Anda di halaman 1dari 6

PEMANGGANGAN DAN PENGGORENGAN

1. Pemanggangan

Pemanggangan merupakan pengoperasian panas pada produk adonan dalam oven.


Tujuannya yaitu untuk meningkatkan sifat sensori, memperbaiki cita rasa dari bahan pangan
dan jaga menurunkan aktifitas air. Pemanggangan terlalu lama dapat menyebabkan bahan
pangan menjadi keras. Tujuan dari proses pemanggangan yaitu untuk meningkatkan sifat
sensori dan memperbaiki cita rasa dari bahan pangan. Pemanggangan dapat menghancurkan
mikroorganisme serta menurunkan aktivitas air (aw) sehingga dapat mengawetkan makanan
(Fellows, 2000).

Ketebalan bahan pangan saat pemanggangan sangat mempengaruhi tingkat


kematangan produk yang dihasilkan. Semakin tebal produk yang di panggang maka
penguapan airnya sedikit sedangkan bila bahan yang di panggang tipis maka penguapan
airnya banyak dan bahan pangan menjadi cepat matang. Suhu pemanggangan juga
mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk sesuai yang diinginkan
(Rahmi, 2004).

Menurut (Harris,1989), pengolahan pangan menggunakan suhu tinggi memberikan


pengaruh yang menguntungkan dan merugikan. Keuntungan pengolahan pangan dengan suhu
tinggi dapat meningkatkan daya cerna pada makanan sedangkan kerugian yang disebabkan
oleh panas dapat mendegradasi zat gizi. Pengolahan panas mungkin dapat memperpanjang
dan menaikkan ketersediaan bahan pangan untuk konsumen, tetapi bahan pangan tersebut
mungkin mempunyai kadar gizi lebih rendah dibanding dengan keadaan segarnya.

Pemanggangan adalah proses termal dengan suhu tinggi, dimana panas akan diberikan
pada produk dari dinding oven melalui radiasi (Winarno, 2014). Dalam pemanggangan harus
dijaga kelembaban oven setinggi mungkin pada zona awal oven, waktu memanggang lebih
lambat jika menggunakan lebih dari satu oven, memaksimalkan muatan band conceyor, dan
menjaga suhu bagian atas dan bawah oven tetap stabil (Fellow, 2009).Panas diberikan pada
produk dari dinding oven melalui radiasi. Selain itu, pemanggangan juga dapat
mempengaruhi dalam pembentukan karakteristik produk seperti struktur, tekstur, flavor, dan
warna (Cholis, 2013).

Fellows (2000) menjelaskan bahwa tujuan dari proses pemanggangan, yaitu untuk
meningkatkan sifat sensori dan memperbaiki cita rasa dari bahan pangan, dapat
menghancurkan mikroorganisme serta menurunkan aktivitas air sehingga dapat menjadi salah
satu cara mengawetkan makanan.Selain itu (Baldino et al, 2014) juga menjelaskan bahwa
pemanggangan dapat menyebabkan perubahan sifat sensorik bahan (tekstur, warna, aroma),
mengubah mutu pangan dan memperbaiki palatabillity.

Secara fisik, pemanggangan adalah proses memasukkan panas simultan dan fenomena
perpindahan massa. Waktu pembakaran dan suhu adalah pertimbangan industri yang
terpenting yang dapat mempengaruhi kualitas akhir produk.

2. Penggorengan

Penggorengan merupakan salah satu proses memasak bahan pangan secara cepat
dan praktis, dengan menggunakan media minyak atau lemak panas (Rossell, 2001).
Penggorengan dengan proses pencelupan bahan pangan ke dalam minyak panas (deep
frying) sangat penting dan banyak dilakukan dalam industri makanan (Krokida, et al.,
2000).Deep fryingadalah metode menggoreng dengan minyak berjumlah banyak, sehingga
semua bagian makanan yang digoreng terendam di dalam minyak panas, dengan demikian
proses penggorengan akan lebih cepat dan semua permukaan makanan akan terkena
perlakuan panas yang relatif seragam (Rossel, 2000;Kurek et al., 2017; Liberty et al., 2019;
Zhang et al., 2020).

Tujuan utama dari penggorengan bahan pangan adalah untuk membuat bahan
pangan menjadi masak dan siap dikonsumsi. Selain itu juga bertujuan untuk memberi warna
yang lebih merata dan tekstur bahan pangan yang menarik serta mengembangkan citarasa
dan aroma pada bahan pangan (Perkins and Erickson, 1996). Menurut Varela, et al.
(1988), penggorengan mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan proses
pengolahan pangan lainnya, diantaranya adalah waktu pengolahan yang relatif lebih
singkat; peningkatan kelezatan produk hasil penggorengan; dan kerusakan bahan pangan
karena proses penggorengan relatif lebih kecil.

Menurut Block (1964) dalam Matz (1984), penggorengan merupakan suatu metode
pengolahan pangan dengan panas yang berbeda dengan proses panas lainnya dalam
beberapa hal yang mendasar, diantaranya :
a. Waktu pematangan bahan relatif singkat yang disebabkan oleh perbedaan suhu
yang besar antara minyak goreng dengan bahan pangan yang digoreng dan juga
ukuran bahan pangan digoreng cukup kecil, kurang dari satu oz (28, 35 g).
b. Minyak goreng menjadi bagian dari bahan pangan hasil penggorengan dengan
jumlah bervariasi antara 10-40%, tergantung dari jenis bahan pangan yang digoreng.
c. Bahan pangan hasil penggorengan mempunyai tekstur lebih renyah dibandingkan
dengan bahan pangan yang mengalami proses panas yang lain.

Pada waktu penggorengan, terlebih dahulu dimasukkan minyak goreng, dipanaskan


dan kemudian dimasukkan bahan pangan yang digoreng. Adanya penetrasi panas dari
minyak goreng ke dalam bahan pangan menyebabkan bahan pangan menjadi masak.
Selama proses penggorengan akan terjadi penguapan air dalam bahan pangan,
pembentukan kerak serta dekomposisi minyak akibat pemanasan dan pengorengan.
Sebagian minyak akan terserap dan mengisi ruang kosong dalam bahan pangan yang
semula berisi air (Ketaren, 1986).Minyak dan lemak yang digunakan dalam makanan
sebagian besar adalah trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan berbagai asam
lemak. Peran minyak dan lemak dalam makanan yaitu dapat merupakan zat gizi yang
menyediakan energi bagi tubuh; dapat bersifat psikologis dengan meningkatkan nafsu
makan; atau dapat membantu memperbaiki tekstur dari bahan pangan yang diolah
(Buckle, et al., 1978).

Pada pemanasan atau pendinginan bahan dimana hambatan panas dalam bahan
dapat diabaikan dibanding dengan penghambatan panas konveksi, maka perpindahan
panas hanya secara konveksi mengikuti persamaan pendinginan Newton (Brooker, et al.,
1992). Teknik ini diketahui mampu menghasilkan produk hasil goreng dengan karakteristik
yang disukai, tekstur renyah,warna menarik, rasa gurih, dan aroma yang khas (Ballard, 2004),
namun memiliki kekurangan yang umumnya mengandung proporsi resapan minyak goreng
yang tinggi sebagai akibat kontak bahan pangan dengan minyak goreng selama proses
penggorengan(Mallikarjunan et al., 1997; Funami et al.,1999; Fellows, 2000; Kurek et al.,
2017;Liberty et al., 2019; Zhang et al., 2020).

Kuantitas minyak dalam makanan goreng meningkat setelah proses penggorengan.


Kisaran umum jumlah minyak yang diabsorpsi oleh produk selama penggorengan adalah 8-
25% (Elizabeth, 2009). Menurut Ballard (2003) penggunaan minyak jelantah yang sudah
rusak dan mengalami perubahan kimia akibat oksidasi menyebabkan produk yang digoreng
selain menurunkan nilai dari produk juga meningkatkan penyerapan minyak. Tegangan
permukaan antara minyak goreng dan bahan pangan tinggi saat minyak yang digunakan
merupakan fresh oil. Selama penggorengan dengan minyak yang telah dipakai
berulangulang,polaritas minyak meningkat akibat proses pemanasan, sehingga tegangan
permukaan antara minyak goreng dan bahan pangan yang digoreng menurun. Penyerapan
minyak akan meningkat dengan semakin banyaknya penggunaan minyak yang telah dipakai
berulang (Pinthus dan Saguy, 1994).

Pada proses penggorengan, air yang terdapat dalam bahan akan mengalami
penguapan akibat kenaikan suhu bahan dan minyak. Pada proses pemanasan akan
menyebabkan terjadinya penguapan air dan kemudian minyak masuk ke bagian kerak dan
mengisi ruang kosong yang semula berisi air. Adanya lapisan pada permukaan bahan pada
awal penggorengan akan mempersulit masuknya minyak disertai dengan sulitnya air untuk
menguap. Jika film tersebut dilewati oleh uap air yang bersifat polar maka molekul air akan
lebih sukar menembus film yang menyebabkan permeabilitasnya semakin kecil (Garcia et al.,
2002). Efek penghalangan menyebabkan produk memiliki kadar lemak lebih rendah dan
kadar air lebih tinggi. Kadar air penggorengan dengan menggunakan minyak baru tidak
berbeda nyata dengan penggunaan minyak jelantah.
Selama penggorengan, pada bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan fisiko-
kimiawi (Muchtadi et al., 1992), akan tetapi kehilangan karbohidrat dan mineral seringkali
tidak dilaporkan, karena kemungkinannya kecil (Fellows,2000).Semakin lama waktu dan
semakin tinggi suhu penggorengan pada kentang maka minyak yang terserap semakin
tinggi, tetapi semakin tinggi suhu penggorengan maka kentang akan lebih cepat matang.
Hal ini disebabkan karena semakin lama penggorengan dan semakin tinggi suhu maka
semakin banyak penguapan air pada kentang sehingga semakin banyak minyak yang
terserap dan mengisi ruang kosong pada kentang yang pada mulanya diisi oleh air.
Menurut Ketaren (1986), minyak yang terserap ke bahan pangan dapat melunakkan dan
membasahi bahan pangan yang digoreng sehingga menambah citarasa pada bahan
pangan. Mengkonsumsi makanan goreng, akan meningkatkan asupan minyak.

Kerusakan minyak yang berlanjut dan melebihi angka yang ditetapkan akan
menyebabkan menurunnya efisiensi penggorengan dankualitas produk akhir. Komposisi
bahan pangan yang digoreng akan menentukan jumlah minyak yang diserap. Bahan pangan
dengan kandungan air yang tinggi,akan lebih banyak menyerap minyak karena semakin
banyak ruang kosong yang ditinggalkan oleh air yang menguap selama penggorengan. Selain
itu semakin luas permukaan bahan pangan yang digoreng maka semakin banyak minyak yang
terserap. Pindah panas yang terjadi selama penggorengan merupakan proses pindah panas
secara konduksi, yang terjadi di bagian dalam bahan pangan dan pindah panas secara
konveksi yang banyak terjadi pada minyak dan dari minyak ke bahan. Pindah massa dalam
proses penggorengan ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan yang terjadi
karena menguapnya air dari bagian renyahan (Hallstrom,1986 dalam Mustar, 2013).

Minyak goreng dapat digunakan sebagai medium penggoreng bahan pangan.


Menggoreng bahan pangan banyak dilakukan di negara kita, yang merupakan suatu metode
memasak bahan pangan. Dalam penggorengan, minyak goreng berfungsi sabagai medium
penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi, dan kalori dalam bahan
pangan (S.Keraten, 2005) Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam
bahan pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Penyerapan
minyak pada ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10%-20%. Penyerapan minyak ini
berfungsi untuk mengempukkan kerak dan untuk membasahi bahan pangan yang digoreng
sehingga menambah rasa lezat dan gurih.

Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi
maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu penggorengan dan juga
komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak yang digunakan
berpengaruh sangat kecil. Pemanasan minyak selama proses penggorengan dapat
menghasilkan persenyawaan yang dapat menguap. Komposisi persenyawaan yang dapat
menguap terdiri dari alkohol, ester, lakton, aldehida keton dan senyawa aromatik. Jumlah
persenyawaan yang dominan jumlahnya yakni aldehid termasuk di-enal yang mempengaruhi
bau khas hasil gorengan. Selain itu, sebagian besar minyak tumbuhan memiliki kandungan
pigmen karatenoid sehingga menghasilkan warna yang menarik (kuning keemasan) (S.
Ketaren, 1986).

Adapun prinsip menggoreng bahan pangan didasarkan atas 2 hal.


a. Prinsip Pertama
Jumlah minyak yang digunakan dalam sistem menggoreng mencapai jumlah kebutuhan
minimum untuk menggoreng bahan pangan serta perlu dijaga kesempurnaan meratanya
distribusi panas oleh minyak.
b. Prinsip Kedua
Kebutuhan panas (BTU) minimum tergantung dari komposisi bahan pangan, ketel dan
keadaan hasil gorengan. Efesiensi pemanasan ketel bervariasi, dan tidak pernah mencapai
efesiensi 100 persen. Bahan pangan yang berbedaakan membutuhkan nilai BTU yang
berbeda pula.

Sistem menggoreng bahan pangan ada 2 macam, yaitu system: gangsa (pan frying) dan
menggoreng biasa (deep frying).
a. Proses Gangsa (Pan Frying)
Proses gangsa (pan frying) dapat menggunakan minyak dengan titik asap yang lebih rendah,
karena suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada system deep
frying. Ciri khas dari proses gangsa ialah, bahan pangan yang digoreng tidak sampai
terendam dalam minyak.Lemak yang dapat digunakan pada sistem ini adalah minyak kelapa,
mentega, margarin, minyak olive, dan lemak ayam. Khususnya mentega dan margarin,
menghasilkan cita rasa yang enak pada bahan pangan yang digoreng.

b. Menggoreng Biasa (Deep Frying)


Pada proses penggorengan dengan system deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam
dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200-2050C. Sistem menggoreng deep frying,
yang umumnya digunakan masyarakat Indonesia, dan juga pemakaian berulang minyak
goreng, akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak trans, yang dapat
meningkatkan kolesterol jahat dan menurunkan kolesterol baik.

Perubahan warna pada proses pengolahan seperti penggorengan disebabkan oleh


reaksi maillard, pada reaksi ini, terjadi reaksi antara asam amino dan gula pereduksi. Reaksi
maillard diawali dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida atau protein dengan
gugus hidroksil glikosidik pada gula. Rangkaian reaksi diakhiri dengan pembentukan polimer
nitrogen berwarna coklat (De Man, 1997 dalam Mustar, 2013). Namun warna yang
dihasilkan tergantung dari suhu dan lama penggorengan yang dilakukan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ketaren (2005), tingkat intensitas warna ini tergantung
dari lama dan suhu penggorengan dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan
pangan sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil. Sehingga semakin
lama waktu yang digunakan dalam penggorengan menyebabkan proses oksidasi pada minyak
akan semakin meningkat,akibatnya terjadi perubahan warna pada minyak menjadi gelap dan
akan mempengaruhi warna hasil penggorengan. Selain terjadi pengurangan kadar air yang
akan digantikan oleh minyak, juga akan menimbulkan perubahan warna, aroma, tekstur dan
cita rasa serta terbentuknya senyawa volatile yang umumnya berasal dari senyawa aromatik.
Aroma yang diperoleh merupakan kandungan flavour alami pada minyak dan hasil reaksi
dengan bahan pangan yang digoreng.

Kadesti Mega Ayu Sitoresmi.2012. Pengaruh Lama Pemanggangan Dan Ukuran Tebal
Tempe Terhadap Komposisi Proksimat Tempe Kedelai. Jurnal Publikasi.
Rezky Mega Suhan.2014. Pengaruh Lama Penggorengan Terhadap Uji Organoleptik Dan
Kandungan Albumin Abon Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus).Skripsi.Makassar:
Fakultas Ilmu Kesehatan:UIN Alauddin Makassar.
Rina Ida Ayu. 2007. Model Perubahan Serapan Minyak Pada Kentang Selama Penggorengan.
Jurnal Agroteknologi Vol 13 (1)
Riyadi Nur Her, Dyah Eti, dan Danar Praseptiangga.2020. Pengaruh Aplikasi Edible Coating
Hidroksi Propil Selulosa Terhadap Penurunan Serapan Minyak. Jurnal Teknologi
Hasil Petanian 13(2): 70-83.
Sulekah Nusbatun.2019. Pengaruh Lama Pemanggangan Terhadap Daya Terima Dan
Kandungan Gizi Biskuit Tepung Kacang Hijau Kupas. Skripsi.Semarang: Fakultas
Teknik, UNS

Anda mungkin juga menyukai