Anda di halaman 1dari 22

Referensi Artikel

REHABILITASI MEDIK
PARKINSON

Oleh :

Disusun oleh:
Mahardika Friyatama G99152027
Ema Novalia Dewi KS G99152028
Umi Hani’ Vismayanti L G99152029
Amirul Zakiya Bravery G99151053
Sausan Hana Maharani G99151054
Muhammad Ardianto P G99151055
Blandina Adrialisa Regina R G99151056
Ridwan Fauzi G99151057

Pembimbing :
Dr. dr. Noer Rachma, SpKFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson merupakan penyakit neuro degeneratif ke 2 paling


sering dijumpai setelah penyakit Alzheimer. Berbagai gejala penyakit Parkinson,
antara lain tremor waktu istirahat, telah dikemukakan sejak Glen tahun 138-201,
bahkan berbagai macam tremor sudah digambarkan tahun 2500 sebelum masehi
oleh bangsa India. Namun Dr. James Parkinson pada tahun 1817 yang pertama
kali menulis deskripsi gejala penyakit Parkinson dengan rinci dan lengkap kecuali
kelemahan otot sehingga disebutnya paralysis agitans. Pada tahun 1894, Blocg
dan Marinesco menduga substansia nigra sebagai lokus lesi, dan tahun 1919
Tretiakoff menyimpulkan dari hasil penelitian post mortem penderita penyakit
Parkinson pada disertasinya bahwa ada kesamaan lesi yang ditemukan yaitu lesi
disubstansia nigra. Lebih lanjut, secara terpisah dan dengan cara berbeda
ditunjukkan Bein, Carlsson dan Hornykiewicz tahun 1950an, bahwa penurunan
kadar dopamine sebagai kelainan biokimiawi yang mendasari penyakit Parkinson.
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria
dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala
awalnya muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada
usia 65 tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di
seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun
sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun. Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000
penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta
orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia
penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun.
Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih
banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit Parkinson (Parkinson Disease) adalah suatu penyakit degeneratif
pada sistem saraf (neurodegenerative) yang bersifat progressive, ditandai
dengan ketidakteraturan pergerakan (movement disorder), tremor pada saat
istirahat, kesulitan pada saat memulai pergerakan, dan kekakuan otot.
Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif progresif yang
berkaitan erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh
degenerasi neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars
kompakta substansia nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy
bodies), atau disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.
Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor
waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat
penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini sering
disebut sebagai Sindrom Parkinson.

B. ETIOLOGI
Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa
dugaan, di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum
diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan
terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan yang prematur
atau dipercepat (Sudoyo, 2007).
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi
nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak
dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan
gerakan-gerakan yang tidak disadarinya (Sudoyo, 2007).
Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar, akan tetapi ada
beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan, yaitu :

3
1. Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50
sampai 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan
dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi kerusakan neuronal,
terutama pada substansia nigra pada penyakit parkinson (Sudoyo, 2007).
2. Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan
pada penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan
panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism
autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif parkinson,
ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di kromosom
6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Adanya
riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningakatkan faktor resiko
menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari 70
tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang,
jika disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia
relatif muda. Kasus-kasus genetika di USA sangat sedikit, belum
ditemukan kasus genetika pada 100 penderita yang diperiksa. Di Eropa
pun demikian. Penelitian di Jerman menemukan hasil nol pada 70
penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika ditemukan pada keluarga-
keluarga di Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun
(Sudoyo, 2007).
3. Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang
dapat menimbulkan kerusakan mitokondria.
b. Pekerjaan : Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang
lebih tinggi dan lama.
c. Infeksi : Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi
faktor predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan
substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya
kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.

4
d. Diet : Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress
oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit
parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif.
4. Ras : angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih
dibandingkan kulit berwarna.
5. Trauma kepala : Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit
parkinson, meski peranannya masih belum jelas benar.
6. Stress dan depresi : Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat
mendahului gejala motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan
penyakit parkinson karena pada stress dan depresi terjadi peningkatan
turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif.
(Sudoyo, 2007)

C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Parkinson mengenai 1-2 % populasi berusia lebih dari 60 tahun,
tanpa adanya bias jenis kelamin yang signifikan. Distribusi ditemukan
diseluruh dunia, walaupu tampaknya lebih sering terjadi di Eropa dan Amerika
Utara (Ginsberg, 2008).

D. PATOFISIOLOGI
Gejala parkinson disebabkan adanya kerusakan jalur nigrostriatal atau
gangguan kerja dopamin dalam ganglia basalis. Ganglia basalis merupakan
bagian dari sistem ekstrapiramidal yang mempengaruhi awal, modulasi dan
akhir pergerakan, serta mengatur gerakan automatis. (Sylvia & Wilson, 2002).
Perubahan patologi mayor pada parkinson adalah hilangnya neuron berisi
dopamin dalam substansia nigra dan nukleus berpigmen lainnya. Banyak sisa
neuron lain yang berisi badan Lewy (termasuk nsitoplasmik eosinofilik),
hilangnya neuron berisi dopamin dalam substansia nigra menyebabkan
penurunan dopamin dalam saraf terminal traktus nigrostriatal. Penurunan
dopamin dalam korpus striatum mengacaukan keseimbangan normal antara

5
neurotransmitter dopamin (penghambat) dan asetil kolin (pembangkit) (Sylvia
& Wilson, 2002).
Substansia nigra merupakan suatu regio kecil di otak yang terletak sedikit
diatas medula spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontrol atau koordinasi dari
seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter yang disebut
dopamin, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan otot dan
keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat (Sudoyo et al,
2009).
Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron
di otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan refleks
postural, serta kelancaran komunikasi (bicara). Pada penyakit parkinson sel-sel
neuron di substansia nigra pars kompakta mengalami degenerasi, sehingga
produksi dopamin menurun, akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf
pusat menurun dan menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), kelambatan
bicara, dan berfikir (bradifrenia), tremor dan kekakuan (rigiditas) (Sudoyo et
al, 2009).

E. KLASIFIKASI
Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi
harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang
etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.
1. Parkinsonismus primer/ idiopatik/ paralysis agitans.
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya
belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik.
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain: tuberkulosis,
sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan
fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain, misalnya perdarahan
serebral petekial pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark
lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.

6
3. Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran
penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson
(degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-
drager, degenerasi striatonigral, atropi palidal (parkinsonismus juvenilis).(5)

F. MANIFESTASI KLINIS
Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik,
yang didapat dari anamnesa yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot,
pegal-pegal atau kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan,
gejala sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi).
Gambaran klinis penderita parkinson :
1. Tremor
Tremor disebabkan karena kontraksi yang berganti ganti secara teratur
(empat sampai enam siklus perdetik) dari otot otot antagonis. Tremor
makin bertambah jika pasien lelah dan mengalami ketegangan emosi.
Tremor terjadi pada jejari tangan, sendi sendi metakarpo-falangisi, kepala
mengangguk-angguk atau menggeleng-geleng. Tremor terdapat pada jari
tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangeal, kadang kadang
tremor seperti menghitung uang logam (pil rolling). Pada sendi tangan
fleksi ekstensi atau pronasi supinasi, pada kaki fleksi ekstensi, pada kepala
fleksi ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur
tertarik tarik. Tremor terjadi pada saat istirahat dengan frekuensi 4-5 Hz
dan menghilang pada saat tidur. Tremor disebabkan oleh hambatan pada
aktivitas gamma motoneuron. Inhibisi ini mengakibatkan hilangnya
sensitivitas sirkuit gamma yang mengakibatkan menurunnya kontrol dari
gerakan motorik halus. Berkurangnya kontrol ini akan menimbulkan
gerakan involunter yang dipicu dari tingkat lain pada susunan saraf pusat.
Tremor pada penyakit Parkinson mungkin dicetuskan oleh ritmik dari alfa
motor neuron dibawah pengaruh impuls yang berasal dari nukleus ventro-
lateral talamus. Pada keadaan normal, aktivitas ini ditekan oleh aksi dari

7
sirkuit gamma motoneuron, dan akan timbul tremor bila sirkuit ini
dihambat.
2. Rigiditas
Rigiditas selalu ada pada pasien Parkinson yaitu dengan meningkatnya
tonus otot, baik otot fleksor maupun ekstensor berkontraksi dengan kuat
yang menunujukan gangguan kelompok kelompok otot inhibitor yang
bersesuaian. Regiditas nampak pada wajah sehingga wajah seperti topeng
karena terbatasnya mimik, kedip mata menjadi jarang, sikap tubuh
menjadi agak membungkuk, lengan dan tungkai berada pada keadaan
fleksi ringan, jalan dengan langkah kecil kecil.
3. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lamban sehingga gerak asosiatif menjadi
berkurang misalnya: sulit bangun dari kursi, sulit mulai berjalan, lamban
mengenakan pakaian atau mengkancingkan baju, lambat mengambil suatu
obyek, bila berbicara gerak bibir dan lidah menjadi lamban. Bradikinesia
menyebabkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan
spontan berkurang sehingga wajah mirip topeng, kedipan mata berkurang,
menelan ludah berkurang sehingga ludah keluar dari mulut. Bradikinesia
merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi dari impuls optik sensorik,
labirin , propioseptik dan impuls sensorik lainnya di ganglia basalis. Hal
ini mengakibatkan perubahan pada aktivitas refleks yang mempengaruhi
alfa dan gamma motoneuron.
4. Hilangnya refleks postural
Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada
awal stadium penyakit Parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37%
penderita penyakit Parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun
mengalami gejala ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari
saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada
level talamus dan ganglia basalis yang akan mengganggu kewaspadaan
posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah jatuh.
5. Wajah Parkinson

8
Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi
muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang,
disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari
mulut.
6. Mikrografia
Bila tangan yang dominan yang terlibat, maka tulisan secara graduasi
menjadi kecil dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala
dini.
7. Sikap Parkinson
Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada
penyakit Parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam
posisi kepala difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung
melengkung kedepan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan.
8. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah
dan bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang
monoton dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit Parkinson.
Pada beberapa kasus suara mengurang sampai berbentuk suara bisikan
yang lamban.
9. Disfungsi otonom
Disfungsi otonom mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara
progresif neuron di ganglia simpatetik. Ini mengakibatkan berkeringat
yang berlebihan, air liur banyak (sialorrhea), gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan adanya hipotensi ortostatik yang mengganggu.
10. Gerakan bola mata
Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi
sulit, gerak bola mata menjadi terganggu.

11. Refleks glabela

9
Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-ulang.
Pasien dengan Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap
ketokan. Disebut juga sebagai tanda Mayerson’s sign
12. Demensia
Demensia relatif sering dijumpai pada penyakit Parkinson. Penderita
banyak yang menunjukan perubahan status mental selama perjalanan
penyakitnya. Disfungsi visuospatial merupakan defisit kognitif yang sering
dilaporkan. Degenerasi jalur dopaminergik termasuk nigrostriatal,
mesokortikal dan mesolimbik berpengaruh terhadap gangguan intelektual.
13. Depresi
Sekitar 40 % penderita terdapat gejala depresi. Hal ini dapat terjadi
disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang
menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan
merasa dikucilkan. Tetapi hal ini dapat terjadi juga walaupun penderita
tidak merasa tertekan oleh keadaan fisiknya. Hal ini disebabkan keadaan
depresi yang sifatnya endogen. Secara anatomi keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa pada penderita Parkinson terjadi degenerasi neuron
dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron norepineprin yang
letaknya tepat dibawah substansia nigra dan degenerasi neuron asetilkolin
yang letaknya diatas substansia nigra.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis,
karena tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit
Parkinson. Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air
kencing, darah maupun cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson
dibandingkan kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan tidak ada penanda
biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive terhadap
penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian
patologis terpisah berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita

10
memenuhi kriteria patologis aktual, sedangkan yang 24% mempunyai
penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut.(7,8)
2. Neuroimaging:
a. Magnetik Resonance Imaging (MRI)
Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya
pasien yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan
signal di striatum.(7)
b. Positron Emission Tomography (PET)
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah
memberi kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem
dopamine nigrostriatal dan peranannya dalam patofisiologi penyakit
Parkinson. Penurunan karakteristik pada pengambilan fluorodopa,
khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua
penderita penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat
awitan gejala, penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan
penurunan 30% pada pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi
sayangnya PET tidak dapat membedakan antara penyakit Parkinson
dengan parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan suatu alat untuk
secara obyektif memonitor progresi penyakit, maupun secara obyektif
memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus.(7)

Gambar 1. PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

11
c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post
sinapsis oleh SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara
sindroma Parkinson plus dan penyakit Parkinson, yang merupakan
penyakit presinapsis murni. Penempelan ke striatum oleh derivat
kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55, berkurang
secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga
berkurang secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang
diharapkan sesuai umur yang berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn
dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek dan yang lainnya telah
melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada
pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit
Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah
memungkinkan untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel
saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson.
Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang
menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti
berguna dalam mendeteksi orang yang beresiko secara dini.
Sebenarnya, potensi SPECT sebagai suatu metoda skrining untuk
penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik tampaknya telah
menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai
metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis
baru, sekarang sedang diselidiki.

H. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan klinis dengan ditemukannya gejala
motorik utama antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia
dan hilangnya refleks postural. Kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia
adalah kriteria Hughes (1992):
1. Possible : didapatkan 1 dari gejala-gejala utama

12
2. Probable : didapatkan 2 dari gejala-gejala utama
3. Definite : didapatkan 3 dari gejala-gejala utama
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya
penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr
(1967) yaitu:
1. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali
orang terdekat (teman).
2. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu.
3. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu
saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
4. Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk
jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri,
tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
5. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak
mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu.(10,11)
I. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Farmakologi
a. Obat Dopaminergik Sentral
Levodopa
Substitusi defisiensi DA-striatum tidak dapat dilakukan dengan
pemberian DA, sebab DA tidak melintasi sawar darah-otak. Kemudian
ternyata bahwa penggunaan dopa-rasemik banyak menimbulkan efek
samping yang mengganggu. Levodopa, sebagai isomer aktif lebih
efektif dan kurang toksik.
Levodopa cepat diabsorpsi secara aktif terutama dari usus halus.
Kecepatan absorpsi sangat tergantung dari kecepatan pengosongan
lambung. Absorpsi juga dihambat oleh makanan tinggi protein akibat
kompetisi asam amino dengan levodopa dalam absorpsi maupun

13
transport ke otak. Levodopa yang dapat mencapai sirkulasi kira-kira 22-
30% dosis oral; sedangkan 60% atau lebih mengalami biotransformasi
di saluran cerna dan hati. Hati mengandung sangat banyak mengandung
enzim dopa-dekarboksilase (dekarboksilase asam amino-I-aromatik,
DC). Selain di hati, enzim ini tersebar di berbagai jaringan, juga dalam
dinding kapiler di otak. Jelaslah bahwa levodopa yang mencapai
jaringan otak jumlahnya sedikit sekali. Diperkirakan hanya 1% dari
dosis yang diberikan mencapai SSP. Pemberian penghambat
dekarboksilase mengurangi pembentukan dopamin di perifer.

Gambar 1. Metabolisme dopamin pada saraf dopamin presinaptik

Biotransformasi levodopa menghasilkan berbagai metabolit (gambar 1).


Levodopa terutama dibiotransformasi menjadi DA yang dalam tahap
selanjutnya cepat diubah lagi menjadi DOPAC (3,4-dihidroksi fenil
asetat) oleh enzim MAO dan AD (aldehid dehidrogenase), dan HVA
(asam homovanilat). Pemberian levodopa akan menyebabkan
peningkatan kadar HVA dalam cairan serebrospinal (CSS).
Biotransformasi menjadi metabolit lain hanya sedikit jumlahnya.
Metabolit levodopa cepat sekali diekskresi melalui urin.

14
Tabel 1. Pedoman Dosis Levodopa untuk Penderita Berobat Jalan
Masa pengobatan Dosis Frekuensi pemberian
Minggu ke 1 125 mg 2 x sehari
Minggu ke 2 125 mg 4 x sehari
Minggu ke 3 250 mg 4 x sehari
Minggu ke 4 500 mg 3 x sehari
Minggu ke 5 500 mg 4 x sehari
Minggu ke 6 500 mg 5 x sehari
Minggu ke 7 1g 3 x sehari
Minggu ke 8 1g 3 x sehari + 500 mg di
malam hari
Selanjutnya bila diperlukan dosis harian dapat ditambah 500 mg setiap
minggu.

Agonis Dopamin
Beberapa zat kimia memiliki sifat dopaminergik, dengan mekanisme
kerja merangsang reseptor dopaminergik sentral. Obat yang termasuk
golongan ini ialah : apomorfin, piribedil, bromokriptin dan pergolin.
1) BROMOKRIPTIN
Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih
besar afinitasnya terhadap reseptor D2 dan merupakan antagonis
reseptor D1. Organ yang dipengaruhi ialah yang memiliki reseptor
dopamin yaitu SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis
dan saluran cerna.
Efektivitas bromokriptin pada penyakit Parkinson cukup nyata dan
lebih nyata lagi pada pasien dengan derajat penyakit lebih berat.
Kenyataan ini didukung oleh fakta :
(1) efek terapi bromokriptin tidak tergantung dari enzim
dekarboksilase
(2) bertambah beratnya penyakit akan lebih meningkatkan
sensitivitas reseptor dopaminergik (supersensitivitas denervasi).
Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang
memberikan kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA
dari ujung saraf otak. Terapi kombinasi levodopa dan bromokriptin
pada penyakit Parkinson dapat mengurangi dosis levodopa sambil
15
tetap mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan efek
terapinya.
Indikasi utama bromokriptin ialah sebagai tambahan levodopa pada
pasien yang tidak memberikan respons memuaskan terhadap
levodopa, dan untuk mengatasi fluktuasi respons levodopa dengan
atau tanpa karbidipa. Bromokriptin diindikasikan sebagai pengganti
levodopa bila levodopa dikontraindikasikan.
Efek samping bromokriptin memperlihatkan variasi individu yang
nyata. Titrasi dosis yang teliti perlu untuk menentukan dosis yang
tepat. Mual, muntah dan hipotensi ortostatik merupakan efek
samping awal berupa kolaps kardiovaskuler dapat terjadi.
Antikolinergik
Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan
Parkinsonisme. Prototip kelompok ini ialah triheksifenidil. Termasuk
dalam kelompok ini ialah : biperiden, prosiklidin, benztropin, dan
antihistamin dengan efek antikolinergik difenhidramin dan etopropazin.
Dasar kerja obat ini adalah mengurangi aktivitas kolinergik yang
berlebihan di ganglia basal.
Efek antikolinergik perifernya relatif lemah dibandingkan dengan
atropin. Atropin dan alkaloid beladon lainnya merupakan obat pertama
yang dimanfaatkan pada penyakit Parkinson, tetapi telah ditinggalkan
karena efek perifernya terlalu menggangu.
1) Triheksifenidil, senyawa kolinergik-nya benztropin
farmakodinamik.
Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan
potensi atropin, triheksifenidil memperlihatkan potensi
antispasmodik setengahnya, efek mitriadik sepertiganya, efek
terhadap kelenjar ludah dan vagus sepersepuluhnya. Seperti atropin,
triheksifenidil dosis besar menyebabkan perangsangan otak. Ketiga
senyawa kolinergik triheksifenidil yaitu biperin, sikrimin dan
prosiklidin, pada umumnya serupa triheksifenidil dalam efek

16
antiparkinson maupun efek sampingnya. Bila terjadi toleransi
terhadap triheksifenidil, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai
pengganti.
Benztropin tersedia sebagai benztropin meslat, yaitu suatu
metasulfonat dari eter tripinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus
basa tropin dan gugus antihistamin (difenhidramin). Masing-masing
bagian tetap mempertahankan sifat-sifatnya, termasuk efek anti
Parkinson. Efek sedasi gugus difenhidramin bermanfaat pada
mereka yang justru mengalami perangsangan akibat penggunaan
obat lain; khususnya pada pasien yang berusia lanjut. Sebaliknya
sebagian basa tropinnya menimbulkan perangsangan.
Obat Dopamino-Antikolinergik
1) Amantadin
Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta
menghambat aktivitas kolinergik di korpus striatum. Sebagai
penjelasan telah dikemukakan bahwa amantadin membebaskan DA
dari ujung saraf dan menghambat ambilan presinaptik DA, sehingga
memperpanjang waktu paruh DA di sinaps. Berbeda dengan
levodopa, amantadin tidak meningkatkan kadar HVA dalam CSS.
Mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti.
Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada
levodopa tetapi respons lebih cepat (2-5 hari) dan efek samping
lebih rendah. Efektivitas amantadin tidak dipengaruhi umur, jenis
kelamin, lamanya penyakit, jenis penyakit dan pengobatan tertentu.
Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik
responsnya terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa
bersama-sama bersifat sinergis.
2) Antidepresi trisiklik
Impiramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek anti
Parkinsonnya kecil sekali, tetapi bila dikombinasi dengan
antikolinergik dapat sangat bermanfaat. Dengan kombinasi ini,

17
selain meningkartkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala
depresi juga diperbaiki.
Penghambat Monoamine Oksidase- B (Mao-B)
1) Selegilin
Selegilin merupakan penghambat MAO-B yang relative spesifik.
Saat ini dikenal dua bentuk penghambat MAO, tipe A yang
terutama berhubungan dengan deaminasi oksidatif norepinefrin dan
serotonin, tipe B yang memperlihatkan aktivitas terutama pada
dopamin.
Penghambat MAO-A menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin
yang masuk dari makanan, demikian juga bila dikombinasi dengan
levodopa. Selektivitas ini hanya berlaku untuk dosis sampai
10mg/hari.
Selegilin menghambat deaminasi dopamin sehingga kadar dopamin
di ujung saraf dopaminergik lebih tinggi. Selain itu ada hipotesis
yang mengemukakan bahwa selegilin mungkin mencegah
pembentukan neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi
oleh MAO-B. Secara eksperimental pada hewan, selegilin
mencegah Parkinsonisme akibat MPTP. Mekanisme lain diduga
berdasarkan pengaruh metabolitnya yaitu N-desmetil selegilin, L-
metamfetamin dan L-amfetamin. Isomer ini 3-10 kali kurang poten
dari bentuk D. Metamfetamin dan amfetamin menghambat ambilan
dopamin dan meningkatkan penglepasan dopamin.
Pada pasien penyakit Parkinson lanjut penambahan selegilin pada
levodopa meringankan fenomen wearing off. Fenomen pasang surut
dan pembekuan gerakan tidak jelas dipengaruhi. Penambahan
selegilin memungkinkan pengurangan dosis levodopa 10-30%.
Dengan demikian efek samping levodopa berkurang. Pemberian
selegilin tunggal pada awal penyakit agaknya menghambat
progresivitas penyakit Parkinson sehingga menunda keperluan
pengobatan dengan levodopa.

18
2. Terapi Rehab Medik
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta
mengatasi masalah-masalah sebagai berikut :
a. Abnormalitas gerakan
b. Kecenderungan postur tubuh yang salah
c. Gejala otonom
d. Gangguan perawatan diri ( Activity of Daily Living – ADL )
e. Perubahan psikologik
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas dapat dilakukan tindakan sebagai
berikut :
a. Terapi fisik : ROM ( range of motion )
1) Peregangan
2) Koreksi postur tubuh
3) Latihan koordinasi
4) Latihan jalan ( gait training )
5) Latihan buli-buli dan rectum
6) Latihan kebugaran kardiopulmonar
7) Edukasi dan program latihan di rumah
b. Terapiokupasi
Memberikan program yang ditujukan terutama dalam hal
pelaksanaan aktivitas kehidupan sehari-hari .
c. Terapi wicara
Membantu penderita Parkinson dengan memberikan program latihan
pernapasan diafragma , evaluasi menelan, latihan disartria , latihan
bernapas dalam sebelum bicara. Latihan ini dapat membantu
memperbaiki volume berbicara , irama dan artikulasi.
d. Psikoterapi
Membuat program dengan melakukan intervensi psikoterapi setelah
melakukan asesmen mengenai fungsi kognitif , kepribadian , status
mental ,keluarga dan perilaku.

19
e. Terapi sosial medik
Berperan dalam melakukan asesmen dampak psikososial lingkungan
dan finansial , untuk maksud tersebut perlu dilakukan kunjungan
rumah/ lingkungan tempat bekerja.
f. Orthotik Prosthetik
Dapat membantu penderita Parkinson yang mengalami
ketidakstabilan postural , dengan membuatkan alat Bantu jalan
seperti tongkat atau walker.

J. PROGNOSIS
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini.
Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang
hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga
terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak
general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap
medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat
bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah. (9,10)
PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang
sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya
lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD
dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk
yang dapat menyebabkan kematian. Progresifitas gejala pada PD dapat
berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat
lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya
penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat,
kebanyakan pasien PD dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis.
(9,10,11)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid III. FKUI. 2007. Hal 1373-1377.
2. Ginsberg L. Lecture Notes: Neurologi Edisi kedelapan. Jakarta : Penerbit
Airlangga.
3. Sudoyo,A.W.dkk.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Edisi Kelima Jilid
I.Jakarta: Interna Publishing. Hal: 851-857
4. Sylvia,A.P.&Wilson.M.Lorraine.2002.Patofisiologi:Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit, Ed 6.Jakarta:EGC.Hal :1141-1144
5. Husni A: Penyakit parkinson , patofisiologi, diagnosis dan wacana terapi .
Disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional I dan konferensi kerja III PERGEMI
. Semarang , 2002 .
6. Kelompok Studi Gangguan Gerak PERDOSSI: Konsensus Tatalaksanan
Penyakit Parkinson . Edisi Revisi , 2003
7. Joesoef AA. Patofisiologi dan managemen penyakit parkinson. Dalam:
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V. FK. Unair , 2001 : 27 – 53
8. Olanow C.W, Tatton W.G. Etiology and pathogenesis of parkinson′s disease .
Annu. Rev. Neurosci.1999; 22: 123 – 44.
9. Syamsudin T. Diagnosis and Management Early and Advance Parkinson’s
Disease. Disampaikan pada Simposium Nasional II Neurogeriatry , Hotel
Sahid Jaya , Makasar , 2004.
10. Widjaja D. Pathophysiology and Pathogenesis of Parkinson′s Disease .
Disampaikan pada Simposium A New Paradigm in The Management of
Parkinson′s Disease, 2003.
11. Hermanowicz N. Management of Parkinson′s Disease . In : Postgraduate
Medicine , Vol. 110 , Des. 2001 : 1 – 12
12. Hristova A, Koller W. Treatment of early Parkinson′s Disease . In : Disease
Management , Neurology Departement University of Miami , Florida ,2000 :
167 – 177

21
13. Gilroy, J : Movement disorders. In : Basic Neurology. Third edition.
McGrawHill Co , 2000 : 149 – 199
14. Rao G. Does This Patient Have Parkinson Disease. In : The Rational Clinical
Examination , 289 : 347 – 353

22

Anda mungkin juga menyukai