Anda di halaman 1dari 29

Tugas Farmakoterapi

PARKINSON

Disusun oleh :

Kelompok 5

Kelas D

ALOYSIUS MERYOS K.S 3351151482


ANI HAYATI 3351151433
DIA DANIATI 3351151457

DIAN FARDILA 3351151536

INTAN PERMATASARI 3351151451

MEGA SILVIA ARMYS 3351151535

RATNA MASKUR 3351151461


RINI AGUSTINA 3351151537

WARSI 3351151444

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERTASI JENDERAL ACHAMAD YANI

CIMAH

2016

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang

bersifat kronis progresif, merupakan penyakit terbanyak kedua setelah

demensia Alzheimer. Penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat

luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali ditemukan

oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada

tahun 1887. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang

mengalami ganguan pergerakan.

Tanda-tanda khas yang ditemukan pada penderita diantaranya

resting tremor, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Tanda-

tanda motorik tersebut merupakan akibat dari degenerasi neuron

dopaminergik pada system nigrostriatal. Namun, derajat keparahan

defisit motorik tersebut beragam. Tanda-tanda motorik pasien sering

disertai depresi, disfungsi kognitif, gangguan tidur, dan disfungsi

autonom.

Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita

antara pria dan wanita seimbang. 5 10 % orang yang terjangkit

penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun,

tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara

keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh


dunia dan 1,6% di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 64

tahun sampai 3,5 % pada usia 85 89 tahun.

Penyakit Parkinson dimulai secara samar-samar dan berkembang

secara perlahan. Pada banyak penderita, pada mulanya Penyakit

Parkinson muncul sebagai tremor (gemetar) tangan ketika sedang

beristirahat, tremor akan berkurang jika tangan digerakkan secara

sengaja dan menghilang selama tidur. Stres emosional atau kelelahan

bisa memperberat tremor. Pada awalnya tremor terjadi pada satu

tangan, akhirnya akan mengenai tangan lainnya, lengan dan tungkai.

Tremor juga akan mengenai rahang, lidah, kening dan kelopak mata.

Penderita Penyakit Parkinson mengalami kesulitan dalam

memulai suatu pergerakan dan terjadi kekakuan otot. Jika lengan

bawah ditekuk ke belakang atau diluruskan oleh orang lain, maka

gerakannya terasa kaku. Kekakuan dan imobilitas bisa menyebabkan

sakit otot dan kelelahan. Kekakuan dan kesulitan dalam memulai

suatu pergerakan bisa menyebabkan berbagai kesulitan. Otot-otot

kecil di tangan seringkali mengalami gangguan, sehingga pekerjaan

sehari -hari (misalnya mengancingkan baju dan mengikat tali sepatu)

semakin sulit dilakukan. Penderita Penyakit Parkinson mengalami

kesulitan dalam melangkah dan seringkali berjalan tertatih-tatih

dimana lengannya tidak berayun sesuai dengan langkahnya. Jika

penderita Penyakit Parkinson sudah mulai berjalan, mereka

mengalami kesulitan untuk berhenti atau berbalik. Langkahnya


bertambah cepat sehingga mendorong mereka untuk berlari kecil

supaya tidak terjatuh. Sikap tubuhnya menjadi bungkuk dan sulit

mempertahankan keseimbangan sehingga cenderung jatuh ke depan

atau ke belakang. Wajah penderita Penyakit Parkinson menjadi

kurang ekspresif karena otot-otot wajah untuk membentuk ekspresi

tidak bergerak. Kadang berkurangnya ekspresi wajah ini disalah

artikan sebagai depresi, walaupun memang banyak penderita

Penyakit Parkinson yang akhirnya mengalami depresi. Pandangan

tampak kosong dengan mulut terbuka dan matanya jarang mengedip.

Penderita Penyakit Parkinson seringkali ileran atau tersedak karena

kekakuan pada otot wajah dan tenggorokan menyebabkan kesulitan

menelan. Penderita Penyakit Parkinson berbicara sangat pelan dan

tanpa aksen (monoton) dan menjadi gagap karena mengalami

kesulitan dalam mengartikulasikan fikirannya. Sebagian besar

penderita memiliki intelektual yang normal, tetapi ada juga yang

menjadi pikun.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit parkinson idiopatik ( idiopathic parkinsons disease, IPD)

memiliki karakteristik gejala klinis maupun hasil pemeriksaan

neuropatologi yang sangat khas, termasuk gangguan gerak/ motorik

dan pada beberapa kasus berupa gangguan kejiwaan/ mental.

2.2 Prevalensi

Angka prevalensi penyakit Parkinson di Amerika Utara diperkirakan

sebesar 160 per 100.000 populasi dengan angka kejadian sekitar 20

per 100.000 populasi. Prevalensi dan insidensi penyakit Parkinson

semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi berkisar

antara 0,5-1% pada usia 65-69 tahun. Pada umur 70 tahun prevalensi

dapat mencapai 120 dan angka kejadian 55 kasus per 100.000

populasi pertahun. Prevalensi meningkat sampai 1-3% pada usia 80

tahun atau lebih. Di Indonesia belum ada data prevalensi penyakit

Parkinson yang pasti, namun diperkirakan terdapat sekitar 400.000

penderita penyakit Parkinson. Penyakit ini lebih banyak ditemukan

pada pria dari pada wanita dengan angka perbandingan 3:2 (Joesoef,

2007).

2.3 Etiologi
Etiologi Parkinson primer belum diketahui, masih belum

diketahui. Terdapat beberapa dugaan, di antaranya ialah : infeksi

oleh virus yang non-konvensional (belum diketahui), reaksi

abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap

zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan yang prematur

atau dipercepat.

Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di

substansi nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-

gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita

tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak

disadarinya. Mekanis-me bagaimana kerusakan itu belum jelas

benar. Beberapa hal yang diduga bisa menyebabkan parkinson

adalah sebagai berikut.

a. Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada

usia 50 sampai 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun.

Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi

kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra, pada

penyakit parkinson.
b. Geografi : Di Libya 31 dari 100.000 orang, di Buinos aires 657

per 100.000 orang. Faktor resiko yang mempengaruhi

perbedaan angka secara geografis ini termasuk adanya

perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan paparan

terhadap faktor lingkungan.


c. Periode : Fluktuasi jumlah penderita penyakit parkinson tiap

periode mungkin berhubungan dengan hasil pemaparan

lingkungan yang episodik, misalnya proses infeksi,

industrialisasi ataupn gaya hidup. Data dari Mayo Klinik di

Minessota, tidak terjadi perubahan besar pada angka

morbiditas antara tahun 1935 sampai tahun 1990. Hal ini

mungkin karena faktor lingkungan secara relatif kurang

berpengaruh terhadap timbulnya penyakit parkinson.


d. Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang

berperan pada penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-

sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada

pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien

dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan

mutasi point pada gen parkin (PARK2) di kromosom 6. Selain

itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Adanya

riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningakatkan faktor

resiko menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia

kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun.

Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala

parkinsonisme tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus

genetika di USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus

genetika pada 100 penderita yang diperiksa. Di Eropa pun

demikian. Penelitian di Jerman menemukan hasil nol pada 70

penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika ditemukan


pada keluarga-keluarga di Italia karena kasus penyakit itu

terjadi pada usia 46 tahun.


e. Faktor Lingkungan
Xenobiotik

Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat

menmbulkan kerusakan mitokondria.

Pekerjaan

Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih

tinggi dan lama.

Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi

faktor predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan

substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan

adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia

astroides.
Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress

oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada

penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan

neuroprotektif.
Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit

parkinson, meski peranannya masih belum jelas benar


Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat

mendahului gejala motorik. Depresi dan stress

dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada


stress dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin

yang memacu stress oksidatif.

2.4 Patofisiologi

1. Berkurangnya atau kehilangan neuron dopamin diagian nigrostriatal

menghasilkan penurunan aktivitas kortikal, semua gangguan

motorik pada IPD dikaitkan dengan kehilangan cukup banyak

neuron dopaminergik disekitar putamen. Terdapat korelasi positif

antara tingkat kehilangan dopamin nigrostriatal dengan tingkat

keparahan penyakit.
2. Obat yang dapat meningkatkan dopaminergik atau menghambat

asetilkolin atau neurotrasmisi glutamat terbukti berhasil mengobati

IPD. Hasil penelitian terbaru menyatakan bahwa antagonis reseptor

adenosine A2 juga menjanjikan keberhasilan dimasa yang akan

datang.
3. Aktivasi reseptor D2 tampaknya merupakan mediator yang sangat

penting sebagai perantara perbaikan klinis maupun beberapa efek

samping (misal halusinasi). Reseptor D1 tampaknya terlibat dalam

menyebabkan gejala diskenesia.


4. Degenerasi neuron dopamin nigrostriatal menghasilkan peningkata

relatif aktivitas interneuron kolinergik striatal dorsal horn yang

progresif .

2.5 Klasifikasi

Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan,

tetapi harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat

gambaran tentang etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.


1. Parkinsonismus primer/ idiopatik/paralysis agitans.
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi

penyebabnya belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson

termasuk jenis ini.


2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain :

tuberkulosis, sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced,

misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,

misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma yang

berulang-ulang pada petinju, infark lakuner, tumor serebri,

hipoparatiroid dan kalsifikasi.


3. Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari

gambaran penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada

penyakit Wilson (degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus

normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, atropi

palidal (parkinsonismus juvenilis).

2.6 Gejala Klinis

Meskipun gejala yang disampaikan di bawah ini bukan hanya milik

penderita parkinson, umumnya penderita parkinson mengalami hal itu.

1. Gejala Motorik

a. Tremor/bergetar
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan

awam, dan dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada

orang tua. Salah satu ciri khas dari penyakit parkinson adalah

tangan tremor (bergetar) jika sedang beristirahat. Namun, jika


orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran tersebut tidak

terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang juga

sewaktu tidur.
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi

metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung

uang logam atau memulung-mulung (pil rolling). Pada sendi

tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki fleksi-

ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut

membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang

waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang (resting/

alternating tremor). Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau

kaki, tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata,

bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang menghitung uang).

Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala

penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan

aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa

berhenti. Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi,

namun semakin berat penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua

belah sisi.
b. Rigiditas/kekakuan
Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan

tangan yang tremor tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara

perlahan ke atas bertumpu pada pergelangan tangan, terasa ada

tahanan seperti melewati suatu roda yang bergigi sehingga

gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus. Selain di


tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga terjadi di leher.

Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus lagi seperti

break-dance. Gerakan yang kaku membuat penderita akan

berjalan dengan postur yang membungkuk. Untuk

mempertahankan pusat gravitasinya agar tidak jatuh, langkahnya

menjadi cepat tetapi pendek-pendek.


Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni

seluruh gerakan, hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas

motorneuron alfa, adanya fenomena roda bergigi (cogwheel

phenomenon).
c. Akinesia/Bradikinesia
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat

perhatian sehingga tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan

penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan sehari-hari

pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin

mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan

diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa

menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi

tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara

menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar

air liur.
Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya

gerak asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit

memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara

gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia


mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan

gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti

topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan

ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut.


d. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah
Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat

mau mulai melangkah, sedang berjalan, atau berputar balik; dan

start hesitation, yaitu ragu-ragu untuk mulai melangkah. Bisa

juga terjadi sering kencing, dan sembelit. Penderita menjadi

lambat berpikir dan depresi. 13Bradikinesia mengakibatkan

kurangnya ekspresi muka serta mimic muka. Disamping itu, kulit

muka seperti berminyak dan ludah suka keluar dari mulut karena

berkurangnya gerak menelan ludah.


e. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada

beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.


f. Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin

menjadi cepat (marche a petit pas), stadium lanjut kepala

difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung

melengkung bila berjalan.


g. Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan,

pita suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau

mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume suara

halus ( suara bisikan ) yang lambat.


h. Dimensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan

penyakitnya dengan deficit kognitif.


i. Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang

lain ), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir

dan respon terhadap pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya

masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu

yang cukup.
j. Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada

pengetukan diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson positif)

2. Gejala non motorik

a. Disfungsi otonom

Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter

terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik.


Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
Pengeluaran urin yang banyak
Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan

melemahnya hasrat seksual, perilaku, orgasme.


b. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
c. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
d. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
e. Gangguan sensasi,
kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang,

pembedaan warna,
penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan

oleh hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf

otonom untuk melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai

jawaban atas perubahan posisi badan


berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau

( microsmia atau anosmia),


2.7. Faktor resiko
1. Infeksi virus atau oleh paparan racun lingkungan
2. Tiroid dan gangguan paratiroid
3. Stroke
4. penggunaan obat-obatan terlarang
5. Trauma kepala berulang (misalnya trauma terkait dengan tinju)
6. Kelebihan cairan disekitar otak ( hidrosefalus )
7. Tumor otak
2.8 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pada setiap kunjungan penderita :


1. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri,

hal ini untuk mendeteksi hipotensi ortostatik.


b. Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri

dengan tangan diekstensikan, menghitung surut dari angka

seratus, bila masih ada tremor dan rigiditas yang sangat,

berarti belum berespon terhadap medikasi.


c. Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini

penderita disuruh menulis kalimat sederhana dan

menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan

tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk

perbandingan waktu follow up berikutnya.


2. Pemeriksaan penunjang
a. EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)
b. CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki

melebar, hidrosefalua eks vakuo).

2.9 Tahapan Terapi

1. Non Farmakologi

a. latihan gerak
Terapi Fisik

Sebagian terbesar penderita Parkinson akan merasa efek baik

dari terapi fisik. Pasien akan termotifasi sehingga terapi ini

bisa dilakukan di rumah, dengan diberikan petunjuk atau

latihan contoh diklinik terapi fisik. Program terapi fisik pada

penyakit Parkinson merupakan program jangka panjang dan

jenis terapi disesuaikan dengan perkembangan atau

perburukan penyakit, misalnya perubahan pada rigiditas,

tremor dan hambatan lainnya. Latihan fisik yang teratur,

termasuk yoga, taichi, ataupun tari dapat bermanfaat dalam

menjaga dan meningkatkan mobilitas, fleksibilitas,

keseimbangan, dan range of motion. Latihan dasar selalu

dianjurkan, seperti membawa tas, memakai dasi, mengunyah

keras, dan memindahkan makanan di dalam mulut.

Terapi Suara
Perawatan yang paling besar untuk kekacauan suara yang

diakibatkan oleh penyakit Parkinson adalah dengan Lee

Silverman Voice Treatment ( LSVT ). LSVT fokus untuk

meningkatkan volume suara. Suatu studi menemukan bahwa

alat elektronik yang menyediakan umpan balik indera

pendengar atau frequency auditory feedback (FAF) untuk

meningkatkan kejernihan suara.


b. Gizi
Selain terapi obat yang diberikan, pemberian makanan harus

benar-benar diperhatikan, karena kekakuan otot bisa


menyebabkan penderita mengalami kesulitan untuk menelan

sehingga bisa terjadi kekurangan gizi (malnutrisi) pada penderita.

Makanan berserat akan membantu mengurangi ganguan

pencernaan yang disebabkan kurangnya aktivitas, cairan dan

beberapa obat.
2. Farmakologi
a. Dopaminergik
Agonis reseptor dopamin
seperti bromokriptin, kabergolin, lisurid, pergolid,

pramipeksol, ropinirol dan rotigotin memiliki aksi langsung

pada reseptor dopamin. Pengobatan pasien baru biasanya

dimulai dengan menggunakan agonis reseptor dopamin.

Obat- obat ini juga digunakan bersama dengan levedopa

pada tahap lebih lanjut penyakit. Rotigotin digunakan

sebagai monoterapi penyakit parkinson tahap awal. Bila

digunakan sebagai monoterapi, pada terapi jangka panjang

agonis reseptor dopamin lebih sedikit menyebabkan

komplikasi motorik dibandingkan levedopa, namun perbaikan

kerja motorik secara umum sedikit lebih kecil. Agonis

reseptor dopamin lebih banyak menyebabkan efek samping

neuropsikiatrik dibandingkan dengan levedopa. Agonis

reseptor dopamin yang berasal dari ergot, bromokriptin,

kabergolin, lisurid, pergolid telah dikaitkan dengan reaksi

fibrotik. Dosis agonis reseptor dopamin sebaiknya

ditingkatkan secara perlahan tergantung respon dan


toleransi pasien. Penghentian obat juga sebaiknya dilakukan

secara bertahap. Apomorfin adalah agonis reseptor dopamin

yang digunakan pada tahap lebih lanjut.


Bromokriptin merupakan prototip kelompok ergolin yaitu

alkaloid ergot yang bersifat dopaminergik, yang

dikelompokkan sebagai ergolin. Bromokriptin merangsang

reseptor dopeminergik. Obat ini lebih besar afinitasnya

terhadap reseptor D2 dan merupakan antagonis reseptor

D1. organ yang dipengaruhi ialah yang memilki reseptor

dopamin yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus dan

saluran cerna.
Peringatan : pemantauan untuk pembesaran kelenjar

hipofise, ulkus peptikum, pengguanaan pil kontrasepsi

(kadar prolaktin naik), kelainan psikiatri, penyakit

kardivaskuler, sindroma raynaud dll


Efek samping : mual, muntah, konstipasi, sakit kepala,

pusing, hipotensi posturai, mengantuk dll


Dosis : minggu pertama 1- 1,25 mg malam hari, Minggu

kedua 2-2,5 mg malam hari, minggu ketiga 2,5 mg 2 kali

sehari, minggu keempat 2,5 mg 3 kali sehari, kemudian

tingkatkan 2,5 mg setiap 3- 14 hari sesuai dengan respon

sampai kisaran lazim 10- 40 mg bersama makanan.


Interaksi Obat : Pemberian obat bersama antasid atau

makanan, mengurangi mual yang berat. Antipsikotropika dan

metoklorpromida sebagai antagonis dopamin, dapat

mengurangi efeknya.
Prekursor Dopamin
Levedopa yaitu suatu asam prekursor dopamin, Di dalam

otak Levodopa dirubah menjadi Dopamin. Pengubahan

levodopa menjadi dopamin membutuhkan adanya

dekarboksilase asam L-amino aromatik. Dan levodopa

bekerja dengan cara menggantikan dopamin striatal yang

hilang. Obat diberikan bersama dengan suatu inhibitor

dopadekarboksilase ekstraserebral yang akan mencegah

konfersi perifer levedopa menjadi dopamin, sehingga efek

samping seperti mual muntah dan efek kardiovaskuler dapat

dikurangi. Oleh karena itu, kadar efektif dopamin otak dapat

dicapai dengan dosis levedopa yang lebih rendah. Inhibitor

dopadekarboksilase ekstraserebral yang digunakan bersama

dengan levedopa adalah benzerasid (pada co- bineldopa)

dan kardedopa (pada co- kareldopa). Levedopa dikombinasi

dengan inhibitor dopadekarboksilase, bermanfaat pada

pasien lansia dan lemah, pada passien dengan penyakit lain

yang signifikan, dan pada pasien dengan gejala yang lebih

berat. Obat ini efektif dan dapat ditoleransi pada segaian

besar pasien. Pemberian levedopa sebaiknya dimulai

dengan dosis rendah, dan ditingkatkan secara sedkit-

sedikit, dosis akhir sebaiknya serendah mungkin. Interval

antara dosis sebaiknya ditentukan sesuai dengan

keebutuhan pasien.
Catatan : bila co- kareldopa digunakan, dosis harian total

dari karbidopa minimal 70 mg dosis yang lebih rendah

mungkin mencapai inhibisi penuh dopadekarboksilase eksra

serebral, dengan tetap terjaddi peningkatan efek samping.

Mual dan muntah pada penggunaan co- beneldopa atau co-

kareldopa jarang dapat ditassi dengan pengaturan dosis,

namun dapat diatasi dengan pemberian domperidon.


Levedopa menyebabkan terjadinya komplikasi gangguan

motorik termasuk situasi respon dan diskinisia. Fluktuasi

respn ditandai oleh kemampuan motorik dengan variassi

yang luas dengan fungsi yang normal pada periode on serta

kelemahan dan keterbatasan mobilitas pada periode off.

Juga terjadi perburukan end off dose yaitu durasi atau

manfaat tiap dosis obat akan semakin singkat. Sediaan

lepas lambat dapat membantu perburukan end off dose atau

imobilitas nokturnal dan rigiditas. Komplikasi motorik amat

mengganggu pada pasien muda yang diterapi pada

levedopa.
Peringatan : penyakit paru, tukak peptik, penyakit

kardivaskuler, diabetes melitus, glaukoma dll


Kontaindikasi : kehamilan
Efek samping : anoreksia, mual muntah, insomnia, agitasi,

hipotensi postrual dll


Dosis : awal 125- 500 mg perhari dalam dosis terbagi

setelah makan, ditingkatkan menurut respon (jarang

digunakan sebagai tunggal)


Interaksi Obat : Piridoksin, sebagai ko-enzim, mempercepat

perombakan perifer levodopa dengan jalan memperkuat

kegiatan dekarboksilase.
Peningkat Pelepasan Dopamin
Amantadin yaitu memiliki efek antiparkinson yang lemah,

obat ini memperbaiki kelemahan bradikinetik yang ringan,

tremor dan rigiditas. Obat ini dapat pula berguna untuk

diskinesia pada penyakit parkinson tahap lanjut. Dapat

terjadi toleransi terhadap efek obat dan dapat timbul

kebingungan serta halusinasi. Penghentian amantadin

sebaiknya dilakukan secara bertahap tanpa melihat respon

pasien terhadap terapi.


Peringatan : gangguan hepar atau ginjal, penyakit jantung

kongestif (dapat memperparah edema) kondisi kebingungan

dan halusinasi dll


Kontraindikasi : epilepsi, riwayat tukak lambung, pangguan

ginjal berat, kehamilan, menyusui


Interaksi Obat : Piridoksin, sebagai ko-enzim, mempercepat

perombakan perifer levodopa dengan jalan memperkuat

kegiatan dekarboksilase.
Dopamin agonis kuat
Apomorfin merupakan dopamin agonis yang kuat, kadang

dapat berguna pada paien dengan penyakit tahap lanjut dan

telah mengalami periode off yang tidak terduga sebelumnya

dengan levodopa untuk terapi penyakit parkinson, obat ini

hanya tersedia secara parenteral. Apomorfin amat

emetogenik pasien harus diberi domperidon min 2 hari


sebelum terapi. Disarankan agar pasien dibawah

pengawasan dokter spesialis selama terapi dengan

apomorfin.
b. Penghambat MAO
Selegilin
Selegilin merupakan penghambat monoamin oksidase-B

(MAO-B) yang relatif spesifik. Selegilin menghabat

deaminasi dopamin sehingga kadar dopamin sehingga kadar

dopamin diujung saraf dopaminergik lebih tinggi. Selain itu,

ada hipotesis yang mengemukakan bahwa selegilin mungkin

mencegah pembentukan neurotoksin endogen yang

membutuhkan aktivasi oleh MAO-B. Dan juga merupakan

inhibitor atau penghambat monoamin oksidase beta yang

digunakan sebagai terapi tambahan bersama levedopa

untuk mengurangi perburukan end off dose pada pasien

dengan penyakit tahap lanjut. Terapi dini dengan selegilin

dapat menunda kebutuhan akan terapi levedopa untuk

beberapa bulan namun disarankan digunakan obat lain yang

lebih efektif. Pada pasien dengan lipotensi postural

penggunaan selegilin yang dikombinassikan dengan

levedopa sebaiknya dihindari atau digunakan dengan sangat

hati- hati.
Dosis : Selegilin dengan dosis 10 mg per hari dapat terterima

dengan baik.
Efek samping : Efek samping berat tidak dilaporkan terjadi,

efek samping kardoivaskuler jelas kurang dari penghambat


MAO-A. Hipotensi, mual, kebingungan dan psikosis pernah

dilaporkan.
Rasagilin
merupakan suatu inhibitor atau penghambat

monoaminoksidase beta digunakan untuk mengatasi

penyakit parkinson baik tunggal maupun sebagai terapi

tambahan bersama levodova untuk fluktuasi end off dose.


c. Penghambat COMT
Enakapon dan tolkapon yaitu mencegah pemecahan perifer

levedopa dengan cara menghambat katekol-0-metiltransferase,

sehingga lebih banyak levedopa yang sampai keotak. Obat ini

digunakan bersama dengan co-beneldopa atau co- kareldopa

untuk pasien parkinson yang mengalami perburukan end off

dose yang tidak dapat distabilkan dengan kombinasi ini. Karena

adanya resiko hepatotosisitas maka tolkapon sebaiknya

digunakan dibawah pengawasan dokter spesialis dan digunakan

jika penghambat katekol-0-metiltransferase lainnya yang

dikombinasi dengan co- beneldopa atau co- kareldopa tidak

efektif.
Enakapon sebagai tambahan pada levedopa dengan

inhibitor dekarboksilase dopa pada penyakit parkinson.


Peringatan : dosis levodopa perlu dikurangi hingga 10- 30 %
Kontraindikasi : kehamilan, gangguan fungsi hati, riwayat

syndrome keganasan neuroleptik dll


Efek samping : mual, muntah, nyeri abdomen, konstipasi,

diare dll
Dosis : 200 mg dengan setiap dosis levodopa dengan

inhibitor dekarboksilasse dopa, maksimal 2 gram sehari.


Tolkapon
Sebagai terapi tambahan untuk levodopa dengan inhibitor

dekarboksilase dopa pada penyakit parkinson.


Peringatan : pada sebagian besar pasien yang menerima

dosis levodopa lebh dari 600 mg sehari memerlukan

pengurangan dosis levodopa, dilaporkan hepatotoksisitas

yang berpotensi mengancam jiwa termasuk hepatitis

fulminant, biasanya 6 bulan pertama, sebelum terapi dimulai

dilakukan uji fungsi hati kemudian dimonitor setiap 2 minggu

pada tahun pertama, setiap 4 minggu pada 6 bulan

berikutnya dan setiap 8 minggu (ulangi jadwal monitor jika

dosis dinaikkan). Penggunaan dihentikan bila uji fungsi hati

menunjukkan abnormal.
d. Antimuskarinik
Kerja antiparkinson obat antimuskarinik dengan cara

mengurangi efek kolinergik sentral yang berlebihan akibat

adanya defisiensi dopamin. Obat antimuskarinik bermanfaat

pada parkinsonisme yang diinduksi leh obat, namun tidak

digunakan pada parkinson yang idiopatik, karena obat ini krang

efektif diandingkan obat dopaminergik dan dapat menyebabkan

kerusakan kognitif. Obat antimuskarinik, Benzatropin, orfenadrin,

prosiklidin dan triheksifenidil (denzeksol) menguragi gejala

parkinson yang diinduksi oleh obat antipsikotik. Tidak dibenarkan

obat ini diberikan secara rutin walau efek samping parkinson

yang tidak muncul. Tardivedyskinesia tidak mengalami perbaikan


dengan pemberian antimuskarinik bahkan mungkin bertambah

buruk. Pada parkinson idiopatik, antimuskarinik mengurangi

tremor dan rigiditas, tapi obat ini memiliki sedikit efek pada

bradikinesia. Obat ini mungkin bermanfaat mengurangi sialorea.

Tidak ada perbedaan penting antimuskarinik, benzatropin dapat

diberikan secara parenteral dan obat ini efektif sebagai terapi

emergency. Reaksi distoniakut yang diinduksi oleh obat.


2.10 Interaksi obat
1. Amantadin
Interaksi yang penting : dengan Memantin meningkatkan resiko

toksisitas SSP, jiak diberikan bersamaan (produsen memantin

menganjurkan untuk tidak digunakan bersamaan), efek

dopaminergik mungkin ditingkatkan oleh memantin. Interaksi tidak

bermakna klinis :
a. antimuskarinik : meningkatkan resiko efek samping

antimuskarinik jika diberikan bersamaan


b. Antipsikotik : meningkatkan resiko efek samping jika amantadine

diberikan bersamaan dengan antipsikotik


c. Bupropion : meningkatkan resiko efek samping jika diberikan

bersamaan
d. Domperidon : meningkatkan resiko efek
e. Metildopa : meningkatkan resiko efek samping ekstrapiramidal

jika diberikan bersamaan efek antiparkinson dopaminergik

kemungkinan diantagonis oleh metildopa


f. Metoklopramid : meningkatkan resiko efek samping

ekstrapiramidal jika diberikan bersamaan


2. Levodopa
a. Anestetik : mningkatkan resiko aritmia jika levodopa diberikan

bersamaan dengan cairan anestesi umum yang diuapkan

(inhalasi)
b. Antidepresan : resiko terjadi krisis hipertensi jika levodopa

diberikan bersamaan dengan penghambat MAO hindari

pemberian levodopa selama minimal 2 minggu setelah

penghentian penghambat MAO miningkatkan resiko efek

samping jika levodopa bersama dengan moklobemid.


3. Karbidopa/L-dopa
a. Anestetik : mningkatkan resiko aritmia jika levodopa diberikan

bersamaan dengan cairan anestesi umum yang diuapkan

(inhalasi)
b. Antidepresan : resiko terjadi krisis hipertensi jika levodopa

diberikan bersamaan dengan penghambat MAO hindari

pemberian levodopa selama minimal 2 minggu setelah

penghentian penghambat MAO miningkatkan resiko efek

samping jika levodopa bersama dengan moklobemid.


4. Selegilin
a. Analgesik : dilaporkan terjadi hiperpireksia dan toksisitas SSP

saat selegilin diberikan bersamaan dengan petidin (hindari

penggunaanya secara bersama-sama) produsen selegilin

menganjurkan untuk menghindari pemakaianya bersamaan

dengan tramadol.
b. Antidepresan : resiko sindroma serotonin secara teoritis

dapat terjadi jika selegilin diberikan bersama dengan sitalopran

(terutama jika dosis selegilin melebihi 10 mg perhari)


c. Simpatomimetik : resiko krisis hipertensi jika selegilin diberikan

bersamaan dengan dopamin


5. Tolkapon
a. Antidepresan : hindari pemakaian bersamaan antara tolkapon

dengan penghambat MAO


b. Memantin : efek dopaminergik kemungkinan ditingkatkan

oleh memantin
c. Metildopa : antagonisme efek antiparkinson dari obat

dopaminergik ini oleh metildopa


6. Entakapon
a. Antikoagulan : entakapon meningkatkan efek antikoagulan

warfarin
b. Antidepresan : produsen entakapaon menyarankan hati-hati jika

digunakan bersamaan dengan moklobemid, paroksetin, trisiklik

dan venlafaksin; hindari entakapon digunakan bersama dengan

penghambat MAO yang tidak selektif.


7. Bromokriptin
Simpatomimetik : resiko toksisitas jika bromokriptin diberikan

bersamaan dengan isometepren atau fenilpropanolamin.


8. Pramipeksol
a. Antipsikotik : produsen pramipeksol menganjurkan untuk

menghindari dipakai bersamaan dengan antipsikotik (efek

antagonisme)
b. Memantin : efek dopaminergik mungkin ditingkatkan oleh

mamantin
c. Metildopa : agonisme efek antiparkinson dari obat dopaminergik

ini oleh metildopa


d. Obat anti ulseran : ekskresi pramipeksol diturunkan oleh

simetidin (meningkatkan kadar pramipeksol dalam darah)


9. Triheksifenidil
a. Antidepresan : resiko peningkatan efek samping antimuskarinik,

jika digunakan bersamaan dengan penghambat MAO atau

antidepresan trisiklik atau antidepresan dengan struktur mirip

trisiklik
b. Anti fungi : antimuskarinik menurunkan abbsopsi ketokonazol

BAB III
PENUTUP
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang

bersifat kronis progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena

gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya

pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus/

neostriatum (striatal dopamine deficiency). Di Amerika Serikat, ada

sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan

jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-

400.000 penderita
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang

membutuhkan penanganan secara holistik meliputi berbagai

bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan

penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi gejala

yang timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan

gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum

bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka

penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya.


Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami

progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan

ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat menyebabkan

kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien

berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap

medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala

terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang

dapat sangat parah.

Anda mungkin juga menyukai