Anda di halaman 1dari 70

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan penyebab utama kematian di negara-negara berkembang.
Stroke tidak hanya menyebabkan kematian melainkan juga menyebabkan
kecacatan (disabilitas). Keadaan disabilitas inilah yang dapat menghambat
perkembangan sumber daya manusia yang berdampak pada pembangunan di
suatu negara (Depkes RI, 2011).
Meningkatnya usia harapan hidup yang didorong oleh keberhasilan
pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi serta globalisasi di
Indonesia akan cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler
(penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer). Stroke menyerang
usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam
pembangunan kesehatan secara nasional dikemudian hari. Data di Indonesia
menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal kejadian,
kematian, maupun kecacatan dengan angka kematian berdasarkan umur adalah:
sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5%
(umur 65 tahun). Sedangkan, kejadian berdasarkan jenis kelamin yaitu; penderita
laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan profil usia di bawah 45 tahun
sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia di atas 65 tahun sebesar 33,5%.
(PERDOSSI, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, sebanyak 17,5
juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskuler, dan 31% dari jumlah
kematian tersebut sebanyak 7,4 juta orang diakibatkan oleh penyakit jantung dan
6,7 juta orang diakibatkan oleh stroke.
Menurut Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH., Dr.PH.
saat membuka Temu Nasional Strategi Kemitraan Pengendalian Penyakit Tidak
Menular dalam Penguatan Sistem Kesehatan pada Era desentralisasi di Jakarta,
Kamis 18 Agustus 2011. Menkes menjelaskan, angka kematian akibat PTM
meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5%
2

pada tahun 2007. Penyebab kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian
adalah stroke (15,4%), disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru
obstruktif kronis. Data Riskesdas 2007 menunjukkan di perkotaan, kematian
akibat stroke pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 15,9%, sedangkan di
perdesaan sebesar 11,5%. Hal tersebut menunjukkan PTM (utamanya stroke)
menyerang usia produktif. Sementara itu prevalensi PTM lainnya cukup tinggi,
yaitu: hipertensi (31,7%), arthritis (30.3%), penyakit jantung (7.2%), dan cedera
(7,5% ) (Depkes RI, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, stroke
merupakan gangguan suplai darah ke otak akibat aliran pembuluh darah ke otak
tersumbat dengan gejala adanya gangguan koordinasi, keseimbangan serta
kelemahan pada bagian tubuh.
Stroke meliputi tiga penyakit serebrovaskular utama, yaitu stroke iskemik,
perdarahan intraserebral primer, dan perdarahan subaraknoid. Stroke iskemik atas
serebral infark, adalah yang paling sering, yaitu 70-80% dari semua kejadian
stroke (Frtzsimmons, 2007).
Penyebab stroke Iskemik disebabkan oleh fokal iskemik di cerebral yang
dikarenakan oleh penurunan aliran darah yang menyebabkan fungsi dan
metabolisme sel saraf terganggu (Frtzsimmons, 2007). Berdasarkan angka
morbiditas stroke, 66% infrak terjadi karena trombosis ( Setyopranoto, 2012).
Oleh karena itu, menurut guideline stroke salah satu tatalaksananya adalah dengan
pemberian terapi trombolisis pada pasien stroke. PERDOSSI menjelaskan,
rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara keuntungan dan
kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Pemberian fibrinolitik merupakan
rekomendasi kuat yang diberikan sesegera mungkin setelah ditegakkan diagnosis
stroke iskemik (onset waktu 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam
pemberian intraarterial). European Cooperative Acute Stroke Study (ECASS 3)
menunjukkan bahwa tPA aman dan efektif untuk gejala awal 4,5 jam pada
beberapa pasien, tetapi perlu ditingkatkannya tindakan cepat antara dokter dan
pasien (AHA, 2009).
3

Secara umum fibrinolitik dengan tissue plasminogen activator (tPA)


memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral
yang bermakna. Salah satu jenis tissue plasminogen activator (tPA) yaitu alteplase
yang sering dikenal dengan aktivase. Berdasarkan penelitian sebelumnya, dari
Januari 2009 sampai Desember 2010 pasien yang mendapatkan tatalaksana
alteplase mengalami perubahan secara klinis pada gambaran CT Scan (Curt
Peterson, 2012).
Meskipun telah terbukti bahwa tatalaksana dengan trombolitik (tPA)
mempengaruhi prognosis bagi pasien stroke iskemik, namun banyak pasien yang
tidak ditatalaksana dengan trombolitik (tPA) dikarenakan waktu pasien tiba
melewati 3 jam yaitu hanya sebanyak 27,1 persen pasien stroke iskemik datang
pada waktu emas dari 100.000 pasien diantaranya hanya 12,9 persen ditatalaksana
tissue plasminogen activator (tPA) (AHA, 2009).
Berdasarkan guideline stroke menurut PERDOSSI sebelum ditatalaksana
yang paling penting adalah melihat terlebih dahulu hasil pemeriksaan CT Scan
kepala untuk membedakan gambaran stroke iskemik dengan stroke hemoragik.
National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan tentang response time
pasien yang akan diberikan (tPA) di Unit Gawat Darurat sebagai berikut: Pasien
tiba di IGD dengan diagnosis stroke, evaluasi dan pemeriksaan pasien oleh triage
(termasuk anamnesis, permintaan laboratorium dan menilai NIHSS) waktu < 10
menit, didiskusikan oleh tim stroke ( termasuk keputusan dilakukan pemberian
rTPA) waktu < 15 menit, dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala, waktu <25
menit, hasil pemeriksaan CT Scan kepala dan laboratorium, waktu < 45 menit dan
pemberian tPA (bila pasien memenuhi kriteria inklusi), waktu < 60 menit.
(PERDOSSI, 2011).
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dari Mei 2014 sampai
November 2014 rata-rata kedatangan untuk pencitraan CT untuk pasien adalah 28
menit, lebih lama dari yang direkomendasikan waktu <25 menit. Penurunan waktu
untuk CT akhirnya dapat mengurangi waktu untuk pengobatan yang secara
langsung berdampak pada prognosis pasien kedepannya (Curt Peterson, 2015).
4

Pada tahun 2006 jumlah pasien stroke yang dirawat di instalasi Rawat Inap
Non Bedah bagian saraf Rumah Sakit Mohammad Hoesin palembang 488 orang,
tahun 2007 sebanyak 517 orang, dan tahun 2008 sebanyak 211 orang pasien yang
tercatat dari bulan januari sampai april 2008 (Wahyuni, Ikop 2009). Melihat
semakin tahun semakin meningkatnya kejadian stroke di Rumah Sakit
Mohammad Hoesin Palembang hal ini menunjukkan tatalaksana yang tepat, cepat,
dan akurat sangat diperlukan. Berdasarkan survey sebelumnya yang dilakukan di
IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, sebagian besar pasien
membutuhkan waktu >25 menit untuk melakukan CT Scan kepala yang
merupakan golden standard pasien stroke iskemik sebelum di tatalaksana
trombolitik yaitu dengan rekomendasi waktu CT Scan <25 menit. Melihat
banyaknya keterlambatan dalam hal pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke
iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, maka pada penelitian
ini tertuju pada faktor yang dapat menghambat pelayanan CT Scan kepala pada
pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

1.2. Rumusan Masalah


Faktor apa saja yang dapat menghambat pelayanan CT Scan kepala pada
pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang?

1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penghambat pelayanan CT
Scan kepala pada pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan CT Scan kepala pada
pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
2) Mengetahui faktor yang paling menghambat pelayanan CT Scan kepala
pada pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
5

1.4.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1.4.1 Bagi Rumah Sakit
1) Mengetahui pentingnya waktu yang diperlukan untuk pelayanan CT Scan
kepala pada pasien stroke iskemik.
2) Meningkatkan informasi dalam hal perencanaan, penatalaksanaan, dan
evaluasi khususnya dalam hal pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke
iskemik di IGD rumah sakit.
1.4.2 Bagi masyarakat umum
1) Memberikan informasi tentang risiko keterlambatan dalam pelayanan CT
Scan kepala pada pasien stroke iskemik di IGD.
2) Memberikan dasar untuk penelitian yang selanjutnya.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke
2.1.1 Definisi Stroke
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan gejala hilangnya fungsi
sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau
menit. Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam yang menyebabkan
kematian (Lionel, 2007). Stroke, juga disebut "serangan otak", terjadi ketika
sebagian dari otak rusak karena kurangnya suplai darah ke bagian otak. Karena
kurangnya oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah, sel-sel otak (yang disebut
"neuron") mati dan koneksi antara neuron (disebut "sinapsis" atau persimpangan)
hilang. Akibatnya, bagian tubuh yang dikendalikan oleh sebagian dari otak tidak
berfungsi secara normal. Semakin besar daerah yang mengalami kerusakan
semakin besar defisit yang dimiliki pasien (Artemio et. al 2014).
2.1.2 Faktor Risiko Stroke
Faktor yang sama yang sudah dikenal sebagai risiko untuk penyakit jantung
arterosklerotik juga merupakan faktor risiko untuk stroke. Faktor risiko
demografik mencakup usia lanjut, ras, dan etnis (orang Amerika keturunan Afrika
memiliki angka yang lebih tinggi daripada orang kaukasia), dan riwayat stroke
dalam keluarga. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah fibrilasi atrium,
diabetes melitus, hipertensi, apneu tidur (Qureshi et al., 1997), kecanduan alkohol,
dan merokok. Dalam bidang kesehatan masyarakat, perlu dipahami bahwa faktor
risiko paling utama untuk stroke adalah hipertensi kronik (yang dikenal oleh
orang awam sebagai tekanan darah tinggi). Dengan demikian, karena sebagaian
besar kasus hipertensi dapat diobati, dan karena penurunan tekanan darah ke
tingkat normal akan menceegah stroke, diagnosis,dan terapi agresif hipertensi.
Kegemukan (obesitas), yang cepat menjadi masalah kesehatan umum di
Amerika Serikat, baru- baru ini dibuktikan merupakan faktor risiko independen
untuk stroke. Dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) sebagai variabel,
7

para peneliti mendapatkan bahwa subjek yang ikut serta dalam The US Physcians
Health Study dengan IMT lebih besar daripada 27,8 kg/m2 memiliki risiko yang
lebih besar secara bermakna untuk stroke iskemik dan hemoragik (Kurth et al.,
2001). Dengan demikian kegemukan tampaknya merupakan faktor risiko penting
untuk stroke, tidak saja melalui penyakit- penyakit yang diperparah oleh
kegemukan seperti hipertensi, diabetes, dan peningkatan klestrol tetapi juga
melalui mekanisme lain yang belum teridentifikasi.
2.1.3 Klasifikasi Stroke
Stroke dapat diklasifikasikan dalam dua kategori. Sekitar 80 persen dari
stroke disebabkan oleh gangguan suplai darah yaitu stroke iskemik. Hal ini
biasanya disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah (arteri) di otak. Jika
terjadi penyumbatan arteri, sel-sel otak tidak bisa mendapatkan oksigen, nutrisi
dan akhirnya akan berhenti bekerja. Semakin lama terjadi penyumbatan pada
pembuluh darah semakin besar kemungkinan kematian sel-sel otak (Artemio et. al
2014).Stroke iskemik dapat dibagi menjadi dua jenis utama: trombotik dan
embolik. Stroke trombotik terjadi ketika arteri tersumbat oleh pembentukan
bekuan yang terdapat didalam darah. Arteri dapat rusak oleh endapan kolesterol
(aterosklerosis). Penyumbatan selanjutnya terjadi karena penggumpalan
bersama-sama sel darah (trombosit) atau zat lain yang biasanya ditemukan dalam
darah. Stroke emboli juga disebabkan oleh gumpalan dalam arteri, tetapi dalam
kasus ini bekuan (atau embolus) terbentuk di tempat lain selain di otak itu sendiri.
Bahan-bahan ini bisa menjadi bekuan darah (misalnya dari jantung) atau bahan
lemak (misalnya dari arteri lain - penyakit arteri karotid). Bahan-bahan ini
kemudian pergi dari tempat terbentuknya kemudian memasuki sirkulasi darah dan
masuk ke otak. Stroke lakunar terjadi ketika arteri kecil tersumbat dan gejala yang
dialami lebih ringan serta pemulihan lebih baik daripada arteri besar yang
tersumbat (Artemio et. al 2014).
Dan jenis stroke yang lebih jarang terjadi dibandingkan stroke iskemik adalah
stroke hemoragik yang diakibatkan oleh rupturnya pembuluh darah di otak. Stroke
hemoragik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu; perdarahan yang terjadi di
intraserebral (ICH) yang paling sering diakibatkan oleh peningkatan tekanan
8

darah yang mendadak dalam otak yang mengakibatkan kerusakan sel-sel otak
disekitarnya dan perdarahan yang terjadi di subarachnoid (SAH) yaitu darah yang
menempati ruang subarachnoid yang paling sering diakibtkan karena kelainan
yang terjadi dipembuluh darah yang sering di sebut aneurisma. Aneurisma adalah
daerah kecil dalam arteri yang mengalami pembengkakan dan rentan ruptur
(Artemio et. al 2014).
Transient Ischemic attacks (TIA) juga disebut "mini-stroke." Seperti
disebutkan sebelumnya, stroke disebabkan oleh gangguan fungsi otak yang
ireversibel karena gangguan aliran darah. Sebaliknya, TIA adalah gangguan
sementara fungsi dari bagian otak yang disebabkan oleh gangguan dari aliran
darah otak lokal yang berlangsung kurang dari 24 jam. Pencegahan stroke sangat
penting bagi mereka yang pernah mengalami TIA, karena TIA merupakan salah
satu penanda penting terjadinya stroke. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa TIA membawa risiko jangka pendek yang signifikan terjadinya stroke,
terutama pada beberapa hari pertama setelah TIA tersebut (Artemio et. al 2014).
2.1.4 Patofisiologi Stroke
Penyakit serebrovaskuler disebabkan oleh satu dari beberapa proses patologik
yang mengenai pembuluh darah otak. Proses penyakit cerebrovaskular (1)
instrinsik terhadap pembuluh darah, seperti arterosklerosis, lipohialinosis,
inflamasi,deposisi amiloid, diskesi arterial, malformasi perkembangan, dilatasi
aneurisma, atau trombosis vena; (2) mula-mula sedikit, dan terjadi bila embolus
dari jantung atau sirkulasi ekstrakranial bersangkut dalam pembuluh darah
intrakranial; (3) diakibatkan oleh penurunan tekanan perfusi atau peningkatan
viskositas darah dengan aliran darah serebral tak kuat; atau (4)diakibatkan oleh
ruptur pembuluh darah pada ruang subarakhnoid atau jaringan intraserebral
(Martin et al,.2014).
Stroke merupakan trauma neurologik akut yang terjadi sebagai hasil dari
proses patologik ini dan bermanifestasi sebagai perdarahan atau infark otak.
Sekitar 80 persen stroke akibat infark serebral iskemik dan 20 persen akibat
perdarahan otak. Otak mengalami yang mengalami infark awalnya pucat. Dalam
beberapa jam sampai hari, substansia grisea mengalami terkongesti dengan
9

pembuluh darah berdilatasi, mengalami distensi dan perdarahan petekie kecil. Bila
embolus menghambat pembuluh darah utama bermigrasi, mengalami lisis atau
menyebar dalam beberapa jam, resirkulasi ke dalam area iskemik menyebabkan
infark perdarahan yang dapat menambah pembentukan edema dari pemusatan
barier otak-darah. Perdarahan intraserebral primer merusak otak secara langsung
pada daerah perdarahan dengan menekan jaringan sekitar (Martin et al,.2014).
Otak tidak dapat memperbaiki sendiri dan hanya membentuk jaringan parut
fibrogliotik pada daerah infark atau perdarahan; oleh karena itu, kebanyak terapi
efektif terhadap stroke merupakan pencegahan. Setelah stroke, terapi ditujukan
langsung untuk meminimalkan pemburukan infark atau perdarahan, mencegah
stroke kedua atau mengurangi edema. Terapi pada stroke iskemik dibantu oleh
diagnosis yang tepat yang menentukan patologi vakuler primer, luas, dan lokasi
stroke, dan sirkulasi kolalateral. Gambaran klinis dan profil temporal stroke sering
mendukung penyebab. Diagnosis termasuk uji pencitraan (CT dan MRI) dan uji
laboratorium noninvasif (Martin et al,.2014).
2.1.5 Gejala Stroke
Stroke adalah suatu kedaruratan medis, karena intervensi dini dapat
menghentikan dan memulihkan kerusakan neuron akibat gangguan perfusi. Gejala
stroke biasanya berkembang sangat pesat. Pada beberapa pasien, stroke terjadi
selama tidur, dan sebagiannya lagi terjadi pada saat bangun. Gejala tergantung
pada bagian otak yang rusak. Sebagai bagian yang berbeda dari kontrol otak
bagian yang berbeda dari tubuh, sifat dan keparahan gejala dapat bervariasi
(Wilson, 2013).Tanda utama stroke adalah munculnya secara mendadak satu atau
lebih defisit neurologik fokal. Defisit tersebut mungkin mengalami perbaikan
secara cepat, mengalami perburukan progresif, atau menetap. Aktivitas kejang
biasanya bukan gambaran stroke. Gejala umum berupa baal atau lemas mendadak
di wajah, lengan, atau tungkai terutama disalah satu sisi tubuh; gangguan
penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua
mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang,
hilangnya keseimbangan atau koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa
yang jelas (Wilson, 2013).
10

Titik percabangan atau sudut pembuluh- pembuluh besar merupakan bagian


paling rentan terhadap gangguan aliran karena stenosis. Gambaran klinis utama
yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak dapat bersifat fokal dan temporer,
atau disfungsinya mungkin permanen, disertai kematian jaringan dan defisit
neurologik (Wilson, 2013).
2.1.6 Diagnosis Stroke
1) Anamnesis Gejala dan Tanda
Keadaan klinis pasien, gejala dan riwayat perkembangan gejala dan defisit
yang terjadi merupakan hal penting dan dapat menuntin dokter untuk
menentukkan kausa yang paling mungkin dari stroke pasien. Anamnesis
mencakup: Penjelasan tentang awitan dan gejala awal, kejadian kejang pada awal
kejadian mengisyaratkan stroke embolus, perkembangan gejala atau keluhan
pasien atau keduanya, riwayat TIA, faktor risiko (hipertensi,fibrilasi atrium,
diabetes, merokok, dan pengunaan narkotika) (Wilson, 2013).
2) Evaluasi Klinis Awal
Pasien harus menjalani pemeriksaan fisik lengkap yang berfokus
pada sistem berikut:
a. Sistem pembuluh perifer. Lakukan auskultasi pada arteria karotis
untuk mencari adanya bising (bruit) dan periksa tekanan darah di
kedua lengan untuk diperbandingkan.
b. Jantung. Perlu dilakukan pemeriksaan jantung lengkap, dimulai
dengan auskultasi jantung dan EKG-12 sadapan. Murmur dan
disritmia merupakan hal yang harus dicari, karena pasien dengan
fibrilasi atrium, infrak miokardium akut, atau penyakit katup
jantung dapat mengalami embolus obstruktif.
c. Retina. Periksa ada tidaknya cupping diskus optikus, perdarahan
retina, kelainan diabetes.
d. Ekstremitas. Evaluasi ada tidaknya sianosi dan infark sebagai tanda
-tanda embolus perifer.
e. Pemeriksaan neurologik. Sifat intactness diperlukan untuk
mengetahui letak dan luas stroke (Wilson, 2013).
11

2.1.7 Pemeriksaan pada Stroke


1) Teknik Pencitraan
Kemajuan dalam teknologi CT dan MRI sangat meningkatkan derajat keakuratan
diagnosis stroke iskemik akut. Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan CT
perfusi dan angiografi CT dalam 24 jam setelah awitan stroke, maka terjadi
peningkatan derajat akurasi dalam menentukan lokasi secara dini, lokalisasi
vaskular, dan diagnosis etilogi (Ezzedine et al., 2001). Namun pembedaan antara
kausa embolus daan trombus pada stroke iskemik masih sulit dilakukan. Salah
satu teknik yang digunakan untuk menentukan jenis stroke dengan cara CT Scan
kranio-serebral.
2) Analisis laboratorium standar mencakup urinalisis, HDL, Laju Endap
Darah (LED), panel metabolik dasar (natrium, kalium, klorida, bikarbonat,
glukosa, nitrogen urea dasar, dan kreatinin), profil lemak serum, dan serologi
untuk sifilis. Pada pasien yang dicurigai mengalami stroke iskemik, panel
laboratorium yang mengevaluasi keadaan hiperkoagulasi termasuk perawatan
standar. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah protombin dengan rasio
normalisasi internasional (INR), waktu tromboplastin parsial, dan hitung
trombosit. Pemeriksaan lain yang mungkin dilakukan adalah antibodi
antikardiolipin, protein C dan S, antitrombin III, plasminogen, faktor V Leiden,
dan resistensi protein C aktif (Wilson, 2013).
2.1.8 Peran CT Scan pada penatalaksanaan Stroke
CT Scan adalah modlitas radiologi yang saat ini cukup banyak tersedia di
rumah sakit sehingga efektif untuk diagnosis pasien dengan stroke. CT Scan non
kontras merupakan pemeriksaan imaging inisil pada kasus stroke. Infark dengan
perubahan yang minimal dapat sulit dideteksi dengan CT Scan non kontras namun
kesulitan ini dapat tidak terlalu berarti mengingat target terapi trombolisis adalah
pasien tanpa gambaran perdarahan intracranial dan pasien tanpa iskemik/infark
luas berdasarkan pemeriksaan CT Scan. Perdarahan intracranial dapat terlihat
jelas pada CT Scan, bahkan jika dibandingkan dengan MRI sekalipun.
Iskemik/infark luas dapat diidentifikasi dengan baik menggunakan CT Scan dan
menjadi perhatian karena risiko komplikasi yang lebih tinggi jika diberikan
12

trombolisis. Pada kasus iskemik/infark luas, CT scan non kontras dapat


memperlihatkan perubahan iskemik otak sekitar 45 menit setelah onset stroke.
Fenomena perubahan iskemik ini diperlihatkan dengan hilangnya diferensiasi
substansia alba dan griseria otak atau disebut sebagai early ischemic signs. CT
Scan non kontas dalam waktu 6 jam dapat memperlihatkan area hipodens pada
substansia grisea. Adanya early ischemic signs menandakan proses iskemik yang
ireversibel. Early ischemic signs diantaranya adalah hipodensitas jaringan otak,
hilangnya diferensiasi substansia alba dan grisea, kesuraman basal ganglia, insular
ribbon, caudate stripe, serta edema serebri dan penyempitan sulkus kortikal
(Reyhan, 2016).
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau CT
Scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik serta
mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa (kecurigaan stroke luas). Stroke
iskemik adalah diagnosis yang paling mungkin bila CT Scan tidak menunjukkan
perdarahan, tumor, atau infeksi fokal, dan bila temuan klinis tidak menunjukkan
migren, hipoglikemia, ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et
al.,2009).
Pencitraan otak atau CT Scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang
sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke
yang diderita oleh seseorang. Hasil CT Scan perlu diketahui terlebih dahulu
sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau antiagregasi platelet. CT
scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT Scan non kontras yang digunakan untuk
membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang memberikan
gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya
adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT Scan kontras yang digunakan
untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme (Lumbantobing, 2001).
13

2.1.9 Penatalaksanaan Stroke


Tujuan utama pengobatan stroke akut adalah (Anonim, 2008):
a. Mengurangi luka sistem saraf yang sedang berlangsung dan menurunkan
kematian serta cacat jangka panjang.
b. Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem syaraf
pusat.
c. Mencegah berulangnya stroke.
Pendekatan awal adalah memastikan keseimbangan pernafasan dan bantuan
jantung dan memeriksa secara cepat apakah lesi adalah iskemik atau pendarahan
berdasarkan pemantauan CT Scan. Pasien stroke iskemik menunjukkan beberapa
jam terjadinya gejala seharusnya dievaluasi untuk terapi reperfusi. Peningkatan
tekanan darah seharusnya mengingatkan bahwa tidak terobatinya periode akut (7
hari pertama) setelah stroke iskemik karena risiko penurunan aliran darah ke otak
dan gejala yang lebih buruk. Tekanan darah harusnya direndahkan jika mencapai
220/120 mmHg atau terdapat bukti pembedahan aorti, infark miokardial akut,
edema pulmonari, atau encefalofati hipersensitif. Jika tekanan darah diobati dalam
fasa akut, senyawa parenteral kerja cepat (misal: labetolol, nikardipin, nitropusid)
lebih baik digunakan (Anonim,2008).
Manajemen stroke yang rasional didasarkan pada pengetahuan jenis patologi
stroke. Diagnosa jenis patologi stroke dapat ditegakkan secara tepat dan aman
menggunakan CT Scan kepala (Lamsudin dkk.,1998). Strategi terapi dalam
pengobatan stroke didasarkan pada tipe stroke dan waktu terapi. Tipe stroke yang
dialami pasien adalah tipe iskemik atau hemoragik. Pada stroke hemoragik,
terapinya tergantung pada latar belakang setiap kasus hemoragiknya. Sedangkan
pada fase akut stroke iskemik, terapinya dilakukan dengan merestorasi aliran
darah otak dengan menghilangkan sumbatan (clots), dan menghentikan kerusakan
selular yang berkaitan dengan iskemik/hipoksia.
Waktu terapi yaitu terapi pada fase akut dan terapi pencegahan sekunder
(rehabilitasi). Pada fase akut, therapeutic window berkisar antara 12-24 jam
dengan golden period berkisar antara 3-6 jam, jika dalam rentang waktu tersebut
dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, kemungkinan daerah di sekitar
14

otak yang mengalami iskemik masih dapat disebuhkan. Pada fase rehabilitasi,
penggunaan obat dalam terapi umumnya life-time (konsumsi seumur hidup)
(Ikawati, 2011).
a.Terapi Farmakologik
Tujuan dari terapi stroke akut adalah mengurangi terjadinya luka neurologi,
mortalitas, dan kelumpuhan dalam jangka panjang, mencegah komplikasi
sekunderdan disfungsi neurologi serta mencegah terjadinya stroke kambuhan
(Dipiro dkk., 2005).
1) Terapi Suportif dan Terapi Komplikasi Akut
Pendekatan terapi pada fase akut, difokuskan pada restortasi aliran darah
otakdan menghenntikan kerusakan selular yang berkaitan dengan iskemik.
Berdasarkan model stroke pada hewan percobaan, periode waktu ini (therapeutic
window) berkisar antara 12-24 jam, walaupun secara khusus ditekankan antara 3-6
jam (Wibowo dan Gofir, 2001).
2) Terapi Trombolitik
Fibrinolitik yang bekerja sebagai trombolitik dengan cara mengaktifkan
plasminogen untuk membentuk plasmin, yang lebih lanjut mendegradasi fibrin
dan dengan demikian mencegah trombus. Termasuk dalam golongan ini
diantaranya streptokinase, urokinase, alteplase, anistreplase (Anonim, 1996).
Indikasi golongan obat ini adalah untuk infark miokard akut, trombosis vena,
emboli paru, trombus emboli arteri, melarutkan bekuan darah pada katup jantung
buatan dan sebagai kateter intravena (Ganiswara, 1995). Golongan obat ini
dikontraindikasikan pada kondisi pendarahan, trauma atau pembedahan (termasuk
cabut gigi), cacat koagulasi, diatesis pendarahan, diseksi aorta, koma, riwayat
penyakit serebrovaskuler, gejala-gejala tukak peptik, hipertensi berat, penyakit
paru dengan kavitasi, pankreatis akut, penyakit hati berat, varises esophagus,
dengan efek samping utamanya adalah mual, muntah dan pendarahan (Anonim,
1996).
Pada tahun 1995, National Institute Of Neurological Disorder And Stroke
(NIHSS) mengemukakan bahwa pasien dengn stroke iskemik akut diberikan
alteplase dengan dosis 0,9m/kg/BB 3 jam dari onset akan memberikan 30% luaran
15

stroke dengan minimal disabilitas sampai tidak adanya disabilitas. Hingga saat ini
pemberiaan antitrombolitik sangat efektif terhadap pengobatan reperfusi stroke
iskemik.
3) Terapi Antiplatelet

Terapi antiplatelet bertujuan untuk meningkatkan kecepatan rekanalisasi


spontan dan perbaikan mikrovaskuler. Agen antiplatelet dapat diberikan melalui
oral maupun intravena. Pemberian agen antiplatelet oral dapat diberikan secara
tunggal maupun kombinasi (Ikawati, 2011). Contoh antiplatelet yang digunakan
pada terapi pasien stroke adalah aspirin, dipiridamol, tiklopidin dan klopidogrel.
Aspirin bekerja dengan cara menghambat sikloksigenase melalui penurunan
sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yangmendorong tromboxane A2.
Dosis yang digunakan beragam, suatu penelitian yang dilakukan di Eropa (ESPS)
memakai dosis aspirin 975 mg/ hari dengan dipiridamol 225 mg/hari
menunjukkan hasil yang efikasius. Dipiridamol merupakan phosphodiester
inhibitor,menurunkan agregasi platelet dengan menaikkan kadar cAMP dan cGMP
dalam platelet. Obat ini tidak lebih unggul jika diberikan tunggal dibandingkan
aspirin, sehingga obat ini sering diberikan secara kombinasi dengan aspirin.
Pasien yang tidak tahan menggunakan aspirin dapat diberikan terapi
menggunakan tiklopidin atau klopidogrel. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat aktivasiplatelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-
platelet yang diperantai oleh ADP dan antar aksi platelet-platelet (Wibowo dan
Gofir, 2001).

4) Terapi Antikoagulan

Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan


menghambat pembentukan fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Atas dasar
ini antikoagulan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: Antikoagulan yang
bekerja langsung dn antikoagulan yang bekerja tidak langsung, yang terdiri dari
derivat kumarin misalnya ; dikumarol dan warfarin.
16

b.Terapi Nonfarmakologi

Pada stroke iskemik akut, penanganan operasi terbatas. Operasi dekompresi


dapat menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan signifikan yang
berhubungan dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penanganan
stroke yang mencakup rehabilitasiawal sangat efektif dalam pengurangan kejadian
stroke dan terjadinya stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid
dapat efektif dalam pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi
berisiko tinggi selama endarterektomi (Anonim, 2008). Pendarahan subaraknoid
disebabkan oleh rusaknya aneurisme intrakranial atau cacat intravena, operasi
untuk memotong atau memindahkan pembuluh darah yang abnormal, penting
untuk mengurangi kematian dari pendarahan. Keuntungan operasi tidak
didokumentasikan dengan baik dalam kasus pendarahan interaserebral primer.
Pada pasien hematomas intraserebral, insersi pada saluran pembuluh darah dengan
pemantauan atau tekanan intrakranial umum dilakukan. Operasi dekompresi
hematoma masih diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi
terancam (Anonim, 2008).

2.1.10 Pencegahan Stroke


Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke: (1) Strategi
kesehatan masyarakat atau populasi dan (2) strategi risiko tinggi. Strategi populasi
didasarkan pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi
perilaku berisiko pada seluruh populasi. Strategi risiko tinggi mengarahkan
upayannya untuk orang-orang yang memiliki risiko stroke diatas rata-rata. Agar
hemat biaya, pendekatan risiko tinggi harusd didasarkan pada risiko basal (absolut)
seseorang bukan didasarkan hanya pada usia atau pertimbangan risiko relatif yang
berkaitan dengan satu faktor risiko. Pada semua kelompok usia dan di semua
kategori risiko, perempuan memilki risiko absolut yang lebih rendah daripada
laki-laki (Wilson, 2013).
17

2.1.11 Prognosis
Indikator prognosis adalah : tipe dan luasnya serangan, age of onset, dan
tingkat kesadaran. Hanya 1/3 pasien bisa kembali pulih setelah serangan stroke
iskemik. Umumnya, 1/3-nya lagi adalah fatal, dan 1/3- nya mengalami kecacatan
jangka panjang. Jika pasien mendapat terapi dengan tepat dalam waktu 3 jam
setelah serangan, 33% diantaranya mungkin akan pulih dalam waktu 3 bulan
(Lionel, 2007).
2.2 Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Yang dimaksud dengan gawat darurat (emergency) adalah kejadian yang tidak
disangka-sangka dan memerlukan tindakan segera. Gawat (critical) adalah suatu
keadaan yang berbahaya, genting, penting, tingkat kritis suatu penyakit.
Gawat darurat medik adalah suatu kondisi yang dalam pandangan pasien,
keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa pasien ke
rumah sakit, memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi ini berlanjut hingga
petugas kesehatan yang profesional menetapkan bahwa keselamatan pasien atau
kesehatannya tidak terancam. Namun, keadaan gawat darurat yang sebenarnya
adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi
tersebut berkisar antara yang memerlukan pelayanan ekstensif segera dengan
rawat inap di rumah sakit dan yang memerlukan pemeriksaan diagnostik atau
pengamatan, yang setelahnya mungkin memerlkuakan atau mungkin juga tidak
memerlukan rawat inap (The American Hospital Association). Gawat darurat
medik dapat timbul pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Gawat darurat
dapat menimpa seseorang karena penyakit mendadak (akut) atau kecelakaan dan
dapat menimpa sekolompk orang seperti pada kecelakaan masal, bencana alam,
atau karena perperangan. Pasien gawat darurat memerlukan pelayanan medik
yang cepat, tepat, bermutu, dan terjangkau. Dalam pelayanan medik itulah para
petugas kesehatan dituntut untuk benar-benar menghayati dan mengamalkan etik
18

profesinya karena dalam kondisi gawat darurat aspek psikoemosional memegang


peranan penting, baik bagi penerima pelayanan medik maupun bagi petugas
kesehatan terkait (Hanafiah, 2013).

Unit kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan gawat darurat disebut


dengan nama unit gawat darurat (emergency unit). Tergantung dari kemampuan
yang dimiliki, keberadaan unit gawat darurat (UGD) tersebut dapat beraneka
macam. Namun yang lazim ditemukan adalah yang bergabung dalam rumah sakit
(Hospital based emergency unit) (Flynn, 1962). Bedasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 berbagai nama untuk unit/instalasi
pelayanan gawat darurat di rumah sakit diseragamkan menjadi Instalasi Gawat
Darurat (IGD).
2.2.2 Klasifikasi Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Klasifikasi Pelayanan Instalasi Gawat Darurat terdiri dari:
a. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk
Rumah Sakit Kelas A.
b. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal untuk
Rumah Sakit Kelas B.
c. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal untuk
Rumah Sakit Kelas C.
d. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar minimal untuk
Rumah Sakit Kelas D (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
856/Menkes/SK/IX/2009).
19

2.2.3 Jenis Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD)


LEVEL IV LEVEL III LEVEL II LEVEL I
Memberikan Memberikan Memberikan Memberikan
pelayanan pelayanan pelayanan pelayanan
sebagai berikut: sebagai berikut: sebagai berikut: sebagai berikut:
1. Diagnosis & 1. Diagnosis & 1. Diagnosis & 1. Diagnosis &
penanganan penanganan penanganan penanganan
Permasalahan Permasalahan Permasalahan Permasalahan
pd A, B, C dgn pd A, B, C dgn pd A: Jalan pd A: Jalan
alat-alat yang alat-alat yang nafas (airway nafas (airway
lebih lengkap lebih lengkap problem), B : problem), B :
termasuk termasuk Pernafasan Pernafasan
ventilator 2. ventilator 2. (Breathing (Breathing
Penilaian Penilaian problem) dan problem) dan
disability, disability, C : Sirkulasi C : Sirkulasi
Penggunaan Penggunaan pembuluh darah pembuluh darah
obat, EKG, obat, EKG, (Circulation (Circulation
defibrilasi 3. defibrilasi 3. problem) 2. problem) 2.
Observasi HCU/ Observasi Penilaian Melakukan
R. HCU/R. Disability, Stabilisasi dan
Resusitasi-ICU Resusitasi 4. Penggunaan evakuasi
4. Bedah cito Bedah cito obat, EKG,
defibrilasi
(observasi
HCU) 3. Bedah
20

cito

Tabel 1. Jenis Pelayanan di IGD (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


856/Menkes/SK/IX/2009)

2.2.4 Kualifikasi Sumber Daya Manusia di IGD

Pola ketenagaan dan kualifikasi SDM IGD adalah

No Nama Jabatan Kualifikasi Keterangan

Formal
21

1 Kepala Instalasi Gawat Dokter spesialis Bersertifikat


Darurat ACLS/ATLS

2 Kepala Ruang IGD S1 Bersertifikat


Keperawatan/DI BLS/BTCLS/PPGD
II Keperawatan

3 Dokter IGD Dokter Umum Bersertifikat


ACLS/ATLS

4 Perawat Pelaksana IGD D III Bersertifikat


Keperawatan
BLS/BTCLS/PPGD

5 Administrasi DIII

6 POS SMU BHD

Tabel 2. Pola ketenagaan dan kualifikasi Sumber Daya Manusia di IGD


(UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan)
22

2.2.5 Manajemen Bencana Berbasis Kegawatdaruratan

Persiapan pengelolalan pasien berlangsung 2 keadaan berbeda yaitu:


1) Tahap Pra- Rumah Sakit
Pada tahap pra- rumah sakit yang paling utama adalah koordinasi anatara
petugas lapangan dan petugas yang ada di rumah sakit. Yang harus diutamakan
pada kondisi ini adalah airway, breathing, kontrol perdarahan, syok, dan
pengiriman pasien sebelum ke rumah sakit dengan tujuan mengurangi waktu
tangap (response time) (Musliha, 2016).
2) Triage
Merupakan suatu metode penanganan korban bencana masal untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dengan jumlah korban besar dengan sarana
yang terbatas, (Modul penanggulangan gawat darurat, 2008)
Dasar- dasar Triage:
a. Derajat cedera
b. Jumlah yang cedera
c. Sarana dan kemampuan
d. Kemungkinan untuk bertahan hidup
Dalam kegawatdaruratan di ruang gawat darurat yang paling utama adalah
proses pengaktegorian/pelabelan untuk menekan jumlah morbiditas dan mortalitas.
Pengkategoriannya terbagi menjadi tiga yakni:
a. Emergency (merah/P1)
Label merah diberikan pada pasien yang harus ditangani dengan segera dan
dianggap mengancam jiwa (infark miokard, tension pneumotoraak, sumbatan
jalan nafas, dan trauma inhalasi) (Musliha, 2010).
b. Urgen (Kuning/P2)
Label kuning diberikan pada pasien yang tidak gawat darurat atau tidak
darurat tetapi gawat (cedera vertebra, fraktur terbuka, trauma kapitis, apendicsitis
23

akut).
c. Non Urgen (Hijau/ P3)
Label hijau diberikan pada pasien yang kondisinya tidak mengacam nyawa
(demam, luka memar, dan luka lecet) (Musliha, 2010).
2.3 Response Time
IGD sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat darurat di rumah sakit
memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan hidup klien. Wilde (2009)
telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya waktu tanggap (response time).
Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang datang ke
IGD memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuan
meningkatkan nya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat
dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat
dicapai dengan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen IGD
rumah sakit sesuai standar (Kepmenkes RI , 2009).
Jakarta Medical Service 119 (2013) mengatakan dalam pelayanan di IGD
harus ada organisasi yang baik dan lengkap, baik pembiayaan, SDM yang terlatih,
sarana yang standar baik sarana medis maupun sarana non medis dan mengikuti
teknologi pelayanan medis. Prinsip utama dalam pelayanan di IGD adalah
response time, baik standar nasional maupun standar internasional.
2.3.1 Definisi Response Time
Menurut Depkes RI (2006) salah satu indikator mutu pelayanan IGD adalah
waktu tanggap atau yang disebut Response Time. Menteri kesehatan pada tahun
2009 telah menetapkan salah satu prinsip umumnya tentang penanganan pasien
gawat darurat yang harus ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di
IGD (Kepmenkes, 2009). Depkes RI (2010) juga mengatakan salah satu prinsip
umum pelayanan IGD di RS adalah Response Time pasien gawat darurat harus
ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD.
Waktu tanggap gawat darurat merupakan gabungan dari waktu tanggap saat
pasien tiba di depan pintu runah sakit sampai mendapat respon dari petugas
Instalasi Gawat Darurat (response time) dengan waktu pelayanan yang diperlukan
sampai selesai proses penangan gawat darurat (Haryatun dan Sudaryanto, 2008).
24

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa


Response Time (waktu tanggap) merupakan suatu standar pelayanan yang harus
dimiliki oleh Instalasi Gawat Darurat dan juga menyimpulkan bahwa response
time merupakan unsur dari responsiveness Gawat Darurat.
2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Response Time
Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang datang
ke IGD memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya
sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time
yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan
meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen IGD
rumah sakit sesuai standar (Kepmenkes, 2009).
Canadian of Association Emergency Physician (2012) menuliskan bahwa
kejadian kurangnya stretcher untuk penanganan kasus yang akut berdampak serius
terhadap kedatangan pasien baru yang mungkin saja dalam kondisi yang kritis.
American Collegeof Emergency Physician (2008) menuliskan bahwa pada
IGD yang mengalami permasalahan berlimpahnya jumlah pasien yang ingin
mendapatkan pelayanan, menempatkan seorang dokter di wilayah triase dapat
mempercepat proses pemulangan pasien atau discharge untuk pasien minor dan
membantu memulai penanganan bagi pasien yang kondisinya lebih sakit. (Green,
et.al. 2006) yang mengemukakan bahwa pada perubahan yang sangat kecil dan
sederhana dalam penempatan staf sangat berdampak pada keterlambatan
penanganan di IGD.
Hal yang dibutuhkan untuk cepatnya waktu diagnosis dan waktu dilaksanakan
CT Scan pada pasien stroke saat response time adalah koordinasi yang baik antara
petugas, dokter spesialis saraf, dokter jaga, dan perawat yang sedang bertugas di
IGD (Behrouz et al., 2010). Selain itu, yang paling yang dibutuhkan dalam
mempercepat pelaksanaan CT Scan adalah kecepatan identifikasi oleh triase,
koordinasi petugas, dan ketepatan waktu pemeriksaan awal di IGD (Middleton,
Grimley, Alexandrov et al., 2015).
25

2.4 KERANGKA PEMIKIRAN


26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian


deskriptif kualititatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
dengan tujuan untuk untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis,
27

faktual dan akurat mengenai fakta, sifat, serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel
mandiri, tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel
yang lain, (Sugiono, 2006).

Pada penelitian deskriptif peneliti hanya melakukan eksplorasi fenomena


kesehatan tanpa berusaha mencari hubungan antar variabel didalam fenomena
tersebut (Hasmi, 2016). Oleh karena itu, peneliti memilih menggunakan jenis
penelitian deskriptif kualitatif untuk mengetahui faktor penghambat pelayanan CT
Scan kepala pada pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

3.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari 1 September -31 Oktober 2016.


3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

3.3. Fokus Penelitian


Pada setiap penelitian diperlukan batasan ruang lingkup penelitian atau fokus
penelitian. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mejawab permasalahan penelitian
dengan baik, karena peneliti mengetahui secara persis data yang diperlukan dan
harus dikumpulkan guna menjawab permasalahan penelitian (Strauss dan Corbin,
Moleong, 2005). Pembahasan penelitian ini difokuskan pada faktor penghambat
28

pelayanan CT Scan di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

3.4 Variabel Penelitian


Penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu pelayanan CT Scan kepala
pada Pasien Stroke Iskemik.

3.5 Definisi Konseptual


Definisi konsep variabel adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang
menjadi pusat perhatian dalam penelitian yang sedang dilakukan (Singarimbun
dan Effendi, 1995).
1) Pelayanan CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan sebagai golden
standard dalam menentukkan diaganosis pada pasien stroke. Dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi pelayanan CT Scan yaitu: waktu tunggu pasien, waktu
tanggap petugas triase, waktu tanggap spesialis saraf, ketersediaan porter,
ketersediaan petugas kesehatan, pengetahuan tentang terapeutic window dan
pengetahuan tentang pelaksanaaan CT Scan kepala.

a. Waktu tunggu pasien


Definisi : waktu tunggu pasien adalah waktu yang dibutuhkan pasien saat tiba di
IGD hingga ke meja triase.

b. Waktu tanggap petugas triase


Definisi : Waktu tanggap petugas triase adalah waktu yang dibutuhkan petugas
triase untuk melakukan (anamnesis dan pemeriksaan fisik).
c. Ketersediaan porter
Definisi : Ketersediaan porter adalah Jumlah porter yang dibutuhkan per shift
sesuai dengan SOP di IGD Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.

e. Ketersediaan petugas kesehatan (dokter umum, dokter PPDS, dokter spesialis,


perawat, dan radiografer )
29

Definisi :Jumlah dokter umum, dokter PPDS, dokter spesialis, perawat, dan
radiografer yang dibutuhkan per hari sesuai dengan SOP di IGD Rumah Sakit
Mohammad Hoesin Palembang.

f. Pengetahuan tentang Theraupetic Window


Definisi : Pengetahuan tentang Theraupetic Window adalah pengetahuan petugas
kesehatan (dokter umum, dokter PPDS, dokter spesialis, perawat, dan radiografer)
tentang waktu yang dibutuhkan pasien stroke iskemik untuk mendapatkan
tatalaksana yaitu 3 jam dan waktu yang dibutuhkan untuk CT Scan kepala pada
pasien stroke iskemik (door to CT Scan) yaitu 25 menit.

2) Faktor Penghambat Pelayanan CT Scan Kepala pada pasien stroke iskemik


Definisi : Faktor yang menyebabkan pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke
iskemik melewati batas waktu yang dibutuhkan berdasarkan standar PERDOSSI
yaitu 25 menit.

3.6 Unit Analisis

Unit analisis adalah unit yang akan diteliti atau dianalisis (Singarimbun dan
Effendi, 1995). Unit analisis dalam penelitian ini adalah IGD dan Instalasi
Radiologi RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

3.7 Informan Penelitian


(Arikunto, 2002) menjelaskan bahwa informan dapat disamakan dengan
partisipan penelitian, yaitu subyek penelitian dimana dari mereka data penelitian
diperoleh. Hal serupa disampaikan oleh Hubermen dan Miles (dalam Bungin, 2003)
bahwa selain menjadi sumber data dan informasi, informan juga berfungsi sebagai
pemberi umpan balik terhadap data penelitian dalam rangka cross check data.
Karena pada penelitian ini yang diteliti adalah faktor-faktor penghambat
pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke iskemik di IGD Rumah Sakit
Mohammad Hoesin Palembang maka yang dijadikan informan penelitiannya
adalah kepala instalasi gawat darurat, dokter-dokter jaga, dokter spesialis saraf,
30

perawat, petugas radiografi, dan porter di IGD umah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang. Jumlah informan dibagi berdasarkan shift kerja (pagi, sore, malam).

3.8 Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.
1) Data Primer bersumber dari hasil observasi dan wawancara secara langsung
dan mendalam (indepth interview) dengan informan.
2) Data Sekunder merupakan data pelengkap yang digunakan untuk memperkaya
kajian analisis yang bersumber dari buku, dokumen, literatur, peraturan-peraturan,
dan sumber informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

3.9 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dibedakan menurut data primer dan data sekunder.
1) Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui dua cara.
Pertama, pengumpulan data melalui observasi dengan cara mengamati secara
langsung aktivitas yang dilakukan di lokasi penelitian, yakni waktu tunggu pasien,
waktu tanggap triase, jumlah petugas kesehatan, dan jumlah alat CT scan. Kegiatan
observasi ini dilakukan guna mendeskripsikan secara sistimatis atas peristiwa,
sikap, dan perilaku yang terjadi pada obyek penelitian.
Kedua, pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam (Indepth Interview)
dengan informan menggunakan bantuan pedoman wawancara dan alat perekam
Tape Recorder. Pengertian wawancara mendalam (Indepth Interview) adalah
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab
sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara
dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial (Sutopo,
2006). Pedoman wawancara yang dapat digunakan dalam indepth intreview adalah
pedoman wawancara tidak terstruktur (unstructured intreview guide) dan
pedoman wawancara semi terstruktur (semi-structured intreview guide)
(Minichiello et al., 2006).
31

2) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang dikumpulkan melalui telaah
pustaka atau studi pustaka dengan melakukan kompilasi data yang bersumber dari
buku, dokumen, laporan tetulis, peraturan-peraturan, dan sumber informasi lainnya
yang memiliki relevansi dengan topik penelitian.

3. 10 Teknik Analisis Data


Analisis data dilakuan untuk menyajikan data dalam bentuk yang lebih mudah
dibaca dan diinterpretasikan, sehingga bisa memberikan penjelasan sebagai
jawaban atas permasalahan penelitian.

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
model interaktif (interaktive model of analisys) yang dikembangkan oleh (Miles
dan Huberman, 1992). Teknik analisis data model interaktif berlangsung dalam tiga
tahap berikut

1) Reduksi Data

Reduksi data dimaksudkan untuk menyusun data hasil wawancara ke dalam


bentuk uraian secara lengkap dan rinci. Kemudian kepadanya dilakukan reduksi
atau pemilihan data yang berkaitan dengan topik penelitian dengan tujuan untuk
mendapatkan data yang hanya berkaitan dengan permasalahan penelitian. Reduksi
data dilakukan secara terus menerus selama penelitian berlangsung sehingga dapat
disusun hasil wawancara (hasil penelitian) secara lengkap.

2) Penyajian Data
Penyajian data (display data) dibuat guna memudahkan peneliti dalam melihat
keseluruhan data hasil wawancara atau melihat bagian khusus dari hasil wawancara.
Dalam penelitian ini, penyajian data disusun dalam bentuk teks naratif (kumpulan
kalimat) yang dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam
suatu bentuk yang mudah dibaca atau diinterprestasikan. Dengan cara ini peneliti
dapat melihat apa yang sedang terjadi dan dapat menarik kesimpulan secara tepat.
32

3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi


Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses
penelitian, dan verifikasi dilakukan guna perbaikan dan pencocokan data secara
terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Setiap pengambilan
kesimpulan senantiasa terus menerus dilakukan verifikasi selama penelitian
berlangsung.]Pada penelitian ini, kegiatan pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan suatu siklus
kegiatan yang interaktif dan komprehensif yang dilakukan secara teliti dan rinci.

3. 11 KERANGKA OPERASIONAL
33
34

3.12 Rencana Kegiatan

Bulan
Kegiatan
T Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
a
Penyusunan
b
Proposal
e
Ujian
l Proposal

Perbaikan
4
Proposal
.
Pengumpulan &
R
Analisis Data
e
Penyusunan
n
Laporan
c
Ujian Skripsi
Tab
el 4. Rencana Kegiatan
35

3.13 Anggaran

Pengeluaran Jumlah Biaya (Rp.)


Alat tulis 50.000
Kertas A4 70g 2 rim 80.000
Kertas A4 80g 2 rim 100.000
Tinta printer 100.000
Biaya transportasi 300.000
Dana tidak terduga
Total 930.000

Tabel 5. Anggaran Penelitian Tahun 2016

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4. 1 Hasil Penelitian

Menurut Behrouz, hal yang dibutuhkan untuk cepatnya waktu diagnosis dan
waktu dilaksanakan CT Scan pada pasien stroke saat response time adalah
koordinasi yang baik antara petugas, dokter spesialis saraf, dokter jaga, dan
perawat yang sedang bertugas di IGD (Behrouz et al., 2010). Selain itu, yang
paling yang dibutuhkan dalam mempercepat pelaksanaan CT Scan adalah
kecepatan identifikasi oleh triase, koordinasi petugas, dan ketepatan waktu
pemeriksaan awal di IGD (Middleton, Grimley, Alexandrov et al., 2015).
Temuan penelitian ini berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan
dokumentasi secara mendalam di IGD dan data yang diperoleh kemudian diolah
36

secara sistematis menggunakan teknik analisis deskriptif, sehingga dapat


dijelaskan sebagai berikut.

1. Waktu Tunggu Pasien

Pada umumnya, waktu tunggu yang dibutuhkan pasien keseluruhan yang datang
ke IGD termasuk pasien stroke iskemik tidak memerlukan waktu untuk
melakukan administrasi terlebih dahulu. Lebih khusus, berdasarkan SOP di
Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang, pasien yang datang ke IGD
langsung dilakukan tatalaksana awal terlebih dahulu di triase tanpa harus
memikirkan adminstrasi termasuk pasien stroke iskemik. Seperti yang
dikemukakan oleh Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang,
dr. Ismail Bustomi, Sp.OT.

Pasien yang datang ke IGD harus segera dilakukan peniliaian awal


kegawatdaruratan di Triase selama kurang dari lima menit, kemudian baru
retriase untuk melakukan tatalaksana lanjutan, untuk waktu tunggu pasien
melakukan administrasi kami mengacu pada SOP nasional pasien harus
ditangani terlebih dahulu baru apabila diperlukan tatalaksana lanjutan
keluarga pasien atau pasien perlu melakukan administrasi. Begitu juga dengan
pasien yang didiagnosis stroke iskemik.

Selanjutnya menurut penjelasan koordinator perawat instalasi gawat darurat RSUP


M. Hoesin Palembang, Abdul Ghoni, S.ST,M.Kes.

Karena di Instalasi gawat darurat yang di perlukan merupakan life


saving dengan standar bantuan hidup dasar berdasarkan keselamatan pasien
yang utama, maka pasien belum perlu melakukan administrasi sehingga,
waktu tunggu yang di perlukan untuk administrasi belum diperlukan sampai
kondisi pasien stabil.

Seperti yang dikatakan juga oleh dokter jaga yang bertugas pada shift pagi di
instalasi gawat darurat RSUP M. Hoesin Palembang, dr. Kenny.

Yang saya tahu, pasien tidak perlu menunggu untuk melakukan


administrasi, sehingga di sini yang dilakukan paling utama adalah tatalaksana
awal dulu, dan penilaian terlebih dahulu di triase.
37

Sama halnya dengan penjelasan oleh dokter jaga yang bertugas pada shift sore di
instalasi gawat darurat RSUP M. Hoesin Palembang, dr. Melka.

Karena kondisi gawat darurat pasien tidak boleh menunggu, jadi untuk
waktu tunggu administrasi menurut saya di IGD RSMH sendiri pasien tidak
perlu menunggu administrasi dulu baru ditangani.

Dokter jaga yang bertugas pada shift malam di instalasi gawat darurat RSUP M.
Hoesin Palembang juga menjelaskan, dr.Ratri.

Waktu standar yang dibutuhkan untuk melakukan administrasi memang


ada, namun saya tidak tahu jelas berapa menit, namun yang utama adalah
pasien dinilai terlebih dahulu di triase.

Penjelasan lain yang disampaikan oleh perawat jaga shift pagi di instalasi gawat
darurat RSUP M. Hoesin Palembang, Novi, S. Kep.

Administrasi dilakukan setelah pasien akan melakukan tatalaksana


lanjutan, namun pasien tidak boleh menunggu, jadi untuk waktu standar yang
diperlukan administrasi memang ada tapi yang diutamakan pasien harus
ditangani awal dulu.

Selanjutnya menurut perawat jaga shift pagi diinstalasi gawat darurat RSUP M.
Hoesin Palembang, Feri, S.Kep.

Waktu jelas berapa menit saya kurang tahu, namun yang saya tahu
pasien tidak perlu menunggu administrasi dulu.

2. Waktu Tanggap Petugas Triase

Waktu tanggap petugas triase merupakan salah satu faktor yang diperlukan
pasien stroke iskemik sebelum dilakukan CT Scan kepala di instalasi gawat
darurat RSUP M. Hoesin Palembang, pelayanan CT Scan kepala pada pasien
38

stroke iskemik akan memenuhi waktu standar yang diperlukan apabila waktu
tanggap petugas triase sesuai standar SOP di instalasi gawat darurat RSUP M.
Hoesin Palembang. Pada umumnya waktu tanggap petugas triase sudah mencapai
standar di IGD RSUP M.Hoesin yaitu kurang dari lima menit.

Menurut penjelasan kepala instalasi gawat darurat RSUP M. Hoesin Palembang,


dr. Ismail Bustomi, Sp.OT.

Petugas triase harus sudah menilai seluruh pasien yang datang ke IGD
dan juga pasien sroke iskemik kurang dari lima menit apabila sesuai standar
yang dibutuhkan, namun pada beberapa kondisi contoh pasien yang banyak
sehingga petugas triase terpaksa melewati waktu standar, biasanya hari-hari
yang pasien menumpuk seperti hari sabtu-minggu, dan untuk mengatasi hal
tersebut seharusnya yang diperlukan ruangan triase yang diperbesar, sehingga
saat pasien menumpuk di ruang triase, pada saat penilaian pasien tidak
terhambat.

Selanjutnya, sejalan dengan penjelasan koordinator perawat di instalasi gawat


darurat RSUP M. Hoesin Palembang, Abdul Ghoni, S.Kep.

Mengikuti waktu standar SOP nasional yaitu kurang dari lima menit,
petugas triase di IGD RSMH sejauh ini sudah sesuai dengan standar karena
sesuai standar terkadang ada hal-hal yang sering menghambat saat pasien
banyak diharapkan bisa diperbaiki dibagian ruangan yang kurang luas untuk
triase.

Dokter jaga shift pagi di instalasi gawat darurat RSUP M. Hoesin Palembang, juga
menjelaskan, dr Kenny.

Waktu standar triase yang saya tahu ada, pokoknya pasien harus
ditangani secepatnya kurang dari sepuluh menit, di IGD RSMH sendiri yang
saya tahu sudah cukup sesuai standar tapi terkadang terhambat dalam
penilaian pasien yaitu pasien bingung apakah dimasukkan ke bagian penyakit
dalam atau bagian saraf (pada kondisi pasien sebelum ditangani setelah di
triase), untuk saat ini tidak ada yang perlu diperbaiki saat ini.
39

dr. Melka dokter jaga shift sore di instalasi gawat darurat RSUP M. Hoesin
Palembang, juga mengatakan.

Standarnya pasien yang didiganosis stroke iskemik di triase sudah


dilakukan penilaian secepatnya, di RSMH sudah sesuai standar, pasien sudah
cepat di nilai di triase dengan waktu standar secepatnya, menurut saya saat
pasien menumpuk kondisi masih kondusif, jadi tidak ada yang perlu
diperbaiki.
Sama halnya dengan penjelasan dokter jaga shift malam di instalasi gawat darurat
RSUP M. Hoesin Palembang, dr. Ratri.

Di triase sendiri dokter jaga diharapkan segera melakukan secepatnya


diagnosis untuk pasien stroke iskemik, dengan waktu standar saya tidak tahu,
menurut saya tidak ada yang perlu diperbaiki.

Perawat di instalasi gawat darurat RSUP M. Hoesin Palembang shift pagi, Novi,
S.Kep mengatakan.

Triase seharusnya menurut SOP harus sesegera mungkin tanggap saat


pasien datang ke IGD, yang saya tahu waktu standar yang dibutuhkan kurang
dari lima menit, terkadang saat banyak pasien yang akan ditangani banyak,
sehingga waktu melewati batas, yang perlu diperbaiki adalah tempatnya yang
kurang luas jadi sering terhalang karena terlalu sempit.

Selain itu, penjelasan juga disampaikan perawat shift malam juga, Feri, S.Kep.

Waktu tanggap di IGD RSMH sudah sesuai standar menurut saya,


namun kadang-kadang pasien ramai jadi tidak bisa mengikuti SOP yang
sesuai, biasanya terhambat di ruangan karena ruangan yang kurang besar
pasien harus menumpuk di triase yang seharusnya sudah dipindahkan
keruangan lain, harapannya di perbesar ruangan.

3. Ketersediaan Petugas Kesehatan (Dokter jaga, perawat dan radiografer)

Ketersediaan petugas kesehatan merupakan faktor yang juga diperlukan dalam


pelayan CT Scan kepala pada pasien stroke iskemik. Pelayanan CT Scan kepala
akan berjalan efektif apabila didukung dengan jumlah petugas kesehatan Dokter
jaga, perawat dan radiografer yang memadai.
40

Jumlah dokter jaga berdasarkan shift pagi, siang, dan malam yang ada di
Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang per shift 3 orang,dan jumlah
perawat (medical 11 orang dengan jumlah 3 orang per shift untung perawat
medical), dan jumlah radiografer khusus CT Scan Kepala pada pasien stroke
iskemik yaitu 3 orang per shift). Dengan latar belakang pendidikan dokter umum,
sarjana keperawatan dan sarjana radiologi.

Jumlah petugas kesehatan (dokter jaga dan perawat jaga) memang


memiliki standar khusus berdasarkan SOP, namun pada kenyataannya belum
memenuhi standar melihat jumlah pasien yang tidak menentu serta
kemampuan dokter jaga, dan perawat yang terbatas mengakibatkan sangat
perlu dilakukan penambahan jumlah petugas kesehatan khususnya perawat .
Namun upaya sudah dilakukan untuk melaporkan keadaan ini ke Direktur
RSUP M.Hoesin namun, dikarenakan di Indonesia tidak ada lagi sistem
renumerasi atau pendaftaran calon PNS, maka tidak bisa lagi dilakukan
penambahan jumlah petugas khususnya perawat di IGD sendiri. Kalau dilihat
dari sistem shift, di IGD sendiri sistemnya sudah berjalan dengan
baik.(Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang, dr.
Ismail Bustomi, Sp.OT).

Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh Koordinator perawat di Instalasi


Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang, Abdul Ghoni, S.ST, M.Kes
menjelaskan.

Perawat dan dokter jaga ada standarnya berdasarkan SOP, apabila


ditinjau dari jumlah pasien dibandingkan dengan jumlah petugas, sangat
belum sesuai dikarenakan yang kita tahu bahwa jumlah pasien selalu banyak,
per hari tidak menentu, namun untuk menyesuaikannya seharusnya perlu
dilakukan penambahan, beberapa kali sudah dilakukan pelaporan kepusat
namun pusat tetap harus menyesuaikan dengan sistem penerimaan PNS.

Menurut Dokter Jaga dr Kenny mengatakan.


Saya tidak mengetahui standar jumlah petugas kesehatan untuk jumlah
dokter jaga menurut saya sudah cukup, namun untuk jumlah perawat medical
saya tidak mengetahuinya, untuk sistem shift sudah berjalan di IGD RSUP M.
Hoesin dengan sangat baik.

Dr. Melka selaku dokter jaga yang ada di IGD RSUP M. Hoesin pada shift sore
41

menjelaskan.

Standar SOP di IGD saya tidak mengetahui dalam hal jumlah petugas
kesehatannya, untuk jumlah dokter jaga sudah cukup, untuk jumlah perawat
saya kurang tahu jelas.

Penjelasan lain oleh dr. Ratri yaitu.


Saya belum tau SOP dokter jaga dan perawat di IGD, tapi sejauh ini
karena sistem shift berjalan, maka jumlahnya menurut saya sudah cukup.

Berdasarkan penjelasan perawat medical di IGD RSUP M. Hoesin, Novi, S.Kep.

untuk jumlah dokter jaga dan perawat di IGD berdasarkan SOP saya
tidak tahu, namun untuk sistem shift sudah berjalan sangat baik, dan pada
beberapa kondisi pasien yang banyak seharusnya perlu dilakukan
penambahan jumlah petugas khususnya perawat , karena menurut saya
semakin banyak pasien jumlah perawat yang hanya 2-3 orang untuk
medicalnya sendiri saya rasa belum mencukupi kebutuhan.

Perawat pada shift malam juga menjelaskan, Feri, S.Kep.

Standar di IGD ada, tapi saya tidak tahu jumlahnya, sistem shift sudah
berjalan sangat baik, namun kalau IGD ramai, saya merasa personil kami
kurang.

Koordinator CT Scan di bagian Radiologi Amrizal, AmR mengatakan bahwa


jumlah standar radiologi berdasarkan SOP tidak ada, untuk jumlah yang
sekarang setiap shift khusus CT Scan kepala sebanyak 2-3 orang, menurut
saya jumlah untuk radigorafer sekarang sudah cukup, karena pelaksanaan CT
Scan kepala itu sangat cepat, apabila pasien stroke khususnya stroke iskemik
sudah melakukan alur pendaftaran dan diterima maka CT Scan langsung
dilaksanakan oleh radiografer, dan waktu pelaksanaannya sendiri lebih kurang
5 menit dan untuk melakukan penilaian oleh expert/ dokter spesialis sekitar
42

10 menit. Pelaksanaan sistem shift sudah berjalan baik, dan menurut saya
jumlah radiografer yang saat ini ada saya rasa cukup.
Selanjutnya, Radiografer di bagian Radiologi RSUP M. Hoesin Hartati, S.ST
mengatakan bahwa.

Jumlah radiografer di RSMH sesuai standar atau tidak saya kurang jelas
tahu, tapi yang saya tahu per shift pagi-sore-malam sekitar 2 orang dan
kadang-kadang 3 orang, untuk setiap petugas dapat melakukan CT Scan
kepala pada pasien stroke lebih dari 5 orang per shift yang sebenarnya
tergantung jumlah pasien yang datang. Dalam hal pelaksanaan CT Scan kami
melakukan rata-rata kurang dari lebih menit, pelaksanaanya cepat. Jumlah
petugas saat ini cukup menurut saya dan juga untuk sistem shift sudah
berjalan baik.

Radiografer lain juga menjelaskan, Asih Solastri, S.ST.

Kalau standar jumlah petugas radiografer ada, tapi keseluruhan


jumlahnya saya tidak tahu, untuk di bagian radiologi dan jelasnya CT Scan
kepala sistem shift cukup baik dilaksanakan, dan pelaksanaanya sangat cepat
pada pasien stroke, karena mereka datang kami langsung lakukan CT Scan,
setiap radiografer tidak menentu berapa pasien yang mereka akan lakukan CT
Scan per shift bisa lebih dari 10 orang intinya tidak menentu. Menurut saya,
radiografer di RSMH sudah cukup.

4. Ketersediaan Porter

Porter merupakan faktor yang diperlukan sebelum dilaksanakannya CT Scan pada


pasien stroke iskemik, karena porter yang bertugas melakukan transfer pasien dari
IGD ke bagian radiologi. Di IGD RSUP M. Hoesin jumlah porter secara
keseluruhan sebanyak 20 orang dengan 2 sampai 3 orang per shift. Namun, pada
kondisinya jumlah porter sangat kurang ditambah jumlah pasien yang datang tidak
menentu.

Standar jumlah porter ada di IGD RSUP M. Hoesin, untuk jumlah


keseluruhan yaitu sebanyak 20 orang, dengan setiap shift 2-3 orang, secara
keseluruhan belum memenuhi standar menurut saya, karena setiap shift hanya
2-3 orang sedangkan jumlah pasien yang banyak yang akan dilakukan
transfer ke berbagai ruangan sehingga dengan jumlah yang sebanyak 2 orang
43

per shift menurut saya sangat kurang, walaupun sistem shift sudah berjalan
terkadang kinerja dari porter tidak sesuai mungkin karena jumlah pasien dan
banyak yang akan ditransfer terutama dari IGD, untuk penilaian kinerja selalu
dilakukan tiap bulan, solusi kedepannya sangat diharapkan untuk ditambah
namun tergantung sistem yang diberlakukan salah satu solusinya apabila
jumlah porter kurang maka yang perlu mentransfer pasien yaitu petugas
kesehatan seperti perawat atau dokter. Menurut penjelasan Kepala Instalasi
Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang, dr. Ismail Bustomi, Sp.OT.

Berdasarkan penjelasan koordinator perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP M.


Hoesin Palembang, Abdul Ghoni, S.ST, M.Kes.

Keseluruhan di IGD RSMH porter terdapat 20 orang, dibagi


berdasarkan shift 3 orang, jika dibilang sudah memenuhi standar atau belum
bisa dibilang sudah, tapi bila ditinjau dari jumlah pasien yang datang
walaupun pembagian shift sudah berjalan lancar namun jumlah porter
menurut saya sangat kurang. Porter seharusnya per shift 5 orangan menurut
saya cukup pas karena pasien tidak menentu datang, kadang banyak kadang
sedikit, kalau dengan jumlah 2 -3 orang per shift sangat tidak sesuai dengan
jumlah pasien. Untuk solusi terkadang co-ass lah yang sering melakukan
transfer pasien ke ruang-ruangan bahkan dokternya, karena kalau tidak pasien
akan dibiarkan menumpuk di IGD. Pernah meminta melakukan penambahan
namun karena tidak ada lagi sistem renumrasi maka jumlah petugas tidak bisa
ditambah termasuk porter.

Dr. Kenny menambahkan selaku dokter jaga shift pagi di Instalasi Gawat Darurat
RSUP M. Hoesin Palembang.

Saya tidak tahu jumlah porter yang ada di IGD RSMH, yang saya tahu
selama ini sangat sedikit, pasien paling sering lama menunggu untuk di
transfer ke ruang lain contoh pasien yang mau di CT Scan kepala pada pasien
stroke iskemik karena porter, dengan porter yang sedikit ditambah banyak
pasien yang akan di transfer dari IGD sangat-sangat diharapkan untuk
44

ditambah, terkadang menunggu porter yang ingin melakukan transfer ke


ruang lain sebagai kendala pasien lama untuk dilakukan penanganan lanjutan.
Solusi sekaligus harapan saya porter harus ditambah. Karena menurut saya
co-ass atau petugas medical tidak layak untuk mengantar atau transfer
petugas keruang lain, karena tugas transfer adalah tugas porter.

Penjelasan yang sama dijelaskan dr. Melka selaku dokter jaga shift sore di
Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang.

Berapa jumlah standar porter saya tidak tahu, tapi menurut saya sangat
kurang jumlah porternya, jumlah pasien selalu banyak dan selalu ada yang
segera harus di transfer seperti pasien stroke iskemik kalau dengan jumlah
porter yang sekarang pasien pasti akan sangat lama menunggu di IGD,
menurut saya sangat perlu ditambah.

Selanjutnya dr. Ratri dokter saja shift malam di Instalasi Gawat Darurat RSUP M.
Hoesin Palembang.

Mungkin standar khusus ada, untuk jelasnya perlu ditanyakan di bagian


SDM karena saya tidak tahu, menurut pengalaman saya selama ini porter
sangat kurang. Pasien banyak terlambat diantar ke ruang radiologi untuk CT
Scan kepala pada pasien stroke iskemik biasanya karena harus menunggu
porter yang lagi mengantarkan pasien lain keruangan lain, sehingga pasien
lebih sering menunggu karena porter yang sedikit dan tugas mereka untuk
melakukan transfer pasien banyak. Solusi yang paling tepat adalah
menambahkan jumlah porter, karena menurut saya porter sangat berperan
dalam kecepatan tatalaksana pasien selanjutnya.

Penjelasan yang sama dijelaskan oleh perawat shift pagi Novi, S.Kep.
Saya tidak mengetahui jumlah standarnya, namun keseluruhan selama
ini sangat kurang, lebih sering co-ass atau perawat yang mengantar dan
melakukan transfer ke ruang lain. Hal ini seharusnya yang berperan utama
dalam transfer adalah porter. Porter yang sangat-sangat diperlukan harusnya
perlu ditambah, walaupun sistem shift sudah berjalan. Kalau jumlah porter
sedikit hal yang sangat berpengaruh ke pasiennya.

Sejalan dengan penejalasan perawat jaga shift malam juga menjelaskan, Feri.
S.Kep.
45

Untuk berapa banyak porter yang di IGD setahu saya per shift 3 orang,
namun kadang-kadang hanya 2 orang. Jumlah ini sangat tidak sejalan dengan
jumlah pasien yang selalu banyak dan mau ditransfer ke ruang-ruang lain.
Sehingga, co-ass, dokter jaga, dan perawat juga yang harus melakukan
transfer ke ruang lain. Solusi yang paling tepat menurut saya ditambahkan
jumlah porternya.

Selanjutnya peneliti melakukan wawancara kepada porter di Instalasi Gawat


Darurat RSUP M. Hoesin Palembang menurut Kodri selaku porter shift pagi.

Jumlah semuanya yang saya tahu anggota kami sekitar 15 orang, untuk
setiap porter biasanya mengantarkan ke ruang radiologi sebanyak lebih dari
10 orang per shift tapi tergantung pasien yang datang, kalau pasien sedikit
datang biasanya sedikit juga, tapi kalau banyak, ya banyak juga yang perlu
diantar. Sistem shift di IGD RSMH untuk porter sudah berjalan tapi karena
jumlah kami sedikit per shift hanya 3 orang kadang-kadang tugas saya
melewati waktu shift yang sebenarnya. Jumlah porter di IGD RSMH ini
menurut saya sangat tidak cukup kalau sekarang harus ditambah. Ditambah
sekitar 5-6 orang per shift. Untuk pasien stroke saya sering mengatarkan
mereka ke ruang radiologi untuk CT Scan kepala, karena jumlah kami yang
sedikit maka biasanya pasien nunggu dulu di IGD beberapa jam baru bisa di
CT Scan kepala atau di antarkan ke ruang radiologi. Kendala yang paling
sering bukan karena alat untuk mendorong tidak ada, namun jumlah pasien
banyak tapi porter yang sedikit. Kami sudah pernah melaporkan kalau jumlah
porter sedikit dan kurang. Namun, masih belum dapat tanggapan, padahal
sudah sekitar satu tahun lalu dilaporkan.

Herman juga menjelaskan selaku porter shift malam Instalasi Gawat Darurat
RSUP M. Hoesin Palembang.

Kami porter kalau tidak salah jumlah keseluruhan 15-20 orang, sistem
shift sudah berjalan dengan jumlah 2 orang per shift. Menurut saya jumlah
porter sekarang sangat tidak sesuai dengan jumlah pasien yang banyak.
Dalam hal semangat kerja kami terutama saya sering sangat kelelahan karena
banyak pasien yang harus diantar ke ruang lain. Saya sendiri sering
mengantarkan pasien ke radiologi sehari pernah 10-15 orang. Untuk
hambatan atau kendala tidak ada, namun karena banyak yang perlu didorong
ke ruang lain, kadang- kadang pasien lama menunggu seperti juga pasien
stroke lama untuk dilakukan CT Scan karena jumlah yang mau didorong kan
banyak, ya jadi harus menunggu dulu. Harapannya ditambahkan jumlah
porter sehingga tugas kami sedikit dipermudah, ya sekitar 6 orang per shift.
46

5. Pengetahuan Tentang Therapeutic Window

Pengetahuan tentang therapeutic window salah satu faktor yang sangat karena
apabila mengetahui standar waktu therapeutic window maka diharapkan
tatalaksana yang cepat dan tepat waktu dapat terlaksana. Therapeutic window
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pemberian trombolitik pada pasien
stroke iskemik yang terdiri dari waktu pasien datang ke ruang emergensi sampai
diberikan tatalaksana yaitu 3 jam. Di RSUP M.Hoesin Palembang, pemberian
trombolitik belum dapat diberikan karena salah satunya adalah sebagian besar
petugas kesehatan (dokter jaga dan perawat) belum mengetahui tentang batas
waktu yang dibutuhkan dalam hal pemberian trombolitik. Untuk waktu yang
dibutuhkan pasien stroke iskemik saat dilakukan CT Scan kepala yaitu 14 menit
sampai 21 menit setelah sampai dari IGD ke ruang radiologi.

Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang, dr. Ismail Bustomi,
Sp.OT mengatakan.

Saya tidak mengetahui tentang therapeutic window untuk pasien stroke


iskemik tapi saya pernah mendengar sebelumnya, yang saya tahu apabila
pasien stroke sendiri lambat ditangani maka outcome dari penyakit itu sendiri
akan buruk, melihat kondisi di IGD sendiri karena banyak pasien dari
berbagai macam kondisi yang bukan hanya stroke iskemik ataupun stroke
saja, menurut saya waktunya telah melewati batas standar PERDOSSI,
sebenarnya hal yang sangat perlu diperbaiki itu seperti ruangan yang
harusnya diperbesar dan tempat untuk melakukan CT Scan kepala yang
seharusnya sudah ada fasilitasnya di IGD ini, untuk evaluasi kita mengacu
pada JCI termasuk standar dan lain-lain.

Koordinator Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang,


Abdul Ghoni, S.ST, M.Kes menjelaskan juga bahwa.

Saya tidak pernah dengar tentang therapeutic window pada pasien


stroke iskemik, dan saya tidak mengetahui tentang therapeutic window.
Pasien stroke memang seharusnya harus cepat ditangani, namun kita harus
tetap menyesuaikan kondisi di IGD yang selalu ramai. Jadi, kembali lagi
siapa prioritas yang harus kita utamakan. Di brefing sejauh ini belum ada
penjelasan atau informasi mengenai theraupetic window pasien stroke
47

iskemik. Kalau untuk melaksanakan CT Scan kepala waktu standar


PERDOSSI saya juga tidak tahu, mungkin secepatnya harus segera
dilaksanakan CT Scan. Terkadang yang menghambat itu juga bisa di bagian
radiologi seperti mati lampu, ataupun dari pasiennya yang menunda-nunda
untuk melakukan CT Scan karena mungkin pengetahuan mereka kurang
untuk manfaat CT Scan kepala itu sendiri. Ya harapan saya harusnya CT Scan
dan termasuk CT Scan kepala fasilitasnya juga harus ada di IGD ini sendiri.

Dr. Kenny, dokter jaga shift pagi di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin
Palembang, mengatakan.

Ya saya tahu tentang waktu theraupeutic window pada pasien stroke


iskemik yaitu 3-4.5 jam pasien sudah diberikan trombolitic terapi, untuk di
IGD ini belum bisa dilakukan pemberian therapeutic window karena CT Scan
yang tidak ada, padahal seharusnya bisa dilakukan CT Scan di IGD langsung
sehingga pasien tidak harus menunggu porter untuk transfer ke radiologi.
Waktu standar perdossi yaitu kurang dari 25 menit untuk CT Scan kepala, di
bagian neurologi RSMH sendiri sangat sering dijelaskan masalah ini, dan
setahu saya memang sudah menjadi program neurologi untuk memperbaiki
kondisi ini dan untuk memberikan terapi trombolitik di RSMH. Karena
prognosis pasien akan menjadi lebih baik apabila diberikan terapi trombolitik.
Harapan saya porter dan fasilitas CT Scan kepala seharusnya ditambah
bahkan diperbaiki di IGD RSMH ini.

Dr. Melka, dokter jaga shift sore di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin
Palembang, menjelaskan.

Kami selaku residen sudah sering dijelaskan di bagian neurologi tentang


theraupeutic window karena salah satu program bagian neurologi untuk
melakukan terapi trombolitik pada pasien stroke iskemik di RSMH ini. Untuk
waktu standar pasien dilakukan CT Scan kepala saya lupa saya perlu
baca-baca lagi standar PERDOSSI. Kalau pasien lambat ditatalaksana ya
prognosis atau outcome nya akan jelek. Harapan saya segera dilakukan
perbaikan di pelayanan contoh porter sangat kurang, pengennya sih dilakukan
penambahan.

Dr. Ratri, dokter jaga shift malam di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin
Palembang, mengatakan juga bahwa.
48

Ya ada waktu standar tatalaksana untuk pasien stroke iskemik


berdasarkan therapeutic window, tapi berapa jamnya saya lupa. Untuk waktu
standar CT Scan berapa menit waktunya saya lupa. Kalau di IGD ini
sepertinya sudah tidak sesuai standar karena pasien stroke juga banyak namun
porter yang untuk mendorong pasien untuk CT Scan kepala sedikit.
Seharusnya ditambah porternya biar pasien tidak lama menunggu di IGD ini.
Semakin lama menunggu pasien akan memperburuk kondisinya.

Menurut perawat shift pagi di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin


Palembang, Novi, S.Kep.

Saya tidak pernah mendengar tentang therapeutic window pada pasien


stroke iskemik dan waktu khsusus untuk CT Scan standarnya sendiri saya
tidak tahu. Di IGD RSMH tidak pernah dilakukan penjelasan mengenai hal
ini, tapi kadang-kadang memang pasien terlambat di transfer karena pasien
harus nunggu porter. Harapannya ya porter dan pelayanan perlu
ditambahkan.

Menurut perawat shift malam di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin


Palembang, Feri, S.Kep.

Saya tidak tahu tentang therapeutic window tapi saya pernah mendengar
ada waktu khusus untuk pasien stroke iskemik. Untuk CT Scan kepala
harusnya secepatnya, karena pasien stroke tidak bole lama-lama harus
menunggu. Kedepannya seharusnya kendala-kendala pasien untuk dilakukan
CT Scan kepala seperti porter harusnya ditambah.

Penjelasan lain yang dijelaskan oleh Koordinator CT Scan di bagian neurologi.


Amrizal, Amr mengatakan.

Waktu standar untuk therapeutic window saya tidak tahu, yang kami
lakukan apabila pasien stroke iskemik ingin dilakukan CT Scan kepala
secepatnya kami lakukan tanpa harus pasien menunggu, ditambah lagi untuk
menunggu hasilnya cepat. Ya memang benar golden standarnya pasien stroke
harus dilakukan CT Scan untuk melihat apakah ada perdarahan atau tidak.
Karena apabila perdarahan atau jenis yang bukan iskemik kondisi kedepannya
49

akan buruk. Sebenarnya kendalanya biasa saat mati lampu, tapi kalau dalam
hal komunikasi sebelum ditransfer via telepon ada dari pihak IGD. Harapan
mungkin dibagian radiologi menurut saya sudah baik, yang perlu diperbaiki
itu waktu sebelum ditransfer di IGD sendiri harus diperbaiki.

Pendapat lain dijelaskan oleh radiografer di bagian radiologi, Hartati S.ST


menjelaskan.

Saya tidak mengetahui tentang theraputic window. Kami disini biasanya


langsung melakukan CT Scan kepala kalau pasien sudah sampai diradiologi,
saya sering melakukan CT Scan kepala untuk pasien stroke untuk waktu
standar pasien dilakukan CT Scan kepala menurut PERDOSSI saya tidak tahu.
Biasanya kendala yang sering adalah pasien yang cemas sebelum dilakukan
CT Scan kepala sehingga harus menunggu pasien tenang dahulu dan
kadang-kadang mati lampu sebagai kendala. Harusnya perbaikannya dibagian
IGD mungkin, karena apabila untuk melakukan CT Scan yang cepat,
harusnya pasien harus segera di dorong ke bagian radiologi ini.

Menurut Asih Solastri, S.ST selaku radiografer di bagian radiologi RSUP


M.Hoesin Palembang.

CT Scan kepala sebagai golden standard pasien stroke saya tahu, dan
saya pernah mendengar kalau pasien stroke harus segera dilakukan CT Scan
kepala karena akan memperburuk kondisi mereka. Untuk therapeutic window
saya tidak tahu dan belum mendengar. Kendala utama biasanya mati lampu
sehingga pasien harus menunggu dulu sebelum di CT Scan. Solusi kedepan
karena dibagian radiologi menurut saya pelaksanaan CT Scn kepala sudah
cepat dilaksanakan jadi untuk sekarang perbaikan di radiologi sendiri belum
ada.

6. Ketersediaan Alat CT Scan

Alat merupakan salah satu faktor yang diperlukan dalam pelayanan CT Scan
kepala untuk pasien stroke iskemik. Ketersediaan alat sangat penting sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologi khususnya CT Scan kepala. Di bagian Radiologi
jumlah alat CT Scan kepala untuk pasien stroke iskemik sebanyak 2 buah. Untuk
kapasitas jumlah pasien setiap alat tidak terdapat kapasitas maksimal per shift dan
per hari tergantung jumlah pasien yang datang.
50

Menurut kepala Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin Palembang, dr. Ismail
Bustomi, Sp.OT mengatakan bahwa.

Di instalasi gawat darurat tidak terdapat alat untuk melakukan CT Scan


khususnya CT Scan kepala untuk pasien stroke iskemik, untuk standar
seharusnya ada, namun karena keterbatasan ruangan sehingga CT Scan hanya
bisa dilakukan di bagian radiologi. Kedepannya kami dari pihak IGD sudah
melakukan permintaan penambahan ruangan untuk pemeriksaan radiologi.

Pertanyaan selanjutnya dituju ke koordinator perawat di Instalasi Gawat Darurat


RSUP M. Hoesin Palembang, Abdul Ghoni, S.ST, M.Kes.

Sekarang di IGD tidak terdapat fasilitas untuk melakukan CT Scan


kepala untuk pasien stroke iskemik atau pemeriksaan radiologi. Namun, kami
sudah melaporkan untuk pembuatan ruangan radiologi sehingga pasien
langsung dilakukan pemeriksaan radiologi. Sejauh ini, karena letak bagian
radiologi dekat dengan IGD mungkin masih bisa dibilang tidak perlu
dilakukan perbaikan, tapi kedepan di IGD ini sangat perlu ada ruangan
khsusus CT Scan.

Menurut penjelasan koordinator CT Scan di bagian radiologi RSUP M.Hoesin,


Amrizal, Amr menjelaskan bahwa.

Standarnya ada untuk jumlah alat yang kami miliki sebanyak 2 alat CT
Scan khusus CT Scan kepala, setiap alat tidak memiliki kapasitas maksimal
per hari ataupun per shift, tergantung jumlah pasien yang datang. Untuk
RSMH sendiri tidak perlu dilakukan penambahan karena menurut saya alat
yang sekarang kami miliki sudah cukup. Karena kami mengalami kendala
bukan dibagian jumlah alat yang kurang tetapi kondisi-kondisi sepert mati
lampu.

Penjelasan yang sama dijelaskan oleh Hartati, S.ST selaku radiografer di bagian
radiologi RSUP M. Hoesin.
51

Standar khusus alat saya tidak tahu, selama ini kami melakukan
pelaksanaan CT Scan kepala tergantung jumlah pasien stroke yang datang.
Jumlah yang kami miliki sekarang 2 alat, dengan jumlah 2-3 orang
radiografer setiap radiografer dan alat CT Scan kepala untuk pasien stroke
iskemik tidak memiliki kapasitas kerja. Kendala yang paling sering kami
hadapi adalah kondisi pasien yang tidak kooperatif seperti cemas dan kondisi
teknis mati lampu. Untuk sekarang jumlah 2 sudah cukup untuk melakukan
CT Scan kepala.

Selanjutnya penjelasan oleh Asih Solastri, S.ST selaku radiografer di bagian


radiologi RSUP M. Hoesin.

Ya kami memiliki standar jumlah khusus, tapi jumlahnya saya tidak tahu.
Di RSMH untuk alat CT Scan kepala untuk pasien stroke iskemik kami sudah
ada 2 alat, dan tidak terdapat jumlah maksimal orang yang dilakukan CT Scan
per alat tergantung jumlah pasiennya. Selama ini kendala biasanya ringan
seperti mati lampu. Sekarang tidak perlu melakukan penambahan alat, saya
rasa sudah cukup.

BAB V

PEMBAHASAN
52

5.1 Pembahasan

Pelayanan CT Scan kepala sebagai golden standard pada pasien stroke


iskemik dalam pelaksanaannya sudah dijalankan di Bagian Radiologi RSUP
M.Hoesin Palembang. Untuk faktor yang mempengaruhi pelayanan seperti
waktu tunggu pasien, waktu tanggap petugas triase, dan ketersediaan alat CT Scan
sudah memenuhi standar yang diperlukan di IGD RSUP M.Hoesin Palembang.
Namun, masih terdapat penghambat pelaksanaan tersebut. Faktor-faktor
penghambat tersebut terdapat di Instalasi Gawat Darurat, yaitu:

1. Ketersediaan Petugas Kesehatan (Dokter jaga dan perawat)

Ketersediaan petugas kesehatan merupakan jumlah petugas kesehatan yang


berperan dalam pelayanan khususnya pelayanan pada pasien stroke iskemik dalam
kasus gawat darurat di IGD. Pada umumnya, jumlah petugas kesehatan di IGD
sudah menjalankan sistem shift dengan baik. Kepala IGD sebagai pemegang
tinggi otoritas sudah menjalankan tugas untuk melakukan evaluasi kinerja petugas
setiap bulan berdasarkan standar kompetensi petugas. Menurut kepala IGD dan
koordinator perawat di IGD jumlah perawat di IGD belum mencukupi
kebutuhuhan yang diharapkan. Pasien yang menumpuk mengakibatkan
penatalaksanaan terhambat sehingga pasien harus menunggu terlebih dahulu
sebelum ditatalaksana lanjutan. Khususnya, pasien stroke iskemik sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologi yaitu CT Scan Kepala.

Pelayanan keperawatan yang bermutu, efektif dan efisien dapat tercapai bila
didukung dengan jumlah perawat yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Oleh
karena itu, perencanaan tenaga perawat terutama dalam menentukan jumlah
kebutuhan tenaga perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya agar dapat diperoleh
ketenagaan yang efektif dan efisien, (Sukardi, 2005). Hal ini sesuai dengan
pendapat Behrouz (2010), yang mengatakan bahwa hal yang dibutuhkan untuk
cepatnya diagnosis dan pelaksanaan CT Scan kepala pada pasien stroke saat
response time adalah koordinasi yang baik antara dokter jaga, dokter spesialis, dan
perawat serta jumlah petugas kesehatan yang memadai.
53

2. Ketersediaan Porter

Ketersediaan porter merupakan jumlah petugas non-klinis yang berperan


dalam pelayanan sebelum pasien stroke dilakukan CT Scan kepala. Jumlah porter
akan mempengaruhi kecepatan pelaksanaan CT Scan kepala karena porter
bertugas untuk melakukan transfer dari IGD ke ruang radiologi. Apabila jumlah
porter kurang akan mengakibatkan ketidakefektifan dalam melaksanakan
pelayanan CT Scan Kepala yang berhubungan dengan ketepatan waktu standar
pelayanan CT Scan.

Dalam pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke ketersediaan porter


ditemukan kekurangan dan sesuai dengan pendapat keseluruhan informan.
Sehingga waktu standar yang dibutuhkan pasien stroke iskemik untuk dilakukan
pemeriksaan CT Scan menurut PERDOSSI yaitu kurang dari 25 menit melewati
standar.

Penelitian sebelumnnya juga menemukan faktor yang paling sering


mengakibatkan waktu pasien lama menunggu di ruang emergensi untuk dilakukan
CT Scan kepala karena tidak tersediannya porter sehingga mengakibatkan pasien
terlambat untuk ditransfer ke ruang CT Scan kepala ( Coe Industry Project, 2003).
Oleh karena itu, untuk meminimalkan adanya kendala dalam pelayanan porter
perlu evaluasi serta mengerti adanya peran prioritas kerja pada pelayanan yang
diberikan porter (Hiller dan liberman, 2001).

3. Pengetahuan Tentang Therupeutic Window

Selain ketersediaan petugas, ketersediaan porter, faktor yang diperlukan


dalam pelayanan CT Scan adalah pengetahuan tentang therapeutic window.
Therapeutic window yang dimaksud adalah waktu standar yang dibutuhkan untuk
penatalaksanaan pasien stroke iskemik khususnya dalam hal pemberian
trombolitik yaitu, 3 jam.
54

Pengetahuan yang sesuai dengan kompetensi yang sesuai diiringi kompetensi


yang dimiliki akan memudahkan petugas dalam melakukan tugas dan kewajiban
sebagai petugas kesehatan. Pada penelitian ini, semua pihak umumnya
mengetahui bahwa CT Scan merupakan golden standard pada pasien stroke
iskemik. Akan tetapi, masih belum mengetahui tentang therapeutic window untuk
pasien stroke iskemik. Sehingga dalam pelayanan pasien stroke iskemik tidak
sesuai standar waktu yang dibutuhkan berdasarkan PERDOSSI yaitu 3 jam.

Kondisi ini sejalan dengan (Muhammad Kurniawan, 2016) menjelaskan


penyebab kecilnya angka pemberian trombolitik menunjukkan bahwa kurangnya
pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan (dokter dan perawat) mengenai
therapeutic window pasien stroke hingga sistem yang ada di ruang emergensi
yang menyebabkan keterlambatan terhadap respon terhadap kasus stroke menjadi
penyebab utama selain sempitnya waktu yang dibutuhkan untuk pemberian
trombolisis.
55

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUP


M.Hoesin Palembang tentang pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke
iskemik. Faktor-faktor yang dikemukan oleh Behrouz (2010) dalam pelayanan CT
Scan kepala yaitu, ketersediaan petugas (SDM), ketersediaan alat CT Scan kepala,
waktu tanggap pelayanan saat response time, dan pengetahuan tentang stroke.
Dari beberapa faktor itu terdapat faktor penghambat pelayanan CT Scan kepala
pada pasien stroke. Simpulan ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke iskemik di Instalasi Gawat


Darurat RSUP M.Hoesin Palembang cenderung sudah baik bila ditinjau dari
waktu tanggap petugas triase, waktu tunggu pasien dan ketersediaan alat CT
Scan. Waktu tanggap yang dibutuhkan oleh petugas kesehatan di IGD RSUP
M. Hoesin sudah sesuai dengan SOP yang berlaku yaitu kurang dari lima
menit. Selain itu pasien tidak perlu menunggu terlebih dahulu untuk ditangani
saat tiba di IGD. Selain itu, pasien tidak perlu menunggu terlebih dahulu
56

untuk melakukan administrasi. Untuk ketersediaan alat CT Scan sudah


memenuhi standar SOP yang ada di bagian radiologi RSUP M.Hoesin dengan
jumlah alat sebanyak 2 buah. Penggunaan alat CT Scan kepala ini sudah
optimal. Hal ini dapat dilihat dari kondisi pasien tidak perlu untuk menunggu
lama saat melakukan CT Scan kepala yaitu dengan waktu yang dibutuhkan
kurang dari 5 menit. Kapasitas maksimal alat CT Scan tidak menentu sesuai
dengan jumlah kunjungan pasien yang akan dilakukan CT Scan kepala.
Namun, ada beberapa kendala dalam pelaksanaanya seperti mati lampu dan
kondisi pasien yang kurang kooperatif.

b. Faktor-faktor penghambat pelayanan CT Scan kepala di IGD RSUP M.


Hoesin yaitu ketersediaan petugas kesehatan, ketersediaan porter dan
pengetahuan tentang therapeutic window. Ketersediaan petugas kesehatan
(dokter dan perawat) di IGD menurut standar yang dimiliki SOP IGD RSUP
M.Hoesin yaitu 3 orang per shift untuk dokter jaga dan perawat. Tetapi,
dalam pelayanan di IGD RSUP M.Hoesin masih ditemukannya kekurangan
jumlah petugas kesehatan terutama jumlah perawat. Hal ini dapat dilihat saat
kondisi di IGD mengalami peningkatan jumlah pasien. Pasien yang banyak
dan datang tidak menentu mengakibatkan jumlah kebutuhan perawat dalam
pelayanan di IGD perlu ditambah. Ketersediaan porter juga merupakan faktor
yang paling menghambat pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke
iskemik.

Jumlah porter yang terdapat di IGD RSUP M.Hoesin yaitu 20 orang dan
jumlah petugas per shift 2-3 orang. Namun, pada kenyataannya di IGD saat
pasien perlu ditransfer ke ruang lain dari IGD khususnya pasien stroke
iskemik yang akan dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala harus menunggu
terlebih dahulu porter yang masih mengantarkan pasien lain. Sehingga, hal ini
mengakibatkan waktu yang standar PERDOSSI untuk melakukan CT Scan
57

kepala pada pasien stroke iskemik yaitu kurang dari 25 menit melewati batas
standar dikarenakan pasien harus menunggu porter terlebih dahulu. Apabila
dilihat dari posisi ruang tempat dilakukannya CT Scan kepala di bagian
radiologi hanya membutuhkan waktu tempuh kurang dari 3 menit. Selain itu,
faktor penghambat pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke iskemik
adalah pengetahuan tentang theraupetic window.

Pengetahuan merupakan hal yang utama selain kompetensi yang dimiliki


oleh petugas kesehatan (dokter, perawat dan radiografer). Secara umum,
petugas di IGD sudah mengetahui tentang pentingnya pelaksanaan CT Scan
kepala pada pasien stroke iskemik sebagai golden standard. Tetapi, sebagian
petugas tidak mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk CT Scan kepala pada
pasien stroke iskemik sesuai standar PERDOSSI. Selain itu, petugas
kesehatan di IGD juga belum mengetahui tentang pentingnya therapeutic
window pasien stroke iskemik.

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada tiga saran yang diajukan peniliti
dalam pelayanan CT Scan kepala pada pasien stroke iskemik di IGD RSUP
M.Hoesin. Saran-saran tersebut sebagai berikut.

a. Ketersediaan petugas kesehatan (dokter dan perawat) serta koordinasi yang


baik antar petugas sangatlah diperlukan sehingga dalam pelayanan di IGD
akan berjalan optimal. Kepala IGD harus lebih kooperatif sehingga keinginan
dan harapan dari pelayanan di IGD tercapai. Apabila jumlah petugas tidak
mencukupi kebutuhan melihat jumlah pasien selalu bertambah maka hal ini
sangat diperlukan perhatian khusus semua pihak rumah sakit terutama
penentu kebijakan pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu diperhatikan beban
kerja perawat di IGD, sehingga dapat mengetahui jumlah yang dibutuhkan
IGD sesuai dengan jumlah pasien yang datang per hari.

b. Dari segi jumlah porter yang kurang sebagai faktor utama penghambat pasien
terlambat dilakukan CT Scan kepala seharusnya untuk meringankan kondisi
58

ini diperlukan sarana CT Scan kepala khusus yang terdapat di IGD. Sehingga,
apabila pasien datang ke IGD didiagnosis mengalami stroke iskemik dapat
langsung dilakukaan CT Scan kepala tanpa harus menunggu porter selesai
mendorong pasien lain.

c. Dan terakhir, pengetahuan tentang therapeutic window pada pasien stroke


iskemik harusnya dilakukan penyuluhan terlebih dahulu untuk seluruh
petugas kesehatan baik klinis maupun non klinis berdasarkan kompetensi
yang dimiliki masing-masing. Untuk penyuluhan ini perlu dilakukan
koordinasi bersamaan dengan pihak-pihak terkait seperti dari bagian
neurologi. Selain itu, penyuluhan ini juga diperlukan untuk masyarakat
sehingga masyarakat akan lebih menyadari pentingnya tatalaksana yang cepat
dan tepat pada pasien stroke iskemik yang akan berdampak pada prognosis
pasien selanjutnya. Hal ini juga penting mengingat pada pasien sendiri sering
melakukan penundaan datang ke rumah sakit setelah gejala stroke bahkan
menunda untuk dilakukan CT Scan karena belum mengetahui pentingnya
pelaksanaan pasien stroke iskemik yang membutuhkan waktu yang cepat.
59

DAFTAR PUSTAKA

AHA/ASA Guideline. Guidelines for the early management of adults with


ischemic stroke. 2007(38): 1655-1711.
60

Asdie, H. Ahmad. Editor. 1995. Harrison Prinsip-Prinsip Imu Penyakit Dalam


(Harrisons Principles of Internal Medicine). EGC, Jakarta, Indonesia, hal.
2464-2470.

Azwar, Azrul. 1980. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara,


Jakarta, Indonesia, hal. 15-20.

Baehr, M. dan M. Frotscher. 2014. Diagnosis Topik Neurologi Duus


Anatomi,Fisiologi, Tanda, Gejala. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 80-84.

Brooks F.Bock, M.D, F.A.C.E.P. 2011. Rapid Identification and


Treatment.364(2),(Http://www.ninds.nih.gov//news_and_events/procedin
gs/stroke_pro, Diakses 14 Juni 2016).

Curt Peterson. 2015. Decrease Arrival to CT time to Improve Stroke


Outcomes.127(2),(Http://repository.usfca.edu/capstone, Diakses 16 Juni
2016).

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah


Sakit Cipto Mangunkusumo. 2016. Code Stroke Panduan Implementasi
Terapi Reperfusi Stroke Iskemik di Indonesia. FK UI, Jakarta, Indonesia, hal.
52-55.

Edward C. Jauch, MD, MS, FAHA, Chair, and Jeffrey L.Saver. 2013.
Guidline for Early Management of Patients with Acute Ischemic Stroke.
5(2),(Http://stroke.ahajournals.org, Diakses 14 Juni 2016).

Fredirk Odegaard, Li Chen, Ryan Quee and Martin L.Puterman. 2007. Improving
the Effeciency of Hospital Porter Services. 13(29), (Http://nahq.org/journal,
Diakses 29 Juni 2016).

Ginsberg, Lionel. 2002. Lecture Notes Neurologi. Erlangga, Jakarta, Indonesia,


hal. 89-91.

Hanafiah, M. Yusuf dan Amri Amui. 2013. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 11-20.

Hasmi. 2014. Metode Penelitian Kesehatan. In Media, Jakarta, Indoensia, hal.


64-69.

Hill MD, Demchuck AM, Goyal M, Jovin TG, Foster LD, Tomsick TA, et al.
Alberta Stroke Program Early Computed Tomography Score to Select
Patients for Endovascular Treatment: Interventional Management of Stroke
(IMS)-III Trial. 2014(45): 444-449.

Jeffrey Lsaver, Eric E. Smith, MD, MPH, and Mathew J. Reeves, PHD. 2010.
61

12 (2). The Golden Hour and Acute Brain Ischemia.


(Http://stroke.ahajournals.org, Diakses 1 Juni 2016).

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Nuha Medika, Yogyakarta,


Indonesia, hal. 5-11.

Ngoerah, I Gst Ng. Gd. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
University Press, Surabaya, Indonesia, hal. 121-125.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2011. Guideline Stroke.


PERDOSSI, Jakarta, Indonesia, hal. 48-76.

Pratiknya, Ahmad Watik. 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian


Kedokteraan & Kesehatan. Radja Grafindo Persada, Jakarta, Indonesia, hal.
46-52.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2013. Patofiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta, Indonesia, hal. 290-297.

Kalafut MA, Schriger DL, Saver JL, Starkman S. Detection of Early CT Signs
of >1/3 Middle Cerebral Artery Infractions. 2000 (31): 1667-1671.

Tamm et al. Impact of Stroke Care Unit on Patients Outcomes ini a Community
Hospital. 2013(45): 260-264.

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN


Pernyataan kesediaan menjadi informan yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR PENGHAMBAT PELAYANAN CT SCAN KEPALA


62

PADA PASIEN STROKE ISKEMIK DI INSTALASI GAWAT DARURAT


RSUP MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

NAMA: GHIENA INAYATI A.


NIM: 04011381320015

Bermaksud melakukan penelitian tentang faktor penghambat pelayanan CT Scan


kepala pada pasien stroke iskemik di Instalasi Gawat Darurat RSUP M. Hoesin
Palembang. Maka bersama ini saya jelaskan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tujuan penelitian ini adalah nuntuk mengetahui faktor penghambat pelayanan
CT Scan kepala pada pasien stroke iskemik di IGD RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Manfaat penelitian secara garis besar adalah meningkatkan informasi
dalam hal perencanaan, penatalaksanaan, dan evaluasi khususnya dalam hal
pelayanan CT Scan kepala pada stroke iskemik di IGD rumah sakit..
2. Penelitian ini tidak akan memberikan dampak negative pada informan.
3. Pengumpulan data yang akan dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap
informan.
4. Selama proses wawancara peneliti menggunakan alat bantu tape recorder,
pedoman
wawancara, dan catatan lapangan.
5. Wawancara akan dilakukan selama 30 sampai 45 menit dengan waktu yang
disesuaikan atas kesepakatan informan dengan peneliti.
6. Semua catatan yang berhubungan dengan penelitian ini akan dijaga
kerahasiannya.
7. Informan berhak mengajukan keberatan pada peneliti jika terdapat hal-hal yang
tidak berkenan bagi informan, dan selanjutnya akan dicarikan penyelesaian
berdasarkan kesepakatan peneliti dan informan.
Demi memenuhi etika dalam penelitian ini, saya memohon agar ibu bersedia
menandatangani lembar persetujuan yang ada di bawah ini.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama (Inisial/kode) :
Alamat :
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa setelah mendapat penjelasan penelitian
dan memahami informasi yang diberikan oleh peneliti serta mengetahui tujuan
63

dan manfaat penelitian, maka dengan ini saya secara sukarela bersedia menjadi
informan dalam penelitian ini. Demikian pernyataan saya buat dengan
sebenar-benarnya dan penuh kesadaran serta tanpa paksaan dari siapapun.
Palembang,
Yang Menyatakan

Informan

LAMPIRAN I

PEDOMAN WAWANCARA (KEPALA INSTALASI GAWAT DARURAT,


DOKTER JAGA, DOKTER PPDS, DOKTER SPESIALIS, DAN PERAWAT)
NAMA:
USIA:
JENIS KELAMIN:
PROFESI:
LAMA KERJA:

NO PERTANYAAN JAWABAN
1. WAKTU TUNGGU PASIEN
- Apakah ada waktu standar pasien
untuk melakukan administrasi di
IGD berdasarkan SOP?
- Menurut saudara, apakah di IGD
RSMH sudah memenuhi standar
SOP?
- Pada beberapa kondisi pasien
mengalami keterlambatan di tangani,
menurut saudara apa penyebab?

2. WAKTU TANGGAP PETUGAS .


TRIASE
- Apakah ada waktu standar yang
dibutuhkan petugas triase
beradasarkan SOP di IGD?
64

- Bagaimana menurut suadara


dengan kondisi di IGD RSMH,
apakah sudah memenuhi standar?
-Pernahkah waktu standar untuk
triase melewati waktu SOP?
- Kapan biasanya melewati waktu
SOP?
-Bagaimana cara mengatasi apabila
pada kondisi pasien yang banyak?

3. KETERSEDIAAN PETUGAS
KESEHATAN
- Apakah ada standar jumlah petugas
kesehatan (dokter jaga, perawat, dan
dokter spesialis) berdasarkan SOP?
-Apakah saudara mengetahui jumlah
petugas kesehatan berdasarakan
SOP?
- Menurut saudara, apakah jumlah
petugas kesehatan di IGD RSMH
sudah memenuhi standar?
- Apakah sistem shift pada petugas
kesehatan di RSMH ini sudah
berjalan dengan baik?
- Apakah jumlah petugas kesehatan
di IGD setiap shift sudah sesuai
dengan jumlah pasien yang datang,
atau perlu ditambah?

4. KETERSEDIAAN PORTER
- Apakah ada standar jumlah porter
di IGD?
- Apakah saudara mengetahui jumlah
standar porter di IGD?
- Menurut saudara apakah jumlah
porter di IGD RSMH sudah
menenuhi standar?
- Apakah sistem shift sudah berjalan?
- Apakah jumlah petugas porter di
IGD mencukupi jumlah pasien yang
datang?
- Mengapa pasien banyak terlambat
diantarkan ke bagian radiografi
karena porter?
- Bagaimana kinerja porter di IGD
RSMH menurut saudara?
65

- Bagaimana solusi kedepan menurut


saudara?
- Apakah perlu ditambahkan jumlah
porter?
5. PENGETAHUAN TENTANG
THREAUPEUTIC WINDOW
- Apakah saudara mengetahui waktu
standar tentang terupetic window
pada psien stroke iskemik?
-Apakah saudara sebelumnya pernah
mendengar tentang teraupeutic
window pada pasien stroke iskemik?
-Pernahkah di lakukan informasi
sebelummnyaa?
-Mengetahui dampak apabila
terlambat?
-Menurut saudara, apakah di igd
sudah melwati batas belum
waktunya?
-Mengpa banyak atau belum dapat
dibilang sesuai standar terapi?
-Harapan kedepann shingga
tatalaksna dapat tept wktu?
-Dalam hal apa yang perlu diperbaiki
menurut sudara ?

6. KETERSEDIAAN ALAT CT SCAN


- Apa ada jumlah standar alat CT
SCAN kepala di IGD berdasarkan
SOP ?
- Berapa kapasitas kerja alat per
hari?
- Apakah jumlah alat mencukupi
dengan jumlah pasien yang akan di
CT SCAN?
66

LAMPIRAN II

PEDOMAN WAWANCARA RADIOGRAFER


NAMA:
USIA:
JENIS KELAMIN:
PEKERJAAN:
LAMA KERJA:
NO PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah terdapat jumlah standar
radiografer di bagian radiologi
RSMH?
2. Menurut saudara, apakah jumlah
rdiografer sudah memenuhi
67

standar?
3. Berapakah jumlah radiografer per
hari?
4. Apakah jumlah radiografer yang
sekarang mencukupi jumlah pasien
yang datang?
5. Berapakah jumlah pasien yang
datang yang dapat ditangani oleh
setiap radiografer per hari?
6. Apakah perlu ditambah jumlah
radiografer?
7. Apakah saudara pernah melakukan
CT SCAN kepala pada pasien
stroke iskemik?
8. Apakah saudara mengetahui waktu
standar yang direkomendasikan
PERDOSSI untuk melakukan CT
SCAN kepala?
9. Berapa lama waktu yang saudara
butuhkan untuk melakukan CT
SCAN kepala pada pasien stroke
iskemik?
10. Berapa lama hasil CT SCAN
kepala sudah dapat dilihat?
11. Hambatan apa yang sering kali
saudara rasakan saat sebelum
melakukan CT SCAN kepala pada
pasien stroke iskemik?
12. Menurut saudara, mengapa pasien
stroke iskemik sering kali
terlambat untuk dilakukan CT
SCAN kepala?
13. Apakah saudara mengetahui CT
SCAN kepala merupakan golden
standar pada pasien stroke
iskemik?
14. Apakah saudara mengetahui
dampak apabila pasien stroke
iskemik terlambat dilakukan CT
SCAN kepala?
15. Harapan saudara kedepan?
68

LAMPIRAN III
69

PEDOMAN WAWANCARA (PORTER)


NAMA:
USIA:
JENIS KELAMIN:
PEKERJAAN:
LAMA KERJA:

NO PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah saudara mengetahui
jumlah standar porter yang ada di
SOP IGD RSMH?
2. Menurut saudara, apakah jumlah
yang sekarang sudah menenuhi
standar yang dibutuhkan?
3. Apakah porter yang ada di IGD
sudah mencukupi dengan jumlah
pasien yang datang?
4. Apakah sistem shift yang ada di
IGD RSMH sudah berjalan?
5. Berapakah standar jumlah pasien
yang dapat diantar/ didorong oleh
setiap porter per shift?
6. Hambatan apa saja yang paling
sering dialami saat mendorong
pasien ke unit lain?
7. Apakah jumlah alat untuk
mendorong memenuhi kebutuhan
per shift?
8. Apakah saudara pernah
mendorong pasien stroke ke ruang
radiologi untuk di CT SCAN
kepala?
9. Berapa banyak pasien yang
saudara antarkan ke IGD per shift?
10. Berapa lama waktu yang
dibutuhkan saudara butuhkan
untuk mendorong pasien ke ruang
radiologi?
11. Mengapa pasien stroke banyak
lama menunggu untuk diantarkan
ke ruang CT SCAN kepala?
70

12. Apa saja hambatan yang sering


saudara alami saat mendorong
pasien stroke ke ruang CT SCAN
kepala?
13. Berapa lama waktu yang
dibutuhkan pasien stroke untuk
melakukan CT SCAN kepala?
14. Apakah saudara mengetahui
dampak apabila pasien stroke
terlambat dilakukan CT SCAN
Kepala?
15. Apa harapan saudara kedepan?

Anda mungkin juga menyukai