Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . LATAR BELAKANG


Neuropati diabetika merupakan merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes
melitus(DM) yang sering meresahkan penderita karena dirasakan sebagai siksaan oleh
penderita. Neuropati juga menambah angka mortalitas dan menurunkan kualitas hidup
penderita DM. Satu diantara 4 penderita DM akan mengalami polineuropati distal
simetris.1
Prevalensi neuropati diabetika (ND) dalam berbagai literatur sangat bervariasi.
Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat ditegakkan DM
telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetika ini akan meningkat sejalan
dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita
diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetika 50%. Kemungkinan terjadi
neuropati diabetika pada kedua jenis kelamin sama.1,2,3 United Kingdom Propective
Diabetes Study (UKPDS) pada tahun 1998 menemukan kejadian ND meningkat pada usia
tua dan ternyata 50 % penderita berusia lebih dari 60 tahun.1
Hiperglikemia akan menghasilkan produk-produk hasil reaksi non enzimatik yang
akhirnya terkumpul advance glikosilation end produact (AGEs) dan AGEs inilah yang
mempunyai efek tidak baik pada pembuluh darah dan axon saraf.1 Polineuropati diabetika
merupakan neuropati diabetika yang terbanyak di jumpai. Pada pasien-pasien DM tipe 2,
59 % menunjukkan berbagai neuropati diabetika, 45% diantaranya menderita
polineuropati diabetika. 5 Polineuropati terjadi pada hampir 30% pasien yang dirawat
akibat diabetes dan hampir 20% pada pasien diabetes rawat jalan.6
Diagnosis neuropati diabetika ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda klinik
berupa gangguan sensorik, motorik maupun otonom ditambah pemeriksaan penunjang.2
Pemeriksaan penunjang yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit
sistem saraf perifer antara lain pemeriksaan elektromiografi (EMG). 2,7,8
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa
saraf perifer dan otot. Abnormalitas pemeriksaan EMG secara tidak langsung akan
menunjukkan distribusi lesi saraf perifer, jenis lesi dan beratnya lesi.7,8 EMG mempelajari
aktivitas listrik dari otot dan dapat digunakan mempelajari motor unit serta prognosisnya.

1
Selain itu EMG bersama kecepatan hantar saraf dapat memberi diagnosis, jenis serta
pronosis kelainan saraf tepi. 8 Pemeriksaan ini juga membutuhkan keahlian khusus,
kurang praktis untuk penggunaan klinis sehari-hari dan karena harganya relatif mahal
mungkin hanya dimiliki oleh pusat kesehatan rujukan atau pusat pelayanan kesehatan .
Meijer et al dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa skor Diabetic Neuropathy
Examination (DNE) dan Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) merupakan instrumen
untuk membedakan penderita dabetes dengan dan tanpa neuropati yang mudah dan
praktis digunakan.9
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme terjadinya polineuropati
pada pasien diabetes sangatlah kompleks. Polineuropati terjadi sebagai akibat dari
peningkatan stres oksidatif dan radikal bebas dari produk akhir glikosilasi, akumulasi
polyol, dan penurunan kadar nitric oxide (berdampak pada disfungsi endotel).
Polineuropati juga diakibatkan oleh penurunan aktivitas pompa natrium dan peningkatan
kadar homosistein. Pada pasien diabetes dijumpai pula penurunan kemampuan
mekanisme regenerasi dan ditandai oleh penurunan faktor pertumbuhan
saraf. 6
Dasar patofisiologi terjadinya polineuropati diabetika menunjukkan adanya peran
yang besar dari stres oksidatif. Mekanisme patogenik menunjukkan ada peran antioksidan
potensial untuk mengobati neuropati. Beberapa pendekatan terapeutik telah
dikembangkan termasuk antioksidan seperti alpha lipoic acid (ALA) untuk 5 mengurangi
stres oksidatif yang meningkat. Obat ini dirancang untuk mempengaruhi dengan baik
patofisiologi gangguan ini. 6,11

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. POLINEUROPATI DIABETIKA


A. DEFINISI
Definisi neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda dari disfungsi saraf
perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus setelah
4,10,19,20
dilakukan eksklusi penyebab lainnya. Polineuropati diabetika menggambarkan
keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi
gangguan sensorik, motorik maupun otonom.

B. TANDA DAN GEJALA


Polineuropati diabetika memiliki tanda dan gejala yang mudah dikenal yaitu kelainan
yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding kelainan motorik
dan sudah terlihat pada awal penyakit. Umumnya gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa
timbul ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai.
Seiring memberatnya penyakit jari tangan dan lengan dapat mengenai saraf sensoris,
motor dan fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat, dengan
predominan terutama disfungsi sensoris.2 Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau
mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar.
Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau
kesemutan.
Kelemahan otot-otot tungkai dan penurunan reflek lutut dan tumit terjadi lebih
lambat. Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan serabut
sarabut saraf kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi terjadinya ulkus
kaki. Gangguan propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan (sensory ataxia gait)
menunjukkan keterlibatan serabut saraf ukuran besar (large fiber neuropathy).
Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya
pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan
keabnormalan vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang
sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering
menyertai polineuropati distal yang simetris.
Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen
berproliferasi dan dideposisi pada sel schwann karena pengulangan episode
3
demyelinisasi dan remyelinisasi atau deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-
saraf tersebut. Fasikulasi atau kontraksi spontan dari unit motor dapat terlihat berkejut-
kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan
karakteristik dari penyakit yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada
neuropati motoric dengan multifokal blok pada konduksi motoricnya dan juga pada
neuropati kronis yang menyertai kerusakan dari axon.
Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang
terkena. Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang positif atau
negatif seperti yang terlihat pada tabel berikut

C. KLASIFKASI
Klasifikasi polineuropati diabetikum didasarkan pada :
1. Berdasarkan onset : Aku, sub akut dan kronik
2. Menurut Goto (1986) :
a. Somatik
- Motorik :keluha paling menonjol adalah berkurangnya tenaga dan cepat
lelah. Pada pemerikasan kekuatan otot terjadi penurunan dan kelemahan
oleh karena terputusnya akson dan demielinisasi sehingga terjadi
hambatan pada konduksi hantaran syaraf. Tanda objektif yang timbul
adalah hilangnya reflek tendon Achilles dan patela
- Sensorik : terjadi parastesi (rasa tebal), rasa terbakar, diastesi (bila diraba
terasa sangat nyeri), hiperalgesia (nilai ambang nyeri turun)

4
b. Autonom : Hipotensi postural, impotensi, anhidrosi, gagguan pada bowel dan
bleder,
D. PATOFISIOLOGI
Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya
neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui sepenuhnya.
Faktor-faktor etiologi neuropati diabetika diduga adalah vaskular, berkenaan dengan
metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Studi terbaru menunjukkan adanya
kecenderungan suatu multifaktorial patogenesis yang terjadi pada neuropati
diabetika. Beberapa teori yang diterima adalah :
a. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke
endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat
hiperglikemia. Biopsi nervus suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan
adanya penebalan pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan
pembuluh darah, yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia juga
dapat menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase
yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.

b. Teori Metabolik
Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced
glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein
seluler. Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs.
Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan
kelompok amino pada protein. Pada hiperglikemia kronis beberapa kelebihan
glukosa berkombinasi dengan asam amino pada sirkulasi atau protein jaringan.
Proses ini pada awalnya membentuk produk glikosilasi awal yang reversibel dan
selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat
pada penderita DM. Pada endotel mikrovaskular manusia , AGEs menghambat
produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen Activator Inhibitor-1)
dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin, memudahkan
trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia lokal
dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangiopati.

5
c. Teori Nerve Growth Factor (NGF)
Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan regenerasi
unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat penting
untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi. Nerve
Growth Factor (NGF) berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap
kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. Telah banyak dilakukan penelitian
mengenai adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan
pada ketahanan hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem
saraf perifer . Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya defisiensi
neurotropik sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan mengganggu
pemeliharaan saraf. Pada banyak kasus, defisit yang paling awal, melibatkan
serabut saraf yang kecil. 3,17 Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF
sehingga transport aksonal yang retrograde ( dari organ target menuju badan sel)
terganggu. Penurunan kadar NGF pada kulit pasien DM berkorelasi positif
dengan adanya gejala awal small fibers sensory neuropathy.
d. Stres Oksidatif pada Patogenesis Neuropati Diabetika
Stres oksidatif terjadi dalam sebuah sistem seluler saat produksi dari radikal bebas
melampaui kapasitas antioksidan dari sistem tersebut. Jika antioksidan seluler
tidak memindahkan radikal bebas, radikal bebas tersebut menyerang dan merusak
protein, lipid dan asam nukleat. Oksidasi produk radikal bebas menurunkan
aktifitas biologi, membuat hilangnya energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan
fungsi fungsi utama lainnya. Hasil produknya juga membuat degradasi
proteosome, kemudian dapat menurunkan fungsi seluler. Akumulasi dari beberapa
kerusakan membuat sel mati melalui nekrotisasi atau mekanisme apoptosis.
Hiperglikemik kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan cenderung pada
komplikasi pasien dengan diabetes. Metabolisme glukosa yang berlebihan
menghasilkan radikal bebas. Beberapa jenis radikal bebas di produksi secara
normal di dalam tubuh untuk menjalankan beberapa fungsi spesifik. Superoxide
(O2), hydrogen peroxide (H2O2), dan nitric oxide (NO) adalah tiga diantara
radikal bebas ROS yang penting untuk fisiologi normal, tetapi juga dipercaya
mempercepat proses penuaan dan memediasi degenerasi selular pada keadaan
sakit.
Glukosa dapat bereaksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akan
membentuk karbonil. Karbonil bereaksi dengan protein atau lemak akan
6
menyebabkan pembentukan glikosidasi atau liposidasi. Selain itu glukosa dapat
juga membentuk karbonil secara langsung dengan protein dan membentuk
Advanced glycation end products(AGEs) yang berperan dalam stress oksidatif dan
dapat menyebabkan kerusakan sel.

E. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Diabetes Melitus

7
Kadar gula darah untuk menentukan diagnosis DM menurut Konsesus
Pengelolaan DM tahun 2006.
Tabel 2. Diagnosis DM menurut Konsensus Pengelolaan DM Perkeni 2006.

2. Diagnosis Neuropati Diabetika


Penegakan diagnose dan menentukan derajat keparahan dari neuropati diabetika
menggunakan TCSS (Tronto clinical scoring system) yang meliputi Gejala,
pemeriksaan reflek dan pemeriksaan sensorik.
a. Gejala : pada kaki yaitu nyeri, rasa tebal, kesemutan, lemah, gejala adanya
ataksia dan gejala pada lengan. System scoringnya adalah bila terdapat gejala
skor 1 bila tidak ada gejala skor 0
b. Reflek : pemeriksaan pada kaki kiri dan kanan, dilakukan pemeriksaan reflek
patella dan achiles, skor 2 bila tidak ada reflek, 1 bila reflek menurun dan 0
bila normal
c. Sensorik : pemeriksaan sensorik meliputi nyeri tusuk, suhu, raba, getaran dan
posisi. Skor 1 bila abnormal, 0 bila normal

8
Pemeriksaan Eletrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa
saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif, tak tergantung input
penderita dan tak ada bias. EMG dapat member informasi yang dapat dipercaya
,kuantitatif dari fungsi saraf. EMG dapat mengetahui denervasi parsial pada otot
kaki sebagai tanda dini ND. EMG ini dapat menunjukkan kelaianan dini pada
ND yang asimptomatik.
Kecepatan hantar saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik bermyelin besar dan
serat saraf motorik, jadi tidak dapat mengetahui kelainan pada neuropati
selektifserat bermielin kecil. Pemeriksaan KHS sensorik mengakses integritas
sel-sel ganglion radiks dorsalis dan akson perifernya. KHS sensorik berkurang
pada demielinisasi serabut saraf sensorik. KHS motorik biasanya lambat
dibagian distal lambat, terutama bagian distal. Respon motorik mungkin
amplitudonya normal atau berkurang bila penyakitnya bertambah parah.
Penyelidikan kecepatan hantar saraf sensorik biasanya lebih jelas daripada
9
perubahan KHS motorik. EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal
dan amplitude motor unit bertambah, keduanya ini menunjukkan hilangnya akson
dengan dengan reinervasi kompensatoris. Bila kerusakan saraf kecil memberi
keluhan nyeri neuropatik , kecepatan hantar sarafnya normal,dan diagnosis
memerlukan biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja tidak pernah patognomonik
untuk suatu penyakit, walau ia dapat membantu atau menyangkal suatu diagnosis
klinis. Oleh karena itu pemeriksaan klinis dan neurologik serta amamnesis
penting sekali untuk membantu diagnosis pasti suatu penyakit.

F. PENATALAKSANAAN
Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik
dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi
simptomatis, dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari
polineuropati terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan
fisioterapi. Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah dan melakukan
pergerakan pasif terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak lagi,
latihan otot dapat dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk
jalan terlebih dahulu sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah
siap untuk digunakan. Pada kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis
untuk kaki dapat digunakan untuk membantu pasien berjalan. Pasien-pasien dengan
hipotensi postural, disuruh untuk bangun secara bertahap.

G. PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya,
tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang
ditimbulkan. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera, kebanyakan orang membaik
dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau beberapa minggu saja. Hanya kurang
dari 2% dapat mengakibatkan kematian. Setelah membaik secara bertahap, 3 10%
orang menjadi kelainan yang mengarah ke CIDP (cronic inflamatori demyelinisation
polineuropaty) . Pada CIDP yang tertangani dengan baik 30% 10iab sembuh dan tidak
terdapat gangguan, 45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap
mengalami gangguan saraf yang buruk Pada 10iabetic polineuropati, komplikasi
biasanya baik apabila 10iabeti diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi
komplikasi neuropati autonom (10iabetic neuropati)
10
BAB III
PENUTUP
Definisi neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda dari disfungsi saraf
perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus setelah
dilakukan eksklusi penyebab lainnya. Polineuropati diabetika menggambarkan
keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi
gangguan sensorik, motorik maupun otonom. Polineuropati diabetika memiliki tanda dan
gejala yang mudah dikenal yaitu kelainan yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik
selalu lebih nyata dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit.
Umumnya gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari. Khas diawali
dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring memberatnya penyakit jari tangan
dan lengan dapat mengenai saraf sensoris, motor dan fungsi otonomik dengan
bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama disfungsi
sensoris.2Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi
pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan
dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan.
Penegakan diagnose didapatkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang apat dilakuakn dan menentukan derajat keparahan dari
neuropati diabetika menggunakan TCSS (Tronto clinical scoring system) yang meliputi
Gejala, pemeriksaan reflek dan pemeriksaan sensorik.
Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik
dilakukan bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis,
dan meningkatkan kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati
terdiri dari mengurangi atau menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi.
Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya,
tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan.
Bagaimanapun, dengan terapi yang segera, kebanyakan orang membaik dengan sangat
cepat, dalam hitungan hari atau beberapa minggu saja

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhartono T. Diabetik Neuropati: Manajemen Terapi Fokus Cinula. Dalam:


Lestariningsih, Nugroho KH, editor. Semarang: Badan PenerbitUniversitas
Diponegoro 2009 ; 15-20.
2. Sadeli HA. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam : Meliala L, Suryamiharja, Wirawan,
Sadeli HA, Amir D, editor. Nyeri Neuropatik. Yogyakarta: Medigama Press 2008 ;
77-90.
3. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam: Meliala L, Rusdi I,
Gofir A, Pinzon R , editor. Toward Mechanism-Based Pain Treatment The Recent
Trent and Current Evidences. Yogyakarta: 2004 ; 121- 8.
4. Widjaja D. Diagnosis of Diabetic Neuropathy in Course and Workshop on
Neurophysiology in Clinical Practice. Kongres Nasional PERDOSSI ke 6.
Yogjakarta: 2007; 20-39.
5. Aswin S. Diabetes Melitus dan Disfungsi Sistem Saraf.In: Djokomoeljanto, Darmono,
Suhartono T(ed). Naskah Lengkap: Pertemuan Ilmiah Tahunan V Endrokinologi,
Semarang 9-11 Desember 2004. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
29; 329-49.
6. Pinzon R. Peran Alpha Lipoic Acid dalam Terapi Polineuropati Diabetika: Kajian
Sistematis dalam Penelitian Terdahulu. Medicinus 2010;22(4):157- 9.
7. Widjaja D. Pemeriksaan Neurofisiologik pada Sindroma Nyeri Akut dan
8. Menahun. Dalam : Meliala L, Suryamiharja, Wirawan, Sadeli HA, Amir D, editor.
Nyeri Neuropati Diabetika.Yogyakarta: Medigama Press, 2008 ; 30 40.
9. Meijer JWK, Bosma E, Lefrandt JD, Links TP, Smith AJ, Steward RE et al. Clinical
Diagnosis of Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic Neuropathy Examination
Scores. Diabetes Care 2003; 23(3): 691-701.
10. Widiastuti MI. Peran Neuropati Pada Patogenesis kaki diabetik. Dalam: Suhartono
T,Tjokorda GDE, Nugroho KH, editor. Kursus Manajemen Holistik Kaki Diabetik.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2007; 2:19-
11. Vincent AM, Russell JW, Low P, Feldman EL. Oxidative Stress in the Pathogenesis
osf Diabetic Neuropathy. Endocr Rev 2004; 25(4): 612-28.
12. Ziegler, Christph GH, Zadeh JN. Oxidative Stress and Antioxidant Defence in
Relation to the Severity of Diabetic Polyneuropathy and Cardiovascular Autonomic
Neuropathy. Diabetes Care 2004; 27: 2178- 83.

12
13. Mirza N, Cornblath D, Hasan S, Hussain U. Alpha Lipoic Acid for Diabetic
Peripheral Neuropathy (Protocol). Cohrane Database of Systematic Reviews
(internet). 2005 (cited 2005 July 30). Available from Willey Interscience.
14. Ziegler D, Hanefeld M, Ruhnau KJ, Meissner HP, Lobisch M, Schutte K, et
al.Treatment of Symptomatic of Diabetic peripheral neuropathy with the antioxidant
alpha-lipoic acid 3-week multicentre randomized controlled trial (ALADIN Study).
Diabetologia 1995;38:1425-33.

13

Anda mungkin juga menyukai