Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerupuk
Kerupuk merupakan makanan kudapan yang bersifat kering, ringan
yang terbuat dari bahan yang mengandung pati yang cukup tinggi.
Kerupuk merupakan makanan kudapan yang popular, mudah cara
membuatnya beragam warna dan rasa, disukai oleh segala lapisan usia
(Wahyuni, 2007). Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari
adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa seperti udang atau ikan.
Kerupuk dibuat dengan mengukus adonan sebelum dipotong tipis-tipis,
dikeringkan di bawah sinar matahari dan digoreng dengan minyak goreng
yang banyak (Soemarmo, 2009).
Kerupuk pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kerupuk
halus dan kerupuk kasar. Kerupuk kasar dibuat hanya dari bahan pati yang
ditambahkan bumbu, sedangkan kerupuk halus ditambah lagi dengan
bahan berprotein seperti ikan sebagai bahan tambahan. Kerupuk tapioka
mempunyai kandungan protein yang rendah. Hal ini dikarenakan kadar
protein bahan baku yang digunakan (tepung tapioka) rendah Penambahan
ikan, tepung udang dan sumber protein lainnya pada adonan kerupuk
diharapkan akan meningkatkan kandungan protein kerupuk yang
dihasilkan (Wijandi et al., 1975).
Pembuatan adonan merupakan tahap yang penting dalam
pembuatan kerupuk mentah. Adonan dibuat dengan mencampurkan bahan-
bahan utama dan bahan-bahan tambahan yang diaduk hingga diperoleh
adonan yang liat dan homogen (Wijandi et al., 1975). Kerupuk dengan
campuran tepung tapioka mempunyai mutu yang lebih baik daripada tanpa
campuran dilihat dari warna, aroma, tekstur dan rasa (Suhardi et al., 2006).
Kerupuk memiliki tekstur berongga dan renyah, hal ini merupakan
salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk dan
crackers berpengaruh terhadap kualitas produk pangan dan berperan
dalam metode penyimpanan suatu produk pangan (Wiratakusumah et al.,

5
1989). Sifat kerupuk mudah melempem, hal ini berkaitan dengan
kelembaban udara lingkungan dan tingkat penyerapan air pada produk
kerupuk. Kelembaban udara di Indonesia yang relatif tinggi (80%-90%)
memacu teknologi pembentukan bahan pengemas yang tahan terhadap
kondisi lingkungan dan sesuai dengan produk bahan yang dikemas
(Setyawan, 1999). Bahan pengemas tahan uap air dan udara yang sering
digunakan untuk produk kerupuk adalah plastik, kaleng, dan gelas
(Syarief, 1993).
Bahan pembuat kerupuk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku adalah bahan yang
digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh
bahan lain. Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk
melengkapi bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk. Bahan
tambahan dari kerupuk adalah garam, bumbu, bahan pengembang dan air.
Bumbu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk berfungsi untuk
memperbaiki dan menambah cita rasa kerupuk (Djumali et al., 1982).

B. Onggok Singkong
Ketela pohon di Indonesia menjadi makanan bahan pangan pokok
setelah beras dan jagung. Manfaat daun ketela pohon sebagai bahan
sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk keperluan yang lain
seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun
atau di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak.
Dengan perkembangan teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada
industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu digunakan
pula pada industri obat-obatan (Prihatman dan Kemal, 2000).
Singkong (cassava) sudah lama dikenal diseluruh dunia yang
merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi dan digunakan dalam
tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Singkong berperan
cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan
sebagai bahan baku berbagai industri makanan (Rahmat, 1999).
Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 184 juta ton pada
tahun 2002. Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan

6
33,2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia. Singkong
merupakan tanaman yang dapat hidup didataran rendah sampai dataran
tinggi yang kurang dari 1 (1300m dpl), pada udara yang hangat dan suhu
rata-rata 20C dan curah hujan 500-5000mm (Hasbullah, 2000).
Salah satu jenis industri yang cukup banyak menghasilkan limbah
adalah pabrik pengolahan tepung tapioka. Dari proses pengolahan
singkong menjadi tepung tapioka, dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian
atau sekitar 75% dari bahan mentahnya. Dimana limbah tersebut berupa
limbah padat yang biasa disebut onggok atau ampas singkong (Retnowati,
2009).
Onggok yang berasal dari ubi singkong merupakan limbah padat
dari pengolahan tepung tapioka dan juga belum secara maksimal
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Onggok sebagai ampas pati
singkong yang masih mengandung karbohidrat, dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi. Kandungan zat makanan yang terkandung dalam
onggok adalah protein 3,6 %, lemak 2,3 %, air 20,3 %, abu 4,4 %, energi
metabolis 3000 kkal/kg dan mengandung sianida yang tinggi (Anonimus,
2005).
Tabel 1. Hasil analisis proksimat onggok singkong

No Parameter Persentase (%)


1 Kadar air 80,16
2 Kadar abu 1,01
3 Protein kasar 2,21
4 Lemak kasar 2,82
5 Serat kasar 13,46
6 Ca 0,14
7 P 0,20
Sumber: Hadisusanto, 2008

Hasil samping dari proses pengolahan singkong menjadi


tepung tapioka adalah ampas singkong atau yang disebut onggok.
Banyaknya onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan tapioka
berkisar 5-10% dari bobot bahan bakunya dengan kadar air 20%.
Limbah tersebut termasuk limbah organik yang masih banyak

7
mengandung karbohidrat, protein dan gula. Selain itu juga masih
banyak mengandung senyawa-senyawa gula seperti sukrosa, glukosa,
fruktosa, dekstran, galaktosa dan asam nitrat (Retnowati, 2009). Onggok
(ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri
pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak.

C. Rajungan (Portunus pelagicus)


Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis kepiting laut yang
banyak terdapat di perairan Indonesia dan menjadi salah satu komoditas
andalan untuk ekspor. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan
Perikanan (2005), dalam satu tahun ekspor rajungan beku sebesar 2813,67
ton tanpa kulit (dagingnya saja), dan rajungan tidak beku (bentuk segar
maupun dalam kaleng) sebesar 4312,32 ton. Limbah produk rajungan
tersebut cukup tinggi berupa 57% cangkang dan 3% body reject
(Sugihartini, 2001). Menurut Angka dan Suhartono (2000), cangkang
rajungan mengandung 25% bahan padat dan 25% dari padatan tersebut
adalah kitin.
Menurut Hadiwiyoto (1993) hasil perikanan dapat dijumpai
senyawasenyawa yang sangat berguna bagi manusia, yaitu protein,
kalsium, lemak, sedikit karbohidrat, vitamin, dan garam-garam mineral,
maka ikan, rebon, rajungan merupakan sumber protein, lemak, kalsium
hewani yang sangat potensial, sebaiknya dapat diupayakan dengan
membuat berbagai jenis tepung misalnya tepung ikan kembung,
tepung rebon dan tepung rajungan, yang dapat digunakan sebagai
bahan tambahan.
Cangkang rajungan merupakan hasil samping dari pengolahan
rajungan. Kandungan gizi rajungan, terutama protein cukup tinggi,
sehingga dimungkinkan limbah padatnya juga masih mempunyai
kandungan protein yang tinggi. Limbah luar yang terdiri cangkang dan
kaki mempunyai kandungan kalsium yang cukup tinggi (Nurhidajah dan
Yusuf, 2009). Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah cangkang
rajungan agar memiliki nilai dan daya guna limbah rajungan menjadi

8
produk yang bernilai ekonomis tinggi adalah pengolahan menjadi tepung
cangkang rajungan yang selanjutnya dapat diolah sebagai substitusi bahan
makanan. (Nurhidajah dan Yusuf, 2009).
Tepung limbah rajungan mempunyai karakteristik warna putih
untuk limbah bagian dalam dan merah untuk limbah cangkang, dengan
aroma rajungan yang kuat dan tekstur tepung halus, kering dan tidak
menggumpal (Nurhidajah dan Yusuf, 2009). Tepung limbah bagian dalam
dan cangkang mempunyai rata-rata kadar kalsium masing-masing 14,87 %
dan 39,32 %. Rendemen tepung limbah rajungan bagian dalam
menunjukkan angka 40% sedangkan bagian cangkang mencapai 60 %
(Nurhidajah dan Yusuf, 2009).
Tabel 2. Karakteristik kimia tepung cangkang rajungan (Portunus
pelagicus)

Parameter Kadar
Kadar air (%) 3,24
Kadar abu (%) 72,28
Kadar Ca (mg/g bk) 299,41
Kadar P (mg/g bk) 12,35
pH 9,31
Sumber : Yanuar, et al (2009)

D. Kalsium
Jumlah asupan kalsium per hari yang dianjurkan untuk orang
dewasa sekitar 400-500 mg tetapi bila konsumsi proteinnya tinggi
dianjurkan mengkonsumsi 700-800 mg. Untuk anak-anak dan remaja
lebih tinggi asupannya dan untuk wanita hamil/menyusui dianjurkan
mengkonsumsi 1200 mg (Whitney & Hamilton, 1987).
Kalsium merupakan unsur terbanyak kelima dan kation terbanyak
di dalam tubuh manusia, yaitu sekitar 1,5-2 % dari keseluruhan berat
tubuh. Kalsium dibutuhkan untuk proses pembentukan dan perawatan
jaringan rangka tubuh serta beberapa kegiatan penting dalam tubuh seperti
membantu dalam pengaturan transport ion-ion lainnya ke dalam maupun
ke luar membran, berperan dalam penerimaan dan interpretasi pada impuls
saraf, pembekuan darah dan pemompaan darah, kontraksi otot, menjaga

9
keseimbangan hormon dan katalisator pada reaksi biologis (Almatsier,
2002)
Dalam keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang
dikonsumsi diabsorpsi di tubuh. Kemampuan absorpsi lebih tinggi pada
masa pertumbuhan, dan menurun pada proses menua. Kemampuan
absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua
golongan usia (Almatsier, 2002). Tingginya kalsium dalam tubuh akan
menurunkan sekresi hormon paratiroid dan meningkatkan hormon
kalsitonin serta menekan penggunaan protein, lemak, vitamin, mineral P,
Mg, Fe, I, Zn, dan Mn (Piliang, 2000).
Sumber kalsium pada makanan didapatkan sebagian besar dari
susu, sayuran dan ikan. Tetapi tidak semua kalsium dari bahan pangan
tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh tubuh karena ada beberapa
faktor yang dapat menurunkan atau meningkatkan absorbsi kalsium di
dalam usus. Faktor dalam makanan yang dapat menurunkan absorbsi
kalsium dalam usus diantaranya oksalat, fitat dan serat makanan,
sedangkan yang menaikkan adalah fosfor, protein terutama yang kaya
asam amino lisin dan arginin, laktosa dan vitamin D (Almatsier, 2002).
Serealia, kacang-kacangan, dan hasil kacang-kacangan yaitu tahu
dan tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik, tetapi
bahan makanan ini banyak mengandung zat yang menghambat penyerapan
kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat. Susu nonfat merupakan sumber
terbaik kalsium, karena ketersediaan biologiknya yang tinggi. Kebutuhan
kalsium akan terpenuhi bila kita makan makanan yang seimbang setiap
hari (Almatsier, 2002). Ikan dan makanan sumber laut mengandung
kalsium lebih banyak dibanding daging sapi maupun ayam (Soekatri dan
Kartono, 2004).

E. Daya Kembang
Pengembangan volume kerupuk terjadi pada proses
penggorengan. Terjadinya pengembangan ini dapat disebabkan oleh
terbentuknya rongga-rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng

10
karena pengaruh suhu, menyebabkan air yang terikat dalam gel
menjadi uap (Lavlinesia, 1995).
Daya kembang kerupuk akan semakin berkurang bila presentase
kandungan tepung lebih banyak dibanding dengan bahan pengisi (udang,
ikan, dll). Untuk memperoleh daya kembang kerupuk yang lebih baik
maka adonan kerupuk harus dalam proporsi tepung dengan bahan pengisi
yang seimbang (Soemarmo, 2009).
Kerenyahan kerupuk goreng meningkat sejalan dengan
meningkatnya volume pengembangan kerupuk goreng (Istanti, 2006).
Hasil uji pengembangan volume kerupuk dengan kandungan
amilopektin yang lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang
tinggi, karena pada saat proses pemanasan akan terjadi proses
gelatinisasi dan akan terbentuk struktur yang elastis yang kemudian dapat
mengembang pada tahap penggorengan sehingga kerupuk dengan volume
pengembangan yang tinggi akan memiliki kerenyahan yang tinggi
(Zulfiani, 1992).
Kualitas kerupuk selain tergantung atas kandungan bahan-bahan
organik (zat gizi) yang terdapat dalam bahan bakunya juga tergantung atas
daya kembang dari kerupuk yang dihasilkan. Pati berperan dalam proses
gelatinisasi dan berpengaruh terhadap volume pengembangan yang
merupakan salah satu mutu kerupuk yaitu semakin besar volume
pengembangan maka mutu kerupuk tersebut semakin baik (Wiriano,
1984). Daya kembang kerupuk adalah perbandingan panjang kerupuk
sesudah digoreng dibandingkan dengan panjang kerupuk sebelum
digoreng (Muryati, 1996)

F. Sifat Organoleptik
Organoleptik merupakan pengujian secara subyektif yaitu suatu
pengujian penerimaan selera makanan (acceptance) yang didasarkan atas
pengujian kegemaran (preference) dan analisa pembeda (difference
analysis). Mutu organoleptik didasarkan pada kegiatan penguji (panelis)
yang pekerjaannya mengamati, menguji, dan menilai secara organoleptik
(Winarno, 2002).

11
Interaksi antara lama penyimpanan dan jenis pengemasan
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekerasan kerupuk yang
dihasilkan (Salamah, 2008). Kerenyahan kerupuk goreng meningkat
sejalan dengan meningkatnya volume pengembangan kerupuk goreng
(Istanti, 2006). Kerenyahan kerupuk sangat ditentukan oleh kadar airnya.
Semakin banyak mengandung air, maka kerupuk akan semakin kurang
renyah (Soemarmo, 2005). Pada perlakuan ketebalan kerupuk 0,2 cm
menghasilkan nilai persentase daya kembang, kenampakan dan konsistensi
bila dibandingkan dengan kerupuk yang mempunyai ketebalan 0,3cm dan
0,4cm (Purwiyono, 2003).
Rasa adalah sesuatu yang diterima oleh lidah. Dalam penginderaan
cecapan dibagi empat cecapan utama yaitu manis, asam, pahit, dan asin
serta ada tambahan bila dilakukan modifikasi (Zuhra, 2006). Sifat
penglihatan atau penampakan pada produk merupakan sifat utama yang
dilakukan oleh konsumen, sedangkan sifat lain akan dinilai kemudian.
Warna termasuk dalam kenampakan, oleh sebab itu, warna merupakan
unsur kualitas sensoris yang penting.
Aroma merupakam sesuatu yang dirasakan oleh hidung. Pada
umumnya aroma yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak
merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum,
asam, tengik, dan hangus (Zuhra, 2006). Rasa lezat yang ditentukan melui
bau menjadi daya tarik sendiri untuk produk makanan tersebut. Bau
merupakan salah satu parameter dalam menentukan rasa enak dari suatu
produk makanan dengan menggunakan indera penciuman (Winarno,
2002).

12

Anda mungkin juga menyukai