Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENGERTIAN KODE ETIK

Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga aturan profesional tertulis yang
secara tegas menyatakan apa yang benar & baik & apa yang tidak benar & tidak baik bagi
profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang
harus dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari.

Penjelasan kode etik yang lainnya atau secara singkatnya definisi kode etik yaitu
suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan / suatu
pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.

Pengertian kode etik yang lainnya yaitu, merupakan suatu bentuk aturan yang tertulis,
yang secara sistematik dengan sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada &
ketika dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi berbagai macam
tindakan yang secara umum dinilai menyimpang dari kode etik tersebut.

Tujuan kode etik yaitu supaya profesional memberikan jasa yang sebaik-baiknya
kepada para pemakai atau para nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi
perbuatan dari yang tidak profesional.

Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan yang naluriah,
yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa serta perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan
tersebut terbentuk dari masing-masing orang bukan karena suatu paksaan. Dengan demikian
tenaga profesional merasa jika dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan
rusak & yang rugi dia sendiri.

Kode etik bukanlah merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman
maka kode etik mungkin menjadi usang / sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti
misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), sejak dahulu belum
tercantum dalam kode etik kedokteran tapi kini sudah dicantumkan.

Kode etik sendiri disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing dari profesi
mempunyai kode etik tersendiri. Seperti misalnya kode etik guru, pustakawan, dokter,

1
pengacara dan sebagainya. Pelanggaran kode etik tidaklah diadili oleh pengadilan, sebab
melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contohnya untuk Ikatan
Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Jika seorang dokter dianggap telah
melanggar kode etik tersebut, maka ia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran
Indonesia, bukan diperiksa oleh pengadilan.

2
BAB II

PENTINGNYA PENGEMBANGAN KODE ETIK DALAM DUNIA PROFESI

Ada beberapa alasan mengapa kode etik perlu untuk dibuat, antara lain adalah
(Adams, dkk, dalam Ludigdo, 2007):

Kode etik merupakan suatu cara untuk memperbaiki iklim organisasional sehingga
individu-individu dapat berlaku secara etis.

Kontrol etis diperlukan karena sistem legal dan pasar tidak cukup mampu
mengarahkan perilaku organisasi untuk mempertimbangkan dampak moral dalam setiap
keputusan bisnisnya.

Perusahaan memerlukan kode etik untuk menentukan status bisnis sebagai sebuah
profesi, dimana kode etik merupakan salah satu penandanya.

Kode etik dapat dipandang sebagai upaya menginstitusionalisasikan moral dan nilai-
nilai pendiri perusahaan, sehingga kode etik tersebut menjadi bagian dari budaya
perusahaan dan membantu sosialisasi individu baru dalam memasuki budaya tersebut.

Kode etik berperan sangat penting pada suatu profesi. Agar profesi dapat berjalan
dengan benar maka perlu diikat dengan suatu norma tertulis yang disebut dengan kode etik
profesi. Kode etik profesi dapat diubah seiring dengan perkembangan zaman yang mengatur
diri profesi yang bersangkutan dan perwujudan nilai moral yang hakiki dan tidak dipaksakan
dari luar. Jadi kode etik diadakan sebagai sarana kontrol sosial dan untuk menjaga martabat
dan kehormatan profesi serta melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan atau
penyalahgunaan keahlian.

Dampak yang timbul jika tidak diciptakannya kode etik profesi :

1. Terjadinya penyalahgunaan profesi

2. Kemungkinan mengabaikan tanggung jawab dari profesi nya karna tidak ada pedoman
dalam suatu organisasi

3
3. Memungkinkan setiap individu untuk mendahului kepentingan pribadinya contohnya
para pejabat yang korupsi

4. Jika tidak ada nya kode etik profesi seseorang dapat memberikan image yang buruk dari
profesi yang ditekuninya kepada masyarakat.

BAB III

MENGENAI ETIKA DALAM EKSPERIMEN PSIKOLOGI

A. Eksperimen Kepatuhan

The Milgram Experiment, atau Eksperimen Kepatuhan Pada Sosok Otoritas


(Experiment on Obedience to Authority Figures) merupakan salah satu eksperimen paling
kontroversial di dunia psikologi. Kontroversial bukan hanya karena metodenya yang sering
dianggap melanggar etika, tapi juga karena eksperimen ini berhasil mengungkap sisi gelap
manusia.
Eksperimen Milgram merupakan rangkaian awal dari eksperimen psikologi sosial
yang dilakukan oleh psikolog Stanley Milgram dari Yale University, untuk mengukur
keinginan subjek penelitian dalam mematuhi tokoh otoritas yang memberikan mereka
instruksi untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani pribadi.
Eksperimen mulai pada bulan Juli 1961, tigabulan setelah mulainya pengadilan penjahat
perang Adolf Eichmann di Jerussalem. Milgram menyusun eksperimennya untuk menjawab
pertanyaan : Mungkinkah Eichmann dan jutaan kaki tangannya pada peristiwa holocaust
(pembantaian Yahudi sewaktu Perang Dunia ke-2) hanya semata-mata mengikuti perintah?
Dapatkah kita mneyebut mereka semua hanya antek-antek belaka?
Sebelum melakukan eksperimen, Milgram mengadakan pemungutan suara pada 40
psikolog menanyakan kepada mereka pada titik mana mereka percaya subjek-guru akan
berhenti memberikan kejutan listrik dan menentang eksperimen. Semua respondden
pemungutan suara percaya bahwa hanya sedikit orang sadis (sekitar 1,2%) dari subjek
perumpamaan akan memberikan kejutan maksimum 450 volt. Milgram juga secara informal
menanyai koleganya dan menemukan bahwa mereka juga yakin bahwa hanya sedikit subjek
yang akan sampai pada tegangan yang sangat kuat. Mereka memberi gambaran kasar kira-
kira satu subjek dalam seribu. Pada praktiknya, 65% subjek sepenuhnya patuh untuk

4
melaksanakan kejutan maksimum sampai ketika mereka diperintahkan untuk berhenti.
Presentasi ini tidak berubah ketika kelompok yang diuji adalah perempuan.
B. Eksperimen Penjara Stanford

Percobaan ini dilakukan di sebuah penjara buatan di Fakultas Psikologi di Universitas


Stanford.Penjara tersebut dibuat menyerupai penjara sungguhan, dengan sel penjara yang
gelap tanpa adanya jendela dan tanpa adanya jam sehingga para subjek percobaan tidak
mengetahui waktu yang telah berlalu. Selanjutnya seluruh percobaan ini dilakukan persis
seperti kejadian nyata. Para sukarelawan yang telah ditetapkan menjadi "tahanan" didatangi
kerumahnya dengan mobil polisi sungguhan, ditangkap, digeledah dan diborgol didepan
umum. Sesampainya di penjara, mereka digeledah lagi dengan menelanjangi masing-masing
tahanan kemudian dimasukkan ke dalam sel penjara dengan ditutup matanya dan dibiarkan
beberapa saat. Setelah itu mereka dirantai kakinya dan dipakaikan baju penjara dengan kode
masing-masing di punggung. Hal tersebut dilakukan untuk mereplika perlakuan, pelecehan
dan penghinaan yang sama yang didapat tahanan sungguhan.

Hasil percobaan

Pada awalnya, percobaan ini direncanakan untuk berlangsung selama 14 hari namun
pada hari yang keenam percobaan ini terpaksa harus diberhentikan karena perilaku para
"penjaga" penjara yang semakin kejam dan para "tahanan" yang mengalami tekanan secara
emosional. Hanya dalam waktu satu hari, subjek percobaan menjiwai peran masing-masing
sebagai penjaga dan tahanan seolah-olah itu bukan eksperimen dan mereka berada dalam
penjara asli. Di hari kedua, beberapa tahanan memohon untuk dikeluarkan dari tempat
tersebut bahkan dalam waktu lima hari terdapat sepuluh orang tahanan yang dibebaskan.
Percobaan ini dihentikan setelah mendapatkan protes dari psikolog Universitas California,
Berkeley bernama Christina Maslach yang kemudian menjadi istri Dr. Zimbardo.

Selama eksperimen berlangsung, tahanan dan penjaga penjara menjalani dengan


sungguh-sungguh peran yang diberikan bagi mereka sekalipun mereka menyadari kalau ini
hanyalah percobaan belaka. Melalui percobaan ini, Zimbardo menyimpulkan bahwa orang-
orang biasa, yang sehat secara psikologis, dapat melakukan kejahatan apabila diperhadapkan
di situasi yang memungkinkan mereka untuk melakukannya.

5
BAB IV

TEORI ETIKA

A. Etika Deskriptif
Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap
dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sbagai sesuatu yang
bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan
tnatang prilaku atau siikap yang mau diambil. Etika deskriptif merupakan penggambaran dan
penelaahan secara utuh dan kritis tentang tingkah laku moral manusia secara universal yang
dapat kita temui sehari - hari dalam kehidupan masyarakat. Cakupan analisanya berisikan
sejumlah indikator - indikator fakta actual yang terjadi secara apa adanya terhadap nilai dan
perilaku manusia dan merupakan suatu situasi dan realita budaya yang berkembang di
masyarakat. Hal hal yang berkaitan dengan adapt istiadat , kebiasaan ,anggapan anggapan
baik dan buruk tenggang sesuati hal,tindakan tindakan yang tidak boleh dilakukan dan
boleh dilakukan oleh individu tertentu ; dalam kebudayaan kebudayaan dan subkultur
subkultur tertentu yang terjadi dalam suatu periode sejarah adalah merupakan kajian
moralitas dalam Etika Deskriptif. Telaah dalam Etika Deskriptif tidak memberikan
interpretasi secara tajam dan lugas, namun tidak melukiskan suatu fakta yang sedang terjadi
dan berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Etika Deskriptif hanya membahas dan
memberikan analisa penilaiannya atas kejadian tertentu.

B. Etika Normatif
Etika normatif adalah studi tentang tindakan etis. Ini adalah cabang dari etika filosofis
yang menyelidiki serangkaian pertanyaan yang timbul ketika mempertimbangkan bagaimana
orang harus bertindak, secara moral. etika normatif berbeda dari meta-etika karena mengkaji
standar untuk kebenaran dan kesalahan dari tindakan, sedangkan meta-etika mempelajari arti
dari bahasa moral dan metafisika fakta moral. etika normatif juga berbeda dari etika
deskriptif, sebagai yang terakhir adalah penyelidikan empiris kepercayaan moral masyarakat.
Dengan kata lain, etika deskriptif akan peduli dengan menentukan apa proporsi orang percaya

6
bahwa pembunuhan selalu salah, sedangkan etika normatif berkaitan dengan apakah itu benar
untuk memegang keyakinan seperti itu. Oleh karena itu, etika normatif kadang-kadang
disebut preskriptif, bukan deskriptif.
Ada perbedaan pendapat tentang apa tepatnya memberikan tindakan, aturan, atau
disposisi kekuatan etika. Secara garis besar, ada tiga bersaing pandangan tentang bagaimana
pertanyaan moral yang harus dijawab, bersama dengan posisi hybrid yang menggabungkan
beberapa elemen dari masing-masing. etika moralitas berfokus pada karakter mereka yang
bertindak, sedangkan kedua etika deontologis dan konsekuensialisme fokus pada status
tindakan, aturan, atau disposisi itu sendiri. Yang terakhir dua konsepsi etika sendiri datang
dalam berbagai bentuk.
Etika Kebajikan
Kebajikan etika, dianjurkan oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas, berfokus
pada karakter yang melekat pada seseorang bukan pada tindakan spesifik. Telah ada
kebangkitan yang signifikan dari etika moralitas dalam setengah abad terakhir,
melalui karya filsuf seperti G. E. M. Anscombe, Philippa Foot, Alasdair Macintyre,
Mortimer J. Adler, Jacques Maritain, Yves Simon, dan Rosalind Hursthouse
Etika Kewajiban (Deontologis)

Deontologis berasal dari bahasa Yunani Deon artinya kewajiban. Artinya etika
deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, suatu
tindakan itu baik bukan dinilai dari tindakan tersebut, melainkan berdasarkan tindakan
itu sendiri sebagai baik pada dirinya, motivasi, kemauan dengan niat baik dan
dilaksanakan berdasarkan kewajiban dan bernilai moral.
Etika Konsekuensialisme
Menjelaskan bahwa benar salahnya tindakan tersebut justru tergantung dari
tujuan yang hendak dicapai atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan
tersebut. Suatu tindakan dinilai baik kalau berakibat atau bertujuan mencapai sesuatu
yang baik pula.
Etika ini terbagi dalam dua aliran, yaitu:

Egoisme
Artinya pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan
untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri atau
menekankan kepentingan dan kebahagiaan untuk pribadi berdasarkan
hal yang menyenangkan dan atau hal yang mendatangkan kebahagiaan
bagi dirinya sendiri.

7
Utilitarianisme
Menilai perbuatan baik buruknya suatu tindakan atau kegiatan
berdasarkan tujuan atau akibat dari tindak tersebut bagi kepentingan
orang banyak atau dinilai baik karena dapat memberikan kegunaan
atau manfaat perorangan bagi banyak orang.

BAB V
META-ETIKA

Metaetika, atau disebut juga etika kritikal (critical ethics), merupakan kajian tentang
apa makna istilah dan teori etika sebenarnya. Meta berarti setelah atau luas, dan metaetika
menunjukkkan pandangan tajam, luas, dan dalam terhadap keseluruhan tema etika. Jadi kita
dapat mendefenisikan metaetika sebagai kajian tentang sumber dan makna dari konsep etika.

Terdapat dua aliran pemikiran, yaitu:

8
a. Realisme, menyatakan bahwa nilai-nilai moral merupakan property intrinsic dunia
dan prinsip-prinsip etika dengan mudah dapat ditemukan atau dirasakan secara
intuitif.

b. Non-realisme, menyatakan bahwa nilai-nilai moral merupakan hasil kreasi, tergantung


pada perasaan dan tujuan orang-orang sehubungan dengan diri mereka dari orang lain
(emotivisme dan preskriptivisme) atau sistem kepercayaan mereka (relativisme
budaya atau individu).

1. Kajian Metafisika : Objektivisme dan Relativisme

Kajian metafisika dikenal juga sebagai kajian realisme dan metaetika. Metafisika
merupakan kajian tentang segala sesuatu yang berada di alam semesta. Komponen metafisika
dan metaetika merupakan pembahasan khusus apakah nilai-nilai moral merupakan kebenaran
abadi yang muncul dalam realitas spirit, atau hanya berupa konvensi manusia. Terdapat dua
arah diskusi umum dalam topik ini, pertama yang disebut dari dunia lain (other wordly)
dan dari dunia ini (this wordly).

Pendukung pandangan dari dunia lain umumnya meyakini bahwa nilai-nilai moral
adalah sesuatu yang objektif dalam pengertian bahwa hal tersebut muncul dari dunia spiritual
di luar konvensi manusia yang subjektif. Mereka juga percaya bahwa nilai-nilai etika
merupakan sesuatu yang mutlak dan abadi, tidak pernah berubah dan berlaku universal sejauh
dapat diterapkan pada semua makhluk rasional di seluruh dunia sepanjang waktu. Pendekatan
yang kadang disebut voluntarism ini terinsipirasi dari pemikiran bahwa Tuhan yang Maha
Kuasa mengontrol segalanya.

Pendekatan kedua status metafisika moralitas yang lebih bersifat dari dunia ini
mengikuti tradisi filsafat skeptis, seperti yang dikatakan oleh filsuf Yunani Sextus Empiricus
(abad ke-3 M), yang menolak status objektif dari nilai-nilai moral. Secara teknis, penganut
pandangan skeptis ini tidak menolak nilai-nilai moral itu sendiri, namun hanya menolak
bahwa nilai-nilai ini muncul dalam bentuk objek spiritual atau sebagai perintah suci dari
pikiran Tuhan. Nilai-nilai moral, menurut mereka, adalah benar-benar penemuan manusia,
karenanya posisi ini disebut relativisme moral.

Terdapat dua bentuk dari relativisme moral. Pertama relativisme individual, yang
meyakini bahwa orang secara individual menghasilkan standar moral itu sendiri. Pendekatan

9
kedua adalah relativisme kultural yang mempertahankan bahwa moralitas berdasar pada
persetujuan masyarakat, dan bukan merupakan prefensi dari orang secara individual.

2. Kajian Psikologik Metaetika

Kajian kedua dari metaetika membahas basis psikologis dari penilaian dan perilaku
moral, khususnya pemahaman tentang apa yang memotivasi moralitas manusia. Beberapa
menjawab pertanyaan mengapa bermoral? adalah untuk menghindari hukuman,
mendapatkan pujian, untuk mendapatkan kebahagiaan, untuk dihargai, atau untuk
menyesuaikan diri dengan masyarakat.

a. Egoisme dan Altruisme

Pada abad ke 17 filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) meyakini bahwa


banyak, jika tidak semua, tindakan kita didasari oleh keinginan untuk mementingkan
diri sendiri. Pandangan ini disebut dengan psikologi egoisme memelihara pandangan
bahwa kepentingan yang berorientasi pada diri sendiri merupakan motivasi mendasar
dari segala tindakan manusia. Psikologi egoisme dekat dengan psikologi hedonisme,
yang merupakan pandangan bahwa kenikmatan merupakan tenaga pendorong khusus
dibelakang segala tindakan kita.

Pada abad ke 18, filsuf Inggris Joseph Butler (1692-1759) setuju bahwa
instink mementingkan diri sendiri dan kenikmatan memancing kebanyakan prilaku
kita. Namun, Butler menyatakan bawha manusia memiliki kapasitas psikolog inheren
untuk memperlihatkan kebaikan kepada orang lain. Pandangan ini disebut psikologi
altruisme, yang menyatakan bahwa paling sedikit beberapa tindakan manusia di
motivasi oleh insting berbuat baik.

b. Emosi dan Penalaran

Kajian kedua dari psikologi moral adalah perdebatan tentang peran penalaran
yang memotivasi tindakan moral, apakah pikiran rasional atau ekspresi perasaan. Pada
salah satu sisi perdebatan, filsuf Inggris abad ke 18, David Hume (1711-1776)
menyatakan bahwa penilaian moral melibatkan emosi, dan bukan penalaran. Kita
dapat menghimpun segala penalaran yang kita inginkan, namun penalaran saja tidak

10
akan menghasilkan penilaian moral. Diperlukan reaksi emosional khusus untuk
membuat keputusan moral.

Filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant (1724- 1804), menyatakan


pendapatnya. Menurutnya, walaupun faktor-faktor emosioanal sering mempengaruhi
perilaku kita, namun kita harus menahan diri dari goncangan semacam itu. Alih-alih,
tindakan moral sejati hanya dimotivasi oleh penalaran ketika bebas dari emosi dan
keinginan. Pendekatan rasionalis terkini, yang ditawarkan oleh Kurt Baier (1917-
.) , diajukan sebagai oposisi langsung dari teori emotif dan preskriptif yang
dinyatakan oleh A. J Ayer dan kawan-kawan Baier lebih luas memusatkan diri pada
proses penalaran dan argumentasi yang mengambil tempat ketika membuat pilihan
moral. Paling tidak, segala pilihan moral kita dilatarbelakangi oleh berbagai alasan
atau justifikasi. Maka menurut Baier, keputusan moral yang sesuai melibatkan
pemberian alasan-alasan terbaik yang mendukung tindakan dibandingkan yang
mencegah tindakan tersebut.

c. Moralitas Laki-laki dan Perempuan

Diskusi masalah ini berfokus kepada dua pernyataan : (1) moralitas tradisional
berpusat pada laki-laki, (2) terdapat perspektif perempuan yang unik di dunia yang
dapat dibentuk dalam teori nilai. Menurut banyak filsuf feminis, moralitas tradisional
berpusat pada laki-laki , karena menggunakan model praktik yang se cara tradisional
didominasi oleh laki-laki, seperti mendapatkan harta kepemilikan, melakukan kontrak
bisnis, dan mengatur masyarakat. Sistem aturan yang kaku yang dibutuhkan untuk
perdagangan dan pemerintahan diambil sebagai model sistem kesetaraan yang kaku
dari aturan moral, seperti daftar dari hak dan kewajiban. Sebaliknya, perempuan
secara tradisional memiliki peran pengasuhan dengan membesarkan anak dan
mengawasi kehidupan rumah tangga. Tugas-tugas ini menuntut lebih sedikit aturan
yang harus dipenuhi, dan lebih banyak tindakan spontan dan kreatif. Jika
menggunakan pengalaman perempuan sebagai model dari teori moral, maka basis
moralitas seharusnya perhatian spontan terhadap orang lain yang harus sesuai pada
masing-masing lingkungan yang unik. Pada model ini, agen menjadi bagian dari
situasi dan bertindak penuh kepedulian dalam konteks tersebut. Hal ini berlawanan
dengan model moralitas laki-laki dimana agen merupakan aktor mekanis yang
melaksanakan tugas yang dituntut kepadanya, tetapi tetap dapat menjaga jarak atau

11
tidak terpengaruh oleh situasi pendekatan moral berbasis kepedulian, seperti biasanya
disebut, ditawarkan oleh pakar etika feminis sebagai pengganti atau pelengkap sistem
moral tradisional laki-laki.

BAB VI

ETIKA TERAPAN

12
Etika Khusus atau Etika Terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip atau norma-
norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma dan
prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia yang lebih
khusus. Etika khusus di sini memberi pegangan, pedoman dan orientasi praktis bagi setiap
orang dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang dijalaninya. Etika khusus juga
merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang mempersoalkan
praktik, kebiasaan dan perilaku tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai
dengan norma umum tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan
tersebut di pihak lain.

A. Prinsip-Prinsip Normatif dalam Etika Terapan

1. Manfaat pribadi, mengakui sejauh mana suatu tindakan menghasilkan konsekuensi


yang bermanfaat bagi individu yang dipertanyakan.

2. Manfaat sosial, mengakui sejauh mana suatu tindakan menghasilkan manfaat bagi
masyarakat.

3. Prinsip kebajikan, membantu mereka yang membutuhkan.

4. Prinsip perwalian, membantu orang lain untuk mendapatkan kepentingan terbaik


mereka, jika mereka tidak dapat memperolehnya sendiri.

5. Prinsip kerugian, jangan merugikan orang lain.

6. Prinsip kejujuran, jangan menipu orang lain.

7. Prinsip kesesuaian hokum, jangan melanggar hokum.

8. Prinsip otonomi, menghargai kemerdekaan pribadi terhadap tindakan atau tubuh fisik
seseorang.

9. Prinsip keadilan, menghargai hak hak pribadi untuk mendapatkan proses peradilan,
kompensasi yang adil dari kerugian yang dilakukan, dan distribusi manfaat yang adil.

10. Hak hak asasi, menghargai hak hak manusia untuk hidup, mendapatkan informasi,
ruang pribadi, kebebasan berekspresi dan keselamatan.

13
Prinsip prinsip di atas menyajikan suatu spectrum prinsip prinsip normatif
tradisional yang berasal dari pendekatan konsekuensialis maupun etika kewajiban. Dua
prinsip awal, yaitu manfaat pribadi dan manfaat sosial, merupakan prinsip tindakan
konsekuensialis karena berhubungan dengan konsekuensi dari tindakan yang berpengaruh
baik pada individu maupun masyarakat. Prinsip prinsip berikutnya berdasarkan etika
kewajiban. Prinsip kebajikan, perwalian, kerugian, kejujuran dan kesesuaian hokum
berdasarkan kewajiban kita pada orang lain. Prinsip otonomi, keadilan dan berbagai hak
berdasarkan hak hak moral.

B. Etika Profesional

Profesionalisme merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk


meningkatkan kemampuannya secara terus menerus. Profesionalisme adalah sebutan yang
mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk
senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Dalam bekerja, setiap
manusia dituntut untuk bisa memiliki profesionalisme karena di dalam profesionalisme
tersebut terkandung kepiawaian atau keahlian dalam mengoptimalkan ilmu pengetahuan,
skill, waktu, tenaga, sember daya, serta sebuah strategi pencapaian yang bisa memuaskan
semua bagian/elemen. Profesionalisme juga bisa merupakan perpaduan antara kompetensi
dan karakter yang menunjukkan adanya tanggung jawab moral.

Syarat-syarat yang diperlukan dalam profesioanlisme :

Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang
hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai,
sehingga kinerjanya didasarkan pada keilmuan yang dimilikinya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Masa pendidikan atau masa belajar yang
panjang (minimal 3 tahun)).

Ada dukungan organisasi profesi (organisasi dalam bidangnya).

Penghasilan yang menjamin hidup (seorang yang bekerja dibidang profesi harus
dibayar tetap atauada penghasilan yang tetep).

14
Ada dukungan masyarakat(stake holder). Suatu profesi selain dibutuhkan oleh
masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga
masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap setiap efek yang
ditimbulkannya dari pekerjaan profesinya itu.

Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang
pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin
tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin
tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya. (Mampu bekerja secara
profesional, mengikuti aturan-aturan yang ditentukan).

Ada kode etik (tata tertip atau cara kerja yang profesional).

Perbedaan Profesi dengan Profesionalisme :

Profesi :

Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.

Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).

Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.

Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.

Profesional :

Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.

Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.

Hidup dari situ.

Bangga akan pekerjaannya.

15
BAB VII
KODE ETIK DALAM PSIKOLOGI

Kode Etik Psikologi Indonesia merupakan ketentuan tertulis yang diharapkan menjadi
pedoman dalam bersikap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh Psikolog dan
kelompok Ilmuwan Psikologi, dalam menjalankan aktivitas profesinya sesuai dengan
kompetensi dan kewenangan masing-masing, guna menciptakan kehidupan masyarakat yang
lebih sejahtera.
Peneguhan otoritas profesi Psikologi, dibangun atas dasar keahlian di bidang
Psikologi, yang menjadi bingkai pembatas terhadap pengaruh otoritas dari komunitas di luar
psikologi, dalam menetapkan kaidah-kaidah nilai yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kesejahteraan psikologis umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Melalui peneguhan
kekuasaan itulah, maka akan didapatkan pengakuan atas profesi dan keahlian pada bidang
psikologi, yang membatasi campur tangan pihak-pihak di luar disiplin ilmu Psikologi.
Konsekuensinya akan menjadikan komunitas psikologi sebagai kalangan yang eksklusif dan
otonom, dalam menetapkan ukuran- ukuran nilai untuk mewujudkan kesejahteraan psikologis
bagi umat manusia.
Guna menghindari penyimpangan sebagai akibat dari peneguhan kekuasaan profesi,
maka Psikolog dan Kelompok Ilmuwan Psikologi harus memiliki tanggungjawab khusus
yang mewajibkan mereka bertindak demi kesejahteraan dan kepentingan pengguna layanan
psikologi. Tanggung jawab khusus inilah yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan
Kode Etik Psikologi Indonesia.
Keberadaan kode etik ini merupakan hasil refleksi etis yang selalu lentur dalam
mengakomodasikan dan beradaptasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat, sehingga
nilai- nilai yang terkandung di dalamnya selalu mengacu pada kemutakhiran. Agar
kepercayaan masyarakat semakin menguat dalam menghargai profesi psikologi, maka

16
diperlukan kepastian jaminan perwujudan dari upaya meningkatkan kesejahteraan psikologi
bagi seluruh umat manusia, yang tata nilainya dibuat oleh komunitas psikologi.
Untuk maksud dan tujuan di atas, maka Himpunan Psikologi Indonesia sebagai satu-
satunya wadah komunitas psikologi di Indonesia, telah menghimpun nilai-nilai moral yang
hakiki dalam bentuk Kode Etik Psikologi Indonesia yang difungsikan sebagai standar
pengaturan diri (self regulation) bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Kode Etik Psikologi Indonesia, pada hakekatnya merupakan
kristalisasi dari nilai moral yang bersifat universal, sehingga penyusunannya juga
memperhatikan kesepakatan internasional. Oleh karena itu, kandungan isi Kode Etik ini tidak
bertentangan dengan Kode Etik Organisasi Psikologi dari beberapa Negara.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/5061434/META_ETIKA

17
https://www.academia.edu/13433854/Etika_Normatif_Meta-etika_Applied_Ethics
https://www.slideshare.net/irvankhoerul49/makalah-kode-etik-psikologi?
from_action=save
http://dokumen.tips/documents/perlunya-pengembangan-kode-etik-dalam-dunia-
profesi.html
https://id.scribd.com/doc/28552676/Etika-Dalam-Penelitian-Psikologi-Makalah-
Kelompok-7
https://www.academia.edu/3626825/ETIKA_DESKRIPTIF
http://www.manajemen.ga/2017/01/etika-normatif.html
http://belajarkomunikasilagi.blogspot.co.id/2012/11/etika-deskriptif-dan-
normatif.html

18

Anda mungkin juga menyukai