Anda di halaman 1dari 102

Buku Keterampilan Klinis

Ilmu Kedokteran Komunitas

2014

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
BUKU KETERAMPILAN KLINIS ILMU KEDOKTERAN
KOMUNITAS
Diterbitkan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI
Jl. Pegangsaan Timur No. 16 Jakarta 10320 Indonesia
Telp. dan Fax 021 - 3141066
Dicetak di Jakarta, INDONESIA
Hak cipta dilindungi. Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN 978-979-18349-9

Lay out:
dr. Marinda Asiah Nuril Haya

Cover photo:
Schubert Malbas Diunduh dari:
http://www.schubertmalbas.net/2011_06_01_archive.html

Editor:
Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS
dr. Retno Asti Werdhani, MEpid

Kontributor:
Dr. dr. Joedo Prihartono, MPH dr. Dhanasari Vidiawati, MSc.CM-
dr. Setyawati Budiningsih, FM
MPH dr. Retno Asti Werdhani, MEpid
dr. Aria Kekalih, MTI Dr. dr. Astrid B Sulistomo, MPH, SpOk
Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH Dr. dr. Dewi Soemarko, MS, SpOk
Prof. Dr. dr. Endang Basuki, dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk,
MPH PhD
dr. Resna A. Soerawidjaja, Ambar W Roestam, SKM, MOH
MPH Dr. dr. Fikri Effendi, MOH, SpOk
dr. Judilherry Justam, MM, ME Dr. Nuri Purwito Adi, MSc, MKK
Dr. dr. Herqutanto, MPH,
MARS
dr. Nitra Nirwani Rifki, PKK

Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Page | 2
DAFTAR ISI

Daftar Tabel ii
Daftar Gambar iii
Kata Pengantar iv
Diagnosis Komunitas 1
Langkah-langkah Pelaksanaan Jaminan Mutu dan Panduan
Penulisan Laporan 13
Problem Solving Cycle 18
Evaluasi Program Kedokteran/Kesehatan berdasarkan
Pendekatan Sistem 24
Pelayanan Kesehatan dengan Pendekatan Dokter Keluarga 34
Diagnosis Okupasi 42
Plant Survey 52
Keselamatan pasien 72
Identifikasi dan Modifikasi Gaya Hidup
Pencarian Kontak
Surveilans

DAFTAR TABEL

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | i


DAFTAR GAMBAR

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | ii


KATA PENGANTAR

Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) memiliki sejarah
panjang dalam dunia pendidikan kedokteran, sejak masa
penjajahan Belanda.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | iii
Departemen IKK FKUI memiliki visi untuk menjadi institusi
pendidikan terdepan dalam ilmu kedokteran komunitas di
wilayah Asia Pasifik. Selain itu, Departemen IKK FKUI berharap
untuk dapat berperan nyata dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan visi
tersebut, Departemen IKK FKUI senantiasa mengembangkan
pendidikan kedokteran, penelitian, serta pelayanan di bidang
kedokteran komunitas.

Dalam bidang pendidikan kedokteran, Departemen IKK FKUI


terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan untuk program
postgraduate maupun undergraduate. Karena keterbatasan
alokasi waktu yang diberikan dalam modul-modul
undergraduate, mahasiswa menghadapi keterbatasan dan
kesulitan dalam memahami materi-materi kedokteran
komunitas. Selain mahasiswa, staf pengajar dari departemen
lain pun mengalami kesulitan ketika harus menjadi fasilitator
dalam modul-modul kedokteran komunitas. Untuk itu,
Departemen IKK FKUI menerbitkan buku-buku mengenai
kedokteran komunitas sebagai materi pembelajaran ilmu
kedokteran komunitas.

Pada buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas


ini, pembaca akan mendapatkan keterampilan-keterampilan
klinis yang sering digunakan dalam kedokteran komunitas,
seperti diagnosis holistik dan diagnosis okupasi. Pembaca juga
akan mempelajari metode evaluasi dalam materi quality
assurance, evaluasi program, serta diagnosis komunitas.
Selain itu, masih banyak materi lain yang termasuk
keterampilan dalam kedokteran komunitas.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam pembuatan


buku ini. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami
harapkan untuk perbaikan buku ini.

Semoga buku ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebaik-


baiknya oleh penyelenggara pelatihan dokter keluarga di
Indonesia.

Hormat kami,
Editor

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | iv


DIAGNOSIS KOMUNITAS
Setyawati Budiningsih, Joedo Prihartono, Aria Kekalih
Divisi Epidemiologi dan Biostatistik, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

PENDAHULUAN
Profil dokter masa depan menurut WHO (The Future Doctor)
mencakup Care provider, Decision Maker, Educator, Manager dan
Community Leader. Salah satu posisi atau pekerjaan yang akan
dijalani dokter adalah memimpin suatu fasilitas kesehatan. Pada
sistim kesehatan di Indonesia di tingkat primer, dikenal Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang bertanggung jawab
terhadap masyarakat di area kerjanya, yaitu kecamatan atau
kelurahan. Fungsi dari puskesmas ada 3, yaitu:
1. Pusat pengembangan program kesehatan
2. Pusat pelayanan kesehatan primer
3. Pusat pemberdayaan masyarakat

Sebagai pusat pengembangan program kesehatan, maka fasilitas


kesehatan perlu melakukan melakukan Diagnosis Komunitas
(Community Diagnosis), sehingga program kesehatan yang
dilakukan sesuai dengan masalah yang terutama dihadapi oleh
komunitas/masyarakat di area tersebut. Diagnosis komunitas
merupakan keterampilan (skill) yang harus dikuasai oleh dokter di
fasilitas kesehatan tingkat primer, dan/atau bila bekerja sebagai
pimpinan institusi/unit kesehatan yang bertanggung jawab atas
kesehatan suatu komunitas/masyarakat.

Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara


pendekatan kedokteran klinis dan kedokteran komunitas dalam
penegakan diagnosis masalah kesehatan. Seorang klinisi akan
memeriksa pasien serta harus mampu menentukan kondisi
patologis berdasarkan gejala dan tanda yang ada agar dapat
menegakkan diagnosis penyakit dan memilih cara tepat untuk
pengobatannya. Pada kedokteran komunitas, keterampilan
epidemiologi (mempelajari tentang frekwensi dan distribusi
penyakit serta faktor determinan yang mempengaruhinya di
kalangan manusia) sangat diperlukan untuk dapat memeriksa
seluruh masyarakat dan memilih indikator yang sesuai untuk
menjelaskan masalah kesehatan di komunitas; kemudian
menetapkan diagnosis komunitas serta menetapkan intervensi

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI


|1
yang paling efektif untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

POSISI DIAGNOSIS KOMUNITAS DALAM STANDAR


KOMPETENSI DOKTER INDONESIA
Diagnosis Komunitas dikembangkan untuk mendukung area
kompetensi dokter khususnya area ke-7 yaitu tentang
Pengelolaan Masalah Kesehatan. Pada penjabaran area
kompetensi ke- 7 ini disebutkan bahwa dokter mampu mengelola
masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, terpadu dan berkesinambungan dalam
konteks pelayanan kesehatan primer. Diagnosis komunitas
disebutkan dengan tegas dalam penjelasannya yaitu dokter
mampu menginterpretasi data kesehatan masyarakat dalam
rangka mengidentifikasi dan merumuskan diagnosis komunitas.
Selain itu diagnosis komunitas juga merupakan implementasi dari
ketrampilan yang harus dilaksanakan secara mandiri (Kompetensi
4A). Ketrampilan tersebut antara lain:
1. Memperlihatkan kemampuan pemeriksaan medis di
komunitas
2. Memperlihatkan kemampuan penelitian yang berkaitan
dengan lingkungan

DEFINISI DAN CAKUPAN


Definisi komunitas
Komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki
paling tidak ada satu kesamaan sifat yang berlaku untuk semua
anggota komunitas bersangkutan. Kesamaan sifat ini bisa berupa
kesamaan wilayah misalnya komunitas Jakarta; kesamaan
pekerjaan misalnya komunitas guru; kesamaan suku misalnya
komunitas Betawi; kesamaan kondisi perumahan misalnya
komunitas perumnas; dan sebagainya. Komunitas dapat juga
didefiniskan sebagai sebagian dari anggota masyarakat yang
lebih besar, serta memiliki kesamaan sifat atau minat. Sebagai
contoh adalah sebagian dari masyarakat Jakarta yang memiliki
minat yang sama terhadap cabang olahraga sepakbola dan
menjadi fans Persija, yakni komunitas Jakmania.

Adanya kesamaan sifat dari semua anggota komunitas ini telah


membantu keterkaitan di antara mereka satu sama lain.
Keterkaitan antara bagian komunitas atau subsistem dari suatu
komunitaslah yang dapat mendorong agar komunitas
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 2
bersangkutan berfungsi secara baik. Hal ini pula yang mampu
diberdayakan dalam aspek kesehatan sehingga seluruh
komunitas mampu bersama-sama menggunakan potensi yang
ada didalamnya untuk menjaga dan meningkatkan derajat
kesehatannya.

Definisi diagnosis komunitas


Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan
adanya suatu masalah dengan cara pengumpulan data di
masyarakat lapangan. Menurut definisi WHO, diagnosis
komunitas adalah penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif
mengenai kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang
mempengaruhi kondisi kesehatannya. Diagnosis komunitas ini
mengidentifikasi masalah kemudian mengarahkan suatu
intervensi perbaikan sehingga menghasilkan suatu rencana kerja
yang konkrit. Keterampilan melakukan diagnosis komunitas
merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter untuk
menerapkan pelayanan kedokteran secara holistik dan
komprehensif dengan pendekatan keluarga dan okupasi terhadap
pasien. Dalam penerapannya, penggunaan diagnosis komunitas
dalam suatu program kesehatan adalah sebagai berikut :
- untuk berperan sebagai referensi data kesehatan dalam
suatu wilayah
- untuk menyediakan gambaran secara keseluruhan
mengenai masalah kesehatan pada komunitas lokal dan
penduduknya
- untuk merekomendasikan intervensi yang akan dijadikan
prioritas dan solusi pemecahan masalah yang mampu
laksana
- untuk mengindikasi alokasi sumber daya dan mengarahkan
rencana kerja di masa depan
- untuk menciptakan peluang dari kolaborasi inter sektoral
dan keterlibatan media
- untuk pembentukan dasar indikator keberhasilan dari
evaluasi program kerja kesehatan.

Oleh karena itu diagnosis komunitas harus disadari bukan sebagai


suatu kegiatan yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari
suatu proses dinamis yang mengarah kepada kegiatan promosi
kesehatan dan perbaikan permasalahan kesehatan di dalam
komunitas. Diagnosis komunitas merupakan awal dari siklus
pemecahan masalah untuk digunakan sebagai dasar pengenalan
masalah di komunitas, sehingga dilanjutkan dengan suatu
perencanaan intervensi, pelaksanaan intervensi serta evaluasi
bagaimana intervensi tersebut berhasil dilakukan di komunitas.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 3
Oleh karena itu diagnosis komunitas TIDAK hanya berhenti pada
identifikasi (diagnosis) masalah, tetapi juga mencakup solusi
(treatment) untuk mengatasi masalah berdasarkan sumber-
sumber yang ada. Untuk lebih menjelaskan diagnosis komunitas,
dibawah ini dijelaskan perbedaan antara Kedokteran komunitas
(Community Medicine) dengan Kedokteran rumah sakit dan
perbedaan antara Diagnosis Komunitas dengan diagnosis klinis

Tabel 1. Perbedaan antara Kedokteran komunitas dan Kedokteran


Rumah Sakit
Karakteris Kedokteran Komunitas Kedokteran Rumah
tik Sakit
Area Populasi di area kerja Pasien yang datang ke
pelayanan fasilitas kesehatan
Strategi Aktif dan pasif Pasif, menunggu pasien
operasional datang
Organisasi Terdiri atas puskesmas, Terdiri atas hubungan
pustu, posyandu yang tidak mengikat
antara pelayanan primer,
sekunder dan tersier
Bentuk Komprehensif (health Hanya kuratif
pelayanan promotion, specific
protection, early diagnosis
dan prompt treatment,
disability-limitation,
rehabilitation
Koordinasi Ada koordinasi dengan Tidak ada hubungan
Intersektora departemen kesehatan
l dan jajarannya
Partisipasi Mengikut sertakan Partisipasi terbatas
masyarakat masyarakat dalam
program kesehatan
Analisis Memberikan high cost- Memberikan poor cost-
cost-benefit benefit rasio melalui benefit rasio melalui
minimum-expenditure dan maximum-expenditure
maximum-result dan minimum-result

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 4


(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent
Advances, Ed 2. Jaypee Brothers Medical Publisher, 2010)

Tabel 2. Perbedaan antara Diagnosis komunitas dan Diagnosis


Klinis
N Diagnosis Klinis Diagnosis Komunitas
o
1 Dilakukan oleh dokter Dilakukan oleh dokter atau
epidemiologis
2 Fokus perhatian : pasien Fokus perhatian : komunitas /
masyarakat
3 Fokus perhatian : hanya orang Fokus perhatian : orang sakit
sakit dan sehat
4 Dilakukan dengan memeriksa Dilakukan dengan cara survey
pasien
5 Diagnosis didapat Diagnosis didasarkan atas
berdasarkan keluhan dan Riwayat Alamiah Perjalanan
simtom Penyakit ( Natural history of
disease)
6 Memerlukan pemeriksaan Memerlukan penelitian
laboratorium epidemiologi
7 Dokter menentukan Dokter/epidemiologis
pengobatan merencanakan plan of action
8 Pengobatan pasien menjadi Pencegahan dan Promosi
tujuan utama menjadi tujuan utama
9 Diikiuti dengan follow up Diikuti dengan program
kasus evaluasi
10 Dokter tertarik menggunakan Dokter/epidemiologis tertarik
teknologi tinggi dengan nilai2 statistik

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 5


(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent
Advances, Ed 2. Jaypee Brothers Medical Publisher, 2010)

Sama seperti halnya melakukan diagnosis terhadap pasien, maka


pelaksanaan diagnosis komunitas dilakukan dengan mengikuti
kaidah kaidah tertentu, agar data (diagnosis) yang diperoleh
dapat dipercaya. Dalam melaksanakan diagnosis komunitas,
perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas
(yang terdiri dari sejumlah orang) sehingga sangat ditunjang oleh
pengetahuan epidemiologi, statistik, manajemen dan ilmu ilmu
sosial lainnya.

TUJUAN KOMPETENSI DIAGNOSIS KOMUNITAS


Tujuan utama dari penguatan kompetensi diagnosis komunitas
adalah dokter mampu mengidentifikasi masalah kesehatan di
komunitas dan membuat solusi pemecahannya. Secara khusus,
tujuannya adalah dokter mampu :
- mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat
- mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan
- menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan
solusi pemecahannya
- menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat
primer
- berkomunikasi secara baik dengan masyarakat
- membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan

MANFAAT DIAGNOSIS KOMUNITAS


Setelah mendapatkan diagnosis komunitas, maka manfaat yang
bisa didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi kesehatan dari komunitas
bersangkutan saat ini
Pertanyaan ini menekankan pada keadaan tingkat kesehatan
sebenarnya yang saat ini sedang dihadapi oleh komunitas
bersangkutan. Indikator kesehatan masyarakat yang
dikumpulkan dalam proses diagnosis komunitas akan
memberikan gambaran mengenai permasalahan kesehatan
apa saja yang sedang dihadapi oleh anggota komunitas.
Mengingat cukup banyak masalah kesehatan masyarakat yang
dapat terjaring dalam tahap ini, maka perlu ditetapkan
permasalahan kesehatan yang bersifat prioritas serta
memerlukan penanganan segera.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 6


2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan
komunitas ini bisa ditingkatkan
Pada tahap ini team penilai harus menetapkan harapan
mengenai sejauh mana upaya perbaikan kondisi kesehatan ini
ingin diperbaiki. Memang sesuai kesepakatan internasional
tentunya kita ingin mencapai tingkat yang ditetapkan oleh
target (misalnya MDG). Namun harus diingat bahwa target
tersebut masih sangat jauh sehingga besar kemungkinan
belum dapat dicapai dalam waktu singkat. Penetapan ini harus
disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh
komunitas bersangkutan.

3. Untuk mengetahui bagaimana caranya untuk


meningkatkan kondisi kesehatan komunitas
Setelah team menetapkan tingkat kesehatan masyarakat yang
ingin dicapai dalam upaya peningkatan kondisi komunitas
bersangkutan, maka perlu dikembangkan beberapa pilihan
cara untuk mencapai harapan tersebut. Pilihan-pilihan ini
sudah barang tentu mempunyai konsekuensi mengenai
sumber daya yang diperlukan, sehingga team harus memilih
cara solusi yang paling efektif dan paling efisien dalam
pencapaian target yang telah ditetapkan.

LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN DIAGNOSIS KOMUNITAS


Langkah langkah untuk melakukan diagnosis komunitas tidaklah
sesederhana seperti melakukan diagnosis pada seorang pasien,
karena yang akan menjadi sasaran adalah suatu komunitas yang
terdiri atas sekelompok penduduk yang mempunyai karakteristik
yang (kurang lebih) sama dan tinggal di area yang tertentu.
Selain itu, hasil dari diagnosis komunitas tidak selalu
berbentuk penyakit, tetapi bisa masalah-masalah non medis
yang menyebabkan suatu penyakit. Ini disebabkan karena
masalah kesehatan dalam komunitas merupakan akibat dari
berbagai determinan sesuai dengan teori Blum yang menyatakan
ada 4 determinan yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan
kesehatan dan genetik (urutan sesuai dengan kontribusi terhadap
masalah kesehatan).

Langkah-langkah penerapan diagnosis komunitas adalah secara


bertahap yaitu:
1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
2. Menentukan instrument pengumpulan data
3. Pengumpulan data dari masyarakat
4. Menganalisis dan menyimpulkan data
5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 7
Langkah 1. Pertemuan awal untuk menentukan area
permasalahan
Pada fase awal pertemuan pendahuluan harus ditentukan tim
pelaksana yang berperan mengelola dan mengkoordinasikan
diagnosis komunitas. Tim ini harus mengidentifikasi dana dan
sumber daya yang tersedia untuk menentukan batasan dari
diagnosis komunitas. Beberapa cakupan yang umum untuk
dipelajari dalam diagnosis komunitas adalah status kesehatan,
gaya hidup, kondisi tempat tinggal, kondisi sosial ekonomi,
infrastruktur sosial dan fisik, tidak berimbangnya fasilitasi dan
akses kesehatan (inequality), termasuk mengenai pelayanan
kesehatan masyarakat dan kebijakan yang sudah ada.

Menurut epidemiologi, penentuan masalah (medis dan non


medis) di komunitas harus memakai indikator yang
merepresentasikan permasalahan komunitas/ masyarakat.
Berikut adalah indikator status kesehatan yang biasa dipakai
untuk menggambarkan masalah kesehatan di komunitas:
1. Angka Kematian (Mortality rate): AKK, AKI, AKB, Angka
Kematian akibat penyakit tertentu, dll
2. Angka Kesakitan (Morbidity rate): Insiden, prevalen
(menyangkut berbagai penyakit)
3. Angka Ke-cacatan (Disability rate): Angka absensi, dll

Selain indikator diatas terdapat indikator lain yang sering


dipergunakan misalnya :
1. Indikator jangkauan pelayanan kesehatan, misalnya
cakupan ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC.
2. Rasio petugas kesehatan-penduduk, misalnya rasio dokter :
penduduk
3. Indikator kesehatan lingkungan, misalnya persentase
penduduk yang mendapat air bersih
4. Indikator sosio-demografi (komposisi/struktur/distribusi,
income per capita, angka buta huruf, dll)

Bila kita mau mengetahui masalah kesehatan suatu komunitas,


maka jalan yang paling baik adalah melakukan survey yang
mengumpulkan data-data sesuai indikator diatas. Kegiatan ini
akan memakan waktu lama dan biaya yang banyak. Oleh karena
itu sebagai pendekatan awal ada cara lain yang dapat digunakan
yaitu dengan menganalisis laporan penyakit/kematian yang ada
disuatu wilayah. Data ini bisa diperoleh dari hasil penelitian
kesehatan atau laporan tahunan puskesmas (harap diingat bahwa
tidak semua orang yang sakit datang ke puskesmas). Pola
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 8
penyakit di suatu area biasanya akan selalu sama dalam kurun
waktu tertentu, kecuali bila ada kejadian luar biasa. Dalam situasi
ini maka penyakit yang akan menjadi area diagnosis komunitas
dalam pelatihan modul komunitas, tidak selalu harus yang paling
banyak ditemukan. Dalam keadaan tertentu, masalah kesehatan
dapat pula ditanyakan kepada orang orang yang dianggap
mempunyai pengetahuan dalam hal ini, misalnya pimpinan
puskesmas, kepala daerah (camat, lurah) atau orang orang yang
bergerak dalam bidang kesehatan (guru, kader). Untuk
mendapatkan informasi dari orang orang ini, maka dapat
dipergunakan metoda NGT atau Delphi tehnik.

Bila sudah ditemukan area masalah, maka juga perlu mengetahui


berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah tersebut.
Konsep terjadinya penyakit menurut Blum dapat dipakai untuk
membuat kerangka konsep yang menjelaskan mengapa penyakit
tersebut terjadi. Ini akan membantu menentukan data apa yang
akan dikumpulkan dari masyarakat agar mendapatkan masalah
yang utama dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengatasi
masalah tersebut.

Langkah 2. Menentukan instrument pengumpulan data


Tergantung data apa yang akan dikumpulkan, maka diperlukan
metode pengumpulan data (instrumen) yang sesuai. Data dapat
dikumpulkan melalui observasi (menggunakan cek lis),
wawancara (dengan kuesioner), pemeriksaan (TB, BB,
pemeriksaan lab) atau menggunakan data sekunder dari rekam
medis. Bila menggunakan kuesioner, maka kuesioner tersebut
haruslah diuji-coba untuk mengetahui apakah kuesioner itu baik
(valid dan reliabilitas) serta mengetahui realitas pelaksanaan
sebenarnya (lama wawancara, situasi lapangan, dll). Untuk
menguji kuesioner sebaiknya dicobakan pada 30 responden.

Langkah 3. Pengumpulan data dari masyarakat


Pada tahap ketiga yaitu pengumpulan data dan analisis,
sebaiknya dilakukan dengan kombinasi pendekatan kuantitatif
dan kualitatif. Oleh karena itu, latar belakang wilayah yang
dibahas harus dipelajari melalui data statistik dan hasil sensus
populasi, misalnya besarnya populasi, struktur jenis kelamin dan
usia masyarakat, pelayanan kesehatan perorangan dan
masyakarat, pelayanan sosial, pendidikan, perumahan,
keamanan publik dan transportasi. Untuk mengumpulkan data
dari komunitas, hal yang dapat dilakukan adalah melakukan
survey, menggunakan kuisioner mandiri (self administered

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 9


questionnaire), kemudian wawancara atau fokus grup diskusi atau
acara dengan telepon.

Untuk memastikan reliabilitas datanya, sebaiknya institusi yang


sudah berpengalaman seperti institusi pendidikan, dilibatkan
dalam diagnosis komunitas. Penentuan sampel harus
direncanakan secara hati-hati, sehingga jumlah sampelnya
mampu mewakili kondisi lokal komunitas yang dikaji, sehingga
dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang valid.

Agar data yang dikumpulkan merepresentasikan gambaran


masyarakat, maka perlu ditentukan sasaran penduduk yang akan
menjadi responden, berapa jumlahnya serta lokasinya
tinggalnya. Sebaiknya penentuan sasaran berdasarkan probability
sampling, kecuali bila terpaksa dapat dilakukan non probability
sampling. Hal ini juga berlaku bila responden diambil dari rekam
medis atau pengunjung puskesmas.

Strategi menemui responden di lapangan memerlukan persiapan


khusus, yaitu mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat.
Dalam hal ini, sebaiknya mahasiswa meminta kepala puskesmas
membuat surat kepada kepala daerah setempat menjelaskan
bahwa Puskesmasnya akan melakukan pengumpulan data.
Ini dilakukan, agar masalah ijin pengumpulan data menjadi
mudah dan memang kegiatan ini merupakan kegiatan untuk
menunjang puskesmas. Selain itu, bila diperlukan, pimpinan
puskesmas dapat dimintakan bantuannya untuk memfasilitasi
agar ada petugas/kader yang membantu mengantar mahasiswa
mengumpulkan data (misalnya kader atau pegawa puskesmas).
Bila data berasal dari rekam medik, maka mahasiswa dapat
meminta bantuan pimpinan puskesmas memfasilitasi agar
petugas terkait memahami apa yang akan dilakukan mahasiswa
dalam rangka diagnosis komunitas, dan mahasiswa juga harus
menjaga agar rekam medik kembali tersusun seperti semula dan
tidak ada yang hilang, termasuk menjaga kerahasiaan data
pasien. Semua kuesioner (data) yang didapat haruslah diperiksa
kelengkapan serta kebenarnya, sebelum dianalisis.

Rencana mendapatkan data harus dibuat seperti proposal


penelitian sederhana yang terdiri atas :
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 10


e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau
pemeriksaan)
f. Batasan operasional data yang diambil

Langkah 4. Menganalisis dan menyimpulkan data


Tahap keempat adalah penentuan kesimpulan diagnosis
komunitas yang dihasilkan dari pengolahan dan interpretasi
analisis data yang ada. Hasil diagnosis sebaiknya terdiri atas tiga
aspek yaitu :
- Status kesehatan di komunitas
- Determinan dari masalah kesehatan di komunitas
- Potensi dari pengembangan kondisi kesehatan di
komunitas dan area yang lebih luas

Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data


diagnosis komunitas adalah:
- Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk
rate atau rasio untuk perbandingan
- Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor
perubahan sepanjang waktu yang diamati serta
perencanaan ke depan
- Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan
distrik yang lain atau ke seluruh populasi
- Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat
digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mudah dan cepat

Langkah 5. Membuat laporan hasil dan presentasi


diseminasi
Tahap terakhir adalah presentasi atau diseminasi hasil diagnosis
komunitas. Tahap ini menunjukkan bahwa diagnosis komunitas
tidak pernah menjadi akhir dari program kerja. Diagnosis
komunitas harus dilanjutkan dengan usaha untuk
mengkomunikasikannya sehingga memastikan prioritas tindak
lanjut yang harus segera diambil. Target pihak-pihak yang harus
dilibatkan dalam mengetahui hasil diagnosis komunitas adalah
para perumus kebijakan, profesional kesehatan serta tokoh tokoh
masyarakat di dalam komunitas. Umumnya hasil dari diagnosis
komunitas dapat di diseminasi melalui berbagai forum yaitu
misalnya presentasi pada pertemuan dewan kesehatan
masyarakat atau tokoh masyarakat dan forum khusus organisasi
swadaya masyarakat, dalam rilis media massa atau satu seminar
khusus mengenai promosi kesehatan.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 11


Penerapan langkah diagnosis komunitas dapat dijabarkan secara
skematis seperti gambar berikut, yang menekankan perlunya
kombinasi dari penggunaan data sekunder serta pendekatan
kuantitatif dan kualitatif dalam memetakan permasalahan
kesehatan di komunitas.

Gambar 1. Langkah penerapan diagnosis komunitas

TAHAPAN KERJA DIAGNOSIS KOMUNITAS


Tahapan kerjanya adalah:
1. Menentukan area masalah yang dihadapi puskesmas. Area
masalah yang dimaksud bisa diambil dari program program
yang dilaksanakan di puskesmas. Untuk itu ada beberapa
sumber untuk menentukan area yaitu melihat data
jangkauan pelayanan atau pencapaian program serta
menanyakan kepada pimpinan puskesmas yang dianggap
sebagai informan kunci

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 12


2. Menentukan masalah yang spesifik yang ada di area
tersebut. Cara menentukannya adalah dengan menanyakan
kepada dokter puskesmas atau penanggung jawab program
yang bersangkutan
3. Membuat proposal sederhana untuk merumuskan langkah
langkah metode diagnosis komunitas mencakup sasaran,
sampel, instrumen yang dipakai dan batasan operasional
data yang akan diambil
4. Persiapan pengumpulan data di lapangan atau dari
pengunjung puskesmas
5. Menganalisis data secara deskriptif dengan menggunakan
program analisis. Dalam diagnosis komunitas ini uji statistik
inferens tidak penting untuk dilakukan
6. Membuat laporan untuk diseminasi ke pimpinan dan
pengelola program terkait di puskesmas

Contoh kerangka isi laporan diagnosis komunitas (profil


komunitas) di pendidikan
Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup
beberapa aspek dibawah ini:
Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota,
kecamatan, kelurahan)
Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran
Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi)
Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
Kelompok agama yang utama
Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan)
Sarana ekonomi (pasar, toko)
Sarana transportasi
Sarana komunikasi
Sarana penyediaan air
Sarana sanitasi
Perumahan (kondisi dan pola bangunan)
Sekolah dan sarana pendidikan lain
Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat,
dukun)
Pola penyakit:
o Penyebab utama dari gangguan kesehatan
o Jenis penyakit yang paling banyak
o Masalah kesehatan khusus
Perilaku sehat dan sakit
o Kemana mencari pertolongan ketika sakit
o Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 13
o Apa peranan pengobatan tradisional dalam
pelayanan kesehatan

DAFTAR PUSTAKA
1. Suryakantha AH. Community medicine with recent
advances. Jaypee Brothers, Medical Publishers; 2010. 904
p.
2. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia [online]. 2012
[disitasi 5 Mei 2014]; Diunduh dari:
http://www.pkfi.net/file/download/Perkonsil%20No%2011%
20Th%202012%20Ttg%20Standar%20Kompetensi
%20Dokter%20Indonesia%20%202012.pdf
3. World Health Organization. City health profiles: how to
report on health in your city. ICP/HSIT/94/01 PB 02.
Available at: www.euro.who.int/ document/wa38094ci.pdf
4. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the
development of city health profiles. EUR/ICP/HCIT 94
01/PB03. Available at:
www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf
5. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable
disaster preparedness. Journal of Natural Disaster Science.
2006;28(1):2533.
6. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and
health action: a manual for tropical and rural areas.
Macmillan; 1979. 208 p.
7. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan
kedokteran komunitas di FKUI: modul ilmu kedokteran
komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2013.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 14


PROGRAM JAMINAN MUTU
Herqutanto, Judilherry Justam
Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan yang bermutu bisa dilihat dari dua sisi yaitu
dari sisi pasien dan sisi pemberi pelayanan. Yang dimaksud
dengan pelayanan kesehatan bermutu dari sisi pasien adalah
pelayanan kesehatan yang mudah ditemui, mudah didapat,
memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dengan pelayanan yang
ramah dan sopan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan
bermutu dari sisi pelayanan kesehatan adalah pelayanan
kesehatan yang efektif, memberikan tingkat kesembuhan tinggi,
dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur terstandar. Artinya
sebuah pelayanan kesehatan yang bermutu harus memenuhi
kriteria-kriteria dari dua sisi tersebut.

Agar dapat menghasilkan layanan yang bermutu tersebut dan


secara konsisten menghasilkan dibutuhkan sebuah program yang
disebut program jaminan mutu.

PENGERTIAN PROGRAM JAMINAN MUTU


Banyak definisi tentang program jaminan mutu.
Levits dan Hilts menyatakan bahwa program jaminan mutu
adalah proses pengumpulan data dari sebuah pelayanan
kesehatan untuk membandingkan kinerja dengan indicator-
indikator yang mempengaruhi hasil pelayanan serta
mengidentifikasi masalah dalam proses pelayanan dan
manajemen pelayanan.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 15
Sedangkan Azrul Azwar mendefinisikan program jaminan mutu
sebagai

Lebih dari 40 tahun yang lalu Donabedian mengajukan


pengukuran kualitas pelayanan kesehatan dengan cara
mengobservasi struktur, proses, dan keluaran. Observasi struktur
meliputi aksesibilitas, ketersediaan, dan mutu sumber daya.
Observasi proses meliputi pemberian pelayanan oleh dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Observasi keluaran mengacu pada
hasil akhir dari pelayanan kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh
factor lingkungan dan factor perilaku.

Di tahun 1990an Deming yang selanjutnya disebut sebagai Bapak


Total Quality Management (TQM), mengajukan sebuah model
analisis sistematik dan pengukuran proses dalam hubungannya
dengan kapasitas atau keluaran. Model TQM tersebut mencakup
pendekatan organisasi yaitu manajemen organisasi, kerjasama
tim, proses yang didefinisikan, berpikir secara system, dan
perubahan untuk menghasilkan perbaikan. Pendekatan ini
berpegang pada pandangan bahwa seluruh organisasi harus
memiliki komitmen terhadap mutu dan peningkatan mutu untuk
mencapai hasil terbaik.

TUJUAN PROGRAM JAMINAN MUTU


1. Memprioritaskan bagian dari pelayanan kesehatan yang
perlu ditingkatkan mutunya
2. Menghasilkan solusi terhadap masalah yang
membutuhkan penanganan secara fundamental
3. Membangun kesuksesan organisasi melalui peningkatan
mutu pelayanan

ALAT DAN BAHAN


Untuk tersebut diperlukan data sekunder berupa:
1. Laporan hasil pelayanan
2. Hasil survey terkait hasil pelayanan dan kepuasan pasien
3. Standar prosedur operasional (SPO) atau protap
4. Standar pelayanan medic (SPM) dan panduan praktik
klinik (PPK)

LANGKAH-LANGKAH
1. Mempelajari struktur fasilitas pelayanan kesehatan
- Mempelajari visi dan misi klinik. Melihat apakah misi yang
dituliskan sesuai dengan visinya? Apakah misi yang
dilaksanakan sesuai dengan visi yang dituliskan?

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 16


- Mempelajari SOP, SPM, PPK. Jika fasilitas kesehatan belum
mempunyai SOP, perlu dicari SOP dari sumber bacaan
yang sesuai dan terkini.
- Mempelajari data-data hasil pelayanan dan survey terkait
kepuasan pasien
- Mempelajari perencanaan jangka pendek, jangka
menengah, jangka panjang
- Mempelajari sumber daya klinik, baik sumber daya
manusia atau sumber daya lainnya dikaitkan dengan target
klinik, termasuk di dalamnya kuantitas dan kualitas
pegawai, reward and punishment system
- Mempelajari fungsi manajemen lainnya misalnya
pengarahan, koordinasi, monitoring serta supervise yang
dilakukan setiap manajer dalam klinik.
- Mempelajari/mengevaluasi pembiayaan klinik.
- Mempelajari perencanaan dan pengadaan obat.
- Mempelajari rekam medic serta pemanfaatannya bagi
kemajuan klinik.
- Mempelajari alur pasien untuk efisiensi waktu.
- Mempelajari fungsi dari masing-masing divisi dalam klinik,
misalnya laboratorium, radiologi, klinik gigi. Aoakah
masing-masing telah berfungsi secara efektif dan efisien?
- Mempelajari sistem pencatatan dan pelaporan. Apakah
pelaporan sudah dipakai untuk menuju kemajuan klinik?
Misalnya membuat tampilan data yang dapat diketahui
oleh semua eleme di klinik, dan lain sebagainya.
- Mempelajari kepuasan pasien.
- Mempelajari pendidikan kesehatan di klinik.
- Mempelajari penatalaksanaan dalam menangani satu
jenis penyakit.
- Mempelajari tatacara komunikasi petugas di klinik.
- Dan lain sebagainya.

2. Melakukan observasi di lapangan


- Membuat daftar tilik pengamatan
- Membandingkan struktur yang telah direncanakan dengan
kenyataan dilapangan sesuai dengan area pelayanan
yang dipilih.

3. Menentukan masalah dan prioritas masalah


- Melihat apakah ada kesenjangan (gap) antara kenyataan
dan apa yang seharusnya terjadi, antara lain dengan
melihat SOP klinik atau fasilitas kesehatan yang
bersangkutan.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 17


- Masalah timbul bila terdapat selisih atau kesenjangan
antara harapan dan kenyataan.
- Cara menentukan prioritas masalah bisa dengan cara
teknik skoring maupun teknik non-skoring.

4. Penetapan masalah dengan teknik criteria matriks


a. Pentingnya masalah (I = importancy)
b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility)
c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability)

Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I


x T x R yang tertinggi.

Ad. a. Pentingnya masalah (I = importancy) diukur berdasarkan:


- Besarnya masalah (P = prevalence)
- Akibat yang ditimbulkan masalah (S = severity)
- Kenaikan besarnya masalah (RI = rate of increase)
- Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (DU =
degree of unmet need)
- Keuntungan social karena selesainya masalah (SB =
social benefit)
- Kepedulian masyarakat (PB = public concern)
- Suasana atau iklim politik (PC = political climate)
- Dengan demikian I = P + S + RI + DU + SB + PB + PC

Ad. b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility)


Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat
dipakai untuk
mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah
tersebut.

Ad. c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability)


Makin tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk
mengatasi
masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut.

Untuk semua variabel (unsur-unsur I, T dan R) diberikan nilai


antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting),
misalkan untuk variabel P (prevalensi), prevalensi yang paling
tinggi diberikan nilai yang tertinggi (5), sedangkan prevalensi
terendah diberi nilai 1.

5. Mencari penyebab masalah


- Buatlah daftar semua penyebab masalah yang mungkin
berpengaruh terhadap timbulnya masalah.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 18
- Pergunakanlah bagan tulang ikan (fish bone diagram) dan
pendekatan system, temukan berbagai penyebab masalah
tersebut.
- Kalau penyebab masalah lebih dari satu, pilih prioritas
masalah, misalnya dengan menggunakan diagram Pareto
atau menggunakan teknik matriks / skoring.
o Diagram Pareto diperkenalkan oleh Vilfredo Pareto
(1848 1923) seorang ahli ekonomi berkebangsaan
Italia.
o Pareto yang melakukan penelitian mengenai
perekonomian Italia menemukan fakta bahwa 80%
kekayaan bangsa Italia dikuasai oleh 20% dari
jumlah penduduknya, yang kemudian dikenal
dengan istilah 80 20 rule.
o Penemuan Pareto dikembangkan oleh Dr. Joseph M.
Duran, seorang ahli manajemen, yang
menerapkannya dalam bidang manajemen mutu,
mengemukakan bahwa 80% dari uang yang hilang
(loss) sebagai akibat masalah mutu terdapat dalam
20% item permasalahan mutu.
o Analogi dalam manajemen pelayanan kesehatan
adalah bahwa 80% kerugian akibat masalah
kesehatan terdapat dalam 20% item permasalahan
mutu.

6. Merancang alternatif pemecahan masalah dan


menemukan pemecahan masalah terbaik.
- Merancang berbagai alternatif penyelesaian berdasarkan
pada penyebab masalah terbesar.
- Alternatif penyelesaian masalah dibuat sebanyak mungkin
sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan.
- Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling
mungkin sesuai dengan penyebab masalah yang
ditemukan.
- Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling
mungkin dilaksanakan dengan menggunakan teknik
skoring prioritas penyelesaian masalah:
P = (M x I x V) / C

Keterangan:
- M = Magnitude
Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar
masalah yang dapat diatasi makin tinggi prioritas jalan
keluar tersebut.
- I = Importancy
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 19
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan
penyelesaian masalah. Makin lama bebas masalah, makin
penting jalan keluar tersebut.
- V = Vulnerability
Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan
keluar untuk mengatasi masalah. Makin cepat teratasi,
makin sensitive jalan keluar tersebut.
- C = Cost
Adalah ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai
efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang
diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar
biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar
tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai
dengan angka 5 (biaya paling besar).

Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung


dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan C.
Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan
keluar terpilih.

7. Menyusun rencana intervensi


- Dari pemecahan masalah terbaik, dibuat rencana lengkap
untuk intervensi, yang terdiri atas:
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e. Instrumen yang dipakai ( observasi, kuesioner atau
pemeriksaan)
f. Batasan operasionil data yang diambil
- Tentukan cara membuat pengukuran pra intervensi
- Harus diingat bahwa dalam membuat proposal intervensi
harus selalu menerapkan metoda 5W dan 1H:
Why Mengapa perbaikan harus dilakukan?
What Apa rencana perbaikannya?
Where Dimana lokasi perbaikan akan dilakukan?
When Kapan (rentang waktu) dilakukannya
perbaikan?
Who Siapa yang bertanggung jawab?
How Bagaimana pelaksanaannya (how)
Ada beberapa jenis penerapan dalam mengajukan
pertanyaan h (How) yang pada dasarnya semua benar
dan bisa digunakan.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 20


a. Menggunakan satu H Bagaimana cara
melaksanakan perbaikan?
b. Menggunakan dua H
o How Bagaimana cara melaksanakan
perbaikan?
o How much Berapa besar hasil yang akan
dicapai setelah perbaikan?
c. Menggunakan tiga H
o How Bagaimana cara melaksanakan
perbaikan?
o How much effort Berapa besar daya upaya
atau usaha yang telah dilakukan dalam
perbaikan ini?
o How much benefit Berapa nilai hasil yang
akan dicapai setelah perbaikan ini?

8. Melaksanakan intervensi sesuai dengan rencana


Hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Penjelasan tentang intervensi secara rinci
2. Tujuan intervensi
3. Target dan sasaran intervensi
4. Langkah-langkah pelaksanaan intervensi
5. Sumber daya yang dibutuhkan meliputi sumber daya
manusia, dana, materi, dan waktu.
6. Jadwal pelaksanaan intervensi

9. Monitoring dan Evaluasi


- Menentukan cara pengukuran pasca intervensi
- Monitoring dilaksanakan sepanjang proses intervensi
- Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 2 kali dalam proses
intervensi tersebut yaitu di tengah dan di akhir
- Buatlah analisis perbanding pra dan pasca intervensi

10. Menuliskan laporan


Laporan lengkap terdiri dari:
- Bab I: Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan,
tujuan penulisan dan manfaat penulisan.
- Bab II: Tinjauan pustaka tentang topik yang dipilih, mis.
QA di lab farmasi, rekam medis, dll.
- Bab III: Langkah-langkah pelaksanaan
- Bab IV: Hasil (terutama) intervensi dan indikator
keberhasilan.
- Bab V: Diskusi dan Pembahasan
- Bab VI: Kesimpulan dan Saran
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 21
DAFTAR PUSTAKA
Azrul Azwar. Program Jaminan Mutu. Dian Pustaka.
Hughes RG. Tools and Strategies for Quality Improvement
and Keselamatan pasien: An Evidence-Based Handbook
for Nurses. Rockville;US, 2008
Levitt C, Hilts L. Quality in Family Practice Books of Tools,
1st ed. McMaster Innovation Press;Toronto, 2010
Franco LM, Newman J, Murphy G, Mariani E. Achieving
Quality Through Problem Solving and Process
Improvement, 2nd Ed. USAID;Wisconsin, 1997

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 22


Siklus Pemecahan Masalah
(Problem-Solving Cycle)
Herqutanto, Judilherry Justam, Endang Basuki
Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Pendahulan:
Masalah timbul jika ada kesenjangan antara kenyataan dan
harapan. Masalah adalah suatu situasi dimana ada sesuatu yang
diinginkan tetapi belum diketahui bagaimana mendapatkannya.
Masalah kesehatan adalah kesenjangan antara standar yang
diharapkan ada di masyarakat dengan kondisi kesehatan
masyarakat yang yang sesungguhnya ditemui.
Berbagai metode telah banyak digunakan untuk Dalam
memecahkan sebuah masalah kesehatan, berbagai metode telah
banyak digunakan. Salah satu metode tersebut adalah siklus
pemecahan masalah. Metode tersebut merujuk pada kontinuitas
langkah-langkah yang dilaksanakan secara sistematis meliputi
identifikasi dan analisis masalah, menyusun dan merencanakan
pemecahan masalah, melaksanakan serta memonitor dan
mengevaluasinya. Melalui serangkaian langkah-langkah tersebut,
diharapkan pemecahan masalah memiliki daya ungkit yang besar
dan benar-benar menjawab permasalahan kesehatan yang
dihadapi masyarakat.

Pengertian
Siklus pemecahan masalah adalah satu proses perencanaan yang
berpedoman pada dimunculkannya masalah, berlangsungnya
kegiatan penyelesaian masalah serta dinilainya hasil
penyelesaian yang dicapai. Setiap siklus dapat berakhir dengan
selesainya masalah secara tuntas atau haya sebagian saja.
Dengan demikian, siklus tersebut dapat selalu berulang dan
merupakan lingkaran yang kontinu.

Tujuan:
1. Mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah
2. Menyusun alternatifve pemecahan masalah
3. Melaksanakan intervensi untuk memecahkan masalah
4. Mengevaluasi keberhasilan intervensi

Langkah-langkah Problem Solving CycleSiklus Pemecahan


Masalah
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 23
Ada beberapa versi langkahakh-langkah Siklus Pemecahan
Masalah, ada yang terdiri atas 7 maupun 9 langkah. Namun yang
menjadi prinsip dasar adalah siklus tersebut terdiri atas beberapa
langkah, mencakup identifikasi masalah, mencari alternatif
pemecahan masalah dan melaksanakan pemecahan masalah,
serta monitoring dan evaluasi. Yang penting adalah memandang
pemecahan masalah sebagai sebuah siklus, karena kadang-
kadang sebuah masalah memerlukan berbagai upaya (lebih dari
satu upaya) untuk menyelesaikannya, atau masalah yang sudah
diselesaikan tersebut berubah menjadi masalah lain yang harus
dipecahkan juga.
Bagan berikut dapat digunakan sebagai panduan langkah-
langkah siklus pemecahan masalah. Lakukan setiap langkah pada
satu waktu secara bertahap.

Langkah 1. Identifikasi masalah (Identify the problem)


Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
dan klarifikasi masalah. Harus dibedakan antara masalah yang
sebenarnya dengan gejala atau simptom yang terlihat. Karena itu
selalu gunakan data yang valid untuk mendukung pernyataan
masalah. Sebisa mungkin hindari pernyataan tentang masalah
secara subyektif.
Jenis data yang dikumpulkan tergantung dari masalah apa yang
dihadapi. Perlu dipertimbangkan jenis data serta sumber dan cara

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 24


mengumpulkannya. Apabila data yang valid tidak tersedia, dapat
ditempuh cara curah pendapat (brainstorming) untuk
menentukan permasalahannya.

Langkah 2. Analisis masalah (Explore the problem)


Bila masalah telah terdefinisi dengan jelas, maka masalah harus
digali lebih jauh lagi. Beberapa kriteria yang dapat digunaan
untuk menentukan besarnya masalah misalnya:
Seberapa besar dampak masalah?
Apakah masalah juga berdampak pada orang lain?
Siapa saja yang mengalami masalah?
Apa yang mereka lakukan?
Pada akhir langkah ini kita sudah harus dapat menentukan
prioritas masalah yang akan diselesaikan. Metode yang dapat
digunakan adalah dengan cara skoring apabila data lengkap atau
dengan cara grup nominal apabila data yang digunakan diperoleh
dari curah pendapat.

Langkah 3. Menetapkan tujuan (Set goals)


Setelah dipilih masalah yang menjadi prioritas perlu ditentukan
tujuan yang ingin dicapai. Pada saat ini penting untuk
mempertimbangkan apakah tujuan tersebut bersifat jangka
pendek atau jangka panjang. Kadangkala, karena masalah yang
timbul sedemikian besar, kita jadi lupa memikirkan apa tujuan
kita selanjutnya. Dengan menentukan tujuan, bisa jadi muncul
beberapa pemecahan masalah yang saling terkait. Dengan
demikian menentukan tujuan adalah bagian yang sangat penting
dari proses pemecahan masalah.

Langkah 4. Menyusun Rencana Pemecahan Masalah (Look


at Alternatives)
Saat tujuan telah didefinisikan dan ditentukan dengan jelas,
langkah selanjutnya adalah mencari alternatif pemecahan
masalah. Semakin banyak solusi yang diajukan semakin besar
kemungkinan menemukan pemecahan masalah yang efektif.
Salah satu metode adalah brain-storm, yang bertujuan
mengumpulkan ide dan alternatif pemecahan masalah bersama-
sama. Pada saat ini tidak perlu menilai apakah ide pemecahan
masalah yang diusulkan tersebut bermanfaat, atau praktis, atau
dapat dilaksanakan. Tuliskan semua ide yang muncul selama
proses brainstorm.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 25


Langkah 5. Memilih Pemecahan Masalah (Select a possible
solution)
Dari sejumlah alternatif pemecahan masalah kita dapat memilih
alternatif-alternatif mana yang relevan dengan permasalahan
yang dihadapi, alternatif mana yang realistis, dan yang mana
dapat dilaksanakan. Cara yang dapat dilaksanakan adalah
memprediksi hasil/akibat dari masing-masing pemecahan
masalah, serta membandingkannya dengan pendapat orang lain.
Bila semua konsekuensi telah dibicarakan, kita dapat
menggunakannya untuk menentukan solusi mana yang paling
relevan dan menghasilkan keluaran terbaik.

Langkah 6. Melaksanakan Pemecahan Masalah


(Implement a possible solution)
Setelah solusi yang terbaik telah terpilih, rencana solusi tersebut
siap dilaksanakan. Pelaksanaan solusi tersebut perlu
memperhatikan prinsip-prinsip manajemen sebuah program.
Aspek kepemimpinan serta kegiatan pengawasan, pengarahan,
motivasi dan komunikasi perlu dijalankan dengan baik demi
keberhasilan pelaksanaan rencana tersebut.
Langkah 7. Evaluasi (Evaluate)
Evaluasi untuk menilai keberhasilan pemecahan masalah amat
penting. Bila solusi tersebut, secara logika masalah dapat diatasi
dan tujuan tercapai. Bila kita tidak puas dengan hasilnya, maka
langkah-langkah siklus pemecahan masalah perlu diulangi
kembali.

Kapan menggunakan Siklus Pemecahan Masalah


Memandang pemecahan masalah sebagai sebuah siklus dapat
membantu kita memahami bahwa pemecahan masalah bisa lebih
dari satu, dan perlu dievaluasi. Karena itu siklus pemecahan
masalah dapat digunakan pada saat kita menghadapi sebuah
masalah atau merencanakan sebuah program untuk
memecahkan masalah kesehatan, baik berupa program
kesehatan atau sebuah proses di pelayanan.
Beberapa keterampilan lain yang terkait dengan siklus
pemecahan masalah di antaranya adalah evaluasi program
kesehatan, program jaminan mutu pelayanan, serta
mendiagnosis masalah kesehatan di dalam komunitas.
Keterampilan-keterampilan tersebut akan dibahas pada bagian
tersendiri.

Referensi:

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 26


1. Sihombing G. Ilmu Administrasi dan manajemen program
kesehatan untuk mahasiswa kedokteran. Bagian Ilmu
Kedokteran Komunitas FKUI;Jakarta:2000.
2. Department of Obstetrics and Gynecology, University of
Alabama at Birmingham. Problem solving project, program
handbook. 2000.
3. The National Public Health Partnership. A planning
framework for publi health practice. 2000.

EVALUASI PROGRAM KEDOKTERAN/ KESEHATAN


BERDASARKAN PENDEKATAN SISTEM
Azrul Azwar, Endang Basuki, Resna A. Soerawidjaja
Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

DEFINISI, TUJUAN DAN MANFAAT

Evaluasi
Evaluasi menurut The American Public Association adalah suatu
proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari
pelaksanaan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Sedaqngkan menurut The International Clearing
House on Adolescent Fertility Control for Population Options 1,
evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam
membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau
standar yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 27
kesimpulan serta penyusunan saran-saran, yang dapat dilakukan
pada setiap tahap dari pelaksanaan program.

Pendekatan sistem
Terdapat beberapa macam pengertian dari sistem yang
dikemukakan oleh berbagai ahli, antara lain sebagai berikut :
1. Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling
dihubungkan oleh suatu proses atau struktur dan berfungsi
sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya menghasilkan
sesuatu yang telah ditetapkan
2. Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari
fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai
satu unit organik untuk mencapai keluaran yang diinginkan
secara efektif dan efisien
3. Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang
berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang majemuk,
dimana masing-masing bagian bekerja sama secara bebas dan
terkait untuk mencapai sasaran kesatuan dalam suatu situasi
yang majemuk pula
4. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari
berbagai elemen yang berhubungan serta saling
mempengaruhi yang dengan sadar dipersiapkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan

Unsur sistem
1. Masukan
Yang dimaksud dengan masukan (input) adalah kumpulan
bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang
diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut. Dalam
sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari tenaga,
dana, metode, sarana/material.
2. Proses
Yang dimaksud dengan proses adalah kumpulan bagian atau
elemen yang terdapat dalam sistem dan yang berfungsi untuk
mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan.
Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian.
3. Keluaran
Yang dimaksud dengan keluaran (output) adalah kumpulan
bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya
proses dalam sistem. Contohnya dalam program BIAS Campak
adalah berupa cakupan program di suatu wilayah.
4. Umpan Balik
Yang dimaksud dengan umpan balik (feed back) adalah
kumpulan dari bagian atau elemen yang merupakan keluaran
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 28
dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem
tersebut.
5. Dampak
Yang dimaksud dengan dampak (impact) adalah akibat yang
dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.
6. Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan (environment) adalah dunia
di luar sistem yang tidak dikelola oleh sistem tetapi
mempunyai pengaruh besar terhadap sistem.

Keenam unsur sistem ini saling berhubungan dan mempengaruhi
yang secara sederhana dapat digambarkan seperti berikut :

Lingkungan

Input Proses Output Dampak

Umpan Balik

Gambar 2. Unsur sistem suatu program

Suatu sistem pada dasarnya dibentuk untuk mencapai suatu


tujuan tertentu yang telah ditetapkan/disepakati bersama. Dan
untuk terbentuknya sistem tersebut, perlu dirangkai berbagai
unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan
membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi
untuk mencapai tujuan. Apabila prinsip pokok atau cara kerja
sistem ini diterapkan ketika menyelenggarakan pekerjaan
administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal
dengan nama pendekatan sistem (system approach).

Evaluasi berdasarkan pendekatan sistem


Evaluasi Program berdasarkan pendekatan sistem adalah suatu
proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan
hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau standar dari
masing-masing indikator yang telah ditetapkan dari unsur
keluaran (output), dilanjutkan dengan menemukan kausa
(penyebab), pada unsur lain dari sistem tersebut, kemudian
dilakukan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saran-saran
yang akan memperbaiki pencapaian sistem itu.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 29


Tujuan melakukan evaluasi berdasarkan pendekatan
sistem
Tujuan Umum
Mengetahui pelaksanaan dan tingkat keberhasilan pengelolaan
suatu program kesehatan, di suatu tempat tertentu, pada waktu
tertentu.

Tujuan Khusus
1. Diketahuinya pelaksanaan pengelolaan suatu program
kesehatan
2. Diketahuinya berbagai masalah pelaksanaan pengelolaan
program kesehatan tersebut
3. Diketahuinya prioritas masalah
4. Diketahuinya berbagai penyebab dari masalah yang
diprioritaskan tersebutsb
5. Diketahuinya prioritas penyebab masalah
6. Dirumuskannya pemecahan masalah bagi pelaksanaan
pengelolaan

Manfaat
1. Bagi mahasiswa: Mahasiswa dapat melakukan evaluasi
program di setiap jenis fasilitas kesehatan, baik di rumah sakit,
puskesmas, balai kesehatan masyarakat, klinik dokter keluarga
atau di manapun dia bekerja.
2. Bagi fasilitas kesehatan: Fasilitas kesehatan dapat melakukan
perbaikan program berdasarkan asupan dari mahasiswa.

EVALUASI PROGRAM FASILITAS KESEHATAN


Jenis evaluasi yang akan dilakukan adalah evaluasi summatif.
Evaluasi program yang akan dilaksanakan oleh mahasiswa
dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem (system
approach). Prinsip pokok pendekatan sistem dalam pekerjaan
administrasi dapat dimanfaatkan untuk 2 tujuan. Pertama untuk
membentuk sesuatu sebagai hasil dari pekerjaan administrasi.
Kedua, untuk menguraikan sesuatu yang telah ada dalam
administrasi. Tujuan kedua ini yang akan dipakai dalam
mengevaluasi program di suatu fasilitas kesehatan. Contoh
program yang akan dievaluasi adalah program di puskesmas.1

LANGKAH-LANGKAH MEMBUAT EVALUASI PROGRAM


1. Menetapkan indikator dari unsur keluaran
Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari
pencapaian hasil keluaran (output) atau dampak (impact)
adalah dengan menetapkan indikator yang akan dipakai untuk
mengukur keluaran atau dampak sebagai keberhasilan dari
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 30
suatu program kesehatan. Sebenarnya dampak merupakan
hasil akhir dari suatu program kesehatan, tetapi sering sekali
hasilnya belum dapat diukur bila program baru berjalan
beberapa bulan atau satu tahun. Misalnya keberhasilan
program pemberantasan diare atau program KB, baru akan
menunjukkan dampak yang signifikan setelah program
berjalan beberapa tahun. Karena itu biasanya yang dipakai
sebagai ukuran keberhasilan suatu program kesehatan adalah
keluaran. Menetapkan indikator dari keluaran dapat dilakukan
dengan mempelajari berbagai sumber rujukan. Bila dari satu
sumber ditemukan beberapa indikator dan menurut
pandangan kita salah satu atau beberapa indikator tersebut
tidak realistis, kita dapat menghilangkannya kemudian
menambahkan atau menggunakan indikator keluaran dari
sumber yang lain yang dirasakan lebih sesuai. Kita juga boleh
memodifikasi indikator tersebut sesuai dengan logika serta
referensi yang lebih masuk akal.

2. Menentukan tolok ukur tiap-tiap indikator keluaran


yang telah ditetapkan
Biasanya di dalam sumber rujukan tersebut selain ada
indikator keluaran yang akan dinilai juga ada tolok ukur
keberhasilan dari masing-masing indikator tersebut. Bila tolok
ukur tersebut dinilai kurang sesuai atau tidak realistis,
misalnya karena sudah kadaluwarsa atau tidak cocok dengan
kondisi lapangan yang kita nilai, maka bisa saja penilai
menggunakan tolok ukur lainnya yang diyakini lebih masuk
akal. Tidak tertutup kemungkinan tolok ukur yang ingin
dicapai ditetapkan sendiri oleh penilai beserta timnya, dengan
pembenaran yang dapat diterima atau berdasarkan
pengalaman orang lain yang diunduh dari referensi yang ada.
Sebagai contoh untuk penilaian terhadap Program Kesehatan
Jiwa, nilai tolok ukur antara lain dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti misalnya Buku Standar Manajemen Mutu
Pelayanan Kesehatan Jiwa dari Dinas Kesehatan, Stratifikasi
Puskesmas tahun 2000, Buku Pedoman Kerja Puskesmas dan
sebagainya.2 Internet merupakan salah satu sumber untuk
memperoleh indikator dan tolok ukurnya masing-masing.
3. Membandingkan pencapaian masing-masing indikator
keluaran program dengan tolok ukurnya
Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian
tiap-tiap indikator keluaran program dengan tolok ukur
masing-masing. Bila ada kesenjangan antara pencapaian
indikator keluaran program dengan tolok ukurnya, maka
ditetapkan sebagai masalah. Masalah bisa lebih dari satu,
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 31
tergantung dari banyaknya indikator yang dipakai untuk
mengukur keberhasilan keluaran program.

4. Menetapkan prioritas masalah


Masalah-masalah pada komponen keluaran belum tentu
semuanya dapat di atasi secara bersamaan mengingat
keterbatasan kemampuan fasilitas kesehatan. Selain itu
adanya kemungkinan masalah-masalah tersebut berkaitan
satu dengan yang lainnya dimana bila diselesaikan salah satu
masalah yang dianggap paling penting, maka masalah lainnya
dapat teratasi pula. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan prioritas
masalah yang akan dicari pemecahannya.

Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan


teknik kriteria matriks (criteria matrix technique). Pada teknik
ini terdapat variabel pentingnya masalah/I (Importancy)
yang diukur berdasarkan besarnya masalah/P (Prevalence),
akibat yang ditimbulkan masalah/S (Severity), kenaikan
besarnya masalah/RI (Rate of Increase), derajat keinginan
masyarakat yang tidak terpenuhi/DU (Degree of Unmet Need),
keuntungan sosial karena selesainya masalah/SB (Social
Benefit), kepedulian masyarakat/PB (Public Concern), dan
suasana politik/PC (Political Climate). Selain itu juga digunakan
kriteria kelayakan teknologi/T (Technical feasibility).
Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai
untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan masalah
tersebut. Begitu juga dengan sumber daya yang tersedia/R
(Resources availability). Makin tersedia sumber daya yang
dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin
diprioritaskan masalah tersebut. Beri nilai antara 1 (tidak
penting) sampai dengan 5 (sangat penting) pada tiap kotak
dalam matriks sesuai dengan jenis masalah masing-masing.
Dalam proses pemberian nilai, misalnya untuk prevalensi,
tentunya harus dipertimbangkan prevalensi dari masing-
masing masalah yang akan diprioritaskan tersebut. Prevalensi
yang paling tinggi tentunya diberi nilai yang tertinggi,
sedangkan prevalensi yang terendah diberi niai 1. Masalah
yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x
R tertinggi.

Dalam penetapan prioritas masalah, dapat dilibatkan seluruh


petugas fasilitas kesehatan atau sesama mahasiswa. Dalam
proses penetapan masalah ini tentunya setiap orang yang
terlibat dalam kegiatan ini harus memahami benar masalah
yang dihadapi dan akan dipilih prioritasnya. Untuk
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 32
mendapatkan pemahaman yang baik, penilai harus
memaparkan masalah ini kepada semua anggota tim penilai
yang terlibat. Pembobotan pada masing-masing indikator
keluaran harus disertai dengan pembenaran yang dapat
diterima. Dalam makalah Aalasan pemberian bobot untuk
tiap-tiap variabel pada matriks untuk setiap masalah harus
dituliskan dengan jelas. Misalnya untuk masalah A, mengapa
diberikan nilai tinggi (5) untuk prevalensinya, sedangkan untuk
rate of increasenya hanya diberikan nilai sedang (3) dan
seterusnya. Contoh dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dalam melakukan pembobotan, prosesnya dimulai dari


prevalensi, severity, dan seterusnya. Dilakukan pembobotan
prevalensi tiap-tiap masalah, kemudian selanjutnya dilakukan
pembobotan severity tiap masalah, dan seterusnya. Dalam
melakukan pembobotan, harus dipakai data yang akurat, dan
mutakhir.

5. Membuat kerangka konsep dari masalah yang


diprioritaskan
Untuk menentukan penyebab masalah yang telah
diprioritaskan tersebut, perlu dibuat kerangka konsep prioritas
masalah. Hal ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor
penyebab masalah yang berasal dari komponen sistem yang
lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan umpan
balik. Dengan menggunakan kerangka konsep diharapkan
semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan
diidentifikasi sehingga tidak ada yang tertinggal. Jelaskan
hubungan antara faktor-faktor dalam kerangka konsep
tersebut. Kadang-kadang ada faktor yang mempengaruhi
prioritas masalah melalui faktor lain. Perhatikan benar-benar
hubungan antar faktor tersebut. Dalam membuat kerangka
konsep dapat dipakai diagram pohon atau diagram tulang ikan.
Semua variabel yang ada di dalam kerangka konsep, ditulis
dalam bentuk netral. Contoh dapat dilihat pada Lampiran 1.3,4
6. Identifikasi penyebab masalah
Selanjutnya dilakukan identifikasi berbagai penyebab masalah
yang terdapat pada kerangka konsep. Identifikasi penyebab
masalah dilakukan dengan: 1) Mengelompokkan faktor-faktor
yang diperkirakan berpengaruh terhadap prioritas masalah
dalam unsur masukan, proses, umpan balik dan lingkungan, 2)
menentukan indikator-indikator serta tolok ukurnya masing-
masing dari faktor-faktor tersebut 3) Mengukur besarnya nilai
indikator-indikator tersebut di lapangan, 4) Membandingkan
nilai dari tiap-tiap indikator tersebut dengan tolok ukurnya. Bila
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 33
terdapat kesenjangan, maka ditetapkan sebagai penyebab dari
masalah yang diprioritaskan tadi. Tentu saja penyebabnya bisa
lebih dari satu. Pada waktu mengukur besarnya nilai indikator
di lapangan tersebut diperlukan pengumpulan data baik data
yang ada dalam dokumen atau data yang diperoleh dari
wawancara atau kuesioner. Bisa juga data diperoleh dari
laporan tahunan, triwulan, dan sebagainya. Wawancara atau
pemberian kuesioner dapat dilakukan terhadap petugas atau
pengunjung fasilitas yang dinilai, tergantung kebutuhannya.
Indikator yang tolok ukurnya sering tidak dibuat oleh
mahasiswa adalah indikator dana. Tolok ukur dana harus
dibuat, dengan memperkirakan besarnya biaya yang harus
disediakan oleh program yang dievaluasi tersebut agar
menghasilkan keluaran yang baik. Tolok ukur dana dinyatakan
dalam bentuk rupiah.

7. Memprioritaskan penyebab masalah


Bila penyebab masalah telah diketahui, teliti kembali apakah
semua penyebab tersebut saling berkaitan. Bila saling
berkaitan, tidak perlu dibuat prioritas penyebab masalah. Bila
ternyata penyebab masalah amat bervariasi, usahakan untuk
mengelompokkan berdasarkan keterkaitan masing-masing
penyebab tersebut. Bisa saja dari 10 penyebab masalah
dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar. Tiga kelompok
penyebab masalah ini yang perlu dicari prioritasnya.

Prioritas penyebab masalah dapat diperoleh dengan cara


melakukan teknik kriteria matriks yang telah dipelajari, bisa
juga dengan metode lainnya seperti misalnya teknik kelompok
nominal (Nominal Group Technique), yakni metode untuk
memperoleh beberapa prioritas utama dari sedemikian banyak
pilihan. Biasanya dilakukan dalam kelompok. terdiri dari 2
bagian: 1) Formalisasi sumbang saran, 2) Membuat pilihan.
Caranya adalah sebagai berikut: Dengan memperlihatkan
kerangka konsep, pemimpin diskusi memaparkan semua
penyebab masalah yang diperkirakan, serta data yang
berhubungan dengan kemungkinan penyebab masalah
tersebut. Minta tiap anggota tim mengemukakan ide-idenya
tentang penyebab masalah tersebut. Ketua tim menuliskan
penyebab-penyebab masalah yang dipaparkan anggotanya.
Langkah kedua dilaksanakan dengan membuang penyebab-
penyebab yang dirasakan tidak terlalu penting. Anggota boleh
membuang idenya, tetapi tidak boleh membuang ide orang
lain. Selanjutnya kepada masing-masing anggota dibagikan
kartu. Banyaknya kartu sesuai dengan banyaknya ide yang
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 34
dituliskan. Bila ide kurang dari 20, cukup dibagikan 4 kartu.
Tiap anggota menuliskan ide yang dipilihnya serta
peringkatnya. Jadi bila ada 4 kartu, seorang anggota akan
menulis, misalnya Ide A perngkat 1, Ide nomer 4 peringkat 2.
Ide nomer 6, peringkat 3. Ide nomer 10, peringkat 4. Di akhir
sesi, dilihat ide mana yang mempunyai peringkat tertinggi. Itu
yang ditentukan sebagai penyebab masalah utama.5

8. Membuat alternatif pemecahan masalah


Setelah kita mengetahui prioritas penyebab masalah, tindakan
selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuat 2 sampai 3
alternatif pemecahan masalah yang diperkirakan dapat
mengatasi penyebab masalah tersebut. Alternatif pemecahan
masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan serta
situasi dan kondisi fasilitas kesehatan. Berarti diperlukan
wawancara dengan petugas di fasilitas kesehatan tersebut
yang diperkirakan akan melaksanakan program tersebut.
Sumber rujukan lain yang sangat penting adalah referensi
yang dapat diperoleh dari jurnal atau pengalaman orang lain
yang telah didokumentasikan. Komunikasi personal dengan
seorang yang berpengalaman juga sangat dianjurkan.
Alternatif penyebab masalah hendaknya dibuat secara rinci,
sehingga jelas sekali tujuan umumnya, tujuan khusus, sasaran,
metode, jadwal kegiatan, serta rincian dananya. Dana sering
tidak ditulis secara rinci. Padahal dana sangat penting dalam
menentukan apakah suatu alternatif pemecahan masalah
nantinya akan terpilih pada waktu melakukan pemilihan
prioritas masalah. Rincian dana ini harus dikembangkan oleh
penilai.

9. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah


Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah
dibuat, dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap
paling baik dan memungkinkan. Pemilihan/penentuan prioritas
cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik kriteria
matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah :
a. Efektivitas Jalan keluar
Tetapkan nilai efektivitas (effectiveness) untuk setiap
alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan angka 1
(paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling
efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai
efektivitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektivitas
jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan sebagai
berikut :

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 35


Besarnya masalah yang dapat diselesaikan
(Magnitude)
Makin besar masalah yang dapat di atasi, makin
tinggi prioritas jalan keluar tersebut.
Pentingnya jalan keluar (Importancy)
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan
kelanggengan penyelesaian masalah. Makin lama
masa bebas masalah, makin penting jalan keluar
tersebut.
Sensitivitas jalan keluar (Vulnerability)
Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar
mengatasi masalah. Makin cepat masalah teratasi,
makin sensitif jalan keluar tersebut.

b. Efisiensi Jalan Keluar (C)


Tetapkan nilai efisiensi (Efficiency) untuk setiap alternatif
jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan
biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan
keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak
efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya
paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling
besar).

Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung


dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dibagi C. Jalan
keluar dengan nilai P tertinggi, adalah prioritas jalan keluar
terpilih. Lihat contoh di lampiran 1.4

10. Pengumpulan Data


Data yang akan diambil meliputi semua data yang berkaitan
dengan indikator dari masing-masing variabel yang ada di
dalam kerangka konsep, baik variabel prioritas masalah
maupun semua variabel kemungkinan penyebab masalah.
Selain itu juga diperlukan data untuk dapat menentukan
berbagai alternatif pemecahan masalah.
Data primer bisa berasal dari wawancara, diskusi
kelompok terarah (FGD), atau kuesioner yang mungkin
dipakai untuk mengumpulkan data, atau dari status
pasien yang pengisiannya dilakukan sendiri oleh penilai
beserta timnya sesuai tujuan penelitian.
Data sekunder adalah data yang berasal dari laporan
bulanan dan tahunan, serta rekam medik
Data tersier adalah data yang berasal dari suatu publikasi.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 36


11. Membuat kesimpulan dan saran
Kesimpulan adalah penyampaian singkat semua hasil yang
diperoleh sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Sebagai hasil akhir dari penilaian adalah terpilihnya prioritas
pemecahan masalah.

Saran merupakan kondisi atau prasyarat yang diharapkan


dapat disediakan oleh fasilitas kesehatan agar pemecahan
masalah yang diprioritaskan tersebut dapat terlaksana
dengan baik. Jadi harus ada keterkaitan antara saran yang
diajukan dengan prioritas pemecahan masalah.

FORMAT LAPORAN EVALUASI PROGRAM


Format laporan evaluasi (penilaian) program kesehatan adalah
sebagai berikut.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Permasalahan
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
1.3.2. Tujuan Khusus
1.4. Manfaat
2. Tinjauan Pustaka
3. Metode Evaluasi
4. Penyajian Data
o Gambaran Umum Wilayah Kerja
o
o Data Khusus (data yang berhubungan dengan program
yang dinilai)
5. Hasil Penilaian dan Pembahasan
a. Indikator dan Tolok Ukur Keluaran
b. Identifikasi Masalah
c. Prioritas Masalah
d. Kerangka Konsep Masalah
e. Identifikasi Penyebab Masalah
f. Alternatif Pemecahan Masalah
g. Prioritas Pemecahan Masalah
6. Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
b. Saran
7. Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA
1. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3,
Binarupa Aksara, Jakarta; 1996.p.181-210, p.329-347.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 37
2. Arief M.R. Penilaian Program Kesehatan Jiwa Periode 2003,
di Puskesmas Cengkareng, Jakarta Barat. Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, FKUI 2004.
3. Hassarief M.I. Penilaian Program Pengelolaan Obat di
Puskesmas Kecamatan Pulogadung Periode Januari-Juli
2006. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, 2006.
4. Maselia. Penilaian Program BIAS Campak Periode April 2006
di Puskesmas Kelurahan Pulogadung, Jakarta Timur.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI, 2006.
5. Pyzdek T. The Six Sigma Handbook. Penerbit Salemba
Empat, 2002.

PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN


DOKTER KELUARGA
Nitra N. Rifki, Dhanasari Vidiawati, Retno Asti Werdhani
Divisi Kedokteran Keluarga, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 38
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Definisi kesehatan menurut UU no 36 tahun 2009 adalah keadaan


sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis yang dibutuhkan individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat.

Indonesia masih memerlukan sebuah sistem pelayanan


kesehatan tingkat primer yang bersifat menyeluruh, serta
memiliki hubungan kerja sama dengan berbagai pihak untuk
menjamin kelancaran dan kesinambungan pelayanan medis
pasien. Oleh karena itu itu dibutuhkan pelayanan kesehatan yang
bersifat paripurna, tidak terkotak-kotak, terpadu/integrasi,
bersinambung, berbasis lima tingkat pencegahan, tersedia setiap
saat dibutuhkan, serta memperhatikan factor fisik, mental, social,
budaya, spiritual dan lingkungan lain yang mempengaruhi
dan/atau dipengaruhi oleh masalah kesehatan pasien.

Ilmu kedokteran keluarga merupakan ilmu yang mencakup


seluruh spektrum ilmu kedokteran, berorientasi pada pelayanan
kesehatan tingkat primer yang bersinambung dan menyeluruh
kepada satu kesatuan individu, keluarga dan masyarakat dengan
memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan social-
budaya. Termasuk diantaranya terkait pada masalah-masalah
keluarga yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan
yaitu masalah sehat-sakit yang dihadapi oleh perorangan sebagai
bagian dari anggota keluarga. (PB IDI, 1983)

Untuk menunjang keberhasilan pelayanan kesehatan yang


bersifat paripurna, diperlukan kualitas dokter layanan primer dan
paramedis dengan pendekatan kedokteran keluarga yang dapat
berkomunikasi serta dapat saling bekerja sama untuk
mengoptimalisasi penatalaksanaan masalah kesehatan pasien
dan keluarga menuju kualitas hidup masyarakat Indonesia yang
lebih baik.

KONSEP DASAR
Ruang lingkup karakteristik kedokteran keluarga terdiri dari
beberapa konsep dasar seperti komitmen untuk melakukan
pembinaan terhadap pasien dan keluarganya secara terus
menerus, sebuah pendekatan yang komprehensif, dan menerima
semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau jenis
penyakit. Hal tersebut dilakukan oleh seorang dokter keluarga
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 39
dalam ruang lingkup praktik berbasis masyarakat serta rawat
jalan.

Ilmu Kedokteran Keluarga adalah disiplin ilmu yang berkaitan


dengan penyediaan pelayanan kesehatan personal yang
dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat primer, dengan
pendekatan komprehensif dan terus-menerus bagi individu
sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
Disiplin ini juga dikenal dengan nama lain seperti 'Dokter Praktik
Umum' atau 'Dokter Layanan Primer'. Untuk tujuan praktis, istilah
ini memiliki makna yang sama. Namun istilah 'Kedokteran
Keluarga' lebih disukai untuk menekankan keluarga sebagai unit
sosiologi yang memberikan dukungan kepada individu serta
menegaskan pentingnya keluarga dalam sebab dan akibat dari
kesehatan dan penyakit individu.

Dokter keluarga adalah seorang praktisi medis berkualitas yang


menyediakan pelayanan kesehatan personal di pelayanan
kesehatan tingkat primer, dengan pendekatan holistik dan
komprehensif, serta melakukan tindak lanjut terhadap pelayanan
kesehatan kepada pasien dalam kaitannya dengan keluarga,
masyarakat, dan lingkungan mereka. Seorang dokter keluarga
mungkin hadir untuk pasien di kliniknya, di rumah pasien, atau
kadang-kadang di rumah sakit. Dalam mengobati pasiennya,
dokter keluarga harus memperlakukan pasien sebagai manusia
seutuhnya, jiwa serta sistem tubuh mereka dan tidak hanya
memperhatikan tanda-tanda dan gejala klinis saja. Dalam
memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkelanjutan,
dokter keluarga perlu berinteraksi dengan rekan-rekan medis dan
paramedis. Dalam mempromosikan kesehatan pasiennya, dokter
keluarga tidak hanya mengobati, tetapi juga menganggap setiap
kontak dengan pasien sebagai kesempatan untuk melakukan
pencegahan, pendidikan kesehatan dan konseling terhadap
pasien dan keluarga. Dokter keluarga harus mengetahui berbagai
issue kesehatan dan dampaknya, mendidik pasien tentang
perawatan diri, keluaran serta prognosis penyakit, disertai
pemahaman mengenai harapan, kekhawatiran, dan persepsi
pasien.

Pola penyakit dalam praktik dokter keluarga menggambarkan


pola penyakit di masyarakat. Ini berarti bahwa kasus-kasus yang
ditemukan di praktik dokter keluarga adalah penyakit-penyakit
yang memiliki angka insidensi dan prevalensi tinggi; seperti
penyakit akut jangka pendek yang bersifat sementara, dapat
sembuh sendiri (self limiting disease) dan penyakit kronis serta
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 40
psikosomatik. Di satu pihak, ada pasien yang datang bukan
karena masalah fisik maupun psikis. Mereka datang dengan
masalah campuran kompleks dari unsur-unsur fisik, psikologis,
dan sosial. Karena perannya sebagai dokter utama/pertama/gate
keeper, dokter keluarga cenderung menghadapi penyakit pada
tahap awal. Diagnosis dini merupakan tanggung jawab utama,
terutama pada penyakit dimana pengobatan awal dapat
membuat perbedaan prognosis. Oleh karena itu, seorang dokter
keluarga harus sangat memperhatikan data klinis tahap awal
yang membedakan penyakit serius dan mengancam nyawa dari
penyakit kurang serius. Gejala-gejala, tanda, dan tes yang
diidentifikasi pada tahap awal dapat memberikan gambaran hasil
yang berbeda bila diidentifikasi di tahap selanjutnya.

ATRIBUT DOKTER KELUARGA


Karakteristik dasar kedokteran keluarga dan atributnya memberi
sumbangan substansial terhadap sistem kesehatan di semua
negara. Atribut pelayanan dengan pendekatan kedokteran
keluarga adalah sebagai berikut:

Pelayanan Personal
Ini menggambarkan pelayanan yang dilakukan berdasarkan
hubungan yang harmonis antara dokter dan pasien. Pasien dapat
berkonsultasi ke dokter keluarganya tidak hanya ketika ia sedang
sakit tetapi juga pada saat pasien ingin mencari nasihat dokter
sebagai seorang teman dan mentor.

Pelayanan Umum
Praktik dokter keluarga keluarga tidak memilih masalah
kesehatan dari seluruh populasi, melainkan mencakup seluruh
masalah kesehatan dari semua kategori usia, jenis kelamin, kelas
sosial, ras, agama, atau keluhan-keluhan yang berhubungan
dengan semua masalah kesehatan tersebut. Praktik dokter
keluarga harus mudah diakses dengan cepat serta tidak dibatasi
oleh hambatan geografis, budaya, administrasi, atau keuangan.
Pelayanan dapat dilakukan di kantor/perusahaan atau di klinik
baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Pelayanan Tingkat Primer


Pelayanan kesehatan tingkat primer disediakan sebagai titik
kontak pertama pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
(Starfield 1990). Berdasarkan sifatnya, pelayanan kesehatan
tingkat primer harus bersifat umum dan mampu mengatasi
masalah kesehatan apa pun yang timbul. Dalam pelayanan
kesehatan tingkat primer, pasien mungkin datang dengan satu
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 41
atau lebih dari alasan kedatangan: nyeri atau gejala lainnya,
kecelakaan dan darurat, pelayanan kesehatan preventif,
persyaratan administrasi (pemeriksaan fisik dan sertifikasi
kesehatan), meyakinkan sesuatu (khawatir akan gejala tertentu),
masalah hidup, atau surat sakit. Jika perlu, pasien dapat dirujuk
dari pelayanan kesehatan tingkat primer ke rumah sakit tingkat
sekunder / tersier atau profesional kesehatan lainnya. Akses
pasien ke profesional kesehatan tingkat sekunder / tersier adalah
melalui rujukan dokter keluarga.

Pelayanan Bersinambung
Konsultasi dalam praktik dokter keluarga tidak terjadi dalam satu
waktu. Hal ini didasari pada hubungan pribadi jangka panjang
antara pasien dan dokter, yang meliputi pelayanan kesehatan
individu jangka panjang sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Tidak terbatas pada satu episode tertentu dari penyakit, tetapi
juga untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kesehatan
dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan pemantauan
secara rutin dan juga perawatan komplikasi yang mungkin timbul.
Pelayanan ini dapat diberikan oleh dokter sendiri, atau dokter
sebagai anggota tim. Kebutuhan mendasar adalah adanya
rencana pengelolaan masalah kesehatan secara jelas dan tertulis.
Oleh karena itu, penting adanya rekam medis yang terjaga baik
kualitasnya, komunikasi, dan diskusi tentang rencana
penatalaksanaan dengan pasien dan keluarganya.

Pelayanan Komprehensif
Praktik dokter keluarga menyediakan berbagai layanan, termasuk
manajemen penyakit akut dan kronis, promosi kesehatan
terpadu, pencegahan penyakit, pengobatan kuratif, rehabilitasi
fisik dan psikologis, serta dukungan sosial kepada individu.
Pelayanan komprehensif medis adalah pelayanan yang
menyediakan pelayanan pencegahan primer, sekunder dan
tersier di satu tempat (klinik, rumah sakit, panti jompo, atau
melalui telepon) dan memiliki pendekatan untuk melakukan
pencegahan setiap kali bertemu/berbicara dengan pasien. Ini
berkaitan dengan keluhan dan penyakit, yang mengintegrasikan
humanistik dan aspek etis dari hubungan dokter-pasien dalam
pengambilan keputusan klinis.

Pelayanan Terkoordinasi
Dokter keluarga mengetahui seluruh daftar masalah pasien dan
sumber utama informasi perawatan pasien. Seorang dokter
keluarga bisa menangani banyak masalah kesehatan yang
disampaikan oleh individu pada kontak pertama mereka, tetapi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 42
bila perlu, dokter keluarga harus memastikan rujukan yang
sesuai, tepat waktu, dan kontrol dari pasien ke layanan spesialis
atau ahli kesehatan lain. Dalam kesempatan tersebut, dokter
keluarga harus memberi tahu pasien tentang layanan yang
tersedia dan bagaimana cara terbaik untuk menggunakannya,
serta harus menjadi koordinator dari nasihat dan dukungan yang
diterima pasien. Dokter keluarga harus bertindak sebagai
manajer pelayanan dan berhubungan dengan penyedia
pelayanan kesehatan dan sosial lainnya, serta bertindak sebagai
penasihat pasien mengenai berbagai masalah kesehatan.

Pelayanan Berkolaborasi
Dokter keluarga harus siap bekerja dengan tenaga kesehatan lain
dan penyedia pelayanan sosial, mendelegasikan perawatan
pasien kepada mereka jika diperlukan, dengan memperhatikan
kompetensi disiplin ilmu lainnya. Seorang dokter keluarga harus
berkontribusi dan berpartisipasi aktif dalam tim perawatan
multidisiplin yang berfungsi dengan baik dan harus siap untuk
melaksanakan kepemimpinan tim.

Pelayanan Berorientasi Keluarga


Praktik dokter keluarga menangani masalah-masalah kesehatan
individu dalam konteks sebagai bagian dari keluarga mereka,
jaringan sosial dan budaya, serta keadaan di mana mereka
tinggal dan bekerja. Banyak orang menghadapi penyakitnya
sendiri, namun mereka juga memanfaatkan sumber daya di
sekitar mereka. Kerabat, anggota keluarga, dan teman-teman
dapat memberikan dukungan, saran, dan bentuk keperawatan
awam jika diperlukan. Hal ini khususnya diperlukan pada penyakit
anak. Untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dari sekitar,
biasanya bergantung pada unit keluarga. Para dokter akan
mengetahui kesehatan keluarga sebagai satu unit, juga sebagai
keluarga yang telah melewati tahapan kehidupan keluarga.

Bentuk keluarga

Fungsi keluarga

Ada 8 tahapan kehidupan keluarga (Duvall, 1977) dan contoh


risiko yang mungkin terjadi:
1. Menikah (belum memiliki anak) : cth. Gangguan hubungan
seksual, infertilitas, gangguan pada kehamilan, keguguran
2. Bayi (anak berusia 0-30 bulan) : cth. Penyesuaian diri
sebagai orang tua, gangguan tumbuh kembang anak, ASI

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 43


tidak eksklusif, gizi kurang, imunisasi tidak lengkap,
kerentanan terhadap penyakit infeksi, kelainan genetik
3. Balita (anak berusia 30 bulan 6 tahun) : cth. Gangguan
tumbuh kembang, gizi kurang, gangguan atensi, kerentanan
terhadap penyakit infeksi, kesehatan gigi, penyakit
keturunan, obesitas pada anak
4. Usia sekolah (anak berusia 6-13 tahun) : cth. Gangguan
belajar, gangguan atensi, penyakit infeksi, penyakit
keturunan, gangguan pubertas, pendidikan seks, obesitas
pada anak, krisis percaya diri
5. Remaja (anak berusia 13 20 tahun) : cth. Kenakalan
remaja, perilaku seks bebas dan tidak aman, alcohol,
narkoba, krisis percaya diri, penyakit menular seksual,
kehamilan remaja, orientasi seksual, krisis kematangan dan
kemandirian
6. Anak satu persatu meninggalkan keluarga (Launching
family) : cth. Ketidakmampuan adaptasi terhadap
lingkungan luar rumah, stress, komunikasi anak-orang tua
tidak lancar, obesitas, sindrom metabolik, perubahan gaya
hidup, kesehatan mental
7. Orang tua usia pertengahan/pensiun (seluruh anak
meninggalkan keluarga) : cth. Penyakit degeneratif dan
kardiovaskuler, post power syndrome, kesehatan mental,
stress, komunikasi anak-orang tua tidak lancar, komplikasi
sindrom metabolik, osteoporosis, perubahan bentuk tubuh,
hilangnya libido, kulit keriput, kanker, menopause,
gangguan sendi
8. Usia lanjut (sampai dengan meninggal dunia) : depressi dan
penuaan, tinggal sendiri dalam rumah (soliter), kedukaan,
penurunan respons seksual, penyakit kronis dan stadium
terminal, multifarmaka, komunikasi kakek/nenek-anak-cucu
tidak lancar, tidak menerima kematian

No Aspek Rincian Keterangan


1. Alasan kedatangan pasien 1.1. keluhan utama (reason Keluhan (complaints)
of encounter) /simptom/ Fisik, m
sindrom klinis yang neuropsikologikososial (w
ditampilkan keluhan tak jelas )

1.2. apa yang diharapkan


pasien atau keluarganya
1.3. serta apa yang
dikawatirkan pasien atau

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 44


keluarganya

2. Diagnosis klinis Bila diagnosis klinis belum dapat Diagnosis berdasarkan ICD
biologikal, psikomental, ditegakkan cukup dengan dan ICPC-2 yang
intelektual, nutrisi diagnosis kerja. mengemukakan masalah s
sertakan derajat dan derajat penyakit
keparahan .
3. Perilaku individu dan gaya - kebiasaan (dietary habits;tinggi le
hidup (life style), merokok tinggi kalori)
kebiasaan yang
menunjang terjadinya - kebiasaan
penyakit, beratnya jajan, kebiasaan makan
penyakit - kebiasaan
individu mengisi waktu
dengan perihal yang negatip
4. Pemicu psikososial dan 4.1. pemicu primer adalah dinilai - Bantuan
lingkungan dalam dari dukungan keluarga yang suami terha
kehidupan seseorang terdekat (family support) penyakit istri (
hingga mengalami yang sakit ada
penyakit seperti yang 4.2. pemicu dukungan keluarga isteri)
ditemukan lainnya (dinilai dari tidak
adanya/kurangnya ) sesuai
kedekatan hubungan - Tidak
seseorang dengan bantuan/perhatian/
keluarganya) perawatan/ suam
istri, anak se
dengan hiraki an
menantu se
dengan kedudu
cucu dan lainnya a
pelaku rawat yang
- Kurangnya
kasih say
(hubungan yang
harmonis)
- Kurangnya
perhatian
perkembangan
penyakit Kurang
pengobatan
/perawatan o
keluarga ,
- Tidak
penyelesaian masa
yang dilakukan ,
- tidak
waktu y
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 45
disediakan keluarg
- pekerjaan (p
waktu, kerja keras
psikologis)
- pengaruh ne
dari ; kultur,bud
pergaulan kebia
keluarga, kepercayaan ,
pendidikan (ren
keterampilan terbatas)
No Aspek Rincian Keterangan
5. 4.3. pemicu sosial (yang negatip) - kebiasaan b
dapat menimbulkan masalah berkaitan tidak berolah
kesehatan , atau kejadian - perilaku
penyakit keluarga (tak m
sendiri), menu kelu
yang tak sesuai kebutuh
- perilaku
menabung (per
konsumtif)
- tidak ad
perencanaan keluarg
ada pendidikan anak
ada pengar
pengembangan karier )
6. 4.4. masalah perilaku keluarga - perilaku keber
yang tidak sehat buruk
- perilaku kelu
pemanfaatan waktu l
buruk
- penggunaan
addiktif, penggunaan n
merokok
4.5. masalah ekonomi yang
mempunyai pengaruh - pendapatan
terhadap penyakit/masalah cukup, tak menentu de
kesehatan yang ada jumlah keluarga besar
- ketergantungan
finansial pada orang lai
- ratio ketergantu
(beban keluarga)
4.6. akses pada pelayanan
kesehatan yang - tak mudahnya u
mempengaruhi penyakit : mencapai tempat prakti
- tiada biaya berob
- tidak mempu
sistem pra upaya/Asu

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 46


Kesehatan)
- pelayanan pro
kesehatan yang
informatif, tidak ra
tidak komprehensif
4.7. pemicu dari lingkungan fisik
- polutan dalam ru
(asap dapur,
rokok,debu)
- pada tempat
(polusi asap, debu, k
pada lingku
pemukiman

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 47


No Aspek Rincian Keterangan
7. 4.8. masalah dengan bangunan - ventilasi, tak ad
tempat tinggal yang memadai
berdampak negatip terhadap - pencahayaan ku
kesehatan pasien dan tertutup banguan tinggi
keluarga - sumber air tak
(MCK),
- wc umum, si
pembuangan ,
- keamanan gedu
ergonomi rumah, tan
licin, (terutama u
lansia, balita),
- privasi tak
,kepadatan hunian , bis

4.9. lingkungan pemukiman yang - kepadatan


berdampak negatip pada perumahan,
seseorang - sistem pembua
sampah, limbah
- kebersihan
kebisingan , pemuk
kumuh , dll
8. Fungsi sosial seseorang Aktivitas Menjalankan Fungsi kemampuan dalam menj
Sosial Dalam Kehidupan kehidupan untuk
Skala 1 tergantung pada orang
- Mampu melakukan (skala 1-5)
pekerjaan seperti sebelum sakit - Perawatan
bekerja di dalam dan di
Skala 2 rumah (mandiri)
- Mampu melakukan
pekerjaan ringan sehari-hari di - Mulai mengu
dalam dan luar rumah aktivitas kerja (peke
Skala 3 kantor)
- Mampu melakukan
perawatan diri, tapi tak mampu
melakukan pekerjaan ringan - Perawatan diri m
Skala 4 bisa dilakukan, h
- Dalam keadaan tertentu mampu melakukan
masih mampu merawat diri, ringan
namun sebagian besar
pekerjaan hanya duduk dan - Tak melak
Skala 5 berbaring aktivitas kerja, tergan
pada keluarga
- Perawatan diri dilakukan
orang lain, tak mampu berbuat

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 48


apa-apa berbaring pasif - Tergantung
pelaku rawat

Pelayanan Berorientasi Masyarakat


Masalah pasien harus dilihat dalam konteks hidupnya di
masyarakat setempat. Dokter keluarga harus menyadari
kebutuhan kesehatan penduduk yang hidup di komunitas dan
harus berkolaborasi dengan profesional lainnya, lembaga dari
sektor lain serta kelompok lain untuk memulai perubahan positif
dalam masalah kesehatan setempat. Dengan sumber daya yang
memadai, dokter keluarga dapat mengelola masalah kesehatan di
masyarakat. Kepedulian dari masyarakat dan oleh masyarakat,
tergantung pada kemauan dan kemampuan masyarakat untuk
mengatasi masalah mereka sendiri

Pelayanan dengan Pendekatan Holistik


Penyakit adalah sebuah fenomena psikososial yang sama
kontribusinya dengan fenomena biologis. Dokter keluarga harus
menyadari bahwa faktor yang berkontribusi untuk terjadinya
sehat-sakit dan sejahtera tidak hanya berasal dari dimensi fisik,
tetapi juga dari dimensi sosial dan psikologis pasien (model bio-
psiko-sosial kesehatan) serta dari keluarga dan komunitasnya.
Dengan memperhatikan ini, dokter dapat memecahkan masalah
kesehatan fisik secara efektif. Solusi untuk kesehatan yang baik
sebenarnya terletak di luar obat-obatan.

Pelayanan dengan Bio-Psycho-Sosial model


Adalah penting untuk mengenali bahwa setiap penyakit memiliki
berbagai kontribusi dan konsekuensi fisik, sosial, dan psikologis.
Tidak cukup hanya memperhatikan aspek-aspek fisik saja. Selama
perawatan di rumah sakit, dimensi fisik mungkin menjadi yang
utama. Namun setelah pasien sembuh, dimensi sosial dan
psikologis akan menjadi lebih dominan. Dalam praktik dokter
keluarga, beberapa pasien mungkin mengalami masalah sosial
atau psikologis sebagai penyebab kesehatan yang buruk dan ini
dapat diekspresikan sebagai keluhan fisik. Model biopsikososial
sering disalahpahami. Ini dapat ditafsirkan sebagai keseimbangan
dokter dalam menangani masalah biomedis, psikologis dan sosial,
dimana dokter mungkin cukup berkata, "bukanlah tugas saya
untuk menangani masalah perumahan, namun ada sumber lain
yang lebih tepat untuk membantu. Berurusan dengan masalah
perumahan biasanya bukan pekerjaan dokter, tapi mungkin
menjadi perhatian jika masalah perumahan memiliki hubungan
yang signifikan terhadap penyakit pasien.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 49
Pelayanan Berpusat Pada Pasien (Patient Centered)
Praktik dokter keluarga berpusat pada manusia dibandingkan
berpusat pada penyakit. Salah satu alasan pasien mengunjungi
dokter adalah untuk mendapatkan akses keahlian medis yang
memungkinkan dokter untuk memikul beberapa tanggung jawab
dalam mengelola penyakit. Untuk menyembuhkan pasien, hal lain
yang diperlukan, yaitu, kemampuan untuk memahami dunia batin
pasien - nilai-nilai hidup, pikiran, perasaan, dan ketakutan pasien.
Esensi berpusat pada pasien adalah upaya dokter untuk
memenuhi tugas ganda: memahami pasien dan memahami
masalahnya. Dari pemahaman ini mengalir proses manajemen
untuk pasien dan masalahnya. Sebagai dokter, dengan
mengetahui lebih banyak tentang pasien (biografi mereka,
hubungan interpersonal, kepribadian, perilaku, lingkungan fisik,
sosial, budaya, dll), ia akan lebih mampu untuk mengembangkan
wawasan yang lebih besar akan kebutuhan pasien yang
sesungguhnya. Kunci dari hubungan yang berpusat pada pasien
adalah memberikan kesempatan pasien untuk berbicara,
termasuk mengekspresikan perasaan. Dari sini tidak hanya
dokter dapat mengidentifikasi gejala dan tanda-tanda serta
membuat diagnosis tepat, tetapi dengan mendengarkan pasien,
dokter dapat mengidentifikasi apa yang menjadi masalah nyata
sebenarnya. Kemudian diperlukan keputusan bersama antara
dokter dan pasien untuk menentukan tindakan terbaik. Jika kedua
belah pihak setuju, akan berdampak kepada manajemen yang
tepat dari masalah dan kepatuhan pasien akan tinggi. Hasilnya
adalah kepuasan pasien dan dokter (Mead dan Bower 2000).

DIAGNOSIS HOLISTIK
Karena kebutuhan seorang dokter keluarga untuk berpikir holistik
dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam
sehat-sakit dan sejahtera, maka perlu adanya pencarian
penyebab masalah kesehatan yang dikaitkan dengan aspek
personal, aspek klinis, aspek individual, psikososial, keluarga,
serta lingkungan kehidupan pasien lainnya (faktor risiko internal
dan eksternal). Dengan demikian diharapkan penyelesaian
masalah dapat dilakukan langsung secara efektif dan efisien
terhadap penyebab utamanya. Proses pengumpulan data
dilakukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan disertai
kerjasama antar penyedia pelayanan kesehatan. Tidak semua
data diidentifikasi di kamar praktik dokter dan tidak harus selalu
terjadi dalam satu waktu. Proses identifikasi ini terjadi secara
bersinambung dan terintegrasi. Untuk itu diperlukan pencatatan
yang baik dan benar.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 50
Diagnosis holistik terdiri dari 5 aspek :
1. Aspek Personal
a. Idenfitikasi alasan kedatangan pasien
b. Identifikasi harapan pasien
c. Identifikasi kekhawatiran pasien
2. Aspek Klinik
a. Identifikasi diagnosis kerja/diagnosis klinis
b. Identifikasi diagnosis banding
3. Aspek Risiko Internal Pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien
yang berasal dari dalam tubuh pasien : status gizi, perilaku,
imunitas, jenis kelamin, usia, dll.
4. Aspek Risiko Eksternal Pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien
yang berasal dari luar tubuh pasien : lingkungan keluarga,
lingkungan rumah, lingkungan pekerjaan, stressor, dll
5. Aspek Fungsional
Identifikasi derajat fungsional pasien yaitu dampak aktivitas
harian pasien saat mengalami keluhan/gejala yang
dikeluhkan (International Classification of Primary Care).
Dibagi menjadi lima:
- 1 : No difficulty at all (sama sekali tidak mengurangi
pekerjaan/aktivitas harian)
- 2 : A little bit of difficulty (mulai mengurangi aktivitas
berat, aktivitas ringan masih mampu)
- 3 : Some difficulty (mulai mengurangi aktivitas ringan,
sebagian perawatan diri sementara dibantu orang lain,
kemungkinan perawatan di RS untuk sementara
waktu)
- 4 : Much difficulty (aktivitas harian lebih banyak di
rumah, tidak mampu bekerja di luar rumah, perawatan
diri sebagian sudah harus dibantu orang lain)
- 5 : Could not do/permanent unfit (100% berbaring di
tempat tidur, perawatan diri seluruhnya harus dibantu
orang lain)

No Aspek Rincian Keterangan


9. Alasan kedatangan pasien 9.1. keluhan utama (reason Keluhan (complaints)
of encounter) /simptom/ Fisik, m
sindrom klinis yang neuropsikologikososial (w
ditampilkan keluhan tak jelas )

9.2. apa yang diharapkan


pasien atau keluarganya

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 51


9.3. serta apa yang
dikawatirkan pasien atau
keluarganya

10. Diagnosis klinis Bila diagnosis klinis belum dapat Diagnosis berdasarkan ICD
biologikal, psikomental, ditegakkan cukup dengan dan ICPC-2 yang
intelektual, nutrisi diagnosis kerja. mengemukakan masalah s
sertakan derajat dan derajat penyakit
keparahan .
11. Perilaku individu dan gaya - kebiasaan (dietary habits;tinggi le
hidup (life style), merokok tinggi kalori)
kebiasaan yang
menunjang terjadinya - kebiasaan
penyakit, beratnya jajan, kebiasaan makan
penyakit - kebiasaan
individu mengisi waktu
dengan perihal yang negatip
12. Pemicu psikososial dan 4.10. pemicu primer adalah - Bantuan
lingkungan dalam dinilai dari dukungan suami terha
kehidupan seseorang keluarga yang terdekat penyakit istri (
hingga mengalami (family support) yang sakit ada
penyakit seperti yang isteri)
ditemukan 4.11.pemicu dukungan keluarga
lainnya (dinilai dari tidak
adanya/kurangnya ) sesuai - Tidak
kedekatan hubungan bantuan/perhatian/
seseorang dengan perawatan/ suam
keluarganya) istri, anak se
dengan hiraki an
menantu se
dengan kedudu
cucu dan lainnya a
pelaku rawat yang
- Kurangnya
kasih say
(hubungan yang
harmonis)
- Kurangnya
perhatian
perkembangan
penyakit Kurang
pengobatan
/perawatan o
keluarga ,
- Tidak
penyelesaian masa
yang dilakukan ,
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 52
- tidak
waktu y
disediakan keluarg
- pekerjaan (p
waktu, kerja keras
psikologis)
- pengaruh ne
dari ; kultur,bud
pergaulan kebia
keluarga, kepercayaan ,
pendidikan (ren
keterampilan terbatas)
No Aspek Rincian Keterangan
13. 4.12. pemicu sosial (yang - kebiasaan b
negatip) dapat menimbulkan berkaitan tidak berolah
masalah kesehatan , atau - perilaku
kejadian penyakit keluarga (tak m
sendiri), menu kelu
yang tak sesuai kebutuh
- perilaku
menabung (per
konsumtif)
- tidak ad
perencanaan keluarg
ada pendidikan anak
ada pengar
pengembangan karier )
14. 4.13. masalah perilaku - perilaku keber
keluarga yang tidak sehat buruk
- perilaku kelu
pemanfaatan waktu l
buruk
- penggunaan
addiktif, penggunaan n
merokok
4.14. masalah ekonomi yang
mempunyai pengaruh - pendapatan
terhadap penyakit/masalah cukup, tak menentu de
kesehatan yang ada jumlah keluarga besar
- ketergantungan
finansial pada orang lai
- ratio ketergantu
(beban keluarga)
4.15. akses pada pelayanan
kesehatan yang - tak mudahnya u
mempengaruhi penyakit : mencapai tempat prakti
- tiada biaya berob

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 53


- tidak mempu
sistem pra upaya/Asu
Kesehatan)
- pelayanan pro
kesehatan yang
informatif, tidak ra
tidak komprehensif
4.16. pemicu dari lingkungan
fisik - polutan dalam ru
(asap dapur,
rokok,debu)
- pada tempat
(polusi asap, debu, k
pada lingku
pemukiman

No Aspek Rincian Keterangan


15. 4.17. masalah dengan - ventilasi, tak ad
bangunan tempat tinggal memadai
yang berdampak negatip - pencahayaan ku
terhadap kesehatan pasien tertutup banguan tinggi
dan keluarga - sumber air tak
(MCK),
- wc umum, si
pembuangan ,
- keamanan gedu
ergonomi rumah, tan
licin, (terutama u
lansia, balita),
- privasi tak
,kepadatan hunian , bis

4.18. lingkungan pemukiman - kepadatan


yang berdampak negatip perumahan,
pada seseorang - sistem pembua
sampah, limbah
- kebersihan
kebisingan , pemuk
kumuh , dll
16. Fungsi sosial seseorang Aktivitas Menjalankan Fungsi kemampuan dalam menj
Sosial Dalam Kehidupan kehidupan untuk
Skala 1 tergantung pada orang
- Mampu melakukan (skala 1-5)
pekerjaan seperti sebelum sakit - Perawatan
bekerja di dalam dan di

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 54


Skala 2 rumah (mandiri)
- Mampu melakukan
pekerjaan ringan sehari-hari di - Mulai mengu
dalam dan luar rumah aktivitas kerja (peke
Skala 3 kantor)
- Mampu melakukan
perawatan diri, tapi tak mampu
melakukan pekerjaan ringan - Perawatan diri m
Skala 4 bisa dilakukan, h
- Dalam keadaan tertentu mampu melakukan
masih mampu merawat diri, ringan
namun sebagian besar
pekerjaan hanya duduk dan - Tak melak
Skala 5 berbaring aktivitas kerja, tergan
pada keluarga
- Perawatan diri dilakukan
orang lain, tak mampu berbuat
apa-apa berbaring pasif - Tergantung
pelaku rawat

DAFTAR PUSTAKA
1. McWhinney IR. A Textbook of Family Medicine. 2 nd ed.
Oxford:Oxford University Press, 2009
2. Gan Gl, Azwar A, Wonodirekso S. A Primer on Family
Medicine Practice. Singapore:Singapore International
Foundation, 2004
3. Boelen C, Haq C, et all. Improving Health Systems:The
Contribution of Family Medicine. A guidebook. WONCA,
2002
4. Amstrong D. Outline of Sociology as Applied to Medicine.
5th ed. London:Arnold Publisher, 2003
5. Rubin RH, Voss C, et all. Medicine A Primary Care
Approach. Philadepphia:WB Saunders Company, 1996
6. Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8 th ed.
Philadephia:Elsevier Saunders, 2011
7. Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan
Primer:Pendekatan Multi Aspek. Jakarta:Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, 2008

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 55


DIAGNOSIS OKUPASI
Astrid B Sulistomo, Dewi Soemarko,
Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa ada hubungan antara pajanan yang
spesifik dengan berbagai jenis penyakit. Hubungan tersebut
dapat diidentifikasi berdasarkan hubungan kausal antara pajanan
dan penyakit yaitu berdasarkan kekuatan asosiasi, konsistensi,
spesifisitas, waktu, dan dosis. Banyak penelitian yang
mengungkap bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi
pekerja lebih tinggi daripada masyarakat umum. Hal tersebut
mungkin disebabkan adanya pajanan-pajanan khusus di kalangan
pekerja ditambah dengan kondisi lingkungan kerja yang kurang
mendukung. Hal tersebut sangat disayangkan karena
sesungguhnya banyak penyakit yang dapat dicegah dengan
melakukan tindakan preventif di tempat kerja.

DEFINISI- DEFINISI PENYAKIT AKIBAT KERJA


1. Penyakit akibat kerja (Occupational Diseases) menurut
International Labor Organization (ILO), 1998 adalah
Penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau
asosiasi kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri
dari satu agen penyebab yang sudah diakui.

Occupational diseases is a disease or an ailment caused due


to excessive exposure of noxious fumes or substances in a
working environment that are injurious to health.It includes
asthma,poisoning due to use of pesticides,black lung disease
among miners, lung cancer due to use of asbestos and other
respiratory problems.Any employee who gets affected by
disease or a disability under such condition is liable to receive
compensation under the laws of workmen's compensation or
any other related provision. (ACOEM)

An occupational disease is a disease or disorder that is


caused by the work or working conditions. This means that the
disease must have developed due to exposures in the
workplace and that the correlation between the exposures and
the disease is well known in medical research. Or put in
another way, it must not be likely, beyond reasonable doubt,
that the disease was caused by factors other than work. (The

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 56


National Board of Industrial Injuries, Sankt Kjelds Plads 11,
Postboks 3000, DK-2100, Copenhagen, Denmark)

The term "occupational disease" refers to those illnesses


caused by exposures at the workplace. They should be
separated, conceptually, from injuries that may also may occur
at workplaces due to a variety of hazards. (Encyclopaedia of
Public Health)

According to Protocol of 2002 to the Occupational Safety and


Health Convention, 1981, the term occupational disease
covers any disease contracted as a result of an exposure to
risk factors arising from work activity .Two main elements are
present in the definition of an occupational disease: the causal
relationship between exposure in a specific working
environment or work activity and a specific disease; and the
fact that the disease occurs among a group of exposed
persons with a frequency above the average morbidity of the
rest of the population.

2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work


Related Disease) 1998:
Adalah Penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab,
dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan bersama
dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit
yang mempunyai etiologi yang kompleks.

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah


penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan
kerja. (Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang :
Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja).

3. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (Diseases


affecting working populations)
Adalah Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa
adanya agen penyebab ditempat kerja, namun dapat
diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan.
Penyakit tersebut juga dikenal dengan Penyakit yang
diperberat oleh pekerjaan.

Secara praktis, Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan adalah


Penyakit umum yang ada di masyarakat umum, tetapi
mengenai pekerja. Penyakit tersebut secara tidak langsung
menyebabkan semakin berat karena ada pengaruh dari
pekerjaan/proses kerja yang dilakukan oleh pekerja tersebut.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 57
Dalam Ensiklopedi ILO edisi ke 3 (tahun 1983) definisi penyakit
akibat kerja, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
dan bukan penyakit akibat kerja masih dipisahkan secara jelas,
namun dibeberapa Negara, penyakit yang disebabkan
pekerjaan dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
diberlakukan sama, sebagai penyakit akibat kerja
(occupational disease). Pengertian penyakit akibat kerja dan
penyakit yang berhubungan dengan kerja selalu menjadi topik
bahasan yang hangat.

Sehingga akhirnya pada tahun 1987, suatu komite pakar


kesehatan kerja dari WHO dan ILO, menawarkan gagasan,
bahwa istilah penyakit akibat hubungan kerja (work
related disease) dapat digunakan tidak saja untuk penyakit
akibat kerja yang sudah diakui, tetapi juga untuk gangguan
kesehatan dimana lingkungan kerja dan proses kerja
merupakan salah satu faktor penyebab yang bermakna
disamping faktor-faktor penyebab/risiko lainnya. Gagasan
tersebut kemudian diadopsi oleh WHO dan ILO pada tahun
1989, sehingga untuk selanjutnya hanya dikenal Penyakit
Akibat Hubungan Kerja.

PEMBAGIAN PENYAKIT AKIBAT KERJA BERDASARKAN ILO,


ICD DAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
1. ILO Convention No. 121 di Geneva pada December 1991.
Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi Penyakit karena agen,
penyakit sesuai target organ dan keganasan.

2. ICD 10 OH , secara umum dibagi menjadi:


1. Diseases caused by agents
1.1 Diseases caused by chemical agents
1.2 Diseases caused by physical agents
1.3 Diseases caused by biological agents
2. Diseases by target organ
2.1 Occupational respiratory diseases
2.2 Occupational skin diseases
2.3 Occupational musculoskeletal diseases
3. Occupational cancer
4. Others

3. Keputusan Presiden RI no 22/1993 tentang Penyakit


yang timbul karena hubungan kerja :
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan
kerja, ada 31 kelompok penyakit.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 58
TUJUAN DAN MANFAAT DIAGNOSIS OKUPASI /DIAGNOSIS
PENYAKIT AKIBAT KERJA
Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, diagnosis
penyakit akibat kerja mempunyai aspek medis, aspek komunitas
dan aspek legal. Dengan demikian tujuan melakukan diagnosis
akibat kerja adalah:
1. Dasar terapi
2. Membatasi kecacatan dan mencegah kematian
3. Melindungi pekerja lain
4. Memenuhi hak pekerja

Dengan melakukan diagnosis okupasi/ diagnosis penyakit akibat


kerja, maka hal ini akan berkontribusi terhadap:
1. Pengendalian pajanan berrisiko pada sumbernya
2. Identifikasi risiko pajanan baru secara dini
3. Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pada pekerja yang
sakit dan/atau cedera
4. Pencegahan terhadap terulangnya atau makin beratnya
kejadian penyakit atau kecelakaan
5. Perlindungan pekerja yang lain
6. Pemenuhan hak kompensasi pekerja
7. Identifikasi adanya hubungan baru antara suatu pajanan
dengan penyakit

TUJUH LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI DALAM PENENTUAN


PENYAKIT AKIBAT KERJA
Agar diagnosis penyakit akibat kerja dapat ditegakkan, diperlukan
perhatian khusus dan ketrampilan investigasi dari seorang dokter.
Tanpa adanya kewaspadaan dan kecurigaan dari seorang dokter,
bahwa penyebab suatu penyakit ada di tempat kerja, maka
diagnosis penyakit akibat kerja sering terlewatkan. Langkah
sistematis dan terarah dalam menegakkan diagnosis tersebut
dinamakan 7 langkah diagnosis okupasi.

Secara sistematis dapat dibuat skema sebagai berikut:

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 59


Gambar 3. Langkah diagnosis okupasi

Langkah 1. Menentukan diagnosis klinis


Sebagai langkah pertama penegakkan diagnosis Penyakit Akibat
Kerja adalah menegakkan diaghnosis klinis penyakit. Diagnosis
Okupasi/ Diagnosis Penyakit Akibat Kerja tidak dapat ditegakkan
hanya berdasarkan simptom atau gejala yang dikeluhkan pasien,
karena dasar dari penegakkan diagnosis penyakit akibat kerja
adalah Evidence Based, dimana penelitian yang ada
menunjukkan bahwa antara suatu pajanan dengan suatu penyakit
ada hubungan spesifik. Artinya suatu pajanan hanya
menyebabkan satu atau beberapa penyakit tertentu, sesuai hasil
penelitian yang ada. Upaya diagnosis klinis mungkin memerlukan
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya
dan sering perlu melibatkan dokter spesialis yang terkait dengan
penyakit pasien.

Langkah 2. Menentukan pajanan yang dialami individu


tersebut dalam pekerjaan
Suatu penyakit akibat kerja, seringkali tidak hanya disebabkan
oleh pajanan yang dialami di pekerjaan yang saat ini dilakukan,
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 60
tetapi dapat disebabkan oleh pajanan-pajanan pada pekerjaan-
pekerjaan yang terdahulu. Selain itu beberapa pajanan bisa saja
menyebabkan satu penyakit, sehingga seorang dokter harus
mendapatkan informasi mengenai semua pajanan yang dialami
dan pernah dialami oleh pasiennya, untuk dapat mengidentifikasi
pajanan atau pekerjaan mana yang penting dan mungkin
berpengaruh untuk diinvestigasi lebih lanjut.

Untuk memperoleh informasi ini perlu dilakukan anamnesis


pekerjaan yang lengkap, yang mencakup:
- Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis
- Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan
- Apa yang diproduksi
- Bahan yang digunakan
- Cara bekerja

Informasi tersebut akan semakin bernilai, bila ditunjang dengan


data yang objektif, seperti MSDS (Material Safety Data Sheet) dari
bahan yang digunakan, catatan perusahaan mengenai
penempatan kerja dsb.

Langkah 3. Menentukan apakah ada hubungan antara


pajanan dengan penyakit
Melakukan identifikasi pajanan mana saja yang berhubungan
dengan penyakit yang dialami. Hubungan ini harus berdasarkan
hasil-hasil penelitian epidemiologis yang pernah dilakukan
(evidence based). Identifikasi ada tidaknya hubungan antara
pajanan dan penyakit dapat dilakukan dengan mengkaji
referensi/literatur yang ada. Bila belum ada bukti bahwa suatu
pajanan ada hubungan dengan suatu penyakit, maka diagnosis
penyakit akibat kerja tidak dapat ditegakkan. Bila belum ada hasil
penelitian yang menujukkan adanya suatu hubungan antara
pajanan dan penyakit tertentu, tetapi dari pengalaman sangat
dicurigai adanya suatu hubungan, maka itu baru dapat dijadikan
dasar untuk melakukan penelitian awal.

Hubungan antara pajanan dengan penyakit juga perlu dilihat dari


waktu timbulnya gejala atau terjadinya penyakit, misalnya orang
tersebut terpajan oleh bahan tertentu terlebih dahulu, sebelum
mulai timbul gejala atau penyakit. Contoh lain adalah pada Asma
Bronkhiale. Bila didapatkan, bahwa serangan asma lebih banyak
terjadi pada waktu hari kerja dan berkurang pada hari libu, masa
cuti atau pada waktu tidak terpajan, hal ini akan sangat
mendukung ke diagnosis Asma Akibat Kerja. Sehingga anamnesis
mengenai hubungan gejala dengan pekerjaan perlu dilakukan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 61
juga dengan teliti. Adanya hasil pemeriksaan pra-kerja mengenai
penyakit akan mempermudah menentukan, bahwa penyakit
terjadi sesudah terpajan, namun tidak adanya hasil pemeriksaan
pra-kerja dan/atau hasil pemeriksaan berkala bukan berarti tidak
dapat dilakukan diagnosis penyakit akibat kerja.

Langkah 4. Menentukan apakah pajanan yang dialami


cukup
Untuk dapat menilai apakah suatu pajanan cukup besar untuk
dapat menyebabkan penyakit tertentu, perlu dimengerti
patofosiologi dari penyakit tersebut dan bukti epidemiologis.
Cukup besarnya suatu pajanan dapat dinilai secara kualitatif,
yaitu dengan menanyakan kepada pasien mengenai cara kerja,
proses kerja dan bagaimana lingkungan kerja. Penting juga
melakukan pengamatan dan memperhitungkan masa kerja, yaitu
berapa lama pekerja tersebut sudah terpajan. Penilaian secara
kuantitatif dapat menggunakan data pengukuran lingkungan
kerja terhadap pajanan tersebut, yang telah dilakukan secara
periodik oleh perusahaan atau data monitoring biologis yang ada.
Bila tidak ada, bisa dilakukan pengukuran pada saat akan
dilakukan diagnosis penyakit akibat kerja dan bila tidak ada
perubahan dalam proses dan cara kerja secara berarti pada masa
kerja pekerja tersebut, dapat diasumsikan bahwa selama masa
kerja tersebut pekerja memperoleh pajanan dalam jumlah yang
sama. Hasil pengukuran yang didapat perlu dinilai apakah
melebihi Nilai Ambang Batas, atau termasuk terpajan tinggi atau
tidak. Pemakaian alat pelindung perlu juga dinilai apakah dapat
mengurangi pajanan yang dialami secara berarti atau tidak, yaitu
bila jenis alat pelindung diri sesuai, dipakai secara benar dan
konsisten.

Langkah 5. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu


yang berperan
Setiap penyakit selain disebabkan oleh faktor lingkungan
dan/atau faktor pekerjaan, pasti juga ada faktor individu yang
berperan. Perlu dinilai seberapa besar faktor individu itu
berperan, sehingga dapat dimengerti mengapa yang terkena
adalah individu pekerja tersebut dan bukan seluruh pekerja
ditempat yang sama. Faktor individu yang mungkin berperan
adalah riwayat atopi atau alergi, riwayat dalam keluarga, higiene
perorangan dsb. Adanya faktor individu yang berperan tidak
berarti diagnosis penyakit akibat kerja menjadi batal namun
diperlukan untuk menilai seberapa besar faktor individu ikut
berperan.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 62


Langkah 6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar
pekerjaan
Faktor lain diluar pekerjaan, adalah pajanan lain yang juga dapat
menyebabkan penyakit yang sama, namun bukan merupakan
faktor pekerjaan, misalnya rokok, pajanan yang dialami dirumah,
adanya hobi, dan sebagainya. Bila ternyata faktor pekerjaan tidak
ada yang berhubungan dengan penyakit, ada kemungkinan faktor
penyebab diluar pekerjaan yang lebih berperanan. Namun
adanya kebiasaan tertentu dari pekerja, misalnya merokok, tidak
bisa meniadakan faktor penyebab di pekerjaan. .

Langkah 7. Menentukan Diagnosis Okupasi / Diagnosis


Penyakit Akibat Kerja
Kaji seluruh informasi yang telah dikumpulkan dari langkah-
langkah terdahulu. Berdasarkan bukti-bukti dan referensi
mutakhir yang ada, buat keputusan apakah penyakit yang
diderita adalah penyakit akibat kerja atau tidak. Diagnosis
sebagai penyakit akibat kerja dapat dibuat bila dari langkah-
langkah diatas dapat disimpulkan, bahwa memang ada hubungan
sebab-akibat antara pajanan yang dialami dengan penyakit dan
faktor pekerjaan merupakan faktor yang bermakna terhadap
terjadinya penyakit dan tidak dapat diabaikan, meskipun ada
faktor individu atau faktor lain yang ikut berperan terhadap
timbulnya penyakit.
Tabel dibawah ini merupakan table kosong yang harus diisi oleh
dokter pada saat dokter melakukan langkah-langkah diagnosis
okupasi. Setiap kolom merupakan langkah diagnosis okupasi yang
dilakukan untuk satu diagnosis klinis yang ditemukan. Bila
didapatkan lebih dari satu diagnosis klinis, maka harus dilakukan
7 langkah diagnosis okupasi untuk setiap diagnosis klinis
tersebut.

Tabel 3. Tujuh langkah diagnosis okupasi setiap diagnosis klinis


yang ditemukan
Langkah Diagnos Diagnos Diagnos
is 1 is 2 is 3
1. Diagnosis Klinis

Dasar diagnosis
(anamnesis, pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan penunjang,body
map,
brief survey)
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 63
2. Pajanan di tempat kerja

Fisik
Kimia
Biologi
Ergonomi
(sesuai brief
survey)
Psikososial
Langkah Diagnos Diagnosi Diagnos
is 1 s2 is 3
3 . Evidence Based (sebutkan secara teoritis)

pajanan di tempat kerja yang


menyebabkan diagnosis klinis di langkah 1
(satu).

Dasar teorinya apa?

4. Apa pajanan cukup


menimbulkan diagnosis klinis
??
masa kerja
jumlah jam terpajan per hari
Pemakaian APD
Konsentrasi/dosis pajanan
Lainnya .....................
Kesimpulan jumlah pajanan
dan dasar
perhitungannya

5. Apa ada faktor individu


yang berpengaruh thd
timbulnya diagnosis klinis?
Bila ada, sebutkan.
6 . Apa terpajan bahaya
potensial yang sama spt di
langkah 3 di luar tempat
kerja?Bila ada, sebutkan
7 . Diagnosis Okupasi
Apa diagnosis klinis ini
termasuk
penyakit akibat kerja?
Bukan penyakit akibat kerja
(diperberat
oleh pekerjaan atau bukan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 64
sama
sekali PAK)
Butuh pemeriksaan lebih
lanjut)?

Diagnosis Okupasi/Diagnosis Penyakit Akibat Kerja tidak dapat


ditegakkan, bila dari referensi tidak ditemukan adanya hubungan
antara pajanan dengan penyakit, pajanan yang dialami tidak
cukup besar untuk dapat menyebabkan penyakit tersebut (secara
kuantitatif maupun kualitatif, secara kumulatif dari masa kerja).

PERDOKI (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia)


membuat pembagian dari hasil akhir suatu Diagnosis Okupasi
menjadi:
1. Penyakit Akibat Kerja : disini termasuk Occupational
Diseases dan Work Related Diseases
2. Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan: ada unsur pajanan
di lingkungan kerja dan juga di luar lingkungan kerja dan
atau faktor individu pekerja
3. Bukan Penyakit Akibat Kerja; hanya ada unsur pajanan di
luar lingkungan kerja dan faktor individu pekerja
4. Masih memerlukan data tambahan, artinya belum final dan
masih memerlukan pemeriksaan tambahan untuk dapat
menentukan hasil akhir

DAFTAR PUSTAKA
1. Soemarko DS, Sulistomo AB, dkk. Buku konsensus diagnosis
okupasi sebagai penentuan penyakit akibat kerja. Jakarta:
Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia dan
Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 2011.
2. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia,
2000 : 16.1-62
3. Levy Barry S and Wegman David H. Occupational Health:
Recognizing and Preventing Work Related Diseases and Injury.
USA: Lippincott Williamas and Wilkins, 2000.
4. World Health Organisation. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja.
World Health Organization, 1993.
5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure
and Medical Director, in Occupational Health Service : Practical
Strategis Improving Quality dan Controlling Costs. American
Hospital Publishing, Inc. USA. 1993
6. ILO. Ethical Issue in ILO Encyclopaedi. 2000: 19.1- 30
7. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan
Peraturan Perundangan Kesehatan Kerja. PT Citratama Bangun
Mandiri. Jakarta 1999.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 65
8. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan
Jamsostek.Jakarta. 2003
9. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. Pedoman
Diagnosis dan Penilaian cacat karena Kecelakaan dan Penyakit
Akibat Kerja. Jakarta. 2003
10. WHO. International Classification of Functioning, Disability
and Health. Geneva
11. Dep. IKK FKUI dan Kolegium Kedokteran Okupasi
Indonesia. Kurikulum PPDS Kedokteran Okupasi Indonesia.
Jakarta. 1998
12. Kompetensi dokter pemberi pelayanan kesehatan kerja
dan kedokteran okupasi, Kolegium Kedokteran Okupasi
Indonesia, 1998.
13. La Dou, Current Occupational and Environmental
Medicine, Lange Medical Books/ Mc Graw Hill, , 2004
14. Zens Dickerson Novark, Occupational Medicine
15. National Institute for Occupational and Safety and Health,
University of Medicine and Dentistry of New Jersey. NIOSH
Spirometry training Guide. December 2003.
16. Maizlish, Neil A., ed. Workplace Health Surveillance, An
Action-Oriented Approach, Oxford University Press, Inc. New
York, 2000
17. Newkirk W.L.ed., Occupational Health Services , Practical
Strategies for Improving Quality and Controlling Costs,
American Hospital Publishing Inc. USA, 1993.
18. Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemeterian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Laporan survey tahun 2007-
2009. Jakarta, Desember 2010.
19. Direktorat Kesehatan kerja dan olah raga Kementerian
Kesehatan RI dan PERDOKI. Buku Pelatihan Diagnosis PAK.
Jakarta, April 2011.
20. Soemarko DS. Stress at the workplace in Indonesia.
Malindobru. Jakarta, Juli 2009.
21. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Kumpulan
abstrak penelitian Kedokteran Kerja tahun 2008. Jakarta.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 66


PANDUAN PELAKSANAAN PLANT SURVEY
Dewi Soemarko, Astrid Sulistomo, Muchtaruddin Mansyur, Fikri
Effendi,
Ambar Roestam, Nuri Purwito Adi
Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN:

Seorang pekerja menghabiskan paling sedikit sepertiga dari


kehidupan masa dewasanya di tempat kerja. Lingkungan kerja
dan kegiatan yang dilakukan pada waktu kerja dapat sangat
berbeda dengan lingkungan dan kegiatan sehari-hari di luar
pekerjaannya. Di lingkungan kerja seorang pekerja dapat terpajan
oleh bising, debu tinggi, suhu ekstrem, berbagai bahan kimia,
radiasi atau bahan biologis dll. Pada waktu melakukan pekerjaan,
seorang pekerja dapat mengangkat beban berat, melakukan
kegiatan fisik berat, duduk seharian atau berada pada sikap statis
lainnya, selain itu juga melakukan gerakan-gerakan yang tidak
alamiah. Alat kerja yang digunakan bisa alat yang bervibrasi,
memerlukan tenaga untuk mengoperasikan atau memerlukan
gerakan berulang.

Semua hal tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan atau


merupakan risiko untuk terjadi kecelakaan, bila tidak diantisipasi
dan dilakukan pengendalian terhadap pajanan. Upaya
pengendalian pajanan ditempat kerja dan pencegahan penyakit
akibat kerja, dikenal sebagai upaya Kesehatan dan Keselamatan
Kerja, yang wajib dilakukan oleh semua perusahaan untuk
melindungi pekerjanya.

Populasi tenaga kerja di Indonesia meningkat terus, jumlah


tenaga kerja di Indonesia yang pada tahun 1997 masih sekitar 89
juta, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2007, saat ini
sudah mencapai sekitar 108,13 juta orang. Sekitar 68% tenaga
kerja bekerja di sektor informal. Jumlah tenaga kerja perempuan
di Indonesia sudah sekitar 40% Umumnya pekerja Indonesia
masih berpendidikan rendah, khususnya di sektor informal lebih
banyak masih lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama.

Seorang dokter di fasilitas kesehatan layanan primer harus


mampu mendeteksi bahaya potensial di tempat kerja,
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 67
mengidentifikasi risiko masalah kesehatan yang terjadi di tempat
kerja serta mengelola masalah kesehatan seorang pasien secara
komprehensif, dengan memperhatikan aspek pekerjaan dan
lingkungan, pada pasien bekerja.

Kegiatan Plant Survey dapat merupakan upaya pengenalan bagi


dokter layanan primer untuk mengenal risiko atau potensi bahaya
yang dihadapi komunitas pekerja sehari-hari selama masa
produksinya, sehingga diharapkan dokter yang bekerja di fasilitas
kesehatan tingkat primer dapat memperhatikan aspek lingkungan
dan pekerjaan dalam mengelola masalah kesehatan.

II. PENGERTIAN:

Plant Survey adalah suatu kunjungan ke perusahaan dengan


tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai alur kerja, cara
kerja pekerja, bahaya potensial yang dihadapi dan perlindungan
yang telah diberikan perusahaan dengan cara observasi,
wawancara dan pengukuran. Apabila dilakukan hanya pada satu
kali kunjungan dan tidak melakukan pengukuran, juga sering
disebut sebagai walk through survey.
Kegiatan plant survey dilakukan dalam sebuah tim yang terdiri
dari dokter dan tenaga kesehatan terkait untuk melakukan
observasi, wawancara, dan pengukuran dengan menggunakan
daftar tilik yang telah disusun sebelumnya.
Dalam bahasa Indonesia, sering digunakan istilah Kunjungan
Perusahaan namun tidak selalu tepat, karena istilah tersebut
digunakan untuk semua kegiatan berkunjung ke perusahaan,
termasuk hanya melihat bagaimana suatu produk dibuat.

III. TUJUAN:

Tujuan kegiatan plant survey bagi dokter layanan primer adalah:

Tujuan umum:
Agar dokter secara langsung melihat lingkungan kerja dan proses
kerja suatu komunitas pekerja yang dapat merupakan faktor
risiko gangguan kesehatan dan kecelakaan yang mungkin,
sehingga memahami pengaruh lingkungan terhadap kesehatan.

Tujuan khusus:
1. Mampu mengidentifikasi bahaya potensial/faktor risiko
terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja di suatu

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 68


perusahaan/tempat kerja yang berhubungan dengan
masalah kesehatan pasien
2. Mampu mengidentifikasi gangguan kesehatan yang
mungkin timbul dengan adanya bahaya potensial tertentu
di suatu tempat kerja.
3. Mampu menjelaskan upaya perlindungan dan pencegahan
yang telah dilakukan oleh perusahaan.
4. Mampu memberikan rekomendasi untuk perbaikan upaya
kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja di suatu
perusahaan, yang bersifat evidence based (berdasarkan
referensi yang mutakhir)

IV. PERSIAPAN:

Sebelum melakukan kunjungan ke perusahaan tim plant survey


yang dipimpin oleh dokter layanan primer harus melakukan
persiapan sebagai berikut:
Menentukan waktu kunjungan
Meminta ijin resmi ke perusahaan
Membentuk tim dan pembagian tugasnya
Membaca referensi mengenai K3 sesuai dengan jenis
perusahaan untuk mengetahui faktor-faktor yang perlu
diamati dan jenis informasi yang harus dikumpulkan
Menyusun daftar tilik dan daftar pertanyaan yang akan
digunakan
Mengadakan pembagian tugas selama kunjungan agar
pencapaian kunjungan dapat seefektif mungkin. Semua
anggota tim diharapkan mengamati secara keseluruhan
sesuai daftar tilik yang telah disusun sebelumnya.

V. PELAKSANAAN:

a. Pakaian yang digunakan:


Pada waktu melakukan plant survey, seluruh anggota tim harus
menggunakan pakaian yang nyaman dan sesuai untuk berjalan
jauh dan observasi di lapangan, karena ini adalah kunjungan kerja
dan sebagai profesi kesehatan harus memperhatikan aspek
keselamatan. Seluruh anggota tim hendaknya menggunakan:
-Pakaian:
o Bersih dan sopan
o Celana panjang (bukan jeans)

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 69


o Atasan kemeja/blus bahan katun atau polo-shirt (Kaos
berkrag)
-Alas kaki:
o Sepatu tertutup, tidak pakai hak
o Sol dari karet
o Boleh memakai sepatu olah raga atau bagi yang memiliki:
Safety shoes
Bagi anggota tim yang berambut panjang, rambut harus diikat.

b. Kegiatan di perusahaan:
Seluruh anggota tim akan berangkat bersama-sama ke
perusahaan. Sesampainya di anggota tim berpencar sesuai
pembagian tugasnya.

Data-data yang harus diambil:


- Informasi mengenai profil perusahaan, struktur organisasi,
tim K3, sarana dan fasilitas yang ada
- Informasi bahaya potensial (fisik, kimia, ergonomi, biologi
dan psikososial) yang ada di masing-masing bagian
produksi
- Informasi risiko kecelakaan dan penyediaan/pengunaan
APD, Alat pemadam kebakaran di masing-masing bagian
produksi
- Informasi mengenai kunjungan klinik, penyakit dan/atau
kecelakaan yang ada pada 1 tahun terakhir
- Informasi/mencatat keadaan lingkungan perusahaan
seperti kebersihan tempat kerja, kamar kecil dan kantin
dsb
- Bila perlu gunakan kamera dan alat perekam suara untuk
dokumentasi data.
- Bila memungkinkan minta nomer telpon dari contact
person agar masih bisa meminta infomasi bila dibutuhkan.

c. Analisis data:

1. Informasi umum perusahaan


2. Alur produksi

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 70


3. Program kesehatan dan keselamatan kerja yang telah
dilakukan perusahaan
4. Identifikasi faktor risiko/bahaya potensial fisika, kimia,
biologi, ergonomi, psikososial pada masing-masing bagian
produksi
5. Identifikasi masalah kesehatan dan kecelakaan yang
mungkin terjadi akibat faktor risiko/bahaya potensial pada
poin no 4 di masing-masing bagian produksi
6. Membuat rencana intervensi dan/atau program untuk
setiap masalah masalah kesehatan dan kecelakaan yang
mungkin terjadi akibat faktor risiko/bahaya potensial pada
poin no 5 di masing-masing bagian produksi
7. Membuat rekomendasi kepada perusahaan berdasarkan
hasil kunjungan plant survey yang telah dilakukan

Referensi:

KESELAMATAN PASIEN DAN PEKERJA


Dewi Sumaryani Soemarko
Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

PENDAHULUAN
Hal yang dianggap paling mendasar dalam pelayanan kesehatan
adalah kasus infeksius. Kasus Infeksi nosocomial, contohnya
merupakan sesuatu yang dikuatirkan oleh petugas kesehatan.

Diketahui bahwa kasus infeksi yang terjadi di pasien rawat inap di


fasilitas pelayanan kesehatan di dunia rata-rata 9% dari 1,4 juta
pasien. Bagaimana dengan data di Indonesia, secara detail belum
ada tetapi dapat terlihat adanya angka kesakitan dan angka
kematian yang cenderung meningkat.

Hasil dari Quick Investigation of Quality di 17 Kabupaten di


Indonesia pada tahun 2002, dari 273 observasi menemukan
18,7% petugas mencuci tangan sebelum memeriksa pasien,
61,25% mencuci tangan sesudah memeriksa pasien, 20%
petugas membuang benda tajam dengan benar dan 45% petugas

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 71


melakukan proses dekontaminasi. Kegiatan ini meningkat pada
tahun 2004, dimana dari 237 observasi ditemukan 76,8% petugas
mencuci tangan sebelum memeriksa, 88,6% petugas mencuci
tangan sesudah memeriksa pasien, 85,7% petugas membuang
benda tajam dengan benar dan 86,4% petugas melakukan
dekontaminasi.

Melihat dari penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Program


K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan di Indonesia belum banyak diterapkan. Ini terlihat
dengan belum banyaknya petugas Kesehatan yang mengerti dan
menjalankan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, seperti
melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman.

Ruang lingkup penting dalam Kesehatan dan Keselamatan Kerja di


Pelayanan Kesehatan yang ingin dibahas adalah Keselamatan
pasien dan Keselamatan pekerja serta Environmental Safety.
Walaupun disadari bahwa Equipment safety dan Green
Productivity juga termasuk hal yang secaratidak langsung akan
dibahas dalam makalah ini

Tujuan
Tujuan program K3 di fasilitas kesehatan, terutama adalah
melindungi pekerja dari kejadian kecelakaan dan penyakit akibat
kerja dan terciptanya cara kerja dan lingkungan kerja pekerja
yang aman (terhindar dari penyakit dan kecelakaan), nyaman
(saat bekerja dan nyaman di hati) serta sehat.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu diketahui bahaya
potensial (hazards) apa yang ada di lingkungan kerja (biologi,
kimia, fisika, ergonomi dan psikososial), juga perlu diketahui efek
kesehatan/penyakit yang akan terjadi akibat hazard tersebut dan
bagaimana melakukan antisipasi/ membuat Program
penanggulangannya.

Dalam pembicaraan kali ini tujuan yang ingin dicapai adalah:


1. Memahami Ruang lingkup Keselamatan pasien dan
Keselamatan pekerja dalam praktek pelayanan kesehatan
primer
2. Memahami Sasaran dan target Keselamatan pasien dan
Keselamatan pekerja
3. Memahami Prinsip-prinsip dasar Keselamatan pasien
4. Memahami Prinsip-prinsip dasar Keselamatan pekerja

Sasaran
Sasaran utama dari program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 72
adalah Pekerja. Sasasan lainnya di pelayanan kesehatan adalah
klien, dalam hal ini pasien di pelayanan kesehatan, juga
lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengunjung
fasilitas tersebut.
Sasaran dan target pada pembicaraan dalam makalah ini:
1. Pasien fasilitas pelayanan kesehatan
2. Pekerja pemberi pelayanan kesehatan
3. Pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan
4. Lingkungan/ fasilitas pelayanan kesehatan

Landasan Hukum
Beberapa landasan hukum yang digunakan dalam program K3 di
pelayanan kesehatan seperti yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan:Surat Edaran Dirjen Yanmed, tentang instruksi
membentuk PK3RS di Rumah Sakit, Keputusan Dirjen PPM & PLP
(1993) tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS, Undang
Undang no 23/1992 dan Peraturan Menteri Kesehatan no
986/1992, Undang Undang no36 /2009 tentang Kesehatan.

Kebijakan dari pemerintah tertuang dalam Keputusan Menteri


Kesehatan no 270/Menkes/III/2007 tentang Pedoman Manajerial
Pengendalian Infeksi di RS dan Fasilitas kesehatan. Dan juga
dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan no
381/Menkes/III/2007 tentang Pedoman Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan

Sementara landasan hukum yang ada di Kementerian Tenaga


Kerja dan Transmigrasi: Undang Undang no 1/1970 tentang
Keselamatan Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
danTransmigrasi tahun 1980, 1982 & 1996 serta
Kep.68/Men/IV/2004 mengenai AIDS ditempat kerja.

Bahaya Potensial (Hazard)


Pajanan (Hazards/Bahaya potensial) yang ada di fasilitas
pelayanan kesehatan secara garis besar dapat dibagi menjadi 5
golongan besar, yaitu fisik, kimia, biologi, ergonomi dan
psikososial. Secara jelas dapat di lihat pada tabel dibawah ini

Tabel1. Bahaya Potensial di fasilitas Pelayanan Kesehatan


BIOLOGI KIMIA FISIK
Ethylene Oxide Formaldehyde
Virus:- Hepatitis B, C- Radiasi
Glutaraldehyde Obat Ca
HIV/AIDS- Bakteri:- TBC Suhu pa
Gas Anestesi Mercury Chlorine

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 73


Risiko terpajan faktor biologis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
merupakan hal terbesar yang ada dan dianggap dapat
menimbulkan gangguan kesehatan pada pekerjanya. Tempat dan
kegiatan yang diperkirakan adanya pajanan biologi di fasilitas
pelayanan kesehatan, yaitu: Unit Pelayanan medis pada pasien
(Unit perawatan, unit rawat jalan, ruang operasi/tindakan),
Laboratorium (bila ada), Laundry (bila ada), Rumah Tangga
(house keeping) dan Penanganan sampah/limbah

Infeksi, sebagai akibat pajanan biologi dapat terjadi dari pasien ke


petugas, pasien ke pengunjung, dan antar orang di lingk. Fasilitas
kesehatan
Sumber adanya pajanan biologi yaitu : penderita sendiri, personil
pelayanan kesehatan (dokter/perawat), pengunjung, dan
lingkungan.

Kriteria infeksi berasal dari pelayanan kesehatan :1. mulai dirawat


tidak ada tanda klinik infeksi dan tidak sedang dalam masa
inkubasi infeksi tertentu.2. Infeksi timbul sekurang-kurangnya 72
jam sejak mulai dirawat.3. Infeksi terjadi pada pasien dengan
masa perawatan lebih lama dari waktu inkubasi infeksi tersebut.
4. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan
berasal dari rumah sakit.5. Infeksi terjadi pada neonates yang
didapatkan dari ibunya pada saat persalinan atau selama
perawatan di rumah sakit.

KESELAMATAN PASIEN
Keselamatan pasien merupakan suatu issue mutu dan citra dari
fasilitas pelayanan kesehatan, baik itu fasilitas primer, sekunder
dan tersier. Penilaian dari hal tersebut pada umumnya dengan
mengetahui Kejadian Tak Diharapkan (KTD) yang sering ada di
fasilitas tersebut.

Hasil penelitian di amerika serikat pada tahun 2000, ditemukan


adanya KTD 2,9% di Utah dengan 6% kasus meninggal dunia di
rumah sakit. Sementara di New York ditemukan kasus meninggal
13,6% dengan KTD 3,7%. Data di WHO (world Health
Organization)menyatakan kasus di Amerika Serikat, Inggris,
Denmark dan Australia ada KTD sebesar 3,2-16,6%. Bagaimana
dengan kasus KTD di Indonesia? Sampai saat ini data tentang KTD
di Indonesia belum ada, yang ada keluhan mal praktik terhadap
petugas pemberi pelayanan kesehatan meningkat

Definisi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 74
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana fasilitas
pelayanan kesehatan membuat asuhan pasien lebih aman,
mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil

Tujuan Keselamatan pasien:


Tujuan dilakukannya kegiatan Keselamatan pasien adalah untuk
menciptakan budaya keselamatan pasien di fasilitas pelayanan
keehatan, meningkatkan akuntabilitas faslititas pelayanan
kesehatan, menurunkan Kejadian Tak Diharapkan di daasilitas
pelayanan kesehatan, terlaksananya program-program
pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak
diharapkan.

Ruang lingkup Keselamatan pasien


Ruang lingkup Keselamatan pasien adalah membuat dan
melakukan:
1. Asesmen risiko,
2. Identifikasi dan pengelolaan hal yg berhub dg risiko pasien,
3. Pelaporan dan analisis insiden
4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
5. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko

Istilah-istilah
1. Medical error: Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses
asuhan medis yang mengakibatkan cedera pasien sehingga
gagal melaksanakan suatu kegiatan/ salah rencana
2. Near miss: Adalah kesalahan akibat melaksanakan tindakan
yang seharusnya diambil, sehingga dapat mencederai pasien,
tetapi cedera tidak serius atau tidak terjadi cedera
3. Adverse even (kejadian tak diharapkan=KTD): Kejadian Tak
Diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien akibat
melaksanakan tindakan/ tidak mengambil tindakan
seharusnya, bukan karena penyakit dasarnya / kondisi pasien
4. Sentinel even:Kejadian Tak Diharapkan yang mengakibatkan
kematian/cedera serius (kejadian sangat tidak
diharapkan/tidak dapat diterima, misalnya: salah lokasi
operasi, masalah berhubungan dengan kebijakan dan prosedur
yang berlaku

Pada pelaksanaan Keselamatan pasien di rumah sakit ada 7


standar yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Hak pasien
2. Mendidik keluarga dan pasien
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 75
3. Keselamatan pasien & kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja ( untuk evaluasi dan
Program K3 patient safety)
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf utk keselamatan pasien

Untuk Keselamatan pasien yang dilaksanakan di fasilitas


pelayanan kesehatan primer sudah disesuaikan, yang cocok
adalah untuk standar-standar berikut di bawah ini.

Standar 1. Hak pasien


Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana pelayanan kesehatan yang akan
dilakukan dan hasil pelayanan tersebut, termasuk kemungkinan
terjadinya KTD
Pada kegiatan ini Dokter pemberi pelayanan kesehatan primer
adalah sebagai dokter yang membuat perencanaan pelayanan,
pemberi informasi pelayanan yang diberikan kepada pasien dan
keluarganya serta sebagai penanggung jawab kegiatan tersebut

Standar 2. Mendidik keluarga dan pasien


Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dalam hal ini pelayanan primer
berkewajiban mendidik pasien & keluarga tentang apa yang
menjadi kewajiban & tanggung jawab dalam pelaksanaan
penatalaksanaan penyakit / keluhan pasien
Harus diperhatikan bahwa pasien dan keluarganya adalah patner
dalam pelayanan kesehatan, oleh karena itu pemberi pelayanan
kesehatan perlu memberikan informasi tentang :
- pelayanan kesehatan benar, jelas, lengkap dan jujur. - kewajiban
& tanggung jawab pasien dan keluarga- ajukan pertanyaan hal
yang tak dimengerti- paham dan terima konsekuensi pelayanan
- patuh instruksi dan hormati aturan RS - sikap menghormati dan
tenggang rasa - kewajiban finansial

Standar 3. Keselamatan pasien & kesinambungan


pelayanan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan menjamin berkesinambungan
pelayanan dan melakukan koordinasi antar tenaga dan antar unit
pelayanan kesehatan.
Pada kegiatan ini dilakukan:
koordinasi pelayanan kesehatan secara menyeluruh
Koordinasi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien
Koordinasi pelayanan: kesehatan dengan melakukan
komunikasi dengan keluarga
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 76
Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer

Standar 4. Penggunaan metode peningkatan kinerja


(untuk evaluasi dan Program K3 keselamatan pasien)
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer melakukan pembuatan
disain proses baru/memperbaiki proses yang ada, melakukan
monitor dan melakukan evaluasi kinerja (pengumpulan data,
melakukan analisis intensif Kejadian Tak Diharapkan), melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja & keselamatan pasien.
Dalam kegiatannya, diharapkan pelayanan kesehatan primer:
mempunyai rancangan baik, mengacu visi, misi, tujuan,
mengetahui kebutuhan pasien, kebutuhan jumlah petugas,
mengetahui kaidah klinis terkini, melakukan praktik bisnis sehat
& faktor lain sesuai
Melakukan pengumpulan data kinerja tentang laporan insiden,
akreditasi, manajemen risk, utilisasi, mutu pelayanan,
keuangan.
melakukan evaluasi intensif semua KTD, melakukan kegiatan
pro aktif untuk mengevaluasi satu proses kasus risiko
menggunakan semua data & informasi hasil analisis untuk
perubahan sistem, agar kinerja & keselamatan pasien terjamin

Standar 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf utk


keselamatan pasien Falitas pelayanan kesehatan
merencanakan dan mendisain proses manajemen informasi
internal dan eksternal. Proses transmisi data dan informasi
harus tepat waktu dan akurat Dalam melakukan kegiatan
fasilitas pelayanan kesehatan: Perlu menyediakan anggaran
untuk merencanakan dan mendisain proses manajemen agar
diperoleh data dan informasi tentang hal terkait keselamatan
pasien
Ada mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
utk revisi manajemen informasi yg ada

Elemen Keselamatan pasien


1. Adverse Drug events (ADE) / Medication Error (ME)
2. Restrain Use
3. Nosocomial Infection
4. Surgical mishaps
5. Pressure ulcers
6. Blood Product safety (admnistration)
7. Antimicrobal Resistance
8. Imunization Programme
9. Falls
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 77
10. Blood Stream- vascular catheter care
11. Systematic review, follow up, and Reporting of Patients /
Visitor of Incidance

Penyebab tersering dalam terjadinya kejadian tak diharapkan


pada fasilitas pelayanan lesehatan:
a. Masalah komunikasi
b. Tidak adekuat nya informasi tentang alur pelayanan
c. Masalah personil
d. Isue hubungan pemberi pelayanan kesehatan - pasien
e. Transfer pengetahuan (Organizational transfer of
knowledge)
f. Pola penetapan staf atau beban kerja (Staffing pattern /
work flow)
g. Kegagalan teknis (Technical failures)
h. Kebijakan yang in adekuat (Inadequate policies and
procedure)
(Agency for Health and Research Quality) Publication no 04-
RG005, December 2003

Target KESELAMATAN PASIEN INTERNATIONAL


1. Lakukan identifikasi pasien secara tepat (Identify Patient
correctly)
2. Tingktkan Komunikasi efektif (Improve effective
Communication)
3. Tingkatkan pemberian obat secara aman (Improve the safety of
high-allert medication)
4. Kurangi lokasi salah, pasien salah, prosedur bedah yang salah
(Eliminate wrong-site, wrong patient, wrong procedure surgery)
5. Turunkan risiko penularan infeksi petugas kesehatan (Reduce
the risk of health care- associated infection)
6. Kurangi risiko patien hatuh dari tempat tidurnya (Reduce the
risk of patient harm from falls)

Solusi Keselamatan pasien di Pelayanan Kesehatan


1. Hati-hati dengan nama obat, perhatikan nama, huruf dan
bentuknya (Be careful with the use of drug name, form and
words that are similar).
2. Identitas pasien harus jelas (Identify clearly the identity of the
patient).
3. Perlu komunikasi yang baik antar petugas pada saat pertukaran
jaga (Communication is true when the handover / transfer
patients).
4. Pastikan melakukan sesuatu yang benar pada bagian tubuh
yang benar (Make sure the correct action on the right side of
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 78
the body).
5. Monitoring larutan elektrolit (Control fluid electrolit
(concetrated).
6. Gunakan alat suntik sekali pakai (Use of disposable injection
equipment).
7. Tingkatan kegiatan cuci tangan untuk mencegah infeksi
nosokomial (Increase hand hygiene to prevent nosocomial
infection).
8. Pastikan penanganan obat secara akurat setiap pertukaran
atau pemindahan
pasien ( Ensure accuracy of the administration of drugs on the
transfer of service)

KESELAMATAN PEKERJA
Keselamatan pekerja merupakan salah satu bagian dari Program
K3, dimana fokus dari pembicaraan ini adalah tentang pekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Keselamatan pekerja adalah keamanan pekerja yang bertujuan
agar pekerja aman dari penyakit dan kecelakaan serta
mendapatkan kenyamanan hati dan lingkungan kersa pada saat
melakukan pekerjaannya.
Hazards terbanyak di fasilitas pelayanan kesehatan adalah
hazards biologiHazards biologis di lingkungan fasilitas pelayanan
kesehatan dapat berasal dari air, udara, lantai, makanan serta
alat-alat medis maupun non medis.Sumber penularan bisa
melalui tangan petugas kesehatan, jarum injeksi, kateter, kasa
pembalut atau perban, bisa juga karena penanganan yang keliru
dalam menangani luka.

Infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengenai Pasien,


Petugas rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien,
Penunggu pasien dan Pengunjung pasien.
Cara penularan dapat terjadi dengan cara: Airborne diseases
(droplet), Blood borne diseases, skin contact dan waterborne
diseases
Cara penularan yang dianggap paling penting pada pelayanan
kesehatan adalah Bloodborne pathogens, dimana
mikroorganisme yang ada di darah, jaringan tubuh, produk darah
dan material yang berpotensi menularkan (OPIM)

Yang termasuk dalam OPIM didefinisikan oleh CDC (the Centers


for Disease Control) adalah:
semen
vaginal secretions
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 79
cerebrospinal fluid
pleural fluid
peritoneal fluid
pericardial fluid
amniotic fluid
synovial fluid
breast milk (not all authorities agree)
saliva dalam pelayanan gigi.

Pekerja yang terpajan darah dan berpotensi tertular infeksi:


- mempunyai Tingkat risiko terinfeksi berdasarkan jumlah pasien
yang ditangani di pelayanan kesehatan, seberapa sering dan
lama pajanan terhadap material yang terkontaminasi darah

- Pekerja kesehatan banyak yang terkena penyakit hepatitis,


hepatitis B virus (HBV) atau hepatitis C virus (HCV) dan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS)
Hepatitis B
HBV : bentuk serius virus hepatitis (most serious form of viral
hepatitis), biasanya dirujuk sebagai serum hepatitis (commonly
referred to as serum hepatitis).Ditemukan 300,000 kasus infeksi
Hepatitis B di Amerika Serikat. HBV menyebar melalui darah dan
yang terkontamiasi darah (inoculation through the skin), dari ibu
yg terinfeksi (transplacental), or via sexual contact.
Transmisi HBV pada petugas kesehatan: tertusuk jarum/benda
tajam terinfeksi. Pekerja tidak imunisasi : 6 - 30% jadi Hepatitis B
pasca tertusuk jarum terinfeksi. Infeksi dapat terjadi melalui mata
(konjunctiva) , mukosa yang treinfeksi darah. Dapat terjadi juga di
Laboratorium, klinik hemodialisa.

Pencegahan: imunisasi Hepatitis B (HBV vaccine) dan follow up


pasca pajanan
Gejala: masa inkubasi 4 to 28 minggu.
Gejala berhub dg akut hepatitis B: sakit kepala, kehilangan napsu
makan,mual, muntah, demams. Urine berubah warna kecoklatan,
Icterus (sklera kuning kadang- kadang ).
87-90%: imun ; 7% carier
1-3 %: progresif jadi kronik, dapat jadi sirosis, kanker hati atau
keduanya.

Hepatitis C:-HCV: adalah penyebab predominan hepatitis non A


non B (the predominant agent of non- A-non-B hepatitis).-
Penyebaran dominan melalui pajanan darah atau yg terinfeksi
(parenteral route / inoculation through the skin).- Penularan dari
ibu ke anak (transplacental), via sexual contact appears to be
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 80
inefficient. HCV- Penularan post-transfusion hepatitis.- Risiko
tinggi : intravenous drug abusers dan past recipients of blood or
blood products. - Petugas Kesehatan: risiko HCV sama dg populasi
biasa. - Penularan: tertusuk jarum suntik/benda tajam terinfeksi
Penelitian: 4% pekerja HCV-positive tertusuk jarum yang
terinfeksi sebelumnya
Gejala Masa inkubasi:2- minggu-6 bulan. Gejala akut hepatitis
hampir sama dg hepatitis Cronic liver disease: pada 50%
individu dg hepatitis C akut.
sekitar 20% chronic liver disease akan jadi chronic active
hepatitis yang berhubungan dengan peningkatan kanker dan
sirosis hati.

HIV
- HIV, the etiologic agent of AIDS,- penularan dari darah,
parenteral route (inoculation through the skin),transplacental, via
sexual contact.- umumnya terjadi pada lelaki homosexual and
bisexual, intravenous drug abusers, heterosexuals dengan
banyak patner seks, dan hemofili & penerima darah/produk darah
terinfeksi
- Petugas kesehatan : ditemukan kasus < 5% AIDS tiap tahun,
banyak nonoccupational risk factors.-Gejala: Beberapa individu: ,
a flu-like illness(1-6 minggu) pasca pajanan. Demam,
berkeringat, malaise, nyeri otot, hilang napsu makan , mual,
diare, sakit tenggorokan. setelah bbrp lama: symptom-free
(latent) 7-10 tahun,

Risiko untuk petugas kesehatan:


- Risiko penularan HIV setelah luka tusuk jarum suntik yang
terkontaminasi HIV adalah 4: 1000.
- Risiko penularan HBV setelah luka tusuk jarum suntik yang
-8
terkontaminasi HBV 27 - 37: 100 Setidaknya 10 ml (.00000001
ml) darah yang yang mengandung HBV dapat menularkan virus
berbahaya ini ke tubuh manusia yang rentan.
- - Risiko penularan HCV setelah luka tusuk jarum
suntik yang mengandung HCV
3 - 10 : 100

Tabel:Cairan tubuh dan risiko terpecik


RISIKO TINGGI
Darah, serum SemenSputum, nanah Vaginal secretions

Risiko tidak diketahui


Cairan AmnionCairan Serebrospinalis Cairan PleuraCairan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 81
Peritoneal Cairan Pericardial Cairan Sinovial

RISIKO RENDAH*
Lendir serviks Bahan muntahan TinjaAir liur
Keringat Air mata UrinASI
* Kecuali terlihat terinfeksi dengan darah

Issue: Keselamatan pasien, keselamatan pekerja, environtmental


safety, institutional safety, bussiness safety (Menkes, Nov 2011)
Health care Association Infection (HAIs): pasien, petugas,
pengunjung Program Pengendalian Infeksi (PPI)
Merupakan suatu program yang dilakukan khususnya di fasilitas
pelayanan kesehatan untuk mengurangi terjadinya penularan
penyakit yang disebabkan oleh hazards biologi.
Program pencegahan Infeksi ini terdiri dari beberapa kegiatan,
yaitu:
a. Pencegahan Infeksi,
b. Pendidikan dan Pelatihan,
c. Surveilens,
d. Penggunaan obat yg rasional

a.Pencegahan Infeksi
Prinsip Dasar kegiatan ini adalah
Mencuci tangan sesudah kontak dengan pasien
Tidak menutup jarum suntik dengan 2 tangan
Pembuangan benda tajam dalam tempat khusus
Menggunakan Sarung tangan bila akan kontak dengan darah,
cairan tubuh, kulit luka & mukosa
Memakai Alat Pelindung Diri bila kemungkinan terciprat
Menutup semua luka sendiri
Langsung membersihkan darah dll
Sistem pembuangan sampah/limbah yang aman Body
Substance Isolation (BSI) , Lynch pada tahun1987
memperkenalkan beberapa kegiatan, sebagai berikut:
b. Menggunakan Sarung tangan untuk semua kontak cairan tubuh
c. Melakukan Imunisasi staf terhadap berbagai penyakit (campak,
rubella, Hepatitis B)
d. Instruksi khusus untuk setiap penyakit menular Standar
Precaution (CDC, 1996) adalah suatu program yang
diperkenalkan dengan beberapa kegiatan sebagai berikut
Kewaspadaan baku: Diterapkan bagi semua klien/pasien
Kewaspadaan berdasarkan penularan: Hanya diterapkan bagi
pasien rawat inap

Program diatas menggantikan Universal Precaution & Body


Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 82
substance Isolation, program ini dikembangkan terus sampai
tahun 2001
Kegiatan Pencegahan Infeksi:
A. Menghindari tertusuk jarum:
1. hindari suntikan tidak penting (misalnya penyuntikan
antibiotika).
2. Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan
3. Pergunakan jarum steril
4. Penggunaan alat suntik yang disposabel.
B. Masker, sebagai pelindung penyakit yang ditularkan melalui
udara.
- petugas
- pasien infeksi saluran nafas, menggunakan masker saat keluar
dari kamar
C. Sarung tangan,
digunakan terutama saat: menyentuh darah, cairan tubuh, feses
maupun urine. Sarung tangan diganti untuk tiap pasiennya.
D. Baju khusus
untuk melindungi kulit dan pakaian selama melakukan tindakan
untuk cegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.
E. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit :
Pembersihan rutin - bersih dari debu, minyak dankotoran. Perlu
diingat 90% kotoran ada kuman.Harus ada waktu teratur
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai,
kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.
F. Pengaturan udara
Usahakan pakai penyaring udara, terutama pasien imun
rendah dan infeksius
G. Selain itu, rumah sakit harus ada penyaring air dan menjaga
kebersihanH. Sterilisasi air di rumah sakit dengan prasarana
yang terbatas dapat
menggunakan panas matahari.
I. Toilet rumah sakit dijaga, terutama di unit perawatan pasien
diare Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi
J. Desinfektan yang dipakai adalah:- punya kriteria membunuh
kuman- punya efek sebagai detergen- punya efek terhadap
banyak bakteri, dapat melarutkanminyak dan protein. - Tidak sulit
digunakan- Tidak mudah menguap- Bukan bahan yang
mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas
maupun pasien- Efektif- tidak berbau, atau tidak berbau tak enak
K. Perbaiki ketahanan tubuh
L. Ruangan Isolasi
diperlukan untuk penyakit yang penularannya melalui udara,
contoh: tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi
berat.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 83
DHF dan HIV.leukimia dan pengguna obat immunosupresan
Setiap orang berpotensi menularkan penyakit, oleh karena itu
perlu melakukan:
Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun
Usap tangan dengan larutan alkohol gliserin:
2 ml gliserin dalam 100 cc alkohol 60 90%
.Pelindungan Barier yang protektif, dengan Alat Pelindung Diri
c. Sarung tangan
d. Masker/pelindung mata/muka
e. Apron/Celemek
f. Alas/penutup kaki Perlindungan: Cara Kerja Aman
Mengelola jarum dan benda tajam lainnya
Pembuangan jarum suntik dan benda tajam Berikut di bawah
ini cara melakukan pemrosesan alat-alat kesehatan:
Issue Penting:
1.Pakai sarung tangan - tidak 100% terlindungdari penukaran
infeksi - harus digunakan untuk keadaan tertentu
2. Pelumas tangan dan krim tangan - pakai 2 kali sehari untuk
mencegah kering dan rawat dermatitis - vaselin / lanolin
merusak sarung tangan lateks
3. Bahan antiseptik topikal- pakai triklosan jangka panjang
tidak menyebabkan resisten, dan flora kulit normal masih ada
4. Kulit pecah, seperti luka lecet harus ditutup dengan
pembalut tahan air. Bila tak mungkin ditutup, maka tak usah
melakukan pembedahan
5. Kuku jari, pada saat melakukan pelayanan kesehatan
seharusnya pendek
6. Cat kukutidak digunakan
7. Perhiasan tidak boleh digunakan pada saat melakukan
pembedahan

b. Pendidikan dan Pelatihan


Perlu dilakukan sosialisasi ke semua orang
Program Pengendalian Infeksi (PPI): Pencegahan Infeksi,
Pendidikan dan Pelatihan, Surveilens, Penggunaan obat yg
rasional

Perlu dilatih tentang Pencegahan Infeksi dan Pengendalian


Infeksi, kegiatan yang paling sederhana adalah cuci tangan

c. Surveilance
Tujuan dilakukan surveilens adalah :
1. mendapat data dasar
2. menurunkan angka infeksi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 84
3. identifikasi kejadian luar biasa
4. meyakinkan petugas medis
5. evaluasi pengendalian
6. antisipasi malpraktek

Ditujukan untuk High risk people


Metode yang digunakan:
- cara melaksanakan (aktif, pasif)
- waktu melaksanakan (berkala, terus-terus)
- metode identifikasi kasus (obs kasus prospektif, kartu rekam
medik, pemakaian antibiotik, sampel bakteri) Prinsip Metode
yang dilakukan harus komprehensif

d. Penggunaan obat yang rasional


Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol
Dosis antibiotika yang tidak optimal
Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu
singkat
Kesalahan diagnose dapat dikurangi dengan Pelayanan K3
pada pelayanan kesehatan Pelayanan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi :
A. Pemeriksaan kesehatan pra kerjaB. Pemeriksaan kesehatan
berkalaC. Pendidikan K3 D. ImunisasiE. Perawatan penyakit
dan kecelakaan akibat kerjaF. Konseling kesehatanG.
Pengawasan lingkungan dan surveilensH. Sistem
arsip/pencatatan K3I. Koordinasi perencanaan antar
departemen dan pelayanan

A.Pemeriksaan Kesehatan Pra Kerja


Pemeriksaan fisik untuk semua pegawai
Lakukan pemeriksaan penunjang : darahdiff count, gula
darah, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, urin rutinEKG sesuai
indikasi, umur > 40 thChest X ray test visus, tonometri, lapang
pandang audiogram (sesuai indikasi)

B.Pemeriksaan Kesehatan Berkala:


Pemeriksaan fisik untuk semua pegawai
Lakukan pemeriksaan penunjang: sesuai dg pajanan bising
dengan pemeriksaan audiometeridebu dengan pemeriksaan
spirometribahan kimia : toluen dengan pemeriksaan as.
Hipurat benzene dengan periksa fenol, ttMA, s-PMAkarbamat
(pestisida) dengan periksa asetil kolin esterase Penting :
pekerja yang baru sembuh sakit, pekerja yang akan dipindah
bagian, sebaiknya juga untuk yang mau pension

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 85


C. Pendidikan K3
Perlu tahu tugas yg harus dilakukan
Perlu informasi ttg K3 utk semua pegawai

D. Imunisasi
Imunisasi sebaiknya dilakukan untuk semua pegawai yang
terpajan bahaya potensial biologis

E. Perawatan penyakit dan kecelakaan akibat kerja


Perlu ada bagian khusus yang menangani pegawai untuk
mendapatkan pelayanan medis, konsultasi psikologi dan lainnya
selama 24 jam
Fasilitas yang memadai perlu diberikan untuk memberikan
pelayanan medis, bedah, psikologi dan rehabilitasi kepada
semua pegawai
Disediakan Konsultan yang kompeten
Prosedur baku perlu diberikan agar pegawai tetap dapat
berhubungan dengan dokter keluarga atau dokter
langganannya
Perlu dilakukan follow up yang adekuat
Pengobatan dan pelaporan kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja harus dilakukan

F. Konseling Kesehatan
Program yang terjangkau dan tersedia dalam pelayanan medis,
psikologis dan konseling sosial (mis: penghentian kebiasaan
merokok, dll)
Perlu dibuat sistim rujukan dan evaluasi untuk mengatasi
masalah pegawai
Apabila pelayanan sosial atau psikiatri belum ada, perlu dicari
orang yg tertarik dengan hal ini, di latih sebagai konselor

G. Pengawasan lingkungan dan surveilens


Sebagai bagian program kesehatan,di bawah langsung individu
atau konsultan yang capable dalam menangani bahaya
potensial yang ada di RS
Individu yang bertanggung jawab untuk kedokteran nuklir dan
kegiatan radiologi

H. Sistim pencatatan K3
setiap pegawai harus punya medical record sendiri, dan ada di
unit kesehatan.Catatan tersebut mencakup catatan
pemeriksaan kesehatan , PAK/kecelakaan akibat kerja dan hal-
hal yang berhubungan dengan kesehatan
Catatan sebaiknya dibuat berdasarkan dan bulan dan tahun
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 86
sesuai dengan angka kesakitan dan angka kecelakaan kerja,
dan juga laporan pengawasan bahaya potensial di lingkungan
Catatan pegawai bersifat rahasia dan hanya orang tertentu
yang dapat melihatnya

I.Koordinasi perencanaan antar departemen dan


pelayanan
Komite K3 sebagai penasehat dalam program kesehatan kerja
Komite K3 dan komite pengawasan infeksi harus memasukkan
kesehatan pegawai RS dalam perencanaannyaAnggota dari
Program Kesehatan kerja harus berada dalam komite K3 dan juga
komite pengawasan infeksi
Penanganan Bahan berbahaya dapat dilakukan dengan cara:
Inspeksi dan monitoring berkala
mapping hazards
Wawancara informal dengan pegawai
Melakukan evaluasi medis
Evaluasi lingkungan kerja
Membandingkan dengan nilai standard

Yang perlu diantisipasi:


Pencegahan: monitoring lingkungan kerja, penggunaan APD yg
sesuai, cara kerja yg benar
Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan berkala sesuai
dengan pajanan yang ada
Bila sudah ada gejala maka pindahkan pekerja ke tempat yang
tidak terpajan
Pengobatan yang diberikan umumnya Simptomatis, tidak
kausatif

Pencegahan:
1. Monitoring Lingkungan kerja- perhatikan nilai ambang batas
bahan biologi/kimia/fisik
2. Pekerja : lakukan olah raga yang sesuai (physical Fitness),
lakukan pelatihan cara menggunakan bahan kimia, cara
mengatasi keadaan darurat
3. Pengendalian Teknik: perawatan/perbaikan alat, gudang bahan
kimia, lemari bahan kimia, lemari obatPengendalian
administrasi : SOP, aturan administrasi, Program Pengendalian
Infeksi Alat pelindung diri : sarung tangan/ cimpal, apron,
masker (?), penutup kepala, sepatu boot/karet

Masalah Pengelolaan Sampah di Negara-negara Berkembang


-Pengumpulan, insinerasi, enkapsulasi dan penguburan yang
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 87
aman memerlukan biaya
-Perlu ada sistem nasional pengelolaan limbah
-Sistem tersebut tidak akan terlaksana dalam waktu dekat di
tempat yang memiliki sumber daya terbatas Empat Pilar
Program Pengendalian Infeksi Rekomendasi CDC Atlanta
- Dukungan Manajerial
- Pengendalian Administrasi
- Pengendalian Lingkungan
- Perlindungan Diri Penatalaksanaan pasca paparan virus HIV
apabila percikan terjadi:
1. Bila mengenai Kulit: Cucilah kulit dengan air dan sabun
segera, Jangan menggunakan bahan pemutih
2. Bila mengenai Mata, hidung dan mulut: maka
segeralah bilas dengan air selama 10 menit di lokasi
tersebut
3. Bila Tertusuk jarum atau luka sayat: segeralah cuci
dengan air dan sabun di lokasi tersebut, Biarkan darah
mengalir. Segera gunakan pembalut

Pertimbangan Pencegahan Pascapaparan (Post-exposure


prophylaxis (PEP) :
1. Menilai risiko pajanan sesuai dengan:
- Sumber cairan atau benda
- Cara terpajan (tertusuk, terciprat)
- Status HIV /HBV/HCV dari sumber pajanan
2. Melakukan Tes HIV pada petugas kesehatan untuk data basis
3. Melakukan Imunisasi HBV atau kadar imunoglobulin
Catatan:- Bila memberi pengobatan profilaksis, harus diberikan
dalam 1 2 jam sesudah terpajan
-Rekomendasi CDC: - Zidovudine (ZDV) & lamivudine (3TC) -
Lamivudine (3TC) & stavudine (d4T)
- Didanosine (ddI) & stavudine (d4T)Pemberian terapi selama 4
minggu dan harus dilakukan tindak lanjut

REFERENCES
1. Kementerian Kesehatan RI. Keselamatan pasien (Keselamatan
Pasien di Rumah Sakit). Jakarta 2006
2. Tietjen L, Bossemeyer D, Mc Intosh N, Saifuddin AB, Sumapraja
S, Djajadilaga, Santoso IS. Panduan Pencegahan Infeksi untuk
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber daya Terbatas.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, JNPKKR/POGI,
JHPIEGO. Jakarta, 2004
3. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 :

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 88


16.1-62
4. Levy and Wegman. Occupational Health : Recognizing and
Preventing Work Related Diseases and Injury. Lippincott
Williamas and Wilkins. Phi. USA. 2000
5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure
and Medical Director, in Occupational Health Service : Practical
Strategis Improving Quality & Controlling Costs. American
Hospital Publishing, Inc. USA. 1993
6. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan Peraturan
Perundangan KEsehatan Kerja. PT Citratama Bangun Mandiri.
Jakarta 1999.
7. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan
Jamsostek.Jakarta. 2003

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 89


LAMPIRAN 1. Contoh Evaluasi Program

Tabel 4. Tabel penetapan prioritas masalah


Importance Jumla
P S R D S P P h
No Daftar Masalah T R
I U B B C (I x T
x R)
1 Tidak 4 4 2 4 3 1 2 2 2 80
diperolehnya
data mengenai
keakuratan
pencatatan
2 Kurangnya 3 5 2 3 5 5 1 2 3 144
pengendalian
ketersediaan
obat di
puskesmas
kecamatan
pulogadung
3 Belum adanya 4 3 1 4 5 3 1 3 2 126
evaluasi
penggunaan
obat yang
rasional dan
tepat
4 Ketersediaan 4 3 2 3 5 2 1 3 2 120
obat di
puskesmas
kelurahan tidak
merata

Prevalensi
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu aspek penting
dari pengelolaan obat yang ikut menentukan keberhasilan
seluruh rangkaian pengelolaan obat / perbekalan farmasi. Di
puskesmas kecamatan pulogadung, pencatatan dan pelaporan
tiap bulan sudah dilaksanakan tepat waktu, namun data
mengenai keakuratan tidak ada. Pencatatan dan pelaporan data
obat yang akurat dapat memberikan perbaikan dalam efisiensi
dan efektifitas manajemen obat. Oleh karena itu besarnya
masalah (prevalence) mendapat poin yang cukup besar. Kami
berikan nilai 4. Pengendalian ketersediaan obat di puskesmas
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pengelolaan
obat. Apabila terjadi masalah dalam aspek ini, maka dapat
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 90
menimbulkan masalah lain dalam rangkaian proses pengelolaan
obat. Bila keadaan ini tidak teratasi dapat menyebabkan kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat menjadi buruk. Masalah ini
prevalensinya cukup besar karena tidak dapat mencapai 100%
dari tolok ukur. Pembobotan yang diberikan 3. Masalah ke 3,
juga cukup besar (prevalence) mengingat evaluasi dalam
pemakaian obat yang rasional dan tepat terhadap pasien akan
mempengaruhi masalah-masalah lain dalam manajemen obat.
Diberikan nilai 4. Ketersediaan obat di puskesmas kelurahan
tidak merata, masalah ini memiliki nilai prevalensi yang cukup
besar karena ketersedian obat yang tidak merata akan
mengurangi ketepatan dalam pengobatan pasien secara
langsung.

Severity
Pelaporan dan pencatatan pemakaian obat yang tidak akurat
dapat mengakibatkan buruknya laporan dan tingkat kepercayaan
yang rendah terhadap pihak pengelola. Oleh karenanya untuk
severity diberikan nilai yang juga cukup besar. Untuk masalah ke
dua, akibat yang ditimbulkan oleh masalah ini cukup besar
karena Puskesmas Kecamatan Pulogadung tidak melakukan
pengendalian ketersediaan obat dengan baik. Dampak yang dapat
terjadi adalah terbatasnya pemberian resep obat yang terbatas
pada ketersediaan obat. Masalah ke tiga, bila keadaan ini tidak
teratasi, pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit pasien
tidak terobati secara benar. Sehingga memberikan nilai severity
yang sedikit besar. Pada masalah ke empat, keparahan penyakit
pasien penyakit tidak langsung menjadi buruk dengan
pengobatan yang kurang tepat, sehingga akibat yang
ditimbulkan dari masalah (severity) tidak besar.

Rate of increase, selanjutnya lakukan seperti prevalensi dan


severity.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 91


Gambar 4. Kerangka konsep dengan model diagram tulang ikan
Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah
Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini
dilakukan dengan memakai teknik kriteria matriks. Dari berbagai
alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat maka akan
dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik
dan memungkinkan.

Pemecahan masalah dengan koordinasi lintas sektor dan


sosialisasi atau penyuluhan paling besar dapat mengatasi
masalah. Banyak penyebab masalah yang dapat diatasi oleh
kedua alternatif jalan keluar tersebut.

Koordinasi lintas sektoral berikut pembagian tugas dan tanggung


jawab antara Puskesmas dan pihak SD penting dilakukan karena
hal ini dapat mengatasi penyebab masalah yang berupa
kurangnya tenaga kesehatan Puskesmas dalam pelaksanaan
program BIAS dan tidak adanya koordinasi berikut pembagian

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 92


tugas dan tanggung jawab antara Puskesmas, Sudin Dikdas, dan
pihak SD. Dengan koordinasi tersebut, pihak SD dapat
mengetahui seberapa pentingnya BIAS Campak dilaksanakan dan
peranan mereka dalam pelaksanaan BIAS Campak ini. Peran
pihak sekolah dalam hal ini adalah dalam pendaftaran siswa yang
ikut serta, penginformasian kepada orangtua dan guru,
penyediaan waktu dan tempat untuk BIAS Campak dan dapat
memberikan sumbangan tenaga dalam pelaksanaan program.
Koordinasi tidak cukup hanya Puskesmas dengan pihak SD tetapi
juga diperlukan koordinasi antara Puskesmas dengan Sudin
Dikdas (Suku Dinas Pendidikan Dasar) Jakarta Timur serta antara
pihak SD dan Sudin Dikdas. Hal ini penting karena jika tidak ada
instruksi atau pemberitahuan dari Sudin Dikdas (Suku Dinas
Pendidikan Dasar), maka tidak ada tenaga yang mampu
mendorong pihak SD agar lebih proaktif menyukseskan program
BIAS ini.

Pertemuan koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung


jawab yang jelas antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin
Dikdas Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung
membutuhkan banyak waktu dan persiapan yang baik karena
melibatkan anggota yang cukup banyak, yaitu minimal 14 orang.
Persiapan meliputi persiapan alat, waktu, tempat, menghubungi
semua pihak dan menyusun jadwal. Akan tetapi masalah dapat
terselesaikan sesegera mungkin jika pelaksanaan berhasil
dilakukan. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini juga paling
mahal, yaitu Rp. 3.602.500,00.

Sosialisasi/penyuluhan tentang program BIAS kepada orangtua


siswa dan guru dapat mengatasi penyebab masalah berupa
kurangnya sosialisasi/penyuluhan mengenai program BIAS
kepada orangtua siswa dan guru serta pengetahuan, sikap, dan
perilaku orangtua dan guru terhadap program BIAS yang masih
kurang. Hal tersebut tercermin dari banyaknya siswa yang tidak
mendapat persetujuan dari orangtuanya untuk diimunisasi atas
dasar alasan-alasan yang keliru yang telah dijelaskan pada
penjelasan sebelumnya. Banyaknya alasan ini menyebabkan
tidak tercapainya cakupan 100 % untuk program BIAS Campak.
Penyuluhan langsung kepada orangtua siswa dapat mengubah
pandangan yang salah. Peran guru dalam hal ini juga penting
karena guru dapat membantu menginformasikan hal-hal yang
perlu diketahui kepada para siswa dan orangtua mereka jika ada
orangtua yang tidak hadir dalam penyuluhan. Yang perlu
diperhatikan adalah penyuluhan tidak menjamin pandangan
orangtua akan berubah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 93
berupa keterbukaan orangtua, fleksibilitas (tidak bersikeras
mempertahankan pendapat), dan pengetahuan orangtua.

Penyuluhan membutuhkan persiapan baik alat, waktu dan tempat


serta penginformasian kepada pihak orangtua dan guru. Karena
kegiatan langsung ditujukan pada orangtua dan guru, masalah
dapat terselesaikan sesegera mungkin jika kegiatan berhasil
dilaksanakan. Biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan ini cukup
besar tetapi tidak sebesar kegiatan pertemuan koordinasi berikut
pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara
Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas Jakarta Timur,
dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung, yaitu Rp. 850.000,00.

Pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan hanya


mengatasi masalah pengetahuan, sikap, dan perilaku orangtua
dan guru terhadap program BIAS yang masih kurang. Penyebaran
media ini tidak terlalu banyak berperan dalam mengatasi
masalah karena tergantung dari beberapa faktor, yaitu
pengetahuan orangtua dan guru, keingintahuan orangtua dan
guru, serta kepedulian dari orangtua dan guru. Masalah juga tidak
cepat teratasi dengan hanya menggunakan alternatif jalan keluar
ini. Jalan keluar ini hanya mendukung jalan keluar lain yang
dilaksanakan. Namun, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini
tidak terlalu besar dibandingkan kegiatan sebelumnya, yaitu Rp
517.000,00.

Dari penjelasan di atas, untuk besarnya masalah yang dapat


diselesaikan (Magnitude), penulis memberikan angka 5 pada
alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan
sosialisasi/penyuluhan karena keduanya dapat mengatasi
masalah paling besar. Hal ini disebabkan karena kedua alternatif
pemecahan masalah ini masing-masing dapat menyelesaikan 2
penyebab masalah dibandingkan dengan alternatif pemecahan
masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan
yang hanya dapat menyelesaikan 1 penyebab masalah. Makin
banyak penyebab masalah yang diselesaikan, maka makin besar
masalah yang dapat terselesaikan. Penulis memberikan angka 2
pada alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran
media promosi kesehatan karena besarnya masalah yang dapat
diselesaikan sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor
yang mempengaruhi alternatif pemecahan masalah ini yang telah
disebutkan di atas.

Dilihat dari besarnya masalah yang dapat diselesaikan, penulis


menyatakan bahwa alternatif pemecahan masalah koordinasi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 94
lintas sektoral dan sosialisasi/penyuluhan merupakan jalan keluar
yang penting (importance). Penulis memberikan angka 5 untuk
alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan
angka 4 untuk alternatif pemecahan masalah
sosialisasi/penyuluhan karena walaupun keduanya sama penting,
jika hanya sosialisasi/penyuluhan tanpa adanya koordinasi lintas
sektoral, masalah tidak akan terselesaikan. Di pihak lain,
koordinasi lintas sektoral saja dapat menyelesaikan masalah
walaupun hasilnya tidak maksimal tanpa adanya
sosialisasi/penyuluhan. Dengan demikian, koordinasi lintas
sektoral lebih penting daripada sosialiasi/penyuluhan. Alternatif
pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi
kesehatan dilihat dari besarnya masalah yang dapat diselesaikan
merupakan alternatif pemecahan masalah yang tidak terlalu
penting tetapi mendukung alternatif pemecahan lainnya sehingga
diberikan angka 3.

Dilihat dari kecepatan terselesaikannya masalah (vulnerability),


alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan
sosialisasi/penyuluhan diberikan angka 4. Kedua alternatif
pemecahan masalah tersebut tidak diberikan angka 5 karena
meskipun keduanya dapat sesegera mungkin menyelesaikan
masalah tetapi tidak sempurna dan memerlukan dukungan
alternatif pemecahan masalah yang lain agar lebih cepat
menyelesaikan masalah. Di pihak lain, alternatif pemecahan
masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan
lambat menyelesaikan masalah karena besarnya masalah yang
dapat diselesaikan sangat kecil dengan adanya banyak faktor
yang disebutkan di atas yang menghambat terselesaikannya
masalah. Dengan demikian, alternatif pemecahan masalah ini
diberikan angka 2.

Dengan mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan untuk


pelaksanaan alternatif pemecahan masalah (cost), penulis
memberikan nilai 5 pada alternatif pemecahan masalah
pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan, nilai 4
untuk alternatif pemecahan masalah sosialisasi/penyuluhan, dan
nilai 3 untuk alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas
sektoral. Hal ini disebabkan biaya yang dibutuhkan untuk
pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan adalah
yang paling murah (Rp 517.000,00) dibandingkan dengan biaya
sosialisasi/penyuluhan (Rp 850.000,00) dan koordinasi lintas
sektoral (Rp 3.602.500,00).

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 95


Tabel 5. Tabel penentuan prioritas pemecahan masalah
Efektivitas Efisien Jumlah
Alternatif jalan
No si M x I x V/
keluar M I V C C
Koordinasi lintas
1. 5 5 4 3 33
sektoral
Sosialisasi/penyul
2. 5 4 4 4 20
uhan
3. Pembuatan dan 2 3 2 5 2,4
penyebaran media
promosi
kesehatan

Dari tabel di atas diketahui bahwa yang mendapat nilai terbesar


adalah alternatif jalan keluar pertama, yaitu Pertemuan
koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung jawab yang
jelas antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas
Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung.

Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas Dept. IKK FKUI | 96

Anda mungkin juga menyukai