DISUSUN OLEH :
Putri Kusuma Dewi (2016340006)
2.3 Histamin
Histamin diketahui sebagai penyebab utama scombroid
poisoning yang muncul akibat mengkonsumsi hewan famili scombroid
seperti tuna, mackarel, cakalang, bonito dan sejenisnya. Histamin adalah
senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat
reaksi dengan enzim dekarboksilase (Sumner et al., 2004).
Pembentukan histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu
autolisis dan aktivitas bakteri. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui
aktivitas enzim selama proses autolisis sangat rendah dibandingkan
dengan histamin yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses
pembusukkan berlangsung. Pada kondisi optimum jumlah maksimum
histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat
melebihi 10-15 mg/100 gram daging ikan. Pembentukan histamin
berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan
histidin, tipe, dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan
reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur dan pH lingkungan
(Kimata, 1961).
Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain
pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti
putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin
(dari arginin) (Eitenmiller dan De Souza, 1984 dalam Lehane dan Olley,
2000). Ketika enzim histidin dekarboksilase sudah terbentuk maka enzim
tersebut akan terus membentuk histamin walaupun bakterinya sudah
tidak aktif (Kimata, 1961). Bakteri jenis Clostridium perfringens,
Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Morganella morganii,
Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk
dalam golongan bakteri yang menyebabkan histamin terbentuk sampai
tingkat membahayakan (Kanki et al 2002; Borgstrom, 1961; Taylor et al.,
1979 dalam Yoshinaga dan Frank, 1982).
Secara fisiologis histamin dalam dosis rendah diperlukan sebagai
fungsi normal sistem tubuh. Memakan makanan yang mengandung
sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia, namun
jika mengandung banyak histamin maka akan bersifat toksik. Sistem
intestinal dari manusia mengandung enzim diamine oxidase (DAO) dan
Histamin N-methyl transferase (HMT) dimana akan mendegradasi
histamin menjadi produk yang tidak berbahaya, akan tetapi jika dosis
histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT
untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari
histamin pada jaringan tubuh. Gejala keracunan histamin adalah gatal-
gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (Keer et al.,
2002).
Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk
ikan tuna dan ikan sejenisnya, 5 mg histamin/100 gram daging ikan
merupakan jumlah yang harus diwaspadai, sedangkan 50 mg histamin/
100 gram daging ikan merupakan jumlah yang membahayakan atau
dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan
dengan kandungan 5 mg histamin/100 gram daging ikan pada satu unit,
maka terdapat kemungkinan pada unit yang lain, kadar histamin dapat
mencapai lebih dari 50 mg/100 gram (FDA, 2001).
2.4 Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai bahaya dan
menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan.
HACCP menekankan pentingnya mutu dan keamanan pangan, karena itu
sebagai suatu sistem, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai
proses pengolahan produk pangan mulai dari bahan baku sampai
produk dikonsumsi (Pierson dan Corlett, 1992).
HACCP mempunyai pendekatan sistematik dalam
mengidentifikasi bahaya untuk memastikan keamanan pangan. HACCP
merupakan alat untuk menilai bahaya dan menerapkan kontrolnya, yang
difokuskan pada pencegahan. Program HACCP didasarkan pada tujuh
prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah (CAC, 2003):
1. Melakukan suatu analisis bahaya (hazard analysis) dengan
mengidentifikasi dan menginventarisasi bahaya-bahaya
terhadap keamanan produk pangan yang dapat terjadi dalam
proses produksi serta tindakan-tindakan pencegahan yang
diperlukan untuk mengendalikan bahaya atau risiko potensial
yang membahayakan.
2. Mengidentifikasi titik pengendalian kritis (Critical Control Point -
CCP). CCP adalah tahapan dimana jika terjadi kehilangan kendali
akan mengakibatkan bahaya keamanan pangan. CCP ditentukan
dengan decision tree yang mengacu pada CAC (2003).
3. Menetapkan batas-batas kritis (Critical limit). Suatu batas kritis
adalah nilai maksimum atau minimum yang harus dikendalikan
pada setiap CCP. Biasanya berhubungan dengan kriteria seperti
suhu, pH, kadar air dan lain-lain.
4. Prosedur pemantauan (monitoring) yang terdiri atas aktivitas
pengamatan, pengukuran atau pengujian yang dilakukan untuk
menilai apakah suatu CCP berada dalam batas-batas kritis yang
ditetapkan atau tidak.
5. Melakukan tindakan korektif dan pencegahan yang diperlukan.
Program HACCP harus mencakup prosedur tindakan korektif
dan/atau preventif untuk menghindari pemusnahan produk dari
ketidaksesuaian serta melakukan memperbaikinya.
6. Melakukan verifikasi ulang terhadap rencana HACCP secara
regular dan periodik untuk melihat apakah sistem efektif sesuai
dengan rencana awal dan jika memungkinkan rencana-rencana
dapat dimodifikasi untuk mencapai tujuan keamanan produk.
Frekuensi verifikasi harus cukup untuk melihat apakah HACCP
berjalan efektif.
7. Mendokumentasikan catatan-catatan untuk mengembangkan
suatu prosedur pengendalian catatan yang efektif, konsisten
dan dapat diandalkan. Catatancatatan ini diperoleh selama
operasi program HACCP dan harus selalu tersedia untuk
penggunaan dan tinjauan manajemen.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, PT Makmur Jaya
Sejahtera telah melaksanakan HACCP dengan baik. Hal ini terlihat dari
telah dilaksanakannya 12 langkah dan 7 prinsip penerapan HACCP
mengacu SNI 01-4852-1998, mulai dari telah dibentuknya tim HACCP
hingga adanya prosedur pencatatan dan pendokumentasian. Ini dibuktikan
juga dengan tingkat penerimaan negara importir terhadap produk yang
dihasilkan PT Makmur Jaya Sejahtera yang tidak pernah mengalami
penolakan. Berdasarkan analisis bahaya, identifikasi titik kendali kritis
(CCP), dan pengendalian titik kendali kritis (CCP) yang telah dilakukan,
yang tergolong sebagai CCP adalah tahap penerimaan bahan baku
(receiving), tahap pendinginan dengan es curai (chilling with slush ice)
dan tahap penyimpanan beku (storaging).
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan analisis lebih lanjut yang membahas tentang
faktor motivasi, pengembangan karir dan kesejahteraan karyawan untuk
meningkatkan kinerja organisasi misalnya dengan menggunakan Total
Performance Scorecard, sehingga keseimbangan antara kinerja organisasi
dalam menerapkan HACCP dengan kinerja karyawan menjadi lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I & II. Jakarta :
Bina Cipta.
Simorangkir S. 1993. Zona Perikanan 200 mil. Bali : PT Bali Fisherytama.
LAMPIRAN