Anda di halaman 1dari 15

WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS


PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Oleh:
Ni Ketut Agusinta Dewi
Dosen Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Udayana
Email: agusinta_dewi@lycos.com

ABSTRAK
Wantah rumah tinggal tradisional di Indonesia merupakan ekspresi budaya masyarakat setempat,
bukan saja menyangkut fisik dan bangunannya, tetapi juga semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya.
Oleh masyarakat vernakular di Indonesia, rumah tinggal juga merupakan tempat membangun religi
penghuninya. Sebagaimana persepsinya terhadap alam, masyarakat vernakular membangun tempat tinggalnya
berdasarkan bentuk-bentuk geometris guna membantu mengungkapkan penghargaannya kepada alam dan
Penciptanya.Orientasi dibutuhkan oleh manusia sebagai pengkiblatan diri, dan simetri memberi makna
keseimbangan hubungan manusia yang paling hakiki sebagai sikap solemnitas manusia kepada Sesuatu Yang
Agung. Tulisan ini memaparkan pengejawantahan religiusitas masyarakat vernakular di Indonesia ke dalam
bentuk-bentuk geometri dan simetri rumah tinggal mereka sebagai ungkapan jati diri masyarakatnya.
Kata Kunci: simetri, geometri, religiusitas, solemnitas, rumah tinggal tradisional

ABSTRACT
Phenomenon of traditional housing in Indonesia is a culture expression of local community, not only
its have relation with their building physics, but also the spirit and soul. Housing phenomenon by vernacular
community of Indonesia which have mean to be a space to built their religion. As their perception to nature,
they build housing base on geometry forms to perceive the appreciation of nature and the Creator. Orientation
is required by man as a himself orientation, and symmetrical means a basic human balance as their solemnity
for God. This paper describes religious phenomenon of vernacular community in Indonesia in to geometry
and symmetrical forms that they being their identity expression of housing.
Key Words: symmetrical, geometry, religiuos, solemnity, traditional housing.

RUMAH TINGGAL Manusia, rumah, dan gagasan/pemikiran


SEBAGAI EKSPRESI JATI DIRI mempunyai hubungan yang sangat erat sebab
rumah merupakan kulit kedua manusia yang
Pembahasan wantah arsitektur berfungsi sebagai tempat berlindung dari
tradisional di Indonesia selalu menjadi bahan karakter alam, dan mencari privasi, sekaligus
yang menarik untuk dikembangkan. Sudah lama sangat memungkinkan untuk menampilkan
sekali arsitektur rumah tinggal tradisional di secara utuh ekspresi mental dan spritual
Indonesia menjadi lahan penelitian para peneliti penghuninya. Rumah selalu dinapasi oleh
lokal maupun asing. Hal ini terjadi karena pada kehidupan manusia, oleh watak dan
hakekatnya rumah tinggal merupakan wadah kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu, dan
yang penuh misteri dan paling ekspresif dalam cita-cita penghuninya, sehingga rumah dikatakan
menampung kegiatan manusia sehari-hari, bukan mampu mem-bahasa-kan jati diri penghuninya.
hanya yang bersifat fisik, tetapi juga bersifat
Pengertian tradisional pada arsitektur
psikis, serta mempunyai dimensi budaya dan
tradisional secara konsepsional dapat
sosial dibalik wantah fisiknya.
mengundang banyak interpretasi. Secara

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 29


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

mendasar pengertian tradisi dapat dibedakan meant slave, and vernacular signified a
menjadi dua konsepsi: person residing in the house of his master.
1. Sebagai sesuatu yang terbatas (bounded Sebagian lagi ada yang menyebutnya
object) seperti yang diungkapkan oleh Shils dengan Arsitektur Etnik yang sebenarnya
(1981): It is to last over at least three penekanannya pada kesukuan atau suku bangsa
generations-however long or short- to be a tertentu. Tetapi pada dasarnya adalah bahasan
tradition". Jadi, tradisi adalah sesuatu yang tentang kebudayaan yang diteruskan secara turun
dilakukan oleh suatu masyarakat secara temurun. Namun, apabila kemudian istilah
terus menerus setelah mengalami seleksi arsitektur vernakular mulai dikenal dan
secara alami, minimal tiga generasi; dipublikasikan tidak saja di kalangan peneliti,
tentunya telah memperkaya khasanah bahasa
2. Tidak mempersoalkan masalah waktu,
arsitektur maupun bahasa Indonesia tentang
tetapi lebih menekankan kepada proses yang
makna serapan asing yang dapat saja
terjadi, apa yang tetap dan apa yang berubah
diidentikkan dengan arsitektur tradisional
(meaningfull processes) seperti yang
ataupun arsitektur etnik.
diungkapkan oleh Handler dan Linnekin
(1988). Berbicara mengenai arsitektur rumah
tinggal tradisional di Indonesia tentunya berbeda
Untuk menelusuri bahwa suatu tradisi
dengan arsitektur rumah tinggal di Barat.
yang dijalankan suatu masyarakat masih asli
Bentuk yang hadir pada arsitektur rumah tinggal
atau palsu sangatlah sulit. Apalagi di Indonesia
tradisional di Indonesia selalu dipertalikan
pada masa lalu berlaku tradisi tutur (oral
dengan makna yang lebih dalam, yang berada
tradition). Pada proses penurunan cerita, setiap
dibalik bentukan yang terjadi, tidak berhenti
generasi melakukan penyimpangan informasi,
hanya pada yang tersurat atau kasat mata.
baik berupa penambahan maupun pengurangan
Penggunaan ruang yang terjadi tidak hanya
informasi. Selain itu, dokumentasi tertulis seperti
untuk menampung aktivitas fisik sehari-hari,
lontar juga memungkinkan timbulnya banyak
tetapi juga spritual untuk memperoleh
persepsi. Jadi, agar terjadi kesamaan persepsi
ketenangan batin/jiwa. Apalagi kalau kita
dalam tulisan ini, maka konsep tradisional yang
memahami makna tersebut dengan pendekatan
dipakai mengacu pada konsepsi Handler dan
Emik yaitu melihat suatu gejala dari sudut
Linnekin (1988): sesuatu yang telah dilakukan
pandang para pelaku sosialnya, bukan dari para
secara terus menerus oleh suatu masyarakat pada
penelitinya. Akan banyak aspek yang dapat
masa lalu hingga kini tanpa melihat dimensi
diungkap dibalik bentukan arsitektur yang
waktunya serta melihat apa yang bernilai dan
terjadi. Konsep arsitektur rumah tinggal
masih dilakukan serta apa yang sudah tidak
tradisional di Indonesia tidak lepas dari
dilakukan lagi.
perikehidupan masyarakatnya, sementara dalam
Para peneliti asing cenderung tatanan kehidupan mereka masih mengikuti
menamakan arsitektur tradisional sebagai tatanan hidup yang rumit, segala sesuatu serba
Arsitektur Primitif untuk membedakan dengan tersirat, penuh dengan pemaknaan.
yang modern (Enrico Guidoni, 1975):
Dalam buku Kawruh Kalang
Who have only relatively recently begun to (Kridosasono, 1976) disebutkan bahwa orang
realize that architecture plays a central role memasuki sebuah rumah diibaratkan sebagai
in the economic, social, and cultural life orang yang berteduh di bawah pohon karena:
population we think of as primitive.
1. Orang tanpa rumah ibarat pohon tanpa
Atau Arsitektur Vernakular, dimana kata bunga;
vernakular sebenarnya lebih mengacu kepada 2. Rumah tanpa pendopo ibarat pohon tanpa
konsep struktur sosial dan ekonomi seperti yang batang;
dikatakan oleh Alan Colquhoun (1989): 3. Rumah tanpa dapur ibarat pohon tanpa buah;
The word vernacular is equally derived 4. Rumah tanpa kandang binatang ibarat pohon
from social and economic concepts. Verna tanpa daun;

30 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

- Rumah tanpa gapura/masjid ibarat pohon tergambar secara fisik mengisyaratkan apa yang
tanpa akar. terjadi di dalam batin. Tubuh bertata-raga
simetris menunjukkan invocatio (memanggil
Menurut Darmanto Jatman, rumah
dewa dalam situasi magis), sebagai bentuk
memiliki makna sebagai tempat pertemuan laki-
pernyataan pengakuan kepada Yang Menguasai.
laki yang dilambangkan langit dan perempuan
Religiusitas yang terungkap, material yang
yang dilambangkan bumi (Y.B. Mangunwijaya,
menunjukkan zat. Dengan demikian dapat
1988) seperti petikan berikut:
dipahami bahwa solemnitas merupakan salah
. Rumah itu Omah, Omah itu dari Om satu upaya manusia untuk mencapai atau
dan Mah, Om artinya O, maknanya langit, mengungkapkan situasi religiusnya. (lihat
maksudnya ruang, bersifat jantan. Mah gambar 1)
artinya menghadap ke atas, maknanya bumi,
maksudnya betina. Jadi rumah adalah ruang
pertemuan laki dan rabinya. Karenanya
kupanggil kau Semah, kerna kita serumah.
Sepuluh pelataran rumah kita bersih
cemerlang supaya bocah-bocah dolan pada
krasan
Dalam konteks perwujudan arsitektural,
maka bentukan rumah tinggal tradisional
diupayakan tampil sebagai ekspresi budaya
masyarakat setempat, bukan saja yang
menyangkut fisik bangunannya, tetapi juga
semangat dan jiwa yang terkandung di
dalamnya. Hal ini memperjelas bahwa betapa
pentingnya rumah bagi manusia, dan mereka
masih mengikuti aturan-aturan yang berlaku
serta pola-pola yang telah diikuti sejak jaman
dulu. Patokan tersebut karena dipakai berulang-
Gambar 1. Situasi solemnitas sebagai wantah
ulang, akhirnya menjadi sesuatu yang baku,
simetris
seperti patokan terhadap tata ruang, patokan Sumber: Kartupos Bali, difoto oleh Amir Sidharta
terhadap pola massa, atau patokan terhadap
bentuk, struktur bangunan, maupun ornamennya.
Sesungguhnya solemnitas tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman manusia kepada
ALAM SEBAGAI alam semestanya. Sikap simetris sebagai
SUMBER INSPIRASI GEOMETRI ungkapan penyelarasan diri ini berangkat dari
Pada saat manusia mengalami situasi pemahaman terhadap hubungan antara tubuh
protokoler, seperti pada saat perayaan agama manusia dengan persepsinya terhadap ruang.
atau kenegaraan, atau secara spesifik diperjelas Solemnitas juga menunjukkan adanya
sebagai situasi yang dipilih orang sewaktu pemahaman tertentu terhadap ruang lingkungan
menghadap hal Ilahi, situasi ini disebut yang melingkupinya. Pada situasi religius, sikap
solemnitas (M.A.W. Brouwer, 1984). Orante ini merupakan tanggapan yang dirasa paling
atau orang yang menghadap hal Ilahi tersebut, sesuai terhadap kondisi dan batasan-batasan
akan cenderung mengambil sikap sehingga ruang alam lingkungan tersebut.
bagian kanan tubuh tidak berbeda dengan bagian Bagi manusia, alam tidak semata-mata
kirinya. Sikap yang secara fisik ditangkap dipandang sebagai sesuatu seperti apa yang
sebagai posisi simetris. Solemnitas teraga secara wantah (seperti apa adanya) dan
mengungkapkan adanya sikap yang tidak kritis, seperti apa yang teraba. Di dalamnya manusia
sikap menyerahkan diri tanpa perlawanan juga merasakan adanya citra geometri walaupun
(pasrah), dan tanpa pikiran belakang. Apa yang

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 31


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

terbatas pada wawasan geometrinya. Ketika kita


berdiri, kita secara intuitif sadar bahwa orientasi
terpokok kepada dunia adalah di dalam
hubungannya kepada tubuh simetris kita dan
bagian depannya. Jadi, kesadaran terhadap tubuh
kita di dalam ruang menyangkut sebuah
cartesian, atau empat persegi, keterkaitan antara
diri kita kepada dunia sekeliling kita dari titik
perhatian dimana kita berdiri. Meskipun
seluruhnya ini sepertinya terlihat sederhana, tapi
hal ini sangat penting di dalam memahami
bagaimana kita secara intuitif menstrukturkan
ruang dunia tiga dimensional kita. Kita
mempersepsikan dunia dari referensi sudut tegak
lurus di dalam hubungannya dengan bidang
horisontal dan vertikal. (Norman Crowe, 1995). Gambar 2. Orientasi diri adalah naluri kodrati
Dari sinilah persepsi geometri terhadap dunia untuk mencegah manusia hanyut
ditumbuhkan. tanpa kepastian, maka penghayatan
kiblat sangat fundamental
Di dalam ruang geometri alam, manusia bagi manusia
juga mendapatkan pengalamannya tentang Sumber: Y.B. Mangunwijaya, 1988, Wastu Citra,
orientasi. Sebuah kiblat agar manusia bisa hal. 89
mengarahkan titik perhatiannya dan sekaligus
menentukan posisinya. Orientasi juga
Hubungan antara ruang geometris,
memberikan sebuah persepsi garis horisontal
sumbu orientasi, dan titik pusat orientasi
yang menghubungkan subjek manusia dengan
merupakan satu kesatuan sistem pandangan
titik orientasinya. Sebuah garis yang menjadi
dunia yang bersifat universal. Manusia
sumbu di dalam sebuah ruang geometri yang
mendiami alam yang dipersepsikan sebagai
melingkupi manusia. (lihat gambar 2)
berbentuk geometri. Di dalam ruang geometri ini
Orientasi berasal dari kata orient atau manusia selalu memposisikan berada di tengah-
timur, dan berarti mencari mana ufuk timur (dan tengah ruang. Namun ruang alam raya yang
lawannya barat). (Y.B. Mangunwijaya, 1988). melingkupi manusia sungguh begitu luas,
Kata ini kemudian menjadi kiblat karena pada homogen, dan kosong, seolah-olah semua titik
awalnya orang mendasarkan pada pengalaman dan arah sama saja. Dalam kondisi ini manusia
sehari-hari terhadap darimana matahari terbit dan menjadi gamang, merasa sangat kecil sekali
ke arah mana matahari tenggelam sebagai sehingga memerlukan adanya pegangan yang
sumber kiblatnya. Namun kemudian, manusia bisa dipakai untuk memposisikan dirinya. Ia
juga mendapatkan persepsi arah selain timur dan membutuhkan sebuah orientasi atau, meminjam
barat, yaitu utara dan selatan. Persepsi sumbu istilah Romo Mangun, pengkiblatan diri. Dengan
timur-barat serta utara-selatan melahirkan adanya kiblat, manusia dapat menentukan
pemahaman akan centrality, titik pusat yang kedudukannya. Kedudukan sumbu orientasi bagi
terjadi akibat adanya perpotongan di antara manusia selalu dihubungkan dari posisi tubuh
kedua sumbu tersebut. tempat dia berdiri sebagai pusat kepada suatu
titik orientasi yang membentuk suatu sumbu,
hingga bisa dipahami bahwa sumbu orientasi di
mata subjek sekaligus menjadi garis sumbu
ruang geometri yang melingkupi dirinya dan
sekaligus membagi ruang tersebut secara
simetris.

32 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Dalam konteks bermacam-macam Dalam pandangan masyarakat religius,


kebudayaan yang saling berbeda, dapat yang paling menjamin suksesnya suatu
ditemukan pola dan pandangan ritual yang sama, perbuatan adalah peniruan dan peragaan kembali
yaitu menempati suatu wilayah yang sama kosmogoni, yaitu penciptaan semesta alam oleh
dengan memberi dasar pada suatu dunia. Di Bali, para dewa, tindakan yang dianggap paling
bila orang hendak mendirikan sebuah desa, kreatif. Dunia yang akan didiami pertama-tama
mereka mencari persimpangan jalan alamiah haruslah diciptakan kembali. Penciptaan
tempat dua jalan saling bersilangan tegak lurus. mempunyai sebuah contoh model dan
Tempat perpotongan kedua jalan itu dijadikan kosmogoni itu merupakan suatu contoh model,
pusat desa (pempatan agung). Pusat desa ini model untuk segala penciptaan, model dari setiap
biasanya merupakan sebidang tanah kosong, susunan yang teratur. Suatu keyakinan yang
karena kemudian di tempat ini akan didirikan mendalam seperti yang dihayati oleh orang-
sebuah tempat ibadah dengan atap yang orang beragama pasti akan mengendapkan
melambangkan gunung (meru). Lalu esensinya ke dalam bentuk-bentuk tertentu.
pembangunan desa dilaksanakan dengan Penghayatan adanya suatu pusat dunia atau
membentuk empat jalan itu ke arah empat mata poros sentrum yang merupakan penghayatan
angin dari pusatnya. Pembagian desa menjadi manusia berjiwa religius yang sangat dalam, lagi
empat bagian ini sesuai dengan gambaran alam sangat wajar. Manusia tidak dapat hidup dalam
dunia yang mempunyai satu pusat dan empat angkasa kosong atau ruang homogen, seolah-
arah mata angin. Dengan demikian olah segala titik dan arah sama saja. Ia
pembangunan desa meniru penciptaan dunia. membutuhkan orientasi atau pengkiblatan diri
Desa dijadikan gambaran dunia, imago mundi, (Axis Mundi), sering dilambangkan dengan tiang
dalam hal ini terjadi dengan mengulang kembali (menhir), tangga (punden berundak), pohon,
penciptaan dunia, kosmogoni. (Y.B. gunung, dan sebagainya, dan diyakini dapat
Mangunwijaya, 1999). menembus tembok-tembok pemisah antara
lapisan dunia yang satu dengan dunia yang lain.
(Y.B. Mangunwijaya, 1999) (lihat gambar 3)

Gambar 3. Pohon kehidupan, gunung, dan rumah memiliki


makna kosmis bagi banyak suku bangsa,
merupakan berbagai dimensi dari satu kesatuan
seluruh semesta
Sumber: Y.B. Mangunwijaya, 1988, Wastu Citra, hal. 100

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 33


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Dalam geometri ruang gerak menjadi


SUMBU SIMETRI
ruang mistik, suatu kosmos sebagai sumber
SEBAGAI BENTUK PENGUNGKAPAN
aturan alam. Bentuk geometri oleh manusia
RELIGIUSITAS DALAM RUANG
kemudian dikupas, dipilah-pilah berdasarkan
Alam mempunyai pengaruh yang sangat unsur-unsurnya kemudian ditransformasikan ke
besar bagi manusia. Bahkan dalam membentuk dalam simbol-simbol religius, sehingga yang
ruang sebagai tempat tinggal, manusia terjadi kemudian adalah back to basic, bentuk
mempersepsikan/memindahkan alam ke dalam yang berawal dari persepsi kepada alam diurai
ruang bentukannya. Arsitektur lahir dari kembali untuk bisa mempresentasikan jiwa (dari)
ketidaksesuaian antara dua ruang - pengalaman alam. Bentuk geometri menjadi metafor bumi
ruang yang diorientasikan secara horisontal dan yang mempunyai empat arah dari kanan-kiri,
ruang alam yang diorientasikan secara vertikal; muka belakang. Ke arah muka adalah menuju
dimulai ketika manusia menambahkan dinding kepada kemajuan dari gerakan berjalan. Dimensi
vertikal kepada permukaan bumi yang muka adalah waktu yang mendatangi manusia,
horisontal. Lewat arsitektur sepotong ruang alam harapan, dan keberanian. Arah atas
alamiah seperti adanya disusun di dalamnya menyimbolkan dimensi cita-cita, dunia para
supaya menghubungkannya kepada pengalaman dewa, dan dimensi Yang Maha Agung,
ruang manusia. (Dom H. Van der Laan, 1983). sedangkan kiri-kanan memberikan simbol
dualitas. Dalam budaya Jawa, manusia akan
Sebagaimana persepsinya terhadap alam, selalu mengarungi kehidupan di dalam kancah
manusia membangun arsitektur mendasarkan peperangan dualitas: baik-buruk, suka-duka,
bentuk-bentuk yang geometris. Bahkan dalam hitam-putih, dan seterusnya. Bagian kanan
perkembangan selanjutnya geometri menjadi hal merupakan dunia yang baik dan bagian kiri
yang dominan dalam arsitektur, karena geometri merupakan dunia yang buruk. (Clifford Geertz,
begitu mempesonakan manusia. Geometri begitu 1981).
mempermudah karena bentuk yang mendasarkan
geometri bisa ditiru dan diulang-ulang tanpa Pada bangunan gereja abad pertengahan,
risiko kegagalan dan kesalahan. sumbu ruang merupakan simbolisasi dari jalan
kemuliaan. Kota Yogyakarta tradisional ditata
Namun yang lebih penting adalah berdasarkan konsep sumbu Laut Selatan sebagai
geometri menawarkan manusia untuk bisa dunia bawah dan Gunung Merapi sebagai dunia
mengungkapkan penghargaan kepada mundane atas. Umat Muslim melaksanakan doa dengan
(alam semesta), yang akan membukakan mengarahkan orientasi ke Kiblat Kabah di
kemungkinan pencapaian metaforis kepada Mekkah. Jadi, sumbu-sumbu membawakan
Dewa dan Yang Bersifat Ketuhanan melalui makna yang sangat dalam.
penggunaan bentuk universal undeniability,
yaitu bujur sangkar, lingkaran, dan bola. Dalam ruang maupun dalam
(Anthony C. Antoniades, 1990). Geometri kenampakan elevasi bangunan, sumbu-sumbu
mengantar kepada pencapaian estetika serta berada pada bagian yang membagi ruang dan
memungkinkan manusia membuka gerbang elevasi tersebut secara simetris, dan memang
simbol-simbol melalui bentuk. demikianlah hakikat sumbu. Kedudukan ini juga
sekaligus memperkuat pemaknaan bangunan
Bagi manusia simbol merupakan hal atau bentuk. Pada garis sumbu kebanyakan
yang sangat penting dalam penghayatan religius. diletakkan fungsi-fungsi jalan utama, pintu
Keterbatasan dimensionalnya dalam menggapai masuk, atau pusat orientasi. Dengan melewati,
Yang Transenden (hal Ilahi) membawa manusia memasuki atau pun memusatkan perhatian,
kepada penggunaan bahasa simbol. Seperti orang seolah menyatakan sikap penghayatan,
halnya pencitraan terhadap Yang Transenden itu penghormatan, dan ketaatan kepada apa yang
sendiri yang merupakan simbol, manusia ada di balik maksud simbol-simbol tersebut
membangun dunia religiusitasnya dengan atribut dibuat.
simbol-simbol.

34 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Di samping itu, sumbu simetri rumah tinggal dalam bentuk yang sangat
memberikan kesan equillibrium (keseimbangan). sederhana.
Bangunan yang simetris adalah bangunan yang
Mengacu pada pendapat Handler dan
terkesan stabil, kokoh, diam, dalam posisi yang
Linnekin, 1988, tentang konsep tradisi, maka
seimbang. Kesan keseimbangan ini tentunya
rumah tinggal tradisional di Indonesia adalah
diperlukan untuk mendukung sikap solemnitas.
rumah yang dihadirkan oleh masyarakat masa
Ruang yang simetris menggambarkan alam
lalu serta sering disebut masyarakat primitif
kosmos yang ideal, berputar dalam kondisi yang
atau masyarakat vernakular. Eliade, 1959,
harmonis. Bahkan simetri bentuk
menekankan bahwa istilah primitif itu tidak
menggambarkan idealisme atau cita-cita
memadai dan mudah sekali menimbulkan salah
kesempurnaan.
pengertian. Ia mengusulkan istilah yang
dianggap lebih baik, yaitu arkhais atau
RUMAH TRADISIONAL DI INDONESIA preliterate. Istilah-istilah tersebut lebih
SEBAGAI BENTUK PENGUNGKAPAN menggambarkan suatu masyarakat yang
KONSEP SIMBOLIK RELIGIUS mempunyai ciri-ciri prinsip, arkhais, tradisional,
GEOMETRI pramodern, eksotis, ahistoris, dan prahistoris.
Kata primitif lebih mengandung suatu pemikiran
Pada awal peradaban manusia, berlaku yang tidak logis, kebodohan primordial, atau
sebuah konsep determinisme lingkungan dimana taraf mental yang rendah.
kehidupan manusia sangat ditentukan oleh alam.
Manusia merasa sangat bergantung pada Masyarakat arkhais atau preliterate
keramahan dan merasa kecil hidup di alam raya (lebih maju dari masyarakat primitif) hanya
ini. Hal ini menimbulkan orientasi pemikiran menaruh minat pada asal mula segala sesuatu.
manusia ke arah dua hubungan: Semua pembaharuan mengandung suatu
pengulangan kembali peristiwa penciptaan.
1. Kosmis: hubungan manusia dengan alam Setiap keberadaan dan tindakan hanya bermakna
semesta, misalnya dengan matahari, bulan, dan efektif sejauh keberadaan itu mempunyai
dan bintang. prototipe Ilahi atau tindakan itu
2. Chtonis: hubungan dengan bumi, misalnya mereproduksikan tindakan kosmologis awal
dengan gunung, laut, pohon, batu, dan mula. Jadi kosmologi menduduki tempat utama
sebagainya. dikalangan masyarakat arkhais. Pandangannya
Pada masa ini, orang berpikir dan bercita tentang kehidupan dan pandangannya tentang
rasa dalam alam penghayatan kosmis dan mistis dunia membentuk suatu kesatuan dan
atau agama. Tidak estetis yang berarti penilaian keseluruhan organis. Baginya, istilah dunia tidak
sifat yang dianggap indah dari segi kenikmatan. mencakup seluruh alam raya sebagaimana
Segi mitos dan keagamaan manyangkut ke-ada- dimengerti oleh ilmu jaman sekarang, melainkan
an manusia atau semesta dari dasar-dasarnya terbatas pada daerah yang didiami dan dikenal.
paling akar, paling menentukan, paling sejati. Wilayah yang ia diami dan ia kenal dianggap
(Y.B. Mangunwijaya, 1988). Hubungan antara sebagai suatu dunia yang teratur, sebagai
manusia dan lingkungannya ini berkembang dan kosmos, karena wilayah tersebut telah
menjadi dasar kehidupan masyarakat masa dikonsentrasikan. Sedang segala sesuatu yang
lalu. Sejalan dengan perkembangan ada di luar wilayah itu masih merupakan dunia
pengetahuan budaya yang dimiliki, maka mulai yang lain, dunia yang kacau, wilayah yang
timbul kesadaran bahwa tidak semua aktivitas kacau, tempat tinggal jin-jin, dan sebagainya.
yang dilakukan sehari-hari dapat dilaksanakan di Daerah yang termasuk chaos dapat dijadikan
alam terbuka, oleh sebab itu dibutuhkan sebuah daerah yang teratur dan berbentuk, dengan jalan
pelindung (shelter). Mulanya memanfaatkan goa menduduki dan menjadikan tempat tinggal.
yang ada di alam, setelah itu mulai dibuatkan

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 35


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Dalam kosmologi orang Bali juga persembahan (banten) atau sembahyang. (lihat
mengenal akan adanya pembagian mikrokosmos gambar 4). Pelaksanaan prinsip orang Hindu
(bhuana alit) yaitu orang itu sendiri; dan Bali, keserasian dan keseimbangan (balance
makrokosmos (bhuana agung) yaitu alam cosmologi) menyebabkan tidak diperlihatkan
semesta dan Tuhan Yang Mahaesa (Sang Hyang terlalu banyak tenaga untuk mengekspresikan
Widhi Wasa). Orang Bali berusaha untuk emosi berbagai tipe dan juga berhubungan
mempertahankan keseimbangan ketiga faktor dengan konsep satu pusat bagi semua hal. Kaja
tersebut yang disebut dengan konsep Tri Hita (mengarah ke gunung) menuju ke arah suci;
Karana (parahyangan, pawongan, dan Kelod (mengarah ke laut) menuju ke arah jahat
palemahan) dalam kehidupannya sehari-hari. atau butha kala; dan dunia tengah, bersifat
Setiap tempat tinggal atau kerja mempunyai pura duniawi dan tanpa kekuatan khusus, tempat
kecil (pemerajan/sanggah) untuk orang hidup.
memungkinkan orang menghaturkan

Gambar 4. Rumah tinggal tradisional Bali selalu menyediakan pura kecil untuk menjaga keseimbangan
hubungan manusia, alam, dan Sang Pencipta
Sumber: Http://www..pu.go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.html

Unit-unit umah dalam perumahan barulah menuju ke bangunan yang akan


berorientasi ke natah sebagai halaman aktivitas dimasuki, demikian pula sirkulasi balik ke luar
rumah tangga. Umah di dalam perumahan rumah. (I Nyoman Gelebet, 1986) (lihat gbr. 5).
tradisional merupakan susunan massa-massa
Kosmologi Jawa adalah horisontal
bangunan di dalam suatu pekarangan yang
(Clifford Geertz, 1981), maksudnya
dikelilingi tembok penyengker, batas pekarangan
menghubungkan suatu konsep budaya dengan
dengan kori pintu masuk ke pekarangan.
alam sekitarnya. Menurut konsep mereka, alam
Masing-masing ruangan dapur, tempat kerja,
semesta ini dipandang sebagai wadhah yang
lumbung, tempat tidur di bawah satu atap
besar dan merupakan kesatuan yang serta
merupakan satu massa bangunan. Komposisi
keadaannya tetap. Isi alam semesta ini terdiri
massa-massa bangunan umah menempati
dari dua nampak (bumi beserta isinya, matahari,
bagian-bagian utara, selatan, timur, barat,
bulan, dan bintang). dalam konsepsi Jawa, rumah
membentuk halaman natah di tengah. Orientasi
adalah satuan simbolis, sosial, dan praktis.
massa-massa bangunan ke natah di tengah. Dari
kori pintu masuk pekarangan menuju natah,

36 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Keterangan:
1. Sanggah
2. Bale meten
3. Bale dauh
4. Bale dangin
5. Dapur
6. Lumbung
7. Tebe

Gambar 5. Natah sebagai pusat orientasi rumah tinggal tradisional Bali


Sumber: I Nyoman Gelebet, 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Bali, hal. 245

Dalam tatanan rumah Jawa, terlihat pelataran rumah bagian depan menerus sampai
adanya pusat-pusat kosmologi yang tercermin kepada puncak hierarkinya yaitu pada bagian
pada Pendopo sebagai titik profan sebagai ruang yang dianggap paling suci: Sentong
tempat menerima tamu, sebagai sarana Tengah. Sumbu imajiner ini seolah merupakan
komunikasi dengan dunia bawah (sesama pembatas yang memisahkan dan membagi rumah
manusia). Darmanto Jatman, 2001, melukiskan menjadi bagian kanan dan kiri dalam bentuk
pendhapa, bagian depan rumah Jawa, sebagai: volume yang sama dan sebangun. Wantah ini
sesuai dengan salah satu pandangan orang Jawa
Inilah pendapa rumah kita/mandala
yaitu kehidupan yang dualistik. Kebahagiaan
dengan empat saka guru/ dan delapan tiang
hidup dalam keadaan ini akan dapat dicapai
penjuru/ Di atas pintu tertulis rajah:/ Ya
apabila ada kemampuan untuk menjaga titik
maraja Jaramaya/ Yang maksudnya: Hai
keseimbangan di antara dualisme tersebut. Cara
kau yang berencana/ berhentilah
yang bisa ditempuh adalah selalu berusaha
berencana!/ Disinilah kita akan menerima
menjaga keselarasan diri terhadap alam
tamu-tamu kita/ sanak kadang tangga
lingkungannya melalui olah-batin dan
teparo/ Yang nggadhuh sawah, ladang atau
pengkondisian rumah sebagai dunia kecil/
raja kaya kita/ merembuk sesuatu untuk
tempat tinggal agar menunjang suasana
kesejahteraan bersama.
penyelarasan diri. Dalam konteks tersebut,
Setelah Pendopo, terdapat Sentong rumah sebagai salah bentuk pernyataan diri
Tengah sebagai tempat meditasi, meletakkan untuk setia kepada sikap penyelarasan diri
pusaka (Dewi Sri/Dewi Padi) sebagai titik sakral, sekaligus sebagai wahana pencapaian kondisi
sebagai tempat komunikasi dengan dunia atas yang selaras tersebut. Jadi, orang Jawa tidak
(Tuhan) dan Peringgitan sebagai ruang sirkulasi hanya memandang rumah sebagai sekadar
antara rumah induk dengan pendopo dan tempat tinggal, namun lebih jauh lagi tempat
biasanya juga sebagai tempat meletakkan tirai membangun religi penghuninya. (lihat gambar 6)
(keber) pada saat pertunjukan wayang kulit.
Tautan dari konfigurasi ruang-ruang ini adalah
sumbu horisontal yang tergaris secara maya dari

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 37


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Hal serupa dapat terlihat pada rumah perjalanan matahari dari horison ke horison
panjang suku Dayak Iban di Kalimantan Barat. (tisau langit) dalam sebuah kosmos.
Rumah panjang mereka memiliki orientasi: Aplikasinya dalam bentuk rumah tinggal
dan susunan ruang dalamnya menghasilkan
1. Dibangun sejajar dengan sungai yang ada di
teras rumah (tanju) yang disimbolkan
depannya yang dianggap sebagai sumber
sebagai matahari dan mendapatkan sinar
kehidupannya sehari-hari;
matahari secara penuh sebagai lambang
2. Mengacu kepada pergerakan matahari dari
kehidupan dan bagian dalam rumah yang
timur (matahari tumboh) ke barat (matahari
disimbolkan sebagai malam (gelap) yang
padam). Timur dimaknakan sebagai
melambangkan jiwa, Tuhan, dan semangat.
kehidupan dan barat sebagai kematian.
(lihat gambar 7)
Rumah dianggap sebagai cermin dari

K
e
t
e
r
a
n
Keterangan:
g
a
1. Lawang pintu
n
2. Pendopo
:
3. Peringgitan
4. Emperan
5. Dalem
6. Senthong
7. Gandok
8. Dapur
9. Kamar mandi

Gambar 6. Skema rumah joglo dengan pembagian ruangnya berdasarkan sistem sumbu dan hirarki
Sumber: Http://www..pu.go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.htmls

Pada rumah tradisional Sumba, secara 2. Rongu uma (tingkat kedua) merupakan dunia
hirarki vertikal dibedakan atas tiga bagian besar, kehidupan manusia, di dalamnya terdapat
yaitu: pimudeta (balai-balai setinggi 1 meter), pani
(ruang laki-laki), hadoku (kamar suami-
1. Lei bungan (kolong rumah) yang digunakan
istri), dan halibar yang mempunyai banyak
sebagai tempat penampungan ternak dan
fungsi sebagai tempat tidur kakek-nenek,
berjemur merupakan dunia bawah;

38 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

serta tempat bersalin. Selain itu, ada keri tengah merupakan ruang dunia kehidupan
penuang (kamar anak wanita) dan heda manusia (padang); 3) Ruang bawah
kabali mata (tempat tidur untuk tamu). Di rumah/kolong merupakan dunia bawah, tempat
pusat rumah terdapat rapu (tempat perapian) kehidupan makhluk setan; 4) Kaki bangunan
yang melambangkan buli atau tempat usus paling bawah akan ditopang pada kepala dewa
besar manusia. Di atas perapian terdapat hedi Pong Tulak Padang; 5) Sementara dewa
atau tempat alat-alat makan yang tertinggi, Puang Matua, bertempat di alam sorga
melambangkan jantung manusia. teratas (ulunna langi) dan ini disimbolkan
3. Uma daluku (menara/loteng) merupakan dengan matahari dan pergerakannya; 6) Rumah
dunia atas (sakral atau holy) yang hanya bangsawan suku Toraja, terdapat ruang tengah di
boleh dimasuki oleh bapak keluarga karena kaki rumah yang tidak difungsikan, disimbolkan
dianggap hanya dialah yang boleh sebagai riri posi atau tempat tali pusar; 7) Pada
berhubungan dengan Merapu. Loteng ini badan rumah terdapat ruang yang menjadi
terdiri atas dua bagian yaitu bagian atas orientasi (axis mundi), atau disimbolkan sebagai
Hindi Marupu sebagai tempat tinggal yang pusat alam semesta (petuo), dalam satu sumbu
hadir dalam wujud benda-benda pusaka yang vertikal dengan ruang di atasnya. Ruang di
dianggap keramat, dan bagian bawah untuk bawah rumah (kaki panggung) dianggap sebagai
menyimpan padi dan bahan makanan ruang yang sangat berbahaya, terdapat kekuatan
lainnya. yang dapat mengganggu kehidupan manusia; 8)
Padi dan air sebagai sumber kehidupan terdapat
Tidak seperti kosmologi Jawa,
di sebelah utara rumah; 9) Tapak rumah akan
kosmologi rumah tradisional Sumba adalah
dibangun mengikuti aliran sungai Sadan. Aliran
vertikal. Alam bawah diletakkan di kolong
sungai dari arah utara ke selatan juga merupakan
rumah sebagai tingkat terendah dalam
salah satu sumbu orientasi perumahan suku
kehidupan, sebagai tempat makhluk setan,
Toraja pada umumnya, selain juga mengikuti
kemudian di tingkat kedua sebagai ruang hidup
orientasi timur-barat sesuai lintasan pergerakan
penghuninya, dan loteng/menara sebagai bagian
matahari; 10) Laut terdapat di bagian selatan
rumah yang memiliki nilai hirarki tertinggi,
dengan latar belakang Pulau Pongko, asal nenek
sebagai tempat pemujaan terhadap sesuatu yang
moyang masyarakat Toraja sebelumnya; 11)
dianggap sakral. Pada penampakan fisik rumah
Kuburan juga diletakkan di sebelah selatan; 12)
tinggal ini, ada sumbu imajiner yang membagi
berdekatan dengan gunung Bamba Puang yang
rumah tersebut secara simetris, melambangkan
legendaris itu; 13) Kuburan bagi para bangsawan
keseimbangan hubungan antara penghuni, alam,
diposisikan lebih tinggi daripada kuburan
dengan dunia gaib dan kosmis. (lihat gambar 8).
masyarakat biasa. Kuburan ini dikelilingi oleh
Konsep hirarki rumah Toraja (banua)
pohon kelapa untuk membantu para roh
juga tidak jauh berbeda dengan konsep hirarki
mencapai alam atas.
rumah tradisional Sumba. Kata toraja yang
dimaknakan sebagai sesuatu yang tinggal di
gunung atau sesuatu yang tinggal di tempat
tinggi, berasal dari kata raja (dalam bahasa
Sansekerta berarti penguasa). Rumah tradisional
ini terdiri dari tiga bagian berdasarkan
hirarkinya. 1) Bagian atas, loteng (langi)
merupakan dunia/alam atas yang melambangkan
sorga dan dianggap paling sakral; 2) Ruang

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 39


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Gambar 7. Rumah panjang suku Dayak Iban berorientasi ke sungai dan lintasan matahari
Sumber: Clifford Shater, ed. James J. Fox, 1993, dalam Jurnal Kartono, 1998, hal 14

Gambar 8. Rumah di Sumba adalah lebih daripada tempat kediaman belaka, terutama tempat ibadah,
tempat penghubungan dunia fana dengan dunia gaib dan kosmis. Bentuk atap yang
menjulang tinggi dan yang sama konsep dan logikanya dengan rumah-rumah Jawa
Sumber: Http://www..pu.go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.html

Rumah suku Toraja diletakkan sesuai ini hanya dilakukan pada saat upacara menjelang
orientasi utara-selatan. 14) Bagian rumah yang pemakaman. Jenasah kemudian diposisikan di
dianggap paling sakral adalah bagian loteng timur-barat, dan diperlakukan seolah jenasah itu
paling utara (lindo puang), sebagai masih hidup; 16) Upacara ini merupakan upacara
pengejawantahan wajah pemilik rumah itu, terpenting, akhirnya jenasah dikeluarkan melalui
sekaligus juga pintu masuk para dewa ke dalam pintu yang terletak di sisi barat rumah. Sisi
rumah. Pada sisi rumah sebelah selatan dan sisi selatan dan sisi barat juga dilambangkan sebagai
lainnya disimbolkan sebagai kematian, seperti tempat leluhur dan tempat peninggalan benda-
juga sisi barat, tempat matahari terbenam; 15) benda pusaka; 17) Ada juga yang meletakkannya
Jenasah diposisikan di sebelah barat rumah di sudut tenggara ruangan; 18) Sebelah timur
dengan kepala di selatan, melambangkan pulau rumah merupakan tempat aktivitas para
kematian yang berada di sebelah selatan. Kondisi penghuni, dilambangkan sebagai jantung.

40 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Konsep kosmologis ini juga diterapkan pada bermakna di dalam pengejawantahan mereka
elemen konstruksi rumah, seperti pada terhadap alam semesta (makrokosmos). Rumah
bubungan, atap, tangga masuk ke rumah, dan bagi masyarakat Toraja adalah cerminan
elemen konstruksi lainnya. (http://www.pu. penghayatan religi, sebagai bentuk pemahaman
go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.html) sederhana terhadap alam semesta. Bentukan
(lihat gambar 9). Jadi, bagi masyarakat Toraja, geometris ruang selalu dikaitkan dengan
sumbu orientasi sebagai sumbu imajiner sangat fenomena alam.

Gambar 9. Konsep Kosmologi Rumah Toraja ke dalam bentuk simetris


Sumber: Http://www..pu.go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.htmls

Demikian juga pada konsep-konsep mereka merupakan wantahan dari konsep


filosofi rumah tinggal tradisional masyarakat simbolik religius geometri.
vernakular lainnya di Indonesia yang tidak
pernah lepas dari upaya pengejawantahan religi SIMPULAN
penghuninya. Bentukan rumah tinggal yang ada
di berbagai daerah, walaupun berbeda secara Wantah simetri pada rumah tinggal
fisik, namun dasar pemikirannya dilandaskan tradisional memegang peranan yang cukup
kepada keseimbangan antara yang profan dan penting. Simetri dalam pengejawantahan ruang
sakral, antara skala dan niskala. Rumah tinggal geometri masyarakat vernakular dapat

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 41


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

membantu mereka dalam mempersepsikan Crowe, Norman, 1995. Nature and the Idea of a
hubungan untuk meningkatkan penghargaan Man-made World-An Investigation
kepada alam dan Penciptanya. Sebenarnya, into the Evolutionary Roots of Form
bukan bentuk-bentuk ruang geometri yang and Order in the Built Environment.
simetris yang menjadi tujuan masyarakat Cambridge Massachusetts: The MIT
vernakular. Namun - seperti halnya ungkapan Press.
sikap solemnitas yang lebih banyak bersifat
Dom H. van der Laan. 1983. Architectonic
spontan, tanpa perlawanan, dan kesadaran
Space-Fifteen Lessons on the
rumah tinggal tradisional yang simetris secara
Disposition of Human Habitat.
vertikal maupun horisontal lebih banyak
Leiden: E.J. Brill.
didasarkan dari pengaruh alam pemikiran
manusia yang bercita rasa dan penghayatan Eliade, M. 1986. The Sacred and The Profane.
kosmis dan mistis. Pensghayatan ini menyangkut New York: The Crossroad
ke-ada-an manusia atau semesta dari dasar-dasar Publishing Company.
yang paling akar, paling menentukan, paling Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi
sejati. dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Seiring dengan perkembangan PT. Dunia Pustaka Jaya.
peradaban manusia yang semakin kontemporer, Gelebet, I Nyoman, dkk. 1986. Arsitektur
pengungkapan religiusitas melalui bentuk-bentuk Tradisional Daerah Bali. Denpasar:
geometri rumah tinggal mengindikasikan pada Departemen Pendidikan dan
pencapaian bentuk-bentuk yang lebih bebas, Kebudayaan Proyek Inventarisasi
seolah tidak mau lagi terformat pada dogma- dan Dokumentasi Kebudayaan
dogma yang kaku. Bagi mereka penghayatan Daerah.
religius bersifat pribadi sampai kepada
pencitraan terhadap Yang Religius itu sendiri. Handler dan Linnekin. 1988. Tradition, Genuine,
Manusia seolah ingin mengungkapkan citra or Spurious, dalam Journal of
kemanusiaan. Tuhan tidak digambarkan sebagai American Anthroplogy.
Sesuatu Yang Agung dengan segala Kemuliaan Kartono, J. Loekito. 1998. Pengaruh Kosmologi,
dan Kemaharajaan-Nya. Tetapi Tuhan yang Mitologi, dan Genealogi pada
dekat dengan umatnya, layaknya seorang ibu Wujud Arsitektur Rumah Tinggal
yang dekat dengan anaknya. Namun, dalam Arsitektur Tradisional di Indonesia
menjalankan ritual religiusnya, manusia sampai dalam Jurnal Dimensi Teknik
saat ini belum kontemporer dalam membuat Arsitektur Volume 25 Agustus 1998.
wadah tempat ibadahnya, tidak sekontemporer Surabaya: Lembaga Penelitian dan
membuat bentukan rumah tinggal mereka yang Pengabdian kepada Masyarakat
mencirikan tradisional masyarakat tertentu. Universitas Kristen Petra Surabaya.
Manusia belum bisa meninggalkan sikap
solemnitas tersebut. Doa masih dijalani dalam Kridosasono. 1976. Kawruh Kalang. Surakarta:
posisi simetris. Jawatan Gedung-gedung Negara
Daerah Surakarta.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra,
DAFTAR PUSTAKA Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk
Arsitektur Sendi-sendi dan Filsafat
Antoniades, Anthony C. 1990. Poetics of
Beserta Contoh-contoh Praktis.
Architecture-Theory of Design. New
Jakarta: PT. Gramedia.
York: Van Nostrand Reinhold.
Mangunwijaya, Y.B. 1999. Manusia Pasca-
Brouwer, M.A.W. 1984. Psikologi
modern, Semesta, dan Tuhan,
Fenomenologis. Jakarta: PT.
Renungan Filsafat Hidup Manusia
Gramedia.
Modern. Yogyakarta: Kanisius.

42 JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003


WANTAH GEOMETRI, SIMETRI, DAN RELIGIUSITAS PADA RUMAH TINGGAL TRADISIONAL DI INDONESIA

Rumah Adat/Tradisional, http:www.pu.go.id/


publik/bencana/SIATI/simtradisiona
l.html.
Widayati, Naniek. 1999. Tinjauan Kajian
Konsep Bangunan Jawa (Sebuah
Kajian Literatur) dalam Jurnal
Kajian Teknologi Volume 1 Nomor
1 Nopember 1999. Jakarta: Uni-
versitas Tarumanegara Jakarta.

JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 1 NO.1 - PEBRUARI 2003 43

Anda mungkin juga menyukai