Anda di halaman 1dari 28

KAJIAN PERAN DIAGNOSIS KOMUNITAS MELALUI

FAMILY ASSESSMENT TOOLS FAMILY SCREEM DALAM


PENURUNAN TB DI PALEMBANG

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu


Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas

Pembimbing:
dr. Hj. Mariatul Fadillah, MARS

Oleh:
Mandy Putriyudi, S.Ked 04054821820065
Humairoh Okba Vekos P, S.Ked 04054821820070
Muhammad Fahmi, S.Ked 04084821820011
Bianca Dwinta Daryanto, S.Ked 04084821820041
Rizky Vania Oka, S.Ked 04084821820036

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

“KAJIAN PERAN DIAGNOSIS KOMUNITAS MELALUI


FAMILY ASSESSMENT TOOLS FAMILY SCREEM DALAM
PENURUNAN TB DI PALEMBANG”

Mandy Putriyudi, S.Ked 04054821820065


Humairoh Okba Vekos P, S.Ked 04054821820070
Muhammad Fahmi, S.Ked 04084821820011
Bianca Dwinta Daryanto, S.Ked 04084821820041
Rizky Vania Oka, S.Ked 04084821820036

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik periode 23 April
2018 – 20 Mei 2018 di Departemen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / RS
Mohamad Hoesin Palembang.

Palembang, Februari 2019

dr. Hj. Mariatul Fadillah, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Kajian
Peran Diagnosis Komunitas Melalui Family Assessment Tools Family SCREEM
Dalam Penurunan TB di Palembang”. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada
Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai tauladan umat manusia. Pada kesempatan
ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Hj. Mariatul Fadillah,
MARS selaku pembimbing.
Penulis menyadari banyak kekurangan dari laporan ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Demikian, semoga laporan
ini tetap dapat berkonstribusi untuk kemajuan ilmu kedokteran.

Palembang, Februari 2019

Penulis

iii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI DAN CAKUPAN


1.1.1 Definisi Komunitas
Komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki paling
tidak ada satu kesamaan sifat yang berlaku untuk semua anggota komunitas
bersangkutan. Kesamaan sifat ini bisa berupa kesamaan wilayah misalnya
komunitas Jakarta; kesamaan pekerjaan misalnya komunitas guru; kesamaan suku
misalnya komunitas Betawi; kesamaan kondisi perumahan misalnya komunitas
perumnas; dan sebagainya. Komunitas dapat juga didefiniskan sebagai sebagian
dari anggota masyarakat yang lebih besar, serta memiliki kesamaan sifat atau
minat. Sebagai contoh adalah sebagian dari masyarakat Jakarta yang memiliki
minat yang sama terhadap cabang olahraga sepakbola dan menjadi fans Persija,
yakni komunitas Jakmania.1
Adanya kesamaan sifat dari semua anggota komunitas ini telah membantu
keterkaitan di antara mereka satu sama lain. Keterkaitan antara bagian komunitas
atau subsistem dari suatu komunitaslah yang dapat mendorong agar komunitas
bersangkutan berfungsi secara baik. Hal ini pula yang mampu diberdayakan
dalam aspek kesehatan sehingga seluruh komunitas mampu bersama-sama
menggunakan potensi yang ada didalamnya untuk menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatannya.2

1.1.2 Definisi Diagnosis Komunitas


Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan adanya suatu
masalah dengan cara pengumpulan data di masyarakat lapangan. Menurut definisi
WHO, diagnosis komunitas adalah penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif
mengenai kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang mempengaruhi
kondisi kesehatannya. Diagnosis komunitas ini mengidentifikasi masalah
kemudian mengarahkan suatu intervensi perbaikan sehingga menghasilkan suatu
rencana kerja yang konkrit. Keterampilan melakukan diagnosis komunitas
merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter untuk menerapkan

1
pelayanan kedokteran secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan
keluarga dan okupasi terhadap pasien. Dalam penerapannya, penggunaan
diagnosis komunitas dalam suatu program kesehatan adalah sebagai berikut :
- untuk berperan sebagai referensi data kesehatan dalam suatu wilayah
- untuk menyediakan gambaran secara keseluruhan mengenai masalah kesehatan
pada komunitas lokal dan penduduknya
- untuk merekomendasikan intervensi yang akan dijadikan prioritas dan solusi
pemecahan masalah yang mampu laksana
- untuk mengindikasi alokasi sumber daya dan mengarahkan rencana kerja di masa
depan
- untuk menciptakan peluang dari kolaborasi inter sektoral dan keterlibatan media
- untuk pembentukan dasar indikator keberhasilan dari evaluasi program kerja
kesehatan.
Oleh karena itu diagnosis komunitas harus disadari bukan sebagai suatu
kegiatan yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari suatu proses dinamis
yang mengarah kepada kegiatan promosi kesehatan dan perbaikan permasalahan
kesehatan di dalam komunitas. Diagnosis komunitas merupakan awal dari siklus
pemecahan masalah untuk digunakan sebagai dasar pengenalan masalah di
komunitas, sehingga dilanjutkan dengan suatu perencanaan intervensi,
pelaksanaan intervensi serta evaluasi bagaimana intervensi tersebut berhasil
dilakukan di komunitas.
Oleh karena itu diagnosis komunitas TIDAK hanya berhenti pada
identifikasi (diagnosis) masalah, tetapi juga mencakup solusi (treatment) untuk
mengatasi masalah berdasarkan sumber-sumber yang ada. Untuk lebih
menjelaskan diagnosis komunitas, dibawah ini dijelaskan perbedaan antara
Kedokteran komunitas (Community Medicine) dengan Kedokteran rumah sakit
dan perbedaan antara Diagnosis Komunitas dengan diagnosis klinis2

Tabel 1. Perbedaan antara Kedokteran komunitas dan Kedokteran Rumah Sakit


Karakteristik Kedokteran Komunitas Kedokteran Rumah Sakit
Area Populasi di area kerja Pasien yang datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan

2
Strategi Aktif dan pasif Pasif, menunggu pasien datang
operasional
Organisasi Terdiri atas puskesmas, pustu, Terdiri atas hubungan yang tidak
posyandu mengikat antara pelayanan
primer, sekunder
dan tersier
Bentuk Komprehensif (health Hanya kuratif
pelayanan promotion, specific
protection, early diagnosis
dan prompt treatment,
disability-limitation,
rehabilitation
Koordinasi Ada koordinasi dengan Tidak ada hubungan
Intersektoral departemen kesehatan dan Hanya kuratif
jajarannya
Partisipasi Mengikut sertakan Partisipasi terbatas
masyarakat masyarakat
dalam program kesehatan
Analisis cost- Memberikan high cost- Memberikan poor cost- benefit
benefit benefit rasio melalui rasio melalui maximum-
minimum- expenditure dan expenditure dan minimum-
maximum-result result
(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2.
Jaypee
Brothers Medical Publisher, 2010)

Tabel 2. Perbedaan antara Diagnosis komunitas dan Diagnosis Klinis


No Diagnosis Klinis Diagnosis Komunitas
1 Dilakukan oleh dokter Dilakukan oleh dokter atau
epidemiologis
2 Fokus perhatian : pasien Fokus perhatian : komunitas /
masyarakat

3
3 Fokus perhatian : hanya orang Fokus perhatian : orang sakit dan sehat
sakit
4 Dilakukan dengan memeriksa Dilakukan dengan cara survey
pasien
5 Diagnosis didapat berdasarkan Diagnosis didasarkan atas Riwayat
keluhan dan simtom Alamiah Perjalanan Penyakit ( Natural
history of disease)
6 Memerlukan pemeriksaan Memerlukan penelitian epidemiologi
laboratorium
7 Dokter menentukan pengobatan Dokter/epidemiologis merencanakan
plan of action
8 Pengobatan pasien menjadi Pencegahan dan Promosi menjadi
tujuan tujuan utama
utama
9 Diikiuti dengan follow up kasus Diikuti dengan program evaluasi
10 Dokter tertarik menggunakan Dokter/epidemiologis tertarik dengan
teknologi tinggi nilai2 statistik
(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2.
Jaypee
Brothers Medical Publisher, 2010)

Sama seperti halnya melakukan diagnosis terhadap pasien, maka


pelaksanaan diagnosis komunitas dilakukan dengan mengikuti kaidah kaidah
tertentu, agar data (diagnosis) yang diperoleh dapat dipercaya. Dalam
melaksanakan diagnosis komunitas, perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran
adalah komunitas (yang terdiri dari sejumlah orang) sehingga sangat ditunjang
oleh pengetahuan epidemiologi, statistik, manajemen dan ilmu ilmu sosial
lainnya.3

1.1.3 Tujuan Kompetensi Diagnosis Komunitas


Tujuan utama dari penguatan kompetensi diagnosis komunitas adalah dokter
mampu mengidentifikasi masalah kesehatan di komunitas dan membuat solusi

4
pemecahannya. Secara khusus, tujuannya adalah dokter mampu :
- mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat
- mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
- menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan solusi pemecahannya
- menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat primer
- berkomunikasi secara baik dengan masyarakat
- membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan3

1.1.4 Manfaat Diagnosis Komunitas


Setelah mendapatkan diagnosis komunitas, maka manfaat yang bisa
didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi kesehatan dari komunitas bersangkutan saat ini
Pertanyaan ini menekankan pada keadaan tingkat kesehatan sebenarnya yang
saat ini sedang dihadapi oleh komunitas bersangkutan. Indikator kesehatan
masyarakat yang dikumpulkan dalam proses diagnosis komunitas akan
memberikan gambaran mengenai permasalahan kesehatan apa saja yang sedang
dihadapi oleh anggota komunitas. Mengingat cukup banyak masalah kesehatan
masyarakat yang dapat terjaring dalam tahap ini, maka perlu ditetapkan
permasalahan kesehatan yang bersifat prioritas serta memerlukan penanganan
segera.

2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan komunitas ini bisa


ditingkatkan
Pada tahap ini team penilai harus menetapkan harapan mengenai sejauh
mana upaya perbaikan kondisi kesehatan ini ingin diperbaiki. Memang sesuai
kesepakatan internasional tentunya kita ingin mencapai tingkat yang ditetapkan
oleh target (misalnya MDG). Namun harus diingat bahwa target tersebut masih
sangat jauh sehingga besar kemungkinan belum dapat dicapai dalam waktu
singkat. Penetapan ini harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang
dimiliki oleh komunitas bersangkutan.

5
3. Untuk mengetahui bagaimana caranya untuk meningkatkan kondisi
kesehatan komunitas
Setelah team menetapkan tingkat kesehatan masyarakat yang ingin dicapai
dalam upaya peningkatan kondisi komunitas bersangkutan, maka perlu
dikembangkan beberapa pilihan cara untuk mencapai harapan tersebut. Pilihan-
pilihan ini sudah barang tentu mempunyai konsekuensi mengenai sumber daya
yang diperlukan, sehingga team harus memilih cara solusi yang paling efektif dan
paling efisien dalam pencapaian target yang telah ditetapkan.4

1.1.5 Langkah-Langkah Penerapan Diagnosis Komunitas


Langkah langkah untuk melakukan diagnosis komunitas tidaklah
sesederhana seperti melakukan diagnosis pada seorang pasien, karena yang akan
menjadi sasaran adalah suatu komunitas yang terdiri atas sekelompok penduduk
yang mempunyai karakteristik yang (kurang lebih) sama dan tinggal di area yang
tertentu. Selain itu, hasil dari diagnosis komunitas tidak selalu berbentuk
penyakit, tetapi bisa masalah-masalah non medis yang menyebabkan suatu
penyakit. Ini disebabkan karena masalah kesehatan dalam komunitas merupakan
akibat dari berbagai determinan sesuai dengan teori Blum yang menyatakan ada
4 determinan yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik (urutan
sesuai dengan kontribusi terhadap masalah kesehatan).

Langkah-langkah penerapan diagnosis komunitas adalah secara bertahap yaitu:


1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
2. Menentukan instrument pengumpulan data
3. Pengumpulan data dari masyarakat
4. Menganalisis dan menyimpulkan data
5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi.

Langkah 1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan


Pada fase awal pertemuan pendahuluan harus ditentukan tim pelaksana yang
berperan mengelola dan mengkoordinasikan diagnosis komunitas. Tim ini harus
mengidentifikasi dana dan sumber daya yang tersedia untuk menentukan batasan

6
dari diagnosis komunitas. Beberapa cakupan yang umum untuk dipelajari dalam
diagnosis komunitas adalah status kesehatan, gaya hidup, kondisi tempat tinggal,
kondisi sosial ekonomi, infrastruktur sosial dan fisik, tidak berimbangnya
fasilitasi dan akses kesehatan (inequality), termasuk mengenai pelayanan
kesehatan masyarakat dan kebijakan yang sudah ada.
Menurut epidemiologi, penentuan masalah (medis dan non medis) di
komunitas harus memakai indikator yang merepresentasikan permasalahan
komunitas/ masyarakat. Berikut adalah indikator status kesehatan yang biasa
dipakai untuk menggambarkan masalah kesehatan di komunitas:
1. Angka Kematian (Mortality rate): AKK, AKI, AKB, Angka Kematian akibat
penyakit tertentu, dll
2. Angka Kesakitan (Morbidity rate): Insiden, prevalen (menyangkut berbagai
penyakit)
3. Angka Ke-cacatan (Disability rate): Angka absensi, dll
Selain indikator diatas terdapat indikator lain yang sering dipergunakan
misalnya :
1. Indikator jangkauan pelayanan kesehatan, misalnya cakupan ibu hamil yang
mendapat pelayanan ANC.
2. Rasio petugas kesehatan-penduduk, misalnya rasio dokter : penduduk
3. Indikator kesehatan lingkungan, misalnya persentase penduduk yang mendapat air
bersih
4. Indikator sosio-demografi (komposisi/struktur/distribusi, income per capita, angka
buta huruf, dll)
Bila kita mau mengetahui masalah kesehatan suatu komunitas, maka jalan
yang paling baik adalah melakukan survey yang mengumpulkan data-data sesuai
indikator diatas. Kegiatan ini akan memakan waktu lama dan biaya yang banyak.
Oleh karena itu sebagai pendekatan awal ada cara lain yang dapat digunakan yaitu
dengan menganalisis laporan penyakit/kematian yang ada disuatu wilayah. Data
ini bisa diperoleh dari hasil penelitian kesehatan atau laporan tahunan puskesmas
(harap diingat bahwa tidak semua orang yang sakit datang ke puskesmas). Pola
penyakit di suatu area biasanya akan selalu sama dalam kurun waktu tertentu,
kecuali bila ada kejadian luar biasa. Dalam situasi ini maka penyakit yang akan

7
menjadi area diagnosis komunitas dalam pelatihan modul komunitas, tidak selalu
harus yang paling banyak ditemukan. Dalam keadaan tertentu, masalah kesehatan
dapat pula ditanyakan kepada orang orang yang dianggap mempunyai
pengetahuan dalam hal ini, misalnya pimpinan puskesmas, kepala daerah (camat,
lurah) atau orang orang yang bergerak dalam bidang kesehatan (guru, kader).
Untuk mendapatkan informasi dari orang orang ini, maka dapat dipergunakan
metoda NGT atau Delphi tehnik.
Bila sudah ditemukan area masalah, maka juga perlu mengetahui berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah tersebut. Konsep terjadinya
penyakit menurut Blum dapat dipakai untuk membuat kerangka konsep yang
menjelaskan mengapa penyakit tersebut terjadi. Ini akan membantu menentukan
data apa yang akan dikumpulkan dari masyarakat agar mendapatkan masalah
yang utama dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.

Langkah 2. Menentukan instrument pengumpulan data


Tergantung data apa yang akan dikumpulkan, maka diperlukan metode
pengumpulan data (instrumen) yang sesuai. Data dapat dikumpulkan melalui
observasi (menggunakan cek lis), wawancara (dengan kuesioner), pemeriksaan
(TB, BB, pemeriksaan lab) atau menggunakan data sekunder dari rekam medis.
Bila menggunakan kuesioner, maka kuesioner tersebut haruslah diuji-coba untuk
mengetahui apakah kuesioner itu baik (valid dan reliabilitas) serta mengetahui
realitas pelaksanaan sebenarnya (lama wawancara, situasi lapangan, dll). Untuk
menguji kuesioner sebaiknya dicobakan pada 30 responden.

Langkah 3. Pengumpulan data dari masyarakat


Pada tahap ketiga yaitu pengumpulan data dan analisis, sebaiknya dilakukan
dengan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, latar
belakang wilayah yang dibahas harus dipelajari melalui data statistik dan hasil
sensus populasi, misalnya besarnya populasi, struktur jenis kelamin dan usia
masyarakat, pelayanan kesehatan perorangan dan masyakarat, pelayanan sosial,
pendidikan, perumahan, keamanan publik dan transportasi. Untuk mengumpulkan
data dari komunitas, hal yang dapat dilakukan adalah melakukan survey,

8
menggunakan kuisioner mandiri (self administered questionnaire), kemudian
wawancara atau fokus grup diskusi atau acara dengan telepon. Untuk memastikan
reliabilitas datanya, sebaiknya institusi yang sudah berpengalaman seperti institusi
pendidikan, dilibatkan dalam diagnosis komunitas.
Penentuan sampel harus direncanakan secara hati-hati, sehingga jumlah
sampelnya mampu mewakili kondisi lokal komunitas yang dikaji, sehingga dapat
menghasilkan suatu kesimpulan yang valid. Agar data yang dikumpulkan
merepresentasikan gambaran masyarakat, maka perlu ditentukan sasaran
penduduk yang akan menjadi responden, berapa jumlahnya serta lokasinya
tinggalnya. Sebaiknya penentuan sasaran berdasarkan probability sampling,
kecuali bila terpaksa dapat dilakukan non probability sampling. Hal ini juga
berlaku bila responden diambil dari rekam medis atau pengunjung puskesmas.
Strategi menemui responden di lapangan memerlukan persiapan khusus,
yaitu mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Dalam hal ini, sebaiknya
mahasiswa meminta kepala puskesmas membuat surat kepada kepala daerah
setempat menjelaskan bahwa Puskesmasnya akan melakukan pengumpulan
data. Ini dilakukan, agar masalah ijin pengumpulan data menjadi mudah dan
memang kegiatan ini merupakan kegiatan untuk menunjang puskesmas. Selain
itu, bila diperlukan, pimpinan puskesmas dapat dimintakan bantuannya untuk
memfasilitasi agar ada petugas/kader yang membantu mengantar mahasiswa
mengumpulkan data (misalnya kader atau pegawa puskesmas). Bila data berasal
dari rekam medik, maka mahasiswa dapat meminta bantuan pimpinan puskesmas
memfasilitasi agar petugas terkait memahami apa yang akan dilakukan mahasiswa
dalam rangka diagnosis komunitas, dan mahasiswa juga harus menjaga agar
rekam medik kembali tersusun seperti semula dan tidak ada yang hilang, termasuk
menjaga kerahasiaan data pasien. Semua kuesioner (data) yang didapat haruslah
diperiksa kelengkapan serta kebenarnya, sebelum dianalisis.
Rencana mendapatkan data harus dibuat seperti proposal penelitian
sederhana
yang terdiri atas :
a. Latar belakang
b. Tujuan

9
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau pemeriksaan)
f. Batasan operasional data yang diambil5

Langkah 4. Menganalisis dan menyimpulkan data


Tahap keempat adalah penentuan kesimpulan diagnosis komunitas yang
dihasilkan dari pengolahan dan interpretasi analisis data yang ada. Hasil diagnosis
sebaiknya terdiri atas tiga aspek yaitu :
- Status kesehatan di komunitas
- Determinan dari masalah kesehatan di komunitas
- Potensi dari pengembangan kondisi kesehatan di komunitas dan area yang lebih
luas
Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data diagnosis
komunitas adalah:
- Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk rate atau rasio untuk
perbandingan
- Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor perubahan sepanjang waktu
yang diamati serta perencanaan ke depan
- Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan distrik yang lain atau
ke seluruh populasi
- Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat digunakan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mudah dan cepat

Langkah 5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi


Tahap terakhir adalah presentasi atau diseminasi hasil diagnosis komunitas.
Tahap ini menunjukkan bahwa diagnosis komunitas tidak pernah menjadi akhir
dari program kerja. Diagnosis komunitas harus dilanjutkan dengan usaha untuk
mengkomunikasikannya sehingga memastikan prioritas tindak lanjut yang harus
segera diambil. Target pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam mengetahui hasil
diagnosis komunitas adalah para perumus kebijakan, profesional kesehatan serta
tokoh tokoh masyarakat di dalam komunitas. Umumnya hasil dari diagnosis

10
komunitas dapat di diseminasi melalui berbagai forum yaitu misalnya presentasi
pada pertemuan dewan kesehatan masyarakat atau tokoh masyarakat dan forum
khusus organisasi swadaya masyarakat, dalam rilis media massa atau satu seminar
khusus mengenai promosi kesehatan.
Penerapan langkah diagnosis komunitas dapat dijabarkan secara skematis
seperti gambar berikut, yang menekankan perlunya kombinasi dari penggunaan
data sekunder serta pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam memetakan
permasalahan kesehatan di komunitas.6

Gambar 1. Langkah penerapan diagnosis komunitas

1.1.6 Tahapan Kerja Diagnosis Komunitas


Tahapan kerjanya adalah:
1. Menentukan area masalah yang dihadapi puskesmas. Area masalah yang
dimaksud bisa diambil dari program program yang dilaksanakan di puskesmas.
Untuk itu ada beberapa sumber untuk menentukan area yaitu melihat data
jangkauan pelayanan atau pencapaian program serta menanyakan kepada
pimpinan puskesmas yang dianggap sebagai informan kunci
2. Menentukan masalah yang spesifik yang ada di area tersebut. Cara
menentukannya adalah dengan menanyakan kepada dokter puskesmas atau

11
penanggung jawab program yang bersangkutan
3. Membuat proposal sederhana untuk merumuskan langkah langkah metode
diagnosis komunitas mencakup sasaran, sampel, instrumen yang dipakai dan
batasan operasional data yang akan diambil
4. Persiapan pengumpulan data di lapangan atau dari pengunjung puskesmas
5. Menganalisis data secara deskriptif dengan menggunakan program analisis.
Dalam diagnosis komunitas ini uji statistik inferens tidak penting untuk dilakukan
6. Membuat laporan untuk diseminasi ke pimpinan dan pengelola program terkait di
puskesmas7

Contoh kerangka isi laporan diagnosis komunitas (profil komunitas) di


pendidikan
Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup beberapa aspek
dibawah ini:
 Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota, kecamatan, kelurahan)
 Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran
 Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi)
 Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
 Kelompok agama yang utama
 Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan)
 Sarana ekonomi (pasar, toko)
 Sarana transportasi
 Sarana komunikasi
 Sarana penyediaan air
 Sarana sanitasi
 Perumahan (kondisi dan pola bangunan)
 Sekolah dan sarana pendidikan lain
 Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun)
 Pola penyakit:
 Penyebab utama dari gangguan kesehatan
 Jenis penyakit yang paling banyak
 Masalah kesehatan khusus

12
 Perilaku sehat dan sakit
 Kemana mencari pertolongan ketika sakit
 Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit
 Apa peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan

1.2 Family SCREEM


Keluarga berfungsi sebagai sumber paling mendasar keberadaan pasien dan
keluarga. Dengan kata lain, keluarga merupakan patner alami dalam perawatan
kesehatan. Family dinamics atau dinamika keluarga (Goh et al., 2004; Rakel,
1998) merupakan interaksi (kedudukan dalam keluarga, misal: Andi anak
keluarga budi) dan relationship (hubungan kedekatan, misal: Andi dekat dengan
ibunya) antara individu anggota keluarga yang mana merefleksikan (penyakit
yang berpengaruh ke keluarga atau keluarga yang berpengaruh pada penyakit) dan
memengaruhi kesehatan fisik, mental, spiritual dari individu-individu tersebut
dalam keluarga. Pentingnya mengetahui dinamika keluarga adalah untuk
membantu dokter keluarga mendiagnosa penyakit dan rasa sakit dan
mendapatkan pengakuan faktor-faktor yang mungkin membantu atau tersembunyi
dalam kesembuhan pasien. Selain itu, pengetahuan dinamika keluarga juga
berguna dalam memformulasikan cara untuk membantu pasien agar lebih efektif
dan bisa beradaptasi dengan masalah kesehatan mereka. Dinamika keluarga dapat
dinilai menggunakan instrumen family assessment tool atau perangkat penilaian
keluarga.
Terdapat beberapa family assessment tools, salah satunya adalah family
SCREEM yang menggambarkan penilaian sumber daya keluarga. SCREEM
merupakan singkatan dari Social, Cultural, Religious, Economic, Educational,
Medical. Family SCREEM digunakan oleh tenaga kesehatan untuk membantu
anggota keluarga dalam mengidentifikasi dan menilai kemampuan keluarga untuk
berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan dan menghadapi krisis. Terdapat 6
parameter yang dinilai pada family SCREEM, yaitu sosial (social), budaya
(cultural), agama (religious), ekonomi (economic), edukasi (educational), dan
kesehatan (medical).
Untuk mengisi kolom family SCREEM, kita harus bisa menentukan sumber

13
daya yang berguna dan yang tidak berguna ditinjau dari segi sosial, budaya,
agama, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Sumer daya yang berguna
dimasukkan ke dalam kolom sumber (resources), sedangkan sumber daya yang
tidak berguna dimasukkan ke dalam kolom patologi. Berdasarkan family
SCREEM ini, tenaga kesehatan dapat menentukan langkah selanjutnya dalam
mengatasi permasalahan kesehatan yang terdapat dalam suatu keluarga.

Tabel 3. Penjelasan dan Contoh Pemakaian Family SCREEM


Sumber (Resources) Patologi
Sosial  Interaksi sosial merupakan bukti  Terisolasi dari luar
(Social) antara anggota keluarga. Antara keluarga, masalah
anggota keluarga harus memiliki komitmen berlebih.
komunikasi yang seimbang  Contoh: keluarga
dengan grup sosial di luar terisolasi dari
keluarga seperti teman, grup lingkungan.
olahraga, klub, dan komunitas
lainnya.
 Contoh: hubungan yang
harmonis antara anggota
keluarga dan lingkungan sekitar.
Kebudayaan  Kebanggaan budaya atau  Keterbelakangan
(Culture) kepuasan dapat teridentifikasi, etnis/budaya.
khususnya dalam grup etnis yang  Contoh: keluarga
jelas. lebih memilih berobat
 Contoh: semua anggota keluarga ke dukun dari pada ke
menjaga dan melestarikan tenaga kesehatan .
budaya daerah mereka.
Keagaman  Tawaran agama yang  Ritual/dogma yang
(Religious) memuaskan pengalaman spiritual kaku, lemah iman.
dan hubungan dengan grup di  Contoh: tidak adanya
luar keluarga yang mendukung. kesatuan keluarga
 Contoh: semua anggota keluarga pada kegiatan

14
memiliki agama yang sama, atau keagamaan karena
perbedaan agama antara anggota adanya perbedaan
keluarga tidak menyebabkan agama.
perpecahan.
Ekonomi  Stabilitas ekonomi cukup untuk  Kekurangan ekonomi
(Economy) menyediakan kepuasan yang yang tidak sesuai
berhubungan dengan status dengan rencana
keuangan dan kemampuan untuk ekonomi.
menyatukan permintaan ekonomi  Contoh: kemiskinan,
sesuai dengan norma kehidupan. biaya kesehatan yang
 Contoh: adanya tabungan untuk mahal.
hari tua, pendapatan keluarga
cukup untuk kehidupan sehari-
hari.
Pendidikan  Pendidikan anggota keluarga  Halangan untuk
(Education) cukup untuk mengizinkan memahami.
anggota keluarga memecahkan  Contoh: keluarga sulit
atau memahami sebagian besar memahami pesan
permasalahan yang muncul kesehatan.
dalam gaya hidup formal yang
dibangun oleh keluarga.
 Contoh: keluarga mampu
memahami instruksi medis.
Kesehatan  Perawatan kesehatan tersedia  Tidak tersedia sumber
(Medical) melalui akses yang terbangun peralatan/fasilitas
secara mudah dan sebelumnya dalam perawatan.
dialami dengan cara yang  Contoh: tidak
memuaskan. memanfaatkan
 Contoh: respons cepat terhadap pelayanan kesehatan
kebutuhan medis, semua anggota atau tidak tersedianya
keluarga mengutamakan pelayanan kesehatan.
kesehatan, mudah mendapatkan

15
fasilitas kesehatan, anak rutin
dibawa ke Posyandu tiap bulan.

16
BAB II
Kajian Peran Diagnosis Komunitas Melalui Family Assessment Tools Family
SCREEM Dalam Penurunan TB di Palembang

2.1 Peran Diagnosis Komunitas melalui Family Screem untuk menurunkan


kasus TB di Kota Palembang
Tuberculosis atau dikenal dengan TB Paru merupakan penyakit yang
mematikan setelah HIVAIDS. Penyakit ini menjadi epidemic di dunia. Indonesia
merupakan Negara dengan urutan kedua tertinggi di dunia penderita TB Paru
setelah India. Tahun 2016 penderita Tuberculosis Paru mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya dari 9,6 juta jiwa menjadi 10,5 juta jiwa. Sejak tahun 2016,
tujuan program Tuberculosis Paru adalah mengakhiri epidemic TB Paru melalui
penerapan strategi End TB. Strategi tersebut berupa mengurangi kematian akibat
TB Paru sebesar 90% pada tahun 2030 dan memutuskan kejadian kasus baru TB
sebesar 80%.10
Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh bakteri. Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar
menyerang paru-paru. Penderita tuberkulosis paru BTA (+) dapat menularkan
pada orang sekelilingnya, terutama yang melakukan kontak erat. Setiap penderita
tuberculosis paru BTA (+) dapat menularkan pada 10-15 orang per tahun. Daya
penularan dari seorang penderita tuberculosis paru BTA (+) ditentukan oleh
banyak bakteri yang dikeluarkan dari paru-paru. Kondisi lingkungan dalam rumah
yang tidak memenuhi syarat menjadi media penularan penyakit tuberculosis paru.
Faktor lingkungan dalam rumah yang secara statistiK berhubungan bermakna
dengan kejadian penyakittuberkulosis paru adalah ventilasi kamar, kelembaban
kamar, sinar matahari, dan kepadatan hunian kamar. 11
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan membuat sasaran
strategis pengendalian TB hingga 2014 mengacu pada rencana starategis yaitu
menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per
100.000 penduduk. Saat ini diperkirakan ada 1 dari setiap 3 kasus TB yang masih
belum terdeteksi oleh program.12 Tahun 2013 WHO memperkirakan di Indonesia
terdapat 6.800 kasus baru TB dengan Multi Drug Resistence (TB MDR) setiap

17
tahun. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB pengobatan
pengulangan merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan pula lebih dari 55% pasien
Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) belum terdiagnosis atau mendapat
pengobatan baik dan benar. Rendahnya angka penderita TB di suatu wilayah
belum tentu menggambarkan kondisi yang sebenarnya, hal ini bisa disebabkan
oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang belum berani mendiagnosis TB.13
Kota Palembang merupakan kota dengan penderita TB paru terbanyak di
Sumatera Selatan.14 Perkembangan TB Paru yang di amati selama kurun waktu
lima tahun dari tahun 2013 s/d 2017 menurut Dinas Kesehatan Kota Palembang
tahun 2017 , yaitu: 15
No Tahun Kasus Baru Cure Rate(%)
1 2013 1474 94.7
2 2014 1972 88.13
3 2015 1205 88.28
4 2016 1312 91.46
5 2017 2618 93.76
Sumber: Profil Kesehatan Tahun 2017, Dinas Kesehatan Kota Palembang

Gambar di atas menunjukkan penemuan kasus baru TB Paru tertinggi


tahun 2017, terendah tahun 2015 (Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan,
2017). Jumlah kasus baru tahun 2017 meningkat sebanyak 99,5% dari tahun 2016
yaitu dari 1312 menjadi 2618. Dapat dikatakan masih rendahnya upaya
pencegahan terhadap kasus TB di Kota Palembang. Maka dari itu, diperlukan
upaya-upaya untuk mencegah TB, diantaranya dapat dilakukan diagnosis
komunitas menggunakan salah satu metode yaitu Family Screem.

2.2 Contoh Penyelesaian Kasus Tuberkulosis Dengan Family Screem


Kasus
Tn. Abdul, 28 tahun datang berobat ke Puskesmas 7 Ulu dengan keluhan
batuk lama ±6 bulan, berdahak, dan penurunan berat badan. Lalu dilakukan
pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) dan didapatkan hasil BTA
(+++) .

18
Tn. Abdul dan Istri tinggal di rumah berukuran 4x5 meter dengan Bapak,
Ibu dan 2 anak. Pendidikan terakhir Tn. Abdul adalah SMP. Bapak Tn. Abdul
pernah mengalami keluhan serupa dan belum pernah berobat. Tn. Abdul memiliki
kebiasaan merokok sejak usia 18 tahun, banyaknya 1 bungkus/hari.
Bagaimana pentalaksanaan Tuberkulosis Paru yang dialami Tn. Abdul
dengan pendekatan Family Screem?
Dari hasil pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) didapatkan
hasil BTA (+++) yang berarti Tn. Abdul di diagnosis dengan Tuberkulosis Paru.
Tn. Abdul harus mendapatkan terapi Tuberkulosis Paru. Pengobatan TB
dilakukan selama 6 bulan melalui 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.
Pada kasus ini Tn. Abdul diberikan pengobatan TB tahap intesif.
Setelah itu dilakukan family assesment tools, yaitu salah satunya adalah
family SCREEM yang menggambarkan penilaian sumber daya keluarga.
SCREEM merupakan singaktan dari Social, Cultural, Religious, Economic,
Educational, Medical. Family SCREEM digunakan oleh tenaga kesehatan untuk
membantu anggota keluarga dalam mengidentifikasi dan menilai kemampuan
keluarga untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan dan menghadapi krisis.
Berdasarkan family SCREEM ini, tenaga kesehatan dapat menentukan
langkah selanjutnya dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang terdapat
dalam suatu keluarga.

Sumber (Resources) Patologi


Sosial Keluarga Tn. Abdul memiliki
(Social) hubungan yang harmonis
antara anggota keluarga dan
lingkungan sekitarnya.
Kebudayaan Keluarga Tn. Abdul memilki
(Culture) kebiasaan berobat ke dukun
apabila ada yang sakit.
Keagaman Semua anggota keluarga Tn.
(Religious) Abdul beragama Islam, tidak
ada perbedaan pendapat di

19
antara mereka.
Ekonomi Tn. Abdul bekerja sebagai
(Economy) buruh dengan penghasilan ±
Rp. 1.000.000,00 setiap
bulannya (dibawah rata-rata
UMR).
Pendidikan Pendidikan terakhir Tn. Abdul
(Education) adalah SMP dan Istri Tn.
Abdul SD.
Kesehatan Pelayanan kesehatan harus
(Medical) ditempuh lumayan jauh dari
rumah Tn. Abdul (kurangnya
transportasi).

Dengan memahami family SCREEM, kita dapat memprediksi dan mencari


sumber-sumber dari masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga. Selain itu, kita
dapat mengantisipasi dan mencegah terjadinya efek terhadap kesehatan dari
masalah keluarga.
Tn. Abdul 28 tahun didiagnosis TB paru dengan keluhan batuk lama ±6
bulan, berdahak dan penurunan berat badan. Berdasarkan pemeriksaan sputum
SPS didapatkan BTA (+++). Dengan menggunakan metode family SCREEM,
didapatkan sumber yang dapat menyebabkan TB paru pada Tn. Abdul:
1. Sosial : Keluarga Tn. Abdul memiliki hubungan yang harmonis
antara anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya  faktor sosial Tn. Abdul
baik  dapat dikatakan TB paru yang diderita Tn. Abdul tidak bersumber dari
masalah sosial.
Sumber sosial yang baik dapat digunakan untuk mencegah suatu penyakit,
contohnya jika seseorang memiliki hubungan baik dengan keluarga, teman
dan tetangga akan menyebabkan motivasi dalam membuat tubuh lebih bugar
akan meningkat, kemauan berolahraga akan meningkat sehingga membuat
daya tahan tubuh baik dan terhindar dari infeksi TB. Selain itu, masyarakat
yang memiliki sosial yang baik akan lebih mudah berbagi dengan anggota

20
masyarakat lain bagaimana etika batuk yang baik, perilaku hidup sehat dan
apabila ada seseorang yang memiliki keluhan batuk lama, keluarga/tetangga
dapat menganjurkan atau menolong orang tersebut untuk memeriksakan
kesehatannya lebih dini sehingga dapat mencegah komplikasi dan
meminimalisir penularan ke orang lain.
Jika hubungan sosial Tn. Abdul dengan keluarga/ tetangganya baik,
seharusnya dapat menjadi salah satu faktor pencegah agar Tn. Abdul tidak
memiliki masalah kesehatan, namun bisa saja dipengaruhi oleh sumber yang
lain.

2. Culture : Keluarga Tn. Abdul memilki kebiasaan berobat ke dukun apabila


ada yang sakit  faktor kebudayaan keluarga Tn. Abdul tidak baik  dapat
dikatakan TB paru yang diderita Tn. Abdul mungkin bersumber dari masalah
kebudayaan.
Jika keluarga Tn. Abdul tidak pergi ke dukun jika ada yang sakit tetapi
pergi ke dokter, Tn. Abdul dapat diobati dengan tepat, diedukasi mengenai
cara batuk dan membuang dahak yang benar, mengkonsumsi obat dengan
rutin tanpa terlewat satu kalipun serta minum obat selama 6 bulan full agar
tidak terjadi penularan kepada orang lain dan mencegah resistensi obat TB lini
pertama.
Tn. Abdul mungkin tertular dari bapaknya yang terkena TB terlebih
dahulu namun belum diobati secara tepat oleh dokter dan tidak menutup
kemungkinan bahwa Tn. Abdul telah menularkan bakteri TB ke anggota
keluarga yang lain dan tetangga dekat rumah. Maka dari itu sumber
kebudayaan yang baik dapat digunakan untuk mencegah suatu penyakit,
seperti pada kasus Tn. Abdul ini, dibutuhkan perubahan kebiasaan keluarga
Tn. Abdul untuk pergi ke dokter jika ada masalah kesehatan.

3. Religious: Anggota keluarga Tn. Abdul beragama Islam dan tidak terdapat
perpecahan pada keluarga  sumber agama Tn. Abdul dan baik.
Sumber agama yang baik dapat digunakan untuk mencegah suatu
penyakit. Orang yang beragama dan memiliki keimanan yang baik akan

21
membuat lebih dekat ke Tuhan. Keluarga Tn. Abdul beragama islam sehingga
dapat dikatakan bahwa Tn. Abdul dekat kepada Allah SWT melalui sholat,
doa dan amalan amalan baik lainnya. Dalam doa, seseorang dapat meminta
kepada Allah SWT agar senantiasa diberikan kesehatan. Selain itu, dalam
setiap gerakan sholat bermanfaat dalam mencegah berbagai penyakit. Dalam
keluarga Tn. Abdul tidak terdapat perpecahan akibat perbedaan keyakinan,
sehingga dapat saling support dan mendoakan agar selalu dilimpahkan
kesehatan dan kebahagian dalam hidup.
Jika Tn. Abdul dan keluarga merupakan keluarga yang beragama dan tidak
terdapat perpecahan didalam keluarga, seharusnya dapat menjadi salah satu
faktor pencegah agar Tn. Abdul tidak memiliki masalah kesehatan, namun
bisa saja dipengaruhi oleh sumber yang lain.

4. Economy : Tn. Abdul bekerja sebagai buruh dengan penghasilan ± Rp.


1.000.000,00 setiap bulannya  faktor ekonomi keluarga Tn. Abdul tidak
baik dapat dikatakan TB paru yang diderita Tn. Abdul mungkin bersumber
dari masalah ekonomi.
Tn. Abdul memiliki penghasilan ± Rp1.000.000,00 setiap bulannya dan
Tn. Abdul memiliki kebiasaan merokok sebanyak 1 bungkus/hari sehingga
menyebabkan uang untuk memenuhi 6 orang selama 1 bulan terbilang rendah
dan Tn Abdul tinggal di rumah kecil yang diisi oleh 6 orang. Penghasilan yang
didapatkan Tn. Abdul dibawah UMR Sumatera Selatan yaitu sebesar
Rp2.840.453,00, yang mengindikasikan kurangnya uang tersebut untuk
memunuhi kebutuhan 6 orang yang harus dibiayai Tn. Abdul, ditambah lagi
uang tersebut harus terpotong uang rokok sebanyak 1 bungkus setiap harinya.
Kurangnya uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan akan
berpengaruh bagi kesehatan anggota keluarga. Kurangnya kalori dan gizi yang
dimakan akan membuat kurangnya pemenuhan kalori dan gizi. Kekurangan
zat gizi tertentu akan berpengaruh kepada kesehatan, kekuatan dan rentannya
terkena suatu penyakit akibat daya tahan tubuh yang rendah, sehingga
menyebabkan Tn. Abdul dapat terkena TB.mSumber ekonomi yang baik dapat
mempengaruhi kesehatan individu dan mencegah penyakit, sehingga

22
dibutuhkan cara untuk meningkatkan perekonomian masyarakat agar
pemenuhan gizi dalam makanan anggota keluarga tercukupi.
Selain mempengaruhi asupan gizi anggota keluarga, ekonomi yang kurang
baik menyebabkan keluarga Tn. Abdul tinggal di rumah kecil yg diisi oleh 6
orang. Hal ini dapat menyebabkan penularan penyakit meningkat dikarenakan
rumah yang padat penghuni. Bapak Tn.Abdul terkena TB terlebih dahulu
namun belum diobati dan menularkan ke Tn. Abdul serta kemungkinan dapat
menularkan ke anggota keluarga yang lain.

5. Education : Pendidikan terakhir Tn. Abdul dan istri yang rendah  faktor
pendidikan keluarga Tn. Abdul tidak baik dapat dikatakan TB paru yang
diderita Tn. Abdul mungkin bersumber dari masalah pendidikan.
Tn. Abdul memiliki pendidikan terakhir SMP dan istrinya SD sehingga
dapat dikatakan bahwa pendidikan keluarga Tn. Abdul rendah. Pendidikan
yang rendah dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya TB pada Tn.
Abdul. Keluhan yang sama terjadi pada bapak Tn. Abdul sebelumnya, namun
tidak diobati. Kurangnya pengetahuan mengenai apa saja gejala TB,
bagaimana cara batuk yang benar dan cara membuang dahak yang benar,
sehingga Tn. Abdul dan keluarga tidak segera pergi berobat ke dokter untuk
mengatasi keluhan Bapak Tn. Abdul dan tidak dapat mencegah penularan
bakteri TB dari bapak Tn. Abdul.
Kurangnya pendidikan ini berhubungan juga dengan kebiasaan keluarga
Tn. Abdul untuk pegi berobat ke dukun, hal ini terjadi karena kurangnya
pengetahuan keluarga Tn. Abdul tentang kesehatan dan peranan tenaga medis.
Dengan pendidikan yang baik, diharapkan dapat TB dapat dicegah.

6. Medical : Pelayanan kesehatan harus ditempuh lumayan jauh dari rumah


Tn. Abdul  faktor medical tidak baik  dapat dikatakan TB paru yang
diderita Tn. Abdul mungkin bersumber dari masalah medical.
Fasilitas kesehatan yang jauh untuk ditempuh dari rumah Tn. Abdul dapat
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak segera berobatnya Tn.
Abdul ke dokter, disamping masalah kebudayaan dan pendidikan. Selain itu,

23
kurangnya jumlah dokter yang terjun langsung ke masyarakat untuk
memberikan edukasi mengenai pencegahan penularan TB dan menjaring
pasien TB untuk segera diobati atau dirujuk.

Maka dari itu, diharapkan peralatan/fasilitas dalam perawatan kesehatan


yang baik serta meningkatnya jumlah dokter yang terjun langsung ke
masyarakat untuk memberikan edukasi mengenai pencegahan penularan TB
dan menjaring pasien TB agar kasus TB di Palembang dapat menurun.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Suryakantha AH. Community medicine with recent advances. Jaypee Brothers,


Medical Publishers; 2010. 904 p.
2. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia [online]. 2012
3. World Health Organization. City health profiles: how to report on health in your
city. ICP/HSIT/94/01 PB 02. Available at: www.euro.who.int/
document/wa38094ci.pdf
4. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the development of city health
profiles. EUR/ICP/HCIT 94 01/PB03. Available at:
www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf
5. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable disaster preparedness.
Journal of Natural Disaster Science. 2006;28(1):25–33.
6. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and health action: a
manual for tropical and rural areas. Macmillan; 1979. 208 p.
7. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan kedokteran komunitas di
FKUI: modul ilmu kedokteran komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2013.
8. WHO. Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World Health Organization,
2015.
9. Versitaria HU, Kusnoputranto H. Tuberkulosis Paru di Palembang, Sumatera
Selatan. Kesmas: National Public Health Journal. 2011;5(5):234-40.
10. Infodatin. Tuberculosis: Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: PUSADATIN;
2015.
11. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014.
12. Dinas Kesehatan Sumsel. Profil Kesehatan Sumatera Selatan 2015. Palembang:
Dinas Kesehatan Sumatera Selatan, 2016.
13. Dinas Kesehatan Palembang. Profil Kesehatan Kota Palembang 2017. Palembang:
Dinas Kesehatan Palembang; 2017.

25

Anda mungkin juga menyukai