Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi perikanan pelagis dan demersal tersebar pada
hampir semua bagian perairan laut Indonesia seperti pada perairan laut teritorial, nusantara, dan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE). Luas perairan laut Indonesia di perkirakan sebesar 5,8 juta km2 dengan garis
pantai terpanjang kedua di dunia setelah Canada, yaitu 81.000 km² dan gugusan pulau-pulau sebanyak
17.808 buah pulau. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah banyak mengalami
peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat memberikan kekuatan dan
peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan pendapatan masyarakat
nelayan Indonesia (Dahuri, 2001).

Nilai ekspor tuna kaleng mencapai 2400 juta dolar pada tahun 2003, setelah sebelumnya mengalami
penurunan drastis hingga mencapai 1700 juta dolar pada tahun 1999 dan 2000, level yang sama saat
tahun 1995. Total ekspor tuna kaleng tumbuh pada setiap tahun dan mencapai 1,1 juta MT pada tahun
2003 dengan total nilai impor mencapai 2,8 milyar dolar setelah mengalami penurunan tajam pada
tahun 2001 sebagai akibat dari rendahnya harga bahan baku. Hal ini disampaikan oleh Helga Josupeit
dalam presentasinya yang berjudul “Global World Tuna Market” pada Tuna Marketing Seminar di
Maldives, Mei 2005.

Selanjutnya dikemukakan oleh Dahuri (2001), sumberdaya perikanan merupakan milik bersama
(Common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan,
menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan akibatnya dapat
menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, nelayan
dengan pengusaha, pengusaha dengan pengusaha.

Salah satu produksi ikan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi yaitu ikan tuna. Perikanan tuna di
Indonesia menunjang sekitar 1,67% dari total produksi ikan laut Indonesia dalam periode 1971-1981,
kegiatan ini telah berkembang terutama diperairan Indonesia bagian timur (Suhendra dan Subani,
1988 dalam Titihalawa, 2001).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), ikan kaleng merupakan salah satu produk hasil pengawetan dan
pengolahan yang telah disterilkan dan dikemas dalam kaleng. Proses pengalengan ikan umumnya
dilakukan oleh perusahaan besar, disamping beberapa home industri.

Standar mutu produk pangan (makanan) dan pertanian telah banyak dikeluarkan, meskipun belum
semuanya diterapkan dalam dunia perdagangan. Beberapa indikator mutu yang digunakan yaitu sifat
barang, tolak ukur, dan faktor mutu. Sementara persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan,
keselamatan, dan kelestarian lingkungan ditempatkan pada standar terpisah (Rahman, 2007).

Untuk menjaga keamanan pangan dari produsen pangan diantaranya dengan menerapkan Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah merupakan sistem yang dapat menjamin
keamanan pangan, sistem ini bekerja secara proaktif, yaitu mengantisipasi bahaya dan identifikasi titik
pengawasan yang mengutamakan tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pada pengujian produk
akhir (Rahman, 2007).
Menurut Winarno dan Surono (2004), Sistem HACCP telah diakui oleh dunia internasional sebagai salah
satu tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan produk pangan yang dihasilkan oleh
industri pangan secara global. Agar sistem ini dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali
dengan pemenuhan program pre-reguisite, yang berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan
pelaksanaan tugas dan kegiatan llain dalam suatu pabrik atau industri pangan yang sangat diperlukan
untuk memberikan kepasttian bahwa proses produksi yang aman telah dilaksanakan untuk menghasilkan
produk pangan dengan mutu yang diharapkan. Sistem ini harus dibangun diatas dasar yang kokoh untuk
pelaksanaan dan terbitnya GMP (Good Manufacturing Pratices) dan SSOP (Standart Sanitation Opening
procedure).

Berdasarkan uraian diatas, kami membuat makalah yang berjudul “ Mempelajari proses pengalengan
ikan tuna dengan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) “ dengan mengkaji dari beberapa
hasil penelitian ( berupa jurnal ataupun laporan penelitian langsung ) yang telah di lakukan beberapa
orang.

1.2 Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui cara identifikasi HACCP (Hazzard Analysis Critical
Control Point) pada proses pengalengan ikan tuna berdasarkan beberapa sumber kajian (hasil
penelitian).

1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini untuk memberikan informasi tentang identifikasi HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) pada proses pengalengan ikan tuna yang baik dan tepat, dengan
demikian diharapkan bukan hanya menambah pengetahuan tetapi keterampilan mahasiswa dalam
pemecahan masalah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tuna

Ikan tuna merupakan ikan pelagis yang bergerak cepat dan senantiasa membentuk schooling
(gerombolan). Badannya besar gemuk dan kuat dengan sumber kekuatannya pada pertemuan ekor dan
badan, dan tuna ekor kuning dianggap sebagai proyek hasil laut yang terbaik dari semua jenis tuna.

Secara morfologi tubuh ikan tuna yaitu : bagian atas punggung berwarna hitam kebiruan mengkilat, dan
bagian bawah berwarna putih perak, sirip punggung pertama sedikit keabuan dengan warna kuning
terpendam, pinggiran atas warna kegelapan, sirip punggung kedua dan dubur berwarna gelap
kekuningan, batas belakang sirip ekor berwarna keputihan.

Menurut www.atuna.com (2007), ikan tuna termasuk ikan pelagis besar dari kelompok family
scrombridae dengan karakteristik perenang cepat dan hidup secara bergerombol dengan kondisi badan
yang kuat dan kekar, sehingga penangkapannya menggunakan long line. Adapun daerah penyebaran
ikan tuna dilaut meliputi perairan : Samudera Indonesia, Samudera Pasifik Tengah, hampir di seluruh
perairan Indonesia terutama di perairan terbuka, termasuk bagian Barat Sumatera, Selatan Jawa, Timur
Sumatera, Laut Natuna, Selat Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan Perairan Maluku.
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna
mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging.

Jenis-jenis ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Nama Indonesia Nama Dagang Nama Ilmiah

Tuna albakora Albacore Thunnus alalunga

Tuna abu-abu utara Northern bluefin tuna Thunnus thynnus

Tuna abu-abu selatan Southern bluefin tuna Thunnus maccoyii

Cakalang Skip Jack tuna Katsuwonus pelamis

Ekor kuning Yellow Fin tuna Thunnus albacores

Tuna mata besar Big eye tuna Thunnus obesus

Tongkol Little tuna Euthynnus affinis

Sumber : Lengkey (1999) dalam Titihalawa, 2001

2.2 Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan
kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap
produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut.
Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan
kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pengujian produk akhir (Winarno dan Surono,
2004).

HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk meningkatkan efisiensi pengontrolan
dengan menciptakan kedisiplinan pendekatan sistematik terhadap prosedur untuk keamanan pangan
(Mortimore, 1995). HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko
bahaya signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001).
Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point)
dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan risiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono,
2001).

HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan manajemen industri pangan
untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut telah memproduksi produk yang aman setiap saat,
memberikan bukti sistem produksi dan penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri
pada produsen akan jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan akan
konfirmasinya terhadap standar internasional, memenuhi standar dan regulasi pemerintah, dan
menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien.

Program Per-Requisite merupakan prosedur umum yang berkaitan dengan sistem suatu persyaratan
dasar penerapan HACCP suatu operasi bisnis pangan untuk mencegah kontaminasi akibat suatu operasi
produksi atau penanganan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pre-
requisite yaitu program harus terdokumentasi, identifikasi dari semua step dalam operasi yang kritis
terhadap keamanan dan mutu pangan, terapkan prosedur control yang efektif pada pencatatan yang
baik dan review prosedur pengendalian secara periodik dan ketika ada suatu perubahan operasi.

2.3 Langkah Implementasi HACCP

Tim HACCP harus memberikan jaminan bahwa pengetahuan dan keterampilan (keahlian) spesifik produk
tertentu tersedia untuk pembangunan rencana HACCP secara efektif. Pembentukan tim dari berbagai
divisi unit usaha atau disiplin yang mempunyai kekhususan ilmu pengetahuan dan keahlian yang tepat
untuk produk. Apabila keahlian yang demikian tidak tersedia ditempat, tenaga ahli disarankan dapat
diperoleh dari sumber lain.

Persyaratan tim HACCP adalah bahwa keputusan tim HACCP juga menjadi keputusan manajemen. Untuk
tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi dari usaha Quality Assurance, produksi, pemasaran
dan lain-lain, dan multidisiplin dengan memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik
penanganan dan distribusi, cara pemasaran dan cara konsumsi produk, serta potensi bahaya. Tim HACCP
juga dapat terdiri atas beberapa level personil yaitu : General Manajer, Manajer QA, Inspektor, mandor,
dan lain-lain (Winarno dan Surono, 2004).

Tim HACCP harus mempunyai pengetahuan yang cukup akan produk dan prosesnya serta mempunyai
keahlian yang cukup untuk :

a) Menetapkan lingkup dan rencana HACCP apakah hanya masalah keamanan pangan atau termasuk
mutu karakteristik produk.

b) Mengidentifikasi bahaya.

c) Menetapkan tingkat keakutan (severity) dan resikonya.

d) Mengidentifikasi CCP, merekomendasikan cara pengendalian, menetapkan batas kritis, prosedur


monitoring, dan verifikasi.

e) Merekomendasikan tindakan koreksi yang tepat ketika terjadi penyimpangan.

f) Merekomendasikan atau melaksanakan investigasi dan penelitian yang berhubungan dengan


rencana HACCP.

2.4 Prinsip-prinsip HACCP

a) Analisa bahaya (hazard), identifikasi, dan tindakan pencegahan

Hazard adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun fisika, yang dapat menyebabkan
makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya
kerugian di dalam suatu proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan
ekonomi.

b) Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP)

CP (Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana faktor-faktor biologis, kimiawi,
maupun fisikawi dapat dikendalikan. CCP (Critical Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur
dimana pengendalian dapat ditetapkan dan bahaya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai
batas yang diterima. Selain itu juga CCP adalah titik kritis dimana bila gagal melakukan tindakan-
tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan resiko penolakan terhadap konsumen.

c) Penetapan batas-batas kritis (Critical Limit)

Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan pencegahan pada suatu CCP.
Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi: persyaratan
teknis/administrasi, definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan.

d) Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring)

Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu observasi atau pengukuran untuk
mengetahui apakah CCP berada dalam control, dan untuk menghasilkan catatan yang akurat untuk
keperluan verifikasi. Tujuan pemantauan adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk
mengetahui apakah suatu proses harus dirubah/disesuaikan, untuk mengidentifikasi penyimpangan
yang terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen tertulis dari sistem pengendalian proses.

e) Penetapan tindakan koreksi (Corective action)

Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu penyimpangan atau kesalahan untuk
memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan penetapan tindakan koreksi adlah untuk mengoreksi dan
menghilangkan penyebab penyimpangan dan mengembalikan kontrol proses, untuk mengidentifikasi
produk yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan menentukan disposisinya.

f) Penetapan sistem pencatatan (Record keeping)

Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalamm sistem HACCP. Semua yang dipantau harus dicatat,
semua tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir
yang distandarkan, pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi
yang dipantau/koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan pelacakan seperti (waktu,
tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan pencatatan, dan lain-lain), akan lebih baik bila
semua data yang dikumpulkan dapat dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan
mudah dapat dievaluasi.

g) Penetapan prosedur verifikasi

Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan audit sebagai tambahan
kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan kesesuaian dengan “Rancangan HACCP” atau
perlu dimodifikasi. Untuk menjamin dan memastikan bahwa program HACCP berjalan di dalam jalur yang
tepat dan dilakukan dengan baik, dapat dilakukan secara internaldan eksternal. Secara internal oleh
pihak manajemen perusahaan sendiri (plant manajer yang ditunjang oleh uji laboratorium sebagai
pendukung), secara eksternal oleh pihak pemerintah yang dilakukan secara wajib dan rutin.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Proses Pengalengan Ikan Tuna Menurut SNI

Proses pengalengan ikan tuna berdasarkan SNI 01-2712.2-1992, adalah sebagai berikut:
1) Penerimaan bahan baku

Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan
ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan
bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar harus segera dilakukan pencucian menggunakan air
mengalir dengan suhu maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila
menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25oC. Bahan
baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada
suhu chilling (0oC)

2) Persiapan

Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan pelelehan (thawing) dalam air mengalir
yang bersuhu 10o – 15o C. Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan
pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan
menjadi ukuran yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-cooking.

3) Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)

Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas
(steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun
umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu
pemasakan 100o - 105o C.

4) Penurunan suhu

Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat
ditangani lebih lanjut (30o C) dalam waktu maksimum 6 jam.

5) Pembersihan daging

Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau yang tajam. Kulit,
tulang dan daging merah yang terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah.

6) Pemotongan

Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah, dipotongpotong dengan ukuran yang
disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap
daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam
kaleng.

7) Pengisian

Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai
dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard, grated).

a) Solid : 1 – 2 potong daging putih, bebas serpihan.

b) Standard : 2 – 3 potong daging putih, serpihan maksimum 2 %.

c) Chunk : serpihan daging putih ± satu kali makan, sepihan flake maks 40 %.
d) Flake : potongan daging kecil < chunk

e) Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta).

8) Penambahan medium

Medium ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70 – 80oC. Pengisian media
hingga batas head space atau antara 6 – 10 % dari tinggi kaleng.

9) Penutupan kaleng

Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan dilakukan pemeriksaan secara periodik.

10) Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan jenis dan ukuran kaleng, media dan
tipe produk dalam kemasan atau equivalent dengan nilai Fo > 2,8 menit pada suhu 120o C. Pada setiap
sterilisasi harus dilakukan pencatatan suhu secara periodik.

11) Penurunan suhu dan pencucian

Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung residu klor 2 ppm. Setelah
dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan ke tempat yang terlindung (restricted area) untuk
pendinginan dan pengeringan.

12) Pemeraman

Kaleng yang telah dingin dimasukkan ke dalam suatu ruang dengan suhu kamar dan diletakkan dengan
posisi terbalik, dan kemudian dilakukan pengecekan terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap
rusak adalah kaleng yang menggembung atau bocor. Pemeraman dilakukan minimal selama 7 (tujuh)
hari.

4.2 Identifikasi HACCP Dalam Proses Pengalengan Ikan Tuna Pada PT. Delta Pasifik Indotuna

Setelah dilakukan identifikasi hazard analysis critical control point (HACCP) di PT. Delta Pasifik Indotuna
Bitung Propinsi Sulawesi Utara, didapat hasil identifikasi sebagai berikut :

1. Personil (Pekerja)

Dalam proses pengalengan ikan aspek-aspek yang membutuhkan perhatian dan pertimbangan utama
adalah personil (pekerja) baik itu kesehatan maupun kebersihan pribadi atau perorangan. Hal ini
dikarenakan bahaya yang akan ditimbulkan. Bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya rambut, kuku,
atau asesoris (cincin, anting,dan lain-lain) yang terjadi pada proses produksi. Selain itu juga bahaya
potensial adanya bau tengik yang mungkin disebabkan oleh pekerja yang menggunakan lotion atau
cream tangan, dan kontaminasi karena pekerja yang menderita penyakit menular, luka, infeksi, dan lain-
lain yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri patogen.

2. Pengolahan Material (Produk)

a. Fish Receiving (Penerimaan Ikan)

Bahan baku yang digunakan di PT. Delta Pasifik Indotuna meliputi bahan baku dalam bentuk segar dan
beku yang berasal dari daerah tersebut dan beberapa daerah di Sulawesi (kendari, gorontalo,dan lain-
lain). Ikan yang baru masuk langsung dilakukan penyortiran berdasarkan ukuran (size) dan tingkat
kesegaraannya.

Dari setiap proses penanganan penerimaan bahan baku adalah tahap pertama dari setiap proses. Hal ini
yang menentukan apakah proses selanjutnya akan dilanjutkan atau tidak dan itu tergantung dari proses
penerimaan bahan baku tersebut. Kaitannya dengan identifikasi hazard (bahaya) pada proses atau
tahapan ini adalah bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya pasir/kerikil yang merupakan salah satu
bahaya potensial pada proses ini. Penyebab bahaya adalah terjadi pada saat proses pengangkutan bahan
baku atau dihasilkan dari sepatu para pekerja sementara bahaya potensial kemungkinan tidak terjadi.
Selain itu juga bahaya potensial adalah adanya bau tengik (bahaya kimia) kemungkinan yang disebabkan
oleh bahan baku yang terkontaminasi mikroba (bahaya biologis) yang berasal dari luar atau bahan lain.
Cara mengurai bahaya tersebut adalah dengan memperhatikan kebersihan baik itu pekerja, bahan baku,
maupun alat-alat yang digunakan pada saat proses produksi sebaiknya harus dalam keadaan steril.

b. Thawing (Pelelehan Ikan)

Ikan beku dilelehkan sebelum diproses lebih lanjut. Pelehan ikan dilakukan didalam bin dengan cara
mengalirkan air kedalam bin secara kontinyu (merendam ikan dalam air yang mengalir) hingga suhu ikan
naik dari -20c menjadi 50c.

Tahapan ini adalah merupakan proses pelelehan ikan, hal ini dilakukan untuk memudahkan proses
selanjutnya dalam hal butchering. Di dalam tahapan ini bahaya fisik merupakan salah satu bahaya
potensial yang disebabkan pada penerimaan bahan baku yang kurang hati-hati sehingga merusak
tekstur bahan baku tersebut, dan juga suhu pada saat di dalam cold storage, sehingga dapat memicu
pertumbuhan bakteri patogen. Adapun cara mengatasi potensi bahaya tersebut adalah dengan
memperhatikan pada proses penerimaan bahan baku dan suhu pada saat di dalam cold storage.

c. Butchering (penyiangan atau pembersihan isi perut)

Butchering dilakukan baik terhadap ikan segar maupun terhadap ikan beku yang telah dilelehkan.
Kegiatan ini meliputi penyiangan ikan dengan mengeluarkan isi perut, sedangkan ikan yang berukuran
besar juga dilakukan pembelahan.

Bahaya potensial pada proses ini adalah bahan baku yang terkontaminasi dengan karatan atau
sejenisnya, hal ini disebabkan oleh penggunaan alat yang digunakan kurang steril dan air yang digunakan
untuk membersihkan ikan dan alat-alat yang digunakan sudah tercemar. Selain itu pertumbuhan bakteri
patogen dikarenakan oleh suhu ikan sudah mengalami perubahan karena terjadinya over thawing. Cara
mengatasi semua bahaya-bahaya tersebut adalah dengan cara memastikan alat-alat yang digunakan
sudah bersih dan proses pengolahannya sendiri sebaiknya dilakukan segera mungkin.

d. Pencucian

Ikan yang telah di butchering kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih. Bahaya potensial pada
proses ini adalah air, alat, ruang kerja yang digunakan sudah tercemar. Dan masih adanya sisa-sisa
penyiangan yang bisa menimbulkan pertumbuhan bakteri. Cara mengatasinya adalah memperhatikan
kebersihan semua alat, air, dan lainnya juga sisa-sisa penyiangan harus segera dipindahkan agar
menghindari pertumbuhan bakteri.

e. Pilling (penyusunan)
Ikan yang telah di cuci selanjutnya disusun pada baki pemasakan (pan)berdasarkan ukuran dan jenisnya
untuk memberikan dampak pemasakan yang seragam. Bahaya potensial yang ada yaitu kontaminasi
bahan baku dengan alat yang digunakan. Cara mengatasinya dengan memperhatikan alat yang
digunakan pada proses pengolahan.

f. Pemasakan awal (pre-cooking)

Pemasakan awal menggunakan bejana uap (steam) tertutup yang disebutprecooker. Pemasakan awal
dimulai setelah precooker terisi secara optimal. Suhu pemasakan dalam bejana dipertahankan tidak
melebihi 1000c, sedangkan lama pemasakannya disesuaikan dengan ukuran ikan.

Pada tahapan ini pertumbuhan bakteri merupakan bahaya yang potensial, penyebabnya sisa-sisa darah,
minyak dan cairan tubuh pada ikan masih tersisa pada proses butchering dan pemasakan. Selain itu
bahaya dalam bentuk fisik dapat terjadi dikarenakan suhu, waktu, dan size yang digunakan pada proses
pemasakan tidak sesuai sehingga dapat merusak tekstur produk.

g. Colling (Pendinginan)

Ikan yang telah di masak (di-precooking) terlebih dahulu di dinginkan dengan menggunakan semprotan
air berkabut, menggunakan alat yang disebutmist-sprayer. Hal ini bertujuan untuk menutup pori-pori
ikan agar proses dehidrasi dapat dihindari sehingga berat ikan tidak banyak berkurang, disamping
mempercepat pendinginan ikan agar efek pemasakan tidak berkelanjutan sehingga permukaan ikan tidak
gosong dan kulit ikan mudah di keluarkan. Kemudian ikan yang telah disemprot dengan air dipindahkan
kecooling area.

Bahaya potensial yang ada pada proses ini adalah pada tahap setelah proses cooling dimana suhu yang
digunakan tidak boleh lewat dari 430c dan waktu tidak boleh melebihi 4 jam, karena akan menimbulkan
kerusakan fisik pada produk. Selain itu bahaya terkontaminasi dapat terjadi yang disebabkan air yang
digunakan pada proses penyiraman atau pengkabutan telah tercemar. Untuk mengatasi bahaya tersebut
harus memperhatikan suhu dan waktu pada saat proses tersebut.

h. Beheading, Skinning, loinning (Pemotongan Kepala, kulit, pengeluaran tulang)

Pada tahap beheading yaitu mengeluarkan bagian kepala ikan termasuk insang, sirip, ekor. Kemudian
ikan yang telah dibersihkan dikumpulkan pada baki plastik dan dibawa kebagian skinning.

Ikan yang diterima dari bagian beheading kemudian dilakukan prosesskinning (pengeluaran kulit). Kulit
ikan dikeluarkan dengan menggunakan pisau dari arah kepala menuju ke ekor sedangkan pada bagian
perut ikan, kulit dikeluarkan dari arah ekor menuju ke kepala mengikuti alur atau serat daging ikan
tersebut.

Setelah kulit ikan dikeluarkan, selanjutnya dilakukan proses loinningdengan mengeluarkan tulang dan
daging merah ikan. Tulang belakang ikan dikeluarkan dengan membelah ikan menjadi dua bagian,
selanjutnya tiap bagian dibelah lagi menjadi dua bagian sehingga diperoleh 4 buah bagian (loin) untuk
setiap ikan. Selanjutnya ikan yang telah bersih disusun pada baki plastik kemudian ditimbang lalu dibawa
ke bagian pengepakan.

Bahaya potensial pada tahapan ini adalah bahaya kontaminasi yang disebabkan oleh pekerja dan alat
yang digunakan kurang steril sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroba . adapun untuk
mengatasi bahaya tersebut adalah dengan lebih memperhatikan kebersihan dari semua personil baik itu
pekerja maupun alat dan produk yang telah rusak pada saat proses pengolahan sebaiknya diperhatikan
lebih ketat agar tidak terikut kedalam produk yang memiliki mutu yang baik.

i. Pencucian Kaleng Kosong

Kaleng yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan sebelum diisiloin. Kaleng yang telah disortir
selanjutnya diletakkan pada meja berputar (can feeding table) untuk dibawa ke mesin pack
saper dengan menggunakanelevator . pembersihan kaleng dilakukan dengan menggunakan
semprotansteam pada ujung elevator, menjelang tiba dimesin pack saper.

Pada tahapan ini bahaya dalam bentuk fisik adalah merupakan bahaya yang potensial. Penyebabnya
karena masih adanya tulang dan daging gelap atau cokelat pada saat proses sebelumnya. Selain itu
bahaya kontaminasi juga dikarenakan alat yang digunakan berkarat atau tercemar bahan lain. Cara
mengatasinya dengan memperhatikan kebersihan semua alat dan cara pengolahan produk.

j. Packing (Pengisian Daging Ikan), penimbangan, Filling Medium (Pengisian medium)

Ikan yang akan dikalengkan disusun pada feeding conveyor mesin pack shaper.Penyusunan ikan pada alat
tersebut disesuaikan dengan produk (model pengepakan) yang akan dibuat yaitu dibedakan atas chunk
(potongan/ukuran daging ikan yang sedang) dan flakes/filler (serpihan daging ikan yang halus).

Setelah kaleng diisi dengan ikan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui apakah jumlah ikan yang
diisikan kedalam kaleng telah sesuai dengan standar.

Pada proses Filling Medium dilakukan pemasukkan cairan (medium) yang digunakan sesuai dengan
pesanan pembeli (buyer) pada PT.Delta medium yang digunakan adalah sun flower seed oil. Canola oil,
dan brine.

Bahaya adanya dalam bentuk fisik (tulang, bahan pengotor lain), bahaya kimia (kontaminasi logam Cu
dan Fe dari kaleng), bahaya biologis (cemaran salmonella), selain itu kepadatan dan kekurangan berat
timbangan merupakan bahaya potensial yang terdapat pada tahapan ini.

k. Seaming (penutupan kaleng), can washing (pencucian kaleng)

Kaleng yang telah diisi dengan ikan dan medium selanjutnya ditutup dengan menggunakan mesin
penutup kaleng (seamer). Setelah itu dilakukan pengkodean nama perusahaan, dan waktu (tanggal,
bulan, dan tahun) pengolahan. Pada proses selanjutnya dilakukan pencucian kaleng untuk
menghilangkan kotoran atau bahan-bahan yang masih terdapat pada permukaan kaleng.

Tahapan ini bahaya potensial adalah bahaya kontaminasi yang disebabkan oleh benda-benda asing yang
masuk dalam kaleng yang berasal dari luar atau dari dalam benda tersebut, bahaya biologis (kontaminasi
mikroba) karena suhu yang tidak sesuai, Selain itu bahaya dalam bentuk fisik kaleng seperti adanya
kaleng yang rusak karena tekanan dari dalam.

l. Sterilisasi/retorting

Ikan kaleng yang telah dicuci selanjutnya disusun pada basket (keranjang)retort, sebelum basket
dimasukkan kedalam retort (pengoperasian) dimulai.
Untuk proses ini bahaya yang ada adalah bahaya kimia karena cemaran logam dari kaleng, bahaya
biologis dari kontaminasi bakteri dan mikroba karena penggunaan suhu yang tidak sesuai pada saat
proses pemanasan, selain itu bahaya fisik (daging ikan rusak) karena suhu pemanasan yang tidak sesuai.

m. Pendinginan Kaleng

Ikan yang telah dikeluarkan dari retort selanjutnya didinginkan secara alamiah (menggunakan udara
dengan suhu ruang), hanya dibantu dengan kipas agar terjadi sirkulasi udara didalam ruang tersebut
sehingga mempercepat proses pendinginan. Waktu pendinginan yang dibutuhkan adalah 4 jam
untukpack in brine dan 5 jam untuk pack in oil.

Bahaya yang ada adalah bahaya biologis (tercemar bakteri thermofilik) pada saat didinginkan setelah
sterilisasi, selain itu bahaya fisik (perubahan rasa, warna, dan tekstur daging) karena over cooking dan
over processing.

n. Pengartonan (Case Up)

Kaleng yang sudah dingin selanjutnya dibersihkan dari sisa-sisa air dengan menggunakan kain lap yang
bersih dan dibawa keruang case up (pengartonan). Setiap karton masing-masing berisi 48 kaleng. Dalam
tahapan ini bahaya potensial adalah kerusakan karton yang digunakan sebagai kemasan.

o. Pelabelan

Produk yang akan dilabel ditempatkan didekat mesin label yang sebelumnya telah disiapkan, kemudian
proses pelabelan dilakukan. Pada tahapan ini bahaya potensial adalah kesalahan pelabelan yang
dicantumkan.

p. Penyimpanan

Produk yang telah dilabel dan disusun dalam dos sementara menunggu waktu pengiriman/ekspor
disimpan digudang yang bersebelahan dengan ruang pelabelan.

Bahaya potensial dalam tahap ini adalah adanya kontaminasi pada kaleng baik itu minyak, abu, kotoran,
dan kesalahan penghitungan hari antara produksi dan waktu pengiriman.

q. Pemasaran

Pemasaran produk ikan kaleng PT.Delta Pasifik Indotuna dipasarkan ke manca negara terutama ke negara
Timur Tengah.

Dalam proses ini bahaya dalam bentuk fisik seperti adanya kaleng rusak, kembung, berkarat, kotor, dan
kontaminasi bakteri, selain itu kesalahan pada pencantuman logo, nama produk, tanggal kadaluarsa, dan
lain-lain yang terdapat pada tahap ini.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:


ü Penyebab bahaya dari setiap tahapan adalah adanya bahaya dalam kerusakan fisik, baik itu dari bahan
baku maupun dari kaleng.

ü Bahan baku yang terkontaminasi oleh alat, air, dan pekerja yang kurang bersih dan steril.

ü Bahaya kimia dan biologis dengan terkontaminasi/tercemar oleh bakteri dan mikroba karena alat,
suhu, waktu, dan proses yang kurang baik sehingga memicu pertumbuhan bakteri ini.

ü Bahaya kesalahan penimbangan, penulisan kode, tanggal/bulan/tahun produksi, dan lain-lain.

ü Bahaya penyimpanan produk yang terkontaminasi panas, dingin, debu, kotoran, dan benda-benda lain
yang mengakibatkan kerusakan pada produk.

4.2 Saran

Ada beberapa hal yang menjadi saran dalam setiap proses pengolahan adalah bahaya dari setiap proses
terutama penggunaan suhu sesuai dengan mata rantai, hal ini dapat menimbulkan pertumbuhan
bakteri-bakteri pathogen. Selain itu konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) perlu
diterapkan pada setiap pengolahan serta perbaikan program HACCP pada setiap tahapan proses yang
menjadi CCP, antara lain berupa penataan Good Manufacturing Practices (GMP), standarisasi bahan baku
ikan tuna yang dibeli, keseragaman mutu dan jenis kaleng.

DAFTAR PUSTAKA

Challinor A. 2003. Food Safety Advisory Note 29. htttp://www.valeroyal.gov.uk Chesire Chief Officer’s
Food Liaison Group. 5 Mei 2005

Codex Alimentarius Commission. 2001. Food hygiene. Basic Texts. 2nd ed. Di dalam Huss HH, Ababouch
L, Gram L. 2003. Assessment and management of seafood safety and quality. FAO Fisheries Technical
Paper. No. 444. Roma: FAO.

Codex Allimentarius Comission. 2004. Guidelines for Application of The Hazard Analysis Critical Control
Point System. Report of the 27th Session of The Codex Comittee on Food Hygiene, ALINORM 95/27/13,
Annex to Appendix III. Geneva, 28 Juni-3 Juli 2004.

[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712. Ikan Tuna Dalam Kaleng. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional

[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712.2. Penanganan dan Pengolahan Ikan Tuna Dalam
Kaleng. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional

Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Pedoman Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT)
Berdasarkan Konsepsi HACCP. Jakarta: Direktorat Usaha dan Pengolahan Hasil. Direktorat Jenderal
Perikanan

Hayes GD, Scallan AJ, Wong JHF. 1997. Applying statistical process control to monitor and evaluate the
hazard analysis critical control point hygiene data. Food control 8;74;173-176 Josupeit H, Catarci C. 2004.
The World Tuna Industry-An Analysis of Imports,

Prices and of Their Combined Impact on Tuna Catches and Fishing Capacity.
FAO. http://www.globefish.com. 23 Juli 2005
Josupeit H. 2005. Global World Tuna Market. Infofish Tuna Conference at
Maldives. http://www.globefish.com. 2 Juni 2005

Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Sistem pengendalian mutu produk perikanan di Indonesia : keadaan
sekarang dan problematikanya. Di dalam Seminar for Promotion of Sustainable Development of Fisheries
in Indonesia, with special emphasis on promotion of domestic fish consumption and development of
local fishing industry; Jakarta: 16-19 Maret 2004.

Wirakartakusumah MA, Hermanianto D, Andarwulan N. 1989. Prinsip Teknik

Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Wiryanti J, Witjaksono HT. 2001. Jakarta:
Konsepsi HACCP

diambil dari:http://muhammadpajri1991.blogspot.com/2012/07/mempelajari-proses-pengalengan-
ikan.html

Anda mungkin juga menyukai