Oleh:
Harry Firman
Abstrak
*) Tulisan in menjadi bagian dari Handbook berjudul Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
terbitan Pedagogiana Press tahun 2007 (Editor: Mohamad Ali, R. Ibrahim, Nana Syaodih
Sukmadinata, Djudju Sudjana & Waini Rasyidin).
1
A. Hakekat Kimia
2
Begitu luasnya aplikasi pengetahuan kimia, menyebabkan sisi aplikasi dari kimia
nampak lebih popular di masyarakat daripada sisi ilmu murninya. Bersamaan dengan hal
itu dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh salah guna pengetahuan dan produk
kimia juga popular di masyarakat. Sebagai contoh, pencemaran lingkungan akibat
penggunaan secara berlebih pestisida dan deterjen, salah guna bahan-bahan pengawet dan
obat-obatan, bahan peledak, dan penggunaan zat kimia beracun sebagai senjata kimia.
Potret kimia yang tampil di masyarakat seperti itu menyebabkan kimia dipandang sebagai
ilmu yang berbahaya. Padahal sesungguhnya seperti halnya disiplin ilmu lain, kimia
bersifat netral, sedangkan yang menyebabkannya beguna atau berbahaya bagi manusia dan
alam adalah orang yang menggunakannya. Kimia akan menjadi ilmu yang berguna
ditangan orang-orang yang bertanggungjawab. Sebaliknya, kimia akan menjadi berbahaya
ditangan orang yang tidak bertanggungjawab.
Kimia memiliki akar sejarah pada zaman kuno, misalnya penemuan teknik praktis
pembuatan logam dari bijih-bijihnya di Mesir dan Babilonia pada zaman kuno dan upaya
transmutasi unsur kimia oleh tokoh-tokoh alkimia pada Abad ke 15 dan 16. Kajian-kajian
teoretik para filosof alam di Yunani juga memberikan sumbangan cukup berarti pada
perkembangan kimia. Perkembangan kimia menjadi lebih pesat sejak alat-alat ukur
kuantitatif berhasil diciptakan, yang memungkinkan ahli kimia dapat melakukan
eksperimentasi-eksperimentasi yang terukur secara cermat (Marks, 1985). Hukum-hukum
dasar kimia, seperti hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap, hukum kelipatan
perbandingan merupakan hasil eksperimen para kimiawan di Eropa pada abad ke-18.
Interpretasi sub-mikroskopik terhadap hukum-hukum dasar itu melahirkan Teori Atom
Dalton yang sangat monumental, karena sejak itu kajian-kajian kimia memasuki wilayah
partikel sub-mikroskopik di samping fenomena-fenomena makroskopik yang nampak.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada saat sistem lambang (simbol) unsur diciptakan,
yang memungkinkan kimiawan merepresentasikan zat kimia dan perubahannya dengan
notasi-notasi yang disepakati, sehingga fenomena kimia menjadi lebih mudah
dikomunikasikan.
Kimiawan melakukan pengamatan terhadap aspek-aspek makroskopik zat-zat
kimia yang dikaji, merepresentasikannya dalam ungkapan-ungkapan simbolik, serta
menginterpretasikan fenomena yang diamati tersebut dalam representasi-representasi sub-
mikroskopik. Kajian dalam kimia melibatkan tiga dimensi penalaran, yakni dimensi
makroskopik (berkaitan dengan apa yang terobservasi), dimensi simbolik (lambang,
3
formula, persamaan), dan dimensi sub-mikroskopik (atom, molekul, ion, struktur molekul)
(Bucat, 1995; Johnstone, 2000). Berpikir dalam tiga dimensi tersebut merupakan tuntutan
dispilin ilmu kimia, yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain. Namun pada saat
yang sama, pekerjaan berpindah-pindah di antara tiga dimensi kimia ini acapkali
dipandang sebagai penyebab kimia sebagai disiplin ilmu yang sukar dipelajari.
Dewasa ini disiplin ilmu kimia berkembang secara pesat berkat ditemukannya
pengetahuan-pengetahuan baru sebagai hasil penelitian yang dilakukan oleh kimiawan.
Penelitian merupakan mesin perkembangan kimia. Dalam melakukan penelitian para ahli
kimia menggunakan metode ilmiah (scientific method) sebagai pendekatan dalam
memecahkan masalah, yang secara umum mencakup komponen-komponen observasi,
hipotesis, eksperimen, dan teori (Hill & Kolb, 2001; Silberberg, 2003). Observasi terhadap
fenomena alam merupakan landasan untuk berpikir secara ilmiah. Informasi yang
diperoleh dalam observasi dinamakan data, dan jika data tersebut terobservasi berulang-
ulang melahirkan fakta. Fakta-fakta ilmiah dirangkum dalam pernyataan singkat yang
dinamakan sebagai hukum ilmiah (scientific law), yang seringkali diungkapkan sebagai
formula matematis. Hukum kekekalan massa yang ditemukan Lavoisier pada tahun 1789
merupakan salah satu contoh hukum ilmiah (Marks, 1985).
Selanjutnya, gagasan-gagasan perlu dikemukakan untuk menerangkan
(memberikan eksplanasi) terhadap fakta-fakta observasi tadi. Gagasan yang diusulkan
untuk menerangkan fakta dinamakan hipotesis. Hipotesis selanjutnya mengarahkan
eksperimen untuk menguji kebenarannya. Pada sebuah eksperimen dilakukan pengukuran
efek satu variable terhadap satu variable lain, seraya variable-variabel selain variable
eksperimen yang mungkin berpengaruh dikendalikan (dibuat konstan). Agar hasil
eksperimen dapat diterima, ekperimen tersebut harus dapat diulang (reproducible), bukan
hanya oleh perancang ekseprimen itu melainkan juga orang lain. Hasil eksperimen
mengarahkan apakah suatu hipotesis dapat diterima atau ditolak. Hipotesis yang teruji
kebenarannya melalui eksperimen-eksperimen kemudian dinamakan teori, yang menjadi
karangka acuan dalam menerangkan fakta-fakta. Salah satu sifat teori yang penting adalah
tentatif, sebab di kemudian hari dapat saja dimodifikasi jika terdapat fakta-fakta lain yang
tak dapat dapat diterangkan dengan teori itu, bahkan ditolak bila banyak fakta yang
bertolak belakang dengan teori itu. Teori dalam kimia bersifat abstrak, oleh karenanya
seringkali divisualiasikan dalam bentuk model-model. Sebagai contoh, teori kinetik
molekul gas acapkali divisualisasikan dengan mengunakan bola-bola yang senantiasa
4
bergerak sebagai model, dan gerakan bola-bola tersebut bertambah cepat jika terjadi
kenaikan temperatur gas. Contoh lain, pembentukan pasangan elektron yang diperserokan
digunakan untuk memvisualisasikan bagaimana atom satu berikatan dengan atom-atom
lain dalam membentuk molekul.
Konten kimia yang berupa konsep, hukum, teori, pada dasarnya merupakan produk
dari rangkaian proses ilmiah yang dikeumukakan di atas. Oleh karena itu kimia dan juga
disiplin lain dalam ilmu pengetahuan alam seringkali dipandang terdiri atas dua elemen
dasar, yakni produk dan proses. Aspek produk dari kimia lebih tampak daripada aspek
prosesnya, karena publikasi kimia lebih mengutamakan aspek-aspek produknya. Namun,
kedua aspek kimia ini perlu dipandang sama pentignya, sebab tidak ada pengetahuan kimia
tanpa proses ilmiah yang dilakukan kimiawan.
Sekalipun jauh sebelumnya telah diajarkan di perguruan tinggi, namun baru pada
akhir abad ke-19 kimia berhasil masuk ke dalam kurikulum sekolah menengah atas di
Eropa sebagai sebuah mata pelajaran yang berdiri sendiri, dan tujuan utamanya
mempersiapkan siswa belajar kimia di perguruan tinggi (Vossen, 1986). Tradisi ini
kemudian menyebar ke seluruh negara, sehingga pada saat ini dapat kita lihat kimia
menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri pada jenjang pendidikan menengah atas.
Perlombaan iptek antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada era perang dingin tahun
1960-an telah mendorong lahirnya proyek-proyek pengembangan kurikulum mata
pelajaran ilmu pengetahuan alam, termasuk kimia di Amerika Serikat dan Inggris.
Beberapa proyek pengembangan kurikulum dalam bidang kimia yang produknya
mempengaruhi dunia, termasuk Indonesia, antara lain Chemical Bond Approach (Benfey et
al., 1964), Chemistry An Experimental Science yang dikenal sebagai CHEM Study di
Amerika Serikat (Pimentel, 1963), dan Nuffield Chemistry di Inggris, yang sifatnya lebih
akademik-teoretik, meliput spektrum yang sangat luas konsep-konsep kimia teoretik.
GBPP mata pelajaran kimia Kurikukum 1975 di Indonesia secara jelas mengadopsi CHEM
Study. Sekalipun materi kimia secara berkelanjutan mengalami reduksi seiring dengan
penyempurnaan kurikulum SMA di Indonesia, kurikulum 1984 kemudian 1994 dan
terakhir KBK, namun warna CHEM Study masih mendominasi konten dan sistematika
kurikulum yang berlaku di Indonesia.
5
Seiring dengan semakin memasyarakatnya proses dan produk kimia, fungsi mata
pelajaran kimia berkembang lebih lanjut, bukan hanya sebagai persiapan belajar di
perguruan tinggi, melainkan juga sebagai pengembangan literasi kimia. Akibatnya terjadi
pergeseran besar dalam mata pelajaran kimia ke arah pemahaman dan aplikasi konsep,
prinsip, dan proses kimia yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dunia industri
(Chia, 1997). Dalam perkembangan berikutnya, oleh karena beberapa pengetahuan dasar
kimia dipandang perlu dimiliki anak pada saat menyelesaikan wajib belajar (umumnya 9
tahun), maka sejumlah materi kimia dijadikan bagian integral dari isi mata pelajaran ilmu
pengetahuan alam pada kurikulum jenjang pendidikan dasar, khususnya mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah menengah pertama (IEA, 1996).
Dijadikannya mata pelajaran kimia sebagai bagian dari kurikulum pendidikan
menengah, menunjukkan bahwa kimia mempunyai nilai pendidikan (educational values) di
samping aplikasinya menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia. Seringkali keberadaan
kimia dalam kurikulum sekolah karena ilmu tersebut dipandang menjadi fundasi untuk
mempelajari berbagai bidang ilmu dan teknologi di perguruan tinggi. Pandangan ini yang
melandasi pemikiran pengembang kurikulum dan pengajar kimia untuk merancang materi
pelajaran sangat akademik-teoritik serta bercakupan luas karena harus meliput semua
pengetahuan dasar kimia.
Sesungguhnya keberadaan kimia dalam kurikulum sekolah menengah bukan
bertumpu pada alasan itu saja, sebab kalau dilihat persentase lulusan SMA yang
melanjutkan studi relatif sangat kecil dibandingkan dengan populasi lulusan SMA itu
sendiri. Kalau dilihat dari sudut itu saja, pelajaran kimia akan menjadi mubadzir bagi
sebagian besar peserta didik. Keberadaan kimia dalam kurikulum SMA, kecuali dipandang
sebagai ilmu dasar, juga dapat dijadikan kendaraan untuk mengembangkan kecerdasan
siswa, antara lain kemampuan bernalar dan memecahkan permasalahan secara ilmiah.
Selain itu, kimia pun diyakini mampu membentuk watak manusia sebagaimana
ditunjukkan oleh watak kimiawan pada umumnya, seperti kesabaran, ketekunan,
kecermatan, ketelitian, dan daya analisis yang kuat.
Alasan lain adalah realita bahwa manusia berada di lingkungan kimia, dalam arti
bahan kimia dan peristiwa kimia ada di lingkungan kita, baik lingkungan alami maupun
rekayasa manusia (human-made), sehingga pemahaman terhadap fenomena-fenomena itu
akan menghindari manusia dari keterasingannya terhadap lingkungan, serta dapat berbuat
6
sesuatu terhadap lingkungan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih bermanfaat
baginya.
Seiring dengan pandangan di atas, sejak awal diajarkan kepada peserta didik sekolah
menengah hingga saat ini, sekalipun isinya terkontekstualisasi pada situasi lokal dari
tempat ke tempat lainnya serta mengalami pemutakhiran sesuai perkembangan, mata
pelajaran kimia terorientasi pada misi utama sebagai berikut (Noh, T. et al., 1997; Ling,
1997; Tongwen, H. et al., 1997).
1. Pengembangan kenetraan (literasi) kimia, dalam arti penumbuhan pemahaman
terhadap pengetahuan (konsep, hukum, teori, prosedur) dasar kimia yang dapat
digunakan semua orang untuk memahami fenomena kimia yang ada di sekitarnya.
2. Memperkenalkan kimia kepada siswa sekolah menengah agar mereka memiliki fundasi
yang memadai dan tertarik untuk mempelajari kimia atau disiplin lain yang terkait di
perguruan tinggi.
3. Pengembangan kemampuan berpikir ilmiah, dalam pengertian penumbuhan
kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan cara berpikir dalam kimia,
yang mengandalkan observasi, analisis, dan eksperimentasi. Menjadi keunikan kimia
untuk berpikir dengan model, yakni menggunakan representasi molekuler untuk
menjelaskan fenomena makroskopis yang diamati.
4. Penumbuhan kesadaran tanggungjawab moral berkenaan dengan penggunaan proses
dan produk kimia. Adalah realita jika kimia di samping bermanfaat untuk manusia juga
dapat pula menimbulkan malapetaka akibat salah guna kimia. Oleh karenanya mata
pelajaran kimia dimuatani misi penumbuhan kesadaran tanggungjawab moral peserta
didik untuk mencegah dampak sosial dan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh
salah guna kimia.
Cetak biru pendidikan kimia jenjang pendidikan menengah di Indonesia sejak tahun
2006 dapat dirunut dari standar-standar nasional pendidikan, khususnya dokumen Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) Mata Pelajaran Kimia (BNSP, 2006).
Sekalipun kurikulum dikembangkan di sekolah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dalam wujud Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), acuan utama dalam pengembangannya adalah standar-
standar nasional tersebut. Dalam kaitan dengan pengembangan silabus mata pelajaran
7
kimia sebagai rencana pembelajaran, sekolah perlu merujuk pada SKL dan SI Mata
Pelajaran Kimia, dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan peserta didik, di
samping potensi dan kebutuhan lokal.
Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Kimia SMA/MA (BSNP, 2006)
memuat lima butir rumusan kompetensi lulusan berikut ini.
1. Melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah, mengajukan dan menguji
hipotesis, menentukan variabel, merancang dan merakit instrumen, mengumpulkan,
mengilah dan menafsirkan data, menarik kesimpulan, serta mengkomunikasikan hasil
percobaan secara lisan dan tertulis;
2. Memahami hukum dasar dan penerapannya, cara perhitungan dan pengukuran,
fenomena reaksi kimia yang terkait dengan kinetika, keseimbangan, kekekalan massa
dan kekekalan energi;
3. Memahami sifat berbagai larutan asam-basa, larutan koloid, larutan elektrolit dan non-
elektrolit, termasuk cara pengukuran dan kegunaannya;
4. Memahami konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia serta penerapannya dalam
fenomena pembentukan energi listrik, korosi logam, dan elektrolisis;
5. Memahami struktur molekul dan reaksi senyawa organik yang meliputi benzena dan
turunannya, lemak, karbohidrat, protein, dan polimer serta kegunaanya dalam
kehidupan sehari-hari.
Nampak bahwa SKL Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA menuntut lulusan SMA
(program IPA) untuk memiliki dua elemen kompetensi yang esensial, yakni: (1) Menguasai
sejumlah pengetahuan dasar kimia yang esensial serta aplikasinya dalam menafsirkan sifat
materi di alam dan proses industri; serta (2) Memiliki kecakapan dasar melakukan
penyelidikan ilmiah dalam bidang kimia. Elemen pertama pertama menjamin kenetraan
kimia peserta didik dan kesiapan peserta didik untuk mempelajari kimia dan disiplin ilmu
terkait kimia di perguruan tinggi. Sementara itu elemen kedua berguna untuk semua
peserta didik tetapi tanpa kecuali, baik yang akan melanjutkan pendidikan dalam bidang
kimia di perguran tinggi, maupun yang akan terjun ke masyarakat, sebab elemen
kompetensi ini tranferrable. Pada dasarnya kemampuan untuk melakukan kerja ilmiah
(penyelidikan ilmiah) dan nilai-nilai personal terkait yang dikembangkan melalui
pendidikan kimia dapat diaplikasikan ketika peserta didik memecahkan masalah dalam
8
berbagai konteks permasalahan, termasuk masalah yang dihadapinya dalam kehidupan
sehari-hari.
Untuk mengarahkan agar pembelajaran kimia di SMA/MA mampu mengembangkan
kompetensi sebagaimana tertera pada SKL mata pelajaran kimia, dikembangkan Standar
Isi (SI) Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA yang memuat informasi penting untuk
operasionalisasinya, yakni tujuan mata pelajaran, standar kompetensi (SK), serta
kompetensi dasar (KD). Dalam SI Mata Pelajaran Kimia dinyatakan bahwa tujuan mata
pelajaran kimia di SMA/MA adalah agar peserta didik memiliki kemampuan-kemampuan
sebagai berikut.
1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan
alam serta mangagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat
bekerjasama dengan orang lain.
3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau
eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang
percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran
data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis.
4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga
merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menyadari pentingya
mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan manusia.
5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan
penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
teknologi.
Secara jelas tujuan pendidikan kimia di Indonesia bukan hanya terfokus pada
penanaman pengetahuan kimia, sebagaimana masih banyak dipahami oleh banyak praktisi
pendidikan kimia saat ini, melainkan jauh lebih luas dari itu. Pendidikan kimia bertujuan
pula mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dengan metode ilmiah,
menumbuhkan sikap ilmiah, membentuk sikap positif terhadap kimia, serta memahami
dampak lingkungan dan sosial dari aplikasi kimia. Keseluruhan tujuan pendidikan kimia
perlu menjadi arah implementasi pendidikan kimia di sekolah.
SKL mata pelajaran kimia SMA/MA menjadi target pencapaian proses pendidikan
kimia selama tiga tahun. Dari keseluruhan SKL tersebut dialokasikan secara sistematis
9
standar-standar kompetensi (SK) yang pencapaiannya menjadi target-target program
pendidikan kimia pada kelas X, XI, dan XII. Rumusan-rumusan SK mata pelajaran kimia
pada masing-masing tingkatan kelas tercantum pada Kotak 1. Sistematisasi standar-standar
kompetensi dilakukan oleh pengembang kurikulum dengan memperhatikan ketepatan
materi dengan misi pendidikan dan struktur pengetahuan kimia dan. Oleh karena kelas X
merupakan program bersama, maka materi pembelajaran yang dipilih merupakan
pengetahuan yang menunjang literasi kimia peserta didik, sedangkan materi pelajaran di
kelas XI dan XII telah menjurus ke arah keperluan peserta didik yang memilih program
IPA. Disiplin ilmu kimia tersusun dalam banyak hal terstruktur, sehingga penyajian suatu
materi pokok akan efektif bila materi pokok penunjangnya telah dikuasai. Dengan
memperhatikan azas-azas penataan materi pelajaran seperti itu maka dapat dijumpai sifat
spiral atau heliks dari kurikulum, dalam arti pengetahuan fundamental sebagai materi
pelajaran kelas X dan pendalaman materi pokok yang tersebut di kelas XI dan XII. Sebagai
contoh, struktur atom dalam perspektif teori Bohr menjadi materi pokok di kelas X,
sedangkan struktur atom dalam perspektif mekanika kuantum menjadi materi pokok di
kelas XI. Selain itu, dapat dijumpai pula penempatan materi pokok yang diperlukan oleh
semua peserta didik di kelas X, sementara materi pokok yang lebih relevan untuk peserta
didik yang mengambil program pilihan IPA diposisikan sebagai materi pelajaran di kelas
XI dan XII. Dokumen Standar Isi memuat pula sejumlah kompetensi dasar (KD) sebagai
jabaran dari masing-masing standar kompetensi tersebut, baik dari aspek spesifikasi materi
pelajaran maupun kemampuan yang ditargetkan. Rumusan kompetensi-kompetensi dasar
dapat dilihat pada dokumen SI mata pelajaran kimia di SMA/MA.
10
Kotak 1: Standar-Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia di SMA/MA
Kelas X:
1. Memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia.
2. Memahami hukum-hukum dasar kimia dan penerapannya dalam
perhitungan kimia.
3. Memahami sifat-sifat larutan elektrolit dan non-elektrolit, serta reaksi
oksidasi-reduksi.
4. Memahami sifat-sifat senyawa organik atas dasar gugus fungsi dan
senyawa makromolekul.
Kelas XI:
1. Memahami struktur atom untui meramalkan sifat-sifat periodik unsur,
struktur molekul, dan sifat-sifat senyawa.
2. Memahami perubahan energi dan reaksi kimia dan cara pengukurannya.
3. Memahami kinetika reaksi, keseimbangan kimia, dan fator-faktor yang
mempengaruhinya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan
industri.
4. Memahami sifat-sifat larutan asam-basa, metode pengukuran, dan
terapannya.
5. Menjelaskan sistem dan sifat koloid serta penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Kelas XII:
1. Menjelaskan sifat-sifat koligatif larutan non-elektrolit dan elektrolit.
2. Menerapkan konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia dalam
teknologi dan kehidupan sehari-hari.
3. Memahami karakteristik unsur-unsur penting, kegunaan dan bahayanya,
serta terdapatnya di alam.
4. Memahami senyawa organik dan reaksinya, benzena dan turunannya, dan
makromolekul.
Pekerjaan mengajar kimia penuh dengan tantangan. Tantangan tersebut lahir sebagai
akibat dari berbagai perkembangan zaman yang sangat dinamis. Munculnya pemikiran-
pemikiran baru terhadap konsep-konsep dasar kimia, meluasnya produk aplikasi kimia di
masyarakat, berkembangnya teori-teori pembelajaran, tuntutan masyarakat (orang tua,
perguruan tinggi, pemerintah, dll.) menjadikan kita perlu secara berkesinambungan
mengkaji ulang tentang keyakinan (belief), pemahaman, sudut pandang, serta tradisi kita
dalam menjalankan tugas profesi guru kimia.
11
Salah satu masalah yang dihadapi sementara pengajar kimia di SMA/MA adalah
perolehan hasil belajar peserta didik yang kurang memuaskan sekalipun pendidik telah
berusaha secara maksimum untuk mengajar dengan baik. Sesungguhnya masalah seperti
ini bukan hanya ada dalam pengajaran kimia saja melainkan juga pengajaran mata
pelajaran IPA lainnya, bukan pula dialami bangsa kita saja melainkan juga hempir semua
bangsa, dan sama sekali tidak mencuat pada saat sekarang saja melainkan juga sejak waktu
lampau. Fenomena itu menjadi petunjuk akan tingginya kompleksitas persoalan
pembelajaran pada umumnya dan pembelajaran kimia pada khususnya. Di samping itu
harus diakui bahwa ilmu pendidikan kimia belum sampai pada taraf yang cukup matang
untuk dapat berperan sebagai pemandu bagi para pendidik dalam mengajarkan kimia.
Masih diperlukan pengkajian, penelitian, dan pemikiran yang melibatkan para praktisi
(guru kimia), pakar ilmu pendidikan kimia, dan pakar ilmu kimia secara bersama-sama
dalam mengembangkan alternatif-alternatif pendekatan dan strategi yang efektif dalam
mengajarkan kimia. Langkah penting yang perlu kita lakukan adalah memahami peta tali
temali permasalahan tersebut, sehingga analisis secara komprehensif dapat kita lakukan,
bahkan mungkin titik-titik cerah untuk memecahkannya secara bertahap dapat kita
antisipasi.
Dewasa ini terdapat banyak kritik terhadap proses dan hasil pembelajaran kimia di
sekolah menengah atas (termasuk madrasah aliyah). Sejumlah kritik terarah pada kegiatan
belajar mengajar yang sangat berpusat pada guru (teacher centered) sehingga pembelajaran
nampak sebagai ceramah, yang di dalamnya pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, hukum,
teori, dan prosedur) kimia ditransmisikan dari guru tanpa menstimulasi peserta didik untuk
berpikir/bernalar. Sementara itu karakter kimia sebagai experimental science tidak
tampak dalam kegiatan belajar-mengajar kimia, sebab pada umumnya sangat jarang peserta
didik distimulasi untuk melakukan observasi terhadap fenomena kimia, serta
menginterpretasikan fenomena tersebut dengan menggunakan pengetahuan teoretiknya,
apalagi merancang kegiatan eksperimen untuk memecahkan suatu permasalahan. Kritik
lain terarah pada materi pelajaran yang di samping sarat, juga sangat bersifat teoretik-
akademik, tanpa menyinggung aplikasinya untuk memahami peristiwa alam di sekitarnya
atau produk-produk teknologi yang hadir dalam kehidupan sehari-harinya. Kesan yang
diperoleh sebagian besar peserta didik adalah mata pelajaran kimia steril dari
kehidupannya sehari-hari.
12
Terdapat berbagai justifikasi klasik bagi fenomena pembelajaran kimia seperti yang
dipaparkan di muka, antara lain kurikulum yang sarat materi, miskinnya fasilitas
laboratorium, dan kalaupun ada fasilitas laboratorium, namun tidak ada tenaga laboran,
Ujian Sekolah dan SPMB yang lebih banyak menuntut kompetensi menyelesaian soal-soal
yang bersifat numerik serta menekankan elemen-elemen teoretik. Persoalan-persoalan tadi
membuat kita terperangkap di dalam suatu lingkaran setan yang tidak diketahui bagaimana
memulai era baru pembelajaran kimia, yaitu era dimana pembelajaran tidak lagi dipenuhi
dengan transmisikan pengetahuan teoretik kimia tanpa mengembangkan kecerdasasan
siswa sebagaimana yang menjadi salah satu misi utama pendidikan.
Sesungguhnya, pakar dan praktisi pendidikan kimia sangat berpengetahuan dalam
soal kondisi ideal pembelajaran kimia. Namun, yang acapkali membelenggu kita
sehingga tidak cukup kuat tekad dan upaya kita untuk melakukan tindakan nyata
mewujudkannya, adalah pengetahuan tadi belum mampu menjadi bagian dari keyakinan
(belief) kita. Oleh karenanya pengkajian-pengkajian tentang hakekat pembelajaran kimia
masih sangat diperlukan untuk menguatkan keyakinan dalam diri kita bahwa
membelajarkan peserta didik dalam mata pelajaran kimia secara aktif dan menstimulasi
kemampuan observasi, bernalar serta kreativitas, sebagaimana menjadi misi utama
pendidikan untuk mencerdaskan generasi muda.
Hingga saat ini belum ada teori yang secara komprehensif dapat menjelaskan
keberhasilan mengajar kimia. Namun demikian penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjuk adanya sejumlah faktor yang berpengaruh pada keberhasilan belajar peserta
didik, baik yang terkait pada individu peserta didik, guru, lingkungan, serta proses
pembelajaran (Cruickshank, 1990). Seberapa jauh masing-masing faktor berkontribusi
pada keberhasilan peserta didik belajar belum diketahui secara pasti. Penelitian-penelitian
yang dilakukan masih terlalu sedikit sehingga hasilnya belum konklusif. Di samping itu
pengaruh faktor-faktor tadi tidak linear, terkait satu sama lain, sehingga sulit untuk
memprediksi faktor-faktor mana yang secara umum lebih dominan, dan kekuatan pengaruh
faktor-faktor tersebut tampak unik untuk setiap individu peserta didik.
Keberhasilan belajar peserta didik bertalian dengan efektivitas pembelajaran.
Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang di dalamnya pendidik secara
optimum berperan sebagai fasilitator belajar yang menyediakan kondisi-kondisi fisik dan
13
psikologis yang memungkinkan peserta didik meraih kompetensi-kompetensi yang
ditargetkan dalam kurikulum. Proses pembelajaran dapat ditingkatkan efektivitasnya
melalui upaya kerjasama sinergis guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran
(Firman, 1999), sebagaimana diperlihatkan dalam sebuah model yang tertera pada Kotak 2.
MENGAJAR BELAJAR
Organisasi Strategi/taktik belajar
Sistematika
Kapasitas belajar
Pengetahuan Contoh Pengetahuan Peserta
M i n a t
Ilmiah Ilustrasi yang tercerna didik
Analogi Motivasi
Guru Menciptakan
Transformasi kondisi psikologis
Pengetahuan yang kondusif
untuk belajar
Fasilitator Belajar
14
penguatan (reinforcement) terhadap perilaku positif dan hukuman yang edukatif terhadap
perilaku negatif. Proses belajar difasilitasi juga oleh adanya minat belajar peserta didik.
Minat belajar dapat dibangkitkan melalui upaya guru untuk menggunakan variasi dalam
metode (mengatakan, menunjukkan, bertanya), variasi dalam kegiatan (mendengarkan,
mengatakan, menghitung, berdiskusi, mengamati), variasi dalam penggunaan media dan
teaching materials (OHP, model, lembar kerja).
Ketercernaan (accessibility) pengetahuan yang diajarkan menjadi unsur penting
dalam upaya memfasiltasi belajar. Ketika seorang guru mengajar ia perlu
mentransformasikan pengetahuan yang menjadi materi pelajaran ke dalam bentuk tertentu
yang mudah dimengerti sehingga tercerna. Transformasi dapat dilakukan melalui berbagai
upaya, antara lain menstrukturisasi materi pembelajaran secara baik, memperbanyak
ilustrasi visual, contoh-contoh aplikasi pengetahuan kimia, dan strategi-strategi lainnya
yang menjadikan pengetahuan kimia yang diajarkan mudah terkonstruksi dalam pikiran
peserta didik.
Ada lima prasyarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pembelajaran kimia, agar
pembelajarn kimia itu menarik, mudah dicerna, serta bermanfaat bagi siswa. Masing-
masing adalah sebagai berikut.
Pemahaman terhadap pengetahuan kimia (fakta, konsep, hukum, teori, dan prosedur)
merupakan fundasi untuk memahami gejala alam dan mempelajari pengetahuan kimia
yang lebih advance di perguruan tinggi, apabila peserta didik melanjutkan studi dalam
bidang kimia atau bidang lain berbasis kimia. Persoalan besar yang menyebabkan kimia
sulit dipelajari adalah: (1) Karakter pengetahuannya yang abstrak (karena membicarakan
entitas yang miroskopis, seperti atom, molekul, ikatan, dan struktur); (2) Berbicara dengan
simbol-simbol (persamaan reaksi, notasi-notasi, formula); serta (3) Senantiasa meminta
poeserta didik untuk melakukan perpindahan domain berpikir, dari pengamatan terhadap
fenomena makroskopis (perubahan-perubahan yang teramati), tetapi menafsirkan
fenomena-fenomena makroskopis tersebut dengan teori-teori yang abstrak (sub-
mikroskopis), dan merepresentasikan fenomena itu secara simbolik.
Dalam kaitan ini upaya-upaya guru untuk memvisualisasikan penjelasan teoritik
terhadap perubahan kimia akan mengkongkritkan fenomena yang dipelajari, sehingga lebih
15
masuk akal peserta didik, akan sangat memfasilitasi mereka belajar. Pada dasarnya
seorang guru tidak dapat mentransfer pengetahuannya ke pada peserta didik dengan
harapan mereka dapat menyerap pengetahuan tersebut. Yang guru dapat lakukan adalah
memfasilitasi peserta didik belajar dengan memberikan kondisi-kondisi yang memudahkan
siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam pikirannya. Untuk memfasilitasi peserta didik
belajar kimia, guru perlu memperlihatkan peristiwa kimia secara nyata (melalui
demonstrasi atau kegiatan lab), mengajak peserta didik menginterpretasikan peristiwa yang
teramatinya dengan konsep/teori, serta mengajak mereka menuliskannya dalam bentuk
persamaan reaksi (simbol).
16
strategi untuk memecahkan masalah, bukan sekedar meniru solusi-solusi yang
diperlihatkan guru.
Tidak ada artinya pengetahuan seseorang apabila tidak dapat diaplikasikan pada
kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dalam kaitannya dengan kimia, dewasa ini
kehidupan sehari-hari (daily life) peserta didik dipenuhi dengan pemanfaatan proses dan
bahan-bahan kimia (pembersih, obat-obatan, pembasmi hama, dan sebagainya), yang
apabila digunakan secara berlebihan (tanpa kendali) akan merusak tubuh pengguna dan
pencemaran lingkungan. Pembelajaran kimia perlu menyentuh dampak-dampak sosial dan
lingkungan dari bahan kimia, di samping manfaat-manfaat yang diberikannya, agar peserta
didik kelak mampu menjadi manusia dewasa yang penuh kearifan dalam memperlakukan
bahan kimia.
4) Pembelajaran kimia harus mampu memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis peserta
didik.
Minat dan keantusiasan peserta didik terhadap mata pelajaran kimia akan timbul jika
pembelajaran kimia mampu memenuhi kebutuhan (needs) pribadi peserta didik. Motivasi
belajar akan tumbuh apabila proses pembelajaran kimia mampu memenuhi dorongan fisik
dan psikologis peserta didik. Pada dasarnya peserta didik di SMA/MA mempunyai
kebutuhan akan keaktifan alih-alih pasif. Agar disenangi peserta didik, pembelajaran
kimia perlu mengaktifkan mereka, baik secara fisik (kegiatan lab yang menggunakan
keterampilan motorik), maupun secara psikologis (berpikir, menghadapi tantangan &
pertanyaan). Di samping itu peserta didik, yang juga merupakan mahluk sosial,
mempunyai dorongan untuk berinteraksi dengan teman sejawat (peer) mereka, sehingga
kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam kelompok (cooperative/collaborative learning)
akan menumbuhkan kesenangan belajar kimia.
5) Pembelajaran kimia harus mampu mencerahkan peserta didik tentang karir masa
depan yang terkait kimia.
17
Peserta didik di SMA/MA berada di persimpangan jalan untuk memilih karir masa
depannya. Seringkali pendidikan tidak memberikan kejelasan bagi peserta didik tentang
hal-ihwal mengenai profesi-profesi yang dapat dimasukinya ke depan. Dalam kaitan itu
pembelajaran kimia perlu juga menyentuh bidang-bidang profesi yang dapat dimasuki
dengan bekal pengetahuan kimia, seperti kimia, pertanian, farmasi, teknologi makanan,
teknologi material, bioteknologi, metalurgi, teknologi kimia industri, dll. Peserta didik
perlu memperoleh pencerahan tentang apa yang dikerjakan para profesional dalam tiap-tiap
bidang masing-masing, serta dimana peranan pengetahuan dasar kimia dalam membentuk
profesionalitas para ahli tersebut. Pembelajaran kimia yang berhasil mencerahkan karir
masa depan akan dapat mendorong motivasi belajar peserta didik dalam mata pelajaran
kimia.
Apa yang harus kita lakukan prakteknya di dalam kelas untuk menciptakan
pembelajaran kimia yang efektif sebagaimana dipaparkan pada butir E di atas? Tentu perlu
upaya pengubahan pola pembelajaran kimia di kelas kita, dan paparan pada butir E
diharapkan menimbulkan inspirasi bagi guru untuk merancang pembelajaran yang akan
dilakukan. Namun demikian tentu perubahan yang drastis umumnya sangat sulit dilakukan.
Kebiasaan-kebiasaan kita yang telah mentradisi serta keyakinan-keyakinan yang telah
matap dalam benak kita, menghambat fleksibilitas dan daya inovasi kita. Transisi dari
tradisi lama ke tradisi baru meminta waktu, karena memang diperlukan waktu untuk
terbentuknya pemahaman baru dan keyakinan baru. Sedikit demi sedikit diharapkan terjadi
pergeseran (shifting) dari paradigma pembelajaran lama ke paradigma pembelajaran baru
(Firman, 2000), sebagaimana dipaparkan lebih jauh di bawah ini.
Memori kerja (working memory) otak siswa sangat terbatas. Di samping itu potongan-
potongan pengetahuan yang terlepas-lepas dan tidak dipahami makna fisiknya sulit untuk
diakses kembali. Oleh karenanya menyuruh peserta didik mengingat banyak hal adalah sia-
sia saja, karena mereka tidak dapat menggunakannya. Beberapa potongan pengetahuan
memang setelah dipahami maknanya ada yang perlu diingat, tetapi hal seperti itu tidak
banyak, hanya menyangkut sejumlah materi sentral.
18
Yang lebih penting adalah melalui pembelajaran kimia kita menstimulasi
pengembangan kemampuan berpikir, mengaitkan konsep-konsep yang nampak terpecah-
pecah menjadi kesatuan hubungan yang bermakna, mengajukan pertanyaan kritis terhadap
fenomena kimia yang diobservasinya, memecahkan masalah-masalah kimia yang menuntut
peserta didik mengidentifikasi permasalahan, memilih konsep dan prinsip yang dapat
dipakai untuk memecahkan permasalahan itu, menata sistematika prosedur pemecahan
masalah, serta mencari data dan informasi pendukung yang diperlukan.
2) Pergeseran dari menyampaikan secara verbal seluruh materi pelajaran ke arah yang
lebih menekankan materi kunci (sentral)
19
3) Pergeseran dari pembelajaran berbasis kontent ke arah keseimbangan antara kontent
dan proses.
Penelitian menunjukan bahwa pelajaran menjadi kurang menarik bagi peserta didik
apabila materi pelajaran steril dari aplikasinya dalam kehidupan nyata. Oleh karenannya
ketika kita memulai mengajarkan suatu materi pokok, kita perlu terlebih dahulu
memperkenalkan secara permukaan aplikasi dari apa yang akan dipelajari mereka.
Selanjutnya pada fase akhir pembelajaran sangat penting untuk membuka wawasan peserta
didik tentang aplikasi atau keterkaitan pengetahuan yang baru saja dipelajarinya dengan
fenomena nyata dalam kehidupan sehari-hari (Firman, 2001). Sebagai contoh, setelah
mempelajari reaksi redoks ada baiknya kelas mendiskusikan bagaimana bahan pemutih
bekerja pada pakaian kita. Contoh lain adalah setelah peserta didik mempelajari ikatan
20
hidrogen, selayaknya mereka diajak untuk memberikan menjelaskan ilmiah terhadap
fenomena es terapung dalam air.
Sudah lama kita terbelenggu oleh pandangan bahwa guru merupakan satu-satunya
sumber ilmu pengetahuan, dan dalam proses pembelajaran pengetahuan tersebut dapat
ditransfer kepada peserta didik melalui penjelasan guru, bagaikan mengalirkan air dari
poci ke gelas kosong, dan peserta didik diharapkan dapat menyerap segala apa yang
disampaikan guru. Pandangan ini tidak relevan lagi saat ini. Pada era informasi global yang
telah kita masuki, begitu banyak sumber informasi yang dapat diakses peserta didik dari
sumber-sumber tercetak dan elektronik, misalnya buku-buku, surat kabar dan majalah,
tayangan TV, CD-ROM, serta informasi dalam berbagai situs internet.
Dalam perkembangan dunia saat ini guru di negara maju telah menggeser posisi dan
perannya, dari sumber pengetahuan menjadi fasilitator belajar. Hal ini bukan berarti guru
menjadi kehilangan posisi, tetapi mengokohkan diri sebagai individu yang diperlukan
untuk membelajarkan peserta didik bagaimana cara belajar (learning how to learn). Tugas
penting guru yang tidak dapat disubstitusikan adalah mengembangkan kemampuan peserta
didik menggunakan sumber-sumber belajar tadi dalam memahami sesuatu fenomena alam,
serta memecahkan masalah yang dihadapi dengan menafaatkan aneka sumber informasi
yang tersedia.
Perkembangan zaman menuntut pergeseran paradigma pembelajaran dari asalnya
yang didominasi guru (teacher centered) ke arah yang lebih dipenuhi dengan aktivitas fisik
dan berpikir siswa (learner centered). Dalam kaitan itu guru yang berfungsi sebagai
fasilitator belajar bagi peserta didiknya perlu menjadi perancang dan pengelola kegiatan
pembelajaran yang mengaktifkan siswa, serta menjadi konsultan bagi peserta didik
manakala mereka menghadapi kendala dalam belajarnya.
6) Pergeseran dari penyajian secara steril ke arah keterkaitan pada isu sosial dan
lingkungan
Salah guna (misuse) proses dan produk kimia karena ketidaktahuan (ignorance) atau
karena lemahnya moral telah menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan di
masyarakat. Tinjaulah kasus import sampah bahan-bahan berbahaya, penggunaan
21
bahan-bahan kimia terlarang untuk pewarna makanan, obat-obatan, pendingin ruangan,
dan sebagainya, penggunaan produk industri kimia berlebihan (BBM, pembersih, pemutih,
insektisida), jelas-jelas menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan, baik secara lokal
maupun global.
Seiring dengan kemunculan isu sosial dan lingkungan sebagai dampak perkembangan
aplikasi kimia, maka menjadi tanggungjawab moral guru mata pelajaran kimia untuk lebih
menggukan kendaraan materi pelajaran kimia untuk menciptakan kenetraan (literasi)
peserta didik tentang dampak-dampak tersebut. Misalnya, setelah peserta didik belajar
tentang struktur molekul metana serta senyawa turunanannya, momentum ini sangat tepat
untuk dijadikan bahan diskusi tentang keberadaan freon, mengapa dulu dipakai, apa
dampaknya terhadap lingkungan sehingga kini dilarang, serta akibat-akibat lebih jauh
apabila manusia melanggar larangan itu.
22
Kotak 3: Ranah-Ranah Penelitian Pendidikan Kimia
Analisis
Remediasi
konsepi/
miskonsepsi
miskonsepsi
Diagnosis
Analisis pemecahan
pembelajaran masalah
Ranah Penelitian
Pendidikan
Kimia
Pengembangan & Pengembangan &
uji coba inovasi validasi alat
penilaian
Korelat-
korelat hasil
belajar kimia
23
dihadapi, apalagi pada saat prinsip belajar tuntas (mastery learning) perlu dilakukan dalam
tugas profesional mereka seperti saat kini.
24
khususnya yang menyangkut materi pembelajaran yang sesuai. Dalam penelitian pada
konteks ini dikembangkan suatu program pembelajaran dengan menerapkan teori, prinsip,
pendekatan, teknik yang dirujuk, misalnya konstruktivisme, pedagogi materi subyek, CTL
(contextual teaching-learning), SETS (science, environment, technology, society),
multimedia, dll.) kemudian mengimplementasikannya dalam kelas oleh pendidik atau
peneliti. Penelitian semacam ini umumnya dilakukan secara penelitian tindakan kelas
(classroom action research) secara kolaboratif antara peneliti dan pendidik di sekolah.
Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian dalam ranah ini memperkaya pilihan model,
strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang telah teruji efektivitasnya
dalam konteks ujicobanya, sehingga pendidik dapat menggunakannya dalam konteks
kelasnya masing-masing.
6) Korelat-korelat hasil belajar kimia. Hingga saat ini pengetahuan tentang faktor-faktor
determinan keberhasilan belajar kimia belum konklusif karena kurangnya penelitian yang
dilakukan dalam rahan ini. Akibatnya tidak tersedia rujukan yang dapat dipegang oleh para
praktisi pendidikan kimia di lapangan dalam merencanakan pembelajaran. Sesungguhnya
teori Gagne mengungkapkan pentingnya struktur dalam pengembangan suatu kemampuan,
sehingga asaz keprasayatan untuk keberberhasilan belajar suatu materi pokok kimia.
Pengetahuan dan kemampuan psikologis yang merupakan korelat-korelat dari hasil belajar
setiap materi pokok kimia perlu diungkap melalui studi-studi korelasional. Pengetahuan
tentang korelat-korelat hasil belajar kimia ini akan sangat berguna bagi pendidik dalam
merencanakan pembelajaran kimia yang efektif.
25
7) Pengembangan dan validasi alat penilaian kompetensi. Praktek penilaian kompetensi
berbeda dari sekedar penilaian pemahaman konsep. Ketiadaan alat penilaian kompetensi
akan menyebabkan hasil belajar yang dievaluasi hanyalah terbatas pada salah satu aspek
dari kompetensi saja yang mudah dinilai. Di sisi lain ketiadaan alat uji kompetensi yang
dapat dijadikan model dalam mengembangkan soal ujian akhir semester, atau bahkan ujian
sekolah dan ujian nasional, akan menyebabkan praktek pembelajaran kembali ke cara-cara
lama yang menekankan memorisasi pengetahuan (test driven instruction). Kegagalan
dalam proyek-proyek adopsi pendekatan inkuari, pembelajaran aktif, keterampilan proses
di masa lalu bertalian dengan ketiadaan alat asesmen yang relevan. Oleh karenanya model-
model prosedur dan alat penilaian kompetensi, baik dalam format tes atau format penilaian
alternatif, perlu digagas, dikembangkan dan divalidasi melalui penelitian.
Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar isi mata pelajaran kimia SMA/MA.
Jakarta: BNSP.
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Panduan penyusunan kurikulum tingkat
satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: BNSP.
Benfey, O. T. et al. (1964). Chemical system. St Louis: McGraw-Hill Book.
Bowen, C. W. (1994). What is research in chemistry education. Journal of chemical
education, 71(3), 184-190.
Bucat, B. & Fensham, P. (Eds.) (1995). Selected papers on chemical education research:
Implications for the teaching of chemistry. Delhi: The IUPAC committee on teaching
of chemistry.
Chia, L. H. (1997). Chemical Education in Singapore. Dalam Y. Takeuchi & M. M. Ito
(Eds.), Chemical education in Asia-Pacific. Tokyo: The Chemical Society of Japan.
Cruickshank, D. R. (1990). Research that informs teachers and teacher educator.
Bloomington: Phi Delta Kappa.
De Jong, O., Schmidt, H., Burger, M. & Eybe, H. (1999). Empirical research into chemical
education: The motivation, research domains, methods and infrastructure of a
maturing scientific discipline. [Online] Tersedia: http://www.euchems.org/binaries/
[10 Feb 2006]
Firman, H. (1999) Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mengajar kimia di
Sekolah Menengah umum. Makalah seminar pengajaran kimia di Sony Sugema
Colllege (SSC), 14 maret 1999.
Firman, H. (2000). Beberapa pokok pikiran tentang pembelajaran kimia di SLTA. Makalah
diskusi guru mata pelajaran kimia Madrasah Aliyah se Jawa barat di Balai
Penataran Guru Bandung, 4 November 2000.
26
Firman, H. (2001). Kimia Aplikatif: Seberapa Jauh perlu tercakup dalam GBPP Mata
Pelajaran Kimia Sekolah Menengah Umum? Makalah Seminar Pendidikan Kimia
dalam rangka Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Kimia FPMIPA Universitas
Pendidikan Indonesia, 1 Juli 2001.
Gabel, D. L. (Ed.) (1994). Handbook of research on science teaching and learning. New
York: Macmillan.
Hill, J. W. & Kolb, D. K. (2001). Chemistry for changing times. Upper Saddle (NJ):
Prentice-Hall).
International Asociation for the Educational Achievement (IEA) (1996). Science
achievement in the middle school years: IEAs third international mthematics and
science sudy (TIMSS). Chesnut Hill (MA): TIMMS Inernational Study Center.
Johnstone, A. H. (2000). Chemical education research: Where from here. [Online]
Tersedia: http://www.rsc.org/pdf.nchemed/papers/2000/ [8 Oktober 2005].
Ling, L. M. (1997). Chemical Education in Hongkong. Dalam Y. Takeuchi & M. M. Ito
(Eds.), Chemical education in Asia-Pacific. Tokyo: The Chemical Society of Japan.
Marks, J. (1985). Science and the mking of the modern world. London: Heinemann
Educational Books.
Noh, T., Han, I., Woo, K. W. & Kang, S. (1997). Chemical education in Korea. Dalam Y.
Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical education in Asia-Pacific. Tokyo: The
Chemical Society of Japan.
Pimentel, G. C. (Ed) (1963). Chemistry: An experimental science. San Fransisco (CA): W.
H. Freeman.
Random House (2004). Concise dictionary of science & computers. New York: Helicon
Publishing, 2004.
Silberberg, M. S. (2003). Chemistry: The molecular nature of matter and change. New
York: McGraw-Hill.
Siregar, N. (1998). Penelitian kelas: Teori, methodology & analisis. Bandung: IKIP
Bandung Press.
Stavy, R. (1995). Conceptual Development of Basic Ideas in Chemistry. Dalam Shawn M.
Glynn & Reinders Duit (Eds), Learning science in the schools: Research reforming
practice. Mahwah (NJ): Lawrence Erlbaum Associates.
Vossen, H. (1979). Kopendium didaktik kimia. Alih Bahasa: Soeparmo. Bandung CV
Remadja Karya.
Tongwen, H., Wending, L., Yongxing, W., Zufu, C., Jiaxun, H., Jianru, Z., Meiling, H. &
Yue, W. (1997). Dalam Y. Takeuchi & M. M. Ito (Eds.), Chemical Education in Asia-
Pacific. Tokyo: The Chemical Society of Japan.
---------------------
Tentang Penulis
27
Harry Firman, dosen jurusan pendidikan kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
sejak tahun 1974, lulusan Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung (1983), pernah mengikuti
pendidikan non-gelar di State University of New York at Albany (1996), University of
Houston (1993), Ohio State University (1994). Selain menjadi dosen UPI, penulis pernah
menjadi anggota tim pengembang kurikulum mata pelajaran kimia di Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas (1992-1994), dekan FPMIPA UPI (2000-2004), konsultan lokal untuk
Mistubishi Research Institute, Inc. dalam Basic Education Sector Study di Indonesia
(2002), anggota tim studi PISA di Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas (2004-
2005), serta dosen dan peneliti tamu untuk kajian kerjasama internasional dalam bidang
pendidikan di Hiroshima University (2006). E-mail address: titimplik@bdg.centrin.net.id
28