Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PEDAULUAN

A. Latar Belakang
Hampir setiap individu melakukan mekanisme pertahan diri yang baik untuk mereduksi
perasaan tertekanm kecemasan, stress ataupun konflik, hal ini dilakukan secara sadar ataupun
tidak sadar. Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)
sebagai gambaran proses tak sadar untuk melindungi individu tersebut dari kecemasan melalui
pemutarbalikan kenyataan.
Istilah mekanisme bukan merupakan istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam
peralatan mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh
kecenderungan abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang kompleks.
Salah satu yang mendasari terjadinya proyeksi adalah mekanisme pertahanan diri (defence
mechanism). Beberapa definisi awal tentang konsep projection sebagai suatu proses defensif.
Definisi projection berdasarkan hasil penyelidikan-penyelidikan eksperimental yang
kemudian, merupakan verifikasi terhadap definisi-definisi awal, dan dikemukakannya istilah
apperception dan apperceptive distortion sebagai terminologi pengganti istilah projection (Dr.
Leopold Bellak), dengan pengertian yang tidak terbatas pada proses defensif semata-mata.
Bellak berusaha menggabungkan konsep dasar psikoanalisis, khususnya mengenai
apperceptive distortion ini, dengan konsep teori belajar dari Gestalt, melalui penyelidikan dan
eksplorasi-eksplorasi eksperimental.
Bellak mendefinisikan apperception sebagai suatu proses dinamis pada organisme di
dalam memberikan interpretasi yang berarti terhadap suatu persepsi. Definisi dan penggunaan
istilah apperception ini menyebabkan perlunya disusun suatu hipotesis kerja, yaitu bahwa ada
suatu proses apersepsi yang tidak mengadakan interpretasi terhadap persepsi (noninterpreted
perception) dan bahwa setiap interpretasi yang subjektif akan membentuk apperceptive
distortion.
Maka dapatlah kita definisikan istilah apperception tersebut sebagai suatu kondisi yang
mendekati persepsi kognitif murni yang objektif (nearly pure cognitive objective perception),
dimana kebanyakan subjek akan sepakat di dalam mendefinisikan secara eksak atau tepat suatu
stimulus, misalnya: Umumnya subjek akan sepakat untuk mengatakan bahwa gambar pada

1
kartu nomor 1 TAT, sebagai gambar seorang anak laki-laki yang sedang bermain biola. Jadi di
sini dapat kita tetapkan bahwa persepsi tersebut merupakan suatu norma, sedangkan subjek-
subjek yang mengatakan bahwa kartu tersebut berisi gambar seorang anak laki-laki di sebuah
danau (seperti yang dikatakan para penderita schizophrenia), subjek tersebut berarti
mengalami apperceptive distortion terhadap situasi stimulus pada kartu nomor 1 TAT.
Di dalam pustaka-pustaka psikoanalisis, sering dijumpai bentuk defense mechanism,
dimana proyeksi adalah merupakan proses defensif yang paling penting, namun sangatlah
sedikit penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap konsep proyeksi tersebut,
sehingga Sears mengatakan: Mungkin satu-satunya istilah yang paling tidak jelas
pengertiannya di dalam teori psikoanalisis adalah istilah proyeksi. Karena itulah dalam
makalah ini akan diuraikan mengenai apperceptive distortion dan konsep dasar psikoanalisis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kaitan apperceptive distortion dan psikoanalisis?
2. Apa saja problem khusus dalam apperceptive distortion?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk menjelaskan mengenai kaitan apperceptive distortion dan psikoanalisis
2. Untuk menguraikan apa saja problem khusus dalam apperceptive distortion

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. APPERCEPTIVE DISTORTION DAN PSIKOANALISIS


Apperceptive Psychology dan peralatan klinisnya, sebenarnya adalah merupakan sebuah
perpaduan yang berasal dari konsep psikoanalisis dan konsep-konsep psikologi nonanalitis
(teori-teori Gestalt, khususnya mengenai learning dan perception). Meskipun demikian, masih
sering dijumpai kurangnya integrasi di antara metode pendekatan kedua konsep tersebut, dan
juga kurang adanya kesepakatan pendapat diantara eksponen-eksponen psikoanalisis dan
eksponen-eksponen (pengikut-pengikut) psikologi non analitik.
Suatu karya Dr. ABT, membahas secara sistematik konsep-konsep apperceptive distortion
(projective psychology) di dalam konsep dasar psikologi analisis. Disini ditunjukan bagaimana
konsep psikoanalisis dibuktikan secara eksperimental di dalam problem-problem teori belajar
(Gestalt), khususnya mengenai apperceptive distortion.
Psikoanalisis juga merupakan suatu teori belajar, khususnya membahas masalah-masalah:
Sejarah kehidupan seseorang yang dipengaruhi oleh berbagai persepsi
Adanya hukum-hukum interaksi di antara persepsi-persepsi tersebut
Pengaruh persepsi masa lalu terhadap persepsi yang kemudian
Formulasi ini merupakan dasar berpijaknya teori-teori apperception.
Persepsi-persepsi yang dipelajari (persepsi-persepsi masa lalu), seperti yang dikemukakan
didalam teori libido, pada dasarnya suatu rangkaian genetic proposisi yang membentuk
kepribadian individu. Hukum-hukum interaksi antara persepsi masa lalu dan ingatan, oleh
Freud dikatakan sebagai dasar pembentukan simtom-simtom dan karakter-karakter pribadi.
Pengaruh persepsi masa lalu (contemporary apperception) dijelaskan Freud di dalam konsep
defense mechanism dan genetic terhadap tingkah laku sekarang (genetic interpretation of
contemporary behavior).
Misalnya:
Percept memory (ingatan masa lalu) mengenai ibu akan mempengaruhi persepsi
anak yang kemudian. Seseorang anak akan mengidentifikasi dirinya terhadap
ibunya, ia akan menerima dan menyimpan percept memory mengenai ibunya.
Disini ia akan belajar mengasosiasikan kenikmatan-kenikmatan yang diperoleh dan

3
belajar menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkan, berdasarkan
persepsi mengenai ibunya.
Persepsi tentang ibu tersebut akan menjadi suatu image yang mengarahkan
pembimbing (guiding image) di dalam tingkah lakunya yang kemudian dan ini akan
menjadi suatu bagian dari self-system si anak, atau oleh Freud disebut: Ego Ideal.
Persepsi tentang ibu akan berbeda-beda setiap tingkatan umur, dimana persepsi
dimana tingkatan umur dan persepsi yang lebih awal akan mempengaruhi persepsi
yang kemudian lagi, dan seterusnya (sampai tingkatan umur 14 tahun).
Jadi persepsi akhir tentang ibu, merupakan komposisi gabungan dari rangkaian
perspsi masa-masa sebelumnya.
Menurut teori Gestalt, komposisi gabungan tersebut akan melebihi hasil penjumlahan
masing-masing persepsi pada masa sebelumnya, dimana persepsi akhir akan mempunyai
bentuk konfigurasi yang tersendiri. Konsep Gesalt adalah bahwa While is more than the sum
of the details.
Teori ego defense mechanism pada dasarnya juga merupakan suatu teori yang bertitik tolak
dari pengertian mengenai pengaruh selektif dari persepsi masa lalu (percept memory) terhadap
persepsi yang sekarang atau kemudian. Secara hipotesis dikatakan bahwa ada hukum-hukum
interaksi diantara image masa lalu (persepsi masa lalu) dan kondisi-kondisi yang sekarang. Di
dalam konsep Gesalt yang dijelaskan secara eksperimental, dikemukakan bahwa bila suatu
good image diperkuat oleh modifikasi dari beberapa aspek bad image. Jadi disini tejadi
pengaruh-pengaruh selektif antara image-image tersebut.
Konsep dasar teori psikoanalisis menekankan pada motivasi tidak sadar, konflik, dan
symbolism sebagai konsep primer. Manusia pada hakekatnya bersifat biologis, dilahirkan
dnegan dorongan-dorongan instingtif dan perilaku merupakan fungsi mereaksi secara
mendalam terhaap dorongan-dorongan itu. Manusia bersifat tidak rasional, tidak sosial, dan
destruktif terhadap dirinya dan orang lain.
Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari
serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan
kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal
tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis. Dalam bentuknya yang asli,
terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar.

4
B. PROBLEM KHUSUS DALAM APPERCEPTIVE DISTORTION
1. Hypnosis
Hipnosis merupakan salah satu apperceptive distortion, yaitu bahwa appersepsi
subjek diubah sesaat dan sebagai akibatnya terjadilah distorsi-distorsi terhadap
appersepsi subjek tersebut. Proses hipnotik dimulai dengan terjadinya suatu
penurunan kesadaran yang bertahap sedikit demi sedikit sehingga di dalam fungsi-
fungsi appersepsi subjek yang menurun dimana fungsi-fungsi appersepsi tersebut
menjadi sempit dan terbatas pada appersepsi mengenai suara sang hipnotisnya
saja.
Proses pengeksklusifan (penyempitan) appersepsi tersebut mirip dengan seseorang
yang mendengar suara orang lain sewaktu ia sudah hampir tertidur. Di dalam teori
hipnosis dari Ferenczi dikemukakan bahwa, seorang hipnotist merupakan image orang
tua yang sedang menidurkan anaknya atau sedang menyuruh anaknya pergi tidur,
pada masa-masa lalu si subjek.Menurut konsep Bellak, terjadi suatu apperceptive
distortion mengenai sang hipnotist akibat munculnya ingatan tentang image orang
tua si subjek.
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, maka proses hipnosis akan berjalan dengan
balk bila sang hipnotist mampu menimbulkan image tentang orang tua subjek,
sehingga dapat berfungsi sebagai kontrol yang kuat, yang mempengaruhi persepsi-
persepsi subjek terhadap stimulus-stimulus yang lain, sehingga seakan-akan tidak
dirasakan subjek adanya perbedaan antara apa yang ada di dalam pikirannya dan apa
yang sesungguhnya menjadi kenyataan (realita).
2. Mass Psychological Phenomena (Fenomena psikologi yang terdapat di dalam
masa)
Proses terjadinya fenomena ini sangat mirip dengan proses hypnosis.
Di dalam Group Psychology and The Analysis of The Ego, Freud mengemukakan
bahwa setiap individu akan mengintroyeksikan massa dalam dirinya atau group sebagai
suatu faktor transitorik di dalam Ego dan Superego, dimana bila individu menjadi
salah satu anggota group, ia akan melihat segala sesuatu berdasarkan kaca mata group
atau mas sa. Dalam hal ini, group terlihat sebagai suatu figure otorita, seperti
halnya di dalam hipnosis, sehingga persepsi kelompok akan mengontrol image

5
memory. Terjadinya pengeroyokan, kekacauan- kekacauan massal, perkelahian massal,
merupakan akibat fasilitasi (dipermudah) kemunculan impuls-impuls primitif.
3. Transference
Transference merupakan hubungan emosional pasien terhadap psikoanalistnya.
Sebagai bagian yang integral di dalam hubungan emosional itu, analist paling tidak
harus berperan sebagai suatu figure yang tidak bertindak aktif (pasif) di dalam hubungan
emosional tersebut, dan dapat menahan diri untuk tidak memberikan celaan atau
pujian, ataupun reaksi-reaksi lain terhadap mood (suasana hati) pasien.
Transference terjadi bila pasien mentransferkan sentimen-sentimennya yang
terbentuk di masa-masa lalu kepada analistnya. Pasien akan mengharapkan adanya
kritik-kritik, celaan-celaan atau hukuman, atau pujian-pujian dari analist dan
seringkali akan terjadi apperceptive distortion terhadap reaksi-reaksi analist. Oleh
karena itu, salah satu tugas analist adalah menunjukkan secara logis perbedaan-
perbedaan antara distorsi-distorsi dan fakta-fakta yang ditanggapi pasien. Situasi
transference dapat digambarkan sebagai suatu peristiwadimana pasien mengalami
distorsi di dalam appersepsinya (apperceptive distorlion) terhadap analist, karena
adanya kemunculan image-image masa lalu tentang orang tuanya danfigure lain di
dalam kehidupan masa lalunya.
4. Psychoses
Pada delusi-delusi dan halusinasi-halusinasi psikotik terlihat adanya image-image
masa lalu yang mendesak sedemikian kuat untuk muncul, sehingga sangat
merusak appersepsi-appersepsi (distort the apperception) yang sekarang terhadap
dunia.
Kita mengatakan bahwa appersepsi merupakan suatu Gestalt, yaitu penjumlahan
dari berbagai appersepsi pada masa-masa sebelumnya, maka secara skematis dapat
kita katakan bahwa image ketakutan terhadap dunia, yang terbentuk di masa-masa
silam, akan sangat memberikan pengaruh yang merusak appersepsi-appersepsi yang
kemudian, sehingga dunia dirasakan teramat membahayakan dirinya (pasien)
5. Therapy
Teori terapi dari psikoanalisis dapat kita bagi menjadi beberapa tahap yang berurutan,
yaitu:

6
a.) Communication
Komunikasi antara pasien dengan therapist, adalah melalui asosiasi bebas. Melalui
asosiasi bebas ini, analist mempelajari atau menyelidiki tingkah laku pasien-pasiennya
di dalam berbagai situasi, dan berusaha menemukan sejumlah common denominator
(elemen-elemen terkecil) di dalam pola-pola tingkah laku pasien.
b.) Interpretation
Bila therapist dapat menemukan bagaimana situasi kehidupan pasien, ia akan dapat
melihat common denominator di dalam pola-pola tingkah laku pasiennya, dan
kemudian berusaha menunjukkan kepada pasien pola-pola tingkah laku yang
bagaimana yang sesuai bagi pasien di dalam mengarungi berbagai situasi kehidupan
yang sekarang.
Interpretasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
Horizontal Study
Yakni, terapis berusaha mencari suatu common denominator di dalam pola-pola
tingkah laku dan hubungan interpersonal pasien di dalam kehidupan yang
sekarang.
Vertical Study
Yakni, menggunakan asosiasi bebas ataupun cara-cara lain yang maksudnya untuk
melacak sejarah perkembangan common denominator pola-pola tingkah laku
pasien di masa-masa yang silam.
Relationship to The Therapist (Hubungan dengan Terapisnya)
Di dalam usaha melacak sejarah kehidupan pasien tersebut pada masa-masa
silamnya, hubungan pasien terhadap terapistnya amatlah penting, sehingga
memungkinkan dilakukannya analisis terhadap situasi transference (analysis of the
transference situation).
Interpretasi dimaksudkan bahwa therapist menunjukkan kepada pasien common
denominatior dalam pola-pola tingkah lakunya melalui penyelidikan secara horizontal,
vertical dan di dalam hubungan dengan therapist.
Di dalam ketiga tahap tersebut, therapist berusaha menyadarkan pasien adanya
apperceptive distortionnya terhadap situasi-situasi kehidupan.

7
Jadi interpretasi juga berisikan penunjukkan denominator-denominator
apperceptive distortion, dengan menjelaskan adanya hubungan antara percept memory
pada masa-masa kehidupan awal, di saat terjadinya apperceptive distortion tersebut.
c.) Insight
Seringkali insight dimaksudkan sebagai keadaan atau situasi dimana pasien sudah
menyadari akan keadaan mentalnya yang sedang sakit (pada pasien-pasien psikotik).
Di dalam konteks dynamic psychotherapy, insight diartikan sebagai kemampuan
pasien melihat hubungan antara simtom-simtom yang dideritanya dan apperceptive
distortion yang tidak disadarinya, yang mendasari terwujudnya simtom tersebut.
Secara lebih singkat, insight dapat didefinisikan sebagai appersepsi pasien (atau
persepsinya) terhadap common denominator di dalam pola-pola tingkah lakunya,
seperti apa yang ditunjukkan oleh therapist.
Proses insight dapat dianalisis dari 2 (dua) segi, yaitu:
Intellectual Insight
Yakni, pasien mampu melihat adanya inter relasi perbedaan antara pola-pola
horizontal dan pola-pola vertical pada dirinya. Di sini pasien melihat inter relasi
tersebut secara gestalt.
Petilan peristiwa yang terisolir akan dapat terangkum menjadi suatu memory
whole, sehingga ia akan dapat mempelajari dan melakukan penyusunan kembali
pola-pola tingkah lakunya.
Emotional Insight
Yakni, pasien mereproduksi (menunjukkan) afeksi-afeksi yang mengikuti
terjadinya intellectual insight, seperti misalnya, kelegaan (rasa plong), kecemasan,
rasa bersalah, rasa bahagia, dan lain-lain.
Jika hanya intellectual insight saja yang timbul (tanpa emotional insight),
pemberian terapi boleh dikatakan tidak membawa hasil, karena emotional insight
merupakan bagian yang esensial di dalam proses-proses terapeutik.
d.) Working Through
Yaitu merealisir insight yang telah atau baru diperolehnya, dengan melalui tahap-
tahap sebagai beriku:

8
Secara Intelektual (Intellectually)
Pasien mengaplikasikan apa yang telah dipelajarinya (di dalam proses
psikoterapeutik) di dalam berbagai situasi yang ditunjukkan therapist, ke dalam
sejumlah situasi-situasi lain.
Secara Emosionil (Therapeutically)
Pola-pola tingkah laku emosional di dalam transference, oleh pasien diaplikasikan
di dalam tingkah laku-tingkah laku emosionalnya pada situasi kehidupan yang
selanjutnya (di luar proses terapeutik).
Di Dalam Tingkah Laku (Behaviorally)
Insight yang diperoleh diterapkan di dalam situasi-situasi yang nyata, dimana
dengan suatu mental set yang baru, pasien dapat bereaksi secara lebih progresif
terhadap situasi-situasi nyata yang dihadapi, berdasarkan arah yang ditunjukkan
terapistnya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Apperceptive Psychology dan peralatan klinisnya, sebenarnya adalah merupakan sebuah
perpaduan yang berasal dari konsep psikoanalisis dan konsep-konsep psikologi nonanalitis
(teori-teori Gestalt, khususnya mengenai learning dan perception). Konsep dasar teori
psikoanalisis menekankan pada motivasi tidak sadar, konflik, dan symbolism sebagai konsep
primer. Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari
serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan
kecemasan. Menurut teori Gestalt, komposisi gabungan tersebut akan melebihi hasil
penjumlahan masing-masing persepsi pada masa sebelumnya, dimana persepsi akhir akan
mempunyai bentuk konfigurasi yang tersendiri. Teori ego defense mechanism pada dasarnya
juga merupakan suatu teori yang bertitik tolak dari pengertian mengenai pengaruh selektif dari
persepsi masa lalu (percept memory) terhadap persepsi yang sekarang atau kemudian.
Problem khusus dalam apperceptive distortion: (1) Hypnosis; merupakan salah satu
apperceptive distortion, yaitu bahwa appersepsi subjek diubah sesaat dan sebagai akibatnya
terjadilah distorsi-distorsi terhadap appersepsi subjek tersebut. (2) Mass Psychological
Phenomena (Fenomena psikologi yang terdapat di dalam masa). (3) Transference; merupakan
hubungan emosiomal pasien terhadap psikoanalitisnya. Transference terjadi bila pasien
mentransferkan sentimen-sentimennya yang terbentuk di masa-masa lalu kepada analistnya.
(4) Psychoses dan (5) Therapy; Teori dari psikoanalisis dapat kita bagi menjadi beberapa tahap
yang berurutan, yaitu: Communication, Interpretation, Insight dan Working Through

10
DAFTAR PUSTAKA

Karmiyati, D., dan Suryaningrum, C. 2006. Pengantar Psikologi Proyektif. UPT UMM Press.
Malang

Anonim. 2002. Modul Pengantar Psikologi Proyektif.


https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8
&ved=0ahUKEwjI_8rQyafUAhVJuY8KHcxSAhYQFggrMAE&url=http%3A%2F%2Felear
ning.gunadarma.ac.id%2Fdocmodul%2Fpengantar_psikologi_proyektif%2Fbab2-
apperceptive_distortion_dan_konsep_dasar_psikoanalisis.pdf&usg=AFQjCNHj4r96k9M3Np
ygJEZYPxHv_qIcqQ&sig2=AjdFXzxwiXBQONYDu7_oqQ (diakses pada 4 Juni 2017)

Mutadin, Zainun. 2002. Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri.


http://www.e-psikologi.com (diakses pada 4 Juni 2017)

11

Anda mungkin juga menyukai