Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ILMU BEDAH VETERINER

PENANGANAN SHOCK PASCA BEDAH PADA ANJING

OLEH :

KELOMPOK 19

Farah Fanissa 061411133017

Siti Kartika Puspa Prastiti 061411133018

Fadilla Hadiwijaya 061411133019

Galaxy Guardian Muhammad 061411133021

Reza Firmansyah 061411133022

Putri Anggraheni Kusumaningrum 061411133023

Ravien A/L Shanmugam 061411133024

Gilang Maulana Putra 061411133025

Reviya Iah Indrasith 061411133026

Azrina Khalida Imani Abbas 061411133029

Ubennyah G Radakrishnan 061411133032

Tita Nisrina Nadhir 061411133038

Aulia Puspa Amaris 061411133039

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

1.3 Manfaat
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Shock

Shock adalah keadaan dimana pasokan darah tidak mencukupi untuk kebutuhan

organ-organ di dalam tubuh. Shock juga didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang

mengakibatkan penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah yang

bersikulasi secara efektif. Pada hewan yang mengalami shock terjadi penurunan perfusi

jaringan, terhambatnya pengiriman oksigen, dan kekacauan metabolisme sel sehingga

produksi energi oleh sel tidak memadai. Apabila sel tidak dapat menghasilkan energi secara

adekuat, maka sel tidak akan berfungsi dengan baik sehingga pada gilirannya akan

menimbulkan disfungsi dan kegagalan berbagai organ, akhirnya dapat menimbulkan

kematian.

Pada syok yang kurang parah, kompensasi tubuh dapat berupa peningkatan laju

jantung dan konstriksi pembuluh darah perifer (keduanya secara refleks), sehingga hal

tersebut dapat memelihara tahanan perifer dan aliran darah ke organ-organ vital. Ketika syok

bertambah parah, kompensasi ini akan gagal.

2.1.1 Tipe Shock

Shock secara klasik dibagi menjadi tiga katagori, yaitu kardiogenik, hipovolemik, dan

distributif shock. Shock kardiogenik terjadi apabila jantung gagal berfungsi sebagai pompa

untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Disfungsi dapat terjadi pada saat sistole

atau diastole atau dapat merupakan akibat dari obstruksi. Kegagalan sistole atau pengaliran

darah dapat diakibatkan oleh kardiomiopati terkembang (dilated cardiomyopathy) yang

menyebabkan buruknya kontraktilitas, atau toksin/obat yang menyebabkan depresi atau

kerusakan miokardium. Kegagalan diastole atau pengisian jantung dapat diakibatkan oleh
kardiomiopati hipertropik yang mengakibatkan buruknya preload, regurgitasi seperti pada

cacat katup, tamponad atau fibrosis perikardiaum yang mengakibatkan rendahnya preload,

atau aritmia parah yang mengakibatkan buruknya preload dan kontraktilitasntakefisien.

Shock hipovolemik terjadi apabila ada defisit volume darah 15%, sehingga

menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen dan nutrisi ke jaringan dan penumpukan

sisa-sisa metabolisme sel. Berkurangnya volume intravaskular dapat diakibatkan oleh

kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik, misalnya karena oligemia, hemoragi, atau

kebakaran.

Shock distributif disebabkan oleh maldistribusi aliran darah karena adanya

vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai

untuk perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer menimbulkan hipovelemia relatif. Contoh klasik

dari syok distributif adalah shock septik. Akan tetapi, keadaan vasodilatasi akibat faktor lain

juga dapat menimbulkan shock distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis,

shock neurogenik, dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Shock septik

merupakan komplikasi umum yang dijumpai pada praktik hewan kecil dan dilaporkan

merupakan penyebab kematian yang paling umum pada unit perawatan intensif bukan

kardium.

Tipe-tipe shock tersebut bervariasi dalam etiologi, tanda klinik, dan penanganan.

Seringkali terjadi lebih dari satu tipe shock pada seekor pasien; hewan yang mengalami shock

distributif juga akan mengalami hipovolemi. Shock distributif dan hipovolemik dapat

menimbulkan shock kardiogenik.

2.2 Tingkat Shock

Shock ringan, kehilangan volume darah dibawah 20% dari volume total. Hipoperfusi

hanya terjadi pada organ non vital seperti kulit, jaringan lemak, otot rangka, dan tulang.
Gambaran klinik perasaan dingin takikardi, pucat, kulit lembab, kolaps vena, dan urin yang

pekat. Kesadaran masih normal, diuresis mungkin berkurang sedikit dan belum terjadi

asidodis metabolik.

Shock sedang, kehilangan 20% sampai 40% dari volume darah total. Hipoperfusi

merambat ke organ vital seperti hati, usus, dan ginjal, kecuali jantung dan otak. Gambaran

klinik berupa haus, takikardi, anuria, dan asidosis metabolik. Kesadaran relatif normal.

Shock berat, kehilangan lebih dari 40% dari volume darah total. Hipoperfusi terjadi

juga pada jantung dan otak. Gambaran klinik berupa penurunan kesadaran (agitasi atau

dilirium), hipotensi, takikardi, nafas cepat dan dalam, oliguria, serta asidosis metabolik.

2.3 Etiologi

Etiologi spesifik dari shock tidak diketahui, tetapi shock dapat terjadi karena stres

yang serius, misal karena trauma yang hebat, kegagalan jantung, perdarahan, terbakar,

anestesi, infeksi berat, obstruksi intestinal, anemia, dehidrasi, anafilaksis, dan intoksikasi.

Shock Hipovolemik
Disebabkan oleh perdarahan (misalnya trauma), kehilangan plasma (misalnya luka

bakar, peritonitis), atau kehilangan air dan elektrolit (misalnya muntah dan diare).
Shock Kardiogenik
Disebabkan oleh :
Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena komplikasi infark

miokardium akut.
Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain takiaritmia,

tamponade jantung, pneumothorak tekanan, embolus paru dan infark ventrikel

kanan.
Curah jantung yang tidak adekuat, antara lain bradiaritmia, regurgitasi mitral

atau ruptur septum interventrikel.

2.4 Tanda Klinik


Tanda klinik shock bervariasi tergantung pada penyebabnya. Secara umum, tanda

kliniknya dapat berupa apatis, lemah, membrana mukosa pucat, kualitas pulsus jelek,

respirasi cepat, temperatur tubuh rendah, tekanan darah rendah, capillary refill time lambat,

takikardia atau bradikardia (kucing), oliguria, dan hemokonsentrasi (kecuali pada hemoragi).

Tekanan arteri rendah, membrana mukosa pucat, capiilarity refill time (CRT) lambat (>2

detik), temperatur rektal rendah atau normal, takipnea, dan ekstremitas terasa dingin

merupakan tanda klinik shock kardiogenik dan hipovolemik. Untuk membedakan shock

kardiogenik dengan shock hipovolemik dibutuhkan anamnesis lengkap dan evaluasi jantung.

Pasien yang mengalami shock septik awal, membrana mukosanya mungkin masih merah,

CRT cepat (<1 detik), takikardia, demam, dan terasa hangat saat disentuh. Pada

perkembangan selanjutnya, membrana mukosa tampak keruh, CRT bertambah lambat (>2

detik), pulsus menjadi lemah, dan ekstremitas menjadi dingin. Gambaran unik terjadi pada

shock distributif pada kucing yang seringkali menunjukkan bradikardia daripada tekikardia.

2.5 Penanganan

Tujuan penanganan shock tahap awal adalah untuk mengembalikan perfusi dan

oksigenasi jaringan dengan cara mengembalikan volume dan tekanan darah. Pada tahap yang

lebih lanjut, pengembalian perfusi jaringan saja biasanya tidak cukup sehingga perlu

dilakukan upaya menghilangkan faktor toksik yang terutama disebabkan oleh bakteri.

Pemberian oksigen merupakan penanganan yang sangat umum, tapa memperhatikan

penyebab shock. Terapi lainnya tergantung pada penyebab shock itu sendiri.

Terapi cairan merupakan yang paling penting bagi pasien yang mengalami shock

hipovolemik dan distributif. Pemberian secara intravena akan memperbaiki volume darah

yang bersirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan meningkatkan aliran darah vena,

sehingga membantu memperbaiki curah jantung. Kemudian akan meningkatkan perfusi


jaringan dan memberikan pasokan oksigen kepada sel. Pada terapi awal dapat diberikan

cairan berupa kristaloid atau koloid.

Pada anjing yang mengalai hipovolemik dengan fungsi jantung normal, cairan Ringer

laktat atau Ringer asetat diberikan dengan cepat. Dosis yang direkomendasikan untuk shock

pada anjing adalah 90 ml/kg secara IV. Seperempat dari jumlah tersebut diberikan selama 5-

15 menit pertama dan bersamaan dengan itu dilakukan evaluasi terhadap respon

kardiovaskularnya yang meliputi : kecepatan denyut jantung, warna membrana mukosa,

kualitas pulsus, dan CRT. Kecepatan dan volume terapi cairan harus dapat ditoleransi oleh

individu pasien. Kecepatan dan jumlah pemberian dimonitor pada tekanan vena sentral dan

pengeluaran urin.

Apabila perfusi jaringan berkurang karena kehilangan banyak darah, secara ideal

harus dilakukan transfusi darah dengan kecepatan tidak melebihi 22 ml/kg secara IV dan

kontrol perdarahan harus dilakukan dengan baik.

Pada kasus shock kadiogenik, terapi cairan yang terlalu cepat dapat berakibat fatal

karena akan meningkatkan beban kerja jantung dan selanjutnya membahayakan sirkulasi.

Jika shock kardiogenik disebabkan oleh kontraktilitas miokardium yang jelek, disarankan

penanganan dengan beta-agonist. Dobutamin merupakan beta-agonist yang mampu

meningkatkan curah jantung dan penghantaran oksigen, tanpa menyebabkan vasokontriksi,

merupakan obat yang paling umum digunakan untuk meningkatkan fungsi jantung. Jika

hewan sedang diberian obat yang menekan miokardium, maka pemberian obat tersebut harus

dihentikan. Perikardiosentesis harus dilakukan jika efusi perikardium cukkup banyak dan

menyebabkan tamponad.

Pada shock distributif apabila hipotensi tetap terjadi walaupun telah dilakukan terapi

cairan yang cukup maka dibutuhkan pemberian vasopresor. Hal ini dikarenakan curah jantung

dan tahanan pembuluh darah sistemik mempengaruhi penghantaran oksigen ke jaringan,


maka pada pasien hipotensi harus dilakukan terapi untuk memaksimalkan fungsi jantung

dengan terapi cairan dan obat inotropik, atau memodifikasi tonus pembuluh darah dengan

agen vasopresor.

Anjing yang edang mendapatkan penanganan shock harus terus dimonitor. Dua faktor

yang sangat penting untuk dimonitor adalah tekanan dan volume darah. Sebagai petunjuk

dalam pemberian terapi dapat digunakan parameter kardiovaskuler, kecepatan pernapasan,

temperatur, hematokrit, dan pengeluaran urin. Untuk mengevaluasi terapi cairan pada shock

karena perdarahan sangat penting dilakukan pengukuran PCV (packed cell volume) dan TS

(total solid). Tekanan gas dalam darah sangat penting dalam penentuan dan memonitor

keseimbangan asam-basa.

Selain terapi cairan dapat juga digunakan beberapa terapi, antara lain dengan

Corticosteroids, Catecholamines dan stimulantia, atau menggunakan sympathetic blocking

agents. Terapi dengan Corticosteroids menggunakan Dexamethasone dosis 1-2 mg/lb BB atau

Hydrocortisone sodium succinate dosis 10-2- mg/lb BB. Diberikan secara intravena dan jika

diperlukan dapat diulang setelah 6 jam. Terapi dengan Catecholamines dan stimulantia

menggunakan alpha-simulating catecholamins (epinephrine, norepinephrine). Pada umumnya

dikontraindikasikan karena meskipun dapat meningkatkan tekanan darah juga meningkatkan

tahanan perifer. Bisa juga menggunakan beta-stimulating catecholamines (isoproterenol)

dapat dipakai karena dapat memperbaiki perfusi jaringan dan output jantung dengan dosis 1

ug/lb BB/menit. Terapi dengan Sympathetic blocking agents menggunakan chlorpromazine

yang telah dipakai pada shock untuk merelaksasikan spasmus pembuluh darah sehingga dapat

memperbaiki perfusi jaringan. Bat ini harus diberikan setelah sebagian cairan infus diberikan

dengan cukup sebab obat ini dapat menyebabkan hipotensi. Dosis yang dipakai adalah 0,25

mg/lb BB.
2.6 Pencegahan

Langkah untuk mencegah terjadinya shock adalah sebagai berikut :

1. Posisi Tubuh

a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi

penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-

organ vital.

b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan

digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari

terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti

pertolongan untuk membebaskan jalan napas.

c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita

tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk

memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan

nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan

bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia.

d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala

agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh

lainnya.

e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan

dengan posisi telentang datar.

f. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan

kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan

tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas

atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

2. Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.

b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas

(Gudel/oropharingeal airway).

c. Berikan oksigen 6 liter/menit

d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup

(Ambu bag) atau ETT.

3. Pertahankan Sirkulasi

Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan darah,

warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Daftar Pustaka

Setiawan, Boedi. 2016. Presentasi Kuliah Bedah Shock. Fakulas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Surabaya.
Fitria, C N. 2010. Syok dan Penanganannya. Akper PKU Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai