Anda di halaman 1dari 11

PENGAJUAN JUDUL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG TANDA BAHAYA

KEHAMILAN DENGAN KEPATUHAN ANC

DI PUSKESMAS SIANTAN HILIR

TAHUN 2015

Oleh :

LIVIA CALORINA

131140981541082

AKADEMI KEBIDANAN PANCA BHAKTI

PONTIANAK

2015
A. Latar Belakang
Tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB) di suatu negara dapat diprediksi dari kemampuan Tenaga
kesehatan untuk melakukan deteksi dini pada ibu hamil, bersalin dan nifas.
Menurut data World Health Organisation (WHO), sebanyak 99 persen
kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-
negara berkembang (WHO, 2007) WHO memperkirakan jumlah kematian
ibu mencapai 500 orang pada tahun 2008 dan tahun 2009 sejumlah 440
orang ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan dan nifas. Berdasarkan
Survey Demogratif Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 359/100.000 kelahiran hidup,
meningkat dibandingkan AKI yang tercatat di tahun 2007.
Millenium Development Goals (MDGs) telah menetapkan salah
satu targetnya yaitu dengan menurunkan AKI hingga dalam kurun
waktu 1990-2015. Target AKI di Indonesia berdasarkan MDGs di tahun
2015 adalah 102/100.000 kelahiran hidup. Dengan melihat kondisi AKI di
Indonesia saat ini, dibutuhkan upaya keras untuk menurunkan angka
kematian ibu. Terdapat beberapa penyebab kematian ibu, di antaranya
adalah perdarahan 30,5%, infeksi 22,5%, gestosis 17,5%, dan anastesia
2,0%. Penyebab kematian obstetrik langsung yaitu Perdarahan 24%,
Retensio Plasenta 22%, Sepsis 20,8%, Eklampsia 16%. Penyebab
kematian bayi adalah asfiksia neonatorum 49-60%, infeksi 24-34%,
prematuritas/BBLR 15-20%, trauma persalinan 2-7%, dan cacat bawaan 1-
3%. Hampir kebanyakan penyebab kematin ibu dan kematian bayi dapat
diprediksi berdasarkan faktor resiko yang dimiliki oleh ibu selama
kehamilan (Manuaba dkk, 2010).
Sementara itu Angka kematian ibu di Kalimantan Barat masih
sangat memprihatinkan. Pada tahun 2012 tercatat 143 kasus terjadi dalam
per 100 ribu kelahiran hidup. Daerah yang paling tinggi adalah Kabupaten
Ketapang dengan angka 20 kasus. Setelah Ketapang, angka kematian ibu
terbanyak berada di Kabupaten Sambas dan Sanggau yakni masing-masing
17 kasus, Kubu Raya 16 kasus, Kota Pontianak 12 kasus, Sintang 9 kasus,
Sekadau 8 kasus, Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Melawi, dan
Singkawang masing-masing 7 kasus, serta Kapuas Hulu 6 kasus, Kayong
Utara 5 kasus, dan Landak juga 5 kasus. Oleh karena itu, peningkatan
kualitas deteksi dini faktor resiko dan resiko kehamilan mutlak diperlukan
untuk meminimalkan terjadinya komplikasi pada saat kehamilan dan
persalinan yang dapat berakibat kematian ibu dan janin.
Asuhan antenatal merupakan upaya preventif program pelayanan
kesehatan obstetrik untuk mengoptimalkan kesehatan ibu dan anak melalui
serangkaian kegiatan pemantauan rutin selama kehamilan. Selama
melakukan kunjungan antenatal, para ibu hamil akan mendapatkan
serangkaian pelayanan yang terkait dengan upaya memastikan ada
tidaknya kehamilan dan penelusuran berbagai kemungkinan adanya
penyulit atau gangguan kesehatan selama kehamilan yang mungkin dapat
mengganggu kualitas dan hasil konsepsi (Saifuddin, 2006). Kehamilan
berisiko tinggi merupakan suatu kehamilan yang memiliki risiko lebih
besar dari biasanya, baik bagi ibu maupun bayinya, yang akan
menyebabkan terjadinya penyakit atau kematian sebelum maupun sesudah
persalinan. Untuk menentukan suatu kehamilan berisiko tinggi atau tidak,
perlu dilakukan penilaian terhadap wanita hamil guna mengetahui adanya
ciri- ciri yang menyebabkan ia dan janinnya lebih rentan terhadap penyakit
atau kematian, keadaan atau ciri tersebut dinamakan faktor risiko (Weiss
dkk, 2004).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tanda
Bahaya Kehamilan Dengan Kepatuhan ANC Di Puskesmas Siantan
Hilir Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetahuan ibu hamil tentang tanda bahaya
kehamilan di puskesmas Siatan Hilir Tahun 2015.
b. Untuk mengetahui kepatuhan ANC ibu hamil di puskesmas Siantan
Hilir Tahun 2015.
c. Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang
Tanda Bahaya Kehamilan Dengan Kepatuhan ANC Di Puskesmas
Siantan Hilir Tahun 2015.

PENGAJUAN JUDUL KARYA TULIS ILMIAH


HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PEMBERIAN

MAKANAN PENDAMPING ASI DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS SUNGAI RAYA DALAM

TAHUN 2015

Oleh :

LIVIA CALORINA

131140981541082

AKADEMI KEBIDANAN PANCA BHAKTI

PONTIANAK

2015

A. Latar Belakang

Millenium Development Goals (MDGs) merupakan komitmen


nasional dan global dalam upaya lebih mensejahterakan masyarakat
melalui pengurangan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan,
pemberdayaan perempuan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. Upaya
percepatan pencapaian target MDGs menjadi prioritas pembangunan
nasional yang memerlukan sinergi kebijakan perencanaan ditingkat
nasional dan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Target MDGs
ditingkat nasional telah diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dalam bentuk program,
indikator maupun target yang terukur serta indikasi dukungan
pembiayaannya. Delapan tujuan komitmen MDGs mencakup:
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar
untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan, memerangi HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya,
memastikan kelestarian lingkungan hidup, membangun kemitraan global
untuk pembangunan, meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka
kematian anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010).

Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan


pembangunan di suatu negara. Bayi usia 0-24 bulan merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga diistilahkan sebagai
periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat berubah menjadi
periode kritis yang akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
bayi, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006). Menurut anjuran WHO (2012), ketika ASI
tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi, makanan
pendamping harus ditambahkan ke diet anak. Transisi dari ASI eksklusif
ke makanan keluarga, disebut sebagai pelengkap makan, biasanya
mencakup periode dari usia 6 sampai 18-24 bulan. Air Susu Ibu (ASI)
adalah makanan pertama yang terbaik bagi bayi hingga usia 4-6 bulan.
Setelah itu bayi harus diperkenalkan dengan ragam makanan padat, meski
ASI masih tetap diberikan hingga anak berumur dua tahun bahkan lebih.

Pemenuhan kebutuhan gizi terutama diperlukan sejak masa janin


sampai anak berusia lima tahun. Pemenuhan gizi pada masa rawan ini
sangat menentukan kualitas seseorang ketika mencapai usia reproduksi
(Krisnatuti, 2000). Agar pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
berjalan baik maka diperlukan pengetahuan dan perilaku yang baik pula
mengenai MP-ASI. Dan salah satu faktor intern yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku manusia adalah pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan pada dasarnya adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui panca
indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.
Perilaku kesehatan dipengaruhi pula oleh pengetahuan sebagai faktor
predisposisi. Jika pengetahuan tentang MP-ASI baik diharapkan pula pada
akhirnya perilaku terhadap pemberian MP-ASI juga baik (Notoatmodjo,
2007).

Pada 20102012, FAO memperkirakan sekitar 870 juta orang dari


7,1 miliar penduduk dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia
menderita gizi buruk. Sebagian besar (sebanyak 852 juta) di antaranya
tinggal di negara-negara berkembang. Anak-anak merupakan penderita
gizi buruk terbesar di seluruh dunia. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari
70 persen kasus gizi buruk pada anak didominasi Asia, sedangkan 26
persen di Afrika dan 4 persen di Amerika Latin serta Karibia. Setangah
dari 10,9 juta kasus kematian anak didominasi kasus gizi buruk. Sebab gizi
buruk bisa berefek ke penyakit lainnya juga, seperti campak dan malaria.
Bagaimana dengan Indonesia? Perkembangan gizi buruk, menurut
Riskesdas pada 2013, terdapat 19,6 persen kasus balita kekurangan gizi
dan jumlah tersebut terdiri dari 5,7 persen balita dengan gizi buruk. Di
antara 33 provinsi,terdapat 2 provinsi yang termasuk kategori prevalensi
gizi buruk sangat tinggi, yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Sementara untuk mencapai sasaran MDG 2015 yakni 15,5 persen, angka
prevalensi gizi buruk secara nasional harus diturunkan sebesar 4,1 persen.
Gambaran status gizi pada kelompok umur dewasa (lebih dari 18 tahun)
bisa diketahui melalui prevalensi gizi berdasarkan indikator Indeks Massa
Tubuh (IMT). Walaupun masalah kurus masih cukup tinggi, status gizi
pada kelompok dewasa lebih banyak merupakan masalah obesitas.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar, pada 2010


terdapat 604 kasus gizi buruk, dengan 10 kematian. Tahun 2011, terdapat
324 kasus gizi buruk, 16 kematian. Pada tahun 2012, ada 346 kasus
dengan 7 kematian. Hampir 90% kasus gizi buruk yang terjadi di Kalbar
itu dipicu faktor kemiskinan keluarga. Ketidakmampuan secara ekonomi
menyebabkan gizi buruk, karena pendapatan yang ada digunakan untuk
memenuhi kebutuhan lain. Selain itu turunnya partisipasi masyarakat
dalam posyandu sehingga banyak yang tidak aktif. Sedangkan dari faktor
non kesehatan berupa kemiskinan, sosial budaya, pendidikan, serta
infrastruktur. Sementara untuk pemicu dari faktor kesehatan, karena
pengetahuan gizi masyarakat yang kurang.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan


Pemberian Makanan Pendamping Asi Di Wilayah Kerja Puskesmas
Sungai Raya Dalam Tahun 2015.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Raya Dalam Tahun 2015.
b. Untuk mengetahui waktu, cara, syarat, tujuan, manfaat dan jenis
serta macam pemberian makanan pendamping ASI di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Raya Dalam Tahun 2015.
c. Untuk mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan
Pemberian Makanan Pendamping Asi Di Wilayah Kerja Puskesmas
Sungai Raya Dalam Tahun 2015.
PENGAJUAN JUDUL KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG PEMBERIAN

TABLET FE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

SUNGAI RAYA DALAM

TAHUN 2015

Oleh :

LIVIA CALORINA

131140981541082

AKADEMI KEBIDANAN PANCA BHAKTI

PONTIANAK

2015
A. Latar Belakang
Anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh memiliki jumlah sel
darah merah (eritrosit) yang terlalu sedikit, yang mana sel darah merah itu
mengandung hemoglobin yang berfungsi untuk membawa oksigen ke
seluruh jaringan tubuh (Proverawati, 2013). Menurut WHO (2008), secara
global prevalensi anemia pada ibu hamil di seluruh dunia adalah sebesar
41,8 %. Prevalensi anemia pada ibu hamil diperkirakan di Asia sebesar
48,2 %, Afrika 57,1 %, Amerika 24,1 %, dan Eropa 25,1 %. WHO
menyatakan pula bahwa 40% kematian ibu di negara berkembang
berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada
kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan
tidak jarang keduanya saling berinteraksi (Rukiyah, 2010). Selain itu,
anemia juga disebabkan oleh defisiensi zat gizi mikro lainnya yang
memberikan kontribusi dalam metabolisme zat besi di dalam tubuh, seperti
vitamin A, Vitamin C, B12, asam folat, dan seng (Subagio, 2005).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1 %. Pemberian
tablet Fe di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 85 %. Presentase ini
mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011 yang sebesar 83,3
%. Meskipun pemerintah sudah melakukan program penanggulangan
anemia pada ibu hamil yaitu dengan memberikan 90 tablet Fe kepada ibu
hamil selama periode kehamilan dengan tujuan menurunkan angka anemia
ibu hamil, tetapi kejadian anemia masih tinggi. (Kementerian Kesehatan
RI, 2013).
Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional
tahun 2007 menjabarkan prevalensi anemia dari 33 provinsi yang
diketahui bahwa sebanyak 20 provinsi memiliki angka prevalensi anemia
yang lebih besar daripada angka rata-rata Indonesia, salah satunya adalah
di pulau Kalimantan yaitu Kalimantan Barat 11.9%, Kalimantan Tengah
12.7%, Kalimantan Selatan 10.9%, dan Kalimantan Timur 13.9%.
Menurut Wijanarko (2012) kejadian anemia disebabkan oleh kurang
tersedianya makanan yang mengandung zat besi, dan kebiasaan konsumsi
makanan yang menggangu penyerapan zat besi (seperti kopi dan teh) yang
dikonsumsi secara bersamaan, pola makan sehari-hari yang salah,
kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan zat gizi, sosial ekonomi rendah,
dan komplikasi penyakit tertentu misalnya infeksi cacingan, malaria, dan
talasemia.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang
Pemberian Tablet Fe Di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Raya Dalam
Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Raya Dalam Tahun 2015.
b. Untuk mengetahui waktu, cara, tujuan, manfaat dan jenis
pemberian tablet Fe di wilayah kerja Puskesmas Sungai Raya
Dalam Tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai