Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU KESEHATAN SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

DAMPAK PANDEMI COVID-19 PADA PASIEN PENYAKIT PARKINSON

Disusun oleh:
Jenifer Johana Paath, S.Ked
2013-83-019

Pembimbing:
dr. Semuel A. Wagiu, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Parkinson merupakan gangguan pergerakan neurodegenerative yang

paling umum. Penyakit Parkinson pertama kali dideskripsikan oleh Dr. James

Parkinson pada tahun 1817 sebagai “shaking palsy”. Penyakit ini bersifat kronis

dan progresif yang ditandai dengan karakteristik motorik dan non-motorik, seperti

gangguan kognitif, disfungsi otonom, gangguan tidur, depresi dan hiposmia.

Penyakit Parkinson biasanya terjadi pada kelompok usia antara 55 tahun - 65

tahun dan terjadi pada 1% - 2% orang diatas usia 60 tahun, meningkat menjadi

3.5% pada usia 85-89 tahun. Sekitar 0.3% dari populasi umum terpengaruh dan

prevalensinya lebih tinggi pada pria daripada wanita dengan rasio 1.5:1.0.

Penyakit Parkinson lebih umum pada orang berkulit putih daripadi orang Asia

atau Afrika.

Karakteristik patologis dari penyakit Parkinson adalah hilangnya neuron

dopaminergic dalam substantia nigra pars compacta (SNPC) dan akumulasi

badan Lewy yang ditemukan dalam intra-sitoplasma. Ketika pasien pertama kali

didiagnosis, sebagain besar neuron dopaminergic di SNPC telah hilang dan

neurodegenerasi telah menyebar ke daerah sistem saraf pusat lainnya. Etiologi

penyakit ini pada kebanyakan pasien tidak diketahui, tetapi perbedaan genetic

diidentifikasi pada 5%-10% kasus. Penanganan penyakit Parkinson terkini


berdasarkan penggantian dopamine, meskipun pendekatan alternatif seperti deep

brain stimulation (DBS) cocok untuk penyakit stadium lanjut. Saat ini perawatan

yang tersedia menawarkan pengendalian gejala motorik yang baik tetapi tidak

menghentikan perkembangan neurodegenerasi, evolusi penyakit dan

meningkatnya kecacatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson pertama kali dideskripsikan oleh Dr. James Parkinson

pada tahun 1817 sebagai “shaking palsy”. Penyakit Parkinson merupakan

penyakit neurodegenerative yang kronis dan progresif ditandai dengan adanya

gejala motorik dan non-motorik. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia (PERDOSSI) adalah penyakit Parkinson adalah penyakit degenerasi

otak terbanyak kedua setelah penyakit Alzheimer. Pada penyakit Parkinson terjadi

penurunan jumlah dopamine di otak yang berperan dalam mengontrol gerakan

sebagai akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang

otak.

B. Epidemiologi Penyakit Parkinson

Perkiraan insiden penyakit Parkinson di seluruh dunia berkisar dari 5 - >35

kasus baru per 100.000 orang per tahun. Dalam sebuah penelitian berbasis

populasi di Minnesota (AS) dengan validasi patologis dari diagnosis klinis,

insiden penyakit Parkinson adalah 21 kasus per 100.000 orang per tahun.

Penyakit Parkinson jarang terjadi sebelum usia 50 tahun, tetapi keadiannya

meningkat 5 – 10 kali lipat pada dekade keenam sampai kesembilan kehidupan.


Prevalensi global, secara keseluruhan diperkirakan 0.3%, juga meningkat tajam

hingga >3% pada mereka yang berusia >80 tahun.

Penyakit Parkinson dua kali lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita di

sebagian besar populasi, meskipun pada beberapa populasi termasuk satu

penelitian di Jepang, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Keadaan ini

dapat terjadi karena adanya efek perlindungan dari hormon seks wanita,

mekanisme genetik yang berhubungan dengan jenis kelamin atau perbedaan

spesifik jenis kelamin dalam paparan faktor-faktor risiko lingkungan. Insiden

berdasarkan ras, etnis, genotype dan lingkungan tampak bervariasi pada

kelompok populasi. Penyakit Parkinson kurang umum pada orang Afrika

Amerika dan Asia yang tinggal di Amerika Serikat, tetapi insiden spesifik ras

yang sistematis belum diselidiki pada populasi multiras lainnya.

Beberapa faktor lingkungan telah dikaitkan dengan risiko penyakit Parkinson,

termasuk pestisida tertentu dan kehidupan di pedesaan. Yang menarik adalah

bahwa beberapa zat seperti 1-metil-4-fenil tetrahidropiridin (MPTP) dan

annonacin dapat menyebabkan kematian sel nigrostriatal dan menyebabkan

parkinsonisme atipikal. Paparan terhadap mangan, trichloroethylene,

karbonmonoksida dalam tingkat toksik dapat menyebabkan suatu jenis

parkinsonisme, tetapi dengan ciri-ciri klinis dan patologis yang berbeda dari

penyakit Parkinson. Antagonis β-2-adrenoreseptor telah dikaitkan dengan

peningkatan risiko penyakit Parkinson, sedangkan sebaliknya agonis β-2-

adrenoreseptor tampaknya mengurangi risiko. Sebaliknya, terdapat hubungan


terbalik antara risiko penyakit Parkinson dan merokok, minum kopi, calcium

channel blocker dan statin.

Riwayat keluarga merupakan faktor risiko untuk penyakit Parkinson dan

risiko relative dalam keluarga turunan pertama memiliki kasus penyakit

Parkinson yang meningkat sekitar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan

kontrol.

C. Etiologi dan Faktor Risiko Penyakit Parkinson

Etiologi penyakit Parkinson belum diketahui atau idiopatik. Terdapat beberapa

dugaan di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional, reaksi

abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang

belum diketahui, serta terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat.

Penyakit Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansia

nigra. Substansia nigra merupakan nucleus dopaminergic terletak di

mesencephalon yang memiliki peran kritis dalam memodulasi pergerakan dan

fungsi motoric sebagai bagian dari sirkuit ganglia basalis. Akibatnya, penderita

tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.

Beberapa faktor risiko yang diduga bisa menyebabkan timbulnya penyakit

parkinson adalah sebagai berikut:

1. Usia

Penyakit Parkinson jarang terjadi sebelum usia 50 tahun, tetapi

keadiannya meningkat 5 – 10 kali lipat pada dekade keenam sampai


kesembilan kehidupan. Prevalensi global, secara keseluruhan diperkirakan

0.3%, juga meningkat tajam hingga >3% pada mereka yang berusia >80

tahun.

2. Genetik

Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan

pada penyakit

Parkinson. Yaitu mutasi pada gen α-sinuklein pada lengan panjang

kromosom 4

(PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien

dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point

pada gen parkin

(PARK 2) di kromosom 6. Adanya riwayat penyakit Parkinson pada

keluarga meningkatkan faktor risiko menderita penyakit Parkinson sebesar

8.8 kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2.8 kali pada usia lebih dari 70

tahun.
Gambar 1. Gen-gen yang berhubungan dengan penyakit Parkinson
(Sumber:

3. Faktor lingkungan

a. Xenobiotik

Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan

kerusakan mitokondria.

b. Pekerjaan

Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan

lama.
c. Infeksi

Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor

predisposisi penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra.

Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra

oleh infeksi Nocardia astroides.

d. Diet

Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stres oksidatif, salah

satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya,

kopi merupakan neuroprotektif.

e. Ras

Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih

dibandingkan kulit hitam.

f. Trauma kepala

Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit Parkinson.

g. Stress dan Depresi

Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala

motorik. Depresi dan stres dihubungkan dengan penyakit parkinson

karena pada stres dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin

yang memacu stres oksidatif.


D. Patofisiologi Penyakit Parkinson

Karakteristik dari penyakit Parkinson adalah hilangnya neuron-neuron

dopaminergik dalam area tertentu pada substantia nigra dan akumulasi protein

intraseluler (α-synuclein/badan Lewy). Meskipun kedua karakteristik ini tidak

spesifik untuk penyakit Parkinson, tetapi kedua neuropatologi utama ini spesifik

untuk diagnosis definitive penyakit Parkinson idiopatik ketika diaplikasikan

secara bersama-sama. Pada tahap awal penyakit, hilangnya neuron dopaminergic

terbatas pada substantia nigra ventrolateral, tetapi pada stadium akhir menjadi

lebih luas.

Degenerasi progresif dari neuron dopaminergic dalam substantia nigra pars

compacta yang diproyeksikan ke striatum (jalur nigrostriatal), menyebabkan

hilangnya fungsi dopaminergic pada individu dengan penyakit Parkinson. Dua

jenis reseptor dopamine, D1 (tipe eksitatorik) dan D2 (tipe inhibitorik),

mempengaruhi aktivitas motoric dalam sistem ekstrapiramidal. Komponen sistem

ini meliputi ganglia basalis, yang melibatkan segmen globus pallidal internal

(GPi) dari ventral striatum, dan bagian pars reticulata dari substansia nigra

(SNpr). Komponen-komponen ini adalah bagian dari sirkuit yang lebih besar

yang terletak di thalamus dan korteks. Hilangnya dopamine dalam striatum pasien

penyakit Parkinson mengakibatkan peningkatan aktivitas di sirkuit GPi/SNpr dan

terjadi disfungsi gamma aminobutyric acid (GABA), yang menyebabkan

penhambatan di thalamus. Hasil akhirnya adalah penurunan kemampuan thalamus

untuk mengaktifkan korteks frontal, sehingga aktivitas motoric menurun. Dengan


demikian. mengembalikan aktivitas dopamine di striatum melalui aktivasi

reseptor D2 dan D1 dengan terapi dopaminergic memdiasi perbaikan klinis pada

gejala motoric pasien dengan penyakit Parkinson. Selain itu, kehilangan

dopaminergic tidak hanya mengurangi aktivasi thalamus tetapi juga

meningkatkan aktivitas kolinergik kaena hilangya pengaruh penghambatan

normal dari dopamin.

Karakteristik histopatologis utama lainnya dari penyakit Parkinson adalah

adanyan badan Lewy, digambarkan sebagai agregat sitoplasma intraseluler, bulat

dengan inti hialin dan halo perifer pucat yang terdiri dari 90 protein, lipid dan

bahan lainnya; komponen utamanya adalah α-synuclein dan ubiquitin. Pada

pasien dengan penyakit Parkinson. badan Lewy ditemukan di neuron

dopaminergic substantia nigrasebagai badan bulat dengan fibril yang memancar.

Mutasi gen yang melibatkan protein α-synuclein telah ditemukan dalam

pembentukan agregat dan membentuk fibril yang tidak larut terkait dengan badan

lewy; protein α-synuclein telah diidentifikasi sebagai target potensial untuk terapi

penyakit Parkinson di masa depan.

Pembentukan badan Lewy melibatkan produksi berlebihan dari protein

ubiquitin, yang terlibat dalam daur ulang protein. Akumulasi protein ini adalah

sekunder karena tidak berfungsinya ubiquitin proteasome system (UPS).

Pembentukan badan lewy tampaknya memiliki peran dalam neurodegenerasi yang

merupakan karakteristik dari penyakit Parkinson, dengan berbagai pola lesi

terlihat pada berbagai tahap penyakit. Pola lesi pada nucleus dorsal, medulla dan
pons dapat mendukung karakteristik awal (premotor) penciuman dan rapid eye

movement (REM) dari penyakit Parkinson. Lesi di daerah nigostriatal selama

tahap selanjutnya dari penyakit berkontribusi pada karakteristik motorik umum

dari penyakit Parkinson. Badan Lewy juga dikaitkan dengan demensia dari

penyakit Parkinson, mirip pada pasien demensia dengan badan lewy. Penyakit

Parkinson dan demensia dengan badan lewy dibedakan oleh presentasi klinisnya

dalam karakteristik motoric yang lebih menonjol dan terjadi lebih awal pada

penyakit Parkinson dibandingan dengan demensia dengan badan lewy.

Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron

SNc adalah stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan terbentuknya

formasi oksiradikal, seperti dopamin quinon yang dapat bereaksi dengan α-

sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di gradasi

oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel

SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain:

1. Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal

dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.

2. Kerusakan mitikondria akibat penurunan produksi adenosin trifosfat (ATP)

dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres oksidatif,

akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.

3. Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin

yang memicu apoptosis sel-sel SNc.


E. Manifestasi Klinis Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson memiliki gejala motoric dan non-motorik, gejalanya

mungkin bervariasi pada beberapa tahap antara pasien; namun, semua pasien

harus menunjukkan karakteristik klinis inti dan berespons terhadap terapi

dopaminergik untuk memenuhi kriteria untuk diagnosis penyakit Parkinson.

Gejala motoric cardinal meliputi tremor, bradikinesia / hipokinesia / akinesia,

kekakuan yang biasanya asimetris - dan ketidakstabilan postural; karakteristik

motorik lainnya adalah kelainan postural (camptocormia dan sindrom Pisa),

gangguan gait dan “freezing”, mikrografi, gangguan bicara, hipomimia, dan

perubahan kedipan mata dan gerakan mata. Responsif gejala motorik terhadap

pemberian levodopa adalah karakteristik penting dan diagnostik penyakit

parkinson.
Gambar 2. Gejala motoric dan non-motorik penyakit Parkinson

Beberapa gejala lain - disebut sebagai 'gejala prodromal / premotor' - mungkin

muncul bahkan 10 tahun sebelum diagnosis dan munculnya gejala motorik:

hiposmia, depresi, sembelit dan rapid eye movement sleep behavior disorder

(RBD) adalah yang paling dikenal, tetapi mereka dapat mencakup perubahan

visual, kecemasan dan gangguan otonom lainnya. Fase prodromal penyakit

parkinson merupakan kesempatan unik untuk mengidentifikasi mereka yang

berisiko tinggi terkena penyakit parkinson dan sebelum terjadinya

neurodegenerasi besar-besaran, memberikan wawasan yang menarik tentang


mekanisme penyakit dan perkembangannya, dan jendela terapi yang menjanjikan

untuk perawatan pelindung saraf; oleh karena itu, upaya telah dilakukan untuk

meningkatkan pengenalan fase ini.

Gambar 3. Gejala klinis yang berhubungan dengan progresivitas penyakit Parkinson

F. Diagnosis dan Diagnosis Diferensial Penyakit Parkinson

Kriteria diagnosis untuk penyakit Parkinson baru-baru ini telah diperbaharui

oleh the Movement Disorder Society.

Diagnosis klinis dan riwayat klinis

Penyakit Parkinson secara klinis ditentukan oleh adanya bradikinesia dan

setidaknya satu fitur motorik kardinal tambahan (rigiditas atau tremor istirahat),

serta kriteria pendukung dan eksklusi tambahan. Gejala awal motorik biasanya

unilateral dan asimetri menetap di seluruh penyakit. Usia onset rata-rata adalah
pada akhir 50 tahun, dengan rentang yang luas dari <40 hingga> 80 tahun.

Penyakit Parkinson awitan muda biasanya didefinisikan oleh usia awitan <45

tahun dan > 10% dari individu-individu tersebut memiliki dasar genetik, dan

proporsi kasus yang ditentukan secara genetik meningkat hingga> 40% dari

mereka yang awitan penyakit sebelum usia 30 tahun.

Selain karakteristik motoric cardinal, mayoritas pasien dengan penyakit

Parkinson juga memiliki gejala non-motorik. Gejala non-motorik melibatkan

banyak fungsi, termasuk gangguan pengaturan siklus tidur-bangun, gangguan

kognitif (termasuk disfungsi eksekutif frontal, defisit pengambilan memori,

demensia dan halusinasi), gangguan mood dan pengaruhnya, disfungsi otonom

(terutama hipotensi ortostatik, disfungsi urogenital, sembelit, dan hiperhidrosis),

serta gejala sensorik (hiposmia yang paling jelas) dan nyeri. Beberapa di

antaranya dapat mengantisipasi timbulnya gejala motorik klasik selama bertahun-

tahun atau bahkan puluhan tahun. Gejala non-motorik menjadi semakin umum

selama perjalanan penyakit dan merupakan penentu utama kualitas hidup,

perkembangan kecacatan yang menyeluruh dan penempatan di panti jompo.

Dalam satu studi jangka panjang, demensia ada pada 83%, halusinosis pada 74%,

hipotensi ortostatik simtomatik pada 48%, sembelit pada 40% dan inkontinensia

urin pada 71% pasien dengan penyakit Parkinson yang bertahan hidup> 20 tahun.

Cacat progresif pada akhirnya meliputi gejala motorik yang resisten terhadap

pengobatan, seperti pembekuan gaya berjalan (81%), ketidakstabilan postural dan

jatuh (87%, dengan fraktur 35%) dan tersedak (48%). Meskipun tonggak
perkembangan ini adalah peristiwa penting dalam evolusi jangka panjang

penyakit Parkinson, uji klinis dan studi pengamatan sejauh ini telah berfokus pada

perkembangan gangguan motorik sebagaimana ditangkap oleh Unified

Parkinson's Disease Rating Scale (UPDRS), yang merupakan yang paling skala

yang biasa digunakan untuk memantau kecacatan motorik yang berhubungan

dengan penyakit Parkinson dalam pengaturan penelitian.

Tes Diagnostik

1. Pencitraan

Meskipun penyakit Parkinson merupakan penyakit dengan diagnosa

klinis, pencitraan dapat membantu dalam diferensial diagnosis. Magnetic

Resonance Imaging (MRI) tidak berguna untuk mendiagnosis penyakit

Parkinson; kegunaannya untuk menyingkirkan penyebab lain seperti iskemik,

inflamasi, infeksi dan neoplastik atau bentuk parkinsonisme lainnya. Temuan

MRI tipikal pada atipikal parkinonisme adalah berupa “hot cross bun sign”

untuk penyakit multiple system atrophy (MSA), “humming bird sign” dan

“morning glory sign” untuk penyakit progressive supranuclear palsy (PSP),

frontotemporal atrophy untuk penyakit frontotemporal degeneration (FTD)

dan assymetric cortical atrophy untuk penyakit Corticobasal degeneration

(CBD); fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET) dapat

mengungkapkan hipometabolisme di area yang sama yang dipengaruhi oleh

atrofi pada CBD dan FTD.


Pencitraan dopaminergik berguna untuk membedakan penyakit

parkinson dari kondisi tanpa denervasi dopaminergik seperti drug-induce

parkinsonism (jika tidak ada degenerasi yang mendasari struktur nigrostriatal)

atau essential tremor, tetapi tidak dari penyebab degeneratif parkinsonisme

lainnya. Skintigrafi metaiodobenzyl-guanidine (MIBG) berguna untuk

mendokumentasikan denervasi simpatis jantung, membantu membedakan

penyakit parkinson dan dementia with lewy bodies dari MSA dan PSP [70].

Ultrasonografi dapat mendeteksi hiperekogenitas abnormal substanta nigra

pada pasien dengan penyakit parkinson; Namun, sensitivitas dan spesifikasi

teknik ini untuk diagnosis PD adalah suboptimal (masing-masing, 75% dan

70% dengan parkinsonisme atipikal dan 78% dan 85% dengan ET).
Gambar 5. Pencitraan pada penyakit Parkinson

2. Genetik

Bentuk genetik hanya menjelaskan sebagian kecil dari kasus penyakit

Parkinson dalam praktik klinis dan sampai saat ini, pengujian genetik bukan

bagian dari proses diagnostik rutin, kecuali pada pasien yang memiliki

kecurigaan khusus untuk kemungkinan penyebab genetik (untuk contoh,

riwayat keluarga sugestif, onset dini (yang khas untuk beberapa gen resesif)

atau gambaran klinis spesifik, seperti distonia sebagai gejala yang muncul).

Secara keseluruhan, implikasi pengujian genetik dalam rutinitas klinis dibatasi

oleh berkurangnya penetrasi dan ekspresifitas variabel, dan saat ini tidak ada

dampak temuan genetik pada keputusan perawatan praktis. Ini mungkin


berubah di masa depan ketika data dari studi prospektif tentang implikasi

prognostik mutasi genetik muncul dan target terapeutik spesifik dalam

pembawa mutasi yang terkait dengan penyakit Parkinson sedang dikejar.

Contoh untuk ini adalah peningkatan risiko demensia yang baru-baru ini

dilaporkan pada pasien yang memiliki penyakit Parkinson dan membawa

mutasi GBA neuronopatik atau program pengembangan untuk inhibitor

LRRK2 (REF. 135).

3. Tes cairan serebrospinal dan darah

Meskipun beberapa penelitian telah menilai tingkat perbedaan

berbagai protein, yang paling menonjol adalah tingkat spesies α-synuclein

yang berbeda, dalam cairan serebrospinal (CSF) pasien dengan penyakit

Parkinson dibandingkan kontrol, sensitivitas dan spesifisitasnya telah

suboptimal dan saat ini tidak ada klinis tes diagnostik berbasis CSF yang

berguna untuk penyakit Parkinson. Hal ini juga berlaku untuk biomarker

darah, meskipun asosiasi parameter serum atau plasma yang berbeda dengan

perkembangan penyakit telah dijelaskan, termasuk korelasi tingkat plasma

lebih rendah dari apolipoprotein A1 dengan keparahan gejala motorik yang

lebih besar.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Penyakit Parkinson menurut Movement Disorder
Society (MDS)
Kriteria Diagnosis Klinis Penyakit Parkinson menurut Movement Disorder Society (MDS)
Kriteria esensial Parkinson didefinisikan dengan adanya bradikinesia dan kombinasi dengan
setidaknya 1 gejala dari tremor atau rigiditas.
Diagnosis klinis pasti penyakit Parkinson
1. Tidak adanya kriteria eksklusi absolut
2. Setidaknya ada 2 kriteria pendukung
3. tidak ada red flags
Diagnosis klinis probable penyakit Parkinson
1. Tidak adanya kriteria eksklusi absolut
2. Adanya red flags yang diimbangi dengan kriteria pendukung
Jika ada 1 red flags, harus juga ada setidaknya 1 kriteria pendukung
Jika ada 2 red flags, setidaknya dibutuhkan 2 kriteria pendukung
Pada kategori ini red flags tidak boleh lebih dari 2.
Kriteria Pendukung
1. Adanya respons yang baik terhadap terapi dopaminergik. Selama perawatan awal, pasien
kembali menjadi normal atau mendekati fungsi normal.
2. Adanya dyskinesia yang diinduksi levodopa
3. Tremor pada lengan, yang terdokumentasi pada pemeriksaan klinis (bisa pada waktu dulu atau
saat ini)
4. Adanya kehilangan fungsi olfaktori atau adanya cardiac sympathetic denervation pada
skintigrafi MIBG
Kriteria Eksklusi Absolut
1. Unekuivokal abnormalitas serebellum, seperti gait serebelum, ataxia atau abnormalitas
okulomotorik serebelum
2. Gaze palsy supranuklear vertical
3. Diagnosis perilaku demensia frototemporak atau afasia primer progresif
4. Karakteristik Parkinson terbatas pada tungkai lebih dari 3 tahun
5. Pengobatan dengan dopamine receptor blocker atau dopamine-depleting agent dalam dosis dan
waktu yang konsisten dengan parkinsonisme yang diinduksi obat
6. Tidak adanya respons yang dapat diamati terhadap levodopa dosis tinggi meskipun tingkat
keparahan penyakitnya sedang.
7. Kehilangan sensorik kortika yang unekuivokal, apraksi ideomotor yang jelas, atau afasi
progresif.
8. Neuroimaging fungsional normal pada sistem dopaminergic presinaptik
Red Flags
1. Progresif cepat dari kegagalan gait yang membutuhkan penggunaan kursi roda sehari-hari dalam
onset 5 tahun
2. Tidak adanya progresivitas tanda atau gejala motoric lebih dari 5 tahun atau lebih kecuali
stabilitasi berhubungan dengan pengobatan
3. Disfungsi bulbar dini, disfonia atau disartria yang berat ata disfagi berat (membutuhkan makanan
cair, nasogastric tube atau gastrostomy feeding) dalam 5 tahun
4. disfungsi inspiratorik respiratorik; stridor inspirasi diurnal atau nocturnal
5. kegagalan otonom yang parah pada 5 tahun pertama penyakit. Dapat meliputi hipotensi ortostatik
atau retensi urin yang berat atau inkontinensi urin pada 5 tahun pertama penyakit.
6. Jatuh yang berulang (>1 x/tahun) karena kegagalan keseimbangan dalam waktu onset 3 tahun
7. Distonik atau kontraktur pada tangan atau kaki dalam waktu 10 tahun pertama
8. Tidak adanya karakteristik non-motorik umum pada penyakit meskipun meskipun sudah 5 tahun
terjadi. Dapat meliputi disfungsi tidur (sleep-maintenance insomnia, mengantuk di siang hari
yang berlebihan, gejala gangguan perilaku tidur REM), disfungsi otonom (konstipasi, urgensi
kemih di siang hari, ortostasis simptomatik), hiposmia atau disfungsi pskiatrik (depresi,
kecemasan atau halusinasi
9. Gejala pyramidal yang tidak dapat dijelaskan, didefinisikan sebagai kelemahan pyramidal atau
hiperrefleksi patologis (tidak termasuk refleks asimetris ringan dan respon ektensor plantar yang
terisolasi)
10. Parkinsonisme simetris bilateral. Pasien atau penjaga melaporkan onset gejala bilateral tanpa
adanya dominasi sisi dan diamati pada pemeriksaan objektif

Gambar 4. Diagnosis Banding penyakit Parkinson

G. Penatalaksanaan Penyakit Parkinson

Penatalaksaan penyakit Parkinson merupakan simptomatis dan secara predominan

berfokus pada jalur dopaminergik.

1. Levodopa

Levodopa adalah standar emas untuk pengobatan PD dan obat yang

paling efektif untuk gejala motorik. Levodopa melintasi sawar darah - otak

dan dikonversi menjadi dopamin dalam neuron dopaminergik substantia nigra

pars compacta yang tersisa. Levodopa biasanya diberikan dalam bentuk tablet
beberapa kali per hari tetapi juga dapat diberikan melalui infus duodenum

pada pasien dengan penyakit lanjut. Ini memberikan peningkatan gejala yang

signifikan, yang dapat diuji dalam tantangan farmakologis dan dapat

digunakan untuk membantu diagnosis PD. Levodopa menyebabkan efek

samping dopaminergik perifer (mual dan hipotensi) yang dapat dihindari oleh

inhibitor dekarboksilase (carbidopa atau benserazide); Efek samping lain

termasuk kantuk, kebingungan, halusinasi dan gangguan kontrol impuls, mis.

hiperseksualitas, belanja kompulsif, judi, dan punding. Namun, batasannya

yang paling penting berkaitan dengan perkembangan komplikasi motorik:

fluktuasi, diskinesia, dan dystonia. Komplikasi dianggap terkait dengan

stimulasi fasik diskontinyu dari reseptor dopamin striatal, sebagai lawan dari

pasokan fisiologis terus menerus dari dopamin. Perkembangan komplikasi

motorik dalam menanggapi levodopa terkait dengan keparahan

neurodegenerasi dopaminergik (lebih parah, lebih besar risikonya), dosis

levodopa (> 400 mg setiap hari), jenis kelamin perempuan dan berat badan

rendah (berkaitan dengan dosis / kg). Formulasi carbidopa-levodopa (IPX066)

yang diperpanjang, untuk mengurangi fluktuasi motor, telah dikembangkan

dan baru-baru ini disetujui. Pada PD lanjut, ketika komplikasi motorik

menjadi melumpuhkan dan tidak dikelola dengan baik dengan terapi

farmakologis klasik, levodopa dapat diberikan secara langsung ke duodenum

dengan memompa melalui kateter gastrostomi sebagai gel levodopa-

carbidopa; formulasi ini telah terbukti mengurangi fluktuasi motor secara


signifikan pada PD lanjut; efek samping potensial dari perawatan terkait

dengan prosedur bedah dan sistem infus itu sendiri [77]. Formulasi levodopa

lain untuk menargetkan fluktuasi motorik seperti infus subkutan terus

menerus, formulasi inhalasi, levodopa prodrug (XP21279) dan formulasi

levodopa rilis panjang (DM1992) saat ini sedang diselidiki.

2. Agonis dopamine

Agonis dopamin secara langsung menstimulasi reseptor dopamin D1 -

3 pascasinapsik pada striatum tanpa membutuhkan metabolisme lebih lanjut

dalam neuron dopaminergik. Agonis dopamin tidak seefektif membalikkan

gejala motorik seperti levodopa tetapi dikaitkan dengan risiko yang lebih

rendah untuk diskinesia; mereka dapat digunakan sebagai monoterapi pada

fase awal penyakit atau dalam hubungannya dengan levodopa. Efek samping

mirip dengan levodopa tetapi juga termasuk edema tungkai, lebih banyak

gangguan kontrol impuls dan kantuk berlebihan di siang hari. Ropinirole dan

pramipexole diberikan secara oral; formulasi rilis segera dan diperpanjang

tersedia. Rotigotin diberikan sebagai tambalan transdermal, sekali sehari.

Apomorphine, yang memiliki durasi aktivitas pendek, dapat diberikan secara

subkutan sebagai injeksi untuk episode OFF akut, atau dengan infus terus

menerus untuk mengurangi fluktuasi motorik pada PD lanjut. Formulasi

apomorphine lain, seperti formulasi inhalasi (VR040) dan sublingual (APL-

130277) saat ini sedang diuji.


3. Monoamine oxidase B (MAO-B) inhibitors dan safinamide

Potensi terapi inhibitor MAO-B bergantung pada kemampuannya

untuk menurunkan metabolisme dopamin dan dengan demikian

memperpanjang dan mempotensiasi stimulasi dopaminergik. Rasagilin dan

selegilin adalah inhibitor yang ireversibel. Pada PD dini / ringan mereka

digunakan karena menawarkan perbaikan gejala ringan dengan komplikasi

yang lebih sedikit daripada levodopa, sementara pada PD lanjut mereka

digunakan bersama dengan obat lain untuk mengurangi fluktuasi motorik dan

kebutuhan levodopa. Dalam uji klinis, pengobatan dini dengan inhibitor

MAO-B tampaknya menunda kemunduran motorik dan perlunya terapi

dopaminergik tambahan; oleh karena itu mekanisme perlindungan saraf yang

berbeda (pencegahan produksi spesies oksigen reaktif, peningkatan faktor

neurotropik dan anti-apoptosis) telah dihipotesiskan; Namun, obat ini belum

terbukti memodifikasi riwayat alami PD [83]. Sanamide adalah opsi baru

untuk merawat fluktuasi motorik pada PD tahap pertengahan dan akhir; itu

adalah inhibitor reversibel MAO-B, dengan sifat tambahan termasuk blokade

saluran natrium yang bergantung pada tegangan, memodulasi saluran kalsium

dan menghambat pelepasan glutamat. Telah terbukti memberikan peningkatan

kontrol gejala fungsi motorik pada PD lanjut; Selain itu, efek anti-diskinetik

sa fi namide telah dibuktikan dalam model hewan.


4. Catechol-O-methyl transferase (COMT) inhibitors

Dengan adanya dekarboksilase inhibitor, metabolisme levodopa dilakukan

oleh enzim COMT: penghambatan enzim ini digunakan dalam pengobatan PD

sebagai tambahan untuk levodopa untuk perbaikan fluktuasi motorik, karena

meningkatkan setengah-fluktuasi. kehidupan levodopa [86]. Inhibitor COMT

yang tersedia adalah tolcapone (yang telah dikaitkan dengan gagal hati yang

fatal dan karenanya harus diberikan dengan hati-hati), entacapone dan

opicapone (yang baru-baru ini disetujui di Eropa).

Gambar 6. Target obat dopaminergic pada penyakit Parkinson

5. Deep Brain Stimulation (DBS)

Pilihan lain untuk mengobati PD lanjut adalah DBS; DBS didasarkan

pada penggunaan arus listrik langsung kronis dan berfrekuensi tinggi pada
target yang, berdasarkan fitur klinis, dapat berupa sub-thalamic nucleus/STN

(target yang paling banyak digunakan dalam PD), globus pallidus internus

atau thalamus. Mekanisme aksi DBS tampaknya bergantung pada efek

rangsang dan penghambatan; hipotesis saat ini adalah bahwa DBS

memberikan efek terapeutik dengan memisahkan sinyal input dan output

dalam target yang distimulasi dan mengganggu aliran informasi abnormal

melalui loop ganglia corticobasal. STN-DBS efektif dalam mengendalikan

gejala motorik, komplikasi motorik, beberapa gejala non-motorik, mengurangi

dosis obat antiparkinson, mengurangi kecacatan dan meningkatkan health-

related quality of life (HRQoL). Percobaan terkontrol secara acak telah

menunjukkan bahwa STN-DBS lebih unggul daripada pengobatan

farmakologis dalam mengurangi komplikasi motorik dan meningkatkan

HRQoL pada pasien dengan PD lanjut. Variabel yang berbeda saling

mempengaruhi dalam menentukan hasil positif DBS: pemilihan pasien,

prosedur bedah dan penempatan elektroda, pengaturan parameter stimulasi

pasca operasi dan penyesuaian terapi farmakologis. Pemilihan pasien yang

cermat sangat penting untuk keberhasilan DBS: harus dilakukan oleh tim

multidisiplin yang berpengalaman dalam DBS dan harus mengikuti program

penilaian inti untuk terapi intervensi bedah di PD (CAPSIT-PD): aspek yang

paling penting untuk dipertimbangkan adalah durasi penyakit , usia, respon

levodopa, jenis dan tingkat keparahan gejala levodopa-tidak responsif,

masalah kognitif dan kejiwaan, komorbiditas, dan temuan MRI otak. Efek
samping DBS termasuk efek samping terkait intraoperatif dan perangkat

keras, memburuknya fungsi kognitif, gejala kejiwaan, dan gangguan okular

dan bicara; Selain itu, tanda motorik yang tidak merespon levodopa, seperti

pembekuan, penurunan dan tanda aksial, tidak menunjukkan peningkatan

yang nyata dengan DBS. Meskipun sebagian besar penelitian telah dilakukan

pada PD lanjut, percobaan EARLYSTIM menyarankan bahwa DBS mungkin

berguna pada pasien dengan onset komplikasi motorik yang disebabkan

levodopa baru-baru ini.

H. Dampak Pandemi Covid-19 pada Penyakit Parkinson dan Gangguan

Pergerakan

Pandemi COVID-19

Virus korona manusia secara klasik menyebabkan infeksi pernapasan ringan.

Dua wabah sebelumnya yang disebabkan oleh coronavirus yang baru

diidentifikasi, SARS-CoV pada 2002 dan MERS-CoV pada 2012, menyebabkan

penyakit pernapasan serius dengan peningkatan mortalitas. Pandemi penyakit

koronavirus 2019 (COVID-19) saat ini disebabkan oleh SARS-CoV-2 (sindroma

pernafasan akut akut coronavirus 2). Infeksi ini berasal dari Cina pada tahun 2019

akhir, dan dalam beberapa bulan tersebar dan menjangkau hampir 200 negara,

sekarang mempengaruhi lebih dari 500.000 orang dengan perkiraan kematian

keseluruhan 4% (Organisasi Kesehatan Dunia; 27 Maret 2020).


Tingkat penularan virus diukur dengan angka reproduksi (R 0), untuk SARS-

CoV-2 adalah antara 3,6 dan 4 yang menunjukkan infektivitas tinggi

dibandingkan dengan influenza dengan R 0 1,4 hingga 1,6. Yang penting,

penularan dapat terjadi selama fase infeksi tanpa gejala dan bahkan setelah

resolusi. Ini terjadi karena virus menumpahkan puncak lebih awal, biasanya pada

awal gejala, dan berlanjut selama berhari-hari atau berminggu-minggu setelah

pemulihan. Virus ini adalah tipe RNA (32KB genome), dengan tingkat

rekombinasi hingga 25%, dan ditutupi oleh mahkota glikoprotein yang juga dapat

bermutasi. Karakteristik ini dapat menjelaskan kemampuan beradaptasi virus dan

infektivitasnya berubah seiring waktu. Infeksi berkembang ketika virus

glikoprotein berikatan dengan reseptor ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2)

yang banyak diekspresikan di paru-paru. Virus SARS menginfeksi sel-sel

alveolus paru, menyebabkan kerusakan alveolar difus akut, edema, dan

peradangan, yang dapat berevolusi menjadi sindrom gangguan pernapasan akut

(ARDS) pada orang dewasa.

Penyakit ini asimptomatik atau lebih ringan pada anak-anak dan dewasa muda.

Bentuk-bentuk orang dewasa yang bergejala semakin meningkat dengan

bertambahnya usia, meskipun ada pengecualian yang mencolok pada pola usia

ini, termasuk pada pekerja perawatan kesehatan. Gejala dapat berkembang antara

2 sampai 14 hari setelah infeksi, dengan rata-rata 4 hingga 5 hari, tetapi kasus

timbulnya gejala telah dilaporkan. COVID-19 dapat memiliki presentasi klinis

yang mirip dengan influenza, biasanya dengan kelelahan, demam, dan batuk tidak
produktif. Diare telah menjadi gejala awal dalam beberapa kasus, menunjukkan

infeksi awal melalui saluran pencernaan. Gejala neurologis dapat terjadi dan

termasuk sakit kepala dan mual. Selain itu, pasien dapat melaporkan hilangnya

penciuman dan rasa secara intermiten atau sementara. Sebagian besar pasien yang

terinfeksi (sekitar 80%) mengalami bentuk klinis ringan dan sembuh tanpa

komplikasi. Namun, di antara pasien dengan bentuk gejala, proporsi mungkin

memerlukan rawat inap (30% di Eropa, Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit

Eropa [ECDC] 3/25/2020), dan, dari mereka, 50% (5% dari keseluruhan yang

terinfeksi) pasien yang diuji) perlu perawatan intensif karena pneumonia dan

kegagalan pernafasan biasanya berkembang dalam 10 hingga 14 hari,

membutuhkan durasi perawatan yang lama (biasanya lebih dari 14 hari; ECDC).

Di antara faktor-faktor risiko untuk menyajikan bentuk yang parah, usia adalah

yang paling penting dengan kenaikan progresif mulai 50 tahun. Juga, keparahan

COVID-19 meningkat dengan komorbiditas, terutama hipertensi, penyakit

kardiovaskular dan serebrovaskular, diabetes, dan penekanan kekebalan.

Komorbiditas ini, bersama dengan usia, adalah faktor prognostik yang penting.

Obat antivirus, berbagai antibodi, hydroxychloroquine, azithromycin, inhibitor

ACE2, dan agen eksperimental lainnya, termasuk yang ditujukan untuk

mengurangi "badai sitokin" yang diamati dalam kasus yang parah, adalah di

antara pengobatan COVID-19 yang saat ini sedang diteliti, tetapi sejauh ini tidak

ada yang terbukti. atau direkomendasikan untuk digunakan di luar pengaturan


klinis yang terkontrol. Selain itu, upaya penelitian besar didedikasikan secara

internasional untuk mengembangkan vaksin yang efektif.

Covid-19 dan Manifestasi Neurologis

Dari penelitian sebelumnya tentang SARS-CoV, kita tahu bahwa virus ini

menginfeksi otak, termasuk batang otak, pada pasien dan hewan percobaan.

Setelah inokulasi virus intranasal pada tikus, SARS-CoV atau MERS-CoV

memasuki CNS, mungkin melalui nervus olfaktorius, dan, yang penting, virus

terdeteksi di otak, tetapi tidak di paru-paru, menunjukkan invasi langsung ke CNS

melalui nervus olfaktorius. Namun, deteksi viral load yang tinggi di batang otak

setelah infeksi SARS-CoV juga menunjukkan infeksi yang menyebar ke SSP dari

saluran pernapasan, yang terhubung terutama oleh saraf vagus ke ambiguus dan

inti saluran soliter di batang otak. Keterlibatan wilayah otak ini juga dapat

menunjukkan bahwa pusat kardiorespirasi berkontribusi pada gangguan

pernapasan parah yang disebabkan oleh COVID-19. Yang penting, tingkat invasi

SARS-CoV-2 ke SSP, dan perannya dalam gangguan pernapasan dan kegagalan

yang disebabkan oleh infeksi, perlu diselidiki lebih lanjut. Sebuah studi tunggal

telah melaporkan peningkatan respon antibodi terhadap berbagai bentuk

coronavirus dalam cairan serebrospinal pasien dengan penyakit parkinson

dibandingkan dengan penyakit neurologis lainnya dan kontrol yang sehat.

Masih terlalu dini untuk mengetahui apakah COVID-19 akan memiliki

komplikasi neurologis jangka panjang dari paparan SARS-CoV-2. Pandemi flu

"Spanyol" tahun 1918 disebabkan oleh influenza A (H1N1). Etiologi virus dari
ensefalitis lethargica dan parkinsonisme postencephalitic, yang diikuti secara

temporer dari pandemi flu, telah dicurigai meskipun masih belum terbukti,

dengan beberapa bukti yang melibatkan enterovirus. Sejauh ini, coronavirus

belum dikaitkan dengan sekuele neurologis jangka panjang yang spesifik.

Meskipun demikian, pengamatan anosmia dan ageusia layak untuk dipelajari di

masa depan. Fakta-fakta bahwa hyposmia adalah karakteristik umum awal dari

penyakit Parkinson (sering bahkan ada dalam fase prodromal) dan bahwa sistem

penciuman adalah situs predileksi awal untuk patologi alpha synuclein mungkin

hanya kebetulan yang menarik. Namun, perlu dicatat bahwa penelitian terbaru

menunjukkan bahwa alpha-synuclein berpartisipasi dalam respon imun bawaan

terhadap infeksi virus, menunjukkan bahwa pengamatan ini bisa menjadi penting.

Apakah Populasi PD Tertentu Rentan Selama Pandemi COVID-19?

Masih terlalu dini untuk mengetahui apakah COVID-19 akan memiliki

dampak jangka panjang pada pasien dengan PD dan gangguan pergerakan.

Meningkatnya kerentanan lansia dan orang-orang dengan komorbiditas, ditambah

dengan peningkatan prevalensi PD dengan usia, meningkatkan kekhawatiran

tentang risiko COVID-19 yang berpotensi meningkat pada orang dengan PD dan

gangguan gerakan lainnya. Selain itu, kemampuan untuk menyediakan perawatan

neurologis standar sedang dikompromikan oleh tekanan pada sistem perawatan

kesehatan yang disebabkan oleh pandemi ini. Saat ini tidak cukup bukti yang

menunjukkan bahwa PD dengan sendirinya meningkatkan risiko COVID-19.

Pengalaman di Lombardia, Emilia, dan Veneto, tiga daerah yang paling terkena
dampak di Italia, tidak menunjukkan peningkatan risiko yang jelas, meskipun

belum ada data sistematis yang tersedia. Sebuah studi populasi besar menemukan

bahwa pada individu berusia> 55 tahun, pasien dengan PD memiliki lebih banyak

komorbiditas fisik dan nonfisik dibandingkan pasien tanpa PD. Dalam penelitian

ini, ada komorbiditas fisik yang secara signifikan terkait dengan PD, termasuk

penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskular, dan gagal jantung, yang

diketahui membuat pasien berisiko lebih tinggi untuk bentuk COVID-19 yang

lebih parah. Selain itu, baik PD dan bentuk COVID-19 yang lebih parah,

termasuk mortalitas yang lebih tinggi, menunjukkan dominan jenis kelamin laki-

laki. Sebuah studi kohort retrospektif yang dilakukan di Jepang menunjukkan

bahwa, dibandingkan dengan pasien usia dan jenis kelamin, pasien dengan

parkinsonisme yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia memiliki tingkat

kematian di rumah sakit yang lebih rendah, tetapi durasi rawat inap yang lebih

lama. Studi ini menyarankan bahwa kematian di rumah sakit yang disebabkan

pneumonia tidak lebih tinggi pada pasien parkinson, tetapi tidak jelas bahwa ini

berlaku untuk mereka yang telah mengembangkan ARDS lanjut. Selain itu,

pasien dengan PD memiliki risiko komplikasi di rumah sakit yang lebih tinggi,

seperti delirium, reaksi obat yang merugikan, sinkop, pneumonia aspirasi, jatuh,

dan patah tulang. Karena itu, strategi untuk mencegah komplikasi ini sangat

penting.
Peran Khusus Telemedicine Selama Pandemi COVID-19

Pasien dengan PD memerlukan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk

penilaian fisik dan penyesuaian obat oleh spesialis gangguan gerakan. Namun,

kunjungan rumah sakit harus dihindari sedapat mungkin selama periode ini.

Untungnya, validitas telemedicine untuk menilai pasien PD telah

didokumentasikan dengan baik dalam banyak penelitian, yang layak karena

sebagian besar pemeriksaan fisik dapat divisualisasikan. Memang, banyak

karakterisrik inti dari penyakit ini, kecuali kekakuan dan gangguan refleks

postural, dapat direkam atau ditonton dengan konsultasi video. International

Parkinson dan Movement Disorder Society telah mengembangkan panduan

langkah-demi-langkah praktis untuk menerapkan telemedicine untuk klinik

kelainan gerakan di situs web mereka, termasuk contoh penyedia dan beberapa

spesifikasi regional

(https://www.movementdisorders.org/MDS/About/Committees--

OtherGroups/Telemedicine-in-Your-Movement-Disorders-Practice-A-Step-by-

Step-Guide.htm).

Potensi Masalah Pasokan Obat untuk Pasien PD Selama Pandemi

Dampak pandemi pada transportasi global dan rantai pasokan, serta

manufaktur, sejauh ini tidak dilaporkan mempengaruhi pasokan obat untuk pasien

dengan PD. Namun, situasi ini perlu dipantau dan dikomunikasikan kepada dokter

secara tepat waktu sehingga mereka dapat bekerja dengan pasien mereka untuk

membuat rencana darurat.


Gangguan pada Penelitian dan Uji Klinis

Sejumlah laboratorium berbasis akademis dan industri yang menyelidiki

terapi atau diagnostik baru untuk PD telah dipaksa untuk ditutup atau secara

dramatis mengurangi aktivitas mereka selama pandemi COVID-19. Badan-badan

pendanaan sudah mendiskusikan bagaimana mengelola situasi di mana proyek-

proyek tertunda, kadang-kadang digabungkan dengan kenaikan biaya yang tak

terelakkan. Tenggat waktu penyerahan hibah sedang dipindahkan dan evaluasi

proyek yang diusulkan ditunda. Selain itu, sulit untuk memprediksi bagaimana

penurunan ekonomi yang sedang berlangsung akan mempengaruhi sponsor

penelitian pemerintah dan swasta. Banyak konferensi tentang PD dan gangguan

terkait telah dibatalkan. Sebagai catatan positif, ada juga aktivitas baru yang

menggunakan konferensi video jarak jauh untuk menjaga pertukaran hasil dan ide

dalam penelitian PD selama pandemi. Meskipun akan memakan waktu berbulan-

bulan, atau bahkan bertahun-tahun, sebelum kita dapat sepenuhnya memahami

dampak pandemi pada penelitian laboratorium pada PD, kita sudah tahu bahwa

itu adalah dan akan tetap signifikan. Penelitian klinis pada PD jelas sangat

dipengaruhi oleh pandemi. Beberapa yurisdiksi atau lembaga telah melarang

dimulainya uji klinis dan penelitian baru. Walaupun hal ini dapat dimengerti

karena dampak potensial COVID-19 pada sumber daya rumah sakit dan karena

kepedulian terhadap potensi paparan COVID-19 pada pasien percobaan selama

kunjungan mereka, ada banyak kebutuhan klinis yang tidak terpenuhi pada orang

dengan gangguan PD dan gangguan pergerakan. Keterlambatan dalam uji klinis


yang menyelidiki terapi modifikasi penyakit potensial pada penyakit

neurodegeneratif progresif, seperti PD, atau terapi simtomatik novel berdampak

tinggi harus diminimalkan. Selain itu, pertimbangan harus diberikan untuk

mengevaluasi studi berdasarkan kasus per kasus daripada suspensi kegiatan

penelitian yang seragam, yang dapat menyebabkan hilangnya signifikan ilmiah

dan investasi ekonomi dalam penelitian klinis.

Keterangan Penutup

Sejauh ini, diagnosis komorbiditas dari PD itu sendiri atau gangguan

pergerakan lainnya belum muncul sebagai faktor risiko spesifik untuk hasil

negatif COVID-19. Oleh karena itu, strategi medis untuk keselamatan pasien

dengan PD dan populasi lansia umum tidak berbeda dan berdasarkan pada

penasehatan sosial dan pengujian kapan pun diperlukan. Saat ini, kami harus

mengandalkan bukti ilmiah dan menguji sebanyak mungkin orang di antara

mereka yang terlibat dalam perawatan pasien kami, yang pada akhirnya diikuti

oleh langkah-langkah penahanan yang diperlukan. Yang penting, dalam situasi

apa pun dari tindakan triase yang tidak dapat dihindarkan disebabkan oleh

kurangnya sumber daya perawatan intensif atau peralatan ventilasi, tidak ada

bukti bahwa pasien dengan PD atau segala bentuk parkinsonisme atau gangguan

gerakan lainnya memiliki kesempatan lebih kecil untuk bertahan hidup dari

infeksi COVID-19 dibandingkan pasien dengan usia dan komorbiditas yang

serupa.
Akhirnya, negara-negara harus menghadapi kenyataan bahwa penahanan

kasus secara individu mungkin tidak dapat dilakukan dalam jangka panjang.

Ketika sistem kesehatan bergerak dari penahanan ke mitigasi, reintroduksi

manajemen yang memadai dan perawatan pasien dengan PD, serta dimulainya

kembali penelitian klinis dan praklinis yang vital, akan mungkin dilakukan saat

masih mencoba mengendalikan wabah COVID-19 yang secara kritis

menumpulkan puncaknya. Krisis global ini, bagaimanapun, dapat secara

signifikan mengubah perawatan untuk pasien kami dengan PD dan gangguan

gerakan lainnya menuju penerimaan yang lebih baik dari konsultasi dan penilaian

telemedicine
Tabel 2. Rekomendasi dan Prioritas untuk Pasien dengan penyakit Parkinson
dan Gangguan Gerakan
Rekomendasi dan Prioritas untuk Pasien dengan penyakit Parkinson dan Gangguan Gerakan
1. Semua ukuran jarak sosial yang saat ini berlaku untuk populasi umum hampir secara global harus
dipraktikkan secara ketat dan hati-hati.
2. Pasien harus menghindari atau menunda rawat inap di rumah sakit karena alasan yang tidak
darurat, mengingat bahwa rumah sakit dapat menjadi sumber infeksi lebih lanjut.
3. Operasi DBS elektif mungkin perlu ditunda juga.
4. Kunjungan rawat jalan dapat diganti dengan alat telemedicine yang tersedia dan hanya boleh
dilakukan ketika kontak langsung diperlukan untuk menyesuaikan atau memeriksa pemrograman
DBS, untuk kegagalan baterai DBS, atau perawatan pompa.
5. Kontak langsung dengan pasien mungkin diperlukan untuk terapi toksin botulinum berdasarkan
pertimbangan yang hati-hati, sesuai kebutuhan, memastikan peralatan perlindungan pribadi yang
memadai.
6. Karantina dapat mencegah pasien dengan PD dari gaya hidup aktif, yang mungkin sudah
terhambat oleh kondisi yang sudah ada sebelumnya, seperti kurangnya motivasi, cacat fisik, dan
masalah suasana hati. Virtual reality exercise games atau instrumen latihan di rumah dapat
dianjurkan.
7. Dalam kasus infeksi COVID-19, dokter harus memastikan perawatan obat PD sebelumnya,
terutama dosis L-dopa / DDCI yang memadai, seperti yang direkomendasikan untuk semua jenis
pneumonia pada pasien parkinsonian untuk menghindari kekakuan dengan kontraktur dan
gangguan pernapasan dengan mengurangi kapasitas vital dan puncak aliran ekspirasi.
The International Parkinson dan Movement Disorder Society dengan Sudut Pandang ini dan
komunikasi lain yang akan datang akan berusaha untuk memberikan pembaruan dan panduan bagi
dokter yang merawat pasien PD dan gangguan gerak.
BAB III

PENUTUP

Sejauh ini, diagnosis komorbiditas dari penyakit parkinson atau gangguan

pergerakan lainnya belum muncul sebagai faktor risiko spesifik untuk komplikasi

covid-19. Karena itu, strategi medis untuk keselamatan pasien PD dan populasi lansia

umum tidak berbeda dan berdasarkan pada anjuran social disctancing. Tidak ada

bukti bahwa pasien dengan PD atau segala bentuk parkinsonisme atau gangguan

gerakan lainnya memiliki kesempatan lebih kecil untuk bertahan hidup dari infeksi

covid-19 dibandingkan pasien dengan usia dan komorbiditas yang serupa.

Pada krisis global ini, bagaimanapun, dapat secara signifikan mengubah

perawatan pasien PD dan gangguan gerakan lainnya untuk menerima konsultasi dan

pemeriksaan telemedicine

Anda mungkin juga menyukai