Anda di halaman 1dari 13

Oleh:

Nama : Sumino
NPM : 0310060911

TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA

FAKULTAS PERIKANAN

UNIVERSITAS PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi perikanan pelagis dan
demersal tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia seperti pada
perairan laut teritorial, nusantara, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Luas perairan laut
Indonesia di perkirakan sebesar 5,8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang kedua di
dunia setelah Canada, yaitu 81.000 km² dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.808 buah
pulau. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah banyak
mengalami peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat
memberikan kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomian
dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia (Dahuri, 2001).
Nilai ekspor tuna kaleng mencapai 2400 juta dolar pada tahun 2003, setelah
sebelumnya mengalami penurunan drastis hingga mencapai 1700 juta dolar pada tahun
1999 dan 2000, level yang sama saat tahun 1995. Total ekspor tuna kaleng tumbuh pada
setiap tahun dan mencapai 1,1 juta MT pada tahun 2003 dengan total nilai impor
mencapai 2,8 milyar dolar setelah mengalami penurunan tajam pada tahun 2001 sebagai
akibat dari rendahnya harga bahan baku. Hal ini disampaikan oleh Helga Josupeit dalam
presentasinya yang berjudul “Global World Tuna Market” pada Tuna Marketing
Seminar di Maldives, Mei 2005.
Selanjutnya dikemukakan oleh Dahuri (2001), sumberdaya perikanan merupakan
milik bersama (Common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat
dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk
memanfaatkan, dan akibatnya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar
pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, nelayan dengan pengusaha, pengusaha
dengan pengusaha.
Salah satu produksi ikan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi yaitu ikan tuna.
Perikanan tuna di Indonesia menunjang sekitar 1,67% dari total produksi ikan laut
Indonesia dalam periode 1971-1981, kegiatan ini telah berkembang terutama diperairan
Indonesia bagian timur (Suhendra dan Subani, 1988 dalam Titihalawa, 2001).
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), ikan kaleng merupakan salah satu produk
hasil pengawetan dan pengolahan yang telah disterilkan dan dikemas dalam kaleng.
Proses pengalengan ikan umumnya dilakukan oleh perusahaan besar, disamping
beberapa home industri.
Standar mutu produk pangan (makanan) dan pertanian telah banyak dikeluarkan,
meskipun belum semuanya diterapkan dalam dunia perdagangan. Beberapa indikator
mutu yang digunakan yaitu sifat barang, tolak ukur, dan faktor mutu. Sementara
persyaratan konsumen yang menyangkut keamanan, keselamatan, dan kelestarian
lingkungan ditempatkan pada standar terpisah (Rahman, 2007).
Untuk menjaga keamanan pangan dari produsen pangan diantaranya dengan
menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP adalah
merupakan sistem yang dapat menjamin keamanan pangan, sistem ini bekerja secara
proaktif, yaitu mengantisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang
mengutamakan tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pada pengujian produk
akhir (Rahman, 2007).
Menurut Winarno dan Surono (2004), Sistem HACCP telah diakui oleh dunia
internasional sebagai salah satu tindakan sistematis yang mampu memastikan keamanan
produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan secara global. Agar sistem ini
dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan pemenuhan program pre-
reguisite, yang berfungsi melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas dan
kegiatan llain dalam suatu pabrik atau industri pangan yang sangat diperlukan untuk
memberikan kepasttian bahwa proses produksi yang aman telah dilaksanakan untuk
menghasilkan produk pangan dengan mutu yang diharapkan. Sistem ini harus dibangun
diatas dasar yang kokoh untuk pelaksanaan dan terbitnya GMP (Good Manufacturing
Pratices) dan SSOP (Standart Sanitation Opening procedure).
Berdasarkan uraian diatas, kami membuat makalah yang berjudul “ Mempelajari
proses pengalengan ikan tuna dengan prinsip Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) “ dengan mengkaji dari beberapa hasil penelitian (berupa jurnal
ataupun laporan penelitian langsung) yang telah di lakukan beberapa orang.

1. 2 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui cara identifikasi HACCP
(Hazzard Analysis Critical Control Point) pada proses pengalengan ikan tuna
berdasarkan beberapa sumber kajian (hasil penelitian).
1. 3 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini untuk memberikan informasi tentang
identifikasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada proses pengalengan
ikan tuna yang baik dan tepat, dengan demikian diharapkan bukan hanya menambah
pengetahuan tetapi keterampilan mahasiswa dalam pemecahan masalah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Ikan Tuna
Ikan tuna merupakan ikan pelagis yang bergerak cepat dan senantiasa membentuk
schooling (gerombolan). Badannya besar gemuk dan kuat dengan sumber kekuatannya
pada pertemuan ekor dan badan, dan tuna ekor kuning dianggap sebagai proyek hasil
laut yang terbaik dari semua jenis tuna.
Secara morfologi tubuh ikan tuna yaitu : bagian atas punggung berwarna hitam
kebiruan mengkilat, dan bagian bawah berwarna putih perak, sirip punggung pertama
sedikit keabuan dengan warna kuning terpendam, pinggiran atas warna kegelapan, sirip
punggung kedua dan dubur berwarna gelap kekuningan, batas belakang sirip ekor
berwarna keputihan.
Menurut www.atuna.com (2007), ikan tuna termasuk ikan pelagis besar dari
kelompok family scrombridae dengan karakteristik perenang cepat dan hidup secara
bergerombol dengan kondisi badan yang kuat dan kekar, sehingga penangkapannya
menggunakan long line. Adapun daerah penyebaran ikan tuna dilaut meliputi perairan :
Samudera Indonesia, Samudera Pasifik Tengah, hampir di seluruh perairan Indonesia
terutama di perairan terbuka, termasuk bagian Barat Sumatera, Selatan Jawa, Timur
Sumatera, Laut Natuna, Selat Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi, dan Perairan
Maluku.
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang
rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/ 100 g daging. Lemak antara
0,2 - 2,7 g/ 100 g daging.

Jenis-jenis ikan tuna dapat dilihat pada Tabel berikut ini:


Nama Indonesia Nama Dagang Nama Ilmiah
Tuna albakora Albacore Thunnus alalunga
Tuna abu-abu utara Northern bluefin tuna Thunnus thynnus
Tuna abu-abu selatan Southern bluefin tuna Thunnus maccoyii
Cakalang Skip Jack tuna Katsuwonus pelamis
Ekor kuning Yellow Fin tuna Thunnus albacores
Tuna mata besar Big eye tuna Thunnus obesus
Tongkol Little tuna Euthynnus affinis
Sumber : Lengkey (1999) dalam Titihalawa, 2001

2. 2 Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)


HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan
mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa hazard (bahaya)
dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan
pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah
antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada
tindakan pencegahan dari pada mengandalkan pengujian produk akhir (Winarno dan
Surono, 2004).
HACCP memberikan kesempatan pada pabrik makanan untuk meningkatkan
efisiensi pengontrolan dengan menciptakan kedisiplinan pendekatan sistematik terhadap
prosedur untuk keamanan pangan (Mortimore, 1995). HACCP (Hazard Analysis and
Critical Control Point) merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi
dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya signifikan
yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex Alimentarius Commission, 2001).
Sistem HACCP ini dikembangkan atas dasar identifikasi titik pengendalian kritis
(critical control point) dalam tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan
risiko bahaya (Wiryanti dan Witjaksono, 2001).
HACCP dari perkembangannya diakui dapat memenuhi beberapa tujuan
manajemen industri pangan untuk memberikan jaminan bahwa industri tersebut telah
memproduksi produk yang aman setiap saat, memberikan bukti sistem produksi dan
penanganan produk yang aman, memberikan rasa percaya diri pada produsen akan
jaminan keamanannya, memberikan kepuasan kepada pelanggan akan konfirmasinya
terhadap standar internasional, memenuhi standar dan regulasi pemerintah, dan
menggunakan sumberdaya secara efektif dan efisien.
Program Per-Requisite merupakan prosedur umum yang berkaitan dengan sistem
suatu persyaratan dasar penerapan HACCP suatu operasi bisnis pangan untuk mencegah
kontaminasi akibat suatu operasi produksi atau penanganan. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penerapan pre-requisite yaitu program harus terdokumentasi,
identifikasi dari semua step dalam operasi yang kritis terhadap keamanan dan mutu
pangan, terapkan prosedur control yang efektif pada pencatatan yang baik dan review
prosedur pengendalian secara periodik dan ketika ada suatu perubahan operasi.

2. 3 Langkah Implementasi HACCP


Tim HACCP harus memberikan jaminan bahwa pengetahuan dan keterampilan
(keahlian) spesifik produk tertentu tersedia untuk pembangunan rencana HACCP secara
efektif. Pembentukan tim dari berbagai divisi unit usaha atau disiplin yang mempunyai
kekhususan ilmu pengetahuan dan keahlian yang tepat untuk produk. Apabila keahlian
yang demikian tidak tersedia ditempat, tenaga ahli disarankan dapat diperoleh dari
sumber lain.
Persyaratan tim HACCP adalah bahwa keputusan tim HACCP juga menjadi
keputusan manajemen. Untuk tim HACCP seharusnya beranggotakan divisi-divisi dari
usaha Quality Assurance, produksi, pemasaran dan lain-lain, dan multidisiplin dengan
memperhatikan jenis produk, teknologi pengolahan, teknik penanganan dan distribusi,
cara pemasaran dan cara konsumsi produk, serta potensi bahaya. Tim HACCP juga
dapat terdiri atas beberapa level personil yaitu : General Manajer, Manajer QA,
Inspektor, mandor, dan lain-lain (Winarno dan Surono, 2004).
Tim HACCP harus mempunyai pengetahuan yang cukup akan produk dan
prosesnya serta mempunyai keahlian yang cukup untuk :
a. Menetapkan lingkup dan rencana HACCP apakah hanya masalah keamanan pangan
atau termasuk mutu karakteristik produk.
b. Mengidentifikasi bahaya.
c. Menetapkan tingkat keakutan (severity) dan resikonya.
d. Mengidentifikasi CCP, merekomendasikan cara pengendalian, menetapkan batas
kritis, prosedur monitoring, dan verifikasi.
e. Merekomendasikan tindakan koreksi yang tepat ketika terjadi penyimpangan.
f. Merekomendasikan atau melaksanakan investigasi dan penelitian yang berhubungan
dengan rencana HACCP.

2. 4 Prinsip-prinsip HACCP
a ) Analisa bahaya (hazard), identifikasi, dan tindakan pencegahan
Hazard adalah suatu kondisi atau faktor baik biologis, kimiawi, maupun
fisika, yang dapat menyebabkan makanan tidak aman untuk dikonsumsi atau
merugikan konsumen. Proses identifikasi atas bahaya kerugian di dalam suatu
proses atau produk yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu kesehatan, keamanan, dan
ekonomi.

b ) Identifikasi pengendalian titik-titik kritis (CCP)


CP (Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana faktor-
faktor biologis, kimiawi, maupun fisikawi dapat dikendalikan. CCP (Critical
Control Point) adalah suatu titik, tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat
ditetapkan dan bahaya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi sampai batas
yang diterima. Selain itu juga CCP adalah titik kritis dimana bila gagal
melakukan tindakan-tindakan pengawasan/pengontrolan akan menyebabkan
resiko penolakan terhadap konsumen.

c ) Penetapan batas-batas kritis (Critical Limit)


Batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap tindakan
pencegahan pada suatu CCP. Untuk setiap CCP harus ditentukan batas-batas
kritisnya. Batas-batas kritis tersebut meliputi: persyaratan teknis/administrasi,
definisi batasan penolakan, toleransi atas persyaratan penolakan.

d ) Penetapan prosedur pemantauan (Monitoring)


Pemantauan adalah tindakan yang terencana dan berurut dari suatu observasi
atau pengukuran untuk mengetahui apakah CCP berada dalam control, dan untuk
menghasilkan catatan yang akurat untuk keperluan verifikasi. Tujuan pemantauan
adalah untuk menelusuri operasi dari suatu proses, untuk mengetahui apakah suatu
proses harus dirubah/ disesuaikan, untuk mengidentifikasi penyimpangan yang
terjadi pada suatu CCP, untuk menyediakan dokumen tertulis dari sistem
pengendalian proses.
e ) Penetapan tindakan koreksi (Corective action)
Tindakan koreksi adalah prosedur yang harus diikuti ketika suatu
penyimpangan atau kesalahan untuk memenuhi batas kritis terjadi. Tujuan
penetapan tindakan koreksi adlah untuk mengoreksi dan menghilangkan penyebab
penyimpangan dan mengembalikan kontrol proses, untuk mengidentifikasi produk
yang dihasilkan selama proses yang menyimpang dan menentukan disposisinya.

f) Penetapan sistem pencatatan (Record keeping)


Catatan yang harus disimpan sebagai bagian dalamm sistem HACCP. Semua
yang dipantau harus dicatat, semua tindakan koreksi harus dicatat, agar lebih
sistematis pencatatan dilakukan menggunakan formulir yang distandarkan,
pedoman dalam membuat formulir yaitu memuat tentang semua informasi
yang dipantau/ koreksi, mencantumkan data penunjang untuk memudahkan
pelacakan seperti (waktu, tanggal, jenis, lot, nama/tandatangan yang melakukan
pencatatan, dan lain-lain), akan lebih baik bila semua data yang dikumpulkan
dapat dikompilasikan di dalam suatu program komputer sehingga dengan mudah
dapat dievaluasi.

g ) Penetapan prosedur verifikasi


Verifikasi adalah penerapan dari suatu metode, prosedur, pengujian dan audit
sebagai tambahan kegiatan pemantauan untuk mengvalidasi dan menentukan
kesesuaian dengan “Rancangan HACCP” atau perlu dimodifikasi. Untuk
menjamin dan memastikan bahwa program HACCP berjalan di dalam jalur yang
tepat dan dilakukan dengan baik, dapat dilakukan secara internaldan eksternal.
Secara internal oleh pihak manajemen perusahaan sendiri (plant manajer yang
ditunjang oleh uji laboratorium sebagai pendukung), secara eksternal oleh pihak
pemerintah yang dilakukan secara wajib dan rutin.
BAB III
PEMBAHASAN

3. 1 Proses Pengalengan Ikan Tuna Menurut SNI


Proses pengalengan ikan tuna berdasarkan SNI 01-2712.2-1992, adalah sebagai
berikut:
a ) Penerimaan bahan baku
Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak
secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan
higiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk
bahan baku segar harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir
dengan suhu maksimum 50C. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku,
apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es
yang bersuhu -250C. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu
proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (00C)

b ) Persiapan
Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan pelelehan
(thawing) dalam air mengalir yang bersuhu 100 – 150C. Untuk ikan dalam keadaan
utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Sedangkan
ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi ukuran
yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-
cooking.

c ) Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)


Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak
menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan
pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam
(mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan
1000 – 1050C.
d ) Penurunan suhu
Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan
suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 0C) dalam waktu maksimum
6 jam.

e ) Pembersihan daging
Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah
menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang
ditampung dalam wadah yang terpisah.

f) Pemotongan
Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah,
dipotongpotong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada
tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak.
Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam
kaleng.

g ) Pengisian
Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging
ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard,
grated).
 Solid : 1 – 2 potong daging putih, bebas serpihan.
 Standard : 2 – 3 potong daging putih, serpihan maksimum 2 %.
 Chunk : serpihan daging putih ± satu kali makan, sepihan flake maks 40 %.
 Flake : potongan daging kecil < chunk
 Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta).

h ) Penambahan medium
Medium ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara
700 – 800C. Pengisian media hingga batas head space atau antara 6 – 10 % dari
tinggi kaleng.
i) Penutupan kaleng
Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan dilakukan
pemeriksaan secara periodik.

j) Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan jenis dan
ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau equivalent dengan nilai
Fo > 2,8 menit pada suhu 1200C. Pada setiap sterilisasi harus dilakukan pencatatan
suhu secara periodik.

k ) Penurunan suhu dan pencucian


Penurunan suhu dan pencucian menggunakan air yang mengandung residu
klor 2 ppm. Setelah dikeluarkan dari retort, kaleng dipindahkan ke tempat yang
terlindung (restricted area) untuk pendinginan dan pengeringan.

l) Pemeraman
Kaleng yang telah dingin dimasukkan ke dalam suatu ruang dengan suhu
kamar dan diletakkan dengan posisi terbalik, dan kemudian dilakukan pengecekan
terhadap kerusakan kaleng. Kaleng yang dianggap rusak adalah kaleng yang
menggembung atau bocor. Pemeraman dilakukan minimal selama 7 (tujuh) hari.
BAB IV
PENUTUP

4. 1 Simpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
a ) Penyebab bahaya dari setiap tahapan adalah adanya bahaya dalam kerusakan
fisik, baik itu dari bahan baku maupun dari kaleng.
b ) Bahan baku yang terkontaminasi oleh alat, air, dan pekerja yang kurang bersih
dan steril.
c ) Bahaya kimia dan biologis dengan terkontaminasi/ tercemar oleh bakteri dan
mikroba karena alat, suhu, waktu, dan proses yang kurang baik sehingga
memicu pertumbuhan bakteri ini.
d ) Bahaya kesalahan penimbangan, penulisan kode, tanggal/ bulan/ tahun produksi,
dan lain-lain.
e ) Bahaya penyimpanan produk yang terkontaminasi panas, dingin, debu, kotoran,
dan benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan pada produk.

4. 2 Saran
Ada beberapa hal yang menjadi saran dalam setiap proses pengolahan adalah
bahaya dari setiap proses terutama penggunaan suhu sesuai dengan mata rantai, hal ini
dapat menimbulkan pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen. Selain itu konsep Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP) perlu diterapkan pada setiap pengolahan
serta perbaikan program HACCP pada setiap tahapan proses yang menjadi CCP,
antara lain berupa penataan Good Manufacturing Practices (GMP), standarisasi bahan
baku ikan tuna yang dibeli, keseragaman mutu dan jenis kaleng.
DAFTAR PUSTAKA

Challinor A. 2003. Food Safety Advisory Note 29. htttp://www.valeroyal.gov.uk Chesire


Chief Officer’s Food Liaison Group. 5 Mei 2005

Codex Alimentarius Commission. 2001. Food hygiene. Basic Texts. 2nd ed. Di dalam Huss
HH, Ababouch L, Gram L. 2003. Assessment and management of seafood safety and
quality. FAO Fisheries Technical Paper. No. 444. Roma: FAO.

Codex Allimentarius Comission. 2004. Guidelines for Application of The Hazard Analysis
Critical Control Point System. Report of the 27th Session of The Codex Comittee on
Food Hygiene, ALINORM 95/27/13, Annex to Appendix III. Geneva, 28 Juni-3 Juli
2004.

[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712. Ikan Tuna Dalam Kaleng. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional

[DSN] Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2712.2. Penanganan dan Pengolahan
Ikan Tuna Dalam Kaleng. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional

Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Pedoman Penerapan Program Manajemen Mutu


Terpadu (PMMT) Berdasarkan Konsepsi HACCP. Jakarta: Direktorat Usaha dan
Pengolahan Hasil. Direktorat Jenderal Perikanan

Hayes GD, Scallan AJ, Wong JHF. 1997. Applying statistical process control to monitor and
evaluate the hazard analysis critical control point hygiene data. Food control 8;74;173-
176 Josupeit H, Catarci C. 2004. The World Tuna Industry-An Analysis of Imports,

Josupeit H. 2005. Global World Tuna Market. Infofish Tuna Conference at Maldives.
http://www.globefish.com. 2 Juni 2005

Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Wiryanti J, Witjaksono HT.
2001. Jakarta: Konsepsi HACCP

Prices and of Their Combined Impact on Tuna Catches and Fishing Capacity. FAO.
http://www.globefish.com. 23 Juli 2005

Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Sistem pengendalian mutu produk perikanan di Indonesia :


keadaan sekarang dan problematikanya. Di dalam Seminar for Promotion of
Sustainable Development of Fisheries in Indonesia, with special emphasis on
promotion of domestic fish consumption and development of local fishing industry;
Jakarta: 16-19 Maret 2004.

Wirakartakusumah MA, Hermanianto D, Andarwulan N. 1989. Prinsip Teknik

Anda mungkin juga menyukai