Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit Parkinson adalah penyakit degenerasi otak terbanyak kedua
setelah penyakit Alzheimer. Pada Penyakit Parkinson terjadi penurunan
jumlah dopamine di otak yang berperan dalam mengontrol gerakan sebagai
akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang otak.
Penyakit ini berlangsung kronik dan progresif, dan belum ditemukan obat
untuk menghentikan progresifitasnya. Progresifitas penyakit bervariasi dari
satu orang ke orang yang lain.1 Penyakit Parkinson adalah penyakit
progresif yang belum diketahui penyebabnya, dimulai pada usia 45 sampai
55 tahun.2
2.2 Etiologi
Etiologi penyakit parkinson belum diketahui, atau idiopatik. Terdapat
beberapa dugaan, di antaranya ialah infeksi oleh virus yang non-
konvensional (belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah
umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, serta
terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat. Beberapa hal yang
diduga dapat menyebabkan timbulnya penyakit parkinson adalah sebagai
berikut:3
1. Usia
Penyakit Parkinson adalah penyakit neuro degeneratif yang
paling lazim setelah penyakit Alzheimer, dengan insidens di Inggris
kira-kira 20/100.000 dan prevalensinya 100-160/100.000.
Prevalensinya kira-kira 1% pada umur 65 tahun dan meningkat 4-5%
pada usia 85 tahun.
2. Genetik
Komponen genetik pada penyakit Parkinson telah lama
dibicarakan, karena kebanyakan pasien memiliki penyakit sporadis
dan penelitian awal pada orang kembar memperlihatkan persamaan
rata-rata rendah dari concordance pada kembar monozigot dan dizigot.
Pandangan bahwa genetik terlibat pada beberapa bentuk penyakit
Parkinson telah diperkuat dengan penelitian bahwa kembar monozigot
dengan onset penyakit sebelum usia 50 tahun memiliki pembawa
genetik yang sangat tinggi, lebih tinggi dari kembar dizigot dengan
penyakit early onset.
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan
pada penyakit Parkinson, yaitu mutasi pada gen α-sinuklein pada
lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan
Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal
resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin
(PARK 2) di kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi
mitokondria. Adanya riwayat penyakit Parkinson pada keluarga
meningkatkan faktor resiko menderita penyakit Parkinson sebesar 8,8
kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70
tahun. Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala
parkinsonism tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus genetik di
USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika pada 100
penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian. Penelitian di
Jerman menemukan hasil nol pada 70 penderita. Contoh klasik dari
penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga di Italia karena
kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.4
3. Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat
menimbulkan kerusakan mitokondria.
b. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih
tinggi dan lama.
c. Infeksi
Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi
faktor predisposisi penyakit parkinson melalui kerusakan

1
substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya
kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
d. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stres
oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada
penyakit parkinson. Sebaliknya, kopi merupakan neuroprotektif.
e. Stress dan Depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat
mendahului gejala motorik. Depresi dan stres dihubungkan
dengan penyakit parkinson karena pada stres dan depresi terjadi
peningkatan turnover katekolamin yang memacu stres oksidatif.

Ada beberapa jenis penyakit Parkinson yang penyebabnya telah


diketahui. Parkinsonisme pascaensefalitik terjadi setelah ensefalitis viral
pada tahun 1916-1917 dengan kerusakan pada nuclei basales.
Parkinsonisme iatrogenic dapat terjadi akibat efek samping obat-obatan
antipsikotik. Analog meperedin (digunakan oleh orang-orang yang
ketergantungan obat), dan keracunan karbon monoksida serta mangan dapat
juga menimbulkan gejala-gejala Parkinson. Parkinsonisme aterosklerotik
dapat terjadi juga pada pasien tua dengan hipertensi.2
2.3 Epidemiologi
Penyakit parkinson diakui sebagai salah satu gangguan neurologis
yang paling umum, mempengaruhi sekitar 1% dari orang yang lebih dari 60
tahun. Insiden dan prevalensi penyakit Parkinson meningkat dengan usia.
Suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit parkinson
terjadi pada ras kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa 0,98% hingga
1,94%, menengah terdapat pada ras Asia 0,018%, dan prevalensi terendah
terdapat pada ras kulit hitam di Afrika 0,01%. Penyakit parkinson 1,5 kali
lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Studi postmortem secara konsisten menyoroti adanya kerusakan
oksidatif dalam patogenesis penyakit Parkinson, dan khususnya kerusakan

2
oksidatif pada lipid, protein, dan DNA dapat diamati pada substansia nigra
pars kompakta (SNc) otak pasien penyakit parkinson sporadic. Stress
oksidatif akan membahayakan integritas neuron sehingga mempercepat
degenerasi neuron. Sumber peningkatan stress oksidatif ini masih belum
jelas namun mungkin sajamelibatkan disfungsi mitokondria, peningkatan
metabolisme dopamin yang menghasilkan hidrogen peroksida dan reactive
oxygen species (ROS) lain dalam jumlah besar, peningkatan besi reaktif, dan
gangguan jalur pertahanan antioksidan.5
Banyak bukti mengarah pada peran utama disfungsi mitokondria
sebagai dasar pathogenesis penyakit Parkinson, dan khususnya defek
mitokondria complex-I (complex-I) dari rantai respirasi. Defek complex-I
mungkin yang paling tepat menyebabkan degenerasi neuron pada penyakit
Parkinson melalui penurunan sintesis ATP.5

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Parkinson


Mutasi pathogen dan faktor lingkungan diketahui menyebabkan
penyakit Parkinson akibat disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif,
agregasi protein abnormal dan fosforilasi protein yang mengorbankan fungsi
neuronal dopaminergik. Faktor lingkungan seperti pestisida dan racun
langsung menginduksi kerusakan oksidatif dan disfungsi mitokondria. A-
synuclein mengalami agregasi karena mutasi pathogen atau oksidasi katekol

3
yang menginduksi stress ER dan menyebabkan disfungsi mitokondria.
Disfungsi mitokondria dan kerusakan oksidatif menyebabkan deficit ATP
yang dapat mengganggu fungsi UPS untuk mempromosikan agregasi
protein abnormal.5
B-synuclein mencegah agregasi a-synuclein melalui aktivasi Akt
signaling. Parkin meningkatkan biogenesis mitokondria dengan
mengaktifkan faktor transkripsi mitokondria (TFAM). DJ-1 melindungi
terhadap stres oksidatif, fungsi sebagai pendamping untuk memblokir
agregasi a-synuclein dan melindungi terhadap disfungsi mitokondria. PINK
1 melindungi terhadap disfungsi mitokondria akibat mutasi pathogen,
meskipun fungsi yangtepat dari PINK 1 di mitokondria masih belum
diketahui.5
LRRK2 berperan dalam fungsi vesikel sinaptik, perkembangan
neurite, dan lain-lain. Mutasi patogen di LRRK2 menyebabkan abnormal
fosforilasi protein yang menginduksi kematian sel mitokondria. Selain itu,
peran saraf dari PGC-1a mencegah kerusakan oksidatif dan disfungsi
mitokondria. Familial gen parkinson-linked yaitu parkin, DJ-1 dan PINK 1
berperan mengaktifkan PI3 kinase-Akt signaling. Aktivasi jalur Nrf2/ARE
mencegah kerusakan oksidatif dan disfungsi mitokondria dan
mempertahankan kelangsungan hidup sel. PI3 kinase-Akt signaling dan
sinyal Nrf2/ARE bisa dieksplorasi sebagai target potensial untuk intervensi
terapeutik pada kematian neuronal dopaminergik.5
2.5 Patofisiologi
Penyakit Parkinson disebabkan oleh degenerasi neuron di dalam
substansia nigra dan sedikit lebih luas pada globus pallidus, putamen, dan
nucleus caudatus. Degenerasi neuron substansia nigra yang mengirimkan
aksonnya ke corpus striatum mengakibatkan berkurangnya pelepasan
neurotransmitter dopamine di dalam corpus striatum. Hal ini menyebabkan
hipersensitifitas reseptor dopamine pada neuron-neuron pascasinaptik di
dalam striatum, sehingga menjadi hiperaktif.2

4
Dalam kondisi normal, pelepasan dopamine dari ujung saraf
nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2
(inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum
disalurkan ke globus pallidus interna atau substansia nigra pars retikularis
melalui 2 jalur, yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek yang berkaitan
dengan reseptor D2. Apabila masukan direk dan indirek seimbang, maka
tidak ada kelainan gerakan.6
Pada penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia
nigra pars kompakta dan saraf dopaminergic nigrostriatum sehingga tidak
ada rangsangan terhadap reseptor D1 dan D2. Reseptor D1 yang eksitatorik
tidak terangsang sehingga jalur langsung dengan neurotransmitter GABA
(inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang,
sehingga jalur indirek dari putamen ke globus pallidus eksterna yang
GABAnergik tidak ada yang menghambat dan membuat fungsi inhibitorik
globus pallidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf
GABAnergik dari globus pallidus eksterna ke nucleus subtalamikus
melemah dan kegiatan neuron nucleus subtalamikus meningkat akibat
inhibisi.6
Terjadi peningkatan output nucleus subtalamikus ke globus pallidus
interna atau substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik
yang eksitatorik, akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus
pallidus/substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi
inhibitorik dari jalur langsung, sehingga output ganglia basalis menjadi
berlebihan kea rah thalamus. Saraf eferen dari globus pallidus interna ke
thalamus adalah GABAnergik, sehingga kegiatan thalamus akan tertekan
dan selanjutnya rangsangan dari thalamus ke korteks lewat saraf
glutamatergik akan menurun dan output korteks motoric ke neuron motoric
medulla spinalis melemah.6
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien-pasien memiliki tanda dan gejala khas sebagai berikut:2
1. Tremor

5
Tremor terjadi akibat kontraksi agonis dan antagonis secara
bergantian. Tremor lambat dan paling jelas terlihat saat ekstremitas
dalam keadaan istirahat. Tanda ini hilang pada waktu tidur. Tremor
pada Parkinson harus dibedakan dengan intention tremor yang
ditemukan pada penyakit serebelum, yang hanya timbul bila dilakukan
gerakan yang bertujuan.
2. Rigiditas
Rigiditas pada penyakit Parkinson berbeda dengan rigiditas yang
disebabkan oleh lesi-lesi upper motor neuron. Pada lesi UMN,
kelompok otot yang berlawanan mengalami rigiditas yang sama. Jika
tremor tidak ada, rigiditas dirasakan sebagai resistensi terhadap
gerakan pasif dan kadang-kadang disebut rigiditas plastik. Jika
terdapat tremor, tahanan otot terlihat sebagai rangkaian hentakan,
disebut rigiditas cogwheel.
3. Bradikinesia
Pasien sulit memulai (akinesia) dan melakukan gerakan-gerakan
baru. Gerakannya lambat, wajah tanpa ekspresi, serta suaranya tidak
jelas dan tidak bertenaga. Ayunan lengan saat berjalan hilang.
4. Gangguan Postural
Pasien berdiri dengan membungkuk dan lengannya berada
dalam keadaan fleksi. Ia berjalan dengan langkah pendek-pendek dan
sering tidak dapat berhenti. Bahkan, pasien tiba-tiba dapat berlari
dengan menyeret kakinya untuk mempertahankan keseimbangan.
5. Tidak terjadi penurunan kekuatan otot dan kehilangan sensibilitas.
Refleks abdomen superfisialis normal dan tidak terdapat refleks
patologis Babinski karena traktus kortikospinalis normal.
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala awal Penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan
penyakitnya berlangsung perlahan-lahan, sehingga sering terlepas dari
perhatian. Biasanya hanya mengeluhkan perasaan kurang sehat atau

6
sedikit murung atau hanya sedikit gemetar. Seiring waktu gejala
menjadi lebih nyata sehingga pasien berobat ke dokter dalam kondisi
yang sedikit lebih parah.
Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit Parkinson antara
lain:
 Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti
 Perjalanan gejala semakin memberat
 Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu
akan mengenai kedua sisi atau batang tubuh.
 Jenis gejala yang mungkin timbul:
1) Merasakan tubuh kaku dan berat
2) Gerakan lebih kaku dan lambat
3) Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4) Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5) Kaki diseret saat berjalan
6) Suara bicara pelan dan sulit dimengerti
7) Tangan atau kaki gemetar
8) Merasa goyah saat berdiri
9) Merasakan kurang bergairah
10) Berkurang fungsi penghidu / penciuman
11) Keluar air liur berlebihan
 Faktor yang memperingan gejala: istirahat, tidur, suasana tenang
 Faktor yang memperberat gejala: kecemasan, kurang istirahat
 Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap
pengobatan.
Anammesis yang mengarahkan pada penyebab lain:
 Riwayat stroke
 Riwayat trauma kepala
 Riwayat infeksi otak
 Riwayat ada tumor otak

7
 Riwayat gangguan keseimbangan
 Riwayat mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat anti
muntah, obat psikosis
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengamatan saat pasien duduk:
 Tremor saat istirahat, terlihat di tangan atau tungkai
bawah.
 Ekspresi wajah seperti topeng / face mask (kedipan mata
dan ekspresi wajah menjadi datar),
 Postur tubuh membungkuk,
 Tremor dapat ditemukan di anggota tubuh lain (meskipun
relatif jarang), misalnya kepala, rahang bawah, lidah, leher
atau kaki.
b. Pemeriksaan bradikinesia:
 Gerakan tangan mengepal-membuka-mengepal dan
seterusnya berulangulang, makin lama makin berkurang
amplitudo dan kecepatannyanya.
 Gerakan mempertemukan jari telunjuk-ibu jari (pada satu
tangan) secara berulang-ulang makin lama makin
berkurang amplitudo dan kecepatannyanya.
 Tulisan tangan makin mengecil.
 Kurang trampil melakukan gerakan motorik halus, seperti
membuka kancing baju.
 Ketika berbicara suara makin lama makin halus, dan
artikulasi mejadi tidak jelas, kadang-kadang seperti gagap.
c. Pengamatan saat pasien berjalan:
 Kesulitan / tampak ragu-ragu saat mulai berjalan
(hesitancy), berjalan dengan kaki diseret (shuffling), jalan
makin lama makin cepat (festination),

8
 Ayunan lengan berkurang baik pada 1 sisi anggota gerak
maupun di keduanya.
d. Ditemukan rigiditas pada pemeriksaan tonus otot: gerakan
secara pasif oleh pemeriksa, dengan melakukan fleksi-ekstensi
secara berurutan, maka akan dirasakan tonus otot seperti ‘roda
gigi’. Biasanya dikerjakan di persendian siku dan lengan.
e. Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi : pasien ditarik
dari belakang pada kedua bahunya untuk melihat apakah pasien
tetap mampu mempertahankan posisi tegak.
f. Pemeriksaan fisik lain untuk menemukan tanda negatif dari
Penyakit Parkinson:
 Pemeriksaan refleks patologis: refleks patologis negatif
 Pemeriksaan gerakan bola mata ke atas: gerakan
okulomotor normal
 Pemeriksaan tekanan darah postural
 Pemeriksaan fungsi otonom, misalnya pengontrolan miksi
apakah terdapat inkontinensia
 Pemeriksaan fungsi serebelum, misalnya ataksia saat
berjalan
 Pemeriksaan fungsi kognitif yang muncul pada permulaan
penyakit.
3. Kriteria Diagnosis
Penyakit parkinson adalah diagnosis klinis. Tidak terdapat
biomarker laboratoriumdan temuan rutin pada Magnetic Resonance
Imaging (MRI) ataupun Computed Tomography (CT Scan). Adapun
kriteria diagnosis yang dipakai di Indonesia adalah kriteria Hughes
(1992):
A. Gejala klinis kelompok A
1) Didapatkan 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motoric:
tremor, rigiditas, bradikinesia, atau

9
2) 3 dari 4 tanda motoric: tremor, rigiditas, bradikinesia dan
instabilitas postural.
B. Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa
alternatif, terdiri dari:
1) Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
2) Fenomena tak dapat bergerak (freezing) pada 3 tahun
pertama
3) Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan)
dalam 3 tahun pertama
4) Demensia sebelum gejala motoric pada tahun pertama
Dari kriteria tersebut, dapat ditegakkan diagnosis possible,
probable, dan definit dari Parkinson.
 Possible, bila didapatkan paling sedikit 2 dari gejala kelompok
A dimana salah satu di antaranya adalah tremor atau
bradikinesia dan tidak terdapat gejala kelompok B, lama gejala
kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap levodopa atau
dopamine agonis.
 Probable, bila didapatkan paling sedikit 3 dari 4 gejala
kelompok A, dan tidak terdapat gejala dari kelompok B, lama
penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon jelas terhadap
levodopa atau dopamine agonis.
 Definit, bila memenuhi semua kriteria probable dan
pemeriksaan histopatologis yang positif.
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat
ringannya penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis
berdasarkan Hoehn and Yahr (1967), yaitu:
 Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang
ringan, terdapat gejala yang mengganggu, tetapi menimbulkan
kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak,
gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman)

10
 Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan
minimal, sikap/cara berjalan terganggu
 Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai
terganggu saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang
 Stadium 3: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan
hanya untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak
mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan
stadium sebelumnya
 Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total,
tidak mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu.
2.8 Tatalaksana
Pada stadium penyakit masih awal dimana gejala belum menyebabkan
gangguan fungsional yang berarti bagi pasien maka terapi farmakologi
mungkin belum diperlukan. Keputusan memulai terapi farmakologi pada
pasien dengan penyakit Parkinson harus disesuaikan individu dengan tujuan
mengurangi gejala motorik dan memperbaiki kualitas hidup tanpa
menyebabkan efek samping. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan
untuk memulai terapi adalah beratnya gejala, apakah gejala mempengaruhi
tangan dominan, kemampuan untuk meneruskan bekerja, biaya dan pilihan
pasien (setelah pasien diberikan informasi).
Dalam penatalaksanaan penyakit Parkinson, pengobatan
dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu bekerja pada system
dopaminergic, system kolinergik, dan system glutamatergik. Ketiga macam
pengobatan ini memiliki tujuan yang sama, yaitu memperbaiki
keseimbangan neurotransmitter asetilkolin dan dopamine sehingga
mengurangi gejala motorik dari penyakit Parkinson.
1. Stadium Penyakit Awal
 Pasien dengan gejala awal penyakit Parkinson dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan dengan levodopa yang
dikombinasikan dengan inhibitor dopa dekarboksilase untuk

11
mencegah levodopa tidak diubah menjadi dopamine di luar otak
oleh dopa dekarboksilase.
 Pasien dengan gejala awal penyakit parkinson dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan dengan oral/transdermal
agonis dopamine (pramipexole, ropinirole, rotigotine). Agonis
dopamin juga sebagai tambahan levodopa pada pasien yang
memburuk dan pada mereka yang mengalami fluktuasi dalam
respon terhadap levodopa.
 Pasien dengan gejala awal penyakit parkinson dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan dengan inhibitor monoamine
oksidase B. Inhibitor monoamine oksidase B seperti rasagiline
dan selegiline memberikan manfaat sebagai tambahan untuk
levodopa pada pasien yang mengalami fluktuasi motorik.
2. Stadium Lanjut
 Antikolinergik menghambat sistem kolinergik di ganglia basal
dan menghambat aksi neurotransmitter otak yang disebut
asetilkolin. Obat ini mampu membantu mengoreksi
keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat
mengurangi gejala tremor. Ada dua preparat antikolinergik yang
banyak digunakan untuk penyakit parkinson, yaitu
thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin). Preparat
lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah biperidon
(akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine (kamadrin).
 Inhibitor Catekol-o-metil transferase (COMT) dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit parkinson tingkat
lanjut yang memiliki fluktuasi motorik. COMT inhibitor seperti
entacapone dan tolcapone juga dapat digunakan untuk
meningkatkan waktu paruh levodopa, sehingga memberikan
efek levodopa ke otak dalam waktu yang lebih lama.
 Antagonis glutamate (amantadine), berperan sebagai pengganti
dopamine, tetapi bekerja di bagian lain otak. Obat ini dulu

12
ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui dapat
menghilangkan gejala penyakit Parkinson yaitu menurunkan
gejala tremor, bradikinesia, dan fatigue pada awal penyakit
Parkinson dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik
(fenomena on-off) dan diskinesia pada penderita Parkinson
lanjut. Dapat dipakai sendirian atau sebagai kombinasi dengan
levodopa atau agonis dopamine. Efek sampingnya dapat
mengakibatkan mengantuk.
 Pembedahan fungsional palidotomi. Oleh karena sebagian besar
gejala-gejala penyakit Parkinson disebabkan oleh peningkatan
input inhibisi dari nuclei basalis ke thalamus dan korteks
motoric prasentral, pembedahan lesi pada globus pallidus
(pallidotomi) efektif untuk mengurangi tanda-tanda Parkinson.
Saat ini, tindakan tersebut hanya terbatas pada pasien-pasien
yang tidak memberikan reaksi terhadap terapi medis.
 Non farmakologi: fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan
bahasa.

13
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pasien datang untuk kontrol rutin penyakit


yang dideritanya sejak 5 tahun lalu. Pasien rutin mengonsumsi obat levodopa 4 x
100 mg, pramipexole 3 x 0,375 mg, trihexyphenidyl 2 x 2 mg sejak 3 tahun yang
lalu. Keluhan yang dirasakan pasien adalah kaki dan tangannya sering kram.
Pasien juga merasa kepalanya pusing mengambang. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan resting tremor di kedua tangan, cogwheel rigidity di persendian siku
kedua tangan, bradikinesia. Diagnosis klinis Sindrom Parkinson dengan gejala
resting tremor (+), rigiditas (+), bradikinesia (+). Diagnosis topis substansia nigra.
Diagnosis etiologis degenerasi neuron di substansia nigra.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta. 2016.


2. Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik. –Ed. 7. Jakarta: EGC, 2011.
3. Ginsberg Lecture Notes: Neurologi. –Ed. 8 Jakarta: Erlangga, 2008.
4. Laksono S Qea. Persentase Distribusi Penyakit Genetik dan Penyakit Yang
Dapat Disebabkan Oleh Faktor Genetik Di RSUD Serang, 2011.
5. Thomas, B and M. Flint Beal. Parkinson’s Disease. Review issue: Human
Molecular Genetics. 2007; 16: 1-12.
6. Sunaryati, Titiek. Penyakit Parkinson. Jurnal Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya, 2011.
7. Canadian Guideline on Parkinson’s disease, Can J Neurol Sci. 2012; 39:
Suppl 4:S1-S30.
8. Consensus Guideline for Treatment of Parkinson Disease. Movement
Disorders Concil. Malaysia Society of Neuroscience. 2012.
9. Diagnosis and pharmacological management of Parkinson’s disease. A
national clinical guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines Network.
2010.
10. Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI. 2013 Buku Panduan
Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak Lainnya, Desantara Utama.
11. National Institute for Health and Clinical Excellence – Parkinson”s Disease:
diagnosis and management in primary and secondary care. June 2006.

15

Anda mungkin juga menyukai