Anda di halaman 1dari 3

http://radarbojonegoro.jawapos.

com

Sabtu, 11 Juni 2016 16:00


Menelisik Pelabuhan Sedayulawas Brondong sebagai Pelabuhan Tertua di Lamongan

Berdiri sebelum Majapahit, Melewati Enam


Zaman

PELABUHAN Sedayulawas di Kecamatan


Brondong merupakan pelabuhan tertua di
Lamongan. Bahkan, pelabuhan di muara
sudetan Bengawan Solo tersebut
mengalami sedikitnya enam
zaman.Sayang, kondisinya saat ini kurang
berkembang akibat terjadi pendangkalan parah.Kabupaten Lamongan
memiliki sedikitnya empat pelabuhan. Yakni, Pelabuhan Sedayulawas,
Pelabuhan Perikanan Brondong, Pelabuhan Penyeberangan Paciran, dan
Pelabuhan LIS.Namun, Pelabuhan Sedayulawas yang paling tua.

Menurut buku Memayu Raharjaning Praja, Pelabuhan Sedayulawas setara


dengan Pelabuhan Tuban yang sudah ramai sejak sebelum Zaman
Majapahit, ujar Kabag Humas dan Infokom Pemkab Lamongan Sugeng
Widodo.

Bahkan, diduga pelabuhan itu pernah dipakai mendarat tentara Tartar yang
akan menyerbu Singosari yang dipandu Raden Wijaya.Kemudian, tentara dari
Cina itu diserang balik Raden Wijaya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan
Kerajaan Majapahit.

Pelabuhan Sedayulawas di Brondong mempunyai arti penting di pantai utara


Jawa sebagai pintu gerbang sejak Kerajaan Kediri menuju negeri di luar Pulau
Jawa.Pelabuhan ini juga merupakan andalan pada masa Kerajaan Majapahit
dan kerajaan Demak Bintoro.

Di era Kerajaan Pajang, pelabuhan ini menurun fungsinya hanya menjadi


pelabuhan rakyat hingga kini.

Riwayat Pelabuhan Sedayulawas baru terkuak pada 1630, saat kedatangan


bangsa Eropa. Saat itu dikenal seorang syahbandar bernama Ki Gedhe Buyut
yang juga dikenal seorang pemimpin masyarakat Brondong.
Saat wafat pada 1639, Ki Gedhe Buyut dimakamkan di tanah Sentono
sebelah barat Masjid Sentono, kemudian mendapat sebutan Mbah Buyut
Sentono. Setelah Ki Gedhe Buyut wafat, syahbandar Brondong digantikan
adiknya, Ki Lanang Dangiran atau dikenal sebagai Joko Brondong, seorang
pangeran dari Kerajaan Blambangan.

Perkembangan Desa Brondong terjadi ketika Pelabuhan Sedayulawas juga


dipakai menjadi lintas barang perdagangan yang ramai.

Ada jalan kuno menuju pedalaman melalui Brondong-Laren ke selatan


menembus pegunungan Kendeng Timur.

Ketika Ki Lanang Dangiran menjadi penguasa dan syahbandar, ada upaya


mengembangkan pelabuhan kecil untuk pendaratan ikan di Brondong.
Kemudian, menjadi pelabuhan perikanan nusantara sampai saat ini.

Dilihat dari aspek sosial keagamaan, kawasan pantai Brondong sampai


Blimbing dan Paciran tunduk pada pengaruh seorang kiai yang bernama Kiai
Kendil Wesi yang bermukim di Paciran.

Kiai Kendil Wesi adalah seorang ulama yang meneruskan dakwah Sunan
Sendang Duwur dan merupakan guru dari Ki Lanang Dangiran atau Joko
Brondong.

Kedigdayaan Ki Lanang juga dibuktikan dalam olah batin dan raga. Dia juga
sering bersemedi di tengah laut Pantai Brondong selama berbulan-bulan
hingga badannya terendam air laut hingga ditumbuhi lumut dan kerang kecil
berwarna putih di seluruh tubuhnya, seperti brondong menempel.

Menurut legenda setempat, ini dikenal sebagai asal-usul nama Desa


Brondong.

Masa era kolonial, perdagangan VOC sudah berkembang di Lamongan sejak


1709 M. Wilayah pantura (Paciran dan Brondong) Lamongan tepatnya
disekitar Pelabuhan Sedayulawas dan Brondong telah menjadi tempat
berlabuh bagi kapal-kapal VOC dalam pengangkutan komoditas perdagangan
seperti merica, garam, padi, dan kayu jati.

Lamongan secara resmi jatuh dalam pangkuan VOC pada 18 Mei 1747 M,
sesuai dengan isi Perjanjian Gianti No.2 tentang penyerahan wilayah pesisir
yakni Tegal, Brebes, Tuban, Kaliwungu, Lamongan, Sidoarjo, dan Sidayu. Pada
1799, VOC bangkrut dan diambil alih pemerintah kolonial Belanda.Ketika
perang pasifik menjalar sampai Indonesia, Belanda membangun pertahanan
berupa sarang meriam, jebakan dan pagar kawat berduri di sepanjang Pantai
Brondong sampai Paciran.

Ternyata, Jepang tidak mendarat di Brondong, tapi di Pantai Glondong dan


Bulu di Tuban. Mereka baru menyerang ke timur ke Brondong-Paciran hingga
Lamongan dan Surabaya.

Tidak lama berada di tangan Jepang, Pelabuhan Sedayulawas kemudian


diambil alih pemerintah Indonesia menjadi pelabuhan rakyat.

Pelabuhan Sedayulawas dulu sangat vital untuk angkutan niaga antarpulau


dengan kapal-kapal rakyat, ungkap Sugeng.

Saat ini, kondisi Pelabuhan Sedayulawas merana karena semkin sepi. Jumlah
kapal yang merapat semakin menurun akibat perairan di pelabuhan
mengalami pendangkalan berat.

pendangkalan itu berasal dari endapan FLOODWAY PELANGWOT


SEDAYULAWAS. BENGAWAN SOLO sudetan Bengawan Solo yang bermuara tepat
di pelabuhan legendaris itu. (feb/nas)
http://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2016/06/11/1550/berdiri-sebelum-
majapahit-melewati-enam-zaman/1

Anda mungkin juga menyukai