Anda di halaman 1dari 6

1.

Faktor yang mempengaruhi penggorengan kerupuk udang


1.1 Pengaruh suhu
Penggunaan suhu saat penggorengan menjadi faktor penting yang dapat
memepengaruhi kualitas kerupuk udang. Penggunaan suhu yang terlalu rendah
saat penggorengan akan menyebabkan waktu penggorengan berlangsung lebih
lama. Selain itu, suhu penggorengan juga berpengaruh pada proses pengembangan
kerupuk dan tekstur kerenyahan kerupuk. Suhu yang banyak digunakan dalam
penggorengan kerupuk berkisar antara 160oC - 200oC. Penggorengan pada
kerupuk akan menyebabakan adanya rongga udara pada permukaan kerupuk.
Penggorengan pada suhu 160oC akan menyebabkan lebih banyak rongga udara
berukuran kecil yang terbentuk dibandingkan menggoreng pada suhu 140oC.
Proses pembentukan rongga udara terjadi saat kerupuk bersentuhan dengan
minyak yang telah dipanaskan, kemudian kadar air dalam kerupuk akan menguap
dan membentuk pori-pori kecil pada kerupuk(1).
Selama proses penggorengan, senyawa aromatik akan menguap. Suhu tinggi
saat penggorengan dapat mempengaruhi kerenyahan pada kerupuk. Hal ini dapat
dilihat melalui evaluasi pemuaian linier. Hasil ekspansi linier dari penguapan air
yang cepat dan akibat dari ekspansi butiran pati dan vakuola. (10)
1.2 Pengaruh lama penggorengan
Parameter waktu menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi hasil
penggorengan. Penggunaan waktu yang terlalu lama akan berpengaruh pada
proses pengembangan kerupuk. Lama penggorengan berkaitan dengan suhu yang
digunakan dalam penggorengan. Beberapa suhu dan lama penggorengan yang
banyak digunakan pada penggorengan kerupuk, yaitu 200oC selama 15 detik(2),
180oC – 200oC selama 1-2 menit(3), 150oC selama 3 menit(4), dan 190oC selama
30 detik(5).
1.3 Penyerapan minyak
Dalam penggorengan, minyak digunakan sebagai media pindah panas
keproduk. Proses penggorengan akan menyebabkan minyak berpindah pada
produk makanan untuk menggantikan posisi air yang menguap pada produk.
Semakin tinggi minyak yang diserap oleh produk akan menimbulkan berdampak
negatif pada kerenyahan serta karakteristik penampilan produk(6). Pada proses
penggorengan, minyak yang terserap kedalam produk kira-kira dapat mencapai
35%. Kandungan minyak yang tinggi pada bahan makanan akan mempengaruhi
rasadan aroma, serta memperpendek masa simpan produk.
1.4 Kadar air
Kadar air dalam bahan mempengaruhi kerenyahan produk yang diproses
dengan metode penggorengan. Aktivitas air lebih berpengaruh pada kerenyahan
produk dibandingkan dengan aroma maupun rasa dari produk(7).
Produk dengan kadar air rendah mungkin dikaitkan dengan penggorengan.
Pengendalian kadar air pada kerupuk mungkin diperlukan untuk mengoptimalkan
kualitas produk dan proses produksinya. Air yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan gelatinisasi pati yang tidak sempurna selama proses pengukusan.
Sehingga kerupuk ikan tidak mengembang dengan baik. Selain itu, kelebihan air
dapat menyebabkan penurunan ekspansi dan menyebabkan kerupuk ikan menjadi
lebih encer setelah dikeringkan. Selain itu, kelembapan yang terlalu banyak juga
mengakibatkan adonan sehingga sulit untuk diiris.(13)

2. Perubahan karakteristik kerupuk udang


2.1 Tekstur
Tekstur adalah faktor utama yang menentukan kualitas atau mutu dari
kerupuk. Kerupuk yang mengandung minyak lebih banyak, maka teksturnya lebih
lunak daripada kerupuk dengan kadar minyak rendah. Tekstur kerupuk udang
berkaitan dengan kerenyahan dan kekerasan kerupuk. Kerenyahan menjadi
indikator terpenting pada kualitas kerupuk yang berkaitan dengan pengembangan
yang terjadi pada kerupuk. Kerenyahan juga berhubungan dengan total
amilopektin yang terkandung dalam bahan pembuatan kerupuk(8).
Perubahan kekerasan suatu kerupuk dapat diarenakan interaksi amilosa dan
rantai asam lemak monogliserida, retrogradasi pati berkurang yang menghasilkan
kekerasan kerupuk yang lebih rendah. Penurunan kadar amilosa dapat dicegah
dengan pembentukan kompleks amilosa-lipid pada permukaan granul. Kekerasan
kerupuk juga ternyata berbanding terbalik dengan penambahan minyak, yang
berarti kerupuk yang mengandung minyak lebih banyak lebih lunak daripada
kerupuk dengan kadar minyak rendah.(11)
2.2 Warna
Warna merupakan atribut yang menjadi faktor penerimaan konsumen terhadap
produk. Kerupuk udang memiliki warna oranye kemerahan sebelum
penggorengan. namun, setelah penggorengan warna dari kerupuk udang akan
berubah menjadi lebih pucat seiring dengan penambahan volume kerupuk. Warna
kerupuk udang juga dapat menjadi kecoklatan selama penggorengan karena
terjadinya reaksi pencoklatan atau disebut reaksi Maillard(9). Reaksi Maillard
yang terjadi pada saat makanan dipanaskan memiliki efek terhadap perubahan
warna makanan menjadi kecoklatan serta berdampak juga pada nilai gizi(10).

Penggorengan dapat mempengaruhi warna kerupuk karena perubahan struktur


pada butiran pati dan protein. Sedikit kecoklatan, termasuk reaksi maillard dan
karamelisasi oleh panas, serta perubahan konsentrasi pigmen yang disebabkan
oleh dehidrasi dan ekspansi, mungkin menjadi salah satu faktor yang
mempengaruh warna kerupuk. Selama proses penggorengan, reaksi pencoklatan
secara fisik, kimiawi dan sensorik antara karakteristik makanan diubah. (13)

2.3 Rasa
Reaksi Maillard sangat penting untuk kualitas makanan, lebih khusus untuk
makanan yang dipanaskan. Ini menyebabkan pencoklatan makanan, memiliki efek
pada nilai gizi, dapat memiliki implikasit oksikologi (seperti pembentukan
akrilamida), dapat menghasilkan komponen antioksidan dan juga memiliki efek
yang besar pada rasa.
2.4 Bentuk
Perubahan bentuk pada kerupuk berkaitan dengan pengembangan pada
kerupuk. Dengan penggorengan yang lebih lama, perbedaan suhu antara
permukaan dan lapisan dalam menjadi cukup untuk membentuk kerak atau lapisan
pelapis. Lapisan ini memfasilitasi peningkatan tekanan yang menghasilkan
peningkatan volume yang ditingkatkan. Ekspansi volume berhubungan dengan
pembentukan gelembung udara dalam kerupuk. (11)

3. Pengaruh jenis teknik penggorengan pada kualitas bahan


3.1 Deep Frying
Dalam penggorengan metode deep-frying, sampel menerima kontak panas dari
segala arah sehingga menghasilkan ekspansi volume yang cepat dan ukuran yang
seragam dan lebih besar. Selain itu, struktur berpori terbentuk dan memberikan
kerupuk kelembutan, kerenyahan, dan peningkatan volume yang berkualitas
tinggi. Namun, karena air digantikan posisinya dengan minyak panas setelah
proses penggorengan, kandungan minyak pada produk akhir gorengan relatif
tinggi hingga sekitar 35%. Selain kekhawatiran akibat peningkatan kesadaran
kesehatan oleh konsumen, kandungan minyak yang tinggi juga mempengaruhi bau
dan rasa tengik serta memperpendek umur simpan produk selama penyimpanan.
Selain itu, selama proses penggorengan, senyawa aromatik hilang karena suhu
tinggi; produk akhir mungkin didominasi oleh bau minyak dan / atau produk
sampingan dari minyak yang dipanaskan dengan suhu tinggi dan bahan lainnya.
Oleh karena itu, rasa bahan yang ditambahkan, misalnya rasa udang, akan
berkurang. Masalah lainnya adalah bahwa metode penggorengan lemak dalam
konvensional mungkin tidak ekonomis karena penggunaan minyak karena minyak
merupakan bahan yang paling mahal dalam produksi kerupuk udang goreng. (12)
3.2 Microwave heating
Metode pemanasan dengan microwave memiliki keunggulan dalam
pemanasannya dibandingkan metode pemanasan konvensional. Pemanasan
microwave menjadi perhatian karena makanan yang dihasilkan lebih rendah
lemak dan sehat dibandingkan dengan produk gorengan dengan metode deep
frying. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kekerasan dan kerenyahan
kerupuk deep frying dan kerupuk hasil microwave heating meskipun kerenyahan
sampel yang diperoleh dengan deep frying dalam peringkat lebih tinggi daripada
kerupuk hsil metode microwave heating. (12)
3.3 Vacuum frying
Penggorengan menggunakan metode vakum memiliki kelebihan seperti, dapat
mengurangi kandungan minyak pada hasil gorengan, dapat mempertahankan
warna dan aroma alami produk karena suhu rendah dan kontrol oksigen selama
proses, memiliki lebih sedikit efek samping pada kualitas minyak, penurunan
kandungan akrilamida, dan pengawetan senyawa nutrisi. Kerupuk yang dihasilkan
dari metode vakum ini cenderung memiliki warna yang kuning keemasan yang
berbeda dengan kerupuk biasanya yang berwarna kecoklatan akibat reaksi milliard
saaat penggorengan biasa. (14)
Daftar pustaka:

1. Taewee TK. Cracker “Keropok”: A review on factors influencing expansion.


International Food Research Journal (2011) 18(3):855-866.
2. Mohamed S, Abdullah N, Muthu MK. Physical properties of keropok (fried crisps) in
relationto the amylopectin content of starch flour. Journal of Agricultural and Food
Chemistry (1989) 49(3):369-377.
3. Yu SY, Low SL. Utilization of pre-gelatinized tapioca starch in the manufacture of a
snack food, fishcracker (‘Keropok’). International Journal of Food Science
Technology (1992) 27(5):593-596.
4. Huda N, Boni I, Noryati I. The effect of different ratios of Dory fish to tapioca flour
on the linearexpansion, oil absorption, colour and hardness of fish crackers.
International Food Research Journal (2009) 16:159-165.
5. Tongdang T, Meenum M, Chaninui J. Effect of sago starch addition and steaming
time on makingcassava cracker (Keropok). Starch-Stärke(2008) 60(10):568-576.
6. Omobuwajo TO. Compositional characteristics and sensory quality of biscuit, prawn
crackers and fried chips produced from breadfruit. Innovative Food Science and
Emerging Technologies (2003) 4(2):219-225. doi: https://doi.org/10.1016/S1466-
8564(03)00006-7
7. Varanyanond W, Hirata T, Ishitani T. Quality evaluation of shrimp cracker at various
water activities by sensory mechanical techniques. Food ScitechnolInt Tokyo (1998)
4(3):195-198.
8. Akonor PA, Dziedzoave NT, Buckman ES, Essel EM, Lavoe F, Tomlins KI. Sensory
optimization of crackers developed from high-quality cassava flur, starch, and prawn
powder. Food Science and Nutrition (2017) 5:564–569. doi: 10.1002/fsn3.431
9. Benjakul S, Karnjanapratum S. Characteristics and nutritional value of whole wheat
cracker fortified with tuna bone bio-calcium powder. Food Chemistry (2018)
259:181-187. doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2018.03.124
10. Neiva C, Machado T, Tomita R, etc. Fish crackers development from minced fish and
starch: an innovative approach to a traditional product. Ciencia e Tecnologia de
Alimentos. 2011; 31(3): 973-979.
11. Mbaeyi EI, Itoje CR. Quality evaluation of prawn crackers produced from blends of
prawns and cassava (Manihot esculenta), pink and orange fleshed sweet potato
(Ipomoea batatas (L) Lam) starches. African Journal of Food Science and
Technology. 2016; 7(4): 066-085.
12. Nguyen T, Le T and Songsermpong S. Shrimp Cassava Cracker Puffed by Microwave
Technique: Effect of Moisture and Oil Content on Some Physical Characteristics.
Kasetsart Journal. 2013; 47(3): 434-446.
13. Chudasama BG, Zofair SM, Bhola DV and Dave TH. Development and
characterization of fish crackers prepared from the bull’s eye (Priacanthus hamrur,
Forsskal, 1775) fish meat and different starches. Journal of Entomology and Zoology
studies. 2019;7(3): 401-406.
14. Fiszman S, Segovia P, etc. Effects of processing conditions on the quality of vacuum
fried cassava chips (Manihot esculenta Crantz). LWT- Food Science and Technology.
2016; 69: 515-521.

Anda mungkin juga menyukai