Anda di halaman 1dari 81

PEDOMAN

PENINGKATAN MUTU PELAYANAN DAN KESELAMATAN PASIEN

RSUD Dr. SOEDARSO


PONTIANAK KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR

Perubahan budayamerupakan hal yang penting dan diperlukan. Hal ini


akan memerlukan waktu yang tidak sebentar.Meskipunstruktur organisasidapat
diubahrelatif cepat, tetapi tetap saja diperlukanwaktu untukberoperasi dengan
lancardan untukmendapatkan hasil yang terbaik. Peningkatan mutu dan
keselamatan pasien dan manajemen resiko tergantung pada kemampuan individu
untuk mengatur diri sendiri dan mengetahui apa benar apa yang harus dilakukan
daripada bergantung pada aturan perintah dan pendekatan control.
Clinical Governance terdiri dari 7 (tujuh) pilar yang
merupakanserangkaian atribut kualitas berakar kuat dalam dasar budaya
organisasi bekerja menuju peningkatan kualitas yang berkelanjutan dan tempaan
yang bermakna kemitraan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Salah
satu pilar tersebut adalah manajemen resiko dan pasien safety. Dalam memberi
pelayanan untuk pasien dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tenaga
profesional yang terdiri dari interdisiplin ilmu yang bekerja sama dalam tim
dengan single management.
Pedoman ini berisi tentang peningkatan mutu, keselamatan pasien dan
manajemen risiko.Penulis berharap semoga penulisan pedoman ini bermanfaat
agar bisa dijadikan pedoman dalam manajemen risiko tatanan rumah sakit.

Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soedarso
Pontianak

Dr. Gede Sandjaja, SpOT (K)


NIP. 19550609 198011 1 003
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT BERSALIN NABASA 3
BAB III KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN RSUD DR. SOEDARSO KALIMANTAN.....
BARAT ...................................................................................... 7
A. Mutu Pelayanan RSUD Dr. Soedarso .............................. 7
1. Pengertian mutu ............................................................ 7
2. Definisi mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso ............. 7
3. Pihak yang bekepentingan dengan mutu....................... 7
4. Dimensi mutu................................................................ 8
5. Mutu terkait dengan input, proses, output dan
outcomes........................................................................ 9
6. Strategi mutu ................................................................. 11

B. Upaya peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso 13


1. Definisi upaya peningkatan mutu pelayanan RSUD
Dr. Soedarso .................................................................. 14
2. Tujuan Upaya peningkatan mutu pelayanan RSUD
Dr. Soedarso .................................................................. 14
3. Indikator mutu ............................................................... 14
4. Strategi ........................................................................... 14
5. Pendekatan pemecahan masalah ................................... 15
BAB IV PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN .............................................................................. 16
A. Indikator area klinis................................................................. 17
1. Pengkajian awal pasien baru dalam 24 jam ...................... 17
2. Waktu tunggu hasil pemeriksaan darah ............................ 19
3. Angka reaksi obat kontras ................................................. 19
4. Angka penundaan operasi.................................................. 21
5. Operasi bersih tanpa penggunaan antibiotic
Profikaksis......................................................................... 22
6. Ketepatan waktu pemberian injeksi antibiotika
Pada pasien rawat inap ...................................................... 31
7. Pengkajian anastesi pra induksi pada pasien yang akan
di operasi............................................................................ 32
8. Angka reaksi transfusi darah ............................................. 33
9. Kelengkapan catatan laporan operasi ............................... 37
10. Infeksi luka operasi............................................................ 38
B. Indikator area manajemen ....................................................... 39
1. Ketersediaan obat dan alkes life saving di trolley
Emergensi atau emergency kit di ruang rawat inap........... 39
2. Insiden tertusuk jarum....................................................... 40
3. Survey kepuasan pelanggan menggunakan kuesioner
Kepuasan pelanggan ......................................................... 41
4. Angka kepuasan staf rumah sakit ..................................... 42
5. Edukasi hand hygiene di ruang rawat inap ....................... 44
C. Indikator area keselamatan pasien .......................................... 46
1. Ketepatan memasang gelang identitas pasien ................... 46
2. Komunikasi Efektif............................................................ 47
3. Kepatuhan melaksanakan hand hygiene ........................... 55
4. Pasien jatuh dengan atau tanpa cedera di ruang
Rawat inap ........................................................................ 55

BAB V PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN ....................... 57


BAB VI MANAJEMEN RISIKO KLINIS............................................... 62
A. Pengertian .............................................................................. 62
B. Tujuan Manajemen risiko .................................................... 64
C. Unsur-unsur dalam program manajemen risiko .................. 64
D. Cakupan program manajemen risiko ................................... 65
E. Proses Manajemen risiko ..................................................... 66
F. Langkah untuk mengkaji risiko di tempat kerja................... 68
G. Laporan insiden ................................................................... 72
H. Pemeriksaan kejadian umum ............................................... 73
I. Dokumentasi......................................................................... 73
J. Kebijakan dan prosedur ....................................................... 73
K. Keamanan dan kepuasan klien ............................................ 74
L. Manajemen risiko dan keperawatan .................................... 74

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar


dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu
unsur kesejahteraan umum bagi masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan
kesehatan. Untuk itu perlu ditingkatkan upaya guna memperluas dan
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik dan
biaya yang terjangkau.
Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar
yang diperlukan setiap orang. Para ahli kedokteran dan kesehatan termasuk
profesi keperawatan senantiasa berusaha meningkatkan mutu dirinya, profesinya,
maupun peralatan kedokteran, khususnya manajemen mutu pelayanan kesehatan
perlu ditingkatkan. Keperawatan sebagai salah satu profesi, mempunyai
kedudukan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan serta merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia.
Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan yang berfungsi
untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan dan upaya
kesehatan penunjang. Keberhasilan rumah sakit dalam menjalankan fungsinya
ditandai dengan adanya mutu pelayanan prima.Faktor dominan yang
mempengaruhi mutu adalah sumber daya manusia.Sumber daya manusia yang
terlibat secara langsung dalam pemberian pelayanan kepada pasien paling banyak
jumlahnya adalah perawat dan bidan yaitu 40%.
Mutu pelayanan adalah ukuran dari penilaian atas beberapa unit pelayanan,
penilaian mutu erat hubungan dengan proses penyusunan standar pelayanan,
meliputi empat langkah utama, yaitu menentukan kebutuhan dan lingkup standar,
menyusun standar, menerapkan standar, evaluasi, dan pembaruan (updating)
standar. Ada 3 (tiga) pendekatan penilaian standar mutu ,yaitu (1) Standar struktur
yang meliputi aspek fisik, sarana organisasi dan sumber daya manusia (2) Standar
proses, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan. (3) Standar hasil,
outcome dari proses kegiatan pelayanan yang diharapkan.
Era globalisasi ini berkembang cara pandang baru, lingkungan usaha
semakin cepat berubah, persaingan semakin tajam, pelayanan yang berkualitas
dihasilkan sumber daya manusia berkualitas, akan mampu bertahan. Pelayanan
prima atau excellent service adalah pelayanan yang bermutu tinggi dan
memuaskan.
Semakin meningkatnya pendidikan dan keadaan social ekonomi
masyarakat, maka system nilai dan orientasi dalam masyarakatpun mulai berubah.
Masyarakat mulai cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih
ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan. Semakin meningkatnya
tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan rumah sakit maka fungsi pelayanan
RSUD Dr. Soedarso secara bertahap perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih
efektif dan efisien serta memberi kepuasan kepada pasien, keluarga maupun
masyarakat.
Peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso seperti sangat
diharapkan maka perlu disusun Pedoman Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan
RSUD Dr. Soedarso.Buku pedoman tersebut merupakan konsep dan program
peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso yang disusun sebagai acuan
bagi pengelola RSUD Dr. Soedarso dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit.Buku pedoman ini diuraikan tentang prinsip upaya
peningkatan mutu, langkah-langkah pelaksanaannya dan dilengkapi dengan
indikator mutu.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOEDARSO

Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal


yang baru. Pada tahun 1820 sampai dengan 1910 Frorence Nightingale seorang
perawat dari Inggris menekankan pada asepk-aspek keperawatan pada
peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal sampai sekarang
adalah hospital should do the patient no harm yang artinya adalah rumah sakit
jangan sampai merugikan dan mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medic dimulai
oleh ahli bedah Dr. E.A. Codman dari Boston pada tahun 1917. Dr. E.A Codman
dan beberapa ahli bedah lain.Kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk,
karena seringnya terjadi penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu
terjadi karena kondisi yang tidak memenuhi syarat di rumah sakit. Untuk itu perlu
ada penilaian dan penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan
pembedahan. Hal ini merupakan upaya pertama yang berusaha mengidentifikasi
masalah klinis serta mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of
Surgeions menyusun suatu Hospital Standardization Programmed. Program
standarisasi adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan
mutu pelayanan. Program ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu
pelayanan sehingga banyak rumah sakit tertarik untuk ikut serta. Dengan
berkembangnya ilmu dan teknologi maka spesialisasi ilmu kedokteran di luar
bedah cepat berkembang. Oleh karena itu program standarisasi perlu diperluas
agar dapat mencakup disiplin lain secara umum.
Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of
Physicians, American Hospital Association bekerja sama membentuk suatu Joint
Commision on Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk
menilai dan mengakreditasi rumah sakit.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal
dan essensial untuk mengatasi kelemahan yang ada di rumah sakit, namun telah
memacu rumah sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya
sesuai dnegan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini
antara tahun 1953 1965 standar akreditasi di revisi enam kali, selanjutnya
beberapa tahun sekali diadakan revisi.
Di Australia, Australian Council on Hosptal Standards (ACHS) didirikan
dengan susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1980 badan ini baru
berhasil beroperasi dalam 3 negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat
diterima kehadirannya dan diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan sehingga sekarang kegiatan ACHS telah mencakup semua Negara
bagian. Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia pada dasarnya hampir sama
dengan di Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat
tinggi, namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih
kabur bagi kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Pendekatan secara Amerika
sukar diterapkan karena perbedaan system kesehatan di masing-masing Negara di
Eropa. Karena itu kantor Regional WHO untuk eropa pada awal tahun 1980-an
mengambil inisiatif untuk membantu negara-negara eropa mengembangkan
pendekatan peningkatan mutu pelayanan disesuaikan dengan sistem pelayanan
kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang
upaya peningkatan mutu dan penyelenggaraan symposium di Utrecht, negeri
belanda tentang metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983
di Barcelona, Spanyol suatu kelompok kerja yang dibnetuk oleh WHO telah
mengadakan pertemuan untuk mempelajari peningkatan mutu khusus untuk
Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun
pada symposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa
secara nasional upaya peningkatan mutu di berbagai Negara Eropa Barat masih
pada perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan
mutu dan akreditasi rumah sakit secara nasional adalah Taiwan. Negara ini
banyak menerapkan metodologi dari Amerika. Sedangkan Malaysia
mengembangkan peningkatan mutu pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari
negeri Belanda.
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah
dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu
penetapan kelas rumah sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa
kriteria untuk tiap kelas rumah sakit A, B, C, D. kriteria ini kemudian
berkembang menjadi standar-standar. Dari tahun ke tahun disusun berbagai
standar baik menyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana untuk
masing-masing kelas rumah sakit. Di samping standar, Departemen Kesehatan
juga mengeluarkan berbagai pedoman dalam rangka meningkatkan penampilan
pelayanan rumah sakit.
Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai
indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) rumah
sakit pemerintah kelas C dan rumah sakit swasata setara yaitu dalam rangka Hari
Kesehatan Nasional. Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan
disempurnakan. Evaluasi penampilan untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan
indikator keberhasilan dan ketertiban rumah sakit dan yang dievaluasi selain kelas
C juga kelas D dan kelas B serta rumah sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi
penampilan tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrument mengukur
kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan rumah sakit ini merupakan langkah
awal dari konsep Continouous Quality Improvement(CGI). Berbeda dengan
konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada
pencapaian standar, maka pada CQI focus lebih diarahkan kepada penampilan
organisasi melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan pelayanan
penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa rumah sakit telah mengadakan
monitoring dan evaluasi mutu pelayanan rumah sakitnya. Pada tahun 1981 RS
Gatot Subroto telah melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas
derajat kepuasan pasien. Rumah Sakit Husada pada tahun 1984
melakukankegiatan yang sama. Rumah Sakit Adi Husada di Surabaya membuat
penilaian mutu atas dasar penilaian perilaku dan penampilan kerja perawat.
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya menilai mutu melalui penilaian infeksi
nosocomial sebagai salah satu indicator mutu pelayanan. Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan obat secara rasional. Rumah
Sakit Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu terpadu (TQC) dan
Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle=QCC). Beberapa rumah sakit
lainnya juga telah mencoba menerapkan gugus kendali mutu, walaupun hasilnya
belum ada yang dilaporkan.
Upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Soedarso Pontianak telah dilakukan sejak adanya Akreditasi tahun
2007 tepatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Kesehatan melalui
Akreditasi 5 Pelayanan dasar. Dalam upaya peningkatan mutu RS ini dilakukan
secara terus menerus dan berkesinambungan dan dilanjutkan melalui moment
akreditasi lanjutan 12 pelayanan Kesehatan sampai akreditasi tingkat penuh yang
telah dicapai oleh Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soedarso Pontianak yang
didalamnya menetapkan garis-garis besar program peningkatan mutu dan
ditambah dengan peningkatan mutu melalui Program 14 indikator area klinis, 9
indikator area manajemen, serta 4 indikator Keselamatan pasien.
Sejalan dengan hal tersebut maka Departemen Kesehatan telah
mengadakan pelatihan peningkatan mutu pelayanan rumah sakit pada beberapa
rumah sakit. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk
meningkatkan mutu sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering
ada perbedaan.
BAB III
KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN
RSUD DR. SOEDARSO KALIMANTAN BARAT

Upaya Peningkatan mutu di RSUD Dr. Soedarso agar dapat dilaksanakan


secara efektif dan efisien maka diperlukan adanya kesatuan bahasa tentang konsep
dasar upaya peningkatan mutu pelayanan.
A. Mutu Pelayanan RSUD Dr. Soedarso
1. Pengertian mutu
Beberapa pengertian mutu antara lain di artikan sebagai kesempurnaan
suatu produk atau jasa. Mutu juga dapat diartikan sebagai expertise atau
keahlian dan keterikatan (commitment) yang selalu dicurahkan pada
pekerjaan. Ada yang mengartikan sebagai kegiatan tanpa salam
melakukan pekerjaan.
2. Definisi mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso
Mutu pelayanan di RSUD Dr. Soedarso adalah derajat kesempurnaan
pelayanan RSUD Dr. Soedarso untuk memenuhi kebutuhan masyarakat/
konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi
dan standar pelayanan dengan menggunakan potenti sumber daya yang
tersedia di rSUD Dr. Soedarso secara wajar, efisien dan efektif serta
diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum
dan sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan
RSUD Dr. Soedarso dan masyarakat sebagai konsumen.
3. Pihak yang berkepentingan dengan mutu
Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu :
a. Konsumen
b. Pembayar/perusahaan/asuransi
c. Manajemen RSUD Dr. Soedarso
d. Karyawan RSUD Dr. Soedarso
e. Masyarakat
f. Pemerintah
g. Ikatan profesi
Setiap kepentingan tersebut diatas bebeda sudut pandang dan
kepentingannya terhadap mutu. Karena itu mutu merupakan multi
dimensional.
4. Dimensi mutu
Dimensi atau aspeknya adalah :
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan pasien
d. Kepuasan pasien
e. Aspek sosial budaya
Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar
untuk mengukur kepuasan, yaitu :
a. Tangible (bukti langsung), yang meliputi fasilitas fisik, peralatan,
personil, dan media komunikasi yang dapat dirasakan langsung oleh
pelanggan. Dan untuk mengukur dimensi mutu ini perlu
menggunakan indera penglihatan.
b. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang tepat dan terpercaya. Pelayanan yang terpercaya
artinya adalah konsisten. Sehingga reliability mempunyai dua aspek
penting yaitu kemampuan memberikan pelayanan seperti yang
dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan pelayanan yang
tepat atau akurat.
c. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kesediaan/kemauan untuk
membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat. Dengan
kata lain bahwa pemberi pelayanan harus responsif terhadap
kebutuhan pelanggan. Responsiveness juga didasarkan pada persepsi
pelanggan sehingga factor komunikasi dan situasi fisik disekitar
pelanggan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
Assurance (jaminan kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan
karyawan dan kemampuannya untuk memberikan rasa percaya dan
keyakinan atas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Dan
komponen dari dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, dan
keamanan.
d. Emphaty (empati), yaitu membina hubungan dan memberikan
pelayanan serta perhatian secara individual pada pelanggannya.
Pendapat lain mengenai dimensi mutu dijelaskan oleh Tjong (2004) yaitu:
a. Dapat Dipercaya (Reliability)
Dapat dipercaya artinya konsisten, dan pelayanan akan dapat
diberikan jika dapat dipercaya oleh pelanggan.
b. Responsif (Responsiveness)
Responsif secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kecepatan
dan ketanggapan. Buat Pelanggan Merasa Dihargai (Makes
Customer Feel Valued) Pelanggan mempunyai pikiran bahwa
merekalah yang orang yang sangat penting saat itu, sehingga perlu
diperhatikan bagaimana menghargai pelanggan.
c. Empati (Empaty)
Empati merupakan keahlian yang sangat bermanfaat, karena melalui
empati dapat menjembatani pembicaraan kepada solusi. Dan melalui
empati, pemberi pelayanan akan berada di sisi yang sama dengan
pelanggan sehingga dapat lebih memahami kebutuhan pelanggan.
d. Kompetensi (Competency)
Kompetensi dalam hal ini lebih difokuskan pada staf yang langsung
berhubungan dengan pelanggan. Pelanggan cenderung tidak mau
berhubungan dengan manajer, tetapi mereka lebih menginginkan
orang pertama yang bertemu merekalah yang harus dapat
menyelesaikan masalah mereka.
5. Mutu terkait dengan Input, Proses, output dan outcomes
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan
3 variabel, yaitu
a. Input merupakan segala sumber daya yang diperlukan utnuk
melakukan pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas,
peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang
bermutu pula. Hubungan struktur dengan mutu pelayanan kesehatan
adalah dalam perencanaan dan penggerakkan pelaksanaan pelayanan
kesehatan.
b. Proses merupakan aktifitas dalam bekerja yaitu interaktsi professional
antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien/masyarakat).
Proses ini merupakan variable penilaian mutu yang penting.
c. Output ialah jumlah pelayanan yang dilakukan oleh kerja/rumah sakit.
d. Outcomes merupakan hasil pelayanan kesehatan, merupakan
perubahan yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk
kepuasan dari konsumen tersebut.
RSUD Dr. Soedarso adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang
kompleks, padat pakar dan padat model. Kompleksitas ini muncul karena
pelayanan di RSUD Dr. Soedarso menyangkut berbagai fungsi pelayanan
serta mencakup berbagai tingkatan maupun jenis disiplin. RSUD Dr.
Soedarso harus memampu melaksanakan fungsi yang demikian kompleks,
harus memiliki sumber daya manusia yang professional baik di bidang
teknis medis maupun administrasi kesehatan. Untuk menjaga dan
meningkatkan mutu RSUD Dr. Soedarso harus mempunyai suatu ukuran
yang menjamin peningkatan mutu di semua tingkatan.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan di RSUD Dr. Soedarso awali
dengan penilaian akreditasi RSUD Dr. Soedarso yang mengukur dan
memecahkan masalah pada tingkat input dan proses. Pada kegiatan ini
RSUD Dr. Soedarso harus menetapkan standar input, proses, output dan
outcomes serta membakukan seluruh standar prosedur yang telah
ditetapkan. RSUD Dr. Soedarso dipacu untuk dapat menilai diri (self
assessment) dan memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan. Sebagai kelanjutan untuk mengukur hasil kerjanya perlu
ada alat ukur yaitu instrument mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso yang
menilai dan memecahkan masalah pada hasil baik output maupun
outcomes. Tanpa mengukur hasil kinerja RSUD DR. Soedarso maka tidak
akan dapat diketahui apakah input dan proses yang baik telah
menghasilkan output yang baik pula. Indikator pelayanan di RSUD yang
disusun dengan tujuan agar dapat mengukur kinerja mutu RSUD Dr.
Soedarso secara nyata.
6. Strategi Mutu
a. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun
1960-an implementasi pertama yaitu audit keperawatan.Strategi ini
merupakan program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan
dan mengevaluasi pelaksanaan standar (Swansburg, 1999).Sedangkan
menurut Wijono (2000), Quality Assurance sering diartikan sebagai
menjamin mutu atau memastikan mutu karena Quality Assurance
berasal dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang,
mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau menjaga. Dimana
dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi,
internal audit dan surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua
tujuan yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas, dan
efektifitas prosedur tersebut untuk menghasilkan hasil yang
diinginkan. Quality assurance dalam pelayanan adalah kegiatan
menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu pelayanan yang
diberikan sesuai dengan standar. Dimana metode yang digunakan
adalah : audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah proses
pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien)
telah sesuai dengan standar operating procedure (SOP); evaluasi
proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga sebagai
suatu system (input, proses, outcome), menjaga mutu pelayanan
difokuskan hanya pada satu sisi yaitu pada proses pemberian
pelayanan untuk menjaga mutu pelayanan.

b. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)


Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan
merupakan perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak
tahun 1980-an. Continuous Quality Improvement (Peningkatan mutu
berkelanjutan) sering diartikan sama dengan Total Quality
Management karena semuanya mengacu pada kepuasan pasien dan
perbaikan mutu menyeluruh. Namun menurut Loughlin dan Kaluzny
(1994, dalam Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu Total
Quality Management dimaksudkan pada program industry sedangkan
Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono (2000)
mengatakan bahwa Continuous Quality Improvement itu merupakan
upaya peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi oleh
keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu yang
tinggi dalam pelayanan keperawatan yang komprehensif dan baik,
tidak hanya memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang
berlaku.
Shortell dan Kaluzny (1994) mengemukakan bahwa Quality
Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan
pelayanan yang baik.Continuous Quality Improvement sebagai filosofi
peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan
dengan memberikan pelayanan dapat menimbulkan kepuasan
pelanggan (Shortell, Bennett & Byck, 1998).
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan adalah upaya
untuk meningkatkan mutu pelayanan secara terus menerus yang
memfokuskan pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan
pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai karakteristik-
karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome yang
ditandai dengan kepuasan pasien.

c. Total quality manajemen (TQM)


Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh)
adalah suatu cara meningkatkan performansi secara terus menerus
pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari
suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia
dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan pasien dan
perbaikan mutu menyeluruh.

B. UPAYA PENINGATAN MUTU PELAYANAN RSUD DR. SOEDARSO


Upaya peningatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan
keseluruhan upaya dan kegiatan secara komprehensif dan integrative
memantau dan menilai mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso yang
memecahkan masalah-masalah yang ada serta mencari jalan keluar sehingga
mutu pelayanan RSUD Dr. Soedaso akan menjadi lebih baik.
Upaya peningkatan mutu pelayanan di RSUD Dr. Soedaso merupakan
kegiatan yang bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya
kepada pasien. Upaya peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso akan
sangat berarti dan efektif bilamana upaya peningkatan mutu menjadi tujuan
sehari-hari dari setiap unsur di RSUD dr. Soedarso termasuk pimpinan,
pelaksana pelayanan langsung dan staf penunjang.
Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan mutu
asuhan atau pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan
efisien. Walaupun disadari bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak berarti
mutu yang lebih baik selalu memerlukan biaya lebih banyak atau mutu rendah
biayanya lebh sedikit.
Berdasarkan hal diatas maka disusunlah definisi dan tujuan dari upaya
peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso.

1. Definisi upaya peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso


Upaya peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso merupakan
keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan integrative yang
menyangkut input, proses dan output secara objektif, sistematik dan
berlanjut memantau dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan kepada
pasien, dan memecahkan masalah-masalah yang terungkap sehingga
pelayanan yang diberikan di RSUD Dr. Soedarso berdaya guna dan
berhasil guna.
2. Tujuan upaya peningaktan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso
Umum :
Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui upaya peningkatan mutu
pelalayanan RSUD Dr. Soedarso secara efektif dan efisien agar tercapai
derajat kesehatan yang optimal.
Khusus :
Tercapainya peningkatan mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso melalui :
a. Optimalisasi tenaga, sarana dan prasarana
b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan star pelayanan
yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan
kebutuhan pasien.
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna, hasil peneli penelitian dan
pengembangan pelayanan kesehatan.
3. Indikator mutu
Indikator mutu RSUD Dr. Soedarso meliputi indikator klinik, indikator
manajemen dan indikator keselamatan pasien yang berdasarkan pada
efektifitas, efisiensi, keselamatan dan kelayakan.
4. Strategi
Untuk meningkatkan mutu pelayananan kesehatan RSUD Dr. Soedarso
maka disusunlah strategi sebagai berikut :
a. Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan
prinsip mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso sehingga dapat
menerapkan langkah-langkah upaya peningkatan mutu di masing-
masing unit kerjanya.
b. Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya
manusia di RSUD Dr. Soedarso serta upaya meningkatkan
kesejahteraan karyawan.
c. Menciptakan budaya mutu di RSUD Dr. Soedarso termasuk di
dalamnya menyusun program mutu RSUD Dr. Soedarso dengan
pendekatan PDCA cycle.
5. Pendekatan pemecahan masalah
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur)
yagn berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah
identifikasi masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat
penting dari seluruh proses siklus karena akan menentukan kegiatan-
kegiatan selanjutnya dari pendekatan pemecahan masalah ini. Masalah
akan timbul apabila ;
a. Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat
penyimpangan.
b. Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut
c. Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memceahkan masalah maka bias dilakukan
tindakan perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bias tuntas, setelah
diadakan tindakan perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang
tertinggal. Dari penilaian kembali maka akan didapatkan masalah yang
telah terpecahkan dan masalah yang masih tetap merupakan masalah
sehingga proses siklus akan berulang mulai tahap pertama.
BAB IV
PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang
akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang
digunakan untuk mengukur mutu pelayanan RSUD Dr. Soedarso.

Indikator :
Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu
indikasi. Indikator merupakan suatu variable yang digunakan untuk bisa melihat
perubahan. Indikator yang baik adalah yang sensitive tapi juga spesifik.
Kriteria adalah spesifikasi dari indikator.
Standar adalah tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang
yang berwenang dalam situasi tersebut atau oleh mereka yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan tingkat kinerja atau kondisi tersebut. Standar merupakan
suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik.
Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau mutu.
Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus
memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1. Aspek yang dipilih untuk diitingkatkan adalah
a. Keprofesian.
b. Efisiensi
c. Keamanan pasien
d. Kepuasan pasien
e. Sarana dan lingkungan fisik
2. Indikator yang dipilih
a. Indikator lebih diutamakan untuk menilai output daripada input dan proses
b. Bersifat umum yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan kelompok
daripada untuk perorangan.
c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan rumah sakit lain.
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang dipilih
untuk dimonitor.
e. Didasarkan pada data yang ada
3. Kriteria yang digunakan
Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat menilai
indikator sehingga dapat sebagai bagian yang memisahkan antara mutu baik
dan mutu yang tidak baik.
4. Standar yang digunakan
Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan :
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan rumah sakit yang setara
c. Berdasarkan tren yang menuju kebaikan.
Adapun indikator yang digunakan di Rumah Sakit Umum Dr. Soedarso Pontianak
terdapat 3 indikator pada area klinis, manajemen, dan keselamatan pasien.
Adapun indikator-indikatornya adalah :
A. Indikator area klinis
1. Pengkajian awal pasien baru dalam 24 jam
Pengkajian adalah tahapan dari proses dimana dokter, perawat,
dietisien mengevaluasi data pasien subyektif maupun obyektif untuk
membuat keputusan terkait status kesehatan pasien, kebutuhan perawatan,
intervensi dan evaluasi.
Pengkajian awal adalah pengkajian yang dilakukan pada setiap
pasien masuk ke Rumah Sakit meliputi status medis pasien melalui
pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatannya. Dilakukan juga evaluasi
terhadap faktor psikologis, visual dan ekonomi serta kebutuhan khusus
pasien termasuk juga penentuan dibutuhkan atau tidaknya perencanaan
pemulangan pasien (discharge planning). Pengkajian awal terdiri dari
pengkajian awal gawat darurat, pengkajian awal rawat jalan, dan
pengkajian awal rawat inap yang harus di isi dalam waktu 24 jam.
Kualifikasi petugas kesehatan yang melakukan pengkajian adalah petugas
kesehatan yang mempunyai kompetensi, seperti dokter, SDM
keperawatan, farmasi klinis, terafis, dietisien dan lain-lain yang melakukan
kolaborasi dalam pelayanan pasien dengan melakukan analisa dan
mengintegrasikan hasil pengkajian.
Ruang lingkup kategori pengkajian pasien adalah dari segi medis,
keperawatan, gizi dan lain-lain. Komponen utama dari proses pelayanan
pasien rawat inap dan rawat jalan untuk memperoleh informasi terkait
status medis pasien. Untuk dapat berhasil memberikan terapi/asuhan yang
berorientasi kepada pasien, dalam prakteknya, doker, perawat dan dietisein
harus memiliki pengetahuan dan keahlian dalam melakukan pengkajian
pasien. Pengkajian pasien diperoleh dari pasien dan sumber-sumber lain.
Pengkajian pasien dibutuhkan dalam membuat keputusan-keputusan
terkait status kesehatan pasien, kebutuhan dan permasalahan keperawatan,
intervensi guna memecahkan permasalahan kesehatan yang sudah
teridentifikasi atau juga mencegah permasalahan yang bisa timbul dimasa
mendatang serta tindak lanjut untuk memastikan hasil-hasil yang
diharapkan pasien terpenuhi. Proses asuhan kepada pasien saling
berhubugnan/terjadi kolaborasi antara dokter, perawat dan gizi.

Dalam pengkajian, pasien dan keluarga harus diikutsertakan dalam


seluruh proses agar asuhan kepada pasien menjadi optimal. Pada sat
evaluasi, bila terjadi perubahan yang signifikan terhadap kondisi klinis
pasien maka harus segera dilakukan pengkajian ulang.
Pengkajian awal diperlukan untuk mengidentifikasi adanya
permasalahan yang terjadi pada pasien dan memastikan bahwa pasien
dalam keadaan aman dan nyaman sehingga dapat menghindari terjadinya
kejadian yang tidak diharapkan seperti pasien jatuh.
Penelitian yang dilakukan oleh Atkinson (2013) tentang pengkajian
pasien yang dilakukan oleh perawat di unit medical didapatkan hasil
pengkajian yang dilakukan oleh perawat mempunyai masalah dalam
memastikan pasien aman termasuk pengkajian secara visual maupun
verbal. Perawat mengobservasi warna kulit, ekpresi, penampilan dan
respon verbal. Perawat telah menampilkan pengetahuan secara umum
serta menafsirkan pengkajian yang telah didapatkan dan menangani
masalah pasien secara kompleks meskipun mempunyai tantangan pada
waktu yang sempit. Perawat menunjukkan keahlian walaupun mempunyai
pengalaman yang baru. Dari penelitian tersebut dapatlah disimpulkan
bahwa perlu dilakukan observasi apakah pengkajian
2. Waktu tunggu hasil pemeriksaan darah
Waktu tunggu hasil pemeriksaan darah didefinisikan sebagai waktu yang
diukur mulai dari specimen diterima di laboratorium sampai hasil
dilaporkan. Menurut permenkes No. 129/Menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan minimal rumah sakit, waktu tunggu hasil pelayanan
laboratium untuk pemeriksaan darah adalah tenggang waktu mulai pasien
diambil sampel sampai dengan menerima hasil yang sudah di ekspertisi
dengan standar waktu 140 menit untuk pemeriksaan kimia darah dan
darah rutin.
Penelitian Chung et al (2009) mendapatkan bahwa untuk rerata
pemeriksaan kimia klinik adalah 43,67,7 menit. Sebanyak 98% dari
specimen diselesaikan dalam waktu 60 menit.
3. Angka reaksi obat kontras
Bahan kontras yang diinjeksi intravaskuler pada dasarnya mempunyai
risiko definitive terhadap terjadinya reaksi dan efek samping.
Kemungkinan timbulnya reaksi itu pada seseorang tidak dapat diramalkan
dengan tegas. Tindakan preventif untuk mencegah terjadinya efek
samping dengan memberikan obat-obatan tertentu sebelum injeksi tidak
mempunyai pengaruhi yang bermakna dalam menguangi atau mencegah
reaksi terhadap bahan kontras (Shehadi, 1982). Cara lain dengan tindakan
sugesti hipnotis berhasil dengan efektif mengurangi nausea, vomitus dan
urtikaria (Laili, 1974).
Reaksi terhadap pemakaian bahan kontras intravaskuler tidak diketahui
sebabnya, tetapi banyak hipotesis yang dikemukakan dan tampaknya
beberapa factor ikut berperan. Menurut Laser (1968) yang mendasari
terjadinya reaksi terhadap injeksi bahan kontras adalah proses alergi atau
idiosinkrasi dan kemoktasis. Factor-faktor lain yang diduga sebagai
penyebab adalah pelepasan histamain, reaksi-reaksi protein tubuh,
penekanan asetilkolin-ewsterase atau aktivitas komplemen darah (Fischer
dan Colgan, 1976). Faisal (1992) mendapatkan reaksi yang terjadi 6%
pada penggunaan obat kontras untuk urografin 76%. Hal ini sama dengan
penelitian yang dilaporkan oleh Ansel (1970) dan Shehadi dan Taniolo
(1980) yaitu 5 8,5%.
Radiokontras yang mengandung iodine intravena diketahui mempunyai
efek toksik terhadap ginjal (nephrotoxicity). Saat ini terus dikembangkan
radiokontras yang lebih fisiologis untuk mengurangi efek samping
terjadinya nefropati radiokontras. Penelitian yang dilakukan Lalli, et al.
(2009) menemukan 228 pasien meninggal setelah pemberian radiokontras
yang melibatkan prosedur cholangiography, angiography dan urography.
Angka kematian pada penelitian ini cukup tinggi dan dikatakan sebagai
penyebabnya adalah adanya reaksi akibat radiokontras.Angka kejadian dan
risiko nefropati radiokontras telah banyak dipelajari, yaitu perubahan pada
fungsi ginjal yang terjadi pada semua kasus atau yang lebih berat yaitu
nefrotoksik radiokontras yang biasanya bersifat akut, reversibel, sampai
gagal ginjal dengan derajat yang berbeda. Gagal ginjal yang terjadi tidak
selalu bersifat reversibel oleh karena banyak faktor lain yang
mempengaruhi nefrotoksisitas.. Faktor penting lain yang mempengaruhi
kejadian ini seperti adanya gagal jantung dan dosis radiokontras yang
besar. Risiko gagal ginjal setelah penggunaan radiokontras meningkat
sesuai dengan banyaknya faktor risiko yang ada. Sebuah studi oleh Rich,
et al. (2009) menemukan insiden gagal ginjal meningkat secara progresif
dari 1,2% sampai 100% sesuai dengan jumlah faktor risiko. Mengingat
risiko terjadinya nefropati radiokontras cukup tinggi, maka diperlukan data
yang jelas dan bagaimana penanganannya.
4. Angka penundaan operasi
Elective surgery merupakan terminology untuk semua operasi yang kurang
mendesak dimana waktu masuk ke rumah sakit dapat ditunda paling tidak
24 jam. Mereka yang menunggu giliran untuk dioperasi diberi kategori
klinis yang berdasarkan atas penilaian dari dokter spesialis. Berdasarkan
keadaan yang normal, pasien dengan klasifikasi paling mendesak
(Kategori 1 mendesak) akan dijadwalkan sebelum pasien-pasien lainnya.
Ada tiga kategori klinis yang dipakai secara nasional untuk
mengklasifikasi pasienpasienyang memerlukan operasi:
Kategori 1 mendesak
Kemungkinan waktu menunggu untuk operasi mendesak adalah 30 hari
atau kurang.
Kategori 2 cukup mendesak
Kemungkinan waktu menunggu untuk operasi yang kurang mendesak
adalah 90 hariatau kurang.
Kategori 3 tidak mendesak
Kemungkinan waktu menunggu untuk operasi yang tidak mendesak adalah
12 bulan atau kurang.
Walaupun rumah sakit umum berupaya untuk memenuhi jadwal tersebut,
rumah sakit harus memberi prioritas kepada pasien gawat yang
memerlukan tempat tidur di sebuah rumah sakit. Walaupun dilakukan
penjadwalkan kadang-kadang terjadi penundaan karena banyak hal seperti
keadaan pasien yang tidak memungkinkan untuk dioperasi, alat yang
rusak, ataupun keadaan yang diluar dari rencana semula.

5. Operasi bersih tanpa penggunaan antibiotic profilaksis


Antibiotika profilaksis adalah antibiotika yang diberikan dalam
waktu singkat sebelum opeasi dengan tujuan menurunkan resiko terjadinya
infeksi daerah operasi. Walaupun antibiotika profilaksis penting
menurunkan angka infeksi tetapi bila penggunaan tidak tepat akan
menimbulkan perkembangan bakteri resistensi terhadap antibiotic yang
dapat mempersulit pengobatan. Pada operasi bersih tidak perlu
menggunakan antibiotic profilaksis. Operasi bersih adalah operasi yang
dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, tanpa
membuka trakturs (respiratorius, gastro intestinal, urinarius, bilier),
operasi terencana, atau penutupan kulit primer dengan atau tanpa
digunakan drain tertutup. Pada operasi ini umumnya tidak memerlukan
antibiotika profilaksis kecuali pada beberapa jenis operasi, misalnya mata,
jantung, dan sendi.
Penggunaan antibiotik prabedah dapat mengurangi kejadian
infeksi, khususnya infeksi luka, setelah pembedahan tertentu. Namun
manfaat itu harus dipertimbangkan dengan risiko reaksi alergi dan toksik,
munculnya bakteri resistan, interaksi obat, superinfeksi dan biaya. Sekitar
5% pasien yang menerima antibiotik diperkirakan akan mengalami infeksi
serius untuk pengobatan ini. Di Amerika kerugian diperkirakan sebesar
400-2600 dolar per luka operasi yang berarti antara 130-840 juta dolar
pertahun. Di Indonesia infeksi pasca bedah ini memperpanjang waktu
perawatan antara 15-19 hari.
Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca
operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi
dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan
pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai
kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri
(Avenia, 2009). Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat
dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik
dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Rekomendasi
antibiotic yang digunakan pada profilaksis bedah sebagaimana diuraikan
di bawah ini.
Rekomendasi Antibiotik Pada Profilaksis Bedah
Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi
Intracranial
Craniotomy A Recommended
Cerebrospinal fluid (CSF)shuntA Recommended
Spinal surgery A Recommended
Ophtalmic
Operasi katarak A Highly recommended
Glaukoma atau corneal grafts B Recommended
Operasi lakrimal C Recommended
Penetrating eye injury B Recommended
Facial
Open reduction dan internal fixationcompound mandibular fractures
A Recommended
A Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam
Intraoral bone grafting Procedures B Recommended
Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi
Orthognathic surgery A Recommended
A Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam
B Antibiotik spektrum luas yang tepat untuk oral flora dapat diberikan
Facial surgery (clean) Not recommended
Facial plastic surgery (with implant) Should be considered Ear, nose
and throat
Ear surgery (clean/clean-contaminated) A Not recommended
Routine nose, sinus and endoscopic sinus surgery
A Not recommended
Complex septorhinoplasty
(including grafts)

Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam


Tonsillectomy ANot recommended
Adenoidectomy (by curettage) A Not recommended
Grommet insertion B recommended
Head and neck
Head and neck surgery (clean, benign) D Not recommended
Head and neck surgery (clean, malignant; neck dissection)
C should be considered
Head and neck surgery(contaminated/cleancontaminated)
A recommended
C Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam
D Pastikan broad spectrum antimicrobial meliputiaerobic dan anaerobic
organisms
Thorax
Breast cancer surgery A should be considered
Breast reshaping procedures C should be considered
Breast surgery with implant (reconstructive or aesthetic)
C recommended
Cardiac pacemaker insertion A recommended
Open heart surgery C recommended
C Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam
Pulmonary resection A recommended Upper Gastrointestinal
Oesophageal surgery D recommended
Stomach and duodenal surgery A recommended
Gastric bypass surgery D recommended
Small intestine surgery D Recommended
Hepatobiliary
Bile duct surgery A recommended
Pancreatic surgery B recommended
Liver surgery B recommended
Gall bladder surgery (open) A recommended
Gall bladder surgery (laparoscopic) A Not recommended Lower
Gastrointestinal
Appendicectomy AHighly recommended
Colorectal surgery A Highly recommended Abdomen
Hernia repair-groin (inguinal/femoral with or without mesh)
A Not recommended
Hernia repair-groin (laparoscopic with or without mesh)
B Not recommended
Hernia repair (incisional with or without mesh) C Not recommended
Open/laparoscopic surgery with mesh (eg gastric band or rectoplexy)
B Not recommended
Diagnostic endoscopic procedures D Not recommended
Therapeutic endoscopic procedures D should be considered in high
risk

Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi


(endoscopic retrograde cholangio pancreatography and percutaneous
endoscopic gastrostomy) patient
Spleen
Splenectomy - Not recommended should be considered in high risk
patient Gynecological
Abdominal hysterectomy A recommended
Vaginal hysterectomy A recommended
Caesarean section A Highly recommended
Assisted delivery ANot recommended
Perineal tear D Recommended for third/fourth degree perineal tear
Abdomen Gynecological
Manual removal of the placenta D should be considered
D recommended pada pasien terbukti chlamydia atau infeksi
gonorrhoea
Induced abortion A Highly recommended
Evacuation of incomplete miscarriage A Not recommended
Intrauterine contraceptive device (IUCD) insertion
A Not recommended
Urogenital
Transrectal prostate biopsy A recommended
Shock wave lithotripsy A recommended
Percutaneous nephrolithotomy B recommended untuk pasien dengan
batu 20 mm atau dengan pelvicalyceal dilation
Endoscopic ureteric stonefragmentation/removalB recommended
Transurethral resection of the prostate A Highly
recommendedAbdomen Urogenital
Transurethral resection of
bladder tumoursD Not recommended
Radical cystectomy recommended Limb
Arthroplasty B Highly recommendedB Antibiotic-loaded cement is
recommended in addition to intravenous antibiotics
B Lama pemberian antibiotik tidak boleh dari 24 jam
Open fracture A Highly recommended
Open surgery for closed
fracture
A Highly recommended
Hip fracture A Highly recommended
Orthopaedic surgery (without implant) D Not recommended
Lower limb amputation Arecommended
Vascular surgery (abdominal and lower limb arterial reconstruction)
A recommended
Soft tissue surgery of the hand - should be considered Non-operative
intervention
Intravascular catheter insertion:
onon-tunnelled central venous catheter (CVC) D Not recommended
otunnelled CVC A Not recommended
General
Clean-contaminated procedures where nospecific evidence is
available Drecommended
Insertion of a prosthetic device or implant where no specific evidence
is available Drecommended
Head and Neck
Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi
Craniotomy B recommended
CSF shunt Arecommended
Spinal surgery B recommended
Tonsillectomy - Not recommended
Cleft lip and palate - Recommended untuk major cleftpalate repairs
Adenoidectomy (by curettage) A Not recommended
Grommet insertion B recommended
Thorax
Open heart surgery D recommended
Closed cardiac procedures (clean) - Not recommended
Interventional cardiac catheter device placement- Highly
recommended Gastrointestinal
Appendicectomy AHighly recommended
Colorectal surgery B Highly recommended
Insertion of percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG)
B recommended
Splenectomy - Not recommended
Urogenital
Circumcision (routine elective) - Not recommended
Hypospadias repair B should be considered sampai kateter
dilepas
Hydrocoeles/hernia repair C Not recommended
Shock wave lithotripsy B recommended
Percutaneous nephrolithotomy C recommended
Endoscopic ureteric stonefragmentation/removalC recommended
Cystoscopy - Not recommended
- Hanya jika ada risiko tinggi UTI
Nephrectomy - Not recommended
Pyeloplasty - recommended
Surgery for vesicoureteric reflux (endoscopic oropen)- recommended
Non-operative interventions
Intravascular catheter insertion:
onon-tunnelled central venouscatheter (CVC)
otunnelled CVCDD
Not recommended
General
Clean-contaminated procedures where nospecific evidence is
available
D recommended
Insertion of a prosthetic device or implant where no specific evidence
is available
D recommended
1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan:
a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO).
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
c. Penghambatan muncul flora normal resisten.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi,
yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada
kasus bersangkutan.
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian
obatanestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.
Gunakan sefalosporin generasi I II untuk profilaksis bedah.Pada kasus
tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan
metronidazol.Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III
dan IV,golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis
bedah.
4. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b.Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan
pemberianantibiotik intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotik profilaksis diberikan 30 menit sebelum insisi kulit.
Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam
jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang
cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus
mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.Dosis ulangan dapat diberikan
atas indikasi perdarahan lebih dari1500 ml atau operasi berlangsung
lebih dari 3 jam.(SIGN, 2008).
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara
lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008)
Operasi Bersih
Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah tanpa
infeksi, tanpa membuka traktus (respiratorius, gastro intestinal,
urinarius, bilier), operasi terencana, atau penutupan kulit primer
dengan atau tanpa digunakan drain tertutup.
Kelas operasi bersih terencana umumnya tidak memerlukan
antibiotil profilaksis kecuali pada beberapa jenis operasi, misalnya
mata, jantung, dan sendi.
Operasi Bersih Kontaminasi
Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus, bilier,urinarius,
respiratorius, reproduksi kecuali ovarium) atau operasi tanpa disertai
kontaminasi yang nyata.
Pemberian antibiotika profilaksis pada kelas operasi
bersihkontaminasi perlu dipertimbangkan manfaat dan risikonya
karena bukti ilmiah mengenai efektivitas antibiotik profilaksis belum
ditemukan.
OperasiKontaminasi
Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran
kemih,saluran napas sampaiorofaring, saluran reproduksi kecuali
ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross Spillage).
Kelas operasi kontaminasi memerlukan antibiotic terapi (bukan
profilaksis).
Operasi Kotor
Operasi pada perforasi saluran cerna, saluranurogenital atau saluran
napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan daerah yang
purulen (inflamasibakterial).
Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah
kejadian atau terdapat jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor.
Kelas operasi kotor memerlukan antibiotic terapi.
Penelitian yang dilakukan oleh Desiyana dkk (2008) hasilnya dari
150 pasien yang menjalani operasi di RS Darmais sejumlah 131 pasien
yang dapat dipantau hingga 30 hari pasca operasi. Antibiotika profilaksis
digunakan pada 111 dari 131 operasi yang operasi yang dilakukan
(84,73%). Antibiotika yang yang paling banyak digunakan adalah
sefalosporin genersasi III yaitu ceftriaxone (52,25%). 84,68% pasien
menerima antibitoka profilaksis tidak tepat waktu dan 81,98% menerima
antibiotika profilaksis > 24 jam. Infeksi luka operasi terjadi 3 dari 131
(2,29%) pasien tersebut. Hasil analisa multivariat menunjukkan luka
rawat sebelum operasi merupakan factor risiko yang berpengaruh terhadap
kejadian infeksi luka operasi dengan p=0,021 dan OR 3,259.
Penelitian oleh Marityaningsih (2012) tentang kualitas penggunaan
antibiotic di bangsal bedah dan obstetric Rumah Sakit Dr. Karyadi
dapatkan hasil kualitas penggunaan antibiotic dengan tepat indikasi dan
tepat waktu pemberian sebesar 30,3% dan tepat indikasi sebesar 3,6%.
Penggunaan antibiotik yang tanpa indikasi di bangsal bedah sebesar 56,9%
dan ruang obstetric-ginekologi 48,2%. Penelitian Laras (2012) tentang
kuantitas penggunaan antibiotik di RSUP Dr. Karyadi didapatkan ruang
bedah lebih tinggi daripada bangsal obsgin. Jenis antbitok yang tidak
sesuai dengan pedoman penggunaan antibiotik secara statistic lebih
banyak di bangsal bedah.
Dari beberapa penelitian tersebut diperlukan peningkatan mutu
untuk operasi bersih tanpa penggunaan antibiotic profilaksis.
6. Ketepatan waktu pemberian injeksi antibiotika pada pasien rawat inap
Penggunaan antibiotik oleh pasien harus memperhatikan waktu,
frekuensi dan lama pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan
kondisi pasien. Penghentian otomatis pemberian antibiotik dilakukan bila
penggunaan sudah sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
Pengobatan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Perawat turut
bertanggung jawab dalam memastikan bahwa pemberian obat tersebut
aman bagi pasien dan membantu mengawasi efek pemberian obat tersebut.
Untuk dapat menjalankan peranan ini, perawat harus dibekali dengan ilmu
keperawatan (UU No.23 th. 1992 pasal 32 ayat (3)). Dalam pemberian
obat yang aman, perawat perlu memperhatikan lima tepat (five rights).
Selama ini istilah five rights sering diterjemahkan sebagai lima tepat. Lima
tepat ini meliputi tepat pasien (right client), tepat obat (right drug), tepat
dosis (right dose), tepat waktu (right time), dan tepat rute (right route).
Setiap ketepatan memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan tindakan
keperawatan khusus (Abrams, 1995). Kee dan Hayes (2000)
mengemukakan bahwa pengalaman menunjukkan ada five rights lainnya
yang juga penting dalam praktek keperawatan profesional, yaitu: righ
assessment (tepat pengkajian), right documentation (tepat pencatatan),
clients right to get education (hak klien mendapatkan pendidikan), right
evaluation (tepat evaluasi), dan clients right to refuse medication (hak
pasien untuk menolak). Kee dan Hayes menyebut penambahan ini dengan
istilah five plusfive rights.
Data tentang kesalahan pemberian obat(medication error) di
Indonesia belum dapatditemukan. Darmansjah, (Nainggolan, 2003),
ahlifarmakologi dari FKUI menyatakan bahwa kasuspemberian obat yang
tidak benar maupun tindakanmedis yang berlebihan (tidak perlu dilakukan
tetapidilakukan) sering terjadi di Indonesia, hanya sajatidak terekspos
media massa. Berdasarkan penelitianyang dilakukan oleh peneliti dari
Auburn Universitydi 36 rumah sakit dan nursing home di Colorado
danpemberian obat, 43% diberikan pada waktu yangsalah, 30% tidak
diberikan, 17% diberikan dengandosis yang salah, dan 4% diberikan obat
yang salah (Joint Commission on Accreditation of HealthOrganization
(JCAHO), 2002). Peneliti padapenelitian ini juga mengemukakan hasil
penelitiansebelumnya yang dilakukan oleh Institute of Medicinepada tahun
1999, yaitu kesalahan medis (medicalerror) telah menyebabkan lebih dari
1 (satu) jutacedera dan 98.000 kematian dalam setahun. Data yangdidapat
JCAHO juga menunjukkan bahwa 44.000 dari98.000 kematian yang
terjadi di rumah sakit setiaptahun disebabkan oleh kesalahan medis.
(Kinninger& Reeder, 2003).
7. Pengkajian anestesi pra induksi pada pasien yang akan dioperasi
Penelitian dari(Ferschl, Tung, Sweitzer, Huo, & Glick, 2005) menyatakan
bahwa pengkajian anesti pra induksi pada pasien yang akan dioperasi akan
berdampak signifikan akan mengurangi terjadinya penundaan ataupun
pembalatan operasi.

8. Angka reaksi tranfusi darah


Tranfusi merupakan proses tranplantasi paling sederhana, yaitu
pemindahan darah dan donor ke resipien. Tranfusi hanya dilakukan atas
dasar indikasi dan urgensi (Fasano dan Luban, 2008). Jika dilakukan
secara tidak tetap dan tidak rasional dapat menimbulkan berbagai akibat
yang fatal. Salah satu akbiat tranfusi yang dapat terjadi adalah reaksi
hemolitik (Ness, 2000; Sandler dan Johnson, 2009). Insidensi reaksi
hemolitik akibat tranfusi diperkiarakan 1 : 70.000 unit kantong darah
(Strobel, 2008).
Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan
bagian situasi klinis yang kompleks. Risiko transfusi darah ini dapat
dibedakan berdasarkan atas reaksi yang di mediasi sistem imunologi
(reaksi imunologis), tidak di mediasi sistem imunologi (non imunologis)
dan penularan penyakit infeksi.
1) Reaksi Imunologis
Reaksi imunologis terjadi akibat respon kekebalan tubuh penerima
komponen darah terhadap komponen darah yang diterimanya. Hal ini
banyak terjadi, dan dibagi menjadi :
a) Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma
penderita akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel,
meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml)
namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Volume darah yang
inkompatibel makin banyak maka akan semakin meningkatkan
risiko.Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini
biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah,
pengambilan contoh darah dari penderita ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan
ketidaktelitian memeriksa identitas penderita sebelum transfusi.
Etiologi lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma penderita
melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah
ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau
Duffy.
b) Reaksi Hemolisis Intra vaskular lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan
gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria.
Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa
disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan
dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah
merah dalam plasma penderita dan pemilihan sel darah
kompatibel dengan antibodi tersebut.
c) Urtikaria
Urtikaria meliputi 1% angka kejadian reaksi transfusi. Urtikaria
terjadi karena entah adanya reaksi antara alergen dalam plasma
donor yang bukan berasal dari si donor dengan antibodi resipien
atau reaksi alergen resipien dengan antibodi donor yang
tertransfusi.
d) Anafilaktik syok
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin
dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi
dan vasokonstriksi pada resipien tertentu, selain itu, defisiensi
IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu
dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA.
Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan
ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular),distress pernapasan
dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan cepat dan agresif.
e) Transfusion Related Acute Lung Injury (TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung
antibodi yang melawan leukosit penderita. Kegagalan fungsi paru
biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan
gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Terapi spesifik tidak
ada, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
f) Graft vs host disease
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan.
Biasanya terjadi pada penderita imunodefisiensi, terutama
penderita dengan transplantasi sumsum tulang dan penderita
imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki
tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen),
biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti
demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia,
biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Terapi spesifik tidak
ada, terapi hanya bersifat suportif.
g) Transfusion Related Immuno Modulation(TRIM)
Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam
beberapa cara, hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat
yang menyatakan bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat,
selain itu juga ada pendapat yang menyatakan bahwa transfusi
darah meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena menurunnya
respons imun, namun sampai saat ini penelitian klinis gagal
membuktikan hal ini.
Busch dkk (1993) melakukan randomized trial terhadap 475
penderita kanker kolorektal, membandingkan prognosis antara
penderita kanker kolorektal yang dilakukan transfusi autolog
dengan transfusi allogenik. Hasil yang didapatkan menunjukan
bahwa risiko rekurensi meningkat secara bermakna pada penderita
yang dilakukan transfusi darah, baik allogenik maupun autolog.
h) Alloimune
Reaksi transfusi alloimune terjadi akibat si resipien membentuk
antibodi-antibodi baru sebagai akibat dari darah atau
komponennya, sehingga mempengaruhi kompabilitas resipien
terhadap darah dari donor yang lain.
i) Purpura pasca transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi
potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau
trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang
melawan antigen spesifik trombosit pada resipien, lebih banyak
terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah
perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah
transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL.
Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit 50.000/uL
dan adanya perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit
20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit
yang kompatibel dengan antibodi penderita.
2) Reaksi Non-Imunologis
Reaksi ini terjadi bukan sebagai akibat reaksi imun penderita
terhadap darah yang di transfusikan, namun bisa karena kesalahan cara
transfusi, cara menyimpan darah dan salah menyiapkan peralatan
transfusi.
a) Hemolisis
Reaksi hemolisis yang terjadi disini berbeda mekanismenya dengan
hemolisis karena reaksi imun. Hemolisis yang terjadi disini adalah
karena faktor penyimpanan yang kurang baik, sehingga darah
terekspose pada suhu yang ekstrem dan merusaknya. Mekanisme
lainnya bisa karena penggunaan cairan hipertonis atau hipotonis,
transfusion set yang saringannya/filternya terlalu kecil, malfungsi
dari penghangat darah dan tekanan karena infusion pump.
b) Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal
ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan,
transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan
cairan terutama terjadi pada penderita dengan anemia kronik dan
memiliki penyakit dasar kardiovaskular.
c) Kelebihan Besi
Penderita yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka
waktu panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya
(hemosiderosis), ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati).
Mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi tidak
ada. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk
meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum
feritin <2.000 mg/l.
d) Emboli udara
Emboli udara terjadi karena ketidaktepatan penyambungan antara
kantung darah dan saluran atau tabung infus yang menyebakan
adanya udara di dalam saluran infus tersebut. Hal ini sangat
berbahaya untuk penderita karena dapat menyebabkan emboli di
organ-organ vital.
e) Hipotermia
Sel darah merah disimpan dalam suhu 4 C, jika darah di
transfusikan secara langsung tanpa dihangatkan terlebih dahulu
maka suhu tubuh penderita akan cepat sekali turun sebagai akibat
turunnya suhu inti tubuh untuk meyesuaikan dengan suhu darah
yang di transfusikan. Hipotermia efeknya sangat buruk karena
menurunkan metabolisme asam laktat dan sitrat, menggangu faal
hemostasis, menggeser kurva disosiasi oksigen ke kanan, sehingga
memicu terjadinya metabolik asidosis dan cardiac arrest.
9. Kelengkapan catatan laporan operasi
Laporan operasi catatan medis dari semua pasien yang memiliki prosedur
pembedahan yang dilakukan harus mencakup laporan operasi. Diagnosis
preoperasi harus dicatat dalam catatan medis sebelum operasi akan sangat
membantu,meskipun tidak diperlukan, untuk memiliki diagnosis pra
operasi termasuk dalam laporan operasi.ini memungkinkan perbandingan
cepat diagnosis preoperatif dengan diagnosis pasca operasi, yang akan
didokumentasikan dalam formulir ini, laporan operasi juga termasuk
deskripsi lengkap dari temuan,baik normal dan abnormal, organ-organ
dieksplorasi, prosedur, ligatures, jahitan jumlah pack, saluran air dan spons
yang digunakan, dan nama-nama ahli bedah dan asisten. tanggal dan
durasi operasi dan kondisi Poli pada penyelesaian operasi juga harus
dinyatakan laporan operasi harus ditulis atau didikte segera setelah
operasi, disahkan oleh dokter bedah, dan diajukan direkam medis sesegera
setelah operasi ketika ada ditranskrip sidan/atau mengisi penundaan,
catatan kemajuan yang komprehensif operasi harus dimasukan dalam
catatan medis segera setelah operasi untuk memberikan pelayanan
berkelanjutan.
Laporan operasi merupakan prosedur pembedahan terhadap pasien. Isinya
merupakan informasi mengenai: diagnosis pre dan pascaoperasi, deskripsi
tentang prosedur pembedahan, deskripsi tentang kejadian yang unik dan
tidak lazim dalam pembedahan, jumlah ikatan, tekukan, jahitan (ligature
dan suture) dan jumlah pak, drain, spons yang digunakan, deskripsi
tentang specimen yag diambil, nama ahli bedah (operator) dan asisten
yang membantu, tanggal dan lama proses pembedahan.5 Laporan operasi
harus segera dibuat setelah pembedahan dan dimasukkan dalam rekam
medis kesehatan.Bila terjadi penundaan dalam pembuatannya maka
informasi tentang pembedahan harus dimasukkan dalam catatan
perkembangan.Perlu diperhatikan catatan operasi yang terlalu singkat
dapat mengakibatkan ketidak jelasan urutan prosedur. Hal ini dapat
menimbulkan permasalahan serius terutama bila sampai di pengadilan.
Laporan operasi keterangan tetulis di lembar formulir dalam rekam medis,
yang di isi oleh dokter yang setelah melakukan tindakan bedah laporan
operasi harus di isi dengan lengkap berdasarkan permenkes Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 (Bab III tata penyelenggaran)pasal 5: rekam
medis sebagaimana di maksud pada ayat ( 1 ) harus dibuat segera dan
dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan.
10. Infeksi luka operasi (ILO)
Infeksi luka operasi (ILO) merupakan salah satu komplikasi pasca-
bedah abdomen dan infeksi nosokomial yang sering terjadi pada pasien
bedah. Survei oleh WHO menunjukkan 5%-34% dari total infeksi
nosokomial adalah ILO.1 Penelitian di Vietnam dilaporkan insiden ILO
10,9% dari 697 pasien. Bedah abdomen terbukti berisiko 4,46 kali
mengalami ILO dibanding jenis tindakan bedah lainnya.
Penelitian faktor risiko ILO pasca-bedah pada anak di Spanyol
dengan meneliti variabel usia, jenis kelamin, lama rawat pra-bedah,
kategori luka operasi, lama operasi, penggunaan antibiotik profilaksis,
lama penggunaan kateter vena sentral, lama penggunaan kateter vena
perifer, lama penggunaan kateter urin, lama penggunaan ventilator, jumlah
diagnosis, dan jenis operasi. Terdapat hubungan bermakna antara variabel
tersebut dengan ILO kecuali usia, jenis kelamin, lama rawat pra-bedah,
penggunaan antibiotik profilaksis, dan penggunaan ventilator.Jenis operasi
cito juga terbukti sebagai salah satu faktor risiko ILO. Murtaza dkkdi
Pakistan melaporkan prevalensi ILO pasca-laparotomi cito lebih tinggi
dibanding pasca-laparatomi elektif. Prognosis mortalitas pasien pasca-
bedah yang dirawat di ruang intensif dapat diukur dengan skor PELOD
(Pediatric Logistic Organ Dysfunction).7 Derajat berat penyakit sebelum
operasi dapat diukur dengan skor ASA (American Society of
Anesthesiologists).8 Kedua skor tersebut menggambarkan kondisi pasien
pra dan pasca-bedah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalens
ILO, karakteristik subjek ILO, karakteristik ILO, serta hubungan antara
usia, jenis kelamin, status nutrisi, skor PELOD, skor ASA, jenis operasi,
kategori luka operasi, dan lama operasi dengan ILO pasca-bedah abdomen
pada anak.

B. Indikator area manajemen


1. Ketersediaan obat dan alkes life saving di trolley emergensi atau
emergency kit di ruang rawat inap
Obat dan alat kesehatan emergenci adalah sediaan farmasi yang tergolong
emergency (gawat darurat) pada tempat yang dinilai aman. Daftar obat
emergency terdapat dalam buku formularium RSUD Dr. Soedarso. Paket
emergenci adalah set obat atau perbekalan farmasi emergency dalam
paket emergency yang telah dibuat oleh instalasi farmasi. Tempat
penyimpanan paket emerenci, IGD dalam troly emergency, ambulans
dalam kit emergency, dan instalsi bedah sentral dalam kit (kotak
emergency. Obat emergency harus disediakan apabila terdapat kejadian
yang tidak diinginkan dan diperlukan tindakan segera sehingga tidak
terjadi masalah lebih lanjut ataupun dapat menyebabkan kematian.
2. Insidensi tertusuk jarum
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis
profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen
menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang
berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang di derita
oleh pasien.Dalam penyelenggaraan pelayanan kedokteran, asuhan
keperawatan, serta pengobatan penyakit banyak digunakan alat-alat
ataupun benda-benda tajam sebagai sarana pendukung.Permasalahan yang
muncul dan di hadapi kemudian adalah munculnya kejadian luka tusuk
pada tenaga medis yang melakukuan kegiatan rumah sakit tersebut.
(Harington, 2003).
Kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit sampai saat ini
belum menjadi prioritas penting bagi rumah sakit. Rumah sakit lebih
mementingkan kelangsungan usaha, keuntungan, pemenuhan kebutuhan
logistik, sumber daya manusia dan pengembangan jenis pelayanan baru.
Kasus akibat kecelakaan kerja dirumah sakit sebenarnya cukup tinggi
hanya belum ada laporan ilmiah yang memuat tentang itu. Jika ada hanya
dianggap sebagai resiko pekerjaan , padahal akibat kejadian ini, petugas
perawatan rumah sakit mudah terjangkit penyakit, yang memerlukan
usaha perlindungan dengan aturan prosedur tetap karyawan (petugas)
perawatan sebuah rumah sakit. (Anies, 2005).
Sebuah penelitian salah satu Rumah Sakit di Amerika Serikat pada
tahun 2008 menemukan bahwa dari 70 cedera benda tajam yang terjadi
0,7% akibat jarum, 10 % akibat bisturi, dan 23 % akibat cedera
lain.Laporan study tentang Needlestick injury pada Petugas Kesehatan
telah di lakukan berbagai belahan dunia. Centre for Disease Control
( CDC ) setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka tertusuk akibat benda
tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di rumah sakit di
Amerika. Pekerja kesehatan berisiko terpapar darah dan cairan tubuh yang
terinfeksi yang dapat menimbulkan infeksi HBV (Hepatitis B Virus ),
HCV dan HIV. (Safetysyringes, 2011) Banyak kejadian tetapi tidak semua
terlaporkan.Hanya kasus- kasus tertentu saja. Hal ini dikarenakan
kesadaran korban yang tidak melaporkan apa yang telah dialaminya.
Hasan Sadikin Bandung melaporkan pada tahun 2007 di dapatkan
pelaporan 22 orang melaporkan telah tertusuk jarum, tahun 2008 ada 12
orang dan tahun 2009 ada 8 orang.
(Safetysyringes, 2011)
Di Kota Makassar, hal yang sama didapatkan bahwa laporan yang
masuk ke Dinas Kesehatan Propinsi masih sangat terbatas, sehingga
permintaan data belum bisa di berikan. Sedangkan data pada salah satu
Rumah Sakit terbesar di Kota Makassar yaitu RSUP DR. Wahidin
Sudirohusodo, jumlah data yang didapatkan dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2012 yaitu 216 orang. Ditahun 2008 ada 48 orang, tahun
2009 ada 29 orang, tahun 2010 ada 61 orang, tahun 2011 ada 55 orang
dantahun 2012 pada akhir Oktober 23 orang. Disebabkan karena luka
tertusuk jarum suntik, tertusuk abocath, terkena pecahan ampul, terkena
jarum operasi dan juga teriris pisau operasi.(PPPI RSWS, 2012).
Menurut Askarian, dkk (2012) dalam jurnal penelitian di Iran,
menyatakan bahwa para petugas kesehatan memiliki resiko untuk terpapar
bakteri pathogen dari darah pasien melalui tusukan benda tajam seperti
jarum suntik, khusunya sering terjadi pada perawat gigi, perawat dan
bidan. Lebih lanjut dalam jurnal ini Askarian menyatakan bahwa kejadian
terjadi akibat kurangnya pengalaman, kurangnya pelatihan keselamatan
kerja yang diberikan, beban kerja yang berlebih dan kelelahan. Penelitian
yang dilakukan oleh Jayanti, dkk (2007) di India, yang menyatakan tidak
ada hubungan antara kejadian tertusuk jarum dengan waktu kerja atau shift
jaga. Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
dan Pengawasan Ketenagakerjaan bahwa bagian tubuh yang sering cidera
yaitu meliputi kepala, badan, tangan dan kaki.Penelitian yang
dikemukakan oleh Askarian, dkk (2012) dan Jayanth, dkk (2007),
menyatakan bahwa jarum suntik merupakan penyebab terbanyak kejadian
cedera akibat benda tajam pada petugas kesehatan. Penelitian oleh Akbar
Arief (2009) mengungkapkan bahwa bila cairan tubuh secara parenteral
atau terciprat pada selaput lender mulut, hidung atau mata, tempat paparan
tersebut dicuci dengan air dan sabun, kemudian dirawat seperti biasa.
3. Survey kepuasan pelanggan menggunakan kuesioner kepuasan pelanggan
Kepuasan pasien tergantung pada kualitas pelayanan. Pelayanan adalah
semua upaya yang dilakukan karyawan untuk memenuhi keinginan
pelanggannya dengan jasa yang akan diberikan. Suatu pelayanan dikatakan
baik oleh pasien, ditentukan oleh kenyataan apakah jasa yang diberikan
bisa memenuhi kebutuhan pasien, dengan menggunakan persepsi pasien
tentang pelayanan yang diterima (memuaskan atau mengecewakan, juga
termasuk lamanya waktu pelayanan). Kepuasan dimulai dari penerimaan
terhadap pasien dari pertama kali datang, sampai pasien meninggalkan
rumah sakit. Pelayanan dibentuk berdasarkan 5 prinsip Service Quality
yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan dan kenyamanan layanan.
Ketidakpuasan pasien diartikan sama dengan keluhan terhadap rumah
sakit, berikut pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya (dokter,
perawat, apoteker, psikolog dan lainnya) dan struktur sistem perawatan
kesehatan (biaya, sistem asuransi, kemampuan dan prasarana pusat
kesehatan dan lain-lain). Pasien mengharapkan interaksi yang baik, sopan,
ramah, nyaman dengan tenaga kesehatan, sehingga kompetensi, kualifikasi
serta kepribadian yang baik dari pelayan kesehatan. Faktor utama dalam
mempengaruhi kepuasan pasien adalah lengkapnya peralatan medik,
bangunan dan fasilitas rumah sakit yang memadai, kelengkapan sarana
pendukung dalam pelayanan.
Merkouris, et.al. 8 menyebutkan bahwa mengukur kepuasan pasien, dapat
digunakan sebagai alat untuk 1) evaluasi kualitas pelayanan kesehatan, 2)
evaluasi terhadap konsultasi intervensi dan hubungan antara perilaku sehat
dan sakit, 3) membuat keputusan administrasi, 4) evaluasi efek dari
perubahan organisasi pelayanan 5) administrasi staf 6) fungsi pemasaran
7) formasi etik profesional.
Rumah Sakit sebagai agen perubahan diharapkan memberikan pelayanan
prima kepada pasien. Selama ini Departemen Kesehatan telah menyusun
dan melakukan akreditasi Rumah Sakit, tetapi saat ini belum ada pedoman
dan indikator yang memudahkan penilaian kualitas pelayanan rumah sakit
dari sisi pasien. Penilaian pelayanan dari sisi pasien memudahkan
Departemen Kesehatan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan
rumah sakit, dalam hal ini juga sekaligus memberikan masukan kepada
manajemen untuk menentukan kebijakan demi peningkatan kualitas rumah
sakit.8
4. Angka kepuasan staf rumah sakit
Robbins (2006) menyatakan bahwa karyawan yang puas akan
mampu meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Hal ini terjadi
karena dalam organisasi jasa, kesetiaan dan ketidaksetiaan pelanggan
sangat tergantung pada cara karyawan berhubungan dengan pelanggan.
Karyawan yang puas lebih ramah, ceria, responsif-yang dihargai
pelanggan. Karyawan yang puas memiliki kemungkinan kecil untuk
mengundurkan diri, sehingga pelanggan lebih sering menjumpai wajah-
wajah akrab dan menerima layanan yang berpengalaman. Ciri-ciri tersebut
membangun kepuasan dan kesetiaan pelanggan.
Adanya peningkatan kepuasan kerja pada karyawan tentu
berdampak pada kinerja yang ditunjukkannya. Dessler dalam Handoko
(2001)mengemukakan ada perbedaan antara karyawan yangmemiliki
kepuasan kerja dengan yang tidak. Karyawanyang merasakan kepuasan
dalam pekerjaannyacenderung memiliki catatan kehadiran dan
ketaatanterhadap peraturan lebih baik, namun kurang aktifberpartisipasi
dalam kegiatan serikat pekerja.Karyawan ini juga biasanya memiliki
prestasi yanglebih baik dibandingkan dengan karyawan yang
tidakmemiliki kepuasan dalam pekerjaannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkanbahwa kepuasan kerja
memiliki arti penting bagikaryawan maupun perusahaan, khususnya
demiterciptanya keadaan positif di lingkungan kerja.Robbins (2006) juga
menyatakan mengenai dampakkepuasan kerja pada kinerja karyawan.
Karyawan yangmerasa puas akan pekerjaannya memiliki
kemungkinanyang lebih besar untuk membicarakan hal-hal positiftentang
organisasinya, membantu yang lain, dan berbuatkinerja pekerjaan mereka
melampaui perkiraan normal.
Riset atau penelitian pada industri jasa, khususnyarumah sakit
swasta di Kota Denpasar mengenaiketerkaitan peningkatan kepuasan kerja
terhadapkinerja karyawan serta dampaknya terhadap kepuasanpelanggan
masih minim dilakukan ataupun dibahas.Apalagi kini rumah sakit-rumah
sakit swasta tersebutbersaing untuk mendapatkan pelanggan atau
bahkanmencari pelanggan baru, sehingga pihak rumah sakit.
5. Edukasi hand hygiene di ruang rawat
Untuk pasien dan keluarganya ketika berada di lingkungan Rumah Sakit,
Cuci Tangan adalah suatu keharusan agar semua proses penyembuhan
pasien agar lebih efektif.Sebab perlakuan terhadap pasien sejak diagnosis
hingga proses pengobatan semua harus dilakukan dalam keadaan hygienis,
baik alatnya,perlengkapan tidur,para petugas medis,pasien serta keluarga
pasien. Fokusnya adalah penyampaian informasi kepada pasien dan
keluarganya di Rumah Sakit tentang pentingnya Cuci Tangan dalam
rangka mencegah infeksi penyakit. Lebih dalam penulis akan menguraikan
tentang sebuah system Informasi dalam sosialisasi judul tersebut dengan
menggunakan berbagai perangkat teknologi baik software yaitu
Komputer,Internet, Handphone, maupun hard ware yaitu
Poster,spanduk,dll.
Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan tangan dari kotoran
dengan air ( Vine th 2000). Dalam hal ini dilingkungan rumah sakit sangat
digalakkan hand hygiene yang efektif ini dalam rangka untuk mencegah
infeksi nasokomial. Infeksi nasokomial adalah infeksi yang didapat dari
fasilitas kesehatan atau rumah sakit, yang dapat terjadi pada pasien 2-10
hari setelah pasien meninggalkan rumah sakit atau infeksi tersebut dapat
terjadi pada perawat atau pegawai rumah sakit.Cuci tangan yang efektif
dapat mencegah diare, ISPA, flu burung, infeksi mata, hingga virus A-
H1N1 hal ini diungkapkan dokter Hendrawan perayaan Hari Cuci Tangan
Sedunia.(Jakarta,15-10-2012). Dalam sebuah penelitian Cohrane
Library Journal 2007 menyebutkan bahwa mencuci tangan dengan sabun
merupakan cara sederhana dan murah untuk menahan virus ISPA dan
pandemic flu serta 15 riset diInggris yang telah dipublikasikan dalam
British Medical Journal 2007 menguatkan hal tersebut dan disebutkan
bahwa Cuci tangan lebih efektif dibanding obat dan vaksin untuk
menghentikan flu.
Dalam proses penginformasian yang efektif petugas sangat
memiliki peran dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan prioritas dalam
mencegah atau patiensafetyagartidak terkenainfeksinasokomial. Sistem
informasi dengan memanfaatkan system tehnologi atau jaringan
komunikasi (network) dan system informasi akan secara cepat, tepat dan
akurat dapat menyajikan data-data atau cara-cara dan informasi yang
meluas yang terjangkau oleh pasien dan keluarga. Fungsi perawat
sebagai educator disini sangat diutamakan, sehingga perawat dituntun
untuk mampu mengaplikasikan edukasi dengan cara yang lebih
mudah dan menarik melalui produk software ataupun hard ware yang
saat ini sudah sangat dikenal dengan system kompurized. Sistem
informasi ini tidak terbatas, karena system informasi merupakan suatu
kumpulan dan komponen-komponen dalam organisasi yang berhubungan
dengan proses penciptaan dan pengaliran informasi mempunyai
komponen-komponen yaitu proses, prosedur, struktur organisasi, sumber
daya manusia, produk, pelanggan, supplied an rekanan. (Eko.I 2001).
Pemerintah Indonesia sudah mempunyai visi tentang system
informasi kesehatan Nasional yaitu kesehatan Andal 2010 (Reliable
Health Information 2010) (Depkes.2001), pada informasi kesehatan andal
tersebut telah direncanakan membangun system informasi pelayanan
kesehatan dalam hal ini rumah sakit dilanjutkan dipelayanan di
masyarakat, namun pelaksanaannya belum maksimal.Untuk dirumah sakit-
rumah sakit dikota sebagian system informasi ini terutama tentang
pentingnya pencegahan infeksi melalui cuci tangan sudah berjalan baik
dengan adanya produk hard ware yang berupa poster-poste dan pamlet dan
lain- lain, akantetapi untuk rumah sakit-rumah sakit daerah belum berjalan
secara optimal.Padahal kerjapetugas bila ditunjang dengan system
informasi manajemen ini akan sangat efektif dan efisien.
Dari flow chart tersebut diatas, sebuah system informasi dapat dijelaskan
sebagai berikut:ASUMSI:Bahwa Manajemen Rumah Sakit atau
departemen yang ditunjuk, mempunyai dua sasaran yaitu Pasien dan
Keluarga Pasien. Sasaran tersebut mempunyai tingkat penerimaan
informasi yang beragam, sehingga diperlukan berbagai media dalam
rangka memberikan informasi. Rumah Sakit sudah menerapkan system IT
atau computerize.
Data pasien dan keluarga pasien serta nomor handphone dapat menjadi
sarana menyampaikan pesan. Seperti iklan yang tak ada habisnya,
Rumahsakit dapat memberikan ucapan apresiasi terhadap keluarga pasien,
bahwa telah mematuhi tata tertib Rumah sakit misalnya. Dan pesan yang
sangat penting tentunya berupa Urgensi CUCI TANGAN dalam rangka
mencegah infeksi penyakit kepada pasien.Media poster sebagai sarana
menyampaikan pesan dimana dipasang ditempat-tempat yang mudah
dilihat. Poster harus menarik tampilannya atau eye catching
penempatannya, agar pesan Urgensi CUCI Tangan sampai kepada pasien
dan keluarga pasien. Misalnya di pintu kamar Mandi, disamping wastafel,
di Mading (majalah Dinding), dll.Flyer adalah lembar selebaran yang
berukuran kecil, memuat penjelasan singkat dan pesan sentral tentang
pentingnya Cuci Tangan. Flayer sasarannya kepada keluarga pasien yang
tidak mempunyai sarana computer, sehingga cukup sederhana dengan
membaca flyer maka dapat informasi /pesan tentang pentingnya cuci
tangan.Spanduk adalah media menyampaikan pesan out door yang
berukuran besar, sehingga sangat efektif dalam rangka menyampaikan
pesan sebab dapat dibaca bukan saja pejalan kaki akan tetapi bisa juga
sambil berkendara. Spanduk yang berisikan pesan tentang Urgensi Cuci
tangan, maka akan sangat mudah diingat oleh yang membaca.
C. Indikator area keselamatan pasien
1. Ketepatan memasang gelang identitas pasien

Proses indentifikasi pasien perlu dilakukan sejak dari awal pasien masuk
ke Rumah Sakit, yang kemudian identitas tersebut akan selalu
dikonfirmasi dalam segala proses di Rumah Sakit, seperti saat sebelum
memberikan obat, darah atau produk darah, sebelum mengambil darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan, sebelum memberikan pengobatan dan
tindakan / prosedur. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan
identifikasi pasien yang nantinya bisa berakibat fatal jika pasien menerima
prosedur medis yang tidak sesuai dengan kondisi pasien seperti salah
pemberian obat, salah pengambilan darah bahkan salah tindakan medis.
Kebijakan identifikasi menggunakan minimal dua identitas pasien seperti
nama lengkap pasien, nomor rekam medis atau registrasi, tanggal lahir /
umur, gelang identitas dengan bar code atau cara lain dan tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. Termasuk juga ada sistem
yang mengatur identitas pasien yang koma tanpa identitas. Dan proses
identifikasi ini harus konsisten pada semua situasi dan kondisi.

2. Komunikasi efektif
Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi dari
seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang
lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-
pikiran atau informasi. (Komaruddin, 1994;Schermerhorn, Hunt &
Osborn, 1994; Koontz & Weihrich, 1988).Komunikasi efektif adalah
sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi dari seseorang kepada
orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut
mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau
informasi. (Komaruddin, 1994;Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994;
Koontz & Weihrich, 1988).
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti
sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan/komunikator, pesan
ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan/komunikan
dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003).Unsur-
unsur/elemen dalam komunikasi efektif :
a. Sumber/pemberipesan/komunikator(dokter, perawat, admistrasi,
kasir,dan lain-lain), adalah orang yang memberikan pesan.Sumber
(yang menyampaikan informasi) : adalah orang yang menyampaikan
isi pernyataannya kepada penerima/komunikan. Hal-hal yang menjadi
tanggung jawab pengirim pesan adalah mengirim pesan dengan jelas,
memilih media yang sesuai, dan meminta kejelasan apakah pesan
tersebut sudah di terima dengan baik. Komunikator yang baik adalah
komunikator yang menguasai materi, pengetahuannya luas dan dalam
tentang informasi yang yang disampaikan, cara berbicaranyanya jelas
dan menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi oleh si penerima
pesan (komunikan)
b. Isi Pesan, adalah ide atau informasi yang disampaikan kepada
komunikan.Panjang pendeknya, kelengkapannya perlu disesuaikan
dengan tujuan komunikasi, media penyampaian, penerimanya.

c. Media/saluran pesan (Elektronic,Lisan,dan Tulisan) adalah sarana


komunikasi dari komunikator kepada komunikan. Media berperan
sebagai jalan atau saluran yang dilalui isi pernyataan yang disampaikan
pengirim atau umpan balik yang disampaikan penerima.Pesan dapat
berupa berita lisan, tertulis, atau keduanya sekaligus.Pada kesempatan
tertentu, media dapat tidak digunakan oleh pengirim yaitu saat
komunikasi berlangsung atau tatap muka dengan efek yang mungkin
terjadi berupa perubahan sikap. (konsil kedokteran Indonesia, hal.8).
Media yang dapat digunakan: melalui telepon, menggunakan
lembarlipat, buklet, vcd, (peraga)

d. Penerima pesan/komunikan (pasien, keluarga pasien, perawat, dokter,


Admission,Adm.) atau audience adalah pihak/orang yang menerima
pesan.
Penerima pesan berfungsi sebagai penerima berita.Dalam komunikasi,
peran pengirim dan penerima bergantian sepanjang
pembicaraan.Tanggung jawab penerima adalah berkonsentrasi untuk
menerima pesan dengan baik dan memberikan umpan balik kepada
pengirim. Umpan balik sangat penting sehingga proses komunkasi
berlangsung dua arah.

e. Umpan Balik, adalah respon/tindakan dari komunikan terhadap respon


pesan yang diterimanya.
Pada saat melakukan proses umpan balik, diperlukan kemampuan dalam
hal-hal berikut (konsil kedokteran Indonesia, hal 42):
a. Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya (kapan menggunakan
pertanyaan tertutup dan kapan memakai pertanyaan terbuka),
menjelaskan, klarifikasi, paraphrase, intonasi.

b. Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat

c. Cara mengamati (observation) agar dapat memahami yang tersirat di


balik yang tersurat (bahasa non verbal di balik ungkapan
kata/kalimatnya, gerak tubuh).

d. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan komunikan (bahasa


tubuh) agar tidak menggangu komunikasi, misalnya karena komunikan
keliru mengartikan gerak tubuh, raut tubuh, raut muka, dan sikap
komunikator.
Komunikasi itu bisa bersifat informasi (asuhan) dan edukasi (Pelayanan
promosi). Komunikasi yang bersifat infomasi asuhan didalam rumah sakit
adalah: jam pelayanan, pelayanan yang tersedia, cara mendapatkan
pelayanan dan sumber alternative mengenai asuhan dan pelayanan yang
diberikan ketika kebutuhan asuhan pasien melebihi kemampuan rumah
sakit.Sedang komunikasi yang bersifat Edukasi (Pelayanan Promosi)
adalah : edukasi tentang obat, edukasi tentang penyakit, edukasi pasien
tentang apa yang harus di hindari, edukasi tentang apa yang harus
dilakukan pasien untuk meningkatkan qualitas hidupnya pasca dari rumah
sakit, ataupun edukasi tentang Gizi.
Syarat dalam komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, lengkap, jelas
dan mudah dipahami oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat
kesalahan (kesalahpahaman).
Untuk mendapatkan komunikasi efektif, dilakukan melaui prinsip sebagai
berikut:
a. Pemberi pesan secara lisanmemberikan pesan.
b. Penerima pesan menuliskan secara lengkap isi pesan tersebut
c. Isi pesan dibacakan kembali (Read Back) secara lengkap oleh
penerima pesan.
d. Pemberi pesanmemverifikas isi pesan kepada pemberi penerima pesan.
e. Penerima pesan mengklarifikasi ulang bila ada perbedaan pesan
dengan hasil verifikasi
Proses komunikasi efektif dengan prinsip, terima, catat, verifikasi dan klarifikasi
dapat digambarkan sebagai berikut:

Dalam berkomunikasi ada kalanya terdapat informasi misalnya nama obat, nama
orang , dll. Untuk menverifikasi dan mengklarifikasi, ,maka komunikan sebaiknya
mengeja huruf demi huruf menggunakan alfabeth standart internasional yaitu:
5 ( lima ) Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laws of
Efffective Communication) terangkum dalam satu kata yang
mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH, yang
berarti merengkuh atau meraih. Karena sesungguhnya komunikasi itu pada
dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih,
minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang
lain.Hukum komunikasi efektif yang pertama adalah :
a. Respect, pengertiannya:
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif
adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran
pesanyangkita sampaikan.Jika kita membangun komunikasi dengan
rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat
membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan
meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun
secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
b. Hukum komunikasi efektif yang kedua adalahEmpathy
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada
situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat
utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk
mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau
dimengerti oleh orang lain.Rasa empati akan menimbulkan respek atau
penghargaan, dan rasa respek akan membangun kepercayaan yang
merupakan unsur utama dalam membangun teamwork. Jadi sebelum
kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu
mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita.
Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada
halangan psikologis atau penolakan dari penerima
c. Hukum komunikasi efektif yang ketiga adalahAudible
Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti
dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu
ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible
berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan.
Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media
atau delivery channel sedemikian hingga dapat diterima dengan baik
oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan kita untuk
menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu
audio visual yang akan membantu kita agar pesan yang kita
sampaikan dapat diterima dengan baik.
d. Hukum komunikasi efektif yang keempat, adalah Clarity
Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum
keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri
sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai
penafsiran yang berlainan. Karena kesalahan penafsiran atau pesan
yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan
dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan
dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan
sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga
dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau
anggota tim kita. Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling
curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme
kelompok atau tim kita.
e. Hukum komunikasi efektif yang kelima adalah Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah
sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan
hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain,
biasanya didasari olehsikaprendahhati yang kita miliki. Sikap Rendah
Hati pernah yang pada intinya antara lain: sikap yang penuh melayani
(dalam bahasa pemasaran Customer First Attitude), sikap menghargai,
mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang
rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah
lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan
yang lebih besar.
Aspek komunikasi efektif juga meliputi lima hal yaitu kejelasan (Clarity)
pesan yang disampaikan, ketepatan (Accuracy) kebenaran informasi,
konteks (Context) gaya bicara dan pesan disampaikan dalam situas yang
tepat, alur (Flow) urutan pesan atau sistematika penyampaian dan budaya
(Culture) sesuai dengan bahasa,gaya bicara, dan norma-etika yang
berlaku.

Secara tehnik untuk mencapai komunikasi efektif, secara verbal


komunikasi memainkan teknik vocal : speed/tempo kecepatan bicara;
variatif, jangan terlalu cepat jangan pula terlalu lambat, volume tinggi-
rendah nada bicara, disesuaikan dengan karakter dan jumlah audiens,
aksentuasi penekanan (stressing) pada kata-kata tertentu, artikulasi
kejelasan kata demi kata yang diucapkan, projection memproyeksikan
(mengarahkan) suara sampai ke bagian paling belakang ruangan tanpa
harus berteriak, pronounciation (Pelafalan) pelafalan kata demi kata
secara jelas dan benar, repetition (pengulangan) untuk mengulangi kata-
kata penting dengan irama yang berbeda, hindari gumaman (Intruding
Sound) terlalu sering, ringkas namun jelas dan jangan bertele-tele.Secara
non-verbal komunikasi dapat dibangun dengan gesture atau gerakan tubuh,
cara berpakaian sesuaikan dengan acara atau suasana, dan raut wajah.
Hasil survei Mechribian & Ferris menunjukkan, dalam komunikasi verbal,
keberhasilan menyampaikan informasi 55% ditentukan oleh bahasa
tubuh(body language), postur, isyarat, dan dan kontak mata, 38 %
ditentukan oleh nada suara dan 7 % saja ditentukan oleh kata-kata.
Faktor yang menentukan komunikasi efektif, antara lain kepercayaan
komunikan terhadap komunikator, kejelasan pesan yang disampaikan,
keterampilan komunikasi komunikator, daya tarik pesan, kesesuaian isi
pesan dengan kebutuhan komunikan, kemampuan komunikan dalam
menafsirkan pesan (decoding) serta setting komunikasi kondusif atau
nyaman dan menyenangkan.
Strategi komunikasi efektif antara lain: menguasai pesan/materi,
mengenali karakter komunikan/audiens, kontak Mata (Eye Contact),
ekspresi Wajah, postur/Gerak Tubuh serta busana yang sesuai dengan
suasana.
Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada hal hal tersebut diatas
maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada
gilirannya dapat membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang
penuh dengan penghargaan (respect), karena inilah yang dapat
membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dan
saling menguatkan dengan menjalankan komunikasi efektif di Rumah
Sakit Umum dr. Soedarso Pontianak.
3. Kepatuhan melaksanakan hand hygiene
Hand hygiene merupakan salah satu cara untuk mengurangi infeksi yang
berkaitan dengan perawatan kesehatan. Penelitian menjelaskan bahwa
hand hygiene yang dilakukan oleh semua pegawai rumah sakit dapat
mencegah terjadinya hospital acquired infections (HAIs) sebesar 15-30 %
(Grol R, 2003 & Lautenbach, 2001). Banyak upaya dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan hand hgyiene namun umumnya tidak efektif dan
berjangka pendek. Sehingga penting untuk mencari strategi berbasis bukti
yang jelas untuk meningkatkan kebiasaan hand hygiene.
Huis, A et al (2012) mencoba menggambarkan secara berurutan mengenai
strategi meningkatkan kepatuhan hand hygiene yang baik seperti dalam
langkah-langkah seperti dibawah ini.
Langkah 1 : mendeskripsikan Hand Hygiene yang baik
Langkah 2 : Memperkirakan pemenuhan hand hygiene saat ini
Langkah 3 : Memperkirakan berbagai penghambat dan fasilitator yang
berkaitan dengan pemenuhan hand hygiene
Langkah 4 : Merancang strategi peningkatan hand hygiene dan
menghubungkan aktivitas implementasi dengan faktor pengaruhnya
Langkah 5 : Menguji dan mengeksekusi strategi peningkatan hand
hygiene
Langkah 6 : Menguji keefektivan biaya dalam strategi peningkatan
hand hygiene
Langkah 7 : Menilai dan menetapkan kembali strategi peningkatan
hand hygiene
4. Pasien jatuh dengan atau tanpa cedera di ruang rawat inap
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi
mata, yang melihat kejadian mengakibatkanseseorangmendadak
terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004). Jatuh merupakan suatu
kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di
permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat
pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh
tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis dan
konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar
mengalami jatuh (Stanley, 2006).
BAB V
PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN

Pengendalian adalah seluruh fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan


untuk mencapmin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan
jasa pelayanan yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya
adalah pengendalian kualitas kerja dan proses kegiatan untuk mencipatkan
kepuasan pelangagan (quality of customers satisfaction) yang dilakukan oleh
setiap orang dari setiap bagian di RSUD Dr. Soedarso.
Pengertian pengedalian kualtias pelayanan mengacu pada siklus
pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus Plan-do-check-action (P-D-
C-A) = Relaksasi (rencanakan laksanakan periksa aksi). Pola P-D-C-A ini
dikenal sebagai siklus shewart karena pertama kali dikemukakan oleh Walter
Shewhart beberapa puluh tahun yang lalu. Namun dalam perkembangannya,
metodologi analisis P-D-C-A lebih sering disebut siklus Deming. Disebut
Deming karena orang yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas
penerapannya adalah Deming. Dengan nama apapun itu P-D-C-A adalah alat
yang bermanfaat untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continuous
improvement) tanpa berhenti.
Konsep P-D-C-A merupakan pedoman bagi setiap manajer untuk proses
perbaikan kualitas (quality improvement) secara terus menerus tanpa berhenti
tetapi meningkat ke keadaan yang elbih baik dan dijalankan di seluruh baigan
organisasi. Seperti pada gambar berikut ini
peningkatan

A P
Pemecahan masalah
A P dan peningkatan
C D

C D
Standar
Pemecahan masalah
Standar
dan peningkatan
Dalam gambar tersebu diatas pengidentifikasian masalah yang akan
dipecahkan dan pencarian sebab-sebab serta penentuan tindakan koreksi harus
selalu didasarkan pada factor. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya
unsur subyektifitas dan pengambilan keputusan yang terlalu cepat serta keputusan
yang bersifat emosional. Selain itu, untuk memudahkan identifikasi masalah yang
akan dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan selanjutnya perusahaan harus
menetapkan standar pelayanan.
Hubungan pengenalian kualitas pelayanan dengan peningkatan perbaikan
berdasarkan siklus P-D-C-A (Relationship beteween control and improvement
under (P-D-C-A cycle) diperlihatkan dalam gambar berikut ini :

Plan Do Check Action

Follow-up
Correction
Action
Improvement

Pengendalian kualitas berdasarkan siklus P-D-C-A hanya dapat berfungsi


jika system informasi berjalan dengan baik dan siklus tersebut dapat dijabarkan
dalam enam langkah seperti diperlihatkan dalam gambar berikut ini :
Action Plan
(1) Menentukan
tujuan

(6) Mengambil (2) Menetapkan


tindakan yang metode untuk
tepat mencapai tujuan

(3)
(5) Memeriksa
Menyelenggarak
akibat
an pendidikan
pelaksanaan
dan latihan
(4) Melaksanakan

Check pekerjanaan
Do

Ke enam langkah P-D-C-A yang terdapat dalam gambar diatas dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Langkah 1. Menentukan tujuan dan sasaran plan
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan.
Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh Direktur RS atau Kepala Bidang
Pelayanan. Penetapan sasaran didasarkan pada data pendukung dan analisis
informasi. Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula
diungkapkand engan maksud tertentu dan disebarkan kepada smua karyawan.
Semakin rendah tiingkat karyawan yang hendak dicapai oleh penyebaran
kebijakan dan tujuan, semakin rinci informasi.
Langkah 2. Menentukan metode untuk mecapai tujuan plan
Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai
tanpa disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan
harus rasional, berlaku untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan
untuk mengunakannya. Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang
akandigunakan perlu pula diikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat
diterima dan dimengerti oleh semua karyawan.
Langkah 3. Menyelenggarakan pendidikan dan latian Do
Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk satandar kerja. Agar
dapat dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihanpara kareyawan
untuk memahami standar kerja dan program yang ditetapkan.
Langkah 4. Melaksanakan pekerjaaan Do
Dalam pelaksanaan pekerjaan selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan
standar kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat berubah.
Oleh karena itu, ketrampilan dan pengalaman para karyawan dapat dijadikan
modal dasar untuk mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pewkerjaan
karena ketidaksempurnaan standar kerja yang telah ditetapkan.
Langkah 5. Memerikasa akibat pelaksanaan Check
Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan baik
atau tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
dan mengikuti standar kerja, tidak berarati pemeriksaan dapat diabaikan. Hal
yang harus disampaikan kepada karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu
dilakukan. Agar dapat dibedakan manakah penyimpangan dan manakah yang
bukan penyimpangan, maka kebijakan dasar, tujuan, metode (standar kerja) dan
pendidikan harus dipahami dengan jelas baik oleh karyawan maupun oleh
manajer. Untuk mengetahui penyimpangan dapat dilihat dari akibat yang timbul
dari pelaksanaan pekerjaan dan setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.
Langkah 6 : mengambil tindakan yang tepat Action
Pemeriksaan melalui akbiat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan
penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab timbulnya
penyimpangan harus ditemukan unutk mengambil tindakan yang tepat agar tidak
terulang lagi penyimpangan. Menyingkirkan factor-faktor penyebab yang tleah
mengakibatkan penyimpangan merupakan konsepsi yang penting dalam
pengendalian kualitas pelayanan.
Konsep PDCA dengan keenam langkah tersebut merupakan system yang
efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualtias
pelayanan yang akan dicapai diperlukan partisipasi semua kareyawan,s emua
bagian dan smeua proses. Partisipasi semua karyawan dalam pengendalian
kualtias pelayanan diperlukan kesungguhan (sincerety) yaitu sikap yang menolak
adanya tujuan yang semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri atau menolak
cara berfikir dan perbuatan yang bersifat pragmatis. Dalam sikap kesungguhan
tersebut yang dipentingkan bukan hanya sasaran yang akan dicapai melainkan
juga cara bertindak seseorang untuk mencapai sasaran tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup
semua jenis kelompok karyawan yang bersama-sama merasa bertanggung jawab
atas kualitas pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam
pengendalian kualitas pelayanan dimaksudkan untuk pengendalian tidak hanya
terhadap output tetapi terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan
menghasilkan suatu pelayanan berkualtias tinggi, hanya mungkin dapat dicapai
jika terdapat pengendalian kualitas dalam setiap tahapn dari proses. Dalam setiap
tahapan proses dapat dijamin adanya keterpaduan, kerjasama yang baik antara
kelompok karyawan dengan manajemen sebagai tanggung jawab bersama untuk
menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok sebagai mata rantai dari suatu
proses.
BAB VI
MANAJEMEN RESIKO

Program manajemen risiko yang baik menuntut peran yang lebih besar
dari perawat untuk menghadapi industry perawatan kesehatan yang tumbuh makin
kompleks di masa datang. Program manajemen risiko mempunyai dua tujuan
yaitu menghilangkan bahaya pada klien dan sataf serta mengurangi pengeluaran
biaya isntitusi. Program manajemen risiko mengidentifikasi, mengevaluasi, dan
mengatasi risiko pengeluaran biaya yang berlebihan . Dengan program ini, langka
pengangan risiko dapat diterapkan dan kejadian dengan biaya yang serendah-
rendahnya dapat ditekan melalui manajem klaim. Perawat adalah bagian integral
dari program manajemen risiko intitusional karena mereka lebih sering melakukan
kontak dengan klien dibandingkan dengan kelompok professional lain.
Sebelum terjadi krisis malpraktek pada tahun 1970an rumah sakit
mengatasi risiko dengan tiga cara yaitu menghindari risiko, menahan risiko, dan
memindahkan risiko. Agar terhindar dari risiko rumah sakit misalnya memutuskan
untuk tidak lagi memberikan pelayanan atertentu dan sebaliknya apabila memilih
untuk menahan risiko, rumah sakit akan mengeluarkan anggaran sebagai
konsekuensinya.
Risiko dipindahkan melalui pembelian asuransi komersial. Ketika banyak
perusahan asuransi memutuskan untuk tidak lagi memberikan tanggungan
malpraktik karena jumlah klaim yang banyak sehingga biaya hampir mencapai
maksimal dan tidak dapat ditanggung lagi. Rumah sakit dipaksa untuk menggali
cara alternative untuk mengatasi risiko. Manajemen risiko muncul sebagai upaya
untuk mengurangi premi asuransi pada perusahaan komersial. Jaminan pemberi
asuransi untuk memberikan bunga yang rendah, didasarkan pada pelaksanaan
program rumah sakit untuk mengidentifikasi dan mengatasi risiko.
A. Pengertian
Manajemen risiko merupakan proses untuk meningkatkan kualitas dan
keamanan layanan. Hal ini diidentifikasi sebagai pendekatan khusus untuk
meningkatkan kualitas pelayanan yang menekankan pada tindakan dimana
pasien merasa dirugikan atau masalah dari pelayanan yang diberikan. (Currie,
2003) Manajemen risiko dalam pelayanan kesehatan digunakan untuk
memberikan lingkungan yang aman dan efektif bagi pasien, pengunjung dan
karyawan sehingga mencegah adan mengurangi kerugian dari institusi.
Identifikasi, analisis, tindakan evaluasi bahaya yang terjadi atau pontensial
yang menjadi focus kegiatan manajemen risiko. (Pozgar, 2007)
Seorang pimpinan keperawatan saat ini harus berusaha untuk
membangun sebuah budaya keselamatan kerja dan merubah praktek-praktek
lama yang dapat menimbulkan kecelakaan bagi pasien, pengunjung dan
karyawan. Meningkatnya permintaan jasa dan biaya perawatan disertai
dengan pelayanan yang baik mengharuskan perawat memberikan pelayanan
yang bermutu dan cepat dari sebelumnya. Makin meningkatnya jumlah pasien
dapat mengakibatkan pontensial terjadinya kesalahan dan komunikasi yang
kurang baik dalam menghadapi pasien. Dengan makin kompleksnya kondisi
kerja akan meningkatkan beban kerja perawat, panjangnya jam kerja, dan
cepatnya perubahan teknologi. Bagaimanapun penelitian tentang kesalahan
yang terjadi pada perawat dilaporkan sangat signifikan. Memperbaiki system
dengan membuat dokumentasi yang baik memastikan tanggung gugat dan
tanggung jawab dalam melakukan tindakan. Lingkungan kerja yang aman
dibangun atas komunikasi yang terbuka, perawat yang kompeten, sumber daya
yang adekuat dan infrastruktur yang baik memungkinkan karyawan untuk
melakukan pekerjaan dengan baik. (ANA, 2005)
B. Tujuan Manajemen risiko
Manajemen risiko secara umum diberikan oleh suatu komite manajemen risiko
yang membantu dalam identifikasi dan evaluasi risiko. Tujuan Utama dari
program manajemen risiko adalah :
1. Mendefinisikan kejadian yang menempatkan manajemen (atau pemberi
asuransi) pada risiko financial
2. Menentukan frekuensi kejadian tersebut
3. Mengidentifikasi tindakan pencegahan atau tindakan setempat yang tepat
4. Menyeimbangkan biaya pencegahan terhadap risiko financial yang hilang
dan masih bertahan.
C. Unsur-unsur dalam program manajemen risiko
1. Otoritas
Manajemen risiko didalam organisasi pelayanan kesehatan harus
mempunyai otoritas dan mempunyai keinginan untuk menetapkan
perubahan pada tataran praktek klinik, kebijakan serta prosedur supaya
tuuan yang rancang oleh program tersebut dalam berjalan dengan baik.
Idealnya pada proses manajemen risiko harus melaporkan kepada
pimpinan atau minimal kepada administrasi pada organisasi tersebut.
Sehingga apa yang telah dirancang akan berjalan dengan baik dan
dilaksanakan oleh semua karyawan yang ada di organisasi tersebut.
2. Visibilitas
Komite manajemen risiko harus sangat terlihat dalam struktur organisasi.
Tidak ada suatu organisasi yang dapat melakukan fungsinya dengan baik
bila tidak ada dalam struktur bahkan di fasilitas pelayanan kesehatan yang
terkecil. Karena itu diperlukan suatu struktur yang baik dalam organisasi
tersebut dengan sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa perlu
mengetahui tentang praktek manajemen risiko dan tekni di semua
tingkatan orngasasi. Posisi komite manajemen risiko harus disusun untuk
meningkatkan pelayanan dan partisipasi dari semua unsur yang dapat di
akses secara terbuka di semua lini.
3. Komunikasi
Sebagai komite yang terintegrasi dalam suatu organisasi akan mempunyai
akses yang tinggi untuk mengetahuai adanya permasalahan yang timbul
dari organisasi tersebut. Untuk mengatasi terjadinya risiko dalam lingkup
klinik komite harus berupaya untuk menyelesaikan masalah tersebut
dengan memberikan saran kepada pimpinan dan melaksanakan bersama
semua unsure yang ada dalam organisasi tersebut.

4. Koordinasi
Karena berbagai fungsi manajemen risiko dan banyaknya kegiatan yang
harus dilakukan untuk mensukseskan program manajemen risiko, suatu
organiasi harus menetapkan mekansime formal dan informal untuk
melakukan koordinasi antara komite manajemen risiko dengan bagian lain.
Untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan dengan bagian lain perlu
membuat pelaporan yang baik serta mempunyai komunikasi pada para
pimpinan dalam organisasi tersebut.
5. Akuntabilitas
Komite manajemen risiko harus mempunyai deskripsi pekerjaan tertulis
yang menguraikan tanggung jawab manajemen risiko. Penilaian kinerja
tahunan harus spesifik, tujuan yang terukur dan dokumentasi yang efektif.
Komite harus menyerahkan laporan tahunan kepada pimpinan dan bagian
yang lain antara lain klaim, asuransi, kegitan program manajemen risiko
dan dokumen kemajuan yang dibuat untuk melakukan tujuan yang telah
ditetapkan.
D. Cakupan program manajemen risiko
1. Risiko yang berhubungan dengan perawatan pasien
Manajemen risiko yang berhubungan dengan perawatan pasien seperti mal
praktek, kejadian infeksi luka operasi, kejadian dekubitus, flebitis dan lain-
lain.
2. Risiko yang berhubungan dengan staf medis
Manajemen risiko yang berhubungan dengan staf medis seperti kesalahan
dalam melaksanakan standar operating prosedur, mengidentifikasi
pelaksananaan standar operating prosedur dan mengidentifikasi kesalahan
dalam pengobatan yang menimbulkan ancaman bagi pasien dan
keselamatan karyawan.
3. Risiko yang berhubungan dengan karyawan
Manajemen risiko yang berhubungan dengan karyawan termasuk
menghindari risiko kesakitan pada karyawan akibat pekerjaan dan
kecelakaan di tempat kerja. Harus dipahami oleh mereka bagaimana
melakukan pekerjaan yang efektif dalam menghindari terjadinya
kecelakaan kerja dan mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan kesehatan akibat pekerjaan.
4. Risiko yang berhubungan dengan peralatan
Manajemen risiko yang berhubungan dengan peralatan meliputi penyiapan
peralatan yang siap pakai dan harus melakukan perawatan yang terus
menerus pada peralatan tersebut sehingga tidak menyebabkan terjadinya
kecelakaan kerja.
5. Risiko yang berhubungan dengan lingkungan sekitar
Manajemen risiko yang berhubungan dengan lingkungan sekitar meliputi
penggunaan alat berat ataupun ambulance di luar pelayanan kesehatan
yang dapat menyebabkan terjadinya masalah pada karyawan, pasien dan
masyarakat sekitarnya.
E. Proses manajemen risiko
Manajemen risiko memerlukan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi
dan mengatasi faktor risiko. Proses atas tiga kompeonen utama :
1. Identifikasi risiko
Identifikasi risiko selanjutnya dibagi menjadi komponen analisis risiko,
tindakan terhadap risiko, dan evaluasi risiko. Laporan kejadian adalah
alat manajemen risiko yang sering digunakan untuk mengidentifikasi
risiko. Perawat juga berada dalam posisi untuk mengidentifikasi risko
dengan memeriksa lingkungan dan berdiskusi dnegan klien serta
keluarga.Begitu risiko teridentifikasi, komite manajemen risiko
berkolaborasi dengan bagian yang tepat untuk mengurangi risiko
tersebut.Alur kejadian yang berkaitan dengan cedera staf dapat terungkap,
misalnya banyak tangan staf yang mengalami luka bakar karena terkena
panas dari penutup autoklaf.Penyelidikan menunjukkan bahwa penutup
tersebut tidak seimbang dan rusak serta menutup ketika staf memindahkan
alat-alat dari autoklaf.Pintu yang bermasalah mungkin dapat diperbaiki
dengan mudah agar dapat mencegah cedera selanjutnya.
Keluarga klien juga dapat mendiskusikan perasaan tidak aman pada diri
saat memarkir kendaraannya di garasi pengunjung karena pencahayaan
yang kurang. Dengan laporan tersebut, petugas berwenang tersebut,
petugas berwenang dapat memperbaiki pencahayaan tersebut untuk
mencegah jatuh atau kecelakaan yang dapat membahayakan.
2. Pencegahan risiko
Tindakan pencegahan terdiri atas pendidikan institusi yang luas dan
pemantauan yang rutin. Pemantauan harus sistematik dan berkelanjutan.
Beberapa institusi menjadwalkan ronde rutin bersama staf seperti petugas
bagian lingkungan, pemeliharaan, kendali infeksi dan keamanan. Selama
ronde pelanggaran terhadap keamanan dapat diperhatikan, antara lain
pengendalian infeksi dan persoalan lingkungan dan pemeliharaan.
Pemantauan kualitas hasil klien dapat mengungkap persoalan yang
berkaitan dengan praktek seperti kerusakan kulit atau kerusakan saraf
karena pemberian posisi yang tidak tepat. Hasilnya seringkali
mengarahkan staf untuk mengidentifkasi kemungkinan penyebab dan
mengurangi atau menghilangkan risiko tersebut.
3. Penurunan risiko
Penting untuk membatasi atau mengontrol kehilangan jika insiden
merugikan telah terjadi. Kehilangan dapat dikurangi dengan cara
mengidentifikasi situasi klaim yang tepat, pelaporan yang cepat dan akurat
pada komite manajemen risiko, penyelidikan, dan tindak lanjut.
Perawat memainkan peran yang penting dalam mengurangi risiko yang
ada melalui hubungan yang intens dan lama dengan klien, keluarga, dan
pengunjung lain. Apabila perawat mempunyai data mengenai
ketidakpuasan klien teradap perawatan yang dibierkan atau karena telah
mengalami cedera, data tersebut harus segera dilaporkan kepada komite
manajemen risiko. Diskusi segera dapat menghasilkan resolusi yang cepat
terhadap keluhan tersebut.
F. Langkah untuk mengkaji risiko di tempat kerja
1. Identifikasi dan analisa bahaya
Mengidentifikasi risiko adalah suatu proses dalam manajemen risiko untuk
mengetahui adanya permasalahan dalam lingkungan pelayanan kesehatan.
Proses mengidentifikasi risko termasuk dalam pelaksanaan screening yang
berkelanjutan, hasil survey kepuasan pasien, data pekerjaan, kontrak kerja,
informasi dari team control informasi dan diskusi informal antara manager
dan karyawan.
Analisa risiko merupakan proses mendefinisikan kejadian yang potensial
akan mengakibatkan kerugian dengan mengidentifikasi risiko dan
kemungkinan adanya kejadian yang merugikan. Kejadian yang mungkin
berisiko seperti pasien yang tidak sadar akan mengakibatkan peningkatan
angka kejadian dekubitus.
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengetahui masalah yang terjadi.
Untuk mengetahui kerugian yang terjadi dapat dilakukan
a. Melihat tempat kejadian untuk melihat secara langsung penyebab
permasalahan yang terjadi.
b. Mintalah penjelasan kepada staf yang mengetahui kejadian tersebut
dan melakukan wawancara dengan beberapa staf tentang masalah
tersebut.
c. Periksa lagi standar operating prosedur yang ada apakah sudah
dilaksanakan dengan baik.
d. Lihat dokumentasi yang ada tentang masalah yang terjadi.
2. Mempertimbangkan teknik alternative penanganan risiko
Mengetahui penyebab masalah yang terjadi akan membantu
mengidentifikasi langkah-langkah dalam menangani risiko tersebut.
Pencarian beberapa keputusan alternative akan meningkatkan hasil yang
diharapkan. Ada 2 kategori yang dilakukan untuk melaksanakan tindakan
yaitu mengontrol resiko dan risiko financial.
Untuk mengontrol risiko ada beberapa teknik yang dapat dilakukan yaitu :
a. Menghindari kejadian yang nantinya akan menyebabkan kerugian ke
tidak ada kejadian. Dimana teknik mengontrol resiko harus dilihat dari
frekuensi ataupun keseringan kejadian dimana teknik ini hanya
menghilangkan kemungkinan kejadian yang menyebabkan kerugian.
Dimana risiko ini sangat serius dan tidak efektif bila di selesaikan oleh
pimpinan maka dapat dipikirkan untuk menghilangkan risiko tersebut.
Sebagai contoh bila suatu rumah sakit tidak mempunyai dokter bedah
syaraf dan pasien perlu dilakukan operasi segera maka lebih baik
merujuk pasien ke rumah sakit yang lengkap untuk penanganan
selanjutnya.
b. Pencegahan kerugian merupakan teknik untuk mengendalikan resiko
untuk mengurangi kemungkindan dari suatu kejadian yang tidak
menguntungkan dan mengurangi banyaknya kerugian. Usaha
pencegahan merupakan suatu hal dalam program management resiko
dengan cara proaktif meliputi pendidikan karyawan, sosialisasi
kebijakan dan meninjau ulang prosedur dan merivisinya bila ada
kekurangan. Intervensi ini mengarahkan untuk mengendalikan
banyaknya kejadian tanpa mengurangi aktifitas yang berpotensi risiko.
c. Mengurangi kerugian atau meminimalkan melibatkan berbagai strategi
dalam mengendalikan kerugian yang terjadi. Hal ini termasuk
mengurangi terjadinya injuri pada pasien dan keluarga mereka. Dengan
penggunaan standar operasional prosedur dengan baik maka akan
mengurangi kerugian tersebut.
d. Pemisahan kejadian melibatkan aturan suatu organiasi dalam
beraktifitas dan meningkatkan sumber daya yang ada sehingga bila
terjadi kejadian tidak akan mempengaruhi keseluruhan bidang.
Pemisahan kejadian terdiri dua kategori yaitu pemilahan dan dublikasi.
Pemilahan merupakan hasil dari pemisahan aktifitas bagian per bagian
sehingga bila terjadi permasalahan hanya terjadi pada bagian tersebut
saja. Duplikasi merupakan pembuatan sub bagian yang terkecil lagi
sehingga aktifitas lebih efektif dalam menghindari kerugian.
e. Memindahkan tanggungjawab dapat mengurangi kerugian dimana
dengan cara kontrak perjanjian akan menggeser tanggung jawab
hokum dengan cara menyewa, kotrak ataupun persetujuan. Dengan
adanya persetujuan dalam melaksanakan tindakan akan mengurangi
adanya kerugian apabila terjadi permasalahan di kemudian hari.
Untuk strategi financial risiko termasuk bagaimana mencari dana untuk
membayar kerugian yang terjadi atas teknik mengontrol resiko yang tidak
dapat dihilangkan. Tindakan yang dilakukan adalah :
a. Menyimpan kerugian dengan cara melakukan asumsi tentang potensial
kerugian yang dialami dan membuat perencanaan untuk menutup
kerugian yang akan terjadi.
b. Memindahkan kerugian sesuai kontrak untuk pembiayaan resiko akan
mengurangi kewajiban yang nantinya akan mengurangi kerugian
tetapi disesuaikan dengan hokum yang berlaku. Sebagai contoh dalam
menangani permasalah yang berhubungan dengan malpraktek medis
dengan cara membeli asuransi risiko bila ada kesalahan dalam
melakukan pekerjaan.
3. Menetapkan teknik manajemen resiko yang terbaik.
Mengidentifikasi dan menganalisa kerugian yang terjadi
Setelah mengetahui penyebab, maka dapat diputuskan apa yang harus
dilakukan untuk menangani masalah tersebut. Dilihat standar operating
Mengidentifikasi Menganalisa
prosedur yang ada kemudian dibandingkan dengan masalah yang ada.
Tipe kejadian Prinsip yangmengidentifikasi
Metode dapat dilakukan adalah dengan
kejadian signifikan
Tujuanmencoba pilihan untuk
mengatasi masalah dimana paling sedikit risikonya, mencegah terjadi
Tempat Profit Frekuensi kejadian
masalahSurvey standar/kuesioner
kembali, mengatur staf, Berlanjutnya
pasien dankerja
pengunjung
Seringnyauntuk
kejadian
Karyawan Wawancara
mengurangi Kestabilan organisasi
Pemasukan Rekampaparan bahaya
medis dan file yang akan terjadi, serta menyediakan fasilitas.
Pertumbuhan
Pertanggungan Inspeksi
Libatkan staf dalam melakukan tindakan pencegahan.
Kemanusiaan
4. Menerapkan teknik yang telah dipilih Persyaratan hukum
Proses penerapan termasuk keputusan teknik manajemen resiko harus
Mencari
dibuat oleh komite dan teknik alternatif
dihubungkan dengan keputusan pimpinan dan
seluruh staf dengan menerapkan keputusan dalam penanganan kejadian.
Kontrol risiko dengan menghentikan kerugian
Mendokumentasikan Risiko financial
laporan masalah untuk membayar
yang terjadi kerugian
dan penerapan akan
dapat mempercepat penanganan bila ada terjadi masalah yang sama.
Menghindari kejadian Penyimpan Pemindahan
Penulisan harus sederhana dan mudah dimengerti.
Pencegahan kerugian
Pembebankan
5. Memonitor dan meningkatkan
Mengurangi kerugian saat manajemen
program kerugian Pemindahan risiko financial
risiko
Pemilahan kejadian-pemisahan Tidak didanai oleh dana cadangan
Langkah yang terakhir adalah mengevaluasi dan Asuransi
memontirkomersial
keefektifan
Pemilahan kejadian-duplikasi Didanai dengan cadangan Menghindar (hanya Untuk bisnis)
program manajemen risiko dengan mengkaji keefektifan dan kehandalan
Pinjaman
Pemindahan control risiko
Penanggungan tahun berjalan
teknik dengan cara mengidentifikasi, meneliti dan melihat resiko kedepan.
Evaluasi manajemen resiko tidak ahanya melibatkan komite saja tetapi
Seleksi
semua manajerial serta teknik yang terbaik
karyawan.
G. Laporan insiden
Pemilihan kriteria Aturan kritera pembuatan keputusan
Insiden adalah peristiwa apapun, dnegan atau tanda cedera yang tidak
konsisten dengan perawatan rutin yang diberikan oleh fasilitas pelayanan.
Kriteria financial Mengontrol
Kriteria pelaporan bervariasi di antara institusi, tetapi umumnyarisikotermasuk ke
Kriteria yang dihubungan dengan tujuan yang ada Risiko finansial
dalam kategori cedera atau potensial cedera pada klien, staf dan kerusakan
atau kehilangan barang milik klien .kejadian biasanya dilaporkan berkaitan
dengan terpeleset danPelaksanaan teknik
jatuh, luka yang
bakar, dipilih medikasi, kejadian yang
kesalahan
berkaitan dengan alat atau prosedur, dan persoalan informed consent.
Keputusan teknikal
Keputusan Manajerial

Monitoring dan peningkatan program manajemen risiko

Tujuan Program kontrol

Untuk memastikan pelaksanaan yang telah diterapkan.


Untuk mendeteksi dan beradatpasi terhadap perubahan Standar hasil
Standar kegiatan

Sumber : Carrol RL, (2009), Risk Management Handbook for Health Care Organization, Student Edition, Jossey-Bass, San Francisco
H. Pemeriksaan kejadian yang umum
Pemeriksaan kejadian yang umum bermanfaat untuk menelusuri kejadian
khusus secara kontinyu. Jika upaya ini tidak dilakukan atau dilakukan secara
tidak tepat, maka hal ini dapat menimbulkan kejadian yang merugikan kliend
an dapat dikenakan ganti rugi.
I. Dokumentasi
Dokumentasi yang akurat terhadap asuhan keperawatan adalah alat
manajemen risiko yang lain. Apabila perawatan diberikan dengan ketrampilan
penuh, tetapi tidak didokumentasikan, maka tindakan ini tdak dapat
dibuktikan. Dokumentasi yang buruk dapat menjadi masalah pada proses
pengadilan. Pengacara akan memeriksa kelabilan, perubahan catatan,
eksalahan pencatatan atau medikasi yang diberikan atau sebaliknya. Semua
catatan klien harus memberikan gambaran yang objektif, lengkap, tepat waktu,
dan akurat tentang perjalanan perawatan klien. Dokumentasi harus
menunjukkan intervensi dan hasilnya. Pemberi perwatan tidak boleh seorang
yang mistirius. Tandatangan yang berlaku harus mencakup inisial dan
pendokumentasi yang diberikan padanya.
J. Kebijakan dan prosedur
Pengembangan dan pemberlakuan kebijakan, prosedur, dan standar
berdasarkan standar dan praktek adalah alat manajemen risiko yang sangat
baik. Alat ini melindungi institusi dan perawat tehradap klaim dan mencegah
keruginan financial. Kebijakan, prosedur dan standar intiutis bervariasi dalam
lingkungan isntiusi dan situasi klienis serta menentukan tingkatan standar
nasional yang dapat dipenuhi.
Pengelolaan risiko akbiat alat dimulai dengan kebijakan yang menggambarkan
parameter pemeriksaan dan pemeliharaan. Alat baru harus diperiksa sebelum
digunakan. Bagian teknik biomedis harus memeriksa alat untuk menjamin
pemenuhan berbagai keamanan. Instruksi mengenai perakitan, penggunaan,
pembersihan, pembuangan, dan penyimpanan alat dapat ditulis dalam
prosedur atau dapat dirujuk pada intruksi manual dari pabrik. Pada kasus
kejadian yang merugikan, pastikan bahwa alat digunakan sesuai instruksi.
Selain itu, alat harus diisolasi, diberi label, dan tidak digunakan sampai
penyelidikan kejadian selesai. Apabila alat masih baru dapat dibeirkan
pelatihan pada staf dan terus dicatat.
K. Keamanan dan kepuasan klien
Selama pengkajian klien, perawat dituntut untuk mampu menetapkan
hubungan yang positif dan perhatian yang dapat membantu menciptakan iklim
saling percaya. Hubungan saling percaya diperkuat selama prosedur
peneerimaan, saat perawat memeriksan factor keamanan yang penting,
misalnya identitas klien, pemeriksaan tempat tidur klien, maupun adanya
alergi. Penjelasan alasan untuk memberikan pembatas tempat tidur dan
pemasangan sabutk pengaman, membuat klien merasa keamanannya
diperhatikan. Perawat yang memberikan perawatan degnan baik kepada klien
dan keluarga serta memperlihatkan dengan sungguh-sungguh dalam
menjalankan tugasnya mungkin lebih diterima dengan baik oleh klien.
Seringkali klain bergantung pada persepsi terhadap perawatan dan kualitas
hubungan antara klien, rumah sakit dan perawat.
L. Manajemen Risiko dan Keperawatan
Pemimpin keperawatan saat ini harus meninggalkan praktik-praktik
lama dan berusaha untuk membangun sebuah budaya keselamatan bagi pasien.
Peningkatan permintaan untuk layanan dan meningkatnya biaya perawatan
kesehatan disertai dengan berkurangnya perawat dalam melayani
mengharuskan pasien untuk bergerak melalui sistem kesehatan lebih cepat
daripada sebelumnya. Cepatnya perputaran pasien meningkatkan
kemungkinan kesalahan dan meninggalkan celah yang potensial terjadi
kesalahan dalam komunikasi. Lebih rumit lagi kondisi kerja yang terjadi
dengan peningkatan pasien akut, staf keperawatan yang kurang, jam kerja
yang panjang, peningkatan gangguan dan tuntutan, dan cepat berubah
teknologi.
Sebagai kelompok terbesar penyedia layanan kesehatan dan mereka
yang kontak dekat dengan pasien, perawat berada dalam posisi kunci untuk
mengidentifikasi kesalahan dan untuk memulai langkah-langkah untuk
melindungi orang-orang yang mereka layani. Namun, penelitian dari ANA
(2005) menunjukkan kesalahan secara signifikan dilaporkan oleh perawat
untuk memperbaiki sistem yang mendorong pelaporan dan memastikan
pelayanan diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah
keamanan. Lingkungan kerja yang aman dibangun di atas komunikasi terbuka,
karyawan disiapkan dengan benar sebagai komponen dalam menjalankan
tugas sehingga yang diperlukan sumber daya yang memadai serta infrastruktur
yang memungkinkan staf untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
Pelajaran dari industri lain harus dimasukkan ke dalam pelayanan
kesehatan. Misalnya industri penerbangan telah menciptakan budaya
keselamatan dengan memonitor jam kerja oleh pilot, sistem mendesain ulang,
dan mempromosikan kerja sama tim dan komunikasi untuk mencegah
kesalahan. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan
sistem pengiriman yang aman dan efektif dan memerlukan komitmen massa.
Pemimpin harus bersedia untuk memberikan kekuasaan kepada orang lain dan
percaya dalam keterampilan dan kebijaksanaan dari keseluruhan .
Prinsip manajemen risiko telah memberi petugas pemahaman tentang
cara mengidentifikasi, mencegah, dan megnurangi risiko melalui observasi
yang ketat dan pelaporan secara risiko yang akan terjadi. Relevansi
manajemen risiko dengan aktifitras berkualitas telah digambarkan dan terkait
dengan aktifitas pemantauan serta penggunaan pemeriksaan kejadian yang
umum.
Petugas berperan penting dalam program manajemen risiko. Mereka
berkompeten dalam mengelola teknologi yang kompleks dengan mencegah
risiko melalui intervensi klien yang tepat, dan tetap memantau lingkungan
yang pontensial terjadinya bahaya.
DAFTAR PUSTAKA

Huis,A., et al (2012) A Systematic Review of Hand Hygiene Improvement


Strategies : A Behavioural Approach. Implementation Science; 7 :92

Departemen Kesehatan (2001), Kebijakan dan strategi Pengembangan Sistem


InformasiKesehatan Nasional. Depkes.RI.Jakarta.

Chaudhry et al. (2006).Systematic review : impact of health information


technology on quality, efficiency, and costs of medical care. Ann intern
Med 144(10)742-52

Curtis V and Cairncross , S (2003) Effect of washing hands with soap on diarrhea
risk in community a Sistematic Review.lancet infection desease vol.3 page
275-280

Eko I.R (2001). Manajemen Sistem Informasi dan Tehnologi Informasi, Jakarta,
Kelompok Gramedia.

Emeliana, (2003). Sistem Informasi Keperawatan Berbasis Komputer


yangterintegrasi di Pelayanan Kesehatan Sint.Carolus, tidak
dipublikasikan.

Johnson,(2008). Nurses and the Use Of Personal Digital Assistants (PDAs) at the
Point of care Design Of Electronic Text, Vol. 1 Nomor 1
Lorna Few tell. Dkk (2005) Water Sanitation and Hygiene intervention to
reducediarhoea in less development Countries, vol.5 issue 1. 42-52

Al-Assaf (2009), Mutu layanan kesehatan perpektif internasional, alihbahasa


Munaya Fauziah dan Andri Lukman, EGC, Jakarta

American Nurses Association (2005) the nurses role in promoting of patient


safety, American Nurses Association, Silver Spring

Carrol RL, (2009), Risk Management Handbook for Health Care Organization, Student
Edition, Jossey-Bass, San Francisco

Currie L, Morrell C, and Scrivener R (2003), Clinical Governance : an RCN


resource guide, Royal College of Nursing, London

Departemen Kesehatan R.I (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien


Rumah Sakit. Jakarta: Bhakti Husada

Depertemen Kesehatan R.I (2006). Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah


sakit. (konsep dasar dan prinsip). Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta.

Dodge A and Filzer S (2006), When good doctors get sued (end ed) Dodge and
Associates, Olalla

Gruendemann BJ and Fernsebner B, (2005) Buku Ajar: Keperawatan


Perioperatif; (Comprehensive Perioperative Nursing); Volume 1, alih
bahasa Brahm U.Pendit, EGC, Jakarta.

Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997) Professional nursing practice concept, and
prespective. California: Addison Wesley Logman, Inc.

PERSI KARS, KKP-RS. (2006). Membangun budaya keselamatan pasien


rumah sakit. Lokakarya program KP-RS. 17 Nopember 2006

Potter, P.A and Perry , A.G. (1997). Fundamental of nursing concept; process and
Practice. St. Louis: Mosby. Jilid 2

Pozgar G (2007) Legal aspects of health care administration (10 thed) Jones and
Bartlett, Sudbury

Sivell S, Elwyn G, Gaff C, Clarke A, Iredale R, Shaw C, Dundon J, Thornton H


and Edwards A, (2008) How risk is perceived, contructed and interpreted
by cliens in clinical genetics and the effects on decision making :
Systematic review, Journal of Genetic Counseling 17, 30 63
Supranto.(2001). Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan
pangsa pasar. Jakarta: Rieneka Cipta

Swanburg RC, (2000), Pengantar Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan


Untuk Perawat Klinis,alih bahasa Suharyati Samba, EGC, Jakarta
Tomey. A.M. dan Alligoog, M.R.(2006). Nursing theorist and their work. 6th ed.
St. Louis:Mosby.
Wijono, D. (1999). Manajemen mutu pelayanan kesehatan .teori, strategi dan
aplikasi. Volume 1 dan 2. Airlangga University Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai