Pendahuluan
Hyper-IgE syndrome (HIES) disebut juga sindroma Ayub adalah gangguan komplek
imun primer yang ditandai dengan dermatitis atopik seperti dikulit yang berhubungan dengan
peningkatan IgE serum yang sangat tinggi, dan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur.
Kelainan non imun yang terjadi termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma
ringan, skoliosis, hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa mutasi dominan terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3
(STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES autosomal
resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua kondisi tersebut, sinyal
transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-23 adalah cacat, sehingga fungsi
TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan
dasar molekuler untuk kelainan imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES.5,6,7,8
Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996, pada
dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang paru-paru, dan eksim. Pada
laporan kasus ini mengidentifikasi adanya peningkatan IgE serum. Sindrom ini diteliti lebih
lanjut oleh Buckley yang menemukan bahwa abses Staphylococcus berulang dan eksim
kronis berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi serum IgE. Mereka juga menunjukkan
bahwa konsentrasi immunoglobulin serum lainnya (IgG, IgA, IgM, IgD). Sifat multisistem
dari HIES meliputi kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan jaringan tulang dan jaringan
ikat, seperti skoliosis, Fraktur osteoporosis, truma minor, hyperextensive sendi, dan retensi
gigi sulung. Pada tahun 2004 ditemukan bentuk HIES autosomal resesif.6,9
Pada tahun 2006 defisiensi tirosin kinase 2 (TYK 2) diidenfikasikan pada pasien
HIES autosomal resesif. Pada tahun 2007 mutasi dominan-negatif pada sinyal tranduser dan
aktivator gen transkripsi 3 (STAT 3) yang diidentifikasi sebagai molekul utama HIES.6,7,8
Manifestasi Klinis
HIES adalah penyakit multisistem dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Individu
yang terkena mungkin memiliki beberapa ciri-ciri dari HIES, tapi tidak semua gejala muncul,
tergantung pada usia. Hampir semua pasien dengan HIES menderita infeksi Staphylococcus
berulang, dimulai pada watu bayi dan sering melibatkan kulit dan paru-paru. Berbeda dengan
penyakit gralumatosis dimana infeksi Staphylococcus terjadi di berbagai organ, termasuk
paru-paru, kelenjar getah bening, kulit, hati, saluran pencernaan, ginjal dan otak.6,11,13,14
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering terisolasi pada pasien HIES
namun Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan bakteri gram negatif juga
ditemukan pada pasien HIES. Infeksi jamur, termasuk candidiasis mukokutan dan
aspergillosis paru, juga sering ditemukan pada HIES. Dermatitis atopi biasanya dimulai
selama periode neonatal, sebelum timbulnya dermatits atopik. Pasien dengan HIES menderita
dermatitis atopi terkait dengan sangat tinggi tingkat IgE serum dan eosinofilia, tetapi
biasanya bebas dari manifestasi alergi lainnya, seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi anafilaksis.
Kelainan kraniofasial pada pasien HIES memiliki penampilan wajah yang khas yang
berkembang pada masa anak-anak dan remaja, ditandai dengan asimetris, hidung lebar, dan
mata cekung dengan dahi menonjol. Kulit wajah sering memiliki tekstur kasar, berpori.11,13
Kelainan vaskuler yang terjadi pada HIES biasanya berupa aneurisma arteri koroner
mengakibatkan infark miokard, aneurisma bilateral karotis, mikosis arteri serebral, dan
kelainan pembuluh darah kecil. Keganasan pada HIES dikaitkan dengan tingkat kejadian
limfoma non hodgkin yang sebagian besar berasal dari sel B.11,13
Klasifikasi
A. Tipe 1
Bentuk yang paling umum dan merupakan jenis yang disajikan oleh kasus
yang dilaporkan oleh Davis dan Buckley. Dalam jenis ini pneumonia sering diikuti
dengan pembentukan kista paru, kelainan pada beberapa sistem dari tubuh, termasuk
tulang dan gigi.
B. Tipe 2
Memiliki kelainan terbatas pada sistem kekebalan tubuh. Pada pasien HIES
tipe 2 tidak memiliki kelainan tulang, tetapi menderita berulang infeksi virus , seperti
moluskum kontangiosum dan herpes simplek virus (HSV). Kebanyakan HIES tipe 2
dijumpai memiliki cacat ringan pada tranduksi sinyal hilir dari reseptor sel T yang
kompleks.
Patogenesis
Diagnosis
Dari tabel diatas dijelaskan bahwa pasien dengan skor lebih dari 15 mungkin
didiagnosis dengan HIES sedangkan skor kurang dari 10 tidak mungkin menderita HIES,
namun diagnostik pasti pada HIES dengan pengujian mutasi gen.9,10,17
Terapi
Pilihan terapi untuk HIES saat ini berupa pencegahan dan pengobatan infeksi kulit
dan komplikasi lain yang ditimbulkannya. Pentingnya mengetahui jenis bakteri dan jamur
secara dini dan pemberian pengobatan, karena tidak banyak yang menunjukkan gejala
infeksi. Tidak ada pengobatan khusus untuk HIES, apabila terjadi eksim yang luas pada kulit
dapat diberikan emolien dan steroid topikal, Profilak terapi dapat diberikan trimethoprim-
sulfamethoxazole. Terapi Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan antibiotik
yang sesuai. Pemberian immunosupresan seperti kortikosteroid dan siklofofamid dapat
diberikan pada pasien HIES. 11,14,15,16
DIABETES MELITUS
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduya-duanya.17
B. Patofisiologi
Keadaan yang berperan dalam patofisiologi DM tipe 2, yaitu:18,19
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel pankreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pankreas, amilin dan
sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal
pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten terhadap
efek insulin menyebabkan sel pankreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih
besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah, sehingga terjadi
hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase
tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat
walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia, disamping itu juga terjadi peningkatan
asam lemak bebas dalam darah.18,19
Keadaan glukotoksisitas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif
(walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pankreas
mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa
Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini
diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pankreas yang menghasilkan
glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa.18,19
Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi etiologi DM.17
C. DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.17
Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.17
ULKUS DIABETIKUM
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari diabetes melitus yang
paling ditakuti.23 Kaki diabetik adalah penyakit pada kaki penderita diabetes dengan
karakteristik adanya neuropati sensorik, motorik, otonom serta gangguan makrovaskuler dan
mikrovaskuler. Penyakit kaki diabetik merupakan morbiditas dan penyebab utama penderita
diabetes dirawat di rumah sakit. Ulkus, infeksi, gangren, amputasi, dan kematian merupakan
komplikasi signifikan yang tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit dan perawatan yang
lebih lama. Diperlukan pendekatan multidisipliner untuk mengatasi penyakit kaki diabetik.27
Insiden kaki diabetik di seluruh dunia adalah sekitar 1 4%.39 Di Amerika Serikat
(AS), insidens kaki diabetik mencapai 1,9% dari seluruh penduduk, sementara di Inggris
adalah 2,2 ,Swedia 3,6%, dan Belanda 2,1%.27
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 53 tahun di Bangsal Penyakit Dalam
dengan diagnosis :
Sindroma hiper IgE
DM tipe 2 terkontrol diet obese I dengan ulkus pedis dekstra (post
debridemant)
Akut on CKD ec nefropathy DM
Diagnosis sndroma hiper IgE pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan
kulit merah, bersisik, dan gatal di hampir seluruh tubuh. Keluhan kulit merah, gatal dan
bersisik ini sudah dialami pasien hilang timbul sejak 20 tahun yang lalu, namun keluhan
menetap dalam 1 bulan ini. Pasien juga mempunyai riwayat abses di kaki kanan yang sudah
dilakukan debridemant di bagian bedah, infeksi saluran nafas berulang, dan riwayat new born
rash. Hal ini menunjukkan adanya gejala-gejala dari peningkatan kadar IgE. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium darah pada diff count didaptkan kesan adanya eosinofilia, yang
sering terjadi pada pasien dengan sindroma hiper IgE. Setelah dilakukan pemeriksaan kadar
total IgE serum didapatkan hasil 2822 IU/ml, dimana kadar normal dari total IgE adalah
kurang dari 87 IU/ml. Berdasarkan sistem skoring menurut Grimbacher, dari temuan klinis
dan laboratoris tadi didaptkan poin 18, dimana pada skor > 15 kemungkinan diagnosis
sindroma hiper IgE lebih terpenuhi. Namun penyebab pasti timbulnya (HIES) yang
bermanifestasi eritroderma disertai ulkus pada pasien ini belum dapat ditentukan apakah
karena penyebab autoimun atau karena pengaruh obat obatan yang dikonsumsi saat
pengobatan ulkusnya. Berdasarkan literatur, diagnosis pasti (HIES) adalah melalui
pemeriksaan mutasi gen. Pengobatan pada pasien ini adalah perawatan kulit, cegah infeksi
sekunder dan diberikan kortikosteroid.
Pasien didiagnosis dengan DM tipe 2 terkontrol diet dengan ulkus DM pedis dekstra
(post debridemant). Dimana dari anamnesis didapatkan informasi adanya keluhan bengkak
bernanah sejak 1 bln yang lalu, dan sudah dilakukan pembersihan luka di bagian bedah.
Pasien mengaku pada saat itu dikatakan gula darah pasien 400 mg/dl. Pasien memiliki
riwayat haus-haus, sering lapar, dan sering buang air kecil pada malam hari. Hal ini
mendukung untuk diagnosis DM tipe 2, dimana pasien memiliki gejala klasik dan riwayat
pemeriksaan kadar gula darah lebih dari normal. Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan
kadar HbA1c dan didaptkan hasil 6,8 % dengan kesan DM tipe 2 terkontrol. Menurut ADA
2011kadar HbA1C > 6,5 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM.
Pasien juga didiagnosis dengan Akut on CKD, yakni berdasarkan hasil laboratorium
adanya peningkatan ureum dan kreatinin. Etilogi yang dipikirkan pada pasien ini adalah
nefropaty DM karena pada pasien didapatkan adanya riwayat DM. Pada pemeriksaan USG
ginjal juga didapatkan kesan sesuai dengan proses akut pada penyakit ginjal kronis.
Untuk terapi pada pasien ini, dengan hiper IgE dan DM ini, pemberian kortikosteroid
diberikan dengan tetap memantau kadar gula darah puasa, dan post prandial. Pasien
selanjutnya direncanakan utuk pemeriksaan mikroalbuminuria dan penutupan ulkus dengan
skin graft oleh dokter bedah plastik.
DAFTAR PUSTAKA