Anda di halaman 1dari 16

Hyper-IgE Syndrome ( HIES )

Pendahuluan

Hyper-IgE syndrome (HIES) disebut juga sindroma Ayub adalah gangguan komplek
imun primer yang ditandai dengan dermatitis atopik seperti dikulit yang berhubungan dengan
peningkatan IgE serum yang sangat tinggi, dan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur.
Kelainan non imun yang terjadi termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma
ringan, skoliosis, hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa mutasi dominan terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3
(STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES autosomal
resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua kondisi tersebut, sinyal
transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-23 adalah cacat, sehingga fungsi
TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan
dasar molekuler untuk kelainan imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES.5,6,7,8

Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996, pada
dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang paru-paru, dan eksim. Pada
laporan kasus ini mengidentifikasi adanya peningkatan IgE serum. Sindrom ini diteliti lebih
lanjut oleh Buckley yang menemukan bahwa abses Staphylococcus berulang dan eksim
kronis berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi serum IgE. Mereka juga menunjukkan
bahwa konsentrasi immunoglobulin serum lainnya (IgG, IgA, IgM, IgD). Sifat multisistem
dari HIES meliputi kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan jaringan tulang dan jaringan
ikat, seperti skoliosis, Fraktur osteoporosis, truma minor, hyperextensive sendi, dan retensi
gigi sulung. Pada tahun 2004 ditemukan bentuk HIES autosomal resesif.6,9

Pada tahun 2006 defisiensi tirosin kinase 2 (TYK 2) diidenfikasikan pada pasien
HIES autosomal resesif. Pada tahun 2007 mutasi dominan-negatif pada sinyal tranduser dan
aktivator gen transkripsi 3 (STAT 3) yang diidentifikasi sebagai molekul utama HIES.6,7,8

Manifestasi Klinis

HIES adalah penyakit multisistem dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Individu
yang terkena mungkin memiliki beberapa ciri-ciri dari HIES, tapi tidak semua gejala muncul,
tergantung pada usia. Hampir semua pasien dengan HIES menderita infeksi Staphylococcus
berulang, dimulai pada watu bayi dan sering melibatkan kulit dan paru-paru. Berbeda dengan
penyakit gralumatosis dimana infeksi Staphylococcus terjadi di berbagai organ, termasuk
paru-paru, kelenjar getah bening, kulit, hati, saluran pencernaan, ginjal dan otak.6,11,13,14

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering terisolasi pada pasien HIES
namun Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan bakteri gram negatif juga
ditemukan pada pasien HIES. Infeksi jamur, termasuk candidiasis mukokutan dan
aspergillosis paru, juga sering ditemukan pada HIES. Dermatitis atopi biasanya dimulai
selama periode neonatal, sebelum timbulnya dermatits atopik. Pasien dengan HIES menderita
dermatitis atopi terkait dengan sangat tinggi tingkat IgE serum dan eosinofilia, tetapi
biasanya bebas dari manifestasi alergi lainnya, seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi anafilaksis.
Kelainan kraniofasial pada pasien HIES memiliki penampilan wajah yang khas yang
berkembang pada masa anak-anak dan remaja, ditandai dengan asimetris, hidung lebar, dan
mata cekung dengan dahi menonjol. Kulit wajah sering memiliki tekstur kasar, berpori.11,13

Kelainan muskulosketal berupa skoliosis, patah tulang pada trauma minimal,


osteopenia, hiperextensibiltas dan penyakit sendi degeneratif. Skoliosis sering muncul pada
masa remaja. Fraktur trauma minimal terjadi pada 50% pasien dengan HIES dimana
osteopenia dan osteiporosis juga terjadi. Osteoklas dimediasi reabsorpsi tulang yang tidak
normal pada HIES dan kemungkinan berhubungan dengan osteopenia dan patah tulang.
Kelainan gigi pada HIES adalah gigi sulung yang sulit tanggal dan memerlukan ekstaksi
pembedahan. Karakteristik variasi mukosa mulut, lidah, langit-langit mulut dan pipi termasuk
lidah yang mungkin berhubungan dengan infeksi candida.11,13

Kelainan vaskuler yang terjadi pada HIES biasanya berupa aneurisma arteri koroner
mengakibatkan infark miokard, aneurisma bilateral karotis, mikosis arteri serebral, dan
kelainan pembuluh darah kecil. Keganasan pada HIES dikaitkan dengan tingkat kejadian
limfoma non hodgkin yang sebagian besar berasal dari sel B.11,13

Klasifikasi

HIES diklasifikasikan menjadi dua kategori:10,11,12,13

A. Tipe 1
Bentuk yang paling umum dan merupakan jenis yang disajikan oleh kasus
yang dilaporkan oleh Davis dan Buckley. Dalam jenis ini pneumonia sering diikuti
dengan pembentukan kista paru, kelainan pada beberapa sistem dari tubuh, termasuk
tulang dan gigi.

B. Tipe 2
Memiliki kelainan terbatas pada sistem kekebalan tubuh. Pada pasien HIES
tipe 2 tidak memiliki kelainan tulang, tetapi menderita berulang infeksi virus , seperti
moluskum kontangiosum dan herpes simplek virus (HSV). Kebanyakan HIES tipe 2
dijumpai memiliki cacat ringan pada tranduksi sinyal hilir dari reseptor sel T yang
kompleks.

Patogenesis

Pengetahuan tentang patogenesis HIES dengan mutasi STAT 3 masih terbatas,


meskipun penemuan dari etiologi molekul HIES. Beberapa besar pertanyaan belum terjawab
yaitu molekul apa yang mendasari dermatitis atopi dan IgE serum yang tinggi. Sel TH 17
adalah substrat baru diidentifikasi dari sel T helper terkait dengan eksaserbasi autoimun
berbagai gangguan termasuk penyakit radang usus, multiple sklerosis, psoriasis, dan
rheumatoid arthritis. Sel TH 17 menghasilkan sitokin TH 17, termasuk IL-17 (IL-17A), IL-
17F dan IL-22. Fungsinya dalam tubuh manusia belum jelas, tetapi sel TH 17 memainkan
peran penting dalam pengambilan neutrofil dan memproduksi peptida antimikroba.14,15,16

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kecurigaan klinis berupa dermatitis atopi, eosinofilia


dan peningkatan IgE serum yang sangat tinggi melebihi > 2000 kU/L. Sistem scoring yang
diciptakan Gimbacher et al dan telah diterima oleh National Institute of Health (NIH) dapat
digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis HIES.
Tabel 2. Skoring Hyper IgE Syndrome menurut Grimbacher et al

Dari tabel diatas dijelaskan bahwa pasien dengan skor lebih dari 15 mungkin
didiagnosis dengan HIES sedangkan skor kurang dari 10 tidak mungkin menderita HIES,
namun diagnostik pasti pada HIES dengan pengujian mutasi gen.9,10,17

Terapi

Pilihan terapi untuk HIES saat ini berupa pencegahan dan pengobatan infeksi kulit
dan komplikasi lain yang ditimbulkannya. Pentingnya mengetahui jenis bakteri dan jamur
secara dini dan pemberian pengobatan, karena tidak banyak yang menunjukkan gejala
infeksi. Tidak ada pengobatan khusus untuk HIES, apabila terjadi eksim yang luas pada kulit
dapat diberikan emolien dan steroid topikal, Profilak terapi dapat diberikan trimethoprim-
sulfamethoxazole. Terapi Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan antibiotik
yang sesuai. Pemberian immunosupresan seperti kortikosteroid dan siklofofamid dapat
diberikan pada pasien HIES. 11,14,15,16
DIABETES MELITUS

A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduya-duanya.17
B. Patofisiologi
Keadaan yang berperan dalam patofisiologi DM tipe 2, yaitu:18,19
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel pankreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pankreas, amilin dan
sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal
pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten terhadap
efek insulin menyebabkan sel pankreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih
besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah, sehingga terjadi
hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase
tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat
walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia, disamping itu juga terjadi peningkatan
asam lemak bebas dalam darah.18,19
Keadaan glukotoksisitas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif
(walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pankreas
mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa
Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini
diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pankreas yang menghasilkan
glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa.18,19
Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi etiologi DM.17
C. DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.17

Tabel 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus.17

Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.17

Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa.1


D. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes.
Tujuan penatalaksanaan
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.17

ULKUS DIABETIKUM

Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari diabetes melitus yang
paling ditakuti.23 Kaki diabetik adalah penyakit pada kaki penderita diabetes dengan
karakteristik adanya neuropati sensorik, motorik, otonom serta gangguan makrovaskuler dan
mikrovaskuler. Penyakit kaki diabetik merupakan morbiditas dan penyebab utama penderita
diabetes dirawat di rumah sakit. Ulkus, infeksi, gangren, amputasi, dan kematian merupakan
komplikasi signifikan yang tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit dan perawatan yang
lebih lama. Diperlukan pendekatan multidisipliner untuk mengatasi penyakit kaki diabetik.27
Insiden kaki diabetik di seluruh dunia adalah sekitar 1 4%.39 Di Amerika Serikat
(AS), insidens kaki diabetik mencapai 1,9% dari seluruh penduduk, sementara di Inggris
adalah 2,2 ,Swedia 3,6%, dan Belanda 2,1%.27

Faktor yang berperan pada patofisiologi kaki diabetik


Hiperglikemia
Kadar glukosa yang tinggi menyebabkan membran kehilangan fungsinya. Perubahan
fisiologis yang diinduksi oleh hiperglikemia jaringan ekstremitas bawah termasuk
penurunan potensial pertukaran oksigen dengan membatasi proses pertukaran atau melalui
induksi kerusakan pada sistem saraf otonom yang menyebabkan shunting darah yang kaya
oksigen menjauhi permukaan kulit. Saraf dirusak oleh keadaan hiperglikemia melalui
berbagai cara, bila lebih kecil diameter dan lebih sedikit termielinasi saraf tersebut, lebih
mudah saraf tersebut cedera. Sedikitnya ada 3 mekanisme kerusakan saraf yang disebabkan
oleh hiperglikemia, yaitu efek metabolik, defek konduksi mekanik, dan efek kompresi
kompartemen.28 Sebagai respon terhadap hiperglikemia, mitokondria seluler mengaktivasi
produksi superoksida, memperkuat efek sitotoksik yang diinduksi oleh jalur patogenik yang
lain. Stres oksidatif timbul lebih cocok sebagai hasil dari fluktuasi gula darah postprandial
daripada hiperglikemia yang terus menerus. Produksi radikal bebas dan superoksida
mengarahkan pada aktivasi sel mikroglial, yang menghasilkan sitokin inflamasi, yang lebih
lanjut merusak struktur neural dan menganggu aktivitasnya.28
Penurunan kadar oksigen jaringan, yang digabung dengan fungsi saraf sensorik dan
motorik yang terganggu bisa menyebabkan kaki diabetik. Defisiensi oksigen yang disebabkan
oleh patologi makrovaskuler dan mikrovaskuler menjadi hal yang paling penting dalam
mekanisme ini.28
Neuropati
Kerusakan saraf pada diabetes mengenai serat motorik, sensorik, dan otonom.
Neuropati motorik menyebabkan kelemahan otot, atrofi, dan paresis. Neuropati sensorik
menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan, dan panas yang protektif. Neuropati otonom
yang menyebabkan vasodilatasi dan pengurangan keringat juga bisa menyebabkan
kehilangan integritas kulit, yang membentuk lokasi ideal untuk invasi mikrobial.38,40
Keterbatasan sendi dan deformitas
Keterbatasan mobilitas sendi tampak pada pasien diabetes dan berhubungan dengan
glikosilasi kolagen yang menyebabkan penebalan struktur periartikuler, seperti tendon,
ligamen, dan kapsul sendi. Hilangnya sensasi pada sendi menyebabkan artropati kronik,
progresif, dan destruktif.48
Pada kaki, sendi subtalar dan metatarsalphalangeal sangat sering terlibat. Glikosilasi
kolagen ikut memperburuk penurunan resiliency tendon Achilles pada pasien diabetes.
Penurunan pergerakan tendon Achilles menyebabkan deformitas equines. Terdapat bukti yang
sangat kuat bahwa tekanan kaki yang tinggi berhubungan dengan ulserasi pada pasien
diabetes.38
Vaskuler
Perubahan fungsi juga bertanggungjawab terhadap respon vaskuler yang terganggu.
Perubahan fungsional ini disebabkan oleh 3 faktor, yaitu disfungsi endotelial, disfungsi sel
otot polos, dan terganggunya refleks akson. Aterosklerosis biasanya muncul pada arteri
femoralis, poplitea, dan tibialis.38
DIAGNOSIS
Prosedur diagnostik yang tepat penderita kaki diabetik akan membantu dalam
penatalaksanaan yang sesuai. Semua pasien diabetes yang datang ke tenaga medis, perlu
diperiksa kakinya setidaknya setahun sekali. Bila komplikasi telah muncul, maka
pemeriksaan kaki akan lebih sering.35,36
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi awal.
Informasi yang didapat dari pasien dengan kaki diabetik dengan mengajukan pertanyaan,
sudah berapa lama menderita diabetes, bagaimana kualitas kontrol glikemik, dan kehadiran
komplikasi yang lain dan/ atau komorbiditas diabetes, seperti gagal ginjal tahap akhir, faktor
risiko kardiovaskuler dan penyakit kardiovaskuler (hipertensi, hiperlipidemia, merokok,
angina, infark miokard, transient ischemic attacks, stroke, dan penyakit vaskuler perifer).
Riwayat spesifik kaki pasien harus mengandung informasi mengenai gejala neuropati (nyeri
seperti terbakar, tertusuk, dan kram pada otot sekitar kaki, dan nyeri claudication atau saat
istirahat, dalam hal ini juga perlu ditanyakan nyeri tersebut timbul sejak kapan, sifatnya
bertambah atau tidak, dari mana mulai timbul nyeri pertama kali, alas kaki, sepatu, paparan
kimia, deformitas kaki, infeksi atau operasi kaki sebelumnya. Dalam hal ini juga ditanyakan
gejala lain seperti nyeri dada, pusing, gangguan pencernaan seperti mual, kontipasi, diare,
dan gangguan seksual. Faktor yang spesifik terhadap kaki diabetik seperti luka pertama kali,
riwayat luka yang berulang, gangguan penyembuhan luka sebelumnya, pemeriksaan
diagnostik sebelumnya, terapi sebelumnya serta responnya, akibat fungsional luka terhadap
pasien, dan riwayat sosial sangat berguna untuk menentukan perencanaan perawatan yang
optimal.37
Anamnesis pada pasien kaki diabetik juga termasuk gaya hidup yang dijalani
penderita, termasuk diet, merokok, alkohol, bahkan riwayat depresi. Diet dapat menentukan
status nutrisi penderita, mempengaruhi penyembuhan luka kaki diabetik. Kaki diabetik
sendiri akan mempengaruhi kualitas hidup yang akan dijalani oleh penderita.37
Walaupun hanya sedikit bukti yang menunjukkan hubungan langsung merokok
dengan penyembuhan luka kaki diabetik, namun terdapat penelitian yang menunjukkan
bahwa merokok dalam waktu yang lama memiliki efek yang negatif terhadap mikrosirkulasi
endotel dan otot polos yang akan mengganggu penyembuhan. Selain itu, konsumsi alkohol
dan depresi juga mempengaruhi penyembuhan pada kaki diabetik.37
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kaki diabetes, meliputi tiga komponen penting yaitu,
pemeriksaan evaluasi kulit dan kuku, evaluasi tulang-otot, serta aliran darah. Pada inspeksi
kulit kita dapat menemukan perubahan warna kulit sekitar kaki, kulit yang kering,
berkurangnya pertumbuhan rambut, edema, eritem, tinea pedis, fisura, selulitis, ulkus,
gangren. Pada kuku dapat kita temukan kilonychia (spoon-shaped nail), pitting of the nail
plate, onychomycosis, perubahan warna kuku (yellow nail).37
Penilaian deformitas dan keterbatasan gerak sendi. Ciri deformitas lokal, dapat dilihat
dengan seksama oleh pemeriksa berupa: adanya kontraktur, dan keterbatasan gerak sendi. Hal
ini dapat kita lihat dengan menyuruh pasien berjalan. Sedangkan neuropati diabetik dapat
dilihat atrofi otot-otot intrinsik jari, termasuk tendon achiles. -
Dengan pemeriksaan palpasi dapat dinilai aliran darah dengan membandingkan
pulsasi dari arteri utama di kaki, seperti arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri
poplitea, arteri femoralis superfisial, refilling kapiler (dengan nilai normal 0 3 detik).
Perbedaan temperatur pada kulit ditemukan pada penderita kaki diabetes, dan pemeriksaan
adanya gas gangren.26,27 Pemeriksaan fisik neurologi dapat dilakukan pemeriksaan
sensibilitas halus dan kasar, refleks achilles dan patella, kekuatan otot, range of motion.
Range of motion merupakan pemeriksaan yang dilakukan secara aktif maupun pasif pada
sendi metatarsophalangeal (MTP), midtarsal, subtalar, dan ankle.33

PENATALAKSANAAN KAKI DIABETIK


Penatalaksanaan kaki diabetik dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan primer pencegahan sebelum terjadi perlukaan pada kulit) dan pencegahan
sekunder (pencegahan dan penatalaksanaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi) agar
tidak terjadi kecacatan yang lebih parah.23
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 53 tahun di Bangsal Penyakit Dalam
dengan diagnosis :
Sindroma hiper IgE
DM tipe 2 terkontrol diet obese I dengan ulkus pedis dekstra (post
debridemant)
Akut on CKD ec nefropathy DM

Diagnosis sndroma hiper IgE pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan
kulit merah, bersisik, dan gatal di hampir seluruh tubuh. Keluhan kulit merah, gatal dan
bersisik ini sudah dialami pasien hilang timbul sejak 20 tahun yang lalu, namun keluhan
menetap dalam 1 bulan ini. Pasien juga mempunyai riwayat abses di kaki kanan yang sudah
dilakukan debridemant di bagian bedah, infeksi saluran nafas berulang, dan riwayat new born
rash. Hal ini menunjukkan adanya gejala-gejala dari peningkatan kadar IgE. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium darah pada diff count didaptkan kesan adanya eosinofilia, yang
sering terjadi pada pasien dengan sindroma hiper IgE. Setelah dilakukan pemeriksaan kadar
total IgE serum didapatkan hasil 2822 IU/ml, dimana kadar normal dari total IgE adalah
kurang dari 87 IU/ml. Berdasarkan sistem skoring menurut Grimbacher, dari temuan klinis
dan laboratoris tadi didaptkan poin 18, dimana pada skor > 15 kemungkinan diagnosis
sindroma hiper IgE lebih terpenuhi. Namun penyebab pasti timbulnya (HIES) yang
bermanifestasi eritroderma disertai ulkus pada pasien ini belum dapat ditentukan apakah
karena penyebab autoimun atau karena pengaruh obat obatan yang dikonsumsi saat
pengobatan ulkusnya. Berdasarkan literatur, diagnosis pasti (HIES) adalah melalui
pemeriksaan mutasi gen. Pengobatan pada pasien ini adalah perawatan kulit, cegah infeksi
sekunder dan diberikan kortikosteroid.
Pasien didiagnosis dengan DM tipe 2 terkontrol diet dengan ulkus DM pedis dekstra
(post debridemant). Dimana dari anamnesis didapatkan informasi adanya keluhan bengkak
bernanah sejak 1 bln yang lalu, dan sudah dilakukan pembersihan luka di bagian bedah.
Pasien mengaku pada saat itu dikatakan gula darah pasien 400 mg/dl. Pasien memiliki
riwayat haus-haus, sering lapar, dan sering buang air kecil pada malam hari. Hal ini
mendukung untuk diagnosis DM tipe 2, dimana pasien memiliki gejala klasik dan riwayat
pemeriksaan kadar gula darah lebih dari normal. Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan
kadar HbA1c dan didaptkan hasil 6,8 % dengan kesan DM tipe 2 terkontrol. Menurut ADA
2011kadar HbA1C > 6,5 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM.
Pasien juga didiagnosis dengan Akut on CKD, yakni berdasarkan hasil laboratorium
adanya peningkatan ureum dan kreatinin. Etilogi yang dipikirkan pada pasien ini adalah
nefropaty DM karena pada pasien didapatkan adanya riwayat DM. Pada pemeriksaan USG
ginjal juga didapatkan kesan sesuai dengan proses akut pada penyakit ginjal kronis.
Untuk terapi pada pasien ini, dengan hiper IgE dan DM ini, pemberian kortikosteroid
diberikan dengan tetap memantau kadar gula darah puasa, dan post prandial. Pasien
selanjutnya direncanakan utuk pemeriksaan mikroalbuminuria dan penutupan ulkus dengan
skin graft oleh dokter bedah plastik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Herwanto V, Amin Z. Sindrom Disfungsi Organ Multipel: Patofisiologi dan Diagnosis.


Majalah Kedokteran Indonesia, Volume : 59: 11, Nopember 2009: p547-54.
2. De Montmollin E, Annane D. Year in review 2010: Critical Care, multiple organ
dysfunction and sepsis.http://ccforum.com/content/15/6/236,Critical Care 2011, 15:236
3. http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectiousdiseas
/sepsis/.
4. Sepsis. Available from : http://jasn.asnjournals.org/content/15/10/2756.
5. Woellner C, Schaffer A, Puck J (2007) The Hyper-IgE syndrome andmutations in TYK2.
Immunity 26;535.
6. Minegishi Y, Saito M, Tsuchiya S, et al. Dominant-negative mutations in the DNA-
binding domain of STAT3 cause hyper- IgE syndrome. Nature 2007;448:1058-62.
7. Holland SM, Deleo FR, Elloumi HZ, et al. STAT3 mutation in the hyper IgEsyndrome. N
Engl J Med 2007;357:1608-19.
8. Scarabelli T Amino acid supplementaton differentially modulates STAT1and STAT3
actication in the myocardium exposed to ischemia/referfusion. Am J Cardiol
2008;101:63E-68E.
9. Davis SD, Schaller J, Wedgwood RJ. Job's Syndrome.Recurrent, cold, staphylococcal
abscesses. Lancet1966; 1: 1013-5.
10. Minegishi Y, Karasuyama H. Defects in Jak-STATmediated cytokine signals cause hyper-
IgE syndrome: lessons from a primary immunodeficiency. IntImmunol2009;21:105-12.
11. Freeman AF, Holland SM. The hyper IgE syndromes. Immunol Allergy Clin North Am
2008;28(2):277-278.
12. Minegishi Y, Saito M, Morio T, et al. Human tyrosine kinase 2 deficiency
reveals itsrequisite roles in multiple cytokine signal sinvolved in innate and acquired
immunity. Immunity 2006;25:745-55.
13. Young TY, Jerome D, Gupta S. Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome assciated with
coronary artery aneurysms :deficiency of central memory CD4 T cell and expantion of
effector memory CD4 T cells. Ann Allergy Asthma Immunol 2007;98:389-392.
14. Kim HJ, Kim JH, Shin YK, Lee SI, Ahn KM : A novel mutation in the linker domain of
the signal tranducer and activator of transcrption 3 gene, p.Lys531Glu, in hyper-IgE
syndrome. J Allergy Clin Immunol 2009,123:956-958.
15. Eddahri F, Denanglaire S, Bureau F, Spolski S, Leonard WJ, Leo O, Andris F:
Interleukin-6/STST3 signaling regulated the ability of naive T cells to acquire the ability
to help B cells Blood 2009,113:2426-2433.
16. Becker S, Groner B, Muller CW, Three-dimentional structure of the STAT3 beta
hemodimer bound to DNA. Nature 1998;394:145-51
17. Rudianto A, dkk. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia. Jakarta : PERKENI
18. Hawkins M, Rossetti L. 2005. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ
(Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin, Pg 425-
448
19. Leahy JL. 2005. -cell Dysfunction in Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses
AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Lippincott
Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462
20. Fard AS, Esmaelzadeh M, Larijani B. Assessment and treatment of diabetic foot ulcer.
Int J Clin Pract. 2007;61(11):1931-1938
21. Ivy C, Elkin VL, Thomas RE. Management and prevention of diabetic foot ulcers and
infections. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-1035
22. Nakasone, et al. Diabetes mellitus is associated with high early-mortality and poor
prognosis in patients with autoimmune hemolytic anemia. W.S. Maney & Son. 2009,
14(6):361-365
23. Simerjit S, Dinker RP, Chew Y. Diabetic foot ulcer Diagnosis and management. Clin
Res Foot Ankle. 2013;1: 120
24. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Setiati S, Sudoyo AW, Alwi I, Simandibrata M,
Setiyohadi B, dkk, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2009; 1961-1992.
25. Ivy C, Elkin VL, Thomas RE. Management and prevention of diabetic foot ulcers and
infections. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-1035
26. Cynthia LB and David JM. Reducing the incidence of foot ulceration and ampution in
diabetes. Current Diabetes Reports. 2004;4:413-418
27. Fard AS, Esmaelzadeh M, Larijani B. Assessment and treatment of diabetic foot ulcer.
Int J Clin Pract. 2007;61(11):1931-1938
28. Eva D, Jazil K, Asman M, Syafril S. Profil ulkus diabetik pada penderita rawat inap di
bagian penyakit dalam RSUP Dr M. Djamil Padang. Maj Kedokt Indon. 2008;58(1):3-7
29. John AD. Outpatient assessment and management of the diabetic foot. Med Clin N Am.
2014;98:353-373
30. Lepantalo M, et al. Diabetic foot. European Journal of Vascular and Endovascular
Surgery. 2011;42(52):S60-S74
31. Rebolledo FA, Soto JMT, Jorge EP. The pathogenesis of the diabetic foot ulcer:
Prevention and management. Global Perspective on Diabetic Foot Ulceration. 2011:155-
182
32. Robert JT and Peter DD. Neuropathic problems of the lower limbs in diabetic patients.
In: Levin and Oneals The Diabetic Foot seventh edition. 2008:33-74
33. Edmonds ME, Foster AVM. Managing the diabetic foot. Blackwell Publishing, second
edition. 2006; 1-152
34. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, et al. A clinical practice
guideline. In : Diabetic foot disorders. The Journal of Foot and Ankle Surgery. 2006; 1-
66
35. Wu S, Armstrong DG, Lavery LA, Harkless LB. Clinical examination of the diabetic foot
and the identification or the at-risk patien. In : The Diabetic Foot. Veves A, Giurini JM,
LoGerfo FW editors. Humana Press New Jersey 2006
36. Kirsner RS. The standard of care for evaluation and treatment of diabetic foot ulcers.
37. Paul C, Michael E, Joanne M, David A. Best practice guidelines: Wound managementin
diabetic foot ulcers. 2013:1-23
38. Edmonds M. Diabetic foot ulcers. In: Type 2 diabetes principles and practice. Goldsstein
BJ, Wieland DM editors. Informa healthcare. 2007; 313-326
39. Boulton AJM, Kirsner RS, Vieikyte L. Neuropathic diabetic foot ulcers. The New
England Journal of Medicine, 2004; 351: 48-55.
40. A Gunawan Santoso. Peranan radiologi dalam diagnostik kaki diabetik. Dalam: Naskah
lengkap kursus manajemen holistik kaki diabetik. Semarang. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. 2007: 55-58

Anda mungkin juga menyukai