Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang Masalah


Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber migas
dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan
strategis yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas
dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen
Keuangan Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan
untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut
dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan perundang-
undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun
menggali sumber hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan
perubahan yang signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada
tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang
ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari
pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi
lebih rendah persentasenya.namun dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang
menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana
penghindaran diri dari pajak ini bisa saja di sebut dengan pelanggaran undang undang dan
resikonya dapat merugikan negara selain itu juga masih banyak terjadi kasus penggelapan pajak
yang masih bisa lolos dari jerat hukum dan mengambang kasusnya dikarenakan aparat penegak
hukum kita tidak tegas dan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan malah berusaha
menyiasati hukum dengan segala cara tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk melindungi
tersangka mafia pajak. Dalam hal ini saya akan membahas mengenai salah kasus penggelapan
pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri Group yang telah terungkap namun belum jelas
mengenai tuntutan hukum dan proses peradilan bagi tersangkanya.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

1.Siapakah Pemilik dari PT.Asian Agri Group ?


2.Berapakah Kerugian Negara yang di Derita Akibat dari Penggelapan Pajak yang
dilakukan Oleh PT Asian Agri Group ?
3.Bagaimana Awal Mula Kasus Penggelapan Pajak yang dilakukan Oleh PT
Asian Agri Group hingga Bisa Terbongkar dan Diketahui Oleh Negara ?
4.Jenis Pajak Apa Sajakah yang di Gelapkan Oleh PT.Asian Agri Group ?
5.Mengapa Perlindungan Saksi Menjadi Permasalahan yang lemah dalam kasus
PT.Asian Agri Group ?
6.Apa yang dimaksud dengan penyelesaian kasus Pajak PT.Asian Agri Group
Melalui Celah Keluar Pengadilan ?
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja
Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006
Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar
(sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah
naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings
Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, danPacific Oil & Gas.Secara
khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina,
Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah
terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah selain
tiga pabrik minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius
Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1
juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagaigroup financial
controller di PT AAG yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini
terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam
akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan
wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke
Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke
KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah
dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul
AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales), disusun pada sekitar 2002.
Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricingPT AAG secara terperinci. Modusnya
dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT
AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar untuk kemudian
dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri
bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.

Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan


permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak karena memang permasalahan PT AAG tersebut
terkait erat dengan perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin
Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen.
Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan termasuk
penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukanTerjadinya
penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan
nilai (PPN).selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga
Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil
penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak
penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan
pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang
tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan
orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di
samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka
tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan
investigatif Tempo baik koran maupun majalah dan pengungkapan dari Vincent. Dalam
konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya
dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-
blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba
mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang
pencucian uang karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT
AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek
(SMS) Metta Dharmasaputra wartawan Tempo disadap aparat penegak hukum, print-out-nya
beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya
dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.Selain
itu, pemberitaanTempo juga di-blaming melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen
Fisipol UGM atas pesanan PT AAG yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar
kasus penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP
UI yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG menyimpulkan bahwa pers
(pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara etis patut
direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk memperkarakanTempo.Apa
yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi
perlindungan saksi di Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para
pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi
kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami berbagai
bentuk kekerasan intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara hukum baik perdata
maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria
Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent
dan Tempo tersebut menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya,
dalam hal ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.
Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai
trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian
kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan
yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat
ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui,
sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Celah Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan
sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk
meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU
No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan.
Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang
telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa
denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan.
Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan.
Peluang itu tidak hanya berlaku untuk Perlawanan Pasif terhadap Pajak, yaitu perlawanan yang
tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat
pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga
berlaku untuk Perlawanan Aktif terhadap Pajak yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara
ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori
Perlawanan Aktif terhadap Pajak sekalipun tetap dapat diselesaikan di luar sidang
pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung
sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya
perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian
Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money
laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai
kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya,
kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan
pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan
uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah
satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban
pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong
Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian
Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat
pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus
semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga
diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus
Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai
indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-
fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempomemperlihatkan
adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan
pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah
satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan
pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di
Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya
transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk
membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan
dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama, penempatan
(placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba
perusahaan ke negara lain. Kedua,pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari
beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber
uang haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein,
2007). Ketiga, integrasi (integration) yang merupakan tahap akhir dari proses money
laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati
selayaknya uang halal.
Berujung di Pengadilan
Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian tindak pidana
pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan untuk menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik dapat melakukan koordinasi dengan
baik untuk menuntaskan penyidikan tindak pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus
ini pun dapat segera digelar. Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus
menjadi catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk
menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan. Persetujuan kita bersama terhadap filosofi
pajak yang tidak bertujuan membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat
kebijakan yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan hukum.

BAB IV
KESIMPULAN
kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ tergambar,
sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati
hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga
melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang
lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan
kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya,
Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat
bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu,
hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang
membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah
mestinya berterima kasih kepada mereka. Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada.
Direktorat Jenderal Pajak telah menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai tersangka
kasus pidana pajak. Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang
bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan penyelewengan
serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak sewajarnya
polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan
pencucian uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil
"penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan
dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.

Diposkan oleh Ari Wirawinata d

Anda mungkin juga menyukai