Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Parkinson

2.1.1 Definisi

Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif sistem ekstrapiramidal

yang merupakan bagian dari parkinsonism yang secara patologis ditandai oleh adanya

degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta (SNC) yang

disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies). 1

Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor pada waktu

istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan

dopamin dengan berbagai macam sebab. 1

2.1.2 Epidemiologi

Penyakit parkinson diakui sebagai salah satu gangguan neurologis yang paling

umum, mempengaruhi sekitar 1% dari orang yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden dan

prevalensi penyakit Parkinson meningkat dengan usia, dan usia rata-rata onset adalah

sekitar 60 tahun. Onset pada orang yang lebih muda dari 40 tahun relatif jarang.2

Diperkirakan lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia menderita penyakit

Parkinson. Penyakit ini sedikit lebih sering pada pria daripada wanita. Prevalensi

penyakit umumnya diterima berkisar antara 100 hingga 200 per 100.000 orang dan

insidensi tahunan diperkirakan 15 per 100.000. Di negara industri umumnya

diperkirakan penyakit parkinson mencapai 0,3% dari seluruh populasi dan sekitar 1%

pada orang di atas 60 tahun. Prevalensi ini akan meningkat dengan bertambahnya

3
4

usia. Timbulnya penyakit biasanya pada usia 65 hingga 70 tahun. Onset sebelum usia

40 tahun terlihat pada kurang dari 5% kasus. Di Eropa, prevalensi pada usia 85-89

telah dilaporkan sebanyak 3,5%. Penyakit parkinson diketahui sebagai penyebab

morbiditas yang mempengaruhi 1-2 per 1000 populasi setiap saat, dan jelas paling

sering ditemui pada kelompok usia yang lebih tua. Pada tahun 2030 diperkirakan

prevalensi penyakit Parkinson di Indonesia akan meningkat lebih dari dua kali lipat

dari tahun 2005 yang prevalensinya sebesar 90.000. 5,6

2.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, penyakit parkinson dibagi menjadi 4 jenis yaitu:7

1) Idiopati (primer) merupakan penyakit parkinson secara genetik.

2) Simptomatik (sekunder) merupakan penyakit parkinson akibat infeksi, obat,

toksin, vaskular, trauma, hipotiroidea, tumor, hidrosefalus tekanan normal,

hidrosefalus obstruktif.

3) Parkinson plus (multiple system degenerasion) merupakan parkinsonism

primer dengan gejala-gejala tambahan. Termasuk demensia lewy bodies,

progresif supranuklear palsi, atrofi multi sistem, degenerasi striatonigral,

degenerasi olivopontoserebelar, sindrom Shy-Drager, degenerasi kortikobasal,

kompleks parkinson demensia ALS (Guam), neuroakantositosis.

4) Parkinsonism herediter, terdiri dari penyakit wilson, penyakit huntington,

penyakit Lewy bodies.

2.1.4 Etiologi
5

Penyakit parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di

substansi nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak

dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan

gerakan-gerakan yang tidak disadarinya. Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum

jelas benar. Beberapa hal yang diduga bisa menyebabkan parkinson adalah sebagai

berikut: 8

a. Usia

Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari

10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial

yang mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra, pada

penyakit parkinson. 8

b. Geografi

Di Libya terdapat 31 dari 100.000 orang terkena penyakit parkinson, sedangkan

di Buinos aires terdapat 657 per 100.000 orang yang menderita penyakit

parkinson. Faktor resiko yang mempengaruhi perbedaan angka secara geografis

ini termasuk adanya perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan

paparan terhadap faktor lingkungan. 8

c. Inflamasi

Otak mempunyai sistem imun istimewa dengan keberadaan mikroglia. Aktivasi

dari sistem imun ini bisa diakibatkan oleh adanya proses inflamasi. Ternyata

sistem imun di otak penderita penyakit parkinson ditemukan aktif, sehingga


6

diperkirakan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap patologi

penyakit parkinson. 8

d. Genetik

Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit

parkinson. Yaitu mutasi pada gen -sinuklein pada lengan panjang kromosom 4

(PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien

dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen

parkin (PARK2) di kromosom 6. Selain adanya mutasi gen, kelainan ini juga

dapat disebabkan akibat terjadinya kesalahan pada formasi protein. Selain itu

juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Prevalensi penyandang mutasi ini

ditemukan lima kali lebih banyak menjadi penderita PP. 8

e. Faktor Lingkungan 8

o Xenobiotik

Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan

kerusakan mitokondria

o Pekerjaan

Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.

o Infeksi

Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi

penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada


7

hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi

Nocardia astroides.

o Diet

Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu

mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi

merupakan neuroprotektif. Penduduk yang tinggal di daerah kumuh dan

mengkonsumsi air sumur yang terpapar dengan logam berat akan mendapat

kemungkinan menderita PP.

o Trauma kepala

Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski

peranannya masih belum jelas benar. Penelitian epidemiologik menemukan

pada seseorang yang sering mengalami trauma kepala akan mendapat

kemungkinan memperlihatkan empat kali lebih sering gejala parkinson

dibanding populasi lainnya.

o Stress dan depresi

Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik.

Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada

stress dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu

stress oksidatif.

2.1.5 Patofisiologi
8

Secara umum dikatakan bahwa penyakit parkinson terjadi karena penurunan

kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40

hingga 50 persen yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies).9

Lesi primer pada penyakit parkinson adalah degenerasi sel saraf yang

mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra pars

kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.9

Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf

nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2

(inhibitorik) yang berada didendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan

ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur

yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek yang berkaitan dengan reseptor D2.

Apabila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan,9

Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia

nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada

rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit parkinson belum

terlihat sampai lebih dari 50 persen sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin

berkurang sebanyak 80 persen.2,9

Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur langsung dengan

neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik

tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen

eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik
9

terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf

GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nukleu subtalamikus melemah

dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.2,9

Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen

interna/substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik

akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus/substansia nigra.

Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung, sehingga

output ganglia basalis menjadi berlebihan ke arah talamus. Saraf eferen dari globus

palidus segmen interna ke talamus adalah GABAergik sehingga kegiatan talamus

akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf

glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke neuron motorik medulla

spinalis melemah terjadi hipokine.9

2.1.6 Tanda dan Gejala Klinis

Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang

didapat dari anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegal-pegal atau

kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala sensorik

(parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis penderita

parkinson:7

1) Tremor

Biasanya merupakan gejala pertama pada penyakit parkinson dan bermula

pada satu tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian

sisi yang lain juga akan turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak
10

terlihat, kecuali pada stadium lanjut. Frekuensi tremor berkisar antara 4-7

gerakan per detik dan terutama timbul pada keadaan istirahat dan berkurang

bila ekstremitas digerakan. Tremor akan bertambah pada keadaan emosi dan

hilang pada waktu tidur.

2) Rigiditas

Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya

terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi

menyeluruh dan lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian

digerakan secara pasif. Rigiditas timbul sebagai reaksi terhadap regangan

pada otot agonis dan antagonis. Salah satu gejala dini akibat rigiditas ialah

hilang gerak asosiatif lengan bila berjalan. Rigiditas disebabkan oleh

meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.

3) Bradikinesia

Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi sulit.

Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka topeng). Gerakan-

gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu duduk juga menjadi sangat

kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume suara berkurang

(hipofonia).

4) Hilangnya refleks postural

Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada

awal stadium penyakit parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita

penyakit parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala

ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan
11

labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia

basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini

mengakibatkan penderita mudah jatuh.

5) Wajah Parkinson

Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi

muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang,

disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari

mulut.

6) Mikrografia

Bila tangan yang dominan terlibat, maka tulisan secara graduasi menjadi kecil

dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.

7) Sikap Parkinson

Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada penyakit

parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala

difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung melengkung

kedepan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan.

8) Bicara

Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan

bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton

dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit parkinson. Pada beberapa

kasus suara berkurang sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.

9) Disfungsi otonom
12

Disfungsi otonom pada pasien penyakit parkinson memperlihatkan beberapa

gejala seperti disfungsi kardiovaskular (hipotensi ortostatik, aritmia jantung),

gastrointestinal (gangguan dismotilitas lambung, gangguan pencernaan,

sembelit dan regurgitasi), saluran kemih (frekuensi, urgensi atau

inkontinensia), seksual (impotensi atau hypersexual drive), termoregulator

(berkeringat berlebihan atau intoleransi panas atau dingin). Prevalensi

disfungsi otonom ini berkisar 14-18%. Patofisiologi disfungsi otonom pada

penyakit parkinson diakui akibat degenerasi dan disfungsi nukleus yang

mengatur fungsi otonom, seperti nukleus vagus dorsal, nukleus ambigus dan

pusat medullary lainnya seperti medulla ventrolateral, rostral medulla,

medulla ventromedial dan nukleus rafe kaudal.

10) Gerakan bola mata

Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi

sulit, gerak bola mata menjadi terganggu.

11) Tanda Myerson

Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-ulang. Pasien

Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan. Disebut

juga sebagai tanda “Myerson”.

12) Demensia

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif

yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari.

Kelainan ini berkembang sebagai konsekuensi patologi penyakit parkinson


13

disebut kompleks parkinsonism demensia. Demensia pada penyakit parkinson

mungkin baru akan terlihat pada stadium lanjut, namun pasien penyakit

parkinson telah memperlihatkan perlambatan fungsi kognitif dan gangguan

fungsi eksekutif pada stadium awal. Gangguan fungsi kognitif pada penyakit

parkinson yang meliputi gangguan bahasa, fungsi visuospasial, memori

jangka panjang dan fungsi eksekutif ditemukan lebih berat dibandingkan

dengan proses penuaan normal. Persentase gangguan kognitif diperkirakan

20%.

13) Depresi

Sekitar 40% penderita penyakit parkinson terdapat gejala depresi. Hal ini

dapat disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang

menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan merasa

dikucilkan. Hal ini disebabkan keadaan depresi yang sifatnya endogen. Secara

anatomi keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada penderita parkinson terjadi

degenerasi neuron dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron

norepineprin yang letaknya tepat dibawah substansia nigra dan degenerasi

neuron asetilkolin yang letaknya diatas substansia nigra.

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

dengan ditemukannya dua dari empat tanda kardinal, yaitu tremor saat istirahat,

rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural. Pasien umumnya berusia 55 tahun

atau lebih, dengan parkinsonisme asimetrik yang berprogresi lambat dengan tremor

saat istirahat dan bradikinesia atau rigiditas. Tidak ada tanda bahaya seperti disfungsi
14

otonomik berat, gangguan keseimbangan, demensia, atau kelainan gerak mata. Pada

kasus – kasus seperti ini, diagnosis akan dikonfirmasi dengan terapi dopaminergik

(levodopa atau agonis dopamin) yang memberikan pemulihan bagi gejala motorik

pasien. Jika diagnosis penyakit parkinson sudah dipastikan, penting untuk mengukur

beratnya penyakit secara kualitatif. Hal ini berhubungan sebagai dasar tatalaksana

dari pasien. 2

Anamnesis

Pada awal sakit manifestasi gejala dapat berupa :2

 Gemetar pada jari tangan waktu istirahat, dan hilang bila lengan bergerak

 Tremor ringan pada jari dan tangan

 Ayunan lengan waktu berjalan kurang (jalan seperti robot)

 Suara menjadi halus atau mengecil

 Mandi, mencukur kumis, mengancing baju, makan menjadi lama

 Jalan sering tertinggal

 Mata melotot seperti marah, raut muka selalu sedih

 Duduk jarang bangun

 Tidur jarang berbalik badan

Pemeriksaan fisik

a. Tremor2

Lengan/tangan

 Resting tremor, saat diam atau menahan posisi tertentu


15

 Pill rolling, seperti sedang menggulung pil atau menghitung uang

 Tulisan tidak rata, semakin panjang kalimatnya huruf tulisannya semakin

kecil

 Saat berjalan jari atau tangan bergetar

Tungkai/ kaki

 Kaki bergoyang saat diam menggantung

Kepala/muka

 Kepala jarang terlibat

 Bibir dan dagu bergetar seperti mengunyah

b. Rigiditas2

Leher

 Susah menoleh

 Susah menelan

 Suara mengecil

Lengan

 Micrografia (tulisan mengecil)

 Ayunan lengan waktu berjalan kurang

 Merasa kekakuan pada sendi sulit bangkit dari tidur/duduk

 Stooped posture (waktu berdiri atau berjalan badan membungkuk)

Tungkai

 Langkah jalan pendek – pendek, kaki diseret

 Rasa lemah karena memerlukan tenaga lebih untuk bergerak


16

c. Bradikinesia/akinesis2

Muka

 Mata jarang berkedip

 Face mask (mimik muka miskin ekspresi)

 Liur menetes, kalau makan lama

Lengan

 Memakai baju atau memasang kancing lama

 Mandi atau cuci tangan atau gosok gigi lama

Badan

 Duduk diam lama, jarang bangkit (bangun)

 Tidur jarang berbalik

Tungkai

 Membengkak oleh karena jarang bergerak sewaktu duduk

 Sulit untuk memulai langkah

 Langkah mendadak berhenti

 Ketika berjalan, jika berbalik arah harus melakukan gerakan memutar

d. Postur tubuh yang tidak stabil2

 Muncul pada stadium lanjut

 Mudah terjatuh

 Langkah memutar sulit

 Cenderung terjerembab ke depan

 Cenderung terjengkang ke belakang


17

 Akhirnya menggunakan kursi roda

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologi umumnya digunakan untuk menyingkirkan penyakit

lain. Jika pemberian Levodopa tidak ada perbaikan maka untuk memastikan perlu

dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG, CT scan kepala dan pemeriksaan

laboratorium sesuai dugaan. Pemeriksaan MRI juga dapat dipertimbangkan untuk

mengevaluasi diagnosis banding lain seperti stroke, lesi desak ruang (tumor, abses),

hidrosefalus tekanan normal, dan penyakit lain. Pemeriksaan CT dan MRI terkadang

juga dapat membantu membedakan penyakit parkinson idiopatik dengan

parkinsonisme tipe lain. Hal ini relevan jika keluhan pada pasien unilateral.

Pemeriksaan pencitraan menunjukan penyakit atherosklerotik otak atau tekanan

normal hidrosefalus dan jarang menunjukan lesi struktural. MRI terkadang

menunjukan tanda dari atropi sistem multipel (perubahan sinyal infratentorial,

putaminal atrofi, hot cross bun sign). 10

Sejauh ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan penyakit

parkinson, lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang

menimbulkan gejala parkinsonisme yang mirip dengan penyakit parkinson, atau pada

pasien yang setelah terapi levodopa tidak menunjukan perbaikan.10

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena tidak

memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson.

Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah


18

maupun cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan

kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan tidak ada penanda biologis yang spesifik

penyakit, maka diagnosis definitive terhadap penyakit Parkinson hanya

ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah berkesimpulan bahwa

hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual, sedangkan yang

24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut.11

b. EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)

c. CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar,

hidrosefalua eks vakuo)

d. Neuroimaging:

 Magnetik Resonance Imaging (MRI)

Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya

pasien yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal

di striatum.11

 Positron Emission Tomography (PET)

Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah

memberi kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine

nigrostriatal dan peranannya dalam patofisiologi penyakit Parkinson.

 Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post

sinapsis oleh SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara

sindroma Parkinson plus dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit


19

presinapsis murni. Penempelan ke striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT,

yang juga dikenal sebagai RTI-55, berkurang secara signifikan disebelah

kontralateral sisi yang secara klinis terkena maupun tidak terkena pada

penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang secara signifikan

dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang berkisar antara

36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek dan

yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada

pengambilan beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit Parkinson dini

yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan untuk

memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada

penyakit Parkinson. 11

Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang

menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna

dalam mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi

SPECT sebagai suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau

bahkan presimptomatik tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek.

Potensi teknik tersebut sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi

terapi farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki. 11

2.1.8 Tatalaksana

Pada dasarnya tatalaksana Parkinson terbagi menjadi tatalaksana

medikamentosa dan nonmedikamentosa. Pengobatan farmakologi dikelompokkan

menjadi 3 kelompok yaitu bekerja pada sistem dopaminergik, sistem kolinergik dan
20

sistem glutamatergik. Dari ketiga macam pengobatan mempunyai tujuan yang sama

yaitu mengurangi gejala motorik dari penyakit parkinson. 9

Gambar 2.1. Algoritma penatalaksanaan penyakit parkinson 9

Tatalaksana nonfarmakologi adalah terapi fisik (yoga, tari, Latihan dasar

seperti memakai dasi mengunyah keras), terapi suara (Lee Silverman Voice

Treatment), terapi gen (glial-derived neurotrophic factor yang merangsang L-dopa),

deep brain stimulation (DBS), dan Transcranial magnetic stimulation (TMS). 9

2.2. Transcranial Magnetic Stimulation

2.2.1. Prinsip Dasar Transcranial Magnetic Stimulation

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merupakan salah satu metode

stimulasi otak noninvasif dan indirek yang menggunakan lilitan elektromagnetik untuk

menghasilkan bidang magnet yang dilakukan pada individu yang sadar. TMS dapat
21

menstimulasi korteks otak dengan menghasilkan pulsasi magnetic singkat yang akan

melewati tengkorak menuju otak dengan cepat dan tanpa rasa sakit. Pulsasi ini akan

menginduksi perubahan eksitabilitas kortikal pada area stimulasi dan area yang lebih

jauh secara transinaptik. Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS)

merupakan pemberian puulsasi TMS yang berulang. 3

Berdasarkan prinsip induksi elektromagnetik, bidang magnetic akan terbentuk

ketika sebuah arus elektrik melalui koil (koil primer). Ketika arus megnetik mengalir

ke koil sekunder (jaringan neural), bidang elektrik sekunder terinduksi, menstimulasi

bagian yang serupa. Neuron yang memiliki prosesus aksonal yang melengkung atau

bengkok, melewati sudut yang tepat menuju garis dorongan dari bidang magnetik.

Neuron ini bekerja sebagai koil sekunder dan mengalami efek elektrik. Oleh karena

itu, dengan merubah arah dari aliran arus pada frekuensi tinggi, bidang magnetik

yang berubah dengan cepat dapat dibangkitkan yang kemudian menstimulasi neuron

di sekitarnya dan serabutnya. Fenomena dari pengaplikasian stimulasi demikian

dalam pulsasi dikenal sebagai stimulasi bidang elektromagnetik terpulsasi yang

menyebabkan depolarisasi persisten. Stimulasi pulsasi ini diketahui memperbaiki

fungsi sel yang terganggu dan membantu penyembuhan. 3

2.2.2 Mesin Transcranial Magnetic Stimulation

Setiap mesin TMS terdiri dari unit utama dan koil stimulasi. Unit utama

tersusun dari beberapa komponen yaitu: 12

1. Charging system yang berfungsi membangkitkan arus yang digunakan untuk

membangkitkan bidang magnetik yang penting bagi TMS.


22

2. Satu atau lebih kapasitor penyimpanan yang memungkinkan multiple pulsasi

energi dibangkitkan, disimpan, dan dilepaskan dengan cepat. Lebih dari satu

kapasitor diperlukan untuk repetitive TMS.

3. Energy recovery circuitry yang memungkinkan unit utama untuk mengisi

kembali energi setelah dilepaskan.

4. Thyristor merupakan alat listrik yang mampu merubah arus yang besar dalam

waktu yang singkat. Pada TMS, thyristor bekerja sebagai jembatan antara

kapasitor dan koil.

5. Pulse-shape circuitry yang berfungsi untuk membangkitkan baik pulsasi yang

monofasik atau bifasik.

Koil stimulasi terdiri dari satu atau lebih koil dari kawat tembaga yang

terinsulasi dengan baik. Koil dapat dibuat menjadi bentuk dan ukuran tertentu.

Geometri dari masing-masing koil menentukan bentuk, kekuatan, dan lokalisasi dari

bidang elektrik yang menginduksi tahanan, dan berakhir menjadi stimulasi otak.

Beberapa jenis koil seperti: 12

1. Koil Sirkular atau bulat yang merupakan desain koil paling lama dan sederhana.

Pada koil ini pembangkit bidang magnetik terletak di tengah desain yang

berbentuk bulat. Koil ini digunakan untuk pulsasi tunggal dan stimulasi perifer.

2. Koil figure of eight (disebut juga koil kupu-kupu) merupakan desain koil yang

paling mudah dikenali dan paling banyak digunakan. Koil ini terdiri dari dua buah

koil bundar yang digabung. Jenis koil ini banyak digunakan baik untuk

kepentingan klinis maupun penelitian (termasuk pengukuran repetitive dan

chronometric).
23

3. Koil H merupakan desain koil terbaru yang bertujuan untuk stimulasi daerah yang

lebih dalam, lapisan korteks non superfisial.

2.2.3 Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)

Repetitive TMS (rTMS) merupakan salah satu metode stimulasi TMS dimana

sekelompok pulsasi diberikan dengan intensitas yang sama pada satu daerah kortikal.

Teknik ini mencakup pemberian burst atau trains pendek dari 3-4 pulsasi pada

frekuensi tinggi (10-20 Hz, dengan interval waktu antara pulsasi sekitar 50 ms) dan

periode stimulasi yang panjang (sampai 20 – 30 menit) pada frekuensi yang terfiksasi,

dengan atau tanpa interupsi interval bebas stimulasi di antara cetusan.13, 14

rTMS mampu menginduksi efek jangka panjang (baik supresi atau fasilitasi)

yang melebihi periode stimulasi. Durasi dari efek stimulasi dapat bertahan beberapa

menit setelah satu sesi rTMS dan mencapai beberapa hari hingga minggu setelah

beberapa sesi rTMS yang berurutan 15

Efek dari protokol rTMS ditentukan dari intensitas stimulasi, frekuensi

stimulasi, dan durasi keseluruhan dari latihan dan polanya (kontinyu atau

intermitten), dan kondisi protein dan kimiawi area stimulasi tertentu. rTMS frekuensi

rendah (biasanya 1Hz atau kurang) menyebabkan supresi dari aktivitas kortikal

sedangkan rTMS frekuensi tinggi (biasanya lebih dari 5 Hz) menyebabkan

peningkatan aktivitas kortikal pada lokasi stimulasi. Tetapi prinsip ini tidak

selamanya berlaku karena dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa interval antar

latihan memainkan peran mengarahkan efek. Total Efek terapeutik rTMS ditentukan

oleh total dampak dari sejumlah proses di otak, termasuk LTP, LTD, perubahan aliran
24

darah serebral, aktivitas enzim tertentu, interaksi antara struktur kotikal subkortikal,

dan ekspresi gen. 15,16

Sejumlah studi menunjukkan bahwa sinyal TMS menstimulasi dan

menginduksi ekspresi gen dan meningkatkan produksi dari sejumlah enzim. Salah

satunya adalah peningkatan ekspresi c-fos di nukleus paraventricular thalamus dan

girus frontal dan singulata. Efek ini kemungkinan berlangsung lama dan lebih kuat

dibandingkan stimulasi elektrik langsung. 16

Dampak penting lainnya adalah dampaknya pada mekanisme neuroprotektif.

Salah satu studi pada tikus menunjukkan peningkatan neurogenesis pada tikus setelah

rTMS selama 14 hari. Beberapa mekanisme yang disimpulkan seperti peningkatan sel

yang memproduksi dopamine, pengaruh pada reseptor NMDA dan Alpha-Amino-3-

Hydroxy-5- Methyl-4-Isoxazole Propionic Acid (AMPA), peningkatan Adenosine

triphosphate (ATP) pada daerah iskemik, mencegah apoptosis pada daerah iskemik,

peningkatan jumlah dan migrasi astrosit ke lokasi cedera. 16

rTMS frekuensi rendah menyebabkan sprouting dendrit (pertumbuhan akson)

dan pertumbuhan dan peningkatan densitas dari kontak sinapsis. Sedangkan stimulasi

frekuensi tinggi menurunkan jumlah akson dan dendrit, menyebabkan lesi neuronal,

dan menurunnya jumlah sinaps. rTMS dapat mempengaruhi produksi Brain Derived

Neuropathic Factor (BNDF) di lokasi stimulasi maupun daerah yang lebih jauh

terutama dengan stimulasi jangka Panjang. 16


25

Gambar 2.2. Skema umum dari pengaruh bidang magnetik dan elektrik pada rTMS. 16

2.2.4 Keamanan Transcranial Magnetic Stimulation

Penggunaan TMS dekade terakhir semakin meningkat dan luas terutama

dalam bidang neurologi dan psikiatri. TMS ditoleransi dengan cukup baik dan efek

samping yang minimal. Efek samping TMS yang paling sering dialami yakni sinkop

dan nyeri kepala transien. Sementara efek samping yang jarang dialami yakni

perubahan pendengaran transien, perubahan kognitif transien, hipomania akut

transien, kejang, dan kulit kepala yang terbakar akibat elektroda. Rekomendasi

keamanan penggunaan TMS yang dikaji pada konferensi National Institute of Health

pada 1996 dirangkumkan sebagai berikut: 13


26

1. Kontraindikasi absolut dari penggunaan TMS adalah adanya bahan metalik atau

feromagnetik yang kontak dengan koil (seperti pacemaker atau implant koklear).

2. Kondisi yang dapat meningkatkan resiko bangkitan epilepsi seperti:

a) paradigma baru (metode baru) termasuk protokol prekondisi, dilakukan lebih

dari 1 regio kulit kepala dan protokol yang diperpanjang; setiap protokol

rTMS frekuensi tinggi yang melebihi ambang batas keamanan yang

ditetapkan.

b) Kondisi dan Riwayat penyakit pasien seperti riwayat epilepsi, adanya

kerusakan otak dengan berbagai etiologi (stroke, trauma kapitis, encepalopati,

tumor, infeksi), mengkonsumsi obat yang menurunkan ambang batas kejang,

kurangnya tidur, alkoholisme.

3. Kondisi lain dengan tingkat resiko yang belum jelas seperti gangguan jantung,

hamil, penggunaan elektroda serebral yang ditanam.

4. Resiko rendah bila tidak memiliki kondisi di atas dan belum pernah menjalani

protokol TMS dengan pulsasi tunggal atau ganda atau rTMS konvensional

dengan frekuensi tinggi atau rendah menggunakan parameter stimulasi yang

sesuai standard keamanan.

2.2.5 Aplikasi Klinis Transcranial Magnetic Stimulation

Sejak ditemukannya TMS, aplikasi klinisnya semakin bertambah seiring

dilakukannya uji klinis terutama dekade terakhir. Kegunaan terapeutik TMS terutama

pada bidang neurologi dan psikiatri. Pada bidang psikiatri TMS terutama digunakan

untuk terapi depresi dan obsessive-compulsive disorder. Ada juga yang melaporkan
27

peran rTMS pada skizofrenia dalam mengontrol halusinasi yang intractable dan

gejala negatif. 17

TMS dapat meningkatkan penyembuhan motorik setelah stroke baik dengan

menekan korteks kontralesi atau meningkatkan eksitabilitas korteks ipsilateral lesi.

Selain itu pada penderita stroke, beberapa studi yang dilakukan menunjukkan hasil

yang cukup menjanjikan dalam perbaikan afasia dan hemispatial neglect. 17

Beberapa studi mendukung penggunaan rTMS frekuensi tinggi pada korteks

premotor dan motor primer untuk meningkatkan bradikinesia dan freezing pada

penyakit Parkinson. Efek ini mungkin dimediasi oleh modulasi transsinaptik pada

sirkuit nigrostriatal-thalamocortical. rTMS frekuensi rendah yang diaplikasikan pada

daerah yang sama dapat menurunkan diskinesia yang diinduksi L-Dopa. Selain

penyakit Parkinson, saat ini fokus penelitian juga diarahkan pada distonia. TMS telah

terbukti menurunkan nyeri pada penderita nyeri kronis contohnya pada pasien dengan

nyeri neuropatik, fibromyalgia, dan complex regional pain syndrome. Selain itu juga

ada beberapa uji klinis mengenai efek analgesik TMS pada penderita nyeri punggung

bawah kronik (NPBK). Aplikasi rTMS pada korteks auditori primer tampaknya dapat

menurunkan tinnitus, dan sesi berulang dari rTMS pada daerah ini menginduksi

supresi tinnitus yang lebih persisten pada beberapa studi. Tetapi efek rTMS ini

menunjukkan variasi interindividual yang tinggi (kemungkinan variabilitas dalam

usia, kehilangan pendengaran, dan kronisitas tinnitus). 17

Berbagai studi TMS menyetujui bahwa peningkatan eksitabilitas pada

DLPFC kanan dengan rTMS frekuensi tinggi atau menurunkan eksitabilitas dengan

rTMS frekuensi rendah dapat memperbaiki gejala ADHD, tetapi hasilnya masih
28

cukup bervariasi. Studi yang dilakukan Alaygon dkk pada tahun 2020 dengan

memberikan stimulasi rTMS pada korteks prefrontal kanan menunjukkan perbaikan

gejala ADHD dibandingkan placebo. 18

2.2.6 Peran Transcranial Magnetic Stimulation pada Penyakit Parkinson

TMS telah terbukti menjadi teknik yang berguna untuk mempelajari

neurofisiologi penyakit Parkinson dan menunjukkan manfaat dalam pengobatan

gejala motoric dan nonmotorik. TMS digunakan dikarenakan efek samping rendah

pada pasien. Vonloh dkk pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa protokol TMS dan

rTMS saat ini tidak menimbulkan risiko signifikan bagi pasien penyakit Parkinson.4

Xie dkk pada tahun 2020 secara sistematis menilai efektivitas intervensi

rTMS pada gaya berjalan pada individu dengan penyakit Parkinson. Para penulis

menyimpulkan bahwa hasil meta-analisis mengusulkan efek yang menguntungkan

dari rTMS pada berjalan kinerja dalam jangka pendek tetapi tidak dalam jangka

panjang. Keterbatasan meta-analisis ini mungkin karena risiko yang tidak jelas dari

bias pada domain tertentu terkendala hasil karena data yang tidak lengkap dalam

beberapa penelitian. Selain itu, ukuran sampel dari termasuk studi relatif kecil. 19

Yang dkk. Pada tahun 2018 melakukan meta-analisis untuk mengevaluasi

parameter rTMS optimal untuk pemulihan motorik penyakit Parkinson. Dua puluh

tiga studi dengan total 646 peserta dilibatkan. Perkiraan rTMS yang dikumpulkan

mengungkapkan efek jangka pendek dan jangka panjang yang signifikan pada

peningkatan fungsi motorik penyakit Parkinson. Analisis subkelompok mengamati

bahwa rTMS frekuensi tinggi (HF rTMS) signifikan dalam meningkatkan fungsi

motorik, tetapi rTMS frekuensi rendah (LF-rTMS) tidak. Secara khusus, ketika HF-
29

rTMS ditargetkan di atas korteks motorik primer (M1), di mana M1 bilateral

mengungkapkan ukuran efek yang lebih besar daripada M1 unilateral. Dibandingkan

dengan sesi tunggal, multi-sesi HF-rTMS di atas M1 menunjukkan ukuran efek yang

signifikan. Selain itu, HF-rTMS selama M1 dengan total 18.000-20.000 pulse

stimulasi menghasilkan efek yang lebih signifikan daripada dosis lainnya. Menurut

penulis, hasil ini menunjukkan bahwa RTM mungkin membantu dalam meningkatkan

defisit motorik pasien Parkinson. 20

Goodwill dkk. Pada tahun 2017 melakukan meta-analisis yang mengukur

efektivitas rTMS untuk meningkatkan motorik dan kognitif disfungsi pada Parkinson.

Sebanyak 24 RTM dengan kelompok kontrol palsu dimasukkan dalam analisis.

Hasilnya menunjukkan secara keseluruhan efek positif dalam mendukung rTMS

dibandingkan dengan stimulasi palsu pada fungsi motorik. Penggunaan rTMS tidak

meningkatkan kognisi. Tidak ada efek parameter stimulasi pada fungsi motorik atau

kognitif yang diamati. Para penulis mengakui beberapa keterbatasan. Studi

mengevaluasi rTMS menunjukkan ukuran efek sederhana (0,4-0,6) dan heterogenitas

besar antara studi. Variabel klinis dan gaya hidup termasuk komorbiditas terkait

penyakit Parkinson, tingkat aktivitas fisik dan kondisi kesehatan mental lainnya tidak

diperhitungkan dalam analisis subkelompok, yang mungkin telah memengaruhi

respons terhadap stimulasi otak non-invasif. 21

Dalam tinjauan sistematis dan meta-analisis, Wagle Shukla dkk pada tahun

2016 meninjau literatur tentang uji klinis rTMS berulang di penyakit Parkinson untuk

mengukur kemanjuran keseluruhan dari perawatan ini. Uji klinis prospektif

dimasukkan yang memiliki aktivitas aktif lengan dan lengan kontrol dan perubahan
30

skor motorik pada Skala Penilaian Penyakit Parkinson Terpadu sebagai hasil utama.

Penulis mengumpulkan data dari 21 studi yang memenuhi kriteria ini dan

menganalisis secara terpisah efek rTMS frekuensi rendah dan tinggi pada perbaikan

motorik klinis. Terapi stimulasi magnetik transkranial berulang menunjukkan manfaat

dalam jangka pendek tindak lanjut (segera setelah protokol pengobatan) dengan

perbedaan rata-rata gabungan sebesar 3,4 poin serta pada tindak lanjut jangka

Panjang (rata-rata tindak lanjut 6 minggu) dengan perbedaan rata-rata 4,1 poin. Para

penulis menyimpulkan bahwa terapi rTMS menghasilkan perbaikan motorik ringan

hingga sedang dan berpotensi untuk digunakan sebagai terapi tambahan untuk

pengobatan penyakit Parkinson. 22

Zhang dkk pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa intervensi rTMS dengan

parameter yang tepat dapat secara positif mempengaruhi perbaikan gejala motorik

pada pasien penyakit Parkinson dan mungkin memiliki efek seperti antidepresan

potensial, tetapi peneliti belum bisa menentukan kemanjuran pada peningkatan

kognitif. Oleh karena itu, pengobatan dengan rTMS dapat digunakan sebagai terapi

adjuvant pada pasien penyakit parkinson dengan gejala motorik. 23

Beberapa penelitian telah melaporkan kemanjuran rTMS pada gejala motorik

penyakit Parkinson. Efek ini terutama diarahkan pada daerah kortikal permukaan,

karena defisiensi dopamin pada penyakit Parkinson terlokalisasi pada ganglia basal

subkortikal. Ganglia basal terdiri dari sekelompok otak dalam yang saling

berhubungan nukleus, yaitu caudate dan putamen, globus pallidus, sub stantia nigra

dan nukleus subthalamic (STN) yang, melalui koneksi mereka dengan talamus dan

korteks, terutama mempengaruhi komponen tak sadar gerakan dan tonus otot.
31

Beberapa studi telah mendokumentasikan efek jangka panjang dari rTMS yang

diterapkan pada pasien penyakit Parkinson selama beberapa hari, bukan sesi tunggal..

Sepuluh pasien penyakit Parkinson diobati dengan rTMS, terbukti perubahan jangka

pendek dalam kinerja tugas motorik halus fungsional. rTMS selesai SMA

mengkompensasi ketidakseimbangan kortiko-striatal dan peningkatan koneksi

kortiko-kortikal. Perawatan ini memperbaiki defisit pasien penyakit parkinson seperti

pengurangan kecepatan selama tugas menulis dan penurunan ukuran huruf

(mikrografi). 24

Dua mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan bagaimana rTMS yang

diarahkan secara kortikal dapat memperbaiki gejala penyakit Parkinson:24

(1) rTMS menginduksi perubahan jaringan otak dan secara positif mempengaruhi

fungsi ganglia basal

(2) rTMS diarahkan ke korteks situs mengkompensasi perubahan abnormal terkait

Parkinson dalam fungsi kortikal.

Untuk mendukung yang mekanisme pertama, rTMS mungkin memodulasi

area kortikal, seperti: sebagai korteks prefrontal dan korteks motorik primer, yang

secara substansial terhubung ke striatum dan STN melalui proyeksi glutamatergik,

dan dengan demikian secara tidak langsung memodulasi pelepasan dopamin di

ganglia basal. Beberapa TMS studi pencitraan fungsional telah menunjukkan efeknya

rTMS pada ganglia basal dan peningkatan dopamin di ganglia basal setelah rTMS

diterapkan pada lobus frontal. 24

TMS frekuensi tinggi terdiri dari stimulasi frekuensi tinggi terus menerus dari

daerah otak tertentu, termasuk korteks motorik, serebelum dan ganglia basal, melalui
32

implant elektroda empat kontak besar yang terhubung ke generator pulsa dan

diposisikan di tengah wilayah target. Stimulasi tersebut menginduksi medan listrik

yang menyebar dan mendepolarisasi neighboring membranes dari badan sel, akson

aferen dan eferen, tergantung pada orientasi dan posisi elemen saraf di lapangan dan

pada parameter stimulasi . Hasil klinis yang optimal diperoleh dengan menggunakan

pulse berdurasi 60–200 md dan Amplitudo 1-5 V, dikirim dalam STN pada 120–180 

Hz. Misalnya, TMS frekuensi tinggi menghasilkan blokade sementara aktivitas STN

spontan, yang didefinisikan Keheningan yang diinduksi HFS. Selama keheningan

yang diinduksi HFS, Arus Na+ yang persisten diblokir total dan Ca2+- tanggapan

yang dimediasi sangat berkurang, menunjukkan bahwa arus Ca2+ tipe-T dan L secara

sementara ditekan oleh TMS frekuensi tinggi. Memang, bukti terbaru menunjukkan

bahwa stimulasi korteks motorik, serebelum dan ganglia basal tidak hanya

menghasilkan efek penghambatan dan rangsang pada neuron lokal, tetapi juga

mempengaruhi jalur aferen dan eferen. 24

Anda mungkin juga menyukai