Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan tuna dan sejenisnya sampai saat ini masih mendominasi ekspor produk
perikanan Indonesia. Perkembangan perikanan tuna diikuti dengan
berkembangnya industri pengolahan tuna, terutama di lokasi-lokasi sentra
pendaratan tuna, seperti Muara Baru Jakarta, Pelabuhan Ratu Jawa Barat, Cilacap-
Jawa Tengah, Benoa-Bali dan Bitung-Sulawesi Utara. Pada umumnya tuna
dipasarkan sebagai produk segar (didinginkan) dalam bentuk utuh disiangi
sebagai produk beku dalam bentuk utuh disiangi loin dan steak dan produk dalam
kaleng (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
Prooduksi ikan tuna kaleng cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh
trend yang meningkat dari ekspor produk tuna kaleng. Ekspor tuna kaleng pada
tahun 1999 sebanyak 36.264 ton dan meningkat menjadi 118.449 ton pada tahun
2004 dengan tingkat kenaikan rata-rata 7,27% per tahun (Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, 2006).Data tersebut mengindikasikan bahwa pasar ekspor
untuk produk tuna kaleng cukup baik dan masih berpeluang untuk meningkat.
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu
sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan
bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi
tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya
tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik
pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada
mengandalkan pengujian produk pada akhir (Winarno dan Surono, 2004).
HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan
manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut
telah memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem
produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada
produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan
akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan
regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu :


1. Jelaskan jenis-jenis ikan tuna sebagai bahan baku ikan kaleng ?
2. Bagaimana penerapan HCCP dalam proses pengalengan ikan ?
3. Bagaimana proses pengalengan ikan tuna ?
2

1.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui jenis-jenis ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku
ikan kaleng.
2. Mengetahui proses pengalengan ikan tuna
3. Mengetahui identifikasi HCCP dalam proses pengalengan ikan tuna

BAB II
ISI

2.1 Ikan Tuna Sebagai Bahan Baku Ikan Kaleng


3

Jenis-jenis ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku tuna kaleng
menurut SNI-01-2712-1992 dapat dilihat pada Tabel 1. Di dalam statistik
perikanan Indonesia, tuna digunakan sebagai nama grup daribeberapa jenis ikan
yang terdiri dari jenis tuna besar dan jenis ikan mirip tuna. Jenis ikan yang
termasuk ke dalam tuna besar (Thunnus spp) adalah yellow fin tuna, big eye,
southern bluefin tuna, dan albacore. Sedangkan yang tergolong dalam jenis ikan
mirip tuna (tuna like species) adalah marlin, sailfish, dan swordfish. Skipjack
tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan istilah tongkol umumnya
digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynus spp), frigate dan bullet tuna
(Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol) (Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2005).

Tabel 1. Jenis ikan tuna yang dikalengkan


Nama Indonesia Nama Inggris Nama Latin
Albakora Albacore Thunus alalunga
Madidihang Yellow fin tuna Thunnus albacares
Tuna mata besar Big eye tuna Thunnus obesus
Tuna sirip biru Blue fin tuna Thunnus tonggol
Cakalang Skipjack tuna Katsuwonus pelamis
Tongkol Eastern little tuna Euthynnus affinis
Setuhuk putih White marlin Makaira marlina
Ikan pedang Sword fish Xiphias gladius
Setuhuk hitam Black marlin Mak aira mazara

Jenis Produk Tuna Kaleng


Ikan tuna dalam kaleng didefinisikan sebagai potongan daging putih ikan
tuna yang telah mengalami pemasakan pendahuluan dan dikalengkan dalam
medium minyak atau air garam (brine) (SNI-01-2712- 1992). Dengan demikian
berdasarkan jenis medium yang digunakan, produk ikan tuna kaleng dibedakan
atas produk tuna in oil dan tuna in water/brine. Dua jenis produk tersebut
merupakan produk tuna kaleng yang selama ini diproduksi dan dipasarkan oleh
industri pengalengan Indonesia.
Ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan tuna kaleng
harus memenuhi persyaratan seperti yang diuraikan dalam SNI 01- 2712.1-1992,
yaitu:
1. Bentuk bahan baku yang digunakan sebagai bahan baku pengalengan
ikan tuna berupa tuna segar atau beku, utuh atau tanpa isi perut.
2. Bahan baku harus berasal dari perairan yang tidak tercemar.
3. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan
pembusukan, bebas dari tanda.
Perusahaan-perusahaan pengalengan tuna dapat membuat klasifikasi sendiri
terhadap produk tuna kaleng yang dihasilkan. Sebagai contoh klasifikasi produk
4

ikan kaleng yang dihasilkan oleh salah satu perusahaan pengalengan tuna kaleng
di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. TANS (Tuna Albacore Natural Solid) yaitu produk tuna kaleng dari ikan
tuna albakora dengan daging berupa solid dan flake menggunakan medium
air garam
2. TANC (Tuna Albacore Natural Chunk) yaitu produk tuna kaleng dari ikan
tuna albakora dengan daging berupa layer, chunk dan flake menggunakan
medium air garam.
3. TWNC (Tuna White Natural Chunk) yaitu produk tuna kaleng dari ikan
baby tuna atau dikenal dengan sebutan SSWM (Sub Standar White Meat)
dengan daging berupa layer, chunk dan flake menggunakan medium air
garam.
4. TYNC (Tuna Yellow fin Natural Chunk) yaitu produk tuna kaleng dari ikan
yellow fin tuna dengan daging berupa layer, chunk dan flake menggunakan
medium air garam.
5. THS (Tuna Hot Spicy) yaitu produk tuna kaleng dari ikan yellowfin tuna
dengan daging yang dipotong-potong sepanjang 2 cm mempunyai lebar
0,5 cm menggunakan medium bumbubumbu masakan, produk ini
dipasarkan lokal dan biasanya digunakan dalam pembuatan Pizza Hut.
6. SJNC (Skip Jack Natural Chunk) yaitu produk tuna kaleng dari ikan tuna
cakalang dengan daging berupa layer, chunk dan flake menggunakan
medium air garam, dipasarkan lokal.
7. SJOC (Skip Jack Oil Chunk) yaitu produk tuna kaleng dari ikan tuna
cakalang dengan daging berupa layer, chunk dan flake menggunakan
medium minyak, dipasarkan lokal.

2.2 Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem


jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa
hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu,
tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut.
Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan
yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan
pengujian produk akhir (Winarno dan Surono, 2004).
HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk
meningkatkan efisiensi pengontrolan dengan menciptakan kedisiplinan
pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk keamanan pangan (Mortimore,
1995). HACCP merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan
mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya signifikan
yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission,
2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian
5

kritis (critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat
menyebabkan risiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001).
HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan
manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut
telah memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem
produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada
produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan
akan konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan
regulasi pemerintah, dan menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien.
Program Per-Requisite merupakan prosedur umum yang berkaitan dengan
sistem suatu persyaratan dasar penerapan HACCP suatu operasi bisnis pangan
untuk mencegah kontaminasi akibat suatu operasi produksi atau penanganan. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pre-requisite yaitu
program harus terdokumentasi, identifikasi dari semua step dalam operasi yang
kritis terhadap keamanan dan mutu pangan, terapkan prosedur control yang efektif
pada pencatatan yang baik dan review prosedur pengendalian secara periodik dan
ketika ada suatu perubahan operasi.
Langkah Implementasi HACCP
Tim HACCP harus memberikan jaminan bahwa pengetahuan dan
keterampilan (keahlian) spesifik produk tertentu tersedia untuk pembangunan
rencana HACCP secara efektif. Pembentukan tim dari berbagai divisi unit usaha
atau disiplin yang mempunyai kekhususan ilmu pengetahuan dan keahlian yang
tepat untuk produk. Apabila keahlian yang demikian tidak tersedia ditempat,
tenaga ahli disarankan dapat diperoleh dari sumber lain.
Persyaratan tim HACCP adalah bahwa keputusan tim HACCP juga menjadi
keputusan manajemen. Untuk tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi
dari usaha Quality Assurance, produksi, pemasaran dan lain-lain, dan multidisiplin
dengan memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik penanganan
dan distribusi, cara pemasaran dan cara konsumsi produk, serta potensi bahaya.
Tim HACCP juga dapat terdiri atas beberapa level personil yaitu : General
Manajer, Manajer QA, Inspektor, mandor, dan lain-lain (Winarno dan Surono,
2004).
Tim HACCP harus mempunyai pengetahuan yang cukup akan produk dan
prosesnya serta mempunyai keahlian yang cukup untuk :

a) Menetapkan lingkup dan rencana HACCP apakah hanya masalah keamanan


pangan atau termasuk mutu karakteristik produk.

b) Mengidentifikasi bahaya.
c) Menetapkan tingkat keakutan (severity) dan resikonya.
d) Mengidentifikasi CCP, merekomendasikan cara pengendalian, menetapkan
batas kritis, prosedur monitoring, dan verifikasi.
6

e) Merekomendasikan tindakan koreksi yang tepat ketika terjadi penyimpangan.


f) Merekomendasikan atau melaksanakan investigasi dan penelitian yang
berhubungan dengan rencana HACCP.

Prinsip-prinsip HACCP

a) Analisa bahaya (hazard), identifikasi, dan tindakan pencegahan


Hazard adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun
fisika, yang dapat menyebabkan makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau
merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu
proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan
ekonomi.
b) Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP)
CP (Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana faktor-
faktor biologis, kimiawi, maupun fisikawi dapat dikendalikan. CCP (Critical
Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat
ditetapkan dan bahaya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai batas
yang diterima. Selain itu juga CCP adalah titik kritis dimana bila gagal
melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan
resiko penolakan terhadap konsumen.
c) Penetapan batas-batas kritis (Critical Limit)
Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan
pencegahan pada suatu CCP. Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas
kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi: persyaratan teknis/administrasi,
definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan.
d) Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring)
Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu
observasi atau pengukuran untuk mengetahui apakah CCP berada dalam control,
dan untuk menghasilkan catatan yang akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan
pemantauan adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk mengetahui
apakah suatu proses harus dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi
penyimpangan yang terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen tertulis
dari sistem pengendalian proses.
e) Penetapan tindakan koreksi (Corective action)
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu
penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan
penetapan tindakan koreksi adlah untuk mengoreksi dan menghilangkan penyebab
penyimpangan dan mengembalikan kontrol proses, untuk mengidentifikasi produk
yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan menentukan disposisinya.

f) Penetapan sistem pencatatan (Record keeping)


Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalamm sistem HACCP.
Semua yang dipantau harus dicatat, semua tindakan koreksi harus dicatat, agar
7

lebih sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir yang distandarkan,


pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi yang
dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan
seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan pencatatan,
dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan dapat
dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah dapat
dievaluasi.
g) Penetapan prosedur verifikasi
Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan
audit sebagai tambahan kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan
kesesuaian dengan Rancangan HACCP atau perlu dimodifikasi. Untuk
menjamin dan memastikan bahwa program HACCP berjalan di dalam jalur yang
tepat dan dilakukan dengan baik, dapat dilakukan secara internaldan eksternal.
Secara internal oleh pihak manajemen perusahaan sendiri (plant manajer yang
ditunjang oleh uji laboratorium sebagai pendukung), secara eksternal oleh pihak
pemerintah yang dilakukan secara wajib dan rutin.

2.3 Proses Pengalengan Ikan Tuna

Penerimaan bahan baku


Pada umumnya bahan baku ikan tuna diterima oleh industri pengalengan
dalam keadaan beku.Pemeriksaan mutu terhadap bahan baku yang diterima harus
dilakukan (Suwanrangsi et al., 1995), minimal dengan pengujian organoleptik.
Setiap bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan harus ditolak atau digunakan
untuk jenis pengolahan lain yang sesuai. Pembongkaran bahan baku dilakukan
setelah pengujian terhadap suhu, kadar histamin, kadar garam dan organoleptik.
Sampel diambil sebanyak 5% dari total bahan baku. Selain itu dilakukan
pengujian terhadap honeycomb, brosis dan parasit dengan menggunakan test
pack. Pengujian dilakukan dengan cara mengambil 2 ekor sampel ikan tuna dan
dikukus
selama 12,5 jam tergantung ukuran ikan. Standar penerimaan bahan baku yang
diterapkan oleh salah satu industri pengalengan di Indonesia adalah suhu < 20C,
histamin < 2,5 mg%, kadar garam < 1,5 mg %, dan organoleptik > 7 (dari skala 1
9). Sedangkan untuk honeycomb, brosis dan parasit tidak boleh lebih dari 2,5%
dari daging yang dikukus. Di samping itu kandungan histamin pada ikan tuna
beku dipersyaratkan maksimal 20 mg% (SNI 01-2710-1992).
Bahan baku yang memenuhi standar dibongkar dari mobil pengangkut
dengan waktu tidak boleh lebih dari 3 jam dan langsung dibawa ke cold storage.
Di dalam cold storage ikan tuna disusun dengan batas-batas antar bahan baku
berupa palet-palet dari supplier yang berbeda dan bahan baku ini diberi tanda
dengan lot, yaitu identitas bahan baku berdasarkan jumlah kedatangan. Suhu cold
storage adalah -180 C. Untuk memudahkan pengeluaran, penyimpanandibedakan
8

sesuai jenis ikan dan penyimpanan dilakukan maksimal 2 3 bulan, tergantung


dari order yang ada.
Sebelum diolah, ikan tuna harus dilelehkan terlebih dahulu. Pelelehan ikan
tuna beku diawali dengan mengisi bak pelelehan dengan air sebanyak seperempat
dari kebutuhan untuk mencegah kerusakan fisik pada ikan saat dijatuhkan dalam
bak. Selama proses pelelehan berlangsung, air dialirkan secara terus menerus yang
menyebar melalui pipapipa yang terdapat di atas bak pelelehan. Waktu pelelehan
sangat tergantung dari ukuran dan volume ikan dalam satu bak.

Penyiangan
Proses penyiangan diawali dengan pemotongan ikan tuna menggunakan
gergaji. Ikan tuna dipotong menjadi 7 8 bagian dengan panjang 11 cm, dan
biasanya ukuran panjang potongan ikan disesuaikan dengan tinggi kaleng. Bagian
potongan ikan terdiri dari 4 atau 5 bagian badan tengah, 1 bagian leher, 1 bagian
kepala, dan 1 bagian ekor. Tuna yang telah dipotong, kemudian diambil bagian isi
perut dan insang dengan menggunakan pisau. Limbah dari penyiangan
dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi tepung ikan. Selama proses
penyiangan ikan disiram terus menerus melalui pipa-pipa air yang terdapat di atas
conveyor. Setelah di thawing maka ikan akan dikeluarkan dari dalam bak
pelelehan dan diletakkan diatas konveyor berjalan satu per satu secara bergantian
berdasarkan nomor kedatangan dan nomor bak untuk kemudian dilakukan
penyiangan.

Untuk ikan kecil yang berukuran dibawah 9 kg penyiangan dilakukan hanya


dengan menyayat bagian perut dan membuang isi perutnya. Sedangkan untuk ikan
berukuran di atas 9 kg akan dipotong menjadi 2 atau 3 bagian tergantung
ukurannya. Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992 yang menyatakan bahwa
untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan
pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan
pemotongan bagian badan menjadi ukuran yang sesuai dengan alat precooking
dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-cooking. Diperkuat pula oleh
Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa isi perut dan bagian bagian yang
tidak dikalengkan pada jenis ikan seperti Tuna harus dipisahkan setelah atau
sebelum pengukusan pendahuluan.

Penyusunan dalam rak


Penyusunan ikan dalam rak dilakukan berdasarkan potongan bagian anggota
tubuh ikan. Bagian badan ikan disusun terpisah dalam rak yangberbeda dari
bagian ekor, kepala, dan leher. Bagian badan ikan disusun teratur secara vertikal,
sedangkan bagian ekor, kepala dan leher disusun dalam keadaan terlentang dan
diselang-seling.
Pemisahan susunan dalam rak ini diperlukan karena masing-masing bagian
tersebut memerlukan waktu pemasakan pendahuluan (precooking) yang berbeda.
9

Susunan ikan dalam rak diatur jaraknya agar tidak terlalu dekat, sehingga
memudahkan sirkulasi uap panas dalam rak.

Pemasakan Pendahuluan
Tujuan dari pemasakan pendahuluan ini adalah untuk memudahkan proses
pembersihan daging ikan, mengurangi kandungan air, lemak, dan membuat daging
ikan menjadi lebih kompak (Murniyati & Sunarman, 2000).
Proses pemasakan pendahuluan dilakukan dengan memasukkan ikan yang
telah disusun dalam rak kedalam cooker yaitu tempat atau ruangan pemasakan
yang memiliki pintu yang dapat ditutup rapat untuk mencegah pengeluaran uap
yang terlalu banyak. Setelah itu dilakukan pembersihan daging ikan dengan
menyemprotkan air melalui pipa-pipa yang terdapat di dalam cooker selama 10
menit. Tahapan selanjutnya adalah pengeluaran uap panas melalui pipa yang
terdapat dalam cooker hingga mencapai suhu 1000 C. Jika suhu telah mencapai
1000 C, aliran uap panas dihentikan. Suhu dan waktu pemasakan dapat dilihat
dengan menggunakan thermorecording atau termometer. Pengontrolan suhu
dimaksudkan untuk m enjaga keseimbangan antara lama pemasakan, suhu, mutu
daging serta biaya produksi, karena pengukusan yang terlalu lama dan suhu yang
terlalu tinggi dapat mempengaruhi rupa dan tekstur daging (Moeljanto,1992).
Setelah proses pemasakan pendahuluan, ikan disemprot kembali dengan air
melalui pipa dalam cooker selama 10 menit. Penyemprotan ini bertujuan untuk
mendinginkan dan membuat daging ikan menjadi kompak. Penyemprotan dengan
air dapat juga dilakukan di luar cooker, tetapi dikhawatirkan akan terjadi
perubahan warna daging menjadi kuning. Waktu pemasakan pendahuluan sangat
tergantung dari ukuran ikan serta berat bagian badan ikan yang dipotong-potong,
yaitu sekitar 60 80 menit. Air yang dikeluarkan oleh ikan selama proses
pemasakan pendahuluan adalah sekitar 17,5% (Broek, 1965).
Proses pemasakan awal akan dilakukan dengan waktu yang berbeda sesuai
dengan jenis dan ukuran ikan. Dengan suhu rata rata 100 - 110 C selama 1- 2
jam yang dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini sesuai dengan Wahyuni (2006)
yang menyatakan bahwa pemasakan pendahuluan dilakukan untuk ikan berlemak
seperti tuna dengan suhu 102,2 104,4C selama 1 2,5 jam sesuai dengan jenis
dan ukuran ikan.Pendapat Wahyuni pun diperkuat oleh SNI 01-2712.2-1992,
proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan
untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya
berkisar 1 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan
suhu pemasakan 100o - 105o C.
Pada perusahaan ini terdapat dua buah mesin uap yang memiliki kapasitas
15 ton air dan menghabiskan 6 ton bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan
dalam mesin uap ini adalah batu bara yang diperoleh dari pemasok asal
Kalimantan dan Gresik. Untuk lebih jelas mengenai cara pengoprasian mesin uap
10

berdasarkan SOP (Standart Oprational Procedure) dapat dilihat pada Lampiran


12.
Selain proses pre-cooking, dalam mesin cooker ini juga dilakukan proses
pendinginan (cooling) selama 2 jam yang dilakukan dengan memanfaatkan air
bersih yang bersuhu 26-27C selama 1 jam disemprotkan melalui 100 lubang
lubang kecil dalam tungku cooker. Setelah itu kemudian disusul penyemprotan
dengan menggunakan air es yang bersuhu chilling berkisar antara 0-5C selama 1
jam. Hal ini tidak sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan
tuna yang menyatakan bahwa Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat
pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30o C)
dalam waktu maksimum 6 jam.

Pendinginan
Rak yang berisikan daging ikan yang telah masak dikeluarkan dari cooker
dan diletakkan dalam ruang pendinginan dan membiarkannya dalam ruangan
tersebut selama 3 jam. Pendinginan ini bertujuan untuk membuat daging ikan
lebih kompak dan padatsehingga memudahkan dalam proses pengolahan
selanjutnya.

Pembuangan kepala dan kulit ikan


Proses pembuangan kepala ikan dilakukan dengan tangan setelah diambil
daging yang terdapat di dalamnya. Proses pembuangan kepala ikan tuna albakora
lebih mudah dilakukan karena bagian tubuh ikan telah dipotong-potong terlebih
dahulu. Selanjutnya ikan diletakkan dalam talam dan diberi tanda berdasarkan
bagian tubuhnya.
Proses pembuangan kulit dilakukan menggunakan pisau yang tajam dalam posisi
tegak dengan cara mengikis kulit tersebut sesuai arah otot pada daging ikan. Hal
ini bertujuan untuk mencegah terbuangnya daging ikan yang akan mempengaruhi
rendemen. Pada tahapan ini juga dilakukan pembuangan tulang dan sisik.

Pembersihan daging
Pembersihan daging ikan bertujuan untuk memisahkan daging ikan dari
daging gelap, tulang yang terdapat dalam daging dan sisik yang masih tersisa
setelah proses skinning. Pembersihan daging ikan dilakukan menggunakan pisau
yang tajam. Teknik yang digunakan hampir sama dengan proses pembuangan kulit
yaitu mengikis daging ikan secara perlahan dengan mata pisau tegak. Proses
pembersihan daging ikan menghasilkan beberapa bagian daging antara lain solid,
chunk, flake, daging hitam, dan daging cucian.
Bagian daging ini nantinya disortir untuk memisahkan sisa daging hitam
atau coklat yangmasih ada, tulang, dan sisik. Pensortiran juga dimaksudkan untuk
menghindari adanya brosis, honeycomb dan parasit pada ikan sehingga mutu ikan
tetap terjaga.
11

Pemotongan daging
Pemotongan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran ikan yang
sesuai dengan kalengnya. Proses pemotongan dilakukan menggunakan pisau yang
tajam yang menghasilkan daging solid dan serpihan (flake). Daging solid yang
merupakan hasil utama pemotongan dikikis dengan pisau dan menghasilkan
serpihan yang nantinya diisikan ke dalam kaleng. Dalam proses pemotongan
daging, chunk yang dihasilkan dari proses pembersihan daging ikan bisa dibuat
menjadi daging serpihan.

Pengisian daging ke dalam kaleng


Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging
ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standar, dan
grated). Daging ikan tuna yang diisikan adalah daging solid dan flake dengan
kaleng yang digunakan berukuran 603 x 408. Standar pengisian untuk berbagai
macam produk yang telah diterangkan sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Daging solid yang diisikan dalam satu kaleng berjumlah 2 3 potongan, pengisian
dilakukan sepadat mungkin dan sesuai dengan net weight, oleh karenanya
ditambahkan flake untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Tabel 2. Pengisian daging ikan dalam kaleng
Nama Produk Nett wight (g) Flake (%)
TANS 1950-2000 2-3
TANC 1950-1980 18-20
TAWNC 1950-1980 18-20
TYNC 1950-1980 18-20
SJNC Lokal 1800-1850 30-35
SJOC Lokal 1800-1850 30-35
Sumber : Akbarsyah (2006)

Penambahan medium
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa medium yang digunakan
dalam pengalengan tuna adalah minyak nabati atau air garam. Pada medium
minyak nabati biasanya ditambahkan garam sebanyak 2,8% dari berat medium
(Angrenani, 1997). Penambahan medium dilakukan secara manual dan otomatis.
Pada penambahan medium air garam, mula-mula medium dimasukkan ke
dalam kaleng sebanyak seperempatnya dan dibiarkan beberapa menit, yang
bertujuan agar air garam dapat meresap ke dalam daging untuk memberikan rasa.
Setelah itu dilewatkan pada conveyor dan kaleng secara otomatis akan terisi air
garam yang keluar melalui pipa-pipa saluran dari tempat pemasakan air garam
yang terdapat di atas conveyor. Pengisian air garam tidak boleh berlebih, karena
mempengaruhi kaleng pada saat penutupan dan dapat menyebabkan kaleng
membengkak atau bocor. Oleh karena itu pengisian medium harus sampai batas
head space atau 610% dari tinggi kaleng. Menurut SNI 01-2712.2-1992, suhu
medium tidak boleh kurang dari 700C. Suhu air garam yang tinggi akan membuat
12

kondisi vakum yang semakin tinggi. Pada suhu tinggi peluang udara yang
terperangkap diantara bagian produk dalam kaleng lebih kecil (Winarno, 1994).
Pengisian medium minyak nabati ke dalam kaleng dilakukan dengan cara yang
sama seperti di atas.

Penutupan kaleng
Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming secara otomatis
menggunakan vacuum seamer, yaitu mesin penutup kaleng yang sekaligus dapat
melakukan penghampaan udara dalam kaleng. Dalam hal ini, kaleng yang telah
berisikan ikan dan medium dilewatkan melalui conveyor menuju vacuum seamer
untuk dilakukan penutupan secara otomatis. Setiap kaleng yang ditutup dicek
secara visual untuk melihat kesempurnaan proses penutupan kaleng. Adapun
standar penutupan kaleng dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar penutupan kaleng
NO Bagian Kaleng Standar
.
1 Countersink 3.28 0.15 mm
2. Thick ness 1.43 0.10 mm
3. Width 3.22 0.15 mm
4. Body hook 2.16 0.20 mm
5. Can height 113.78 0.30 mm
6. Actual overlap (minimal) 1.10 mm
7. Tightness (minimal) 75%

Pendinginan dan pemeraman kaleng


Ikan tuna kaleng yang masih dalam keranjang sterilisasi didinginkan dalam ruang
terbuka selama 24 jam. Untuk mempercepat proses pendinginan, dalam ruangan
tersebut dapat dipasang kipas angin. Ikan tuna kaleng yang telah dingin
dibersihkan dengan minyak goreng untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran pada
kaleng. Disamping itu juga dilakukan pengecekan terhadap label pada tutup
kaleng, jika ada yang terhapus dapat dilakukan penutupan ulang.
Ikan tuna kaleng tersebut selanjutnya dilakukan uji pemeraman untuk
mengetahui kesempurnaan proses sterilisasi. Uji pemeraman menurut SNI-2712-
1992, yaitu ikan kaleng yang telah dingin dimasukkan ke dalam suatu ruangan
dengan suhu kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, kemudian dilakukan
pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah
kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman kaleng dilakukan minimal 7
hari.

Sterilisasi
Proses sterilisasi diawali dengan penyusunan kaleng dalam keranjang
sterilisasi. Selanjutnya keranjang dimasukkan dalam retort dan disemprot dengan
air yang mengandung khlorin 2 ppm selama 10 menit. Waktu dan suhu sterilisasi
13

tergantung pada jenis produk dan kaleng yang disterilisasi seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel. 4 Suhu dan waktu sterilisasi untuk beberapa tipe produk tuna kaleng
Tipe produk Ukuran Suhu Suhu Waktu
tuna kaleng kaleng minimal sterilisasi sterilisasi
o
bagian dalam ( C) (Menit)
o
( C)
Solid in brine 603 x 408 25 110/113/116 234/199/174
Solid in oil 603 x 408 25 110/113/116 284/245/218
Chunk in b 603 x 408 25 110/113/116 199/166/144
rine
Chunk in oil 603 x 408 25 110/113/116 257/220/145
Flake in brine 603 x 408 25 110/113/116 274/235/280
Solid/Chunk in 603 x 408 25 110/113/116 121/94/78
brine
Solid/Chunk in 307 x 112 25 110/113/116 128/101/84
oil
Flake in oil 603 x 408 25 110/113/116 348/302/269
Sumber : Akbarsyah (2006)

Pelabelan
Pelabelan tuna kaleng dengan menggunakan kertas cetakan. Label berisikan
keterangan tentang nama atau jenis ikan yang dikaleng, medium yang digunakan,
berat bersih, nama produsen, tanggal kadaluarsa, dan kandungan gizi. Untuk
menghindarkan adanya kesalahan, setiap label di cek satu persatu sebelum
digunakan. Pelabelan juga dapat dilakukan dengan mencetaknya langsung pada
kaleng.
Pengepakan
Tuna kaleng dipak dalam master carton. Disain dari master carton
disesuaikan dengan permintaan pembeli dan biasanya berisikan tentang tanggal
produksi, jenis produk, jumlah kaleng, dan nama produsen. Master carton
disimpan dalam gudang yang kering, dengan penerangan dan ventilasi yang cukup
dan pada suhu kamar sampai menunggu proses distribusi.
Mutu Ikan Tuna Kaleng
Spesifikasi persyaratan mutu ikan tuna kaleng dapat dilihat pada Tabel 5.
Pengujian mutu ikan tuna kaleng meliputi pengujian organoleptik, mikrobiologi,
kimia dan fisik. Di dalam penilaian organoleptik terhadap ikan tuna kaleng
dilakukan dengan cara memisahkan ikan dari mediumnya.

Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu ikan tuna kaleng


Jenis uji Persyaratan mutu
14

a) organoleptik : 6
- Nilai minimal
b) Mikrobiologi
1) TPC anaerob per g 0
2) TPC aerob per g 0
c) Kimia
1) Stanum (Sn) *) ppm maks 250
2) Plumbum (Pb) *) ppm maks 5
3) Arsen (As) *) ppm maks 1
4) Mercuri (Hg) *) ppm maks 0,5
5) Histamin mg/100 g maks 20
d) Fisika
1) Fisika kaleng Baik
2) Bobot tuntas (%) 70
Keterangan : *) Bila diperlukan
Sumber : SNI-01-2712-1992

Menurut SNI-01-2712-1992, nilai organoleptik untuk ikan tuna kaleng


minimal adalah 6. Persyaratan TPC untuk produk tuna kaleng yang meliputi
bakteri aerob dan anaerob adalah nihil atau tidak ada, ini membuktikan bahwa
proses sterilisasi yang dilakukan cukup sempurna. Kadar histamin produk ikan
tuna maksimal 20 mg/100 g.
15

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang di dapatkan dalam makalah ini ialah :


1. Jenis-jenis hasil produk pengalengan ikan tuna di indonesia yaitu TANS
(Tuna Albacore Natural Solid), TANC (Tuna Albacore Natural Chunk),
TWNC (Tuna White Natural Chunk), TYNC (Tuna Yellow fin Natural
Chunk), THS (Tuna Hot Spicy), SJNC (Skip Jack Natural Chunk), dan
SJOC (Skip Jack Oil Chunk).
2. Dalam penerapan HCCP hal yang dapat di identifikasi yaitu :
Penyebab bahaya dari setiap tahapan adalah adanya bahaya dalam
kerusakan fisik, baik itu dari bahan baku maupun dari kaleng.
Bahan baku yang terkontaminasi oleh alat, air, dan pekerja yang kurang
bersih dan steril.
Bahaya kimia dan biologis dengan terkontaminasi/tercemar oleh bakteri
dan mikroba karena alat, suhu, waktu, dan proses yang kurang baik
sehingga memicu pertumbuhan bakteri ini.
Bahaya kesalahan penimbangan, penulisan kode, tanggal/bulan/tahun
produksi, dan lain-lain.
Bahaya penyimpanan produk yang terkontaminasi panas, dingin, debu,
kotoran, dan benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan pada
produk.
3. Dalam proses pengelengan ikan tuna ada beberapa tahapan yang dilakukan
yaitu penerimaan bahan baku, penyiangan, penyusunan dalam rak,
pemasakan pendahuluan, pendinginan, pembuangan kepala dan kulit ikan,
pembersihan daging, Pemotongan daging, pengisian daging dalam kaleng,
penambahan medium, penutupan kaleng, Pendinginan dan pemeraman
kaleng, sterilisasi, pelabelan, pengepakan, dan pendistribusian oleh
distributor-distributor hingga sampai ke tangan konsumen.

3.2 Saran

Ada beberapa hal yang menjadi saran dalam setiap proses pengolahan
adalah bahaya dari setiap proses terutama penggunaan suhu sesuai dengan mata
rantai, hal ini dapat menimbulkan pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen. Selain
itu konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) perlu diterapkan pada
setiap pengolahan serta perbaikanprogram HACCP pada setiap tahapan proses
yang menjadi CCP, antara lain berupa penataan Good Manufacturing Practices
(GMP), standarisasi bahan baku ikan tuna yang dibeli, keseragaman mutu dan
jenis kaleng.
16

DAFTAR PUSTAKA

Akbarsyah, T.M.I. 2006. Studi proses pengalengan ikan tuna albakora (Thunnus
alalunga) dan pemanfaatan limbahnya menjadi abon ikan di PT Bali Maya
Permai, Negara, Bali. Karya Ilmiah Praktek Akhir Sekolah Tinggi
Perikanan. Jakarta. 111 pp.
Angrenani, S. 1997. Stabilitas Minyak Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) yang
Digunakan Sebagai Medium pada Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Kaleng. Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 pp.
Broek, C.J.H.V.D. 1965. Fish Canning. In : Fish as Food Vol. IV Procesing Part
2. (Ed. Borgstrom, G). Academic Press. New York. p. 127-205.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 80 pp.
Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712.2. Penanganan dan
Pengolahan Ikan Tuna Dalam Kaleng. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Pedoman Penerapan Program Manajemen
Mutu Terpadu (PMMT) Berdasarkan Konsepsi HACCP. Jakarta: Direktorat
Usaha dan Pengolahan Hasil. Direktorat Jenderal Perikanan.
Moeljanto, R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar
Swadaya. Jakarta. 259 pp.
Murniyati, S. dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan
Ikan. Kanisius. Jakarta. 220 pp.
Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Sistem pengendalian mutu produk perikanan di
Indonesia : keadaan sekarang dan problematikanya. Di dalam Seminar for
Promotion of Sustainable Development of Fisheries in Indonesia, with
special emphasis on promotion of domestic fish consumption and
development of local fishing industry; Jakarta: 16-19 Maret 2004.
Winarno, F.G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 165 pp.

Amrullah (1990) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan


hemoglobin yang bersifat perooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging
ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein mioety,
globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah
hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80 % hemoprotein pada daging merah adalah
mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat
lebih dari 3500 mg/100 gram (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya
terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna (Okada, 1990).
17

Penyebab utama antara daging putih dan daging merah adalah kandungan pigmennya,
dimana mioglobin menjadi pigmen utama yang terdapat pada daging merah (Winarno,
1984). Menurutnya myoglobin mirip dengan hemoglobin berbentuk lebih kecil, yaitu
kira-kira satu per empat bagian dari besar hemoglobin. Satu molekul myoglobin terdiri
dari satu rantai polipeptida yang terdiri dari 150 buah asam amino.

Berdasarkan sifat fisiknya, myoglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma


daging, bersifat larut dalam air dan laruta garam encer (Clydesdale dan Francis, 1976 dan
Kramlich et al (1973) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah
hemoglobin dan myoglobin pada daging antara lain 1) tingkat aktivitas jaringan, 2) suplai
darah, 3) tingkat kebutuhan oksigen serta 4) umur dan spesies.

Pada jenis daging ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap, justru
daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya sedangkan daging yang merah
jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia daging merah lebih aman daripada
daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa daging merah kecil
kandungan histaminnya, hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan
trimetil amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghambat proses terbentuknya
histamin (Winarno, 1993).

* Mengapa Daging Ikan Berwarna Putih?

Histamin adalah senyawa yang terdapat pada daging ikan dari famili Scombroidae,
subfamili Scombroidae, atau ikan lain yang telah membusuk yang di dalam dagingnya
terdapat kadar histamin yang tinggi. Histamin di dalam daging diproduksi oleh hasil
karya enzim yang menyebabkan pemecahan histidin yaitu enzim histidine dekarboksilase.
Melalui proses dekarboksilase (potongan gugus karboksil) dihasilkan histamin. Satuan
kadar histamin dalam daging tuna dapat dinyatakan ppm (Hadiwiyoto, 1993).

Ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidine dalam jumlah
tinggi yaitu:Proteus marganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack),
dan Clostridium pefringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin
bersifat garam negatif dan berbentuk batang. Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri
pada suhu beku dan dapat reaktif dan sangat cepat setelah thawing (FDA, 1998).
Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan
bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Salah satu enzim yang masih terdapat
sebelum pembekuan pada ikan, hal ini dapat meneruskan pembentukan histamin di
dalam daging ikan tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpangan
beku

Pengisian medium
18

Setelah kaleng terisi dengan daging ikan, maka proses selanjutnya adalah

pengisian medium. Medium yang digunakan sesuai dengan

permintaan buyer. Ada tiga jenis medium yang tersedia untuk produk Tuna yaitu

Larutan Garam (in Brine), Minyak Soya (in Oil), dan Sambal Pedas (Hot Spicy).

Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa di

Indonesia ada tiga jenis saus yang sering digunakan dalam produk ikan kaleng

yaitu saus tomat, brine, dan minyak atau minyak dengan cabai ditambah bumbu

bumbu lainnya.

Dalam produksi pengalengan ikan Tuna, ada empat medium yang

tersedia. Penggunaan medium ini tergantung dari pesanan / order dari buyer.

a. Garam, pada produk Tuna in Brine atau Tuna dalam Larutan Garam dibeli dari

PT. Sumatraco dengan spesifikasi yang telah sesuai dengan standar. Garam

akan direbus sebelum digunakan sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992)

yang menyatakan bahwa sebelum dipakai hendaknya brine direbus lebih dulu

untuk mengendapkan zat zat yang tidak perlu dan mematikkan mikroorganisme

yang merugikan.

b. Minyak, pada produk Tuna in Oil atau Tuna dalam Minyak didatangkan langsung

dari PT. Pangan Lestari yang mendistribusikan minyak dari Soon Soon Oil Mills

Sdn Bhd Malaysia, Sunny Group China, Smart Agribusiness and Food, dan Ngo

Chew Hong Edible Oil Pte. Ltd. Yang akan diuji FFA atau asam lemak bebasnya

sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa minyak yang

digunakan harus bermutu tinggi dan tidak mengandung asam lemak bebas (Free

Fatti Acid) untuk menjaga penurunan mutu ikan kaleng (ketengikan). Prosedur

pengujian FFA dapat dilihat pada lampiran 14.

c. Vegetable Broth (VB), ada beberapa buyer yang memita agar produk ikan Tuna

Kaleng yang diproduksi agar diberi tambahan VB (Vegetable Broth). Yaitu

berupa tepungan dari bahan dasar kedelai yang berfungsi untuk mengentalkan

medium.

d. Bumbu bumbu, dalam produksi Tuna Hot Spicy atau Tuna Sambal Pedas

adalah media yang dibuat sendiri dengan resep asli milik perusahaan dari bahan
19

dasar bawang merah, bawang putih, cabe, garam, gula, dan bumbu rahasia

lainnya. Sebelum digunakan, bahan bahan tersebut akan dicek terlebih dahulu

untuk memastikan bahwa bahan tersebut berkualitas baik dan terjaga

kesegarannya. Sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan

bahwa bumbu dan bahan yang digunakan dalam pembuatan medium haruslah

yang masak, segar, utuh, dan berkualitas baik

Anda mungkin juga menyukai