Anda di halaman 1dari 6

UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah Manajemen Pengolahan Hasil Perikanan


Judul : Penanganan Hasil Perikanan Produk Tuna
Nama : Maulana Ilham Pratama
NIM : 1414521023

Ikan tuna merupakan produk ekspor primadona bagi perikanan


Indonesia. Istilah tuna dalam statistika Indonesia digunakan sebagai nama
grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar (Thunnus spp,
seperti yellowfin tuna, big eye, southern bluefin tuna, dan albacore), dan jenis
ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlins, sailfish, dan swordfish.
Istilah tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynus
spp.), skipjack tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan frigate
and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol) (Purnomo dan
Suryawati, 2007)

Tuna Loin beku merupakan produk olahan bahan baku tuna segar atau
beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan
atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan,
sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan,
pengepakan, pelabelan, dan penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional,
2006). Penanganan dan pengolahan ikan Tuna Loin berdasarkan ketentuan
SNI 01-4104.3-2006 meliputi:
1. Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk
mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat,
cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C (untuk bahan
baku tuna segar) atau -18C (untuk bahan baku tuna beku).
2. Penyiangan atau tanpa penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan
cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap
berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C (untuk bahan baku tuna
segar) atau -18C (untuk bahan baku tuna beku).
3. Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar).
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk
maksimal 4,4 C (untuk bahan baku tuna segar) atau -18C (untuk bahan baku
tuna beku).
4. Pembuatan loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian
secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan
saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4C (untuk bahan
baku tuna segar) atau -18C (untuk bahan baku tuna beku).
5. Pengulitan dan perapihan
Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih.
Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan
tetap mempertahankan suhu produk 4,4 C (untuk bahan baku tuna segar)
atau -18C (untuk bahan baku tuna beku).
6. Sortasi mutu
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang,
duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati,
cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C (untuk
bahan baku tuna segar).
7. Pembungkusan
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual
vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk
maksimal 4,4C (untuk bahan baku tuna segar).
8. Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku
(freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal 18C dalam waktu
maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku tuna
beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembeku, lalu dibekukan
dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai 18C secara tepat.
9. Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta
tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C.
10. Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.
11. Pengemasan
Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis,
pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya
kontaminasi dari luar terhadap produk.
12. Pelabelan dan pemberian kode
Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar diberi
tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang
dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama
dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan tambahan
lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan, dan tahun produksi; dan
tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
13. Penyimpanan
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu
maksimal -25C dengan fluktuasi suhu 2C. Penataan produk dalam gudang
beku diatur sedemikian supa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat
merata dan memudahkan pembongkaran.
Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen
(2003) memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan
seperti distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking)
beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku
atau organisasi yang berbeda. Praktek pendistribusian ikan tuna beku (frozen
tuna) dari satu aktor ke aktor lainnya juga mengalami berbagai macam aktivitas
termasuk pengemasan ulang diantaranya:
Pergerakan: Ikan tuna bergerak dari satu pihak ke pihak lain dalam rantai
distribusi sebelum akhirnya sampai ke konsumen akhir. Sebagai contoh
adalah nelayan menjual tuna ke pihak transit dan kemudian pihak transit
menjualnya ke PT X.
Penyortiran: Ikan selama distribusi mengalami aktivitas penyortiran untuk
pembedaan berdasarkan mutu. Contohnya ketika ikan yang disortir secara
organoleptik di transit oleh checker menjadi 4 tingkat grade (mutu), yaitu:
ikan tuna dengan grade A, B, C, dan D.
Penyimpanan (storage): Ikan tuna sejak penangkapan disimpan dalam
periode tertentu oleh tiap-tiap aktor sebelum akhirnya sampai ke tangan
konsumen akhir. Ikan yang disimpan dalam periode tertentu sebelum
dikonsumsi dapat mempengaruhi kondisi fisik, kimia maupun biologinya.
Sebagai contoh menurut Keer et al.(2002) ikan tuna yang disimpan pada
suhu rendah oleh retailer yaitu hanya menutup ikan menggunakan es atau
secara sederhana ikan hanya diletakkan di atas es untuk mencegah
kebusukan, dalam jangga waktu yang lama hal ini akan menyebabkan
pertumbuhan bakteri yang memicu terbentuknya histamin pada tuna.
Perubahan bentuk: Sepanjang rantai distribusi, ikan tuna tidak hanya di
ekspor dalam bentuk utuh segar melainkan juga di ekspor dalam bentuk
yang bermacam-macam seperti loin, steak, cubes dan ground meat.
Pengemasan ulang: Ikan tuna beku hasil diversifikasi pihak UPI (PT X)
diekspor ke Amerika tidak langsung ditujukan ke konsumen akhir
melainkan dijual ke pihak wholesaler (grosir) yang akan melakukan
pengemasan ulang sebelum didistribusikan kembali ke pihak retailer yang
meneruskan ke konsumen akhir.

.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.3-2006.Tuna Loin Beku-


Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
Keer M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect of Storage
Conditions on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna.
Werribee: Public Health Division of Victoria Government.
Larsen E. 2003. Traceability in fish processing. Di dalam: M. Lees (Ed.) Food
Authenticity and Traceability.United Kingdom: Woodhead Publishing
Limited.pp. 507517.
Purnomo AH, Suryawati SH. 2007. Penawaran komoditas perikanan
Indonesia: trend produksi, sentra produksi dan teknologi
pengolahannya. Di dalam: BBRSEKP Potret dan Strategi
Pengembangan Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia.
Jakarta: Badan Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan.

Anda mungkin juga menyukai