ABSTRAK
Pendahuluan : Hyper-IgE syndrome (HIES) adalah penyakit keturunan yang mengenai beberapa
organ. Salah satu gejala utama adalah imunodefisiensi, yang menyebabkan infeksi bakteri dan jamur
berulang pada kulit dan paru-paru, sementara sindroma DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia and
Systemic Symptoms) yang sering juga dikenal sebagai Drug Hypersensitivity Syndrome, atau
Hypersensitivity Syndrome Reaction (HSR) adalah kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik
yang terjadi pada pemberian obat dalam dosis terapi, yang ditandai adanya erupsi eritematous, demam,
kelainan hematologi terutama adanya eosinofilia dan adanya keterlibatan organ dalam seperti:
limfadenopati, hepatitis, pneumonitis, miokarditis, nefritis. Laporan Kasus: Dilaporkan pasien laki-laki
19 tahun dengan kulit bersisik di seluruh badan sejak 2 hari yang lalu. Awalnya bercak merah disadari
pada kedua tungkai yang terasa gatal, kemudian bercak merah ini meluas hingga ke dada, wajah,
punggung, kedua lengan dan kedua tungkai. Bercak merah disertai gelembung-gelembung kecil berisi
cairan berwarna putih, kemudian mengelupas dan bersisik sejak 2 hari ini. Dilakukan pemeriksaan fisik
dan penunjang, pasien didiagnosis dengan Hyperimmunoglobulin E dan Drug Reaction with Eosinophilia
and Systemic Symptoms. Kesimpulan: Diagnosis Hyperimmunoglobulin E dan Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms dapat ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang
dengan menggunakan kriteria skor Regi Scar dan skor grambacher. Perlu tatalaksana yang cepat dan tepat
pada pasien ini. Kata Kunci : Hyperimmunoglobulin E dan Drug Reaction with Eosinophilia and
Systemic Symptoms
Abstract
Introduction : Hyper-IgE syndrome (HIES) is a hereditary disease that affects several organs. One of the
main symptoms is immunodeficiency, which causes recurrent bacterial and fungal infections of the skin
and lungs, while DRESS syndrome (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms), which is
often also known as Drug Hypersensitivity Syndrome, or Hypersensitivity Syndrome Reaction (HSR) is a
collection of symptoms and is an idiosyncratic reaction that occurs in the administration of drugs in
therapeutic doses, which is characterized by erythematous eruptions, fever, hematological abnormalities,
especially the presence of eosinophilia and involvement of internal organs such as: lymphadenopathy,
hepatitis, pneumonitis, myocarditis, nephritis.Case Report: Reported male patient 19 years with scaly
skin all over the body since 2 days ago. Initially, the red spots were noticed on both legs which felt itchy,
then these red spots spread to the chest, face, back, arms and legs. Red spots accompanied by small
bubbles filled with white liquid, then peeling and scaly for the past 2 days. Physical and supporting
examinations were carried out, the patient was diagnosed with Hyperimmunoglobulin E and Drug
Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms.Conclusion: The diagnosis of Hyperimmunoglobulin
E and Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms can be established based on clinical and
supporting examinations using the Regi Scar score criteria and the Grambacher score. Need prompt and
appropriate management of this patient.
Keyword : system Hyperimmunoglobulin E and Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
Hyper Imunoglobuline E Syndrome Staphylococcus aureus adalah bakteri
(HIES) yang paling sering terisolasi pada pasien
HIES namun Sterptococcus pneumoniae,
PENDAHULUAN Haemophilus influenza, dan bakteri gram
negatif juga ditemukan pada pasien HIES.
Hyper-IgE syndrome (HIES) adalah
Infeksi jamur, termasuk candidiasis
penyakit keturunan yang mengenai
mukokutan dan aspergillosis paru, juga
beberapa organ. Salah satu gejala utama
sering ditemukan pada HIES. Dermatitis
adalah imunodefisiensi, yang menyebabkan
atopi biasanya dimulai selama periode
infeksi bakteri dan jamur berulang pada kulit
neonatal, sebelum timbulnya dermatits
dan paru-paru. Penelitian terbaru
atopik. Pasien dengan HIES menderita
menunjukkan bahwa mutasi dominan terjadi
dermatitis atopi terkait dengan sangat tinggi
pada sinyal tranduser dan aktivator
tingkat IgE serum dan eosinofilia, tetapi
transkripsi 3 (STAT 3), sedangkan defisiensi
biasanya bebas dari manifestasi alergi
gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan
lainnya, seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi
HIES autosomal resesif terkait dengan virus
anafilaksis. 2,4
dan infeksi mikrobakteri.1,2,3,4
Patogenesis
Davis dan Wedgwood pertama kali
menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996, Pengetahuan tentang patogenesis HIES
pada dua gadis yang menderita abses dengan mutasi STAT 3 masih terbatas,
Staphylococcus berulang, radang paru- paru, meskipun penemuan dari etiologi molekul
dan eksim. Pada laporan kasus ini HIES. Beberapa besar pertanyaan belum
mengidentifikasi adanya peningkatan IgE terjawab yaitu molekul apa yang mendasari
serum. Sindrom ini diteliti lebih lanjut oleh dermatitis atopi dan IgE serum yang tinggi.
Buckley yang menemukan bahwa abses Sel TH 17 adalah substrat baru diidentifikasi
Staphylococcus berulang dan eksim kronis dari sel T helper terkait dengan eksaserbasi
berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi autoimun berbagai gangguan termasuk
serum IgE.2,5 penyakit radang usus, multiple sklerosis,
psoriasis, dan rheumatoid arthritis. Sel TH
Manifestasi Klinis
17 menghasilkan sitokin TH 17, termasuk
HIES adalah penyakit multisistem IL-17 (IL-17A), IL-17F dan IL-22.
dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Fungsinya dalam tubuh manusia belum
Individu yang terkena mungkin memiliki jelas, tetapi sel TH 17 memainkan peran
beberapa ciri-ciri dari HIES, tapi tidak penting dalam pengambilan neutrofil dan
semua gejala muncul, tergantung pada usia. memproduksi peptida antimikroba.2,3,4
Hampir semua pasien dengan HIES
Diagnosis
menderita infeksi Staphylococcus berulang,
dimulai pada watu bayi dan sering Diagnosis ditegakkan berdasarkan
melibatkan kulit dan paru-paru. Berbeda kecurigaan klinis berupa dermatitis atopi,
dengan penyakit gralumatosis dimana eosinofilia dan peningkatan IgE serum yang
infeksi Staphylococcus terjadi di berbagai sangat tinggi melebihi > 2000 kU/L. Sistem
organ, termasuk paru-paru, kelenjar getah scoring yang diciptakan Gimbacher et al dan
bening, kulit, hati, saluran pencernaan, ginjal telah diterima oleh National Institute of
dan otak.2,5 Health (NIH) dapat digunakan dalam
membantu menegakkan diagnosis HIES.7
Penatalaksanaan pengenalan awal dan terapi yang tepat.8
Pilihan terapi untuk HIES saat ini Etiologi
berupa pencegahan dan pengobatan infeksi
kulit dan komplikasi lain yang Sindrom DRESS disebabkan oleh obat
ditimbulkannya. Pentingnya mengetahui seperti trimetropim, allopurinol,
jenis bakteri dan jamur secara dini dan metronidazol, dapson dan abacavir, juga
pemberian pengobatan, karena tidak banyak dapat terjadi akibat reaksi silang obat,
yang menunjukkan gejala infeksi. Tidak ada seperti obat anti konvulsan (carbamazepin,
pengobatan khusus untuk HIES, apabila fenitoin, fenobarbital) dan obat anti
terjadi eksim yang luas pada kulit dapat inflamasi non steroid (piroksikam). Pasien
diberikan emolien dan steroid topikal, yang mengalami hipersensitivitas terhadap
Profilak terapi dapat diberikan obat-obat tersebut, memiliki kemungkinan
trimethoprim-sulfamethoxazole. Terapi untuk bereaksi terhadap obat lainnya
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dapat sebesar 75 %. Penyebab lainnya adalah
diberikan antibiotik yang sesuai. Pemberian keterlibatan koinfeksi virus yaitu reaktivasi
immunosupresan seperti kortikosteroid dan dari Human Herpes Virus-6 (HHV-6).9
siklofofamid dapat diberikan pada pasien Sindroma DRESS yang disebabkan
HIES.2,3,5 oleh obat antituberkulosis sangat jarang
terjadi. Satu studi kohort yang dilakukan di
Sindroma DRESS (Drug Reaction with korea dari tahun 2006 - 2010 terhadap 1,253
Eosinophilia and Systemic Symptoms) pasien yang menggunakan OAT, 15 orang
diantaranya mengalami DRESS syndrome
Definisi (1.2%).10
Sindroma DRESS (Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms) yang Patogenesis
sering juga dikenal sebagai Drug Patogenesis sindrom DRESS
Hypersensitivity Syndrome, atau dipengaruhi faktor farmakologi, imunologi,
Hypersensitivity Syndrome Reaction (HSR) dan genetik. Sel T yang spesifik untuk obat
adalah kumpulan gejala dan merupakan tertentu dapat menginduksi dan merangsang
reaksi idiosinkratik yang terjadi pada pelepasan sitokin dan kemokin yang
pemberian obat dalam dosis terapi, yang berbeda. Pada lesi kulit terlihat adanya
ditandai adanya erupsi eritematous, demam, interferon γ dan IL-5. Peningkatan IL-5
kelainan hematologi terutama adanya merupakan faktor yang berperan pada
eosinofilia dan adanya keterlibatan organ pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi dari
dalam seperti: limfadenopati, hepatitis, eosinofil. Pada reaksi ini biasanya terdapat
pneumonitis, miokarditis, nefritis.6.7 peningkatan dari eosinofil.9,11
Pada pasien yang mengalami sindrom
Epidemiologi DRESS memiliki sel limfosit T yang
tereaktivasi dalam sirkulasinya. Beberapa
Insiden sindrom DRESS bervarasi, 1
jenis obat dapat langsung berikatan dengan
diantara 1000 sampai 1 diantara 10.000
reseptor pada sel T. Interaksi antara obat
yang terpapar obat. Lebih sering mengenai
dengan sel T akan mengaktifkan respon
dewasa dan kebanyakan kasus sporadik
imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang
tanpa perbedaan jenis kelamin. Angka
timbul tidak mengikuti kaidah respon imun
kematian akibat sindrom DRESS dapat
yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada
mencapai 10 % sehingga membutuhkan
paparan pertama tanpa memerlukan proses lesi kulit. Apabila tidak ada perbaikan
sensitisasi sebelumnya.9,11 dengan steroid oral atau terdapat
keterlibatan organ viseral yang berat, dapat
Manifestasi Klinis berikan metilprednisolon pulse doses 30
mg/kg intravena selama 3 hari.17
Pada sindrom DRESS dikenal trias
demam, erupsi kulit, dan keterlibatan organ
LAPORAN KASUS
internal atau kelainan sistemik. Demam dan
Seorang laki-laki, usia 19 tahun
malaise biasanya merupakan tanda yang
datang dengan kulit bersisik di seluruh
pertama kali muncul. Demam dapat terjadi
badan sejak 2 hari yang lalu. Awalnya
2-3 hari sebelum atau bersamaan dengan
bercak merah disadari pada kedua tungkai
erupsi kulit. Keterlibatan mukosa jarang
yang terasa gatal, kemudian bercak merah
ditemukan, tetapi seandainya ada biasanya
ini meluas hingga ke dada, wajah,
hanya berupa stomatitis atau faringitis yang
punggung, kedua lengan dan kedua tungkai.
ringan.12,13
Bercak merah disertai gelembung-
Kelainan sistemik atau keterlibatan
gelembung kecil berisi cairan berwarna
organ dalam pada sindrom DRESS dapat
putih, kemudian mengelupas dan bersisik
asimptomatik atau dapat timbul setelah 1
sejak 2 hari ini. Demam meningkat sejak 2
sampai 2 minggu. Kelainan sistemik yang
hari yang lalu. Buang air besar encer sejak
sering ditemukan adalah gangguan pada
10 hari yang lalu. Riwayat luka operasi
hati, berupa hepatitis, nekrosis hati dan
bernanah pada tungkai kanan sejak 2
gagal hati.14,15
minggu yang lalu, saat ini sudah tidak
Diagnosis
bernanah. Pasien post ORIF 2 bulan yang,
Terdapat tiga macam kriteria diagnosis kemudia pasien konsul ke spesialis
yang dipakai untuk mendiagnosis sindrom orthopedi dan mendapatkan obat cefadroksil,
DRESS yaitu kriteria Bocquet, RegiSCAR cetirizine dan parasetamol
(The European Registry of Severe
Cutaneous Adverse Reaction study group) Pada pemeriksaan fisik didapatkan
dan J-SCAR (Japanese Research Committee suhu 38.8 derajat celcius. Pada pemeriksan
on Severe Cutaneous Adverse Reaction mata dengan konjungtiva anemis.
group).16 Ditemukan stomatitis pada pasien ini. Pada
palpasi abdomen didapatkan hepatomegaly
Tatalaksana dan plenomegali. Pada status
dermatologikus didapatkan pada wajah,
Pengenalan sindrom DRESS sejak awal
leher, dada, punggung, perut, kedua lengan
sangatlah penting dan segera menghentikan
dan kedua tungkai ditemukan plak eritem,
obat yang dicurigai menjadi penyebab.
skuama kuning kasar. Hasil pemeriksaan
Untuk menstabilkan kondisi pasien dapat
laboratorium didapatkan kadar hemoglobin
diberikan terapi suportif seperti antipiretik
9.2 gr/dl, leukosit 21.1700/mm3, hematokrit
untuk mengurangi gejala demam, steroid
28%, trombosit 281.000/mm3, LED
topikal untuk mengurangi gejala kulit.12
13mm/jam, hitung jenis leukosit
Terapi kortikosteroid sistemik telah
0/40/4/38/12/6. SGOT 108 u/l, SGPT 157
diberikan secara luas untuk terapi sindrom
u/l, ureum 45 mg/dl, creatinin 1.5 mg/dl ,
DRESS. Terapi steroid sistemik dimulai
eosinophilia total 9284 mm dan IgE total
dengan dosis minimal 1 mg/KgBB/hari
>10.000. Hasil pemeriksaan feses dalam
prednison atau yang setara. Kortikosteroid
batas normal. Pemeriksaan USG thoraks
topikal diberikan untuk memperbaiki gejala
didapatkan efusi pleura bilateral, sedangkan
pemeriksaan USG ginjal didapatkan nefritis pengobatan simptomatik. Apabila terjadi
akut. diberikan terapi metilprednisolon 3x eksim yang luas pada kulit dapat diberikan
16-16-8 mg (po), kalsium laktat 2x500 mg emolien dan steroid topikal. Pada pasien
(po), Lansoprazole 1x30 mg (po), Attalpugit diberikan terapi methylprednisolone 3x16-
3x600 mg, Parasetamol 3x500 mg, 16-8 mg, cetirizine 1x10 mg, vaselin
Ursodeoxycholic Acid 3x250 mg, Cetirizine albumin, mometason furoat 0.1%, tupepe
1x10 mg, vaselin albumin 2x sehari, 30 krim, didapatkan respon pengobatan yang
menit sebelum mandi pada kulit bersisi, cukup baik, dengan adanya perbaikan gejala
mometason furoat 0.1% krim, pagi : pada pasien.
pinggang ke atas, sore : pinggang ke bawah Pasien ini juga diteggakkan dengan
dan Tupepe krim 2x sehari pada kulit kering, Drug Reaction with Eosinophilia and
segera setelah mandi di lap dan dioleskan. Systemic Symptoms (DRESS) berdasarkan
dari anamnesis adanya keluhan kulit berupa
DISKUSI kulit kasar dan mengelupas disertai rasa
gatal pada badan, wajah, kedua lengan, dan
Diagnosis pada pasien ditegakkan
tungkai sejak 10 hari yang lalu. Demam
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
telah dirasakan sejak 10 hari yang lalu.
dan pemeriksaan penunjang. Pasien
Pasien post ORIF karena patah tulang kaki
didiagnosis dengan Hyperimunoglobulin E
kanan 2 bulan yang lalu, kemudian dalan 2
(HIE) berdasarkan kriteria Grimbacher et al.
minggu ini mengalami luka infeksi disertai
Pada pasien didapatkan skor 24 yaitu terdiri
nanah. Pasien mendapat pengobat cetirizin,
dari adanya peningkatan serum IgE Total,
parasetamol dan cefadroksil. Setelah 4 hari
abses kulit, peningkatan eosinofil, eksema
mengkonsumsi obat, muncul ruam di
pada seluruh tubuh, dan infeksi saluran
seluruh badan.
pernapasan atas. Konsentrasi tinggi IgE
Dari pemeriksaan fisik ditemukan
menyebabkan reaksi atopik khususnya
adanya demam dengan suhu 38,80C.
eksim yang parah. Mutasi pada gen STAT3
Ditemukan kulit bersisik pada seluruh tubuh.
bertanggung jawab untuk terjemahkan
Dari pemeriksaan laboratorium dijumpai
kekurangan sinyal sitokin dalam respon
adanya peningkatan leukosit (21.170/mm3)
imun yang efektif. Pasien rentan dengan
dan eosinofilia (40) dengan eosinofil total
infeksi staphylococcal pada kulit dan paru-
9284, peningkatan SGOT (108 U/L), SGPT
paru, seringkali dengan gejala klinis yang
(157 U/L), Dari pemeriksaan USG Ginjal
sedikit. Untuk menegakkan diagnosis
ditemukan kesan nefritis akut. Berdasarkan
definitif HIE adalah melalui pemeriksaan
dari data - data diatas pasien memenuhi
mutasi gen.
kriteria diagnosis DRESS berdasarkan skor
Didapatkan kadar IgE serum total RegiSCAR 4, yaitu adanya demam dengan
yang tinggi >10.000 IU/ml. Rentang kadar suhu 38,80C, ruam kemerahan pada kulit
IgE total normal adalah 2-373 IU/ml pada dengan luas >50%, eosinofilia, dan
manusia dewasa. Pasien belum keterlibatan organ hepar dan ginjal.
dikategorikan kepada suatu Hyper IgE Eosinofilia terjadi ditemukan pada 60- 70%
syndrome karena tanpa adanya infeksi kulit kasus dengan awitan setelah 1-2 minggu
dan paru yang rekuren.19 gejala muncul.
Pengobatan pada pasien ini dilakukan Pada sindroma DRESS dikenal trias
perawatan kulit, pencegah infeksi sekunder klasik berupa demam, erupsi kulit, dan
dan diberikan kortikosteroid. Tidak ada keterlibatan organ dalam. Demam dan
pengobatan spesifik untuk HIE, hanya untuk malaise biasanya merupakan tanda yang
pertama kali muncul. Demam dapat terjadi nefritis interstitial akut pada pasien.22
2-3 hari sebelum atau bersamaan dengan Acute Interstitial Nephritis (AIN)
erupsi kulit. Demam berkisar antara 38 - 39 merupakan kerusakan parenkim ginjal akibat
0C. Erupsi kulit muncul antara 1 sampai 8 cedera langsung oleh obat, reaksi terhadap
minggu setelah terapapar dengan obat infeksi sitemik, infeksi ginjal langsung
penyebab atau 2 bulan pertama dimana ruam (virus dan bakteri), respon imun humoral
kulit melibatkan setengah dari permukaan (anti-tubular basement membran), ataupun
tubuh bahkan bisa berkembang menjadi reaksi hipersentivitas akibat DRESS.
eritroderma. Erupsi kulit bervariasi, dapat Manifestasi klinis yang klasik (nyeri sendi,
menyerupai makulopapular pada hampir 95 ruam kulit, eosinofilia) hanya terjadi pada 5-
% kasus, vesikobulosa, papulopustular, 10% pasien dan lebih sering disebabkan oleh
eritroderma atau dermatitis eksfoliatif dan obat. Tidak ada gejala klinis atau tanda
biasanya selalu disertai gejala gatal. definitif yang cukup sensitif atau spesifik.
Keterlibatan mukosa jarang ditemukan, Hasil laboratorium yang paling sering
tetapi seandainya ada biasanya hanya berupa ditemukan adalah peningkatan secara pelan
stomatitis atau faringitis yang ringan.20 dan pasti BUN dan kreatinin serum.
Pada kasus ini diduga penyebab Eosinofilia sering ditemukan pada AIN yang
timbulnya PEGA ialah beberapa obat yakni disebabkan obat. Proteinuria (+1 atau +2)
parasetamol, cetirizine dan cefadroksil, dan leukosituria ringan sering ditemukan
karena pada anamnesis didapatkan beberapa pada pasien. Proteinuria kuantitatif
hari sebelumnya pasien sempat umumnya <1gr/24jam. 12 Hematuria juga
mengonsumsi obat-obat tersebut. Sementara dapat menyebabkan proteinuria false-
itu, kasus sindrom DRESS akibat penggunaan positive. Hal ini disebabkan oleh pecahnya
cefadroxil pernah dikonfirmasi melalui sel eritrosit menyebabkan pelepasan
pemeriksaan uji tempel pada pasien laki-laki 51 hemoglobin ke dalam urin. Implikasi
di RS Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun diagnostik dan prognostik dari proteinuria
2007.21
klinis pada pasien hematuria dapat menjadi
Kelainan sistemik atau keterlibatan signifikan. Sehingga pada pasien dengan
organ dalam pada sindrom DRESS dapat gross hematuria, elektroforesis protein urin
asimptomatik atau dapat timbul setelah 1 harus dilakukan untuk menilai keterlibatan
sampai 2 minggu. Kelainan sistemik yang hemoglobin terhadap penentuan protein
sering ditemukan adalah gangguan pada total.23
hati, berupa hepatitis (terjadi sekitar 75 – Patogenesis sindrom DRESS
94%), nekrosis hati dan gagal hati.20 dipengaruhi faktor farmakologi, imunologi,
Insiden DRESS berkisar 1:100 dan genetik. Sel T yang spesifik untuk obat
hingga 1:10000 setelah konsumsi obat, tertentu dapat menginduksi dan merangsang
dengan angka mortalitas 10%. Dua studi pelepasan sitokin dan kemokin yang
menunjukkan predileksi lebih sering pada berbeda. Pada lesi kulit terlihat adanya
wanita, dengan rasio laki-laki : perempuan interferon γ dan IL-5. Peningkatan IL-5
0,8:1.3 Selain gejala yang timbul pada kulit, merupakan faktor yang berperan pada
menurut Husain et al., organ yang sering pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi dari
terkena adalah hati, mencapai 70%. Ginjal eosinofil. Pada reaksi ini biasanya terdapat
juga cukup sering terkena yaitu skitar 37%. peningkatan dari eosinofil.9,11
Efek pada ginjal dapat terlihat sebagai Pada pasien yang mengalami sindrom
hematuria, proteinuria, dan peningkatan DRESS memiliki sel limfosit T yang
BUN dan kreatinin. Adanya eosinofil urin tereaktivasi dalam sirkulasinya. Beberapa
juga bisa mengindikasikan bahwa terjadi
jenis obat dapat langsung berikatan dengan DRESS, pemeriksaan fisik dan laboratorium
reseptor pada sel T. Interaksi antara obat yang menunjang kearah DRESS yaitu
dengan sel T akan mengaktifkan respon hepatomegaly dan adanya gangguan faal
imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang hepar yang belum diketahui penyebabnya.
timbul tidak mengikuti kaidah respon imun Pada pemeriksaan virus hepatitis A, B, dan
yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada C didapatkan hasil non reaktif, dan pada
paparan pertama tanpa memerlukan proses pemeriksaan usg abdomen tidak didapatkan
sensitisasi sebelumnya.9,11 kelainan yang mengarah obstruktif. Maka
Terapi steroid sistemik harus dimulai diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya
dengan dosis minimal 1,0 mg/kg/hari untuk diagnosis pasti yaitu pemeriksaan Anti
prednison atau setara. Tappering off selama Smooth Muscle Antibody (Anti SMA), Anti
3 sampai 6 bulan setelah stabilisasi klinis liver kidney microsomal antibody (Anti-
dan laboratorium dianjurkan untuk LKM) serta Biopsi Hati. Follow up fungsi
menghindari kekambuhan. Seringkali ada hati dilakukan untuk menilai respon terapi
perbaikan gejala dan kelainan laboratorium pada pasien ini.24
yang signifikan dalam beberapa hari setelah Pada pasien ditegakan diagnosis
memulai pengobatan steroid. Dalam kasus di anemia ringan normositik normokrom yang
mana tidak ada perbaikan atau eksaserbasi diperkirakan disebabkan oleh defisiensi FE.
gejala dengan kortikosteroid oral atau Hal ini berdasarkan dari anamnesis,
keterlibatan visceral yang signifikan, pasien pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
dapat diobati dengan pulsed dose penunjang. Dari anamnesis didapatkan
metilprednisolon intravena 30 mg / kg keluhan lemah letih disertai pucat yang
secara intravena selama 3 hari. 12 Sebuah memberat sejak 1 minggu yang lalu, tidak
studi retrospektif besar oleh Mockenhaupt et adanya perdarahan akut, kemudian dari
al (2019) di Perancis dan Jerman pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
menemukan bahwa kortikosteroid secara anemis, kemudian dipertegas dengan
positif mempengaruhi hasil reaksi kulit yang ditemukan gambaran anemia mikrositik
parah jika diberikan secara singkat dalam hipokrom pada sediaan darah tepi.
dosis sedang hingga tinggi (100-500 mg) Pasien didiagnosis Acute Kidney
pada awal reaksi.21 Injury stage 1 ec prerenal ec dehidrasi
Indikator prognostik yang buruk berdasarkan kriteria KDIGO 2012 yaitu
terkait dengan mortalitas yang lebih tinggi didapatkannya peningkatan creatinine >1,5-
pada pasien dengan sindrom DRESS antara 2 kali lipat dari nilai normal serta penurunan
lain jumlah eosinofil absolut yang tinggi volume urin pasien pada 6-12 jam dibawah
(>6000/uL), trombositopenia, pansitopenia, 0,5 cc/kg/jam. Terapi yang diberikan pada
riwayat insufisiensi ginjal kronis, pasien berupa rehidrasi dengan kristaloid 6
keterlibatan multiorgan, dan beberapa jam/kolf dengan target balance positif.
penyakit yang mendasari. Dalam studi Didapatkan perbaikan fungsi ginjal pada
retrospektif faktor prognostik pada sindrom pasien setelah rehidrasi.25
DRESS, Wei et al (2011) menyebutkan Acute Generalized Exanthematosus
bahwa takikardia, leukositosis, takipnea, Pustulosis (AGEP) merupakan salah satu
koagulopati, perdarahan gastrointestinal, dan jenis erupsi obat alergi tipe berat. Insidens
sindrom respon inflamasi sistemik dikaitkan AGEP sekitar 1-5 kasus per 1 juta kasus. Di
dengan prognosis yang buruk.17 eropa, PEGA menyerang usia dekade 50-an
Pada pasien ini dicurigai karena sedangkan di Israel dan Taiwan pada dekade
adanya penyakit dasar pada pasien ini, yaitu 40-an.Di Asia, laporan mengenai insidens
AGEP dan obat penyebabnya masih sangat berobat ke bedah orthopedi. Implan ORIF
terbatas.26 diduga menyadi penyebab kelanian kulit
Pustulosis eksantema generalisata akut pasien ini. Implan logam bedah memiliki
paling sering disebabkan oleh obat, dan yang beragam kegunaan terapeutik. Dalam bedah
paling umum ialah antibiotik β laktam, ortopedi, implan ini digunakan dalam
makrolid, antikonvulsan, dan CCB. Obat- artroplasti, augmentasi tulang, dan fiksasi
obat lain yang diketahui dapat menyebabkan tulang termasuk patah tulang, osteotomi, dan
AGEP antara lain non steroid anti fusi (misalnya pelat, sekrup, batang).
inflammatory drug (NSAID), pseudoefedrin, Banyak logam aktif secara imunologi dan
kaptopril, ketokonazol, propanolol, menyebabkan reaksi alergi
simetidin, metronidazol, dan sefalosporin. (hipersensitivitas). Reaksi ini telah
Pernah dilaporkan AGEP yang disebabkan dilaporkan dalam ortopedi, kedokteran gigi,
oleh infeksi bakteri dan virus tetapi ginekologi, kardiologi, dan urologi yang
hubungan kausalnya belum diyakini benar. lebih jarang. Bentuk paling umum dari
Pada pasien tidak ditemukan tanda- semua hipersensitivitas logam adalah
tanda infeksi sistemik dan tindak lanjut dermatitis kontak alergi (ACD) yang
harian, sehingga dapat disimpulkan bahwa disebabkan oleh nikel. Sebagian besar reaksi
peningkatan leukosit pada pasien ini hipersensitivitas logam (MHS) pada implan
merupakan akibat reaksi inflamasi dan ortopedi adalah reaksi hipersensitivitas tipe
bukan karena infeksi bakteri, oleh karena itu IV/tipe lambat.27
penggunaan antibiotik dipertimbangkan Reaksi MHS implan menghadirkan
untuk dihentikan. tantangan diagnostik dan terapeutik. Antara
Pemeriksaan penunjang untuk AGEP 10% dan 15% orang menunjukkan kepekaan
antara lain darah lengkap rutin, IgE total, kulit terhadap logam.Bentuk
dan histopatologik. Pada pasien ini hipersensitivitas logam yang paling umum
dilakukan pemeriksaan histopatologik, yang disebabkan oleh nikel. Diperkirakan
pemeriksaan histopatologik akan reaksi hipersensitivitas kulit terhadap nikel,
menunjukkan pustul spongiform kobalt, dan kromium pada populasi umum
intraepidermal dan/ atau subkorneal, edema adalah antara 10% dan 15%, dengan nikel
papil, dan campuran infiltrat inflamasi tertinggi sekitar 14%.27
perivaskular eosinofil atau neutrofil di Pustulosis eksantema generalisata
bagian atas dermis, berdasarkan acuan akut memiliki prognosis yang baik karena
pustaka hasil histopatologik ini sesuai penyakit ini cepat mengalami resolusi
dengan AGEP.26 setelah mendapat pengobatan dan
Ureum dan kreatinin darah pada penghentian obat penyebab. Prognosis yang
pasien ini sedikit meningkat namun hasil buruk seringkali berkaitan dengan demam
urinalisis dalam batas normal. Pada tinggi pada pasien usia lanjut dan adanya
beberapa acuan pustaka dinyatakan pada infeksi sistemik. Pasien ini memiliki
32% kasus ditemukan transient renal prognosis quo ad vitam, fungsionam et
dysfunction. Namun tidak ada penjelasan sanationam dubia ad bonam karena tidak
yang detail mengenai penyebab keterlibatan terbukti disertai infeksi sistemik dan lesi
ginjal. Nefritis intertitial akut ialah yang cepat mengalami resolusi.26
mekanisme yang diyakini terjadi akibat
reaksi obat yang merugikan ginjal.25
Pasien mengalami luka bernanah 2 DAFTAR PUSTAKA
bulan setelah pemasangan ORIF, pasien
1. Woellner C, Schaffer A, Puck J
(2007) The Hyper-IgE syndrome and Clinical Features of Drug
andmutations in TYK2. Immunity Reactions With Eosinophilia and
26;535 Systemic Symptoms Syndrome
Caused by Antituberculosis Drugs: A
2. Minegishi Y, Saito M, Tsuchiya S, et
Retrospective Cohort Study. AAIR.
al. Dominant-negative mutations in
2018:10; 4168
the DNA-binding domain of STAT3
11. Obermoser G, Zelger B. Fever,
cause hyper- IgE syndrome. Nature
Eosinophilia, Rash. Jurnal of the
2007;448:1058-62
American Academy of Dermatology;
3. Holland SM, Deleo FR, Elloumi HZ, 2006. 54 : 913-4.
et al. STAT3 mutation in the hyper 12. Pinana E, Lei SH, Merino R, et al.
IgEsyndrome. N Engl J Med DRESS-syndrome on sulfasalazine
2007;357:1608-19 and naproxen treatment for juvenile
idiopathic arthritis and reactivation of
4. Scarabelli T Amino acid
human herpes virus 6in an 11 yearold
supplementaton differentially
Caucasian boy. J Clin Pharm Ther;
modulates STAT1and STAT3
2015. 35 : 365-70.
actication in the myocardium exposed
13. Harper J, Oranje A, Prose N.
to ischemia/referfusion. Am J Cardiol
Exanthematous eruptions, Drug
2008;101:63E-68E
Hypersensitivity Syndrome (DHS).
5. Davis SD, Schaller J, Wedgwood RJ.
Textbook of Pediatric Dermatology.
Job's Syndrome.Recurrent, “cold”,
2nd ed. Oxford: Blackwell; 2006;
staphylococcal abscesses.
p.262-89
Lancet1966; 1: 1013-5
14. Kano Y, Ishida T, Hirahara K,
6. Vanini A, Hutomo M. Manifestasi
Shiohara T. Visceral involvements and
Klinis Sindroma DRESS (Drug
long-term sequelae in drug-induced
Reaction with Eosinophilia and
hypersensitivity syndrome. Med Clin
Systemic Symptom). Berkala Ilmu
North Am 2010; 94: 743-59.
Kesehatan kulit dan Kelamin. 2010;
15. Shiohara T, Takahashi R, Kano Y.
22: 1
Drug-induced hypersensitivity
7. Roujeau JC, Mockenhaup M, Corona
syndrome and viral reactivation. In:
R. Drug reaction with eosinophilia
Pitchler WJ, editor. Drug
and systemic symptoms (DRESS).
hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.
Uptodate. 2018
P. 251- 66.
8. Arthur CH. Hypersensitivity
16. Roujeau JC et al. Severe Cutaneus
Syndrome (DRESS). Dermatol Online
Adverse Reaction to Drugs (SCAR):
J 8(1), 2002. Available from URL:
Definitions, Diagnostic criteria,
www.medscape.com/viewarticle/4404
Genetic Predisposition. Dermatol
04_3. Accessed on 5 may 2019
Sinica, Dec 2009.
9. Pichler WJ. Drug hypersensitivity
17. Husain Z, Reddy BY, Schwartz RA.
reactions: Classification and
DRESS syndrome: Part II.
relationship to T-Cell Activation. In:
Management and therapeutics. J Am
Pitchler WJ, editor. Drug
Acad Dermatol. (2013) 68:709-32.
Hypersensitivity. Basel: Karger;2007.
18. Chiuo CC, Yang LC, Hung SI, et al.
p.168-89.
Clinicopathological features and
10. Jung HY, Park S, Shin B , Lee JH ,
prognosis of drug rash with
Lee SJ , Lee MK, et al. Prevalence
eosinophilia and systemic symptoms : Gastroenterol. 2010;1:1-4
a study of 30 cases in Taiwan. J Eur 24. Longmore MB, Wilkinson IB,
Acad Dermatol Venereol (2008) 22 : Davidson EH, Foulkes A, Mafi AR.
1044-49 Autoimmune Hepatitis (AIH). Oxford
19. Freeman FA, Holland SM. The hyper Handbook of Clinical Medicine. 8th
IgE syndromes. Immunol Allergy ed. New York: Oxford Univ Press
Clin North Am. 2008; 28 (2): 277-8 2010.p.268-9.
20. Kano Y, Ishida T, Hirahara K, 25. Kidney Disease Improving Global
Shiohara T. Visceral involvements Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical
and long-term sequelae in drug- Practice Guideline for Acute Kidney
induced hypersensitivity syndrome. Injury. Kidney International
Med Clin North Am. 2010;94:743-59. Supplements 2012. Vol.2. 19-36
21. Suswadana, Hernanto M, Yudani 26. Baumanna and Crist B. Nickel
BAD,Pudjiati SR, Indrastuti N. allergy to orthopaedic implants: A
DRESS syndrome from cefadroxil review and case series. J Clin Orthop
confirmed by positive patch test. Trauma. 2020 Jul; 11 : S596–S603
Allergy net. 2007; 62(1): 1215-6
22. Mockenhaupt, M. Severe drug-
induced skin reactions: clinical
pattern, diagnostics and therapy.
Journal Der Deutschen
Dermatologischen Gesellschaft.
2009;7(2):142-162.
23. Teufel A, Weinmann A, Kahaly GJ.
Concurrent autoimmune in patients
with autoimmune hepatitis. J Clon
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996,
pada dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang paru- paru,
dan eksim. Pada laporan kasus ini mengidentifikasi adanya peningkatan IgE serum.
Sindrom ini diteliti lebih lanjut oleh Buckley yang menemukan bahwa abses
Staphylococcus berulang dan eksim kronis berkaitan erat dengan tingginya
konsentrasi serum IgE. Mereka juga menunjukkan bahwa konsentrasi
immunoglobulin serum lainnya (IgG, IgA, IgM, IgD). Sifat multisistem dari HIES
meliputi kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan jaringan tulang dan jaringan ikat,
seperti skoliosis, Fraktur osteoporosis, truma minor, hyperextensive sendi, dan retensi
gigi sulung. Pada tahun 2004 ditemukan bentuk HIES autosomal resesif.2,5
Pada tahun 2006 defisiensi tirosin kinase 2 (TYK 2) diidenfikasikan pada pasien
HIES autosomal resesif. Pada tahun 2007 mutasi dominan-negatif pada sinyal
tranduser dan aktivator gen transkripsi 3 (STAT 3) yang diidentifikasi sebagai
molekul utama HIES.2,3,4
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering terisolasi pada pasien
HIES namun Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan bakteri gram
negatif juga ditemukan pada pasien HIES. Infeksi jamur, termasuk candidiasis
mukokutan dan aspergillosis paru, juga sering ditemukan pada HIES. Dermatitis atopi
biasanya dimulai selama periode neonatal, sebelum timbulnya dermatits atopik.
Pasien dengan HIES menderita dermatitis atopi terkait dengan sangat tinggi tingkat
IgE serum dan eosinofilia, tetapi biasanya bebas dari manifestasi alergi lainnya,
seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi anafilaksis. Kelainan kraniofasial pada pasien
HIES memiliki penampilan wajah yang khas yang berkembang pada masa anak-anak
dan remaja, ditandai dengan asimetris, hidung lebar, dan mata cekung dengan dahi
menonjol. Kulit wajah sering memiliki tekstur kasar, berpori.2,4
Kelainan vaskuler yang terjadi pada HIES biasanya berupa aneurisma arteri
koroner mengakibatkan infark miokard, aneurisma bilateral karotis, mikosis arteri
serebral, dan kelainan pembuluh darah kecil. Keganasan pada HIES dikaitkan dengan
tingkat kejadian limfoma non hodgkin yang sebagian besar berasal dari sel B.2,4
1.3 Klasifikasi
A. Tipe 1
Bentuk yang paling umum dan merupakan jenis yang disajikan oleh kasus
yang dilaporkan oleh Davis dan Buckley. Dalam jenis ini pneumonia sering
diikuti dengan pembentukan kista paru, kelainan pada beberapa sistem dari
tubuh, termasuk tulang dan gigi.
B. Tipe 2
Memiliki kelainan terbatas pada sistem kekebalan tubuh. Pada pasien HIES
tipe 2 tidak memiliki kelainan tulang, tetapi menderita berulang infeksi virus ,
seperti moluskum kontangiosum dan herpes simplek virus (HSV). Kebanyakan
HIES tipe 2 dijumpai memiliki cacat ringan pada tranduksi sinyal hilir dari
reseptor sel T yang kompleks.
1.4 Patogenesis
1.5 Diagnosis
1.6 Terapi
Pilihan terapi untuk HIES saat ini berupa pencegahan dan pengobatan infeksi
kulit dan komplikasi lain yang ditimbulkannya. Pentingnya mengetahui jenis bakteri
dan jamur secara dini dan pemberian pengobatan, karena tidak banyak yang
menunjukkan gejala infeksi. Tidak ada pengobatan khusus untuk HIES, apabila
terjadi eksim yang luas pada kulit dapat diberikan emolien dan steroid topikal,
Profilak terapi dapat diberikan trimethoprim-sulfamethoxazole. Terapi Infeksi yang
disebabkan oleh bakteri dapat diberikan antibiotik yang sesuai. Pemberian
immunosupresan seperti kortikosteroid dan siklofofamid dapat diberikan pada pasien
HIES.2,3,5
genetik. Sel T yang spesifik untuk obat tertentu dapat menginduksi dan
merangsang pelepasan sitokin dan kemokin yang berbeda. Pada lesi kulit terlihat
adanya interferon γ dan IL-5. Peningkatan IL-5 merupakan faktor yang berperan pada
pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi dari eosinofil. Pada reaksi ini biasanya
terdapat peningkatan dari eosinofil.9,11
Pada pasien yang mengalami sindrom DRESS memiliki sel limfosit T yang
tereaktivasi dalam sirkulasinya. Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan dengan
reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan sel T akan mengaktifkan respon
imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon
imun yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpa memerlukan
proses sensitisasi sebelumnya.9,11
1.4 Manifestasi Klinis
Pada sindrom DRESS dikenal trias demam, erupsi kulit, dan keterlibatan organ
internal atau kelainan sistemik. Demam dan malaise biasanya merupakan tanda yang
pertama kali muncul. Demam dapat terjadi 2-3 hari sebelum atau bersamaan dengan
erupsi kulit. Demam berkisar antara 38 sampai 39 0C. Erupsi kulit muncul antara 1
sampai 8 minggu setelah terapapar dengan obat penyebab atau 2 bulan pertama.
Erupsi kulit bervariasi, dapat menyerupai makulopapular pada hampir 95 % kasus,
vesikobulosa, papulopustular, eritroderma atau dermatitis eksfoliatif dan biasanya
selalu disertai gejala gatal. Keterlibatan mukosa jarang ditemukan, tetapi seandainya
ada biasanya hanya berupa stomatitis atau faringitis yang ringan.12,13
Kelainan sistemik atau keterlibatan organ dalam pada sindrom DRESS dapat
asimptomatik atau dapat timbul setelah 1 sampai 2 minggu. Kelainan sistemik yang
sering ditemukan adalah gangguan pada hati, berupa hepatitis, nekrosis hati dan
gagal hati.14,15
1.5 Diagnosis
organ lain
Mempengaruhi organ Pembesaran KGB ≥ 2 Kelainan leukosit (≥ 1):
sistemik: tempat, mempengaruhi ≥
-Leukositosis (> 11 x
-Adenopati: diameter 1 organ dalam
109/l)
KGB ≥ 2 cm Kelainan hematologi:
-Limfosit atipikal (>5%)
-Hepatitis (transaminase
-Limfosit diatas/dibawah
-Eosinofilia
≥ 2 x nilai normal) batas normal
(>1.500/mm3)
-Eosinofil diatas nilai
-Nefritis interstisial -Limfadenopati
normal
-Pneumonitis interstisial -Reaktivasi Human
-Trombositopenia
Herpes Virus-6 (HHV-6)
-Karditis
1.6 Tatalaksana
ILUSTRASI KASUS
12
• Benjolan tidak ada
• Pandangan kabur tidak ada, nyeri kepala hebat tidak ada
• Riwayat kejang tidak ada
• Riwayat kulit berulang seperti ini sebelumnya tidak ada
• Riwayat batuk berulang tidak ada
• Buang air kecil warna, volume dan frekuensi dalam batas normal. Nyeri saat
buang air kecil tidak ada, buang air kecil keruh dan berpasir tidak ada
• Riwayat luka operasi bernanah pada tungkai kanan sejak 2 minggu yang lalu,
saat ini sudah tidak bernanah. Pasien post ORIF 2 bulan yang, kemudia
pasien konsul ke spesialis orthopedi dan mendapatkan obat cefadroksil,
cetirizine dan parasetamol
Riwayat Pengobatan :
• Pasien mengkonsumsi obat cetirizine 1x10 mg, parasetamol 3x500 mg dan
cefadroksil 2x500 mg yang didapatkan 2 minggu yang lalu karena infeksi
luka post ORIF
13
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan
Pemeriksaan Umum
Suhu : 38.80C
BB : 52 kg
TB : 165 cm
Sianosis : (-)
Anemis : (+)
Ikterus : (-)
Edema : (-)
14
Kepala : Normocephal
Rambut : Rambut hitam,tidak mudah rontok, alopesia (-)
Paru
Depan
Inspeksi
Statis : Normochest
Dinamis : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus normal kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor, batas pekak hepar setinggi RIC V kanan
Auskultasi : Vesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Belakang
Inspeksi
Statis : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-), massa (-),
Dinamis : gerak dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus normal kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor, peranjakan paru 2 jari kiri dan kanan
Auskultasi : Vesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
15
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1
jari
Perkusi : Batas jantung kanan : linea sternalis dextra,
atas : RIC II, Batas jantung kiri: 1 jari medial
LMCS RIC V, Pinggang jantung (+)
Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama jantung reguler,
M1>M2, P2<A2, bising tidak ada, gallop tidak
ada
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, skuama kasar (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar teraba 1 jari di bawah arcus
costarum, teraba 1 jari d bawah prosesus
xypoideus, batas tajam, reguler dan permukaan
kenyal. Lien teraba S1, nyeri tekan tidak ada,
nyeri lepas tidak ada
Punggung : Nyeri tekan dan nyeri ketok pada sudut CVA
tidak
ada
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anus : Tidak ada kelainan
Anggota gerak : Reflek fisiologis (+/+), reflek patologis (-/-),
edema (-/-)
Status Dermatologikus
Lokasi : wajah, leher, dada, punggung, perut, kedua lengan,
kedua tungkai bawah
Distribusi : generalisata
Bentuk : tidak khas
Batas : tidak tegas
Ukuran : Plakat
16
Efloresensi : plak eritem, skuama kuning kasar
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Hemoglobin 9.2 gr/dl Neutrofil Batang 4%
Hematokrit 28 % Neutrofil segmen 38%
Leukosit 21.170 /mm3 Limfosit 12%
Urinalisis
17
Feses rutin
Makroskopis Mikroskopis
Warna Coklat Leukosit 0-1
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Telur cacing Negatif
Kesan : Hasil dalam batas normal
EKG
18
Skor RegiSCAR
Skor RegiSCAR untuk Diagnosis Sindrom DRESS
Tampilan Klinis Tidak Ada TIdak
diketahui
Demam (≥38C) -1 0 -1
Pembesaran KGB (≥2 tempat, ≥1 0 1 0
cm)
Limfosit atipikal 0 1 0
Eosinofilia 0 0
- 700-149 atau 10%-19% 1
- ≥1500 atau ≥20% 2
Kemerahan pada kulit 0 0
- Luas >50% 0 1 0
- Sedikitnya terdapat 2 berikut : -1 1 0
edema, infiltasi, purpura, scaling
- Diduga DRESS dari hasil biposi -1 0 0
Mengenai organ dalam 0 0
- Satu 1
- Dua atau lebih 2
Resolusi lebih dari 15 hari -1 0 -1
Sedikitnya terdapat 3 proses biologi 0 1 0
yang ditemukan dan negative untuk
diagnosis alternative yang diekslusi
Penilaian : skor <2 = Bukan, 2-3 = Mungkin, 4-5 = disangka, >5 = Definitf
Daftar masalah
• Kulit bersisik
• Demam
• BAB Encer
19
• Post ORIF tungkai kanan
• Hepatomegali
• Splenomegali
• Anemia
• Leukositosis
• Eosinofilia
• Leukosituria
Diagnosis kerja:
• Sekunder
Diagnosis banding
• Eritroderma
Terapi
• Istirahat/makanan biasa 2282 kkal (karbohidrat 1370 kkal, protein 570
kkal, lemak 342 kkal)
• IVFD NaCl 0,9 % 8 jam/kolf
• Metilprednisolon 3x16-16-8 mg (po)
• Kalsium laktat 2x500 mg (po)
• Lansoprazole 1x30 mg (po)
20
• New diatab 3x600 mg
• Asam folat 1x1 mg (po)
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
Pemeriksaan anjuran:
• Cek MCV, MCH, MCHC, retikulosit
• Cek SGOT, SGPT, albumin, globulin,
• Cek ureum, kreatinin
• Cek natrium, kalium, chlorida
• Cek eosinophilia total
• Cek SI, TIBC, Ferritin
• Chest x-ray
• Konsul spesialis Dermatovenerology
Follow up
S/ Lemah letih (+), kulit bersisik pada badan (+), gatal (+), demam (+), BAB
encer ada, frekuensi 2x, air=ampas, tidak disertai darah dan lendir
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Temp
21
Hasil laboratorium
• Trakea ditengah
22
• Tidak tampak infiltrate
Diagnosis Banding
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
• Biopsi kulit
23
Advis :
Advis :
• Attalpugit 3x600 mg
Diagnosis banding
Advis :
• USG Ginjal
Advis :
• Ursodeoxycholic Acid 3x250 mg
• Cek SGOT/SGPT/3 hari
24
• Cek HBsAg, anti HCV
• USG Abdomen
Advis :
• USG Thoraks
Distribusi : generalisata
Kesan :
Diagnosis Banding
Advis :
25
⚫ Tupepe krim 2x sehari pada kulit kering, segera setelah mandi di lap
dan dioleskan
⚫ Biopsi Kulit
A/
Diagnosis banding
26
Terapi :
• Istirahat/makanan biasa 2282 kkal (karbohidrat 1370 kkal, protein 570
kkal, lemak 342 kkal)
• Attalpugit 3x600 mg
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
• Tupepe krim 2x sehari pada kulit kering, segera setelah mandi di lap
dan dioleskan
• USG ginjal
• USG abdomen
• USG Thoraks
27
• Biopsi kulit
S/ Lemah letih (+), kulit bersisik pada badan (+), gatal (+), demam tidak ada,
BAB encer tidak ada
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Suhu
Balance Cairan
Hasil laboratorium
Hemoglobin 10 gr/dl HBsAg Negatif
Leukosit 7.900/mm3 Anti HCV Negatif
Hematokrit 30 %
Trombosit 356.000/mm3
Kesan Anemia ringan mikrositik hipokrom
28
• Tampak fraktur 1/3 tengah os tibia dengan fiksasi interan
berkedudukan baik
• Densitas baik
Kesan : fraktur 1/3 tengah os tibia kanan dengan fiksasi interna berkedudukan
baik
• Bentuk/ukuran • Normal/10.65 cm
• Tepi • Reguler
• Echo densitas • Meningkat
• Cortex dan medulla • Dapat didiferensiasi
• Ukuran cortex • 10.9 mm
29
• Piramida • Prominen
• Sistem pelvikalik • Dilatasi tidak ada
• Batu, kista • Tidak ada
Ginjal Kiri
• Bentuk/ukuran • Normal/12.06 cm
• Tepi • irreguler
• Echo densitas • Meningkat
• Cortex dan medulla • Dapat didiferensiasi
• Ukuran cortex • 15.8 mm
• Piramida • Prominen
• Sistem pelvikalik • Dilatasi tidak ada
• Batu, kista • Tidak ada
Kesimpulan : Nefritis akut
• Nefritis akut
Advis :
• Biopsi ginjal
30
Konsul Konsultan Pulmonologi
Kesan :
A/
Diagnosis banding
31
Terapi :
• Istirahat/makanan biasa 2282 kkal (karbohidrat 1370 kkal, protein 570
kkal, lemak 342 kkal)
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
• Tupepe krim 2x sehari pada kulit kering, segera setelah mandi di lap
dan dioleskan
S/ Lemah letih (+), kulit bersisik pada ka (+) berkurang, gatal (+), demam
tidak ada, BAB encer tidak ada
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Suhu
32
Keluar hasil laboratorium
Makroskopik :
Mikroskopik :
Dalam sediaan yang kami terima mikroskopik tampak potong jaringan dengan
permukaan dilapisi epitel berlapis gepeng berkeratin, yang mengalami akanthosis
ringan dan parakeratosis, setempat-setempat terdapat adanya mikroabses
intraepithelial (sub korneal) dan spongiosis ringan, pada lapisan dermis terdiri
atas stroma fibrokolagen serta sebukan dan kelompokan sel-sel limfosit dan
netropil subepidermal perivascular (vaskulitis) dan per adnesal
33
Skor Grambacher
0 1 2 3 4 5 6 7 8 10
Hasil igE Tertinggi <200 200- 501- 1001- >2000
500 1000 2000
Abses Kulit Tidak 1-2 3-4 >4
ada
Pneumonia Tidak 1 2 3 >3
ada
Abnormalitas Tidak Bronkiekt Pneumat
parenkim paru ada asis ocele
Gigi susu Tidak 1 2 3 >3
permanen ada
Scoliosis <10 10-14 15-20 >20
persentil
Fraktur dengan Tidak 1-2 >2
trauma minimal ada
Hasil eosinophil <700 700-800 >800
tertinggi
Karakteristik Tidak Ada
wajah ada
Anomali midline Tidak Ada
ada
Kulit kemerahan Tidak Ada
saat lahir ada
Ekzima Tidak Ringan Sedang Berat
ada
Infeksi saluran 1-2 kali 3 4-6
nafas atas/ tahun
Candidiasis Tidak Oral Jari Sistemik
ada kuku
Infeksi serius Tidak Berat
lainnya ada
Hyperextensibility Tidak Ada
ada
Limfoma Tidak Ada
ada
Palatum letak Tidak Ada
tinggi ada
Koreksi usia >5 2-5 1-2 <1
tahun tahun tahu tahun
n
Total score 27
34
Diagnosis Banding
Advise
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
Status Dermatologikus
Kesan :
Diagnosis Banding :
A/
35
alergi ec antibiotic post ORIF
Diagnosis banding
Terapi :
• Istirahat/makanan biasa 2282 kkal (karbohidrat 1370 kkal, protein 570
kkal, lemak 342 kkal)
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
• Tupepe krim 2x sehari pada kulit kering, segera setelah mandi di lap
dan dioleskan
S/ kulit bersisik pada badan tidak ada, luka bernanah pada tungkai kaki
kanan (+), gatal (+), demam tidak ada
36
O/
KU Kesadaran TD Nadi Nafas Suhu
Diagnosis Banding
Advise
• Parasetamol 3x500 mg
• Cetirizine 1x10 mg
37
BAB 3
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 19 tahun di Bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang dari dengan diagnosis akhir :
• Hyperimunoglobulin E ec suspek alergi obat ec antibiotic post ORIF
• Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom
• Acute Generalized Exanthematosus Pustulosis ec suspek erupsi obat alergi
ec antibiptik post ORIF
• Anemia ringan mikrositik hipokrom ec defiensi FE
• Diare akut tanpa dehidrasi
• AKI Stage I ec ec renal ec DRESS
• Nefritis akut
• Efusi pleura bilateral
• Gangguan faal hepar ec DRESS
Pasien didiagnosis dengan Hyperimunoglobulin E (HIE) berdasarkan kriteria
Grimbacher et al. Pada pasien didapatkan skor 24 yaitu terdiri dari adanya
peningkatan serum IgE Total, abses kulit, peningkatan eosinofil, eksema pada seluruh
tubuh, dan infeksi saluran pernapasan atas. Konsentrasi tinggi IgE menyebabkan
reaksi atopik khususnya eksim yang parah. Mutasi pada gen STAT3 bertanggung
jawab untuk terjemahkan kekurangan sinyal sitokin dalam respon imun yang efektif.
Pasien rentan dengan infeksi staphylococcal pada kulit dan paru-paru, seringkali
dengan gejala klinis yang sedikit. Untuk menegakkan diagnosis definitif HIE adalah
melalui pemeriksaan mutasi gen.
Didapatkan kadar IgE serum total yang tinggi >10.000 IU/ml. Rentang kadar
IgE total normal adalah 2-373 IU/ml pada manusia dewasa. Pasien belum
dikategorikan kepada suatu Hyper IgE syndrome karena tanpa adanya infeksi kulit
dan paru yang rekuren.19
Pengobatan pada pasien ini dilakukan perawatan kulit, pencegah infeksi
sekunder dan diberikan kortikosteroid. Tidak ada pengobatan spesifik untuk HIE,
hanya untuk pengobatan simptomatik. Apabila terjadi eksim yang luas pada kulit
dapat diberikan emolien dan steroid topikal. Pada pasien diberikan terapi
methylprednisolone 3x16-16-8 mg, cetirizine 1x10 mg, vaselin albumin, mometason
furoat 0.1%, tupepe krim, didapatkan respon pengobatan yang cukup baik, dengan
adanya perbaikan gejala pada pasien.
Pasien ini juga diteggakkan dengan Drug Reaction with Eosinophilia and
Systemic Symptoms (DRESS) berdasarkan dari anamnesis adanya keluhan kulit
berupa kulit kasar dan mengelupas disertai rasa gatal pada badan, wajah, kedua
lengan, dan tungkai sejak 10 hari yang lalu. Demam telah dirasakan sejak 10 hari
yang lalu. Pasien post ORIF karena patah tulang kaki kanan 2 bulan yang lalu,
kemudian dalan 2 minggu ini mengalami luka infeksi disertai nanah. Pasien mendapat
pengobat cetirizin, parasetamol dan cefadroksil. Setelah 4 hari mengkonsumsi obat,
muncul ruam di seluruh badan.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam dengan suhu 38,80C.
Ditemukan kulit bersisik pada seluruh tubuh. Dari pemeriksaan laboratorium
dijumpai adanya peningkatan leukosit (21.170/mm3) dan eosinofilia (40) dengan
eosinofil total 9284, peningkatan SGOT (108 U/L), SGPT (157 U/L), Dari
pemeriksaan USG Ginjal ditemukan kesan nefritis akut. Berdasarkan dari data - data
diatas pasien memenuhi kriteria diagnosis DRESS berdasarkan skor RegiSCAR 4,
yaitu adanya demam dengan suhu 38,80C, ruam kemerahan pada kulit dengan luas
>50%, eosinofilia, dan keterlibatan organ hepar dan ginjal. Eosinofilia terjadi
ditemukan pada 60- 70% kasus dengan awitan setelah 1-2 minggu gejala muncul.
Pada sindroma DRESS dikenal trias klasik berupa demam, erupsi kulit, dan
keterlibatan organ dalam. Demam dan malaise biasanya merupakan tanda yang
pertama kali muncul. Demam dapat terjadi 2-3 hari sebelum atau bersamaan dengan
erupsi kulit. Demam berkisar antara 38 - 39 0C. Erupsi kulit muncul antara 1 sampai
8 minggu setelah terapapar dengan obat penyebab atau 2 bulan pertama dimana ruam
kulit melibatkan setengah dari permukaan tubuh bahkan bisa berkembang menjadi
eritroderma. Erupsi kulit bervariasi, dapat menyerupai makulopapular pada hampir 95
% kasus, vesikobulosa, papulopustular, eritroderma atau dermatitis eksfoliatif dan
biasanya selalu disertai gejala gatal. Keterlibatan mukosa jarang ditemukan, tetapi
seandainya ada biasanya hanya berupa stomatitis atau faringitis yang ringan.20
Pada kasus ini diduga penyebab timbulnya PEGA ialah beberapa obat yakni
parasetamol, cetirizine dan cefadroksil, karena pada anamnesis didapatkan beberapa
hari sebelumnya pasien sempat mengonsumsi obat-obat tersebut. Sementara itu, kasus
sindrom DRESS akibat penggunaan cefadroxil pernah dikonfirmasi melalui pemeriksaan uji
tempel pada pasien laki-laki 51 di RS Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2007.21
Kelainan sistemik atau keterlibatan organ dalam pada sindrom DRESS dapat
asimptomatik atau dapat timbul setelah 1 sampai 2 minggu. Kelainan sistemik yang
sering ditemukan adalah gangguan pada hati, berupa hepatitis (terjadi sekitar 75 –
94%), nekrosis hati dan gagal hati.20
Insiden DRESS berkisar 1:100 hingga 1:10000 setelah konsumsi obat, dengan
angka mortalitas 10%. Dua studi menunjukkan predileksi lebih sering pada wanita,
dengan rasio laki-laki : perempuan 0,8:1.3 Selain gejala yang timbul pada kulit,
menurut Husain et al., organ yang sering terkena adalah hati, mencapai 70%. Ginjal
juga cukup sering terkena yaitu skitar 37%. Efek pada ginjal dapat terlihat sebagai
hematuria, proteinuria, dan peningkatan BUN dan kreatinin. Adanya eosinofil urin
juga bisa mengindikasikan bahwa terjadi nefritis interstitial akut pada pasien.22
Acute Interstitial Nephritis (AIN) merupakan kerusakan parenkim ginjal akibat
cedera langsung oleh obat, reaksi terhadap infeksi sitemik, infeksi ginjal langsung
(virus dan bakteri), respon imun humoral (anti-tubular basement membran), ataupun
reaksi hipersentivitas akibat DRESS. Manifestasi klinis yang klasik (nyeri sendi,
ruam kulit, eosinofilia) hanya terjadi pada 5-10% pasien dan lebih sering disebabkan
oleh obat. Tidak ada gejala klinis atau tanda definitif yang cukup sensitif atau
spesifik. Hasil laboratorium yang paling sering ditemukan adalah peningkatan secara
pelan dan pasti BUN dan kreatinin serum. Eosinofilia sering ditemukan pada AIN
yang disebabkan obat. Proteinuria (+1 atau +2) dan leukosituria ringan sering
ditemukan pada pasien. Proteinuria kuantitatif umumnya <1gr/24jam. 12 Hematuria
juga dapat menyebabkan proteinuria false-positive. Hal ini disebabkan oleh pecahnya
sel eritrosit menyebabkan pelepasan hemoglobin ke dalam urin. Implikasi diagnostik
dan prognostik dari proteinuria klinis pada pasien hematuria dapat menjadi
signifikan. Sehingga pada pasien dengan gross hematuria, elektroforesis protein urin
harus dilakukan untuk menilai keterlibatan hemoglobin terhadap penentuan protein
total.23
Patogenesis sindrom DRESS dipengaruhi faktor farmakologi, imunologi, dan
genetik. Sel T yang spesifik untuk obat tertentu dapat menginduksi dan merangsang
pelepasan sitokin dan kemokin yang berbeda. Pada lesi kulit terlihat adanya
interferon γ dan IL-5. Peningkatan IL-5 merupakan faktor yang berperan pada
pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi dari eosinofil. Pada reaksi ini biasanya
terdapat peningkatan dari eosinofil.9,11
Pada pasien yang mengalami sindrom DRESS memiliki sel limfosit T yang
tereaktivasi dalam sirkulasinya. Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan dengan
reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan sel T akan mengaktifkan respon
imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon
imun yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpa memerlukan
proses sensitisasi sebelumnya.9,11
Terapi steroid sistemik harus dimulai dengan dosis minimal 1,0 mg/kg/hari
prednison atau setara. Tappering off selama 3 sampai 6 bulan setelah stabilisasi klinis
dan laboratorium dianjurkan untuk menghindari kekambuhan. Seringkali ada
perbaikan gejala dan kelainan laboratorium yang signifikan dalam beberapa hari
setelah memulai pengobatan steroid. Dalam kasus di mana tidak ada perbaikan atau
eksaserbasi gejala dengan kortikosteroid oral atau keterlibatan visceral yang
signifikan, pasien dapat diobati dengan pulsed dose metilprednisolon intravena 30 mg
/ kg secara intravena selama 3 hari. 12 Sebuah studi retrospektif besar oleh
Mockenhaupt et al (2019) di Perancis dan Jerman menemukan bahwa kortikosteroid
secara positif mempengaruhi hasil reaksi kulit yang parah jika diberikan secara
singkat dalam dosis sedang hingga tinggi (100-500 mg) pada awal reaksi.21
Indikator prognostik yang buruk terkait dengan mortalitas yang lebih tinggi
pada pasien dengan sindrom DRESS antara lain jumlah eosinofil absolut yang tinggi
(>6000/uL), trombositopenia, pansitopenia, riwayat insufisiensi ginjal kronis,
keterlibatan multiorgan, dan beberapa penyakit yang mendasari. Dalam studi
retrospektif faktor prognostik pada sindrom DRESS, Wei et al (2011) menyebutkan
bahwa takikardia, leukositosis, takipnea, koagulopati, perdarahan gastrointestinal, dan
sindrom respon inflamasi sistemik dikaitkan dengan prognosis yang buruk.17
Pada pasien ini dicurigai karena adanya penyakit dasar pada pasien ini, yaitu
DRESS, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang menunjang kearah DRESS yaitu
hepatomegaly dan adanya gangguan faal hepar yang belum diketahui penyebabnya.
Pada pemeriksaan virus hepatitis A, B, dan C didapatkan hasil non reaktif, dan pada
pemeriksaan usg abdomen tidak didapatkan kelainan yang mengarah obstruktif. Maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya untuk diagnosis pasti yaitu pemeriksaan
Anti Smooth Muscle Antibody (Anti SMA), Anti liver kidney microsomal antibody
(Anti- LKM) serta Biopsi Hati. Follow up fungsi hati dilakukan untuk menilai respon
terapi pada pasien ini.24
Pada pasien ditegakan diagnosis anemia ringan normositik normokrom yang
diperkirakan disebabkan oleh defisiensi FE. Hal ini berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan
lemah letih disertai pucat yang memberat sejak 1 minggu yang lalu, tidak adanya
perdarahan akut, kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis,
kemudian dipertegas dengan ditemukan gambaran anemia mikrositik hipokrom pada
sediaan darah tepi.
Pasien didiagnosis Acute Kidney Injury stage 1 ec prerenal ec dehidrasi
berdasarkan kriteria KDIGO 2012 yaitu didapatkannya peningkatan creatinine >1,5-2
kali lipat dari nilai normal serta penurunan volume urin pasien pada 6-12 jam
dibawah 0,5 cc/kg/jam. Terapi yang diberikan pada pasien berupa rehidrasi dengan
kristaloid 6 jam/kolf dengan target balance positif. Didapatkan perbaikan fungsi
ginjal pada pasien setelah rehidrasi.25
Acute Generalized Exanthematosus Pustulosis (AGEP) merupakan salah satu
jenis erupsi obat alergi tipe berat. Insidens AGEP sekitar 1-5 kasus per 1 juta kasus.
Di eropa, PEGA menyerang usia dekade 50-an sedangkan di Israel dan Taiwan pada
dekade 40-an.Di Asia, laporan mengenai insidens AGEP dan obat penyebabnya
masih sangat terbatas.
Pustulosis eksantema generalisata akut paling sering disebabkan oleh obat, dan
yang paling umum ialah antibiotik β laktam, makrolid, antikonvulsan, dan CCB.
Obat-obat lain yang diketahui dapat menyebabkan AGEP antara lain non steroid anti
inflammatory drug (NSAID), pseudoefedrin, kaptopril, ketokonazol, propanolol,
simetidin, metronidazol, dan sefalosporin. Pernah dilaporkan AGEP yang disebabkan
oleh infeksi bakteri dan virus tetapi hubungan kausalnya belum diyakini benar.
Pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda infeksi sistemik dan tindak lanjut
harian, sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan leukosit pada pasien ini
merupakan akibat reaksi inflamasi dan bukan karena infeksi bakteri, oleh karena itu
penggunaan antibiotik dipertimbangkan untuk dihentikan.
Pemeriksaan penunjang untuk AGEP antara lain darah lengkap rutin, IgE total,
dan histopatologik. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan histopatologik,
pemeriksaan histopatologik akan menunjukkan pustul spongiform intraepidermal
dan/ atau subkorneal, edema papil, dan campuran infiltrat inflamasi perivaskular
eosinofil atau neutrofil di bagian atas dermis, berdasarkan acuan pustaka hasil
histopatologik ini sesuai dengan AGEP.
Ureum dan kreatinin darah pada pasien ini sedikit meningkat namun hasil
urinalisis dalam batas normal. Pada beberapa acuan pustaka dinyatakan pada 32%
kasus ditemukan transient renal dysfunction. Namun tidak ada penjelasan yang detail
mengenai penyebab keterlibatan ginjal. Nefritis intertitial akut ialah mekanisme yang
diyakini terjadi akibat reaksi obat yang merugikan ginjal.25
Pustulosis eksantema generalisata akut memiliki prognosis yang baik karena
penyakit ini cepat mengalami resolusi setelah mendapat pengobatan dan penghentian
obat penyebab. Prognosis yang buruk seringkali berkaitan dengan demam tinggi pada
pasien usia lanjut dan adanya infeksi sistemik. Pasien ini memiliki prognosis quo ad
vitam, fungsionam et sanationam dubia ad bonam karena tidak terbukti disertai
infeksi sistemik dan lesi yang cepat mengalami resolusi.
DAFTAR PUSTAKA