,065 0,067 0,055
0,638 0,767 0,706 0,839 0,706 0,816
Subelongat Subelongat
Very Equent Very Equent Intermedia Very Equent
e e
te Shape
Tabel 5.4. Frekuensi nilai sphericity LP 1
Kurva Frekuensi Kumulatif
Sphericity STA 12 LP 1

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

Gambar 5.4. Kurva frekuensi kumulatif nilai sphericity LP 1.


2. STA 12 LP 2

Kuarsa Feldspar Litik


Sphericity a
f f2 fk a*f f f2 fk a*f f f2 fk a*f
0,45 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Very 0,51 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Elongate 0,53 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,55 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,59 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Elongate 0,61 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,63 0 0 0 0 1 1 1 0,63 0 0 0 0
Subelongate
0,65 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0,65
Intermediate 0,67 1 1 1 0,67 2 4 3 1,34 2 4 3 1,34
shape 0,69 1 1 2 0,69 0 0 3 0 4 16 7 2,76
Subequent 0,71 0 0 2 0 3 9 6 2,13 4 16 11 2,84
0,73 2 4 4 1,46 2 4 8 1,46 1 1 12 0,73
Equent
0,75 3 9 7 2,25 4 16 12 3 6 36 18 4,5
Very Equent 0,77 3 9 10 2,31 3 9 15 2,31 3 9 21 2,31
0,79 0 0 10 0 1 1 16 0,79 1 1 22 0,79
0,81 4 16 14 3,24 0 0 16 0 1 1 23 0,81
0,83 8 64 22 6,64 5 25 21 4,15 0 0 23 0
0,85 2 4 24 1,7 4 16 25 3,4 0 0 23 0
0,87 0 0 24 0 0 0 25 0 1 1 24 0,87
0,89 1 1 25 0,89 0 0 25 0 0 0 24 0
0,91 0 0 25 0 0 0 25 0 1 1 25 0,91
0,93 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,95 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,97 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
Jumlah 25 109 245 19,85 25 85 277 19,21 25 87 312 18,51
Mean 0,794 0,768 0,740
Ralat 0,076 0,065 0,066
0,718 0,870 0,704 0,833 0,675 0,806
Subelongat Subelongat Intermediat
Very Equent Very Equent Very Equent
e e e
Shape
Tabel 5.5. Frekuensi kumulatif nilai sphericity LP 2
Kurva Frekuensi Kumulatif
Sphericity STA 12 LP 2

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

Gambar 5.5. Kurva frekuensi kumulatif nilai sphericity LP 2.


3. STA 12 LP 3

Kuarsa Feldspar Litik


Sphericity a
f f2 fk a*f f f2 fk a*f f f2 fk a*f
0,45 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Very 0,51 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Elongate 0,53 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,55 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0,59 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Elongate 0,61 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Subelongat 0,63 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
e 0,65 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Intermediat 0,67 0 0 0 0 2 4 2 1,34 0 0 0 0
e shape 0,69 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
Subequent 0,71 1 1 1 0,71 2 4 4 1,42 2 4 2 1,42
0,73 3 9 4 2,19 2 4 6 1,46 1 1 3 0,73
Equent
0,75 3 9 7 2,25 3 9 9 2,25 3 9 6 2,25
Very 0,77 4 16 11 3,08 8 64 17 6,16 1 1 7 0,77
Equent 0,79 1 1 12 0,79 1 1 18 0,79 2 4 9 1,58
0,81 2 4 14 1,62 0 0 18 0 3 9 12 2,43
0,83 2 4 16 1,66 3 9 21 2,49 6 36 18 4,98
0,85 4 16 20 3,4 3 9 24 2,55 4 16 22 3,4
0,87 2 4 22 1,74 0 0 24 0 1 1 23 0,87
0,89 1 1 23 0,89 1 1 25 0,89 1 1 24 0,89
0,91 2 4 25 1,82 0 0 25 0 1 1 25 0,91
0,93 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,95 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
0,97 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
Jumlah 25 69 230 20,15 25 105 270 19,35 25 83 226 20,23
Mean 0,806 0,774 0,809
Ralat 0,055 0,075 0,063
0,751 0,861 0,699 0,849
0,746 0,873
Subelongat Subelongat Intermedia
Very Equent Very Equent Very Equent
e e te
Shape
Tabel 5.6. Frekuensi kumulatif nilai sphericity LP 3
Kurva Frekuensi Kumulatif
Sphericity STA 12 LP 3

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

Gambar 5.6. Kurva frekuensi kumulatif nilai sphericity LP 3.


C. Penentuan Roundness
1. STA 12 LP 1

Kuarsa Feldspar Litik


Roundness a 2 2 2
f f fk a*f f f fk a*f f f fk a*f
V. Angular 0,15 0 0 0 0 0 0 0 0 4 16 4 0,6
Angular 0,2 1 1 1 0,2 5 25 5 1 5 25 9 1
Subangular 0,3 15 225 16 4,5 11 121 16 3,3 6 36 15 1,8
Subrounded 0,4 8 64 24 3,2 8 64 24 3,2 7 49 22 2,8
Rounded 0,6 1 1 25 0,6 1 1 25 0,6 3 9 25 1,8
V. Rounded 0,85 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
Jumlah 25 291 91 8,5 25 211 95 8,1 25 135 100 8
Mean 0,34 0,324 0,32
Ralat 0,136 0,114 0,087
Tabel 5.7. Frekuensi kumulatif roundness LP 1.
Kurva Frekuensi Kumulatif
Bentuk Butir STA 12 LP 1

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

Kurva Frekuensi Kumulatif


Roundness STA 7
Gambar 5.7. Kurva frekuensi kumulatif nilai roundness LP 1.
2. STA 12 LP 2

Kuarsa Feldspar Litik


Roundness a 2 2 2
f f fk a*f f f fk a*f f f fk a*f
V. Angular 0,15 2 4 2 0,3 2 4 2 0,3 0 0 0 0
Angular 0,2 4 16 6 0,8 4 16 6 0,8 6 36 6 1,2
Subangular 0,3 11 121 17 3,3 8 64 14 3,3 11 121 17 3,3
Subrounde
0,4 36 23 2,4 5 25 19 2,4 5 25 22 2
d 6
Rounded 0,6 2 4 25 1,2 6 36 25 1,2 1 1 23 0,6
V. Rounded 0,85 0 0 25 0 0 0 25 0 2 4 25 1,7
Jumlah 25 181 98 8 25 145 91 8 25 187 93 8,8
Mean 0,32 0,32 0,352
Ralat 0,104 0,091 0,106
Tabel 5.8. Frekuensi kumulatif roundness LP 2.
Kurva Frekuensi Kumulatif
Bentuk Butir STA 12 LP 2

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

Kurva Frekuensi Kumulatif


Roundness STA 7
Gambar 5.8. Kurva frekuensi kumulatif nilai roundness LP 2.
3. STA 12 LP 3

Kuarsa Feldspar Litik


Roundness a 2 2 2
f f fk a*f f f fk a*f f f fk a*f
V. Angular 0,15 0 0 0 0 2 4 2 0,3 2 4 2 0,3
Angular 0,2 3 9 3 0,6 3 9 5 0,6 6 36 8 1,2
Subangular 0,3 5 25 8 1,5 7 49 12 2,1 9 81 17 2,7
Subrounde
0,4 121 19 4,4 11 121 23 4,4 7 49 24 2,8
d 11
Rounded 0,6 6 36 25 3,6 2 4 25 1,2 1 1 25 0,6
V. Rounded 0,85 0 0 25 0 0 0 25 0 0 0 25 0
Jumlah 25 191 80 10,1 25 187 92 8,6 25 171 101 7,6
Mean 0,404 0,344 0,304
Ralat 0,107 0,106 0,101
Tabel 5.9. Frekuensi kumulatif roundness LP 3.
Kurva Frekuensi Kumulatif
Bentuk Butir STA 12 LP 3

Kuarsa
Feldspar
Litik
Mineral Berat

Kurva Frekuensi Kumulatif


Roundness STA 7
Gambar 5.9. Kurva frekuensi kumulatif nilai roundness LP 3.
BAB VI
ANALYSIS

A. Frequency
At location of observation 1, the amount of quartz is 13 grains, feldspar is
10 grains, and lithic is 13 grains. All of them are oblate-dominated. The sphericity
of quartz is dominated by sub elongate (0,65) as many as 5 grains, feldspar is
dominated by very equant (0,83) as many as 6 grains, and lithic is dominated by
equant-very equant as many as 4 grains. The roundness of quartz is dominated by
sub-angular as many as 15 grains, feldspar is dominated by sub-angular as many
as 11 grains, and lithic is dominated by sub-rounded as many as 7 grains.
At location of observation 2, the amount of quartz is 11 grains, feldspar is
8 grains, and lithic is 11 grains. All of them are oblate-dominated. The sphericity
of quartz is dominated by very equant (0,83) as many as 8 grains, feldspar is
dominated by very equant (0,83) as many as 5 grains, and lithic is dominated by
equant (0,65) as many as 6 grains. The roundness of quartz is dominated by sub-
angular as many as 11 grains, feldspar is dominated by sub-angular as many as 8
grains, and lithic is dominated by sub-angular as many as 11 grains.
At location of observation 3, the amount of quartz is 8 grains, feldspar is 8
grains, and lithic is 10 grains. All of them are oblate-dominated, except lithic
which is dominated by bladed.. The sphericity of quartz is dominated by very
equant (0,83) as many as 4 grains, feldspar is dominated by very equant (0,83) as
many as 8 grains, and lithic is dominated by very equant (0,83) as many as 6
grains. The roundness of quartz is dominated by sub-angular as many as 11 grains,
feldspar is dominated by sub-angular as many as 8 grains, and lithic is dominated
by sub-angular as many as 11 grains.
B. Inclination from Upstream to Downstream
The grain shape of quartz from location of observation 1 to 3 is constantly
oblate, it is likewise the feldspar. While for the lithic, it tends to change from
oblate to bladed.
The sphericity of quartz from location of observation 1 to 3 tends to
change from sub-elongate to very equant. For feldspar, it tends to constant in very
equant. While for the lithic, it tends to constant in very equant.
The roundness of quartz from location of observation 1 to 3 tends to
constant, which is sub-angular, it is likewise the feldspar. While the lithic is likely
to change from sub-rounded to sub-angular.
C. Anomaly
The anomaly is happen in roundness of lithic. Its caused by the activity of
mining of gravel in big enough scale. So that, the fine materials are mined and
cover the area of observation. Beside it, the location of sampling which is less
than ideal, caused the anomaly of the final result of lithic observation.
D. Process of Transportation
From the grains size, the process of transportation that happens in this
station (STA 12) is suspended load. It is proven by the changes thats not too
significant either on grain size, sphericity, or roundness. This transportation
process minimalizes the clash and friction between minerals and lithics. So, the
differences of grain size, sphericity, and roundness between locations are not too
significat.
E. Provenance
It is interpreted that the sedimentary materials located in Kali Progo have
been deposited in long time. These sedimentary materials came from several
volcanoes either still active or not, among others Mt. Merapi, Mt. Merbabu, Mt.
Sumbing, Mt. Sindoro, and ancient volcanoes (Mt. Menoreh, Mt. Gajah, and Mt.
Ijo).
BAB VII
CONCLUSION

1. The grain size of quartz from upstream to downsteram is


oblate-dominated, feldspar is oblate-dominated, and lithic is
oblate-dominated.
2. The sphericity of quartz from upstream to downsteram tend
to more equent, feldspar is dominated by very equent, and
lithic is not patterned.
3. The roundness of quartz from upstream to downsteram tend
to more rounded, feldspar tend to more rounded, and lithic
tend to more sub-angular.
4. The anomaly that occurs in lithic is interpreted that there is
mining activity that can disturb the process of sedimentation.
DAFTAR PUSTAKA

Boggs, S. Jr. 1992. Petrology of Sedimentary Rocks. New York:


Mac-millan Publishing Company.
Surjono, Sugeng S. 2008. Panduan Praktikum Sedimentologi.
Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi FT UGM.
Tucker M. E. 1991. Sedimentary Petrology : An Introduction to the
Origin of Sedimentary Rocks; 2nd. USA: Blackwell Scientific
Publisher.
http://dokumen.tips/documents/morfologi-butir-sedimen.html
[internet] (diakses pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul
23:28 WIB)
ATTACHMENT

Anda mungkin juga menyukai