Anda di halaman 1dari 42

PENGAWASAN MUTU PANGAN

Pelaksanaan HACCP pada Pembuatan Tempe Pabrik Rumahan di Batu


Ampar Kramat Jati Jakarta Timur

Disusun Oleh:

Kelompok 1

AYU LARASATI (P231311170)

NUR SINTA DIAH AYUNI (P23131117069)

VIRGINNIA ANANDA (P23131117084)

ZAINI LAILI FAJRIAH (P23131117086)

Kelas DIV/5B

Dosen :

JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

JAKARTA 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat

dan hidayah-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan Laporan

Praktikum Pelaksanaan Haccp di Pabrik Tempe Rumahan Cipondoh Tangerang tepat pada

waktunya. Penulis Mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak yang

telah memberikan saran dan arahan kepada penulis dalam penyusunan laporan praktikum ini.

Laporan ini sangat jauh dari kesempurnaan,mengingat refrensi yang didapat tidak
terlalu banyak. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini dimasa mendatamg.

Jakarta, Novemberr 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Keamanan pangan masih menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam
industri pangan atau penyelenggaraan makanan. Salah satu penyebab kematian
adalah dapat bersumber dari pangan, bisa karena penyakit bawaan dari
makanan tersebut atau cara pengolahan yang kurang tepat. Keracunan makanan
terjadi ketika bakteri atau patogen jenis tertentu yang membawa penyakit
mengontaminasi makanan, dapat menyebabkan penyakit keracunan makanan
yang sering disebut dengan “keracunan makanan”. Salmonella, Campylobacter,
Listeria, dan Escherichia coli (E. coli) merupakan jenis bakteri yang kerap
menyebabkan keracunan makanan. Jenis makanan yang cenderung dihinggapi
bakteri, antara lain: daging, unggas, produk olahan susu, telur, produk laut, nasi
matang, buah potong, tempe. Jenis makanan di atas cenderung dihinggapi oleh
bakteri, namun jenis makanan lain juga berpotensi terkontaminasi atau
kontaminasi silang jika perlakuan terhadap makanan tersebut kurang layak,
selama proses pemasakan, penyimpanan, pendistribusian, maupun proses
penyajian makanan siap santap. Beberapa orang yang berisiko tinggi terkena
penyakit keracunan makanan, diantaranya ialah ibu hamil, anak-anak, lanjut usia,
serta orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah (WHO, 2015).
Tempe adalah makanan tradisional yang dihasilkan dari fermentasi biji kedelai atau
beberapa bahan lainnya. Fermentasi menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus,
seperti Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan beberapa jenis
kapang Rhizopus lainnya (PUSIDO, 2012). Dimana pada proses fermentasi akan terjadi
hidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi sederhana, sehingga baik untuk dicerna.
Tempe merupakan makanan yang kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B, dan zat
besi (Cahyadi, 2007). Tempe yang baik adalah tempe yang tampak kompak, seluruh
bahan diselaputi miselia kapang yang berwarna putih, tidak bernoda hitam akibat
timbulnya spora, tidak berlendir, mudah diiris, tidak busuk dan tidak berbau amonia.
Sebagai makanan tradisional, tempe kedelai berpotensi untuk digunakan melawan radikal
bebas karena tempe mengandung antioksidan alami yang diproduksi oleh kapang tempe.
Oleh karena itu, dikembangkan sistem jaminan keamanan pangan yaitu
Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang merupakan suatu
tindakan preventif untuk menjamin keamanan pangan. Sistem HACCP diamati
dari pengadaan bahan makanan hingga distribusi makanan, serta menentukan
titik kritis pada proses-proses tertentu yang memicu timbulnya risiko keamanan
pangan. Pendekatan HACCP ini akan membantu dalam kegiatan keamanan
pangan dengan memusatkan perhatian pada berbagai bahaya yang
berhubungan dengan jenis makanan yang diolah hingga dikonsumsi. Bahaya
akan dikendalikan secara lebih spesifik.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tempe merupakan salah satu jenis
makanan yang cenderung dihinggapi bakteri. Tempe merupakan salah satu
bahan makanan yang sering digunakan sebagai produk pangan yang diolah di
masyarakat. Salah satu hidangan yang berbahan dasar tempe yaitu tempe
mendoan, orek tempe. Bakteri bisa saja hilang apabila penanganan dari proses
penyimpanan, persiapan, pengolahan, dan distribusi ditangani dengan hygiene
dan sanitasi yang baik. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti HACCP
pada pabrik rumahan tempe

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana perencanaan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)
pabrik rumahan tempe?

1.3 Tujuan
 Umum
Dari kunjungan industry yang dilakukan mahasiswa mendapatkan sebanyak
informasi dan dapat membuat Hazard Analysis & Critical Control Point dari
produk yang di produksi Industry dan memberikan saran dan masukan yang baik
bagi pemilik pabrik industry.
 Khusus
1) Melakukan wawancara denga pemilik pabrik
2) Memperhatikan dan mencatat di setiap proses produksi ( persiapan,
pengolahan, packaging, distribusi)
3) Mendokumentasi kunjungan industry
4) Membuat laporan kujungan industry
1.4 Manfaat
 Bagi Siswa
1) Dapat menyelesaikan tugas matakuliah PMP
2) Melihat cara kerja, dan berbagai macam alat – alat produksi yang digunakan
3) Mendapat gambaran umum tentang risiko keamanan pangan, mencegah bahaya
dalam keamanan pangan di pabrik industry pangan.

 Bagi Industri
1) Dapat berbagi ilmu dengan mahasiswa
2) Mengajak dan memperlihatkan proses produksi bagi mahasiswa
3) Memperkenalkan sejarah singkat berdirinya industri kepada mahasiswa
4) Memperkenalkan hasil produksi kepada masyarakat luas.
5) Mendapatkan saran dan masukan yang sifatnya membangun dari mahasiswa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian HACCP

HACCP adalah suatu sistem control dalam upaya pencegahan terjadinya masalah
yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis didalam tahap penangananan dan proses
produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan
untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventif) yang
dianggap dapat memberikan jaminan dalam mengahsilkan makanan yang aman bagi
konsumen. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik
pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan
kepada pengujian produk akhir.Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan
keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk
meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem HACCP juga dianggap sebagai
alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses
produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobilogis, kimia dan fisik.

HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama
bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga
sampai kepada pengguna akhir. Keberhasilan dalam penerapan HACCP membutuhkan
tanggung jawab penuh dan keterlibatan manajemen serta tenaga kerja. Keberhasilan
penerapan HACCP juga membutuhkan pendekatan tim, tim ini harus terdiri dari tenaga
ahli yang tepat. Tujuan dari penerapan HACCP dalam industri pangan adalah untuk
mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna
memenuhi tuntutan konsumen.HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak
bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi dan didistribusikan. HACCP
juga berfungsi sebagai promosi perdagangan di era pasar global yang memiliki daya saing
kompetitif.

1.1.1 Penerapan HACCP


Panduan Penerapan Sistem HACCP
Program-program yang harus dijalankan sebelum penerapan HACCP
Sebelum mengembangkan suatu pendekatan HACCP ada satu aturan dasar yang harus
diamati:
 Ketika menerapkan HACCP dalam suatu industri pangan, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah meninjau program yang sudah ada untuk mencek ulang
apakah seluruh persyaratan telah dipenuhi dan jika perlu pengendalian dan
dokumentasi (misalnya deskripsi program, orang-orang yang berwenang dan catatan
pengawasan) tersedia.
 Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan HACCP serta
hasil-hasil yang diharapkan dari terpenuhinya persyaratan-persyaratan tersebut
terdapat dalam the Annexe of Directives 93/43/EEC.
Program-program yang harus dijalankan sebelumnya:
Tahapan-tahapan umum dan atau prosedur yang mengendalikan kondisi
operasi dalam suatu perusahaan terdaftar yang memungkinkan untuk mengelola
kondisi lingkungan agar mendukung untuk memproduksi makanan yang aman,
seperti:

 Perancangan tempat dan peralatan


 Penyimpanan dan transportasi
 Pencatatan
 Catatan kesehatan dan keselamatan
 Higiene perseorangan dan perilakunya
 Pembersihan /disinfeksi
 Pengendalian hama

Keuntungan yang dapat diperoleh

 Panduan Codex mensyaratkan bahwa:


Sebelum penerapan HACCP ke sektor apapun juga dalam rantai makanan,
sektor tersebut harus beroperasi sesuai dengan Prinsip-prinsip Umum
Codex untuk Higiene Pangan, Pedoman Praktis Codex yang sesuai dan
Peraturan Keamanan Pangan yang sesuai.

 Jika dalam program yang disyaratkan tersebut ada hal yang tidak dilakukan
dengan cukup, maka titik pengendalian kritis tambahan harus diidentifikasi,
diawasi dan dipelihara dalam rencana HACCP yang bersangkutan.
 Pelaksanaan program pendahuluan akan mempermudah penyusunan rencana
pelaksanaan HACCP dan menjamin bahwa integritas rencana HACCP dapat
dipelihara.
 Semakin banyak titik-titik pengendalian kritis yang ada akan semakin sulit
pengelolaan sistem HACCP yang harus dihadapi.
 CCP tidak dapat dikendalikan secara efektif dalam lingkungan yang tidak stabil.

Konsep-konsep yang penting lainnya yaitu pada saat identifikasi potensi


bahaya, evaluasi dan operasi-operasi berikutnya dalam merancang dan menerapkan
sistem HACCP, hal-hal berikut ini harus di pertimbangkan, yaitu:

 Dampak bahan mentah, bahan baku dan cara-cara pembuatan makanan


 Peranan proses pembuatan makanan untuk mengendalikan potensi bahaya.
 Kecenderungan penggunaan produk akhir
 Hal-hal yang menjadi kekhawatiran konsumen
 Bukti epidemiologi yang berubungan dengan keamanan pangan

Penerapan HACCP harus ditinjau ulang dan perubahan-perubahan yang


diperlukan harus dibuat jika suatu modifikasi akan dilakukan pada produk, proses atau
tahap apapun juga. Ketika menerapkan HACCP, fleksibilittas adalah hal yang penting
bilamana dibutuhkan, dengan demikian konteks penerapan harus mempertimbangkan
sifat dan ukuran operasi yang bersangkutan. Sebagai alat bantu dalam pengembangan
pelatihan khusus untuk mendukung rencana HACCP, instruksi kerja dan prosedur
harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat mendefinisikan tugas orang
yang mengoperasikan pada masing-masing titik pengendalian kritis (CCP).

HACCP harus diterapkan pada masing-masing operasi secara terpisah. Tiga


kategori potensi bahaya fisik:
1. Potensi bahaya biologis:
a. Bakteri patogen (kontaminasi, pertumbuhan, ketahanan) beserta toksin-toksin
yang dihasilkannya
b. Virus
c. Jamur dan mikotoksin
d. Protozoa
2. Potensi bahaya kimia
a. Polutan (logam berat...)
b. Produk-produk beracun (pestisida, asam, mineral oils, produk-produk yang
bocor dari mesin,…)
c. Residu obat-obatan hewan dan pestisida.
3. Potensi bahaya fisik:
a. Serpihan gelas atau logam dari mesin atau wadah
b. Benda-benda asing seperti pasir, kerikil atau potongan kayu.
2.1.2 Prinsip-Prinsip HACCP
Sistem HACCP didasarkan pada 7 prinsip berikut ini:

 Prinsip 1
Melakukan suatu analisis potensi bahaya
 Prinsip 2
Menentukan Titik-titik Pengendalian Kritis atau Critical Control Points (CCPs)
 Prinsip 3
Menyusun batas-batas kritis
 Prinsip 4
Menyusun suatu sistem untuk mengawasi pengendalian CCP.
 Prinsip 5
Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika pengawasan
menunjukkan bahwa suatu titik pengendalian kritis (CCP) berada diluar kendali.
 Prinsip 6
Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa sistem HACCP
dapat bekerja dengan efektif.
 Prinsip 7
Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua prosedur dan catatan-
catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini beserta aplikasinya.

2.1.3 Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP


1. Menyusun Tim HACCP
a. Mendefinisikan dan mendokumentasi kebijakan keamanan pangan
Meskipun hal ini mungkin tidak secara eksplisit disyaratkan oleh Codex,
namun tahap ini sangat disarankan sehingga pihak manajemen perusahaan dapat
menunjukkan komitmennya terhadap keamanan pangan dan pengembangan sistem
HACCP.

Ahli-ahli HACCP telah menyarankan bahwa kebijakan yang dikatakan secara


oral harus didefinisikan dan didokumentasikan termasuk tujuan-tujuannya dan
komitmennya terhadap keamanan produk. Hal tersebut harus difokuskan pada
keamanan dan higiene bahan pangan dan harus disesuaikan dengan harapan dan
kebutuhan konsumen.

b. Mendefinisikan lingkup rencana HACCP

Lingkup rencana HACCP (atau bidang yang akan dipelajari) harus didefinisikan
sebelumnya sebelum memulai studi HACCP.
Bagian dari studi HACCP termasuk:

 Membatasi studi pada produk atau proses tertentu


 Mendefinisikan jenis potensi bahaya yang akan dimasukkan
 Mendefinisikan bagian rantai makanan yang akan dipelajari

c. Menyusun tim HACCP


Tim bisa terdiri dari 4-10 orang yang menguasai produk dan potensi bahaya
yang hendak diperhatikan. Sebagai acuan, tim HAACP ini terdiri dari pemimpin
produksi, quality control, bagian teknis dan perawatan. Tim ini harus dipilih oleh
pihak manajemen (komitmen pihak manajemen adalah syarat paling awal yang harus
ada untuk mensukseskan studi). Perencanaan, organisasi dan identifikasi suber-
sumber daya yang penting adalah tiga kondisi yang penting untuk penerapan metode
HACCP yang berhasil.

Kesuksesan studi ini tergantung pada:

 Pengetahuan dan kompetensi anggota-anggota tim terhadap produk, proses dan


potensi bahaya yang perlu diperhatikan,
 Pelatihan yang sudah mereka jalani tentang prinsip-prinsip metode ini.
 Kompetensi pelatih
2. Deskripsikan Produk
Menurut Codex Alimentarius, uraian lengkap dari produk ini berhubungan dengan
prioritas produk akhir. Uraian produk akan menjelaskan:

 Karakteristik umum (komposisi, volume, struktur, dst)


 Struktur fisikokimia (pH, aktivitas air, jumlah dan jenis kurator, atmosfir
termodifikasi)
 Bahan pengemas dan cara pengemasan
 Kondisi penyimpanan, informasi tentang pelabelan, instruksi untuk
pengawetan (suhu, batas umur simpan) dan penggunaannya.

 Kondisi distribusi
 Kondisi penggunaan oleh konsumen
Pada prakteknya, informasi ini juga perlu dikumpulkan untuk bahan mentah,
bahan baku, produk antara dan produk yang harus diproses ulang jika bahan-bahan
tersebut memiliki karakteristik tertentu. Informasi yang berhubungan dengan
karaktersitik yang dapat berpengaruh terhadap potensi bahaya yang akan
dipertimbangkan (misalnya suhu, pengawetan atau aktivitas air yang berhubungan
dengan bakteria) akan dikumpulkan pertama kali.

Tahapan ini sangat penting dan tidak boleh diremehkan. Tujuannya adalah untuk
mengumpulkan informasi yang dapat diandalkan tentang suatu produk, komposisi,
perilaku, umur simpan, tujuan akhir, dan sebagainya. Keraguan akan ketidakpastian
(pH, Aw dan sebagainya) harus dihilangkan pada tahapan studi ini, jika perlu dengan
cara percobaan dan pengujian. Data yang dikumpulkan akan digunakan pada tahap
berikutnya dalam studi HACCP, terutama untuk melengkapi Tahap 6 (analisis potensi
bahaya) dan tahap 8 (batas kritis).

3. Identifikasi Tujuan Penggunaan


Peruntukan penggunaan harus didasarkan kepada kegunaan yang diharapkan
dari produk oleh pengguna akhir atau konsumen Tujuan pengunaan ini harus
didasarkan pada manfaat yang diharapkan dari produk oleh pengguna akhir atau
konsumen. Pengelompokan konsumen penting dilakukan untuk melakukan tingkat
resiko dari setiap produk.

Tujuan penggunaan ini dimaksudkan untuk memberi informasi apakah produk


tersebut dapat didistribusikan kepada semua populasi atau hanya populasi khusus
yang sensitif (balita, manula, orang sakit, dll) sedangkan cara menangani dan
mengkonsumsi prosuk juga penting untuk selalu memberi perhatian, misalnya prosuk
siap santap memerlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya kontaminasi.

Dokumen Petunjuk Penggunaan Produk harus sebagai berikut:

 Menunjukkan bahwa telah benar-benar memperhatikan proses pengumpulan dan


pengkajian ulang informasi tentang petunjuk penggunaan oleh konsumen.
 Menggambarkan kepedulian anda akan keamanan konsumen
 Berisi referensi untuk melakukan pengujian, studi dan hasil analisa yang
mendukung informasi yang diberikan oleh dokumen yang disebutkan tadi.

4. Menyusun Diagram Alir


a. Menyiapkan Diagram Alir yang Rinci
Diagram alir harus mencakup seluruh tahapan dalam operasi produk yang
telah ditentukan dalam studi (lingkup rencana HACCP). Sebuah diagram alir adalan
penyajian yang mewakili tahapan-tahapan operasi yang saling berkesinambungan.
Diagram alir proses akan mengidentifikasi tahapan-tahapan proses yang penting (dari
penerimaan hingga perjalanan akhir produk yang sedang dipelajari.

Rincian yang tersedia harus cukup rinci dan berguna untuk tahapan analisis
potensi bahaya, namun harus ada kesetimbangan antara keinginan untuk
mencantumkan terlalu banyak tahapan dan keinginan untuk menyederhanakan secara
berlebihan sehingga rencana yang dihasilkan menjadi kurang akurat dan kurang dapat
diandalkan.

Pada tahapan ini, kemungkinan ada kesulitan tertentu dalam pendefinisian


tahapan operasi, dengan kata lain, seberapa jauh proses tersebut harus dibagi dalam
tahapan-tahapan proses tersendiri. Pada prakteknya pembagian tahap operasi yang
tepat akan memudahkan analisis potensi bahaya.

Untuk menyiapkan diagram alir:

 Mulai dengan membuat diagram yang paling detail yang berisi operasi-operasi
dasar proses tersebut.
 Pertimbangkan urutan operasi-operasi dasar untuk menentukan bagaimana
beberapa operasi dasar dapat dikelompokkan kembali dalam sebuah TAHAPAN
proses.
Penyiapan diagram alir adalah tahapan yang sulit dan sangat penting serta
memerlukan pembahasan yang mendalam antar seluruh anggtota tim HACCP.
Bila mana perlu, informasi pelengkap dapat berupa:

 Masukan: bahan mentah, bahan baku, produk antara selama proses


 KARAKTERISTIK (parameter, kendala) tiap tahapan proses:

o Aliran internal, termasuk tahap daur ulang


o Parameter waktu dan suhu
o Kondisi antar muka (perubahan dari satu tahap ke tahap yang lain)

 Kontak produk dengan lingkungan (kemungkinan kontaminasi dan atau


kontaminasi silang).
 Prosedur pembersihan-disinfeksi dan proses
 Kondisi penyimpanan dan distribusi peralatan dan produk
 Petunjuk yang diberikan untuk penggunaan produk.

b. Penyiapan Skema Pabrik

Sebuah skema pabrik harus dibuat untuk menggambarkan aliran produk dan
lalu lintas pekerja untuk memproduksi produk yang sedang dipelajari. Diagram
tersebut harus berisi aliran seluruh bahan baku dan bahan pengemas mulai dari saat
bahan-bahan tersebut diterima, disimpan, disiapkan, diolah, dikemas/digunakan untuk
mengemas, disimpan kembali hingga didistribusikan.

Diagram alir pekerja harus menggambarkan pergerekan pekerja di dalam


pabrik termasuk ruang ganti, ruang cuci dan ruang makan siang. Lokasi tempat cuci
tangan dan cuci kaki (jika ada) juga harus dicatat. Skema ini harus dapat membantu
mengidentifikasi wilayah yang memungkinkan terjadinya kontaminasi silang di dalam
proses produksi.

Diantara semua informasi yang berharga yang harus dikumpulkan, informasi-


informasi berikut ini wajib diperoleh:

 Bangunan: sifat, konstruksi, pengaturan


 Sifat, fungsi dan jumlah tahapan proses
 Kemungkinan terdapatnya wilayah yang dilindungi
 Sifat sambungan dan peralatan
 Aliran internal:
- Gerakan udara
- Penggunaan air
- Pergantian staff
Skema pabrik harus memberikan informasi tentang:

 Bagaimana kontaminasi silang dikendalikan


 Bagaimana kontaminasi dari lingkungan dikendalikan
 Bagaimana higiene perorangan dapat ditegakkan
 Dimana resiko terjadinya kontaminasi silang

5. Verifikasi Diagram Alir Proses


Tim HACCP harus memverifikasi proses pengolahan yang sesungguhnya
dengan diagram alir dan skema pabrik pada seluruh tahapan dan jam operasi dan bila
mana perlu mengubah dokumen tersebut.

Tujuannya adalah memvalidasi asumsi-asumsi yang dibuat berdasarkan


tahapan-tahapan proses serta pergerakan produk dan pekerja di lokasi pengolahan
pangan. Seluruh anggota tim HACCP harus dilibatkan.

Proses verifikasi tahap ini harus diprioritaskan pada tinjauan tentang proses
yang dilakukan di pabrik pada waktu-waktu yang berbeda pada saat operasi, termasuk
pada shift yang berbeda (bila ada). Pada shift yang berbeda bisa terjadi perbedaan-
perbedaan.

Selain itu, pada saat yang sama disarankan juga untuk:

 Meninjau sistem pengawasan dan prosedur pencatatan (keberadaan, dan


ketersediaannya untuk digunakan oleh petugas yang berwenang, pendistribusian
kembali, peralatan yang digunakan. Kalibrasi peralatan untuk pengukuran, dsb).
 Menguji bagaimana operator memahami dan menerapkan prosedur tertulis dan
mengoperasikannya termasuk mengawasi dan melakukan prosedur penyimpanan
catatan.
 Meninjau penerapan program-program yang disyaratkan sebelumnya.
Demi keakuratan studi HACCP, konfirmasi ini tidak boleh diabaikan. Pada
semua kasus, verifikasi akan menimbulkan penyesuaian kembali diagram awal
(diagram alir). Penyesuaian kembali yang dapat menampilkan situasi sesungguhnya
hanya dapat diperoleh dengan memperinci catatan tentang jalannya operasi di lapang,
di pabrik melalui pengamatan dan wawancara dengan operator dan manajer suatu
proses produksi.

Jika tahap ini tidak dilakukan dengan teliti maka analisis yang dilakukan
selanjutnya bisa keliru. Potensi bahaya yang sesungguhnya bisa tidak teridentifikasi
dan titik-titik yang bukan titik pengendalian kritis (CCP) teridentifikasi sebagai CCP.
Dengan demikian maka perusahaan telah membuang-buang sumber daya dan tingkat
keamanan produk menjadi berkurang.
6. Tahap Analisis Pelaksanaan HACCP
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa
bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk
mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan
baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi,
hingga tahap penggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk
mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses
pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan
tindakan pencegahan(preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau
signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah
dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah
diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok
konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.

Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau resiko


secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia. Bahaya-bahaya tersebut dapat dikategorikan ke
dalam enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F .

Tabel 2. Karakteristik Bahaya


Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat
menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman. Beberapa
bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar
pendukung sistem HACCP seperti GMP ( Good Manufacturing Practices) , SSOP (
Sanitation Standard Operational Procedure) , SOP ( Standard Operational
Procedure ), dan sistem pendukung lainnya. Untuk menentukan resiko atau peluang
tentang terjadinya suatu bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko.
Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat
diterapkan kategori resiko I sampai VI ( Tabel 3 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat
juga dikelompokkan berdasarkan signifikansinya ( Tabel 4 ). Signifikansi bahaya
dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya (
reasonably likely to occur ) dan keparahan ( severity ) suatu bahaya.
Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan
suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya
keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan
pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki
resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan critical control point .

7. Menentukan Titik Pengendalian Kritis


A. Definisi
CCP (Critical Control Point) atau titik pengendalian kritis didefinisikan sebagai:
“CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau
prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat
dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada
setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat
ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.
Dengan demikian,:
“ Jika suatu potensi bahaya telah diidentifikasi pada suatu tahapan dimana
pengendalian diperlukan untuk menjamin keamanan produk, dan tidak ada upaya
pengendalian lain yang ada pada tahapan ini, maka produk atau proses tersebut harus
dimodifikasi pada tahapan tersebut atau pada tahap sebelum atau sesudahnya agar
dapat dikendalikan.”

B. Penentuan CCP
Penentuan CCP dilandaskan pada penilaian tingkat keseriusan dan
kecenderungan kemunculan potensi bahaya serta hal-hal yang dapat dilakukan untuk
menghilangkan, mencegah atau mengurangi potensi bahaya pada suatu tahap
pengolahan.

 Potensi bahaya yang teridentifikasi dan kecenderungan kemunculannya dalam


hubungannya dengan hal-hal yang dapat menimbulkan kontaminasi yang
tidak dapat diterima.
 Operasi dimana produk tersebut terpengaruh selama pengolahan, persiapan
dan sebagainya.
 Tujuan penggunaan produk.
Gambar 9. Diagram Pohon keputusan untuk penentuan titik kendali mutu
(Sumber : European Committee for Standardisation, 2004)

CCP yang terpisah tidak harus ditujukan untuk masing-masing potensi bahaya.
Namun demikian harus dilakukan usaha-usaha untuk menjamin penghilangan,
pencegahan atau pengurangan seluruh potensi bahaya yang teridentifikasi.

Identifikasi CCP sesungguhnya sangat dibantu oleh pemahaman yang benar


terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pohon keputusan. Pemahaman
ini sangatlah mendasar.
Contoh CCP antara lain: pemasakan, pengendalian formulasi, pendinginan, dsb.

 Pemasakan: bahan mentah yang digunakan sering kali mengandung patogen,


dengan demikian pengawasan pada saat penerimaan mungkin merupakan titik
pengendalian kritis, tergantung pada asal dan penggunaan produk tersebut.
Jika ada satu atau lebih tahapan selama pengolahan (misalnya pemasakan)
yang dapat mengilangkan atau mengurangi sebagian besar potensi biaya
biologis, maka pemasakan akan menjadi CCP (titik pengendalian kritis).
 Pengendalian formulasi bisa menjadi CCP. Beberapa bahan baku
mempengaruhi pH atau kadar Aw makanan sehingga dapat mencegah
pertumbuhan bakteri. Serupa dengan hal tersebut, garam curing menciptakan
lingkungan yang selektif untuk pertumbuhan mikrobia. Nitrit pada jumlah
yang cukup akan mencegah pertumbuhan spora yang terluka karena panas.
Dengan demikian, pada produk-produk tertentu, konsentrasi garam yang
cukup tinggi serta nitrit dapat dimasukkan sebagai CCP dan diawasi untuk
menjamin keamanannya.
 Pendinginan bisa menjadi CCP pada beberapa produk. Penurunan suhu yang
cepat pada makanan yang dipasteurisasi adalah proses yang sangat penting
karena pasteurisasi tidak mensterilkan produk namun hanya mengurangi
beban bakteri hingga ke tingkat tertentu. Spora yang dapat bertahan pada
proses ini akan tumbuh jika ada pendinginan yang tidak tepat atau
pendinginan yang tidak cukup selama penyimpanan produk yang tidak stabil
selama penyimpanan.
 Pada area yang sangat sensitif terhadap mikrobia (misalnya pengemasan
makanan siap santap), praktek-praktek higiene tertentu mungkin harus
dianggap sebagai CCP.
8. Menyusun Batas Kritis
Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi
untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau
mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang
diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis
ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan
batas kritis haruslah dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas
tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan
berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi
maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya.

Untuk menetapkan CL maka pertanyaan yang harus dijawab adalah : apakah


komponen kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP mungkin memiliki
berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk.
Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas
kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan
sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya,
kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 5 menunjukkan
contoh batas kritis suatu proses dalam industri pangan.

9. Prosedur Pemantauan CCP


"Pengawasan adalah pengukuran atau pengawasan yang terjadwal dari suatu CCP
relatif dengan batas kritisnya.”

 Sistem pengawasan harus mampu mendeteksi seluruh penyimpangan dari


pengendalian
 Pengawasan idealnya harus dapat memberikan informasi ini tepat pada
waktunya agar dapat dilakukan penyesuaian yang perlu serta tindakan
perbaikan bila mana perlu.
 Jika mungkin, penyesuaian proses harus dapat dibuat ketika proses
pengawasan menunjukkan suatu trend yang mengarah pada hilangnya
pengenadalian pada titik-titik kritis, Penyesuaian harus diambil sebelum
terjadi penyimpangan.
 Data yang dihasilkan dari pengawasan harus di etrjemahkan dalam
dokumentasi tetrtulis dan dievaluasi oleh orang yang berwenang dan memiliki
pengetahuan serta kekuasan untuk melakukan tindakan perbaikan bilamana
perlu.
 Jika pengawasan tidak dilakukan terus menerus, maka jumlah atau frekuensi
pengawasan harus cukup untuk menjamin bahwa CCP masih dibawah
kendali.
 Semua catatan dan dokumen yang berhubungan dengan pengawasan CCp
harus ditandatangani oleh orang yang melakukan pengawasan dan oleh
petugas peninjau yang bertanggung jawab dalam perusahaan tersebut.
Pada prakteknya, sistem pengawasan harus distandarisasi dengan menyusun prosedur
operasi yang sesuai dan dapat menjelaskan:

 Sifat dan prinsip pengujian, metode atau teknik yang digunakan Frekuensi
pengamatan, letak atau lokasi dilakukannya pengamatan
 Alat yang digunakan, proses atau rencana pengambilan sampel
 Tanggung jawab pengawasan an interpretasi hasil
 Peredaran informasi.

10. Penetapan Tidakan Koreksi


Tindakan koreksi atau perbaikan dilakukan apabila terjadi penyimpangan
terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi
penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk
pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses
produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk
ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya.

Tindakan perbaikan tertentu harus dikembangkan untuk masing-maisng CCP


dalam sistem HACCP agar dapat mengatasi penyimpangan bilamana ada. Tindakan-
tindakan ini harus dapat menjamin vahwa CCP telah dikendalikan. Tindakan-tindakan
yang dilakukan juga harus melibatkan penyingkiran produk. Penyimpangan dan
prosedur pembuangan produk harus didokumentasikan dalam sistem pencatatan
HACCP.

Tahapan yang dibuat harus memungkinkan pendefinisian tindakan yang harus


diambil ketika sistem pengawsan menunjukkan bahwa terjadi pelalaian pelanggaran
pengendalian pada suatu CCP.

Pada prakteknya, “tindakan perbaikan” yang dilakukan di sini termasuk:

 Tindakan sertamerta pada proses agar dapat segera kembali ke batas yang
disyaratkan
 Tindakan sertamerta pada produk mungkin dipengaruhi oleh penyimpangan yang
teramati.
 Tindakan yang berbeda untuk menghindari terulangnya penyimpangan (tindakan
perbaikan yang sesuai dengan seri ISO 9000)

Catatan yang dibuat harus berisi:

 Sifat penyimpangan
 Penyebab penyimpangan
 Tindakan perbaikan yang dilakukan
 Orang yang bertanggung jawab terhadap tindakan perbaikan
 Tindakan lain yang dicapai
Semua penyimpangan yang mungkin terjadi tidak dapat diantisipasi sehingga
tindakan perbaikan tidak boleh dilakukan sebelumnya. Dengan demikian disarankan
untuk menduga kasus penyimpangan yang paling sering terjadi dan atau
mendefinisikan mekanismenya, pengaturannya, pihak yang berwenang, serta
tanggung jawab secara umum untuk diterapkan setelah terjadi penyimpangan apapun
juga.

11. Verifikasi Program HACCP


Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan
bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan
verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan
efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa kegiatan verifikasi misalnya:

 Penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat


 Pemeriksaan kembali rencana HACCP
 Pemeriksaan catatan CCP
 Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap kegiatan
untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan
 Pengambilan contoh secara acak
 Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan
rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang
dilakukan.
Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin bahwa
CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada
informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan oleh
produk tersebut.

12. Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi


Prosedur HACCP harus didokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat dan
ukuran operasi. Sistem pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah penting
untuk aplikasi yang efeisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif.

Ada 3 hal yang termasuk dalam dokumen:


1. semua studi tentang dokumen HACCP yang berisi rincian tentang pertimbangan
ilmiah CCP (titik-titik pengendalian kritis), batas kritis, sistem pengawasan dan
tindakan perbaikan.
2. Dokumentasi tentang sistem: prosedur, cara operasi, instruksi kerja yang mengacu
pada setiap titik dalam metode tersebut. Dokumen-dokumen ini menyusun rencana
HACCP.
3. Penyimpanan catatan (studi laporan HACCP, hasil penerapan sistem, pengambilan
keputusan) sehingga dapat menggambarkan penerapan permanen sistem HACCP.
Dokumen-dokumen ini harus terus diperbaharui dan ada di setiap tempat ayng
memerlukan. Sistem pendokumentasian ini juga harus menjelaskan bagaimana orang-
orang yang ada di pabrik dilatih untuk menerapkan rencana HACCP dan harus
memasukkan bahan-bahan yang digunakan dalam pelatihan pekerja.

1. Pengertian Tempe

Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku
kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada pembuatan
tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi pada tempe dapat
menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim
lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal
ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus
yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang
yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi
tempe dari aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang
tempe selama proses fermentasi (Koswara, 1995).
Tempe merupakan sumber protein yang baik. Setiap 100 g tempe mengandung 18-20 g zat
protein dan 4 g zat lemak (Tarwotjo, 1998). Tempe juga memiliki berbagai sifat unggul
seperti mengandung lemak jenuh rendah, kadar vitamin B12 tinggi, mengandung antibiotik,
dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan. Selain itu asam-asam amino pada tempe
lebih mudah dicerna oleh tubuh jika dibandingkan dengan kacang kedelai. Vitamin B12 yang
terdapat pada tempe diproduksi oleh sejenis bakteri Klabsiella peumoniae. Kekurangan
vitamin B12 ini dapat menghambat pembentukan sel darah merah (Koswara, 1995).
Perbandingan komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 g bahan

2. Proses Produksi Tempe

Prinsip dasar pembuatan tempe ialah menumbuhkan kapang pada media kedelai
gizi pada kedelai (Sarwono, 2003). Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor
pendukung, yaitu bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan
keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe
kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme
yang digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus
stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan
pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi 70-80% (Ferlina,
2009).

3. Tahap sortasi

Tahap ini bertujuan untuk memperoleh produk tempe yang berkualitas, yaitu
memilih biji kedelai yang bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai tercampur
kotoran seperti pasir atau biji yang keriput dan keropos. Menurut Supriono (2003), sebelum
melakukan proses produksi, diperlukan sortasi bahan baku berdasarkan standardisasi kedelai,
membuang bji kedelai cacat dan muda, membuang kotoran, serangga dan bahan leguminosa
lainnya (beras dan jagung).

4. Tahap Pencucian

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat maupun


tercampur di antara biji kedelai. Diperlukan cukup banyak air dalam proses produksi tempe
baik untuk sanitasi, medium penghantar panas, maupun pada proses pengolahan. Air yang
digunakan dalam pengolahan harus terbebas dari mikroba patogen maupun mikroba
penyebab kebusukan makanan. Umumnya air yang memenuhi persyaratan standar air minum,
cukup baik memenuhi persyaratan untuk industri (Camus, 2008). Menurut Buckle dkk
(1987), air yang berhubungan dengan hasil-hasil industri pengolahan pangan harus memiliki
setidak-tidaknya standar mutu yang diperlukan untuk air minum. Tetapi masing-masing
bagian dari pengolahan industri pangan mungkin perlu mengembangkan syarat-syarat mutu
air khusus untuk mencapai hasil-hasil pengolahan yang memuaskan. Dalam proses produksi
tempe perbandingan bahan baku dengan air 1:12 (Supriono,2003).

5. Tahap Perebusan I
Perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam
pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada dalam biji
kedelai. Selain itu perebusan I ini bertujuan untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan
dengan perebusan akan membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh.Perebusan dilakukan
selama 30 menit atau ditandai dengan mudah terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan
jari tangan (Hidayat, 2009). Adapun menurut Suhendri dkk (2006), perebusan tahap ini
dilakukan selama 60 menit.

6. Tahap Perendaman

Perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah pertumbuhan bakteri


pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit biji kedelai telah berlangsung
proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air terutama oleh bakteri asam laktat.
Perendaman juga betujuan untuk memberikan kesempatan kepada keping-keping kedelai
menyerap air sehingga menjamin pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak
mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak
diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah asam asetat
sehingga pH larutan mencapai 4-5. Perendaman dilakukan selama 12-16 jam pada suhu
kamar (25-30˚C) (Hidayat, 2009). Adapun menurut Cahyadi (2006), perendaman dilakukan
selama ± 24 jam agar air dapat berdifusi ke dalam biji kedelai. Menurut Suhendri dkk (2006)
waktu perendaman dilakukan selama 16 jam.
Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air biji naik
sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman
memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH
dalam biji menjadi sekitar 4,5–5,3. Bakteri yang berkembang pada kondisi tersebut antara
lain Lactobacillus casei, Streptococcus faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini
memungkinkan terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan pembusuk yang
tidak tahan terhadap asam.

7. Tahap Pengupasan

Tahap pengupasan kulit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara kering dan
cara basah. Pengupasan cara kering yaitu dengan mengeringkan kedelai terlebih dahulu pada
suhu 104o C selama 10 menit atau dengan pengeringan sinar matahari selama 1-2 jam.
Selanjutnya penghilangan kulit dilakukan dengan alat Burr Mill. Pengupasan secara basah
dapat dilakukan setelah biji mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji
yang telah mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian kulitnya, biasanya dengan
meremas-remas biji kedelai hingga kulitnya terkelupas (Hidayat, 2009).

8. Tahap Perebusan II

Tahap perebusan II ini bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan,


mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor, membantu membebaskan senyawasenyawa dalam
biji yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk. 2006). Menurut Dwinaningsih
(2010), pada perebusan II ini biji kedelai direbus pada suhu 100oC selama 20-30 menit
supaya menjadi lunak sehingga dapat ditembus oleh miselia kapang yang menyatukan biji
dan tempe
menjadi kompak.

9. Tahap Penirisan dan Pendinginan


Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji, mengeringkan
permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur,
air yang berlebihan dalam biji dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan
menstimulasi pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan pembusukan
(Hidayat, 2009). Pendinginan dapat dilakukan dengan cara membiarkan kedelai hingga
dingin atau cukup mencapai suhu ± 30oC untuk kemudian dilakukan proses berikutnya
(Dwinaningsih, 2010).

10. Tahap Inokulasi (Peragian)

Menurut Fauzan (2005), inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum,


yaitu ragi tempe atau laru. Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) penebaran
inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur
merata sebelum pembungkusan; atau (2) inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat
perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu dikeringkan. Menurut Astuti (2009), inokulum
yang ditambahkan sebanyak 0,5% dari berat bahan baku. Menurut Suhendri dkk (2006),
inokulum yang ditambahkan sebesar 0,2% dari berat bahan baku.

11. Tahap Pengemasan

Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya daun pisang,
daun waru, daun jati, dan plastik), asalkan memungkinkan masuknya udara karena kapang
tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik
biasanya diberi lubang-lubang dengan cara ditusuk-tusuk (Hermana dan Karmini, M., 1999).
Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi
bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan perhatian yang lebih besar secara nyata.
Pengemasan akan berperan sangat penting dalam mempertahankan bahan tersebut dalam
keadaan bersih dan higienis. Fungsi suatu kemasan yaitu:
a. Harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap
kotoran dan pencemaran lainnya.
b. Harus memberikan perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, Oksigen
dan sinar.
c. Harus berfungsi efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan
bahan pangan dalam kemasan.
d. Harus mempunyai suatu tingkat kemudahan dalam membuka dan menutup kembali wadah
tersebut (Buckle, 1987).

12. Tahap Inkubasi (Fermentasi)

Menurut Hidayat (2006), inkubasi dilakukan pada suhu 25o-37o C selama 36-48
jam. Selama inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-
komponen dalam biji kedelai. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan
menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Fermentasi dapat dilakukan pada
suhu 20 °C–37 °C selama 18–36 jam (Hermana dan Karmini, M., 1999).
Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase (Hidayat, 2009) yaitu :
a. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah asam lemak bebas,
penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya miselia pada
permukaan biji makin lama makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.
b. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe dan siap
untuk dipasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan
dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal,
dan tekstur lebih kompak.
c. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah
bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan pada kadar air
tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut
sehingga terbentuk amonia.
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Pabrik


3.2 Gambaran umum pabrik
Tempat pengolahan tempe secara umum

3.3 Hygine dan Sanitasi


a. Pekerja
Sebelum melakukan kegiatan maupun saat beralih kegiatan lain dalam produksi tempe
pekerja tidak penah mencuci tangannya. Selain itu pekerja tidak memakai APD,
hanya memakai celana boxer pendek saja.

b. Kondisi pabrik
Tempat produksi di ruang berbeda dengan tempat tinggal. Tempat tinggal para
pekerja ada disebelah ruang produksi. Sirkulasi udara baik karna terdapat ventilasi
udara tetapi udara terasa pengap dan panas. Rak fermentasi bagian luar sangat dekat
dengan kandang ayam dan bawahnya terdapat tumpukkan kayu tidak terpakai dan
sebelahnya terdapat kali. Dalam penyimpanan bahan baku kedelai ditaruh begitu saja
dipojok mengenai lantai tidak dialasi kayu terlebih dahulu. Lantai tempat produksi
sangat becek dan kotor seperti banyak tercecer kedelai-kedelai yang terbuang. Di
dalam ruangan temboknya tampak kotor dan berdebu.

c. Lingkungan pabrik
Pabrik berada di Pabrik berada di ujung sebelah tempat tinggal dan bersebelahan
dengan kali dan kondisi lingkungan sekitaran pabrik kurang bersih

d. Bahan baku
Bahan baku didapatkan dari penjual kacang kedele. Kondisi Kacang kedele saat
ditempat penjual bahan baku baik karena kacang kedelai di masukan ke dalam karung
dan tersusun rapi. Kemudian selain menggunakan kacang kedele dalam pembuatan
tempe juga menggunakan ragi, ragi yang digunakan didapat juga dari toko dan
dikemas di plastic kresek puth dan terbuka sehingga memungkinkan terkontaminasi.
e. Packaging
Tempe yang telah melalui proses produksi kemudian masuk ke tahap berikutnya yaitu
packaging dengan menggunakan daun pisang dan plastik. Daun pisang yag digunakan
bermutu baik karena daun tidak layu, bersih dan sebelum digunakan di lap terlebih
dahulu. Tetapi saat di lap tidak digunakan alas dan langsung terkena lantai yang kotor.
Daun pisang di potong sesuai bentuk dan besar tempe yang akan dijual. Kemudian
daun pisang yang sudah dipotong disusun memanjang dan di masukkanlah temped an
ditutup dengan ikatan berupa salur dari daun pisang.

f. Distribusi

3.4 HACCP dalam Proses Pembuatan Tempe


1. PEMBENTUKAN TIM HCCP
 Pembentukan tim kelompok
Nama Tanggung Jawab
Ayu Larasati Dokumentasi, merekam pembicaraan
narasumber dan melihat setiap proses
produksi untuk memastikan adanya CCP
Nur Sinta Diah Ayuni Mewawancarai narasumber dan melihat
setiap proses produksi untuk memastikan
adanya CCP dan Mencatat Informasi yang
disampaikan oleh narasumber

Virginnia Ananda Melihat setiap proses produksi untuk


memastikan adanya CCP
Zaini Laili Fajriah Mewawancarai narasumber dan melihat
setiap proses produksi untuk memastikan
adanya CCP

 Pembentukan Tim Pabrik Tempe

Nama Jabatan Tanggung Jawab


Wahyudi Wicaksono Pemilik pabrik tempe Memanajemen keuangan
dan membantu
membersihkan kacang
kedelai yang sudah direbus
dari kulit arinya
Syahid Sulaiman Pekerja Merebus tempe, mencetak
tempe, menjemur tempe.
Indra Pekerja Mengatur distribusi,
Menggiling kedelai,
membeli ragi, plastik dan
daun pisang
2. DESKRIPSI PRODUK
Deskripsi Keterangan
Nama Produk Tempe
Bahan baku yang digunakan Kacang kedelai, Ragi LIPI
Karakteristik produk akhir bentuk persegi panjang, padatan kompak
dan berbau khas serta berwarna putih atau
sedikit keabu-abuan. Terdapat lapisan putih
di sekitar kedelai (setelah fermentasi) dan
pada saat di potong, tempe tidak hancur,
tidak ada bercak hitam dipermukaan tempe,
berat 500 gram, 1 kg, kemasan daun pisang
atau plastic.
Metode pengolahan Fermentasi 48 jam (2 hari)
Kondisi penyimpanan Hari pertama (suhu ruang)
Hari kedua (diluar ruangan, terdapat
kenaikan maupun penurunan suhu yang
tidak stabil)
Pengemasan Daun pisang atau Plastik
Pengemasan untuk distribusi Plastik HDPE warna merah dan hitam
Metode transportasi/distribusi Gerobak kayu
Umur Simpan 3 hari

3. IDENTIFIKASI PENGGUNA
Deskripsi Keterangan
Nama Produk Tempe
Deskripsi Cara konsumsi Dikonsumsi langsung (digoreng, direbus,
dll)
Pengguna Produk Konsumen dari semua kalangan masyarakat

4. Diagram Alir
Pembelian kacang kedelai dan ragi

Perebusan selama 1 jam hingga mendidih

Perendaman selama semalaman (24 jam)

Pengupasan kulit ari dengan mesin gilingan

Pencucian dan penyaringan kulit ari

Peragian kemudian didiamkan selama 1 jam

Pencetakan dan pembungkusan dengan daun pisang atau plastik

Fermentasi 2 hari (didalam 1 hari dan diluar 1 hari)

Distribusi

5. ANALISIS PELAKSANAAN HACCP


Signifikasi Bahaya
Tahapan Tindakan Kepa
No Jenis Bahaya Penyebab Bahaya Signifi
Proses Pengendalian Peluang raha
kansi
n
1 Penerimaan B : mikroba Penyimpanan & SOP Penyimpanan L L TS
bahan segar perusak Fungi dan penanganan
(kacang (Rhizombiu /Kapang/bakteri pasca panen yang
kedelai) m sp) yang menempel tepat
pada kacang kedelai
F : pasir, Penanganan pasca
batu, tanah, panen yang tidak
serangga, dll tepat
F :debu, Peneletakkan ragi Sop penyimpanan
Penerimaan
batu, kerikil yang tidak sesuai
bahan kering
K : polutan Dibungkus hanya H L TS
( Ragi )
dari dengan plastic
kendaraan kresek bening
M : kapang/ Waktu dan suhu
jamur pemanasan yang
Kontrol waktu dan
pembentuk tidak sesuai dengan H H S
suhu
spora, bakteri SOP (hingga
thermofilik mendidih)
K : logam Drum yang  Drum yang sudah
berat digunakan tidak berkarat atau
Perebusan
2 layak pakai (karatan menghitam pada
seluruhnya) permukaan tidak
digunakan
H M S
kembali.
 Mengganti drum
dengan panci
stainless steel.

B : Bakteri, Perendaman tidak Saat perendaman


Perendaman
3 kapang ditutup lebih baik ditutup H L TS
24 jam
/jamur tempatnya
K : logam Mesin pengupas  Pengecekan alat
berat yang digunakan sebelum
sudah tidak layak digunakan
pakai karena sudah  Mesin yang sudah M L TS
terdapat karat pada berkarat, tidak
permukaan mesin dipergunakan
kembali
Pengupasan
Kulit Ari B : Bakteri, Wadah Menggunakan
4 kapang penampungan wadah yang tidak
dengan
mesin /jamur kedelai yang telah berbolong dan
dikupas ada bolong sehabis digunakan
bolong dan bagian harus selalu dicuci
bawah ember H L TS
terlihat kotor,
sehingga terepapar
langsung dengan
lantai yang hanya
disemen
5 Pencucian B : bakteri E. Sumber air pabrik Perlakuan sanitasi M H S
Coli dari air dan Penggunaan air air, cuci di air
yang sudah mengalir, berulang,
tercemar/kotor dan air yang
digunakan harus air
bersih sesuai dengan
syarat air minum
K : Logam Sumber air pabrik Menganalisis air
Berat yang kemungkinan setahun sekali M L TS
tercemar dari kali
F : Serangga, Lingkungan pabrik Perlakuan sanitasi
L L TS
benda asing air
F : kulit ari Keterbatasan alat  Penyaringan
masih ada untuk menyaring dilakukan secara
yang tersisa atau memisahkan berulang kali agar
pada kedelai, kulir ari dengan kulit ari dapat
akibat proses kedelai tersaring semua
penyaringan  Lakukan
yang tdk pengecekan H H S
sempurna apabila kulir ari
belum terkelupas
dari kedelai,
sehingga dapat
dilakukan
penyaringan ulang
6 Pembilasan
B : Bakteri,  Wadah kedelai  Pengecekan alat
kapang yang telat terpisah sebelum digunakan
/jamur dgn kulit ari tidak  Melakukan
dicuci terlebih pencucian alat
dulu, sehingga sebelum digunaka
nampak kotor dalam proses
 Penyaring untuk pengolahan
mengambil M M TS
kedelai,
menggunakan
penyaring yang
sama seperti
proses
sebelumnya.

B : Bakteri, Pekerja yang tidak Mencuci tangan H L TS


kapang/jamu bersih, tidak sebelum melakukan
r memakai APD. proses pengolahan,
Tidak menggunakan memakai APD
sendok atau wadah (masker, hand glove
untuk mengambil dll), menggunakan
7 Peragian ragi (tangan kosong) wadah atau sendok
untuk mengambil
ragi
K: Ragi yang Melakukan
pemakaian digunakan tidak penimbangan atau
H H S
dosis ragi ditakar atau penakaran untuk
ditimbang dahulu proses peragian
8 Pencetakan B : Bakteri,  Daun pisang  Daun pisang H H S
dan kapang/ untuk bahan hendaknya diberi
pembungkus jamur pengemas yang alas agar tidak
sudah dibesihkan langsung terkena
sebelumnya lantai semen
diletakkan dilantai  Lakukan
yang kotor tanpa pengecekan alat,
alas Tempat atau rak
 Tempat atau rak penaham untuk
penahan untuk proses
proses pengemasan,
pengemasan tidak dibersihkan dahulu
dibersihkan sehingga bebasa
terlebih dulu, dari kotoran dan
sehingga masih debu
berdebu  Mencuci tangan
Pekerja yang tidak sebelum
an bersih, tidak melakukan
memakai APD. pembungkusan,
atau menggunakan
APD (handglove
dan masker) untuk
mencegah
kontaminasi.
F : batu, Tempat pengemasan Pengemasan
kerikil atau yang kurang tepat dilakukan di dalam
serangga yaitu diruang ruangan dengan
kecil terbuka ventilasi yang cukup
M L TS
untuk menghindari
serangga atau
debu/polusi dari luar

9 Fermentasi B : bakteri,  Tempat fermentasi  Disediakan rak


mikroba/kap tempe diluar yang penyimpanan
ang diletakkan untuk fermetantasi
berdekatan dengan yang jauh dari
benda-benda lain benda-benda yang
(kandang ayam, memungkinkan
potongan kayu- dapat
kayu), menyebarkan
 Suhu yang tidak bakteri
terpantau karena  Tempat fermentasi H H S
peletakan tempe dibersihkan
yang berpindah- terlebih dahulu
pindah dari dalam sehingga tidak
ke luar terjadi
kontaminasi silang
 Pengaturan suhu
dan waktu
fermentasi yang
sesuai SOP
F: Penyimpanan yang Tempat H H S
serangga/he kurang tepat yaitu penyimpanan untuk
wan pengerat diluar fermentasi tempe
(memungkinkan ada tidak diletakkan di
serangga atau hewan luar dengan masksud
pengerat bisa agar terhindar dari
merusak tempe) serangga atau hewan
pengerat
10 Distribusi B : Bakteri,  Pengecekan alat,
kapang/jamur SSOP
Tempat packaging  Membersihka
sekunder kotor L H TN
n alat
pengemas
sekunder
sebelum di
distribusikan
ke konsumen
F : debu, Kontaminasi debu
kotoran, karena pengemas
sekunder tidak
benda ditutup sehingga  Pengemas
asing, terkena polusi udara sekunder
atau benda asing
benturan sebaiknya
lainnya
M L TN
atau Tempe dijejerkan ditutup
dengan makanan  Peletakan
gesekan
lainnya sehingga
memungkinkan makanan-
terjadinya makanan yang
kontaminasi
dijual
silang
diletakan
dalam masing-
masing wadah
yang terpisah
 SSOP

Bahaya Bahaya Bahaya Bahaya Bahaya Bahaya Kategori


A B C D E F Resiko
Produk
Tempe 0 0 0 + + + III
Bahan baku
Kacang + + + III
Kedelai
Ragi + + + + + V

6. MENENTUKAN TITIK PENGENDALIAN KRITIS (CCP)

No Tahap/Prose P1 P2 P3 P4 CCP/BUKAN
s CCP
M : kapang/
jamur
Perebusan
pembentuk
spora, bakteri
thermofilik
K : logam berat
Perendaman 24 B : Bakteri,
jam kapang /jamur
Pengupasan K : logam berat
Kulit Ari
dengan mesin
B : Bakteri,
kapang /jamur
B : bakteri E.
Pencucian
Coli dari air
K : Logam
Berat
F : Serangga,
benda asing
F : kulit ari
masih ada yang
tersisa pada
kedelai, akibat
Pembilasan
proses
penyaringan
yang tdk
sempurna
B : Bakteri,
kapang /jamur
B : Bakteri,
Peragian
kapang/jamur
K : pemakaian
dosis ragi
Pencetakan dan B : Bakteri,
pembungkusan kapang/ jamur
F : batu, kerikil
atau serangga
kecil
B : bakteri,
Fermentasi
mikroba/kapang
F:
serangga/hewan
pengerat

7. FORM & HACCP PLAN

Tindaka
Verifi Dokumenta
Pemantauan n
kasi si
Tahapa Batas Koreksi
n Kritis Apa
Apa dan
What How When Where Who dan
Siapa
siapa
Perebusa
n

Perendam
an 24 jam
Pengupas
an Kulit
Ari
dengan
mesin
Pencucia
n
Pembilas
an
Peragian
Pencetak
an dan
pembung
kusan
Fermenta
si
BAB IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Pada kunjungan pabrik kali ini kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa
pabrik tempe yang kami kunjungi masih jauh dari katagori pabrik yang baik
karna tidak memenuhi persyaratan hygine dan sanitasi, baik dari pekerja pabrik,
tempat pengolahan, bahan baku ataupun cara distribusi serta peralatan yang
digunakan.

4.2 Saran

 Pekerja kurang memahami dan menerapkan hygine dan sanitasi pada saat
proses produksi tempe
 Tempat pengolahan tempe seharusnya dijadikan satu tempat dalam
keadaan bersih dan tidak digabungkan dengan binatang peliharaan
 Bahan baku yang digunakan didapat dari supplier yang terpecaya atas
kualitas bahan baku .
 Bahan baku disimpan sesuai dengan karakteristik bahan baku ditempat
yang bersih
 Pencucian alat dilakukan lebih sering dan mengecek alat yang sudah
rusak
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai