Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan merupakan bahan pangan yang mengandung nilai gizi tinggi. Ikan
juga merupakan sumber protein hewani yang sangat baik dan rendah kolesterol
sehingga membuat ikan sebagai bahan makanan yang sehat dan aman untuk
dikonsumsi. Konsumsi ikan dapat bermanfaat untuk mencegah penyakit
arteriosklerosis karena didalam tubuh ikan banyak mengandung asam lemak
tidak jenuh omega 3 dan taurin dalam jumlah yang tinggi. Dewasa ini di negara
maju maupun negara berkembang, kesadaran untuk mengonsumsi ikan semakin
meningkat dan pola makan serta gaya hidup mereka beralih terutama untuk
protein intake, dari semula yang bersumber dari hasil peternakan sekarang
beralih pada hasil perikanan (Agustini, 2003).
Sebagaimana diketahui bahwa produk hasil perikanan mudah sekali
mengalami kemunduran mutu/kerusakan sehingga dalam penanganannya
membutuhkan kecermatan, kecepatan, dan ketepatan untuk menghindari
terjadinya kemunduran mutu. Sekarang ini masalah jaminan mutu dan keamanan
pangan terus berkembang sesuai dengan tuntutan dan persyaratan konsumen
serta dengan tingkat kehidupan dan kesejahteraan manusia. Bahkan pada
beberapa tahun terakhir ini, konsumen telah menyadari bahwa mutu dan
keamanan pangan tidak hanya bisa dijamin dengan hasil uji pada produk akhir di
laboratorium saja. Mereka berkeyakinan bahwa dengan pemakaian bahan baku
yang baik, ditangani atau di manage dengan baik, diolah dan didistribusikan
dengan baik akan menghasilkan produk akhir pangan yang baik pula. Oleh
karena itu, berkembanglah berbagai sistem yang dapat memberikan jaminan
mutu dan keamanan pangan sejak proses produksi hingga ke tangan konsumen
salah satunya yakni HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) (Daulany,
2010).
Adanya beberapa kasus penyakit dan keracunan makanan serta terakhir
adanya issue keamanan pangan (food safety) di negara-negara maju, maka
sejak tahun 1987 konsep HACCP ini berkembang, banyak dibahas dan
didiskusikan oleh para pengamat, pelaku atau praktisi pengawasan mutu dan
keamanan pangan serta oleh para birokrat maupun kalangan industriawan dan
ilmuan pangan. Bahkan karena tingkat jaminan keamanannya yang tinggi pada

1
setiap industri pangan yang menerapkannya, menjadikan sistem ini banyak
diacu dan diadopsi sebagai standar proses keamanan pangan secara
internasional. Codex Alimentarius Commission (CAC) WHO/FAO pun telah
menganjurkan dan merekomendasikan diimplementasikannya konsep HACCP ini
pada setiap industri pengolah pangan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Siapakah tim HACCP pada proses pembuatan Bekasam ikan mujair?
2. Bagaimana deskripsi produk bekasam ikan mujair?
3. Siapa saja pengguna produk bekasam ikan mujair?
4. Bagaimanakah diagram alir proses pembuatan bekasam ikan mujair?
5. Bagaimana verifikasi diagram alir proses pembuatan bekasam ikan mujair?
6. Apa saja analisa bahaya yang terdapat pada proses pembuatan bekasam
ikan mujair, dan bagaimana tindakan pencegahannya?
7. Bagaimana penentuan titik kritis pada proses pembuatan bekasam ikan
mujair?
8. Bagaimana penetapan batas kritis dalam pembuatan bekasam ikan mujair?
9. Bagaimana prosedur pemantauan yang dilakukan pada produk bekasam
ikan mujair?
10. Bagaimana cara menentukan tindakan koreksi pada proses pembuatan
bekasam ikan mujair?
11. Bagaimana penetapan prosedur verifikasi yang dilakukan pada produk
bekasam ikan mujair?
12. Bagaimana penetapan prosedur penyimpanan yang dilakukan pada
produksi bekasam ikan mujair?
1.3. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui hal dibawah
ini pada proses pembuatan bekasam ikan mujair:

1. Tim HACCP
2. Deskripsi produk
3. Identifikasi pengguna produk
4. Diagram alir
5. Verifikasi diagram alir
6. Analisa bahaya dan tindakan pencegahan
7. Penentuan titik kritis

2
8. Penetapan batas kritis
9. Penentuan prosedur pemantauan
10. Penentuan tindakan koreksi
11. Penentuan prosedur verifikasi
12. Penetapan prosedur penyimpanan

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Bekasam
Bekasam merupakan produk fermentasi ikan yang ditambah garam dan
sumber karbohidrat seperti nasi, untuk merangsang pertumbuhan bakteri
penghasil komponen-komponen yang menimbulkan rasa asam dan berperan
dalam memperpanjang daya simpan produk itu sendiri. Pembuatan bekasam
umumnya menggunakan ikan air tawar, contohnya adalah ikan mujair (O.
mossambiscus). Produk bekasam dibuat secara tradisional dengan peralatan
yang sederhana.
Bekasam merupakan hasil atau produk fermentasi secara tradisional yang
dibuat dari ikan air tawar. Metode pengawetan ikan ini sangat praktis dan mudah
dikerjakan dengan peralatan yang sederhana, tidak membutuhkan biaya yang
tinggi serta dapat meningkatkan nilai gizi, digemari masyarakat karena memiliki
aroma dan rasa yang khas serta bernilai ekonomis. Ikan air tawar yang biasa
digunakan untuk pengolahan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, ikan wader,
ikan nila, ikan mujair dan ikan sepat, atau ikan air tawar lainnya (Berlian, 2016).
Pembuatan bekasam secara prinsip ada tiga tahap, yaitu proses
penggaraman, penambahan nasi dan dilanjutkan proses fermentasi. Bekasam
termasuk dalam produk fermentasi yang menggunakan kadar garam tinggi.
Penambahan garam bertujuan untuk menumbuhkan bakteri asam laktat
sehingga pembusukan dapat diminimalisir dan daya simpan produk lebih
panjang. Sedangkan penambahan nasi bertujuan untuk merangsang
pertumbuhan bakteri asam laktat yang berperan menguraikan karbohidrat
menjadi senyawa-senyawa sederhana. Selain digunakan sebagai perangsang
pertumbuhan bakteri asam laktat, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber
makanan bagi bakteri tersebut
Salah satu produk fermentasi ikan yang diproduksi di Indonesia adalah
bekasam. Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara difermentasi
yang melibatkan bakteri asam laktat dan garam. Dalam proses pengolahan
bekasam, ditambahkan sumber karbohidrat seperti nasi bertujuan untuk
merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat akan
menguraikan pati menjadi senyawa-senyawa sederhana yaitu asam laktat, asam
asetat, asam propionat, dan etil alkohol. Senyawa-senyawa ini berguna sebagai
pengawet dan pemberi rasa asam pada produk bekasam (Nuraini, 2014).

4
Penambahan garam pada produk bekasam menurut Indriati (2006),
bertujuan untuk mengekstrak air dan nutrien dari jaringan ikan, sehingga
membentuk larutan garam yang mengandung substrat yang ideal untuk
pertumbuhan bakteri asam laktat dan menghambat pertumbuhan bakteri lain
yang tidak diinginkan. Hal ini menjadikan bakteri asam laktat sebagai
mikroorganisme yang dominan pada produk fermentasi.
Bekasam merupakan suatu produk fermentasi ikan yang memiliki rasa
asam dan tidak rasanya tidak terlalu asin. Pada proses fermentasi, penentuan
waktu optimum sangat dibutuhkan guna menghasilkan produk bekasam yang
memiliki nilai jual dan mutu yang tinggi. Setelah dilakukan perlakuan, produk
bekasam difermentasi selama satu minggu sebagai waktu optimum untuk
pembuatan bekasam.
Bekasam merupakan hasil atau produk fermentasi secara tradisional yang
dibuat dari ikan air tawar, yang diawali dengan proses pembersihan ikan,
pemberian garam dan pemberian nasi serta diinkubasi selama satu minggu.
Lama fermentasi dengan waktu 7 hari menghasilkan mutu bekasam yang terbaik
(Suyatno,2015).
2.2. Identifikasi Ikan Mujair
2.2.1.Klasifikasi dan Morfologi Ikan Mujair

5
(Zipcodezoo, 2017)

Ikan Mujair (O. mossambiscus) memiliki klasifikasi dan ciri morfologi


sebagai berikut:
Ikan mujair O. mossambiscus menurut Kusumadewi (2012), merupakan
ikan air tawar yang umum dikonsumsi oleh masyarakat. Ikan mujair memiliki
ukuran menengah dengan panjang maksimum 40cm, berbentuk pipih dengan
warna hitam keabu-abuan, kecoklatan, hingga kuning. Ikan mujair betina memiliki
warna kehitaman, sedangkan ikan mujair jantan memiliki warna keperakan.
Ciri-ciri morfologi lain dari ikan mujair adalah mulutnya agak besar dan
memiliki gigi-gigi halus. Letak mulut terminal atau diujung tubuh. Sisik ikan mujair
kecil-kecil bertipe steroid. Tubuhnya memiliki garis vertikal. Warna ikan mujair
tergantung pada lingkungan atau habitat yang dihuni.
Ikan mujair dengan nama ilmiah Oreochromis mossambica adalah ikan
omnivora. Ikan mujair merupakan ikan pemakan segalanya seperti tumbuh-
tumbuhan air, diatom, chlorophyceae, dinophyceae, cyanophyceae, dan

6
crustaceae renik dan merupakan ikan yang rakus. Ikan yang masih kecil
cenderung makan plankton dan zooplankton (Syahril, 2016).
Ikan mujair banyak dikonsumsi masyarakat dikarenakan memiliki nilai gizi
yang tinggi. Ikan mujair memiliki sumber protein, vitamin, dan mineral yang
diperlukan oleh tubuh. Kandungan gizi pada 100g ikan mujair adalah air 79,7g,
energi 89 kkal, protein 18,7g, lemak 1g, dan karbohidrat 0g. Komposisi dari
daging ikan tergantung pada faktor biologis dan faktor alam. Faktor biologis
merupakan faktor yang berasal dari ikan itu sendiri yang meliputi jenis ikan,
umur, dan jenis kelamin. Faktor alam merupakan semua faktor luar yang tidak
berasal dariikan meliputi habitat (daerah kehidupan ikan), musim, dan jenis
makanan yang tersedia (Permatasari, 2012).
2.2.2.Habitat Ikan Mujair
Ikan mujair berasal dari perairan Afrika, yaitu sekitar daratan rendah
Zambezi, Shire dan daratan pantai delta Zambezi sampai pantai Algoa. Pada
saat ini, ikan mujair telah tersebar luas sekurang-kurangnya ke 90 negara di
dunia, termasuk Indonesia. Ikan mujair diperkenalkan sebagai ikan budidaya
atau ikan komersiap di Indonesia.
Ikan mujair menurut Kusumadewi (2012), ditemukan pada habitat mulai
dari payau, air tawar, hingga air laut. Ikan mujair dapat bertahan pada keadaan
payau karena memiliki toleransi pada salinitas tinggi serta suhu yang berbeda.
Ikan ini jarang ditemukan pada daerah ketinggian dan dikenal sebagai ikan
tropis.
Ikan mujair hidup pada perairan air tawar, seperti waduk, danau, atau rawa.
Toleransi yang luas terhadap salinitas, membuat ikan jenis ini juga dapat hidup di
air payau dan air laut. Ikan mujair bersifat omnivora yang mengkonsumsi detritus,
crustacea, bentos, tumbuhan dan berbagai bentuk makanan suplemen yang
tersedia di air.
2.3. Pengertian HACCP
Pengertian HACCP menurut Yuniarti (2015), merupakan salah satu standar
keamanan pangan yang diakui. HACCP merupakan suatu piranti (sistem) yang
digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendaian yang
memfokuskan pada pencegahan. HACCP diterapkan pada seluruh mata rantai
proses pengolahan produk pangan.
HACCP berbicara mengenai kualitas produk melalui pengendalian proses
produksi. HACCP pada awalnya dibuat untuk program luar angkasa NASA untuk

7
meindungi para astronot dari bahaya kimia, fisik, dan mikrobiologi yang ada pada
makanan, Noordhuizen. Codex Alimentarius Commission dalam European
Committee for Standardisation (2004), menjabarkan sistem Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) adalah:
1. Suatu sistem yang memiliki landasan ilmiah dan yang secara sistematis
mengidentifikasi potensi-potensi bahaya tertentu serta cara-cara
pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan.
2. Sebuah alat untuk memperkirakan potensi bahaya dan menentukan sistem
pengendalian yang berfokus pada pencegahan terjadinya bahaya dan
bukannya sistem yang semata-mata bergantung pada pengujian produk
akhir.
3. Sebuah sistem yang mampu mengakomodasi perubahan-perubahan
seperti perkembangan dalam rancangan alat, cara pengolahan atau
perkembangan teknologi.
4. Sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh rantai makanan dari
produksi primer hingga konsumsi akhir, dimana penerapannya dipandu
oleh bukti-bukti ilmiah tentang resiko terhadap kesehatan manusia.
Pengertian HACCP menurut Sudarmaji (2005), merupakan suatu tindakan
preventif yang efektif untuk menjamin keamanan pangan. Sistem ini mencoba
untuk mengidentifikasi berbagai bahaya yang berhubungan dengan suatu
keadaan pada saat pembuatan, pengolahan atau penyiapan makanan, menilai
risiko risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur
pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih
diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin keamanan
makanan. Pendekatan HACCP ini akan membantu dalam perencanaan berbagai
kegiatan keamanan makanan dan pendidikan kesehatan yang memusatkan
perhatian pada berbagai bahaya yang berhubungan dengan jenis makanan yang
dikonsumsi dan makanan yang diolah dan disiapkan
Sudarmaji (2005), juga menjabarkan pengertian HACCP yang lain yakni
analisa bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat
diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi pangan
yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan
pangan. Bahaya tersebut meliputi :
1. keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau
fisik pada bahan mentah.

8
2. Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil
perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada
produk antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
3. Kontaminasi atau kontaminasi ulang ( cross contamination) pada produk
antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
2.3.1.Manfaat HACCP
Terdapat beberapa keuntungan pokok yang diperoleh pemerintah dan instansi
kesehatan serta konsumen dari penerapan HACCP sebagai alat pengatur
keamanan makanan:
1. HACCP adalah suatu pendekatan yang sistematis yang dapat diterapkan
pada semua aspek dari pengamanan makanan, termasuk bahaya secara
biologi, kimia, dan fisik pada setiap tahapan dari rantai makanan mulai dari
bahan baku sampai penggunaan produk akhir.
2. HACCP dapat memberikan dasar nuansa statistik untuk
mendemonstrasikan kegiatan yang dapat atau mungkin dilakukan untuk
mencegah terjadi bahaya sebelum mencapai konsumen.
3. Sistem HACCP memfokuskan kep ada upaya timbulnya bahaya dalam
proses pengolahan makanan.
4. Penerapan HACCP melengkapi sistem pemeriksaan oleh pemerintah
sehingga pengawasan menjadi optimal.
5. Pendekatan HACCP memfokuskan pemeriksaan kepada tahap kegiatan
yang kritis dari proses produksi y ang langsung berkaitan dengan konsumsi
makanan.
6. Sistem HACCP meminimalkan risiko kesehatan yang berkaitan dengan
konsumsi makanan.
7. Dapat meningkatkan kepercayaan akan keamanan makanan olahan dan
karena itu mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan
(Suklan, 1998).
2.3.2.Konsep Pelaksanaan HACCP
Sistem HACCP menurut Hermansyah (2013), berdasar pada tujuh prinsip
sebagai berikut:
Prinsip 1 : Melakukan suatu analisis potensi bahaya.
Prinsip 2 : Menentukan Titik-titik Pengendalian Kritis.
Prinsip 3 : Menyusun batas-batas kritis.
Prinsip 4 : Menyusun suatu sistem untuk mengawasi pengendalian CCP.

9
Prinsip 5 : Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika
suatu titik pengendalian kritis (CCP) berada diluar batas
Prinsip 6 : Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa
sistem HACCP bekerja efektif.
Prinsip 7 :Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua
prosedur dan catatan-catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini
beserta aplikasinya.
Berbeda dengan konsep HACCP diatas, menurut CAC konsep HACCP
terdiri dari 12 langkah, dimana tujuh prinsip HACCP diatas juga tercakup
didalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan sistem HACCP
menurut CAC adalah sebagai berikut:

10
Indonesia mengadopsi sistem HACCP versi CAC tersebut dan
menuangkannya dalam acuan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya
dan Pengendalian TitikTitik Kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya yaitu
Pedoman BSN 1004/1999. Sistem yang penerapannya masih bersifat sukarela
ini telah digunakan pula oleh Departemen Pertanian RI dalam menyusun
Pedoman Umun Penyusunan Rencana Kerja Jaminan Mutu Berdasarkan
HACCP atau Pedoman Mutu Nomor 5.
Konsep HACCP dikembangkan pada awal tahun 1970 sebagai sistem
untuk meyakinkan keamanan produk pangan. HACCP memuat peralihan
penekanan dari pengujian produk akhir menjadi pengendalian dan pencegahan
aspek kritis produksi pangan. Sistem ini telah mendapat pengakuan dunia
internasional, penerapannya di dalam produksi makanan yang aman telah diakui
WHO sebagai metode yang efektif untuk mengendalikan foodborne disease.
Penerapan HACCP tidak hanya terbatas pada industri pangan modern tetapi
juga dapat diterapkan dalam pengelolaan makanan untuk pasien di rumah sakit,
katering atau jasa boga, makanan untuk hotel dan restoran, bahkan dalam
pembuatan makanan jajanan. Penerapan HACCP sangat penting karena
pengawasan pangan yang mengandalkan uji produk akhir (sistem konvensional)
tidak dapat menjamin keamanan pangan (Zulfana, 2008).

11
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1. Tim HACCP
Tim HACCP kelompok 4 terdiri dari lima orang, yang terdiri dari tiga
perempuan dan dua laki-laki. Tim HACCP terdiri atas ketua atau koordinator tim,
wakil, dan beberapa anggota tim. Adapun nama anggota dan masing-masing
tugasnya adalah sebagai berikut:
No. Nama Fungsi Jabatan dalam Tugas
dalam Tim Tim HACCP
HACCP
1. Inas Kinana Koordinator Ahli Mikrobiologi, - Menentukan dan
tim dan ahli HACCP mengontrol lingkup
HACCP yang akan
digunakan dalam
proses produksi
bekasam
- Mengarahkan
desain dan
implementasi sistem
HACCP dalam
produksi bekasam
- Mengkoordinasi dan
mengetuai
pertemuan-
pertemuan tim
- Memelihara
dokumentasi atau
rekaman HACCP
dari awal produksi
sampai seterusnya
- Memelihara dan
mengimplementasik
an hasil audit
internal dari sistem
HACCP
- Memiliki keahlian
dalam
berkomunikasi dan
kepemimpinan serta
memiliki perhatian
yang tinggi terhadap
usaha produksi
bekasam yang

12
dijalankan.
2. Anis Mirza Wakil Manager bagian - Membantu ketua
Agustina Koordinator produksi (mengerti HACCP dalam
bahan baku dan melaksanakan
proses produksi) tugasnya
- Memberi masukan
kepada ketua
terkait sistem
HACCP yang
diterapkan
3. Mia Agustina Anggota Staff Quality - Mengorganisasi,
Tim Assurance atau mengumpulkan
Staff Quality data dan
Control mendokumentasika
n studi HACCP
dalam proses
produksi bekasam
- Mengkaji ulang
semua
penyimpangan dari
batas kritis
- Melakukan internal
audit HACCP plan
- Mengkomunikasika
n operasioanal
HACCP
- Memiliki sifat
multidisiplin
- Memahami resiko
dan bahaya yang
ada
4. Bagus Anggota Staff Quality - Mengorganisasi,
Juliansyah Tim Assurance atau mengumpulkan
Staff Quality data dan
Control mendokumentasika
n studi HACCP
dalam proses
produksi bekasam
- Mengkaji ulang
semua
penyimpangan dari
batas kritis
- Melakukan internal
audit HACCP plan
- Mengkomunikasika
n operasioanal

13
HACCP
- Memiliki sifat
multidisiplin
Memahami resiko
dan bahaya yang
ada
5. Zhargi Lutfi Anggota Personil dari - Memahami dan
Permana Tim bagian mengerti tentang
Teknis/Engineering desain higienis dan
operasi dari proses
produksi bekasam

Tim HACCP yang namanya tertera diatas telah menyusun rencana HACCP
(HACCP plan), serta telah memverivikasi dan mengimplementasikan sistem
HACCP. Tim HACCP diatas telah memiliki pengetahuan tentang bahaya-bahaya
yang menyangkut keamanan pangan. Jika masalah yang ada tidak dapat
dipecahkan secara internal, maka perlu meminta saran dari ahli atau konsultan
HACCP. Tim diatas juga telah memutuskan lingkup HACCP yang meliputi
dimana harus memulai dan dimana harus berhenti serta apa saja yang harus
dimasukkan dalam sistem HACCP.
Tim yang namanya tertera diatas juga telah mengikuti pelatihan yang
direkomendasikan untuk dijalankan oleh tim HACCP. Bentuk pelatihan formal
yang telah dilakukan meliputi materi berikut ini:
1. Pengenalan dan Implementasi HACCP
2. Dokumentasi Sistem HACCP
3. Internal Audit Sistem HACCP
4. On the job training pada System Monitoring/Corrective Action.
Keberhasilan penerapan HACCP dipengaruhi oleh kompetensi Tim HACCP
yang dibentuk. Kurangnya pengetahuan Tim HACCP untuk menganalisa bahaya
dan membangun interaksi yang benar tentang HACCP plan akan mempengaruhi
penerapan HACCP. Tim HACCP yang ditunjuk harus memiliki kepedulian
terhadap keamanan pangan (Hilman, 2014).
Tim HACCP menurut Koswara (2009) harus memiliki latar belakang
pendidikan atau pengalaman kerja yang beragam (multi disiplin). Jumlah Tim
HACCP terdiri dari 5-6 orang dari berbagai bagian atau latar belakang keilmuan
misalnya ahli mikrobiologi, sanitasi, ahli kimia, ahli rekayasa, bagian pembelian,
bagian QA/QC dst. Orang-orang yang dilibatkan dalam Tim yang ideal adalah
meliputi : (1) Staff Quality Assurance atau Staff Quality Control; (2) Personil

14
Bagian Produksi (mengerti bahan baku dan proses produksi); dan (3) Personil
dari bagian Teknis/Engineering; dan (4) Ahli Mikrobiologi.
3.2. Deskripsi Produk
Produk Bekasam Ikan Mujair dideskripsikan oleh kelompok 4 sebagai
berikut:
No. Spesifikasi Tolak Ukur
1. Nama Produk Bekasam Ikan Mujair
2. Komposisi Ikan Mujair, Beras, Garam dapur
3. Cara Produksi Penerimaan bahan baku berupa ikan
mujair ikan mujair disiangi meliputi
pembuangan insang, isi perut, dan
sisik kemudian ikan dicuci dengan
air mengalir dan ditiriskan 1 jam
sambil menunggu ikan ditiriskan,
masak nasi dengan cara mencuci
beras terlebih dahulu kemudian
ditanak di rice cooker dengan
perbandingan air:beras 1:1
kemudian tahap pencampuran yakni
mencampurkan ikan:garam:nasi
dengan perbandingan masing-masing
1:0,2:1 (w/w) diaduk hingga rata
sekitas 15 menit produk
dimasukkan dalam stoples yang
dilapisi daun pisang kering dan
diatasnya diberi pemberat kemudian
stoples baru ditutup hingga benar-
benar rapat difermentasi dengan
cara dibiarkan selama 7-10 hari
produk bekasam didistribusikan
4. Perlakuan pada produk Pencucian, penyiangan, penggaraman,
selama diproduksi pemberian nasi, pengadukan,
packaging, dan fermentasi
5. Karakteristik Produk Akhir Lembek dan berbau asam
6. Struktur Fisika Produk Lembek

15
Sedikit berair
7. Struktur kimia produk Kadar garam 3,26%
Nilai pH 4,46
8. Metode Pengawetan Dengan cara fermentasi selama 7-10
hari
9. Jenis Bahan Pengemas Kemasan primer : daun pisang kering
Kemasan sekunder: Stoples bening
jenis PP
Kemasan tersier : keranjang
10. Informasi pada Label Nama produk, berat bersih, label halal,
nama produsen, alamat produksi,
tanggal produksi, komposisi, zat gizi,
manfaat/kegunaan, nomer telepone
untuk pemesanan, gambar produk,
dan tanggal kadaluarsa
11. Cara Penyimpanan Ditumpuk bertingkat, tiap tumpukan
maksimal 10 stoples
12. Kondisi Penyimpanan Pada suhu ruang dengan kondisi
udara sejuk dan kering

13. Lama Umur Simpan 2-3 minggu pada suhu ruang


14. Metode distribusi Pada suhu ruang
15. Cara Distribusi Didistribusikan menggunakan mobil
box dengan ditumpuk didalam
keranjang, tiap keranjang berisi 40
stoples, tiap tumpukan maksimal 10
stoples
16. Cara Penyiapan Konsumsi Diolah terlebih dahulu seperti digoreng,
ditumis, atau di masak dengan bumbu

17. Target Konsumen Ibu rumah tangga, warung makan


kecil, restoran, dan umum

16
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian
dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi produk
yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk, termasuk jenis
produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan, daya simpan, cara distribusi,
serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut
diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif
(eBook Pangan, 2006).
Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai
komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, pH, dll.), perlakuan-perlakuan
mikrosidal/statis (seperti perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman,
pengasapan, dll.), pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta
metode pendistribusiannya (SNI, 1998).
3.3. Identifikasi Pengguna Produk
Peruntukan penggunaan bekasam ikan mujair ini didasarkan pada
kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna akhir atau konsumen.
Tujuan penggunaan produk ini dimaksudkan untuk untuk memberikan informasi
apakah produk tersebut dapat didistribusikan kepada semua populasi atau hanya
populasi khusus yang sensitif (balita, manula, orang sakit dan lain-lain). Produk
bekasam ini ditujukan untuk konsumsi umum. Tidak ada kelompok populasi yang
peka untuk mengonsumsi bekasam ikan mujair ini. Jadi manula, balita, wanita
hamil, orang sakit, dan orang dengan daya tahan terbatas dapat mengonsumsi
bekasam ikan mujair. Bekasam ikan mujair memiliki nilai gizi tinggi yang
dibutuhkan oleh masyarakat umum.
Alasan diatas didukung dengan literatur Berlian (2016), bahwasannya
Produk makanan yang difermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih
tinggi dari bahan asalnya. Hal ini disebabkan karena mikroba pada produk
fermentasi dapat memecah komponen yang kompleks pada bahan pangan
menjadi bahan-bahan yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah dicerna dan
juga mikroba tersebut dapat mensintesis beberapa vitamin.
Dengan teknologi fermentasi, bahan-bahan tradisional yang murah dapat
menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta bergizi. Melalui proses
fermentasi bahan-bahan tersebut akan mengalami perubahan fisik dan kimia
yang menguntungkan seperti perubahan citarasa, aroma, tekstur, daya cerna,
dan daya simpan. Produk fermentasi ikan merupakan sumber zat gizi yang
sangat baik karena merupakan produk fermentasi protein sehingga protein

17
tersebut akan lebih mudah untuk dicerna, mengandung asam lemak tak jenuh
yang cukup tinggi, termasuk asam lemak omega-3, mengandung vitamin dan
mineral serta memiliki citarasa yang khas yang dapat membangkitkan selera
makan (Soetrisno, 2005).
Langkah ketiga dari dua belas langkah penerapan HACCP adalah
identifikasi rencana atau tujuan penggunaan produk. Identifikasi rencana
penggunaan produk dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan deskripsi
produk. Identifikasi rencana atau tujuan penggunaan produk perlu dilakukan
karena setiap produk memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda terhadap
konsumen. Identifikasi penggunaan produk bertujuan untuk menginformasikan
apakah produk tersebut dapat dikonsumsi oleh semua populasi atau hanya oleh
populasi tertentu saja (Tondas, 2013).
3.4. Proses Pembuatan Bekasam Ikan Mujair
3.4.1. Alat dan Bahan
Alat
1. Timbangan : Sebagai alat untuk menimbang berat ikan, nasi, dan
garam
2. Baskom : sebagai tempat untuk mencampur ikan, nasi, dan garam
3. Pisau : Sebagai alat untuk memotong dan menyiangi ikan
4. Sendok : Sebagai alat bantu untuk mencampur
5. Stoples : Sebagai wadah fermentasi bekasam
6. Rice cooker : Sebagai alat penanak nasi
7. Batu : Sebagai pemberat
8. Saringan : Sebagai alat peniris ikan
Bahan
1. Ikan Mujair : Sebagai bahan baku pembuatan Bekasam
2. Beras : Sebagai sumber karbohidrat
3. Garam dapur : Sebagai pengawet dan pemberi cita rasa
4. Daun pisang : Untuk menutup Bekasam selama fermentasi
5. Air : Untuk mencuci ikan dan beras

18
3.4.2. Diagram Alir (General Manufacturing Practices)

Penerimaan bahan baku

Ikan disiangi

Dicuci dan ditiriskan 1 jam

Ikan:garam:nasi = 1:0,2:1 (w/w) Beras

Diaduk merata 15 menit Dicuci

Ditanak (rice cooker)


Dimasukkan kedalam stoples tidak air:beras = 1:1 (w/w)
sampai penuh dan dilapisi daun pisang
kering yang atasnya diberi beban serta
ditutup hingga rapat.

Difermentasi 7-10 hari

Bekasam

Pendistribusian

19
Diagram alir proses menurut Koswara (2009), disusun dengan tujuan untuk
menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain
bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat
juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin
mengerti proses dan verifikasinya. Diagram alir harus meliputi seluruh tahap-
tahap dalam proses secara jelas mengenai:

Rincian seluruh kegiatan proses termasuk inspeksi, transportasi,


penyimpanan dan penundaan dalam proses.
Bahan-bahan yang dimasukkan kedalam proses seperti bahan baku,
bahan pengemas, air, udara dan bahan kimia
Keluaran dari proses seperti limbah: pengemasan, bahan baku, product-
inprogress, produk reproses (rework), dan produk yang dibuang (ditolak).
Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan
mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
dihasilkannya produk jadi untuk disimpan. Pada beberapa jenis produk,
terkadang disusun diagram alir proses sampai dengan cara pendistribusian
produk tersebut. Hal tersebut tentu saja akan memperbesar pekerjaan
pelaksanaan HACCP, akan tetapi pada produkproduk yang mungkin mengalami
abuse (suhu dan sebagainya) selama distribusi, maka tindakan pencegahan ini
menjadi amat penting (eBook Pangan, 2006).
3.5. Verifikasi Diagram Alir
Diagram alir yang digunakan telah sesuai dengan penelitian Vonistara
(2010), yakni dengan menggunakan perbandingan ikan:garam:nasi = 1:0,2:1
(w/w). Penanakan beras juga dilakukan dengan perbandingan beras:air = 1:1
(w/w). Pada penelitian ini juga menggunakan waktu untuk fermentasi bekasam
yaitu selama 7-10 hari.
Tim HACCP telah melakukan peninjauan proses operasi untuk menguji dan
membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses pembuatan
bekasam ikan mujair tersebut. Verifikasi dilakukan dengan cara mengamati aliran
proses mulai dari awal diterimanya bahan baku, sampai dengan produk jadi dan
dipasarkan. Adapun parameter yang diamati meliputi parameter sensori, sifat
fisika, kimia, dan mikrobiologi dari produk bekasam ikan mujair. Penentuan kadar
komposisi proses pembuatan bekasam ikan mujair juga telah dilakukan
pengujian berulang kali untuk mendapatkan komposisi yang diinginkan.
Penentuan kadar ini dilakukan dengan pengujian bekasam ikan mujair

20
menggunakan kadar komposisi yang berbeda kemudian sampel diambil yang
mewakili dan ditentukan komposisi mana yang paling baik.
Tim HACCP sebagai penyusun bagan alir harus mengkonfirmasi
operasional produksi dengan semua tahapan dan jam operasi serta bilamana
perlu mengadakan perubahan bagan alir (SNI, 1998).

21
3.6. Analisa Bahaya dan Tindakan Koreksi

Tahap Penyebab Potensi


No. Basis Tindakan Pencegahan
Proses Bahaya Bahaya

Biologi Mungkin terdapat bakteri pada


Ya Kontrol ulang bahan baku disetiap penerimaan
(S. aureus) daging Ikan Mujair
dan bekerjasama dengan pemasok yang
Kemungkinan adanya tambahan berkualitas.
Kimia Ya
Penerimaan bahan kimia seperti formalin
1
Bahan Baku
Menjaga kebersihan alat dan wadah
Kerusakan daging atau masuknya
Fisika Ya benda asing saat pengangkutan
Menjaga kebersihan pekerja dan melakukan
dan distribusi.
pengecekan kualitas ikan

Adanya kontaminasi bakteri


Biologi Ya pathogen karena kurangnya Saniter dalam melakukan penanganan
sanitasi dan hygiene
Penyiangan Kimia Tidak
2
ikan
Daging mengalami kerusakan dan Penanganan dilakukan secara cermat, tepat dan
Fisika Ya
kurang cermat dalam menyiangi cepat dengan tenaga kerja ahli.

Adanya bakteri pathogen dalam Melakukan kontol terhadap kesediaan dan kulitas
Biologi Ya air (Coliform/ E.coli) serta sisa air serta melakukan pencucian dengan air
3 Pencucian darah yang masih tertinggal mengalir

Kimia Tidak

22
Kerusakan daging ikan akibat Melakukan penanganan dengan tepat saat
Fisika Ya
kesalahan penanganan pencucian
Terjadi kontaminasi silang
Menjaga kebersihan alat dan wadah yang
Biologi Ya dengan alat dan wadah yang
digunakan
digunakan penanganan
4 Penirisan
Kimia Tidak
Fisika Tidak
Timbul bakteri halofilik (S.
aureus) yang masih dapat Segera pisahkan produk yang teridentifikasi
Biologi Ya
tumbuh dengan adanya garam patogen

5 Penggaraman Menggunakan perbandingan ikan dan garam yang


Kimia Ya Salt burn
tepat
Kemungkinan adanya zat besi
Fisika Ya atau tembaga karena pemakaian Menggunakan garam berkualitas
garam tidak murni

Adanya bakteri pathogen dalam Melakukan kontol terhadap kesediaan dan kulitas
Biologi Ya air (Coliform/ E.coli) serta benda air serta melakukan pencucian dengan air mengalir
Pencucian
6 asing
Beras
Kimia Tidak
Fisika Tidak
Terdapatnya mikroorganisme
patogen (Coliform / E.Coli) dalam Teratur mengkontrol air yang digunakanuntuk
Biologi Ya
Pemasakan air yang digunakan untuk proses
7 menanak
Beras
Kimia Tidak
Fisika Tidak

23
Adanya kontaminasi yang terjadi
Menjaga kebersihan alat dan wadah yang
Biologi Ya saat penambahan beras dengan
Penambahan digunakan untuk proses
8 alat dan wadah yang digunakan
Nasi
Kimia Tidak
Fisika Tidak
Adanya kontaminasi silang dari Menjaga kebersihan sendok dengan cara mencuci
Biologi Ya sendok yang digunakan untuk sendok dengan sabun dan air mengalir setiap
pengadukan produk setelah digunakan untuk mengaduk
9 Pengadukan
Kimia Tidak
Terjadinya kerusakan daging
Fisika Ya Mengaduk produk dengan hati-hati
akibat kesalahan pengadukan
Adanya kontaminasi bakteri dari Membersihkan atau Mensterilisasi wadah terlebih
Biologi Ya
Dimasukkan toples yang digunakan dahulu
10
dalam toples Kimia Tidak
Fisika Tidak
Adanya kontaminasi dari bahan Memperhatikan kebersihan bahan pelapis yang
Biologi Ya
Pelapisan pelapis yang digunakan akan digunakan
11
Daun Pisang Kimia Tidak
Fisika Tidak
Adanya kontaminasi dari bahan Memperhatikan kebersihan pemberat yang akan
Biologi Ya
Pemberian pemberat yang digunakan digunakan
12
Pemberat Kimia Tidak
Fisika Tidak
Penutupan stoples tidak dilakukan
dengan cepat dan tepat,
Penutupan akibatnya mikroorganisme lain Melakukan penutupan stoples dengan cepat dan
13 Biologi Ya
Stoples yang tidak diinginkan dapat tepat serta menjaga kebersihan tutup stoples
masuk
Kondisi tutup stoples yang kurang

24
bersih dapat mengakibatkan
kontaminasi silang
Kimia Tidak
Fisika Tidak
Kemungkinan tumbuhnya bakteri
Memperhatikan suhu yang harus digunakan untuk
yang tidak diinginkan karena suhu
Biologi Ya fermentasi
yang tidak sesuai dan
14 Fermentasi Menjaga sanitasi dan hygiene dari awal proses
kontaminasi dari awal proses
Kimia Tidak
Fisika Tidak
Perlakuan distribusi yang salah,
meliputi wadah pendistribusian
yang tidak pernah dicuci,
meletakkan produk tidak sesuai Selalu membersihkan peralatan atau alat distribusi
Biologi Ya aturan akibatnya ada tutup secara berkala, dan melakukan proses distribusi
Proses
15 stoples yang terbuka, serta mobil dengan hati-hati dan sesuai aturan
distribusi
box yang tidak pernah dibersihkan
sehingga ada sisa-sisa produk
yang tertinggal di mobil
Kimia Tidak
Fisika Tidak

25
3.7. Titik Kritis (Critical Control Point)
3.7.1. Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree)

Adakah tindakan
Q1 pencegahan?
Lakukan modifikasi tahapan
pada proses atau produk
Ya Tidak

Apakah pencegahan pada tahapan Ya


ini perlu untuk keamanan pangan?

Tidak Bukan CCP Berhenti

Apakah tahapan ini ditujukan untuk menghilangkan / Ya


Q2 mengurangi bahaya sampai batas aman?

Tidak

Apakah bahaya dapat terjadi atau


Q3 meningkat sampai melebihi batas?

Ya Tidak Bukan CCP Berhenti

Apakah tahap selanjutnya dapat menghilangkan


Q4 atau mengurangi bahaya sampai batas aman

Ya Tidak CCP

Bukan CCP Berhenti

26
Penetapan Critical Control Point (CCP) dapat dilakukan dengan
menggunakan pohon keputusan CCP (CCP Decision Tree). Penentuan CCP
didasarkan pada empat pertanyaan yang ada pada pohon keputusan,
pertanyaan ini dijawab secara beruntun dan urut. Pohon keputusan sangat
membantu dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya (Fakhmi, 2014).

Pohon keputusan adalah 4 pertanyaan yang disusun berturut-turut dan


dirancang untuk menilai secara obyektif CCP mana yang diperlukan untuk
mengendalikan potensi bahaya yang telah teridentifikasi. Cara penggunaan
pohon keputusan serta pemahaman yang dibuat selama analisis harus dicatat
dan didokumentasikan. Penggunaan pohon keputusan haruslah bersifat lentur
dan masuk akal. Pada beberapa kasus, penggunaannya penting untuk
membalikkan masalah (European Committee of Standarisation 2004).

27
3.7.2. Penentuan Titik-Titik Kritis (Critical Control Points)
No. Proses Jenis Bahaya Q1 Q2 Q3 Q4 CCP
1. Penerimaan bahan baku Biologi No - - - Not CCP
Fisika
Kimia
2. Penyiangan ikan Biologi Yes No No - Not CCP
Fisika
3. Pencucian ikan Biologi Yes No - - Not CCP
Fisika
4. Penirisan ikan Biologi Yes No No - Not CCP
5. Penggaraman Biologi Yes Yes - - CCP
Kimia
Fisika
6. Pencucian Beras Biologi Yes No - - Not CCP
7. Pemasakan Beras Biologi No No - - Not CCP
8. Penambahan nasi Biologi Yes Yes - - CCP
9. Pengadukan Biologi Yes No No - Not CCP
Fisika
10. Pemasukan kedalam stoples Biologi Yes No No - Not CCP
11. Pelapisan daun pisang Biologi Yes No No - Not CCP
12. Pemberian pemberat Biologi Yes No No - Not CCP
13. Penutupan stoples Biologi Yes No No - Not CCP
14. Fermentasi 7-10 hari Biologi Yes Yes - - CCP
15. Distribusi Biologi No No - - Not CCP

28
Penambahan garam pada pembuatan bekasam bertujuan untuk
mengekstrak air dan nutrien dari jaringan ikan, sehingga membentuk larutan
garam yang mengandung substrat yang ideal untuk pertumbuhan bakteri lain
yang tidak diinginkan. Hal ini menjadikan bakteri asam laktat sebagai
mikroorganisme yang dominan pada produk fermentasi. Bakteri asam laktat yang
berperan dalam fermentasi produk bekasam adalah L. coryneformis dan P.
damnosus (Indriati, 2006).

Selain itu, peningkatan asam yang terlihat pada pembuatan bekasam yaitu
asam meningkat secara cepat (drastis), setelah beberapa hari keasaman
meningkat dengan perlahan, kemudian setelah karbohidrat yang terdegradasi
hampir habis asam tersebut mulai konstan kembali. Asam yang terbentuk berasal
dari karbohidrat nasi dan dari karbohidrat ikan itu sendiri. Karbohidrat ini sebagai
makanan dari bakteri asam laktat yang mengubah glukosa menjadi asam laktat
(Berlian, 2016).
Pada fase lag proses fermentasi total bakteri pembentuk asam masih
cukup rendah karena kondisi untuk berkembang belum mendukung. Akan tetapi
semakin lama fermentasi, jumlahnya semakin meningkat. Hal ini sangat
berpengaruh pada produk bekasam yang dihasilkan (Widowati, 2011).

3.8. Penetapan Batas Kritis (Critical Limit)


No. CCP Komponen Kritis

1. Penggaraman Penambahan garam sebanyak


0,2% dari berat ikan.
2. Penambahan nasi Penambahan nasi setara dengan
berat ikan. Ikan : nasi = 1:1
3. Fermentasi Lama fermentasi selama 7-10 hari

CLs (batas kritis) harus dispesifikasi dan divalidasi untuk masing-masing


CCP. Dalam beberapa hal, lebih dari satu batas krits harus diterapkan pada
suatu tahapan tertentu. Tahapan ini harus memungkinkan untuk dibuat pada
masing-masing CCP dari satu atau beberapa batas kritis, berikut pengawasanya
yang menjamin pengendalian CCP. Suatu batas kritis adalah kriteria yang harus
diperoleh dengan cara pengendalian yang berhubungan dengan CCP (suhu,
waktu, pH, dsb). Batas kritis bisa berupa serangkaian faktor seperti suhu, waktu
(waktu minimum paparan), dimensi fisik produk, aktivitas air, kadar air, pH, klorin

29
yang tersedia, dsb. Batas kritis juga bisa berupa parameter sensoris seperti
kenampakan (deteksi wadah yang rusak) dan tekstur (European Committee of
Standarisation 2004).
Untuk setiap CCP yang teridentifikasi maka harus ditentukan batas kritis.
Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman
sehingga proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Batas kritis ini
tidak boleh dilewati untuk menjamin bahwa CCP secara efektif mengendalikan
bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. Kriteria yang lazim digunakan untuk
menentukan batas kritis adalah kriteria fisik seperti suhu, waktu, tingkat
kelembaban, Aw dan kekentalan, serta kriteria kimia seperti pH, residu klorin
bebas, kadar asam tertitrasi, konsentrasi pengawet, konsentrasi garam. Kriteria
mikrobiologi tidak digunakan sebagai batas kritis karena pengukurannya
memerlukan waktu lama. Selain itu pengukuran fisik dan kimia dapat digunakan
sebagai indikator pengukuran atau pengendalian mikrobiologis (Koswara, 2009).
3.9. Penentuan Prosedur Pemantauan
Monitoring dalam konsep HACCP pada proses produksi bekasam ikan
mujair merupakan tindakan dari pengujian atau observasi yang dicatat oleh unit
usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan ini untuk menjamin bahwa
critical limit tidak terlampaui batas. Untuk menyusun prosedur monitoring,
pertanyaan-pertanyaan siapa, apa, dimana, mengapa, bagaimana dan kapan
harus terjawab yakni apa yang harus dievaluasi, dengan metode apa, siapa yang
melakukan evaluasi tersebut, jumlah dan frekuensi yang diterapkan.
Pemantauan berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu
checklist dan dilakukan pula suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu
datasheet. Pada tahap ini, tim HACCP dari produk bekasam ikan mujair sangat
memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa
saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan pemantauan.
Pertanyaan apa harus dijawab apa yang dimonitor, yaitu berdasarkan
batas kritis yang ditetapkan seperti jumlah atau banyaknya garam dan nasi
sebagai sumber karbohidrat yang ditambahkan serta lama waktu fermentasi
bekasam ikan mujair. Monitoring pada batas kritis ditujukan untuk memeriksa
apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada CCP sudah terkendali,
efektif dan terencana untuk mempertahankan keamanan produk bekasam ikan
mujair tersebut. Pertanyaan mengapa dijawab dengan alasan bahwa tidak
dimonitor apabila melampaui batas kritis akan menyebabkan tidak terkendalinya

30
bahaya tertentu dan memungkinkan menyebabkan tidak amannya produk.
Pertanyaan dimana mengacu pada titik mana atau pada lokasi mana monitoring
harus dilakukan. Pertanyaan bagaimana menanyakan metode monitoring, yakni
secara sensori, kimia, dan pengukuran lainnya. Berikutnya adalah pertanyaan
kapan dilakukan monitoring. Terakhir adalah pertanyaan siapa yang melakukan
monitoring, yakni personil yang mempunyai akses yang sangat mudah pada
CCP, mempunyai ketrampilan dan pengetahuan akan CCP dan cara monitoring,
sangat terlatih dan berpengalaman.
Monitoring pada proses pembuatan bekasam ikan mujair dilakukan dengan
cara:
a. Observasi visual
Dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada setiap produk
bekasam ikan mujair setelah proses produksi, observasi visual dilakukan
secara berkala pada produk.
b. Evaluasi sensori
Mengukur, menganalisa, dan mengintepretasikan produk bekasam ikan
mujair berdasar indera manusia, seperti pengelihatan, penciuman, dan
perasa.
c. Pengujian fisika, kimia, dan mikrobiologi pada produk bekasam ikan mujair
secara berkala
Monitoring merupakan tindakan pemantauan atau pengukuran yang
terencana, atau observasi atas keefektifan proses pengendalian suatu CCP tetap
didalam batas-batas kritisnya. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu
mengendalikan proses, menentukan apakah terjadi hilang kendali dan
penyimpangan CCP serta menyediakan dokumentasi tertulis yang dapat
digunakan untuk klarifikasi lima aspek penting dalam menetapkan prosedur
pemantauan titik kendali kritis (CCP) (Putri, 2008).
Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal seorang
kerabat PKC terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat
menemukan kehilangan kendali pada TKK . Oleh karena itu, penting untuk
menentukan sepenuhnya bagaimana, kapan dan oleh siapa pemantauan yang
akan dilakukan. Pemantauan adalah proses yang bergantung pada produsen
untuk menunjukkan bahwa rencana HACCP sedang diikuti. Ini menyediakan
produsen dengan catatan akurat memungkinkan produsen untuk menunjukkan
bahwa kondisi produksi telah sesuai dengan rencana HACCP (Rahayu, 2013).

31
3.10. Penetapan Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas
kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan,
sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan
berisiko tinggi, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi
sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak
dipasarkan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan
selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja
ulang produk, serta tindakan pencegahan seperti memverifikasi setiap
perubahan yang telah diterapkan dalam proses dan memastikannya agar tetap
efektif (eBook Pangan, 2006). Tindakan koreksi pada pembuatan bekasam ikan
mujair dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
No. Penyimpangan pada CCP Tindakan koreksi

1. Penggaraman Diisolasi dari produk yang baik dan


dilakukan pengujian dengan
mengambil sampel yang mewakili
populasi. Jika dalam pengujian
menunjukkan bahwa produk tidak
aman untuk dikonsumsi atau terjadi
penurunan mutu, maka dilakukan
tindakan penghancuran dan
dipasarkan ke pasar yang berbeda,
misalnya dikirim ke pasar pakan
untuk dijadikan pakan hewan.
Tindakan ini dilakukan karena
penambahan garam berfungsi untuk
menumbuhkan bakteri asam laktat
yang ada pada bekasam sehingga
produk tidak basi. Sehingga
penambahan garam yang tidak
sesuai dapat menimbulkan bahaya
keamanan produk yaitu tumbuhnya
bakteri pathogen lain yang tidak
diinginkan (bakteri pembusuk)

32
2. Penambahan nasi Diisolasi dari produk yang baik dan
dilakukan pengujian dengan
mengambil sampel yang mewakili
populasi. Jika dalam pengujian
menunjukkan bahwa produk tidak
aman untuk dikonsumsi atau terjadi
penurunan mutu, maka dilakukan
tindakan penghancuran dan
dipasarkan ke pasar yang berbeda,
misalnya dikirim ke pasar pakan
untuk dijadikan pakan hewan. Nasi
atau sumber karbohidrat merupakan
komponen penting bagi bakteri asam
laktat yang ditumbuhkan pada
produk bekasam. Nasi digunakan
sebagai makanan bagi bakteri asam
laktat pada produk dengan cara
mendegradasi karbohidrat menjadi
gula sederhana. Penambahan nasi
yang tidak sesuai akan dapat
menimbulkan bahaya keamanan
produk bekasam berupa tidak
turunnya pH bekasam menjadi asam
dan menyebabkan kebusukan hal ini
tentu saja sangat membahayakan
konsumen apabila dikonsumsi
karena terdapat bakteri pathogen lain
yang tidak dikehendaki.
3. Fermentasi selama 7-10 hari Diolah kembali. Semakin lama
proses fermentasi berlangsung maka
semakin banyak pula bakteri asam
laktat yang terbentuk dan akan
menghasilkan aroma dan rasa yang
semakin kuat/menyengat karena
suasana menjadi asam. Maka dari

33
itu, apabila dalam pengolahan
bekasam waktu fermentasi dirasa
kurang, maka dapat dilakukan
tindakan pengolahan kembali
(fermentasi) sampai menghasilkan
produk yang diinginkan.

Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi


antara lain, yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan
dan mengontrol mikroorganisme, yaitu merangsang pertumbuhan
mikroorganisme yang diinginkan berperan dalam fermentasi, dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan pathogen. Garam juga berfungsi
menyeleksi mikroorganisme yang menghasilkan enzim proteolitik. Selama proses
fermentasi terjadi pemecahan protein oleh enzim proteolitik menjadi molekul-
molekul yang lebih sederhana (Berlian, 2016).

Terjadinya penurunan pH selama fermentasi pada produk yang


menggunakan karbohidrat diduga karena adanya penambahan sumber
karbohidrat nasi yang lebih banyak sehingga menyebabkan ketersediaan karbon
lebih banyak yang dapat dimanfaatkan bakteri asam laktat untuk tumbuh dan
diduga menghasilkan asam laktat. karbohidrat dalam proses fermentasi terurai
menjadi gula sederhana berupa dekstrosa, manosa, dan sukrosa yang
digunakan oleh bakteri asam laktat sebagai sumber energi dan menghasilkan
senyawa-senyawa yang bersifat asam misalnya asam laktat dan senyawa
senyawa lain yang bersifat volatil yang menyebabkan suasana asam sehingga
pH produk rendah (Nuraini, 2014).
Penggunaan bakteri asam laktat dalam fermentasi merupakan cara yang
relatif mudah, murah dan aman, karena untuk merangsang pertumbuhan bakteri
tersebut cukup dirangsang dengan penambahan sumber karbohidrat dan garam
dengan jumlah optimum dalam kondisi anaerob. Pada kondisi aerob, mikroba-
mikroba yang dapat hidup dalam konsentrasi garam tinggi adalah Micrococcus,
ragi dan kapang, sedangkan pada kondisi anaerob yang dominan adalah bakteri
asam laktat (Candra, 2006).
Hasil penelitian Suyatno (2015), menyatakan bahwa lama fermentasi
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rupa, aroma, rasa, tetapi tidak

34
memberi pengaruh nyata terhadap tekstur bekasam ikan gabus. Berdasar hasil
analisis lama fermentasi bekasam ikan gabus memberi pengaruh nyata terhadap
aroma, hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi terjadi proses
penguraian protein dimana bakteri dan enzim menguraikan komponen-
komponen makro pada ikan terutama protein menjadi senyawa-senyawa
sederhana. Sedangkan untuk perubahan rasa terjadi karena selama proses
fermentasi asam amino akan mengalami peningkatan akibat adanya pemecahan
protein, yang mana kandungan asam amino yang tinggi akan mempengaruhi cita
rasa.
3.11. Penetapan Prosedur Verifikasi
Pada tahap ini, dilakukan pemerikasaan sistem HACCP secara menyeluruh
untuk menjamin bahwa sistem yang telah tertulis menjamin bahwa makanan
yang diproduksi aman untuk dikonsumsi dan mutunya bagus. Verifikasi terdiri
dari 4 kegiatan:
a. Validasi HACCP
Tujuan tindakan ini adalah untuk mengkonfirmasi HACCP plan sudah valid
atau benar sebelum diterapkan, konfirmasi ini meliputi:
Semua bahaya telah diidentifikasi
Tindakan pencegahan telah diidentifikasi untuk tiap bahaya
Critical limit telah cukup menjamin keamanan produk
Prosedur pemantauan dan peralatannya telah cukup untuk
memperoleh informasi yang diperlukan dan terkalibrasi
b. Tinjauan terhadap hasil pemantauan CCP
Rekaman dari kegiatan pemantauan dan tindakan koreksi telah ditinjau
secara harian. Rekaman ini diberi identifikasi dan tanggal pemeriksaan.
Peninjauan dilakukan oleh operator, manager, dan supervisor.
c. Pengujian Produk
Produk mulai dari penerimaan sampai produk akhir mutu dan
keamanannya terjamin.
d. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan yang bersifat independen dan sistematik
untuk menentukan apakah kegiatan mutu dan hasil-hasilnya telah sesuai dengan
pengaturan yang direncanakan dan apakah pengaturan-pengaturan tersebut
telah diimplementasikan secara efektif, dan cocok untuk mencapai tujuan. Audit
dapat dilaksanakan secara:

35
Internal : dilaksanakan oleh orang-orang intern perusahaan
Eksternal : dilakukan oleh pihak di luar perusahaan.

Verifikasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam penyusunan


rencana kerja dan pelaksanaan HACCP Plan. Catatan verifikasi pada rencana
HACCP antara lain tinjauan terhadap rencana HACCP dan rekamannya, tinjauan
terhadap penyimpangan dan disposisi produk, kesesuaian dengan titik kendali
kritis, inspeksi visual proses produksi, hasil pengujian atau audit dan penulisan
laporan. Prosedur yang dilakukan secara keseluruhan berjalan efektif (Sarwono,
2007).

36
3.12. Penetapan Prosedur Penyimpanan

Prosedur Monitoring Dokmenta


Tahapan Batas Tindakan
Verifikasi si dan
Proses CCP Kritis What How Where Who When Koreksi
Record
Penggarama Kadar Kadar garam Melakukan Lokasi Personil CCP Pada saat Dilakukan Dilakukan
n garam 0,2% yang penimbangan bertempat yang telah produksi pengujian, pengujian
dari berat digunakan garam di ruang memiliki apabila tidak kelayakan
ikan dengan penggaram keterampilan layak produk dengan
timbagan an dan konsumsi mengambil
digital yang pengetahui dihancurkan sampel
telah mengenai bekasam ikan
dikalibrasi. CCP dan mujair yang
Timbangan monitoring mewakili.
secara serta sangat
berkala terlatih dan
dikalibrasi berpengalam
selama 3 an
bulan sekali memonitoring
proses
penggarama
n bekasam
ikan mujair
Penambahan Penambaha Jumlah nasi Melakukan Bertempat Personil CCP Pada saat Dilakukan Dilakukan
nasi n nasi yang penimbangan di lokasi yang telah Produksi pengujian, pengujian
setara ditambahkan nasi dengan yang sama memiliki apabila tidak kelayakan
dengan pada produk timbagan dengan keterampilan layak produk dengan
berat ikan, digital yang proses dan konsumsi mengambil
nasi:ikan = telah penggaram pengetahuan dihancurkan sampel
1:1 dikalibrasi. an mengenai bekasam ikan

37
Timbangan CCP dan mujair yang
secara monitoring mewakili.
berkala serta sangat
dikalibrasi terlatih dan
selama 3 berpengalam
bulan sekali. an
Serta memonitoring
menggunaka proses
n timbangan penambahan
yang nasi. Personil
berbeda CCP ini
dengan orang yang
timbangan sama pada
yang monitoring
digunakan penambahan
untuk garam.
menimbang
garam
Fermentasi Lama Lama waktu Melakukan Lokasi di Personil CCP Setiap hari Proses pemantauan
selama 7-10 fermentasi fermentasi pengecekan ruang yang ahli dilakukan fermentasi secara berkala
hari selama 7- berkala khusus dalam bidang pemantau dilanjutkan dan
10 hari setiap hari untuk monitoring an selama hingga pemeliharaan
selama 7-10 fermentasi proses 7-10 hari mendapat kondisi dan
hari, hingga fermentasi. produk tempat
menghasilka Personil ini bekasam fermentasi
n kualitas memiliki ikan mujair seperti suhu,
produk yang penginderaa dengan kelembapan, dll.
dikehendaki n yang peka kualitas yang
karena sesuai
proses
monitoring

38
disini
berkaitan
dengan
visualisasi
dan
penginderaa
n dalam
penentuan
kualitas
produk
secara
visual.

39
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan pada pembahasan ini yaitu adanya penyusunan Tim HACCP
untuk mengatur segala kegiatan pada bagian produksi. Pada tim HACCP
terdapat Koordinator tim sebagai ahli HACCP, wakil Koordinator sebagai
Manager produksi bahan baku, anggota tim yaitu sebagai quality control, dan
sebagai Teknisi/engineering. Lalu sebelum proses produksi produk akan
diidentifikasi dulu mulai dari bahan formula, struktur kimia, jenis bahan
pengemas, cara penyimpanan dan lain-lain. Pada proses selanjutnya adalah
proses pembuatan bekasam mujair, pada saat proses pembuatan bekasam ikan
mujair disusun diagram alir pembuatan produk dengan mencatat seluruh
kegiatan proses sejak diterima bahan baku sampai produk dilakukan analisis
bahaya.Pada tindakan koreksi bekasam ikan mujair terdapat kriteria bahaya yaitu
secara fisik, biologi, dan kimia. Penetapan batas kritis pada bekasam ikan mujair
yaitu pada saat penggaraman dengan pemberian 0,2% dari berat ikan.
Penambahan nasi dengan berat ikan : nasi skala 1:1, Fermentasi dengan lama
waktu 7-10 hari. Tindakan koreksi dilakukan pada proses penggaraman dan
pemberian nasi jika tidak mengalami perubahan menjadi asam maka dilakukan
pengahancuran karena dapat mengundang bakteri pathogen, pada proses
fermentasi jika waktu fermentasi dirasa kurang maka dapat dilakukan fermentasi
lagi karena meningkatnya jumlah bakteri asam laktat dapat menambah aroma
dan rasadari bekaasam ikan mujair semakin kuat.
4.2. Saran
Pertama saran yang diberikan pada penentuan HACCP digunakan produk
yang dapat dicari pada semua jurnal atau umum, Karena pada penentuan
HACCP pada produk bekasam sangat sulit, dan yang terakhir pada produk
bekasam pemberian pengendalian kualitas bahaya yang lebih spesifik, jika tidak
ada HACCP pada kategori produk ini maka lebih baik tidak digunakan karena
antara proses pengendalian kualitas dan harga ekonomi pada produk ini
berbanding terbalik.

40
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, T. W., dan F. Swastawati. 2003. Pemanfaatan Hasil Perikanan Sebagai
Produk Bernilai Tambah (Value-Added) dalam Upaya
Penganekaragaman Pangan.Jurnal Teknol dan Industri Pangan, Vol.
XIV(1).
Berlian, Zainal., Syarifah., dan I. Huda. 2016. Pengaruh Kuantitas Garam
Terhadap Kualitas Bekasam. Jurnal Biota Vol.2 (2) : 151-157.
Candra, Joddi Iryadi. 2016. Isolasi dan Krakterisasi Bakteri Asam Laktat dari
Produk Bekasam Ikan Bandeng (Chanos chanos). Skripsi. Program
Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Daulany, S. S. Dan W. Madya. 2010. Hazard Analysis Critical Control Point
(Haccp) Dan Implementasinya Dalam Industri Pangan. Pusdiklat
Industri.
eBook Pangan. 2006. Rencana HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point)Industri Chicken Nugget.
eBookPangan.com.2016.
European Committee of Standarisation. 2004. Pelatihan Penerapan Metode
HACCP. EC-ASEAN Economic Cooperation Programme on Standards,
Quality and Conformity Assessment Food Sub-Programme.
Fakhmi, A., A. Rahman., dan L. Riawati. 2014. Desain Sistem Keamanan
Pangan Hazard Analysis And Critical Control Point (Haccp) Pada Proses
Produksi Gula Pg. Kebon Agung Malang. Jurnal Rekayasa dan
Manajemen Sistem Industri. Vol.2(6).
Hermansyah, M., Pratikto., R. Soenoko., dan N. W. Setyanto. 2013. Hazard
Analysis And Critical Control Point (Haccp) Produksi Maltosa Dengan
Pendekatan Good Manufacturing Practice (Gmp). Jemis Vol.1(1).
Hilman, M. S., dan Z. F. Ikatrinasari. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Efektifitas Penerapan Sistem Haccp. Jurnal Standardisasi Vol.16(3): Hal
223-234.
Indriati, Ninoek., Indriarto P., D. Setiawan., dan Yulneriwarni. 2006. Potensi
Antobakterial Bakteri Asam Laktat dari Peda, Jambal Roti, dan
Bekasam. Jurnal Perikanan VIII (2) : 153-159.
Koswara, Sutrisno. 2009. HACCP dan Penerapannya pada Produk Bakery.
eBokk Pangan.
Kusumadewi, Made Rahayu. 2012. Tingkat Biokonsentrasi Logam Berat dan
Gambaran Histopalogi Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus L.) yang
Hidup di Perairan Tukad Badung Kota Denpasar. Tesis. Program Pasca
Sarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
Nuraini, Azizah., R. Ibrahim., dan L. Rianingsih/ 2014. Pengaruh Penambahan
Konsentrasi Sumber Karbohidrat dari Nasi dan Gula Merah yang
Berbeda Terhadap Mutu Bekasam Ikan Nila Merah (Oreochromis
niloticus). Jurnal Saintek Perikanan Vol. 10 (1) : 19-25.
Permatasari, Putri Karunia. 2012. Nugget Tempe dengan Substitusi Ikan Mujair
Sebagai Alternatif Makanan Sumber Protein, Serat, dan Rendah Lemak.

41
Artikel Penelitian. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro.
Putri, E. W. 2008. Kajian Awal Sistem Hazard Analysis Critical
Control Point (Haccp) Pada Produksi Susu Pasteurisasi Di Milk
Treatment Kpbs Pengalengan Bandung. Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, T. B. 2013. Hygiene dan Sanitasi Kerja. PKK S1 Tata Boga, Teknologi
Jasa dan Produksi, Universitas Negeri Semarang.
Sarwono, E. 2007. Mempelajari Penerapan Haccp Pada Unit
Pengolahan Produk Chicken Nugget Pt Japfa Santori Indonesia. Skripsi.
Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Soetrisno. L., dan R. R. S. Apriyantono. 2005. Mutu Gizi dan Keamanan
Bekasam Produk Fermentasi Ikan Teri Secara Spontan dan
Penambahan Kultur Murni. PGM 28(1): 38-42.
Standar Nasional Indonesia.1998. SNI 01-4852-1998: Sistem Analisa Bahaya
dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya.
Sudarmaji. 2005. Analisis Bahaya Dan Pengendalian Titik Kritis
(Hazard Analysis Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan
Vol.1(2).
Suyatno., N. I. Sari., dan S. Loekman. 2015. Pengaruh Lama Fermentasi
Terhadap Mutu Bekasam Ikan Gabus (Channa striata). JOM.
Syahril., E. Soekendarsi., dan Z. Hasyim. 2016. Perbandingan Kandungan Zat
Gizi Ikan Mujair Oreochromis mossambica Danau Universitas
Hasanuddin Makassar dan Ikan Danau Mawang Boa. Bioma : Jurnal
Biologi Makassar 1(1): 1-7.
Tondas, Y. G. 2013. Kajian Aplikasi Haccp Pada Proses Produksi
Ayam Goreng Di Salah Satu Restoran Cepat Saji Di Kota Bogor. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Vonistara, F. T. R. D. Palupi., dan A. Muhammad. 2010. Proses Fermentasi
Bekasam Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Sebagai Salah Satu Upaya
Pengawetan Produk Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Brawijaya.
Widowati, Tri Wardani., M. Taufik., A. Wijaya. 2011. Pengaruh Pra Fermentasi
Garam Terhadap Karakteristik Kimiawi dan Mikrobiologis Bekasam Ikan
Patin. Prosiding Semiratra. Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN
Wilayah Barat.
Yuniarti, R., W. Azlia., dan R. A. Sari. 2015. Penerapan Sistem Hazard Analysis
Critical Control Point (Haccp) Pada Proses Pembuatan Keripik Tempe.
Jurnal Ilmiah Teknik Industri, Vol 14 (1).
Zulfana, I., dan Sudarmaji. 2008. Hazard Analysis And Critical Control Point
(Haccp) Pada Pengelolaan Makanan Pasien Rawat Inap Di Rumah
Sakit Islam Lumajang. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.4(2): 57-68.

42

Anda mungkin juga menyukai