Anda di halaman 1dari 6

Kontrol Umpan Balik Keseimbangan Kalium

Kontrol umpan balik klasik dari kalium adalah sistem hemostasis yang terjadi secara
berurutan atau luaran atau proses sebagai umpan balik dan proses regulasi kalium itu
sendiri. Kontrol umpan balik kalium didefinisikan dengan kaskade berikut : sebagai respon
terhadap makanan tinggi kalium termasuk glukosa, sekresi insulin pankreas mengaktivasi
Na-K-ATPase pada otot lurik dan hati, sehingga terjadi perpindahan kalium (pertukaran
Na/K) dari plasma menuju cairan intraseluler pada sel tersebut. Mekanisme ini meminimalisir
peningkatan konsentrasi kalium plasma setelah makan. Dengan aktivitas otot, kalium
dilepaskan menuju plasma dan difiltraso di glomerulus. Dengan tujuan untuk
mempertahankan keseimbangan, jumlah kalium yang dikonsumsi dalam makanan (dikurangi
sejumlah kecil yang keluar lewat kotoran) dieksresikan lewat urin.
Ketika peningkatan konsumsi kalium meningkatkan konsentrasi kalium plasma, hal ini akan
memicu sintesis aldosteron dan mensekresikannya dari adrenal, yang menstimulasi aktivitas
dan sintesis Na-K ATPase dan saluran kalium pada sel duktus kolektivus untuk mensekresi
kelebihan kalium (gambar 2). Aldosteron juga meningkatkan eksresi kalium pada kolon
distal. Fungsi yang terakhir dapat menjadi sangat penting dalam adaptasi yang terjadi bila
fungsi ginjal terganggu.
Sebaliknya bila aupan kalium sangat rendah atau eksresi kalium urine meningkat,
konsentrasi plasma menurun dan regulasi umpan balik teraktivasi, terjadi retribusi kalium
dari cairan intraseluler menuju plasma untuk meminimalisir hipokalemia. Secara simultan
otot lurik menjadi resisten insulin terhadap ambilan kalium (tidak terjadi pada glukosa)
bahkan berlangsung sebelum penurunan konsentrasi kalium plasma yang bekerja terhadap
menurunnya perpindahan kalium dari plasma ke sel.
Setelah hipokalemia teratasi, ekspresi Na-K-ATPase A2 isoform menurun, sehingga
memfasilitasi kebocoran kalium dari cairan intraseluler menuju ke plasma. Konsentrasi
kalium plasma yang rendah mensupresi pelepasan aldosteron adrenal, menyebabkan ginjal
dapat mennerima semua namun sekitar 1% kalium terfiltrasi (gambar 3). Kalium ginjal
terlibat dalam downregulasi sekreso kalium melalui jalur ROMK pada sel korteks duktus
kolektivus utam. Ini terjadi akibat mediasi oleh upregulasi pada apikal yang merupakan
lokasi H-K-ATPase pada sel intercalated.
Apa yang sangat menarik adalah realisasi mekanisme umpan balik ini pada regulasi kalium
adalah bukan merupakan mekanisme tunggal untuk respon kompensasi ekskresi kalium.
Namun ada mekanisme regulasi tambahan, suatu kontrol feed-forward dalam regulasi
kalium, yang berperan sebagai upaya pelengkap untuk mempertahankan keseimbangan
kalium.
Kontrol Feed-Forward keseimbangan kalium
Meskipun mekanisme umpan balik dikenali sebagai pengatur pada sistem biologis, siklus
Feed-forward juga merupakan pengatur biologis yang penting. Kontrol Feed-forward
merupakan suatu jalur pada sistem homeostatis yang merespon terhadap sinyal lingkungan
dalam situasi yang belum ditentukan, tanpa merespon pada bagaimana sistem bereaksi
secara beruntutan (tanpa respon umpan balik). Suatu contoh kontrol Feed-forward yang
sudah dikenal luas adalah pengaturan salivasi pada anjing Pavlov dalam mengantisipasi
makanan. Penganturan reflek salivasi Pavlov adalah suatu contoh siklus Feed-forward
yang distimulus secara temporer berhubungan dengan makanan (masukan) memicu salivasi
(luaran) pada keberadaan makanan.
Suatu contoh lain yang baru-baru ini diketahui mendekati siklus Feed-forward dimana
luaran mempengaruhi masukan juga terjadi, mengarahkan pada siklus penguatan diri pada
variasi kasus intrakrin.37 Aksi intrakrin menyebabkan perkembangan dari bentuk aktif
diferensiasi dimana intrakrin dapat menyebar dari 1 sel menuju sebuah sel target,
meningkatkan kerja intrakrin dalam sel tersebut, dan mempertegas siklus penguatan diri
intrakrin dalam sel- sebuah siklus yang akan bertahan meskipun intrakrin ekstraseluler
dihilangkan. Sebuah contoh adalah observasi terakhir yang mendukung formulasi dari
interaksi sebuah Feed-forward reseptor mineralkortikoid-sistem intrakrin renin-angiotensin
terhadap aldosteron atau aktivator lain reseptor mineralkortikoid dalam beragam status
penyakit.37
Dengan konstrusi teoritis sebagai konteks, kita dapat mempertimbangkan formulasi dari
contoh lain terbaru dari kontrol Feed-forward yang sangat relevan sebagai kontrol Feed-
forward homeostasis kalium. Secara analogi, mekanisme kontrol Feed-forward yang
serupa terlibat dalam homeostasis kalium. Dalam menjelaskan siklus pengaturan ini, masih
kontroversi. Adalah suatu kebenara bahwa segala mekanisme untuk pengaturan
homeostasis tidak dapat dikatakan umpan balik atau Feed-forward sampai detail
pengaturan bisa digambarkan. Pada keadaan sistem umpan balik pada regulasi kalium,
seperti yang sudah dijabarkan di atas, detail tersebut sudah dijabarkan dengan baik. Seperti
yang akan muncul pada bagian ini, detail pengaturan Feed-forward masih belum bisa
didefinisikan, begitu juga lokus dan molekul alami dari reseptor dan juga persinyalan antara
ginjal dan traktus gastrointestinal dapat dijelaskan. Konsekuensinya, untuk tujuan diskusi
kita dalam menjelaskan fenomena ini, kita akan merujuk pada mekanisme homeostatis
seperti Feed-forward, namun dibutuhkan detail mekanisme yang saat ini masih belum
jelas.
The feed-forward control mechanism subserving potassium homeostasis posits that even
minor changes in dietary potassium intake, which are insufficient to alter plasma
concentrations of either potassium38 or aldosterone,39 and consequently insufficient to
activate feedback control, are capable of evoking rapid changes in renal potassium excretion
through feed-forward mechanisms (Figure 3).
Kontrol mekanisme Feed-forward mengakibatkan perubahan homeostatis signifikan
meskipun terjadi perubahan minor pada diet asupan kalium, yang tidak mampu
mempengaruhi konsentrasi plasma baik pada kalium maupun aldosteron dan
konsekuensinya tidak mampu mengaktivasi kontrol umpan balik, yang mampu memicu
perubahan cepat dalam ekskresi kalium ginjal melalui mekanisme Feed-forward (gamabar
3).

Gambar 3. Skema yang menunjukkan peran pelengkap dari umpan balik klasik dan mekanisme kontrol Feed-
forward untuk memelihara keseimbangan kalium. Suatu peningkatan kalium plasma membangkitkan respon untuk
memicu kaliuresis. Sebaliknya, mekanisme kontrol Feed-forward terjadi ketika kalium diet dideteksi oleh reseptor K
pada traktus gastrointestinal dalam absennya perubahan yang signifikan pada kalium plasma.

Tiga puluh tahun lalu, Rabinowitz dan kolega 40 memperagakan suatu penelitian yang
elegan pada domba, yang dilakukan dengan asupan kalium dalam makanan atau kalium
yang dimasukkan ke dalam rumen (perut domba) diketahui bersasosiasi dengan
peningkatan ekskresi kalium urin yang besar dan signifikan. Namun yang lain telah lebih
dulu mendemonstrasikan bahwa pemberian asupan kalium tersebut berasosiasi
terhadapa peningkatan ekskresi kalium, Rabinowitz et al merancang 13 seri eksperimen
untuk menelusuri faktor-faktor yang diketahui meregulasi ekskresi kalium urin untuk
menentukan yang mana dari faktor tersebut yang mungkin berkontribusi terhadap efek ini.
Mereka menunjukkan bahwa peningkatak ekskresi kalium urin tidak berhubungan dengan
peningkatan kalium serum atau laju filtrasi glomerulus dan juga peningkatan ekskresi
kalium urin tidak merupakan konsekuensi dari peningkatan kalium yang terfiltrasi, namun
disebabkan ekskresi kalium tubular. Mereka mendemonnstrasikan bahwa aldosteron tidak
bertanggungjawab juga terhadap kejadian ini dengan menunjukkan tidak adanya
perubahan pada konsentrasi aldosteron plasma, pemberian infus aldosteron tidak
mempengaruhi efek, atau pemberian awal antagonis aldosteron (potassium canrenoate),
yang juga tidak memberikan efek. Serupa dengan hal tersebut, ketika laju aliran urin atau
eksresi sodium terganggu atau pH urin terganggu , efeknya masih menetap. Mereka
menyimpulkan sebagai berikut: faktor eferen yang terlibat dalam pengaturan ini masih
belum bisa ditentukan, faktor tersebut bukanlah aldosteron, laju aliran urin, ekskresi
natrium, atau status asam basatidak pula perubahan dari kalium plasma mampu
membuat perubahan pada ekskresi kalium urin yang berasosiasi terhadap makanan atau
puasa. Mereka menyimpulkan bahwa studi mereka Sesuai dengan keberadaan reseptor
yang terlokalisasi pada beberapa poin dibandingkan pada sirkulasi sistemik, yang
mempengaruhi tingkat kalium enterik dan mempengaruhi ekskresi kalium ginjal
(gambar4).
Beberapa studi secara berkesinambungan dilakukan untuk (i)mengkonfirmasi penemuan
ini pada spesies berbeda, meliputi manusia, (ii) untuk menentukan lokasi sensor kalium,
dan (iii) untuk mengevaluasi potensi sinyal yang mungkin meningkatkan ekskresi kalium
ginjal.

Gambar 4. Rangkuman dari integrasi peranan dari ginjal, mekanisme ekstrarenal, dan efektor gastrointestina
dalam memodulasi homeostasis kalium. Ditunjukkan bahwa peningkatan K plasma dalam respon terhadap
pemberian kalium secara progresif mengalami penurunan oleh respon adaptasi ginjal., melalui hirarki
mekanisme nonrenal meliputi partisipasi insulin dan glukosa dan oleh mekanisme gastrointestinal oleh sensor
kalium gastrointestinal.

Selain itu juga terdapat mekanisme-mekanisme lain yang dapat mempengaruhi eksresi dari
kalium yang saat ini masih dalam banyak penelitian dan memiliki kontribusi dalam mengatur
keseimbangan kalium, seperti; Irama sikardian dalam ekskresi kalium, Postur dan ekskresi
kalium, Absorpsi kalium GI dan ekskresi, peranan hati dalam pengaturan homeostasis
potasium.

Faktor yang meningkatkan ambilan kalium oleh sel


Skeletal muscle is the reservoir for more than 70% of body potassium. Transport of
extracellular potassium into muscle cells in exchange for intracellular sodium, by the
membranebound sodium pump, sodium-potassium adenosine triphosphatase, serves as the
primary extrarenal mechanism for achieving potassium homeostasis, with a calculated
maximal transport rate of 134 mmol/minenough to transfer one-half of the potassium
normally residing in the extracellular space (or the potassium absorbed in a large meal)
within 15 seconds. Insulin, beta-2 agonists, and bicarbonate accelerate the movement of
potassium into muscle cells, and these agents are widely used to treat severe
hyperkalemia.
Otot lurik adalah sumber untuk lebih dari 70% kalium tubuh. Transpor kalium ekstraseluler
menuju sel otot sebagai pengganti natrium intraseluler, oleh pompa sodium yang terikat
membran, natrium-kalium adenosin trifosfat, berperan sebagai mekanisme ekstrarenal
primer untuk mencapai keseimbangan kalium, dengan kalkulasi laju transpor maksimal
adalah 134 mmol/menit-cukup untuk mentranspor satu setengah dari kalium normal yang
tersimpan dalam ruang ekstraseluler (atau kalium di absorpsi dalam makan besar) dalam 15
detik. Insulin, beta-2-agonis dan bicarbonat mempercepat pergerakan kalium menuju sel dan
agen ini secara luas digunakan untuk terapi hiperkalemia berat.
Insulin. When insulin binds to its receptor on skeletal muscle, the abundance and activity of
sodium-potassium adenosine triphosphatase and the abundance of the glucose transporter,
GLUT4, on the cell membrane increase through independent signaling pathways (reviewed
in Ho39). Thus, while the glycemic response is maximal at insulin levels of approximately 100
mU/ml, the kalemic effect of the hormone continues to increase as insulin levels rise. Studies
utilizing the euglycemic insulin clamp technique show that infusion of regular insulin at 20
U/h after a 6.6-U priming dose in a 70-kg healthy subject will rapidly raise insulin levels to
approximately 500 mU/ml, with a near maximal kalemic effect; to maintain euglycemia at
these insulin levels, infusion of glucose at 40 g/h is required.40,41 Although uremia and type-2
diabetes cause resistance to the glycemic effect, insulins ability to enhance potassium
uptake by skeletal muscle and liver are unimpaired.42,43
Insulin. Ketika insulin berikatan pada reseptornya di otot lurik, jumlah dan aktivitas natrium
kalium adenosi trifosfat dan jumlah transpoter glukosa GLUT4, pada membran sel
meningkat melalu jalur persinyalan independen (direview pada Ho39). Kemudian, selama
respon glikemik maksimal pada level insulin mencapai 100 mU/ml, efek kalemik pada
hormon terus meningkat sejalan dengan peningkatan insulin. Penelitian menggunakan
tehnik insulin euglikemik klem, menunjukkan bahwa infus 20 U/jam setelah 6.6 U dosis
primer dalam subjek 70 kg sehat akan meningkatkan level insulin hingga mencapai
500mU/ml, dengan efek kalemik mendekati maksimal. Untuk menjaga euglikemik pada dosis
insulin ini, infus glukosa 40 gram/jam dibutuhkan. 40,41 Meskipun uremia dan diabetes tipe 2
menyebabkan resistensi efek glikemik, kemampuan insulin untuk meningkatkan ambilan
kalium oleh otot lurik dan hati tidak terganggu.42,43
Rekomendasi regimen untuk terapi kegawatdaruratan hiperkalemia adalah injeksi bolus
intravena 10 unit insulin reguler, yang mana, jika gula darah <250 mg/dl, diberikan
bersamaan dengan 25 gram glukosa (50 ml dalam larutan 50%). 7,44,45 Regimen ini dan yang
lain telah diteliti pada kondisi yang terstandarisasi pada beberapa percobaan hiperkalemi
ringan dan stabil pada pasien dengan penyakit ginjal bergantung dialisis.43, 46-57 Meskipun
insulin diberikan 10 U bolus atau infus 20 U tanpa dosis bolus menurunkan kadar kalium
sekitar 1 mmol/L dalam 1 jam, Gambar 1 mengilustrasikan mengapa pada kedua
suboptimal. Tidak ada regimen yang memberikan level kalemik insulin maksimal untuk
jangka panjangdan keduanya cenderung akan terjadi peningkatan kadar insulin yang
persisten yang dapat menyebabkan hipoglikemia. Jika glukosa diberikan secara bolus,
hiperglikemi terjadi selama beberapa menit pertama, yang dapat menurunkan efek kalemik
insulin. Hiperglikemia mengakibatkan perpindahan air dari intraseluler menuju ekstraseluler,
menyebabkan kalium berpindah menuju sel melalui larutan obat. 50-60 Hipoglikemi dapat
timbul dalam 1 jam atau lebih setelah memulai terapi untuk 2 alasan : (i) jumlah glukosa
tidak cukup untuk mengganti glukosa yang dipergunakan pada insulin eksogen.
10-U insulin bolus 20-U insulin infusion

Maximum
600 kalemic
Plasma insulin (U/ml)

effect

400

Maximum
200 glycemic
effect

0
0 20 40 60 80100120
Minutes

Figure 1| Idealized plasma insulin levels after commonly used regimens in a patient with ESRD. After a 10-U bolus,
insulin levels are transiently very high but quickly become suboptimal. After a 1-hour infusion of 20 U without a loading
dose, insulin levels are initially suboptimal. After both regimens, insulin levels persist at levels high enough to cause
hypoglycemia unless glucose administration is continued for more than an hour. ESRD, end-stage renal disease.

(ii) half life insulin memanjang pada penyakit ginjal stadium akhir menyebabkan kadar insulin
cukup tinggi untuk memicu penggunaan glukosa untuk lebih dari satu jam. 40,61-83 studi
retrospektif menkonfirmasi bahwa hipoglikemi terjadi pada satu sampai tiga jam ketika
hiperkalemi diterapi dengan insulin dan diindikasikan insidennya bergantung pada dosis
glukos dibandingkan dengan dosis insulin. Sebagai contoh, dalam satu penelitian, 2 sampai
5 pasien diberikan hanya 5 unit insulin dengan 25 gram glukosa meningkatkan glukosa
darah <2,2 mmol/L.64
Insulin kerja pendek (lispro dan aspart) memiliki waktu paruh yang pendek dibandingkan
insulin reguler. Berbeda dengan insulin reguler, half live mereka tidak tidak memanjang
akibat gagal ginjal.58,61,65 Suatu studi prospektif acak terapi infus untuk menjaga
normoglikemi pada pasien kondisi kritis menunjukkan penurunan glukosa darah pasca
infuslebih ringan pada durasi yang sama setelah lispro dan setelah insulin reguler. Suatu
studi retrospektif tentang luaran setelah setelah bolus 10 U insulin aspart untuk hiperkalemia
didapatkan rerata yang sama kejadian hipoglikemi dibandingkan dengan pemberian reguler
insulin. Namun ketika 25 gram glukosa diberikan , suatu dosis yang efektif untuk mencegah
hipoglikemi.66 Berdasarkan apa yang diketahui dalam fisiologi dan farmakokinetik, 40,58,61,67
regimen yang paling logis pada subjek 70 kg (dengan pengaturan dosis sesuai berat) adalah
infus insulin kerja pendek 20 unit/jam setelah 6 unit dosis awal., diberikan bersamaan
dengan 60 gram glukosa per jam. Umumnya bila insulin dilanjutkan sampai lebih dari 1 jam,
pemberian glukosa yang adekuat sulit dilakukan. Infus 10% glukosa harus memerlukan
600ml/jam, menyebabkan hiponatremia. Konsentrasi tinggi glukosamenurunkan volume
infus dan memerlukan penggunaan vena sentral. Sangat memungkinkan untuk memberikan
glukosa per oral untuk menghindari penggunaan akses sentral. Karena insulin kerja pendek
diserap lebih cepat dari insulin reguler, pemberian subkutandiperkirakan juga efektif, namun
dosis yang diperlukan untuk mencapai efek kalemik yang optimal belum ditentukan. Studi
klinis untuk regimen ini sangat diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai