Anda di halaman 1dari 31

Diagnosis Sosial, Epidemiologi, Perilaku, Pendidikan, Strategi Pendididkan, dan

Administratif di Kota Semarang


Tugas ini dilakukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Perencanaan dan
Evaluasi Kesehatan

Oleh :

1. Ilya Farokha Rizqyana 25010113130387


2. Nova Indriana 25010113130391
3. Rida Krita Imaroh 25010113140392
4. Amalia Mustika Hayati 25010113140405
5. Nurfrida Pratomo Putri 25010113140414
6. Zidna Sabela Naja 25010113140418
7. Wahid Kurniawan 25010113130425
8. Muhammad Yudi Saputra 25010113140435
9. Refiola Irmawati 25010113140440

KELOMPOK 5 Kelas F. 2013


Semester IV

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
A. Latar Belakang

Kejadian DBD telah tumbuh secara meningkat di seluruh dunia dalam


beberapa tahun terakhir. Ada sekitar 2,5 milyar manusia atau dua perlima jumlah
penduduk dunia mempunyai risiko tinggi terkena DBD. Penyakit DBD pertama kali
muncul di Indonesia pada tahun 1968. Berbagai strategi untuk mengendalikannya
sudah dilakukan secara intensif, namun wabah penyakit DBD masih terus terjadi.

Penyakit Demam Berdrah Dengue (DBD) masih merupakan permasalahan


serius di Provinsi Jawa Tengah, terbukti 35 kabupaten/ kota sudah pernah terjangkit
DBD. Angka kejadian DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 sebesar
11.333kasus dengan Insident Rate (IR) sebesar 30,84 per 100.000 penduduk,
meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2012 dengan angka kejadian 19,29 per
100.000 penduduk dan masih dalam target nasional yaitu 20 per 100.000 penduduk.
Sedangkan di Kota Semarang terdapat 1.186 kasus dengan IR 76,22. ( Dinkes
Provinsi Jateng, 2013).

Kasus DBD Kota Semarang pada Tahun 2013 sebanyak 1.364 kasus. Jumlah
tersebut naik 89,11% dari Tahun 2012. Dari grafik di atas terlihat bahwa hamper
seluruh kasus DBD bulanan di atas jumlah kasus DBD Tahun 2012, hanya bulan
Juni, September, Nopember dan Desember jumlah kasus DBD Tahun 2013 yang
dibawah jumlah Tahun 2012, selebihnya jauh lebih tinggi kasus DBD bulanan Tahun
2013. Kejadian kasus DBD tertinggi Tahun 2013 terjadi di Bulan Januari dengan 488
kasus dan kasus terendah terjadi Bulan September 2013. Jumlah kematian per bulan
tertinggi pada Tahun 2013 yaitu 4 orang terjadi di Bulan Februari, April, dan Juli.
Sementara Bulan September dan Oktober tidak terjadi kasus Kematian DBD.
Sedangkan berdasarkan tempat kejadian, Incidence Rate DBD Kecamatan Tembalang
dengan 218,20 per 100.000 penduduk kembali menduduki peringkat IR DBD
Kecamatan Tertinggi Kota Semarang setelah pada Tahun 2012 berada di peringkat
ketiga. Pada urutan kedua Kecamatan Ngaliyan dengan IR 217 dan Kecamatan
Genuk diurutan ketiga dengan IR DBD 195,52.

DBD Kelurahan DBD pada Tahun 2013, Sebanyak 153 kelurahan atau 76,3%
dari 177 kelurahan di Kota Semarang pernah mengalami KLB. Jumlah kejadian KLB
DBD Kelurahan 477 kejadian. Jumlah kejadian KLB terbanyak ada di Bulan Januari
dengan 124 Kejadian dan terendah ada di bulan Agustus dengan 13 Kejadian.

Pola penularan DBD dipengaruhi oleh pola perilaku masyarakat yang tidak
memperhatikan sanitasi lingkungan nya sehingga membuat nyamuk Aedes aegypti
mudah untuk berkembang biak.

DIAGNOSIS SOSIAL

A. Diagnosis sosial
Diagnosis social adalah proses penentuan persepsi masyarakat terhadap
kebutuhannya atau terhadap kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidupnya melalui partisipasi dan penerapan berbagai infomasi
yang didesain sebelumnya. Untuk mengetahui masalah social digunakan indicator
social. Penilaiaan dapat dilakukan atas dasar data sensus ataupun vital statistik yang
ada, maupun dengan melakukan pengumpulan data secara langsung dari masyarakat .
Bila data langsung dikumpulkan dari masyarakat, maka pengumpulan datanya dapat
dilakukan dengan informan kunci, forum yang ada di masyarakat, Focus Groups
Discussion (FGD), survey (Heri, 2007).
Diagnosa sosial adalah proses penentuan persepsi masyarakat terhadap
kebutuhannya atau kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk meingkatkan
kualitas hidupnya melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang
dirancang sebelumnya. Untuk mengetahui masalah social, digunakan indicator social
seperti kemakmuran estetika, prestasi, kejahatan, kepadatan penduduk, kebagiaan
diskriminasi, kegiatan ilegal, sestem pembuangan limbah, pengangguran dan lain-
lain.
Dalam fase ini,program menentukan bagaimana kualitas hidup dari masyarakat
tersebut secara spesifik.,Untuk mengetahui masalah itu maka sering digunakan
indicator sosial dari kesehatan dalam populasi spesifik (contohnya derajat
kemiskinan, rata-rata kriminalitas, ketidakhadiran, atau tingkat pendidikan yang
rendah) yang berefek kepada kesehatan dan kualitas hidup.

Penilaian dapat dilakuakan atas dasar data sensus, vital sitematik yang ada, atau
pengumpulan data secara langsung dari masyarakat,cara mengumpulan data dengan
cara wawancara, forum yang ada di masyarakat, Focus Groups Discussion( FGD),
nominal group process, dan survei.

Menurut H.Ray Elling (1970) ada 2 faktor sosial yang berpengaruh pada
perilaku kesehatan :

1. Self concept
Self concept kita ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang
kita rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan
diri kita kepada orang lain. Apabila orang lain melihat kita positip dan menerima apa
yang kita lakukan, kita akan meneruskan perilaku kita, begitu pula sebaliknya.
2. Image kelompok
Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai
contoh, anak seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-
orang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar
dengan lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk
menjadi dokter.

Tujuan Diagnosa Sosial adalah:


Mengidentifikasi dan mengevaluasi masalah-masalah sosial yang berdampak
pada kualitas hidup dari populasi tertentu.
Diagnosis sosial juga berguna untuk memperoleh pemahaman tentang kualitas
hidup masyarakat, kekuatan mereka, kelemahannya, sumber dayanya, dan
kesiapan mereka untuk berubah.

B. Gambaran Umum Kota Semarang

Luas dan batas wilayah, Kota Semarang dengan luas wilayah 373,70 Km2.
Secara administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177
Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang ada, terdapat 2 Kecamatan yang mempunyai
wilayah terluas yaitu Kecamatan Mijen, dengan luas wilayah 57,55 Km2 dan
Kecamatan Gunungpati, dengan luas wilayah 54,11 Km2. Kedua Kecamatan tersebut
terletak di bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan yang sebagian besar
wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Sedangkan kecamatan
yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan, dengan luas
wilayah 5,93 Km2 diikuti oleh Kecamatan Semarang Tengah, dengan luas wilayah
6,14 Km2 .

Batas wilayah administratif Kota Semarang sebelah barat adalah Kabupaten


Kendal, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten
Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai
mencapai 13,6 kilometer.

Secara Demografi, berdasarkan data statistik Kota Semarang penduduk Kota


Semarang periode tahun 2005-2009 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,4%
per tahun. Pada tahun 2005 adalah 1.419.478 jiwa, sedangkan pada tahun 2009
sebesar 1.506.924 jiwa, yang terdiri dari 748.515 penduduk laki-laki, dan 758.409
penduduk perempuan.

C. Quality Of Life
1. Jenis-jenis Masalah Quality Of Life
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena global yang terjadi di Indonesia, demikian
halnya di Kota Semarang Jawa Tengah. Kemiskinan merupakan keadaan dimana
seseorang tidak mampu hidup layak.
Masalah kemiskinan bukan hanya masalah kesejahteraan kaum miskin namun
masalah latar belakang mengapa mereka miskin. Kemiskinan juga ditandai oleh
tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya
masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan
mengganggu tingkat kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetensi merebut
peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada
pihak yang lemah. Parahnya kemiskinan terjadi akibat budaya yang diwariskan dari
satu generasi ke generasi yang lain. Budaya kemiskinan yang diwariskan antar
generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas,
yaitu menghambat kemajuan.
Berdasarkan pendataan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase jumlah
penduduk miskin Kota Semarang, tahun 2009 adalah 4,84%, tahun 2010 sebanyak
5,12% dan tahun 2011 adalah 5,68%. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh
Kota Semarang tahun 2009, jumlah penduduk miskin tahun 2010 sebesar 26,41%,
sedangkan tahun 2011 menjadi 26,85% dengan jumlah penduduk 1.507.039 jiwa.
Sementara jika dilihat dari jumlah rumah tangga dan jiwa, tahun 2009 jumlah warga
miskin ada 111.558 rumah tangga dengan 398.009 jiwa (dengan jumlah penduduk
1.507.039 jiwa), sedangkan tahun 2011 naik menjadi 128.647 rumah tangga dengan
448.398 jiwa3.
Pengangguran
Indikator yang cukup penting dibidang ketenagakerjaan adalah tingkat
pengangguran, dimana menunjukkan sampai sejauh mana angkatan kerja yang ada
terserap dalam pasar kerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah presetase
penduduk yang mencari pekerjaan terhadap angkatan kerja.Pada tahun 2007 TPT kota
semarang sebesar 11,39%, kemudian pada tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi
11,48%, pada tahun 2009 dan 2010 kembali mengalami kenaikan menjadi sebesar
11,49% dan 14,96%. Mengingat masih tingginya angka pengangguran, maka harus
terus diupayakn penyediaan lapangan pekerjaan. Upaya peningkatan kesempatan
kerja dan perbaikan kualitas tenaga kerja yang berdaya saing mutlak dilakukan, hal
tersebut sangat perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah, masyarakat dan
kalangan dunia usaha melalui pendidikan formal maupun informal.

Grafik tingkat pengangguran di Kota Semarang tahun 2007-2010

Pendidikan
Kondisi kinerja pembangunan bidang pendidikan selama 5 (lima) tahun terakhir
mengalami perubahan fluktuatif, angka partisipasi sekolah pendidikan dasar
mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebesar 86,64% menjadi 89,76% pada tahun
2009, pendidikan menengah meningkat dari tahun 2005 sebesar 66,99% menjadi
78,95 %, angka kelulusan SD/MI selama 5 tahun dapat mencapai sebesar 99,99%,
untuk SMP/MTs mencapai 94,76%, SMA/SMK/MA mencapai 96,47%. Angka
ketersediaan sekolah Pendidikan Dasar dari 4 % pada tahun 2005 menjadi 4,30 %
tahun 2009, ratio guru terhadap jumlah murid dari 1:28 pada tahun 2005 turun
menjadi 1:19 pada tahun 2009, ratio guru terhadap jumlah murid per kelas rata-rata
tahun 2005 sebesar 1:28:45 menjadi 1:16:32 pada tahun 2009.
Secara umum pembangunan pendidikan di Kota Semarang relatif terus
membaik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya persentase penduduk
yang melek huruf. Persentase penduduk dewasa (usia 15 tahun keatas) yang melek
huruf di Kota Semarang mencapai 95,9 persen pada tahun 2007, dan tahun 2008
mencapai 95,9 persen serta meningkat menjadi 96,4 persen pada tahun 2009.

Grafik angka melek huruf Kota Semarang tahun 2007-2009

2. Penetapan Prioritas Masalah


a. Variabel yang digunakan untuk melakukan prioritas masalah
- Variabel 1 : Banyaknya masyarakat yang terkena masalah tersebut
- Variabel 2 : Tingkat keseriusan masalah
- Variabel 3 : Urgency Masalah
b. Tabel prioritas masalah
Problem Variabel yang dipertimbangkan dan nilai Total nilai
Variabel 1 Variabel 2 Variabel 3
Kemiskinan 7 6 8 21
Pengangguran 5 7 6 18
Pendidikan 4 6 4 14

Jadi masalah yang menjadi prioritas utama adalah masalah kemiskinan


DIAGNOSIS EPIDEMIOLOGI

A. Diagnosis Epidemiologi
Diagnosa epidemiologi adalah diagnosis yang menjelaskan tentang faktor
kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang ataupun masyarakat.
(Bhisma Murti ,2003).
Epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi (penyebaran) dan determinan
(faktor penentu) masalah kesehatan untuk development (perencanaan) dari
penanggulangan masalah kesehatan (M.N. Bustan, 2006).
Terdapat 7 peran utama epidemiologi menurut Valanis, yaitu:
1. Investigasi etiologi penyakit
2. Identifikasi faktor penyakit
3. Identifikasi sindrom dan klasifikasi penyakit
4. Melakukan diagnosis banding dan perencaan pengobatan
5. Surveilan status kesehatan penduduk
6. Diagnosis komunitas dan perencanaan pelayanaan kesehatan
7. Evaluasi pelayanan kesehatan dan intervensi kesehatan masyarakat

Diagnosis epidemiologi perilaku adalah menentukan suatu keadaan masyarakat


yg diakibatkan oleh masalah kesehatan & non kesehatan yg berasal dari perilaku
maupun non perilaku. (Notoatmodjo, 2005)

Diagnosa epidemiologi dilakukan untuk mencapai tujuan :

1. Masalah kesehatan yang penting untuk dipecahkan, secara obyektif

2. Faktor perilaku dan lingkungan apa yang mempengaruhi terjadinya


masalah kesehatan tersebut
B. Penyebab Kemiskinan
1. Rendahnya pendapatan
Salah satu penyebab dari kasus kemiskinan adalah rendahnya pendapatan dari
masyarakat Kota Semarang itu sendiri. Hasil sementara Verifikasi dan Identifikasi
Warga Miskin Kota Semarang Tahun 2015 diperoleh data warga miskin Kota
Semarang sebesar 117.933 KK / 379.636 jiwa dengan rincian warga sangat miskin
sebesar 39 KK / 105 jiwa, warga miskin sebesar 17.567 KK / 55.446 jiwa dan warga
hampir miskin sebesar 100.327 KK / 324.085 jiwa. Prosentase warga miskin Kota
Semarang jika dibandingkan dengan warga Kota Semarang per tanggal 30 april 2015
sebanyak 1.764.405 adalah sebesar 21,52%.
Jika dibandingkan dengan data hasil Verifikasi dan Identifikasi Warga Miskin
Kota Semarang Tahun 2013 terdapat kenaikan keluarga miskin sebesar 4.674 KK
atau 5.658 jiwa. Secara keseluruhan ada peningkatan 0,03%, dimana pada pendataan
Tahun 2013 menunjukkan bahwa 21,49 % penduduk Kota Semarang tergolong
miskin dan dari Hasil Sementara Tahun 2015 menunjukkan bahwa 21,52 % penduduk
Kota Semarang tergolong miskin.
Masyarakat miskin perkotaan biasanya identik dengan permukiman kumuh dan
liar, yang biasanya disebabkan karena ketidakmampuan mereka untuk tinggal
ditempat yang lebih layak. Masyarakat secara umum tersebar dibeberapa kecamatan
di kota Semarang. Terdapat sekitar 42 lokasi permukiman kumuh yang ada di Kota
Semarang . Di sebagian wilayah tersebut rata-rata penghasilan masyarakatmiskin
paling rendah Rp.450.000 dan paling tinggi sebesar Rp.750.000 per bulan. Pekerjaan
mereka adalah buruh dan tenaga upahan harian. Dari 42 titik lokasi tersebut secara
administrasi tersebar di 33wilayah Desa/Kelurahan
2. Rendahnya kualitas SDM
Tingginya kemiskinan di suatu daerah disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari indikator angka melek
huruf dan angka harapan hidup, pertumbuhan ekonomi, dan rasio gender.
Jika pendidikan suatu daerah sudah baik berarti mutu sumber daya manusia di
daerah tersebut juga baik. Pendidikan memainkan kunci dalam membentuk
kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk
mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang
berkelanjutan Jadi, orang yang mempunyai kualitas pendidikan tinggi akan mampu
menghasilkan barang dan jasa secara optimal sehingga akan memperoleh pendapatan
yang optimal juga. Apabila pendapatan penduduk tinggi maka seluruh kebutuhan
akan terpenuhi dan jauh dari lingkaran kemiskinan.

3. Penyakit kronis yang diderita (DBD)


Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit,
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir diseluruh pelosok tanah air
Di Indonesia, salah satu kota yang memiliki jumlah kasus DBD yang tinggi
adalah Kota Semarang berdasarkan angka kesakitannya DBD di Kota Semarang
masih menduduki peringkat pertama di Jawa Tengah, berikut ini adalah data jumlah
kasus penyakit DBD di Kota Semarang yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Semarang :

No TAHUN KASUS IR MENINGGAL CFR


(%)

4 2009 3.883 26,21 43 1,10

5 2010 5.556 36,87 47 0,85

6 2011 1.303 7,387 10 0,01

7 2012 1.247 70.73 21 1,68


Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah kasus DBD di Kota Semarang
setiap tahunnya sangat tinggi, berdasarkan data tersebut juga kita dapat melihat
bahwa jumlah penderita yang meninggal setiap tahunnya cukup banyak.

Kesehatan merupakan salah satu syarat peningkatan produktivitas. Orang yang


kondisi kesehatannya buruk tidak akan melakukan pekerjaan dengan efektif. Jika
seseorang tidak efektif dalam bekerja maka produktivitasnya juga rendah. Jika
produktivitasnya rendah berarti penghasilannya juga rendah. Penghasilan seseorang
yang rendah akan membuat orang tersebut kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehingga orang tersebut bisa terjebak dalam kemiskinan.

4. Gizi buruk

Perkembangan keadaan gizi masyarakat dapat dipantau melalui hasil pencatatan


dan pelaporan program perbaikan gizi masyarakat yang tercermin dalam hasil
penimbangan bayi dan balita setiap bulan di posyandu. Menurut laporan puskesmas
pada tahun 2013 di Kota Semarang menunjukkan jumlah Bayi Lahir Hidup sebanyak
26.547 bayi dan jumlah Balita yang ada (S) sebesar 108.570 anak.

Untuk kasus bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada tahun 2013
yaitu sebanyak 288 bayi (1,1%) yang terdiri dari 127 bayi laki-laki dan 161 bayi
perempuan. Sedangkan jumlah Balita yang datang dan ditimbang (D) di posyandu
dari seluruh balita yang ada yaitu sejumlah 86.515 balita (79,7%) dengan rincian
jumlah balita yang naik berat badannya sebanyak 69.080 anak (79,8%) dan Bawah
Garis Merah (BGM) sebanyak 1.502 anak (1,7%). Permasalahan gizi yang masih
tetap ada dan jumlah cenderung bertambah adalah masalah gizi kurang dan gizi
buruk. Kurang gizi sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat yang kurang,
keadaan sosial ekonomi dan kejadian penyakit.
Dari tabel diatas tahun 2013 mengalami penurunan dari tahun lalu yang
berjumlah gizi buruk tersebut juga telah dilakukan intervensi khususnya upaya
perbaikan gizi masyarakat dalam bentuk kegiatan pemberian PMT pemulihan selama
180 hari, perawatan serta pengobatan baik di puskesmas maupun di Rumah Sakit
dengan bantuan dana program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin
(Askeskin)/JAMKESMAS dan APBD II

Pengelompokan faktor Health dan Non Health

Health Non Health


Demam Berdarah Rendahnya pendapatan
Gizi Buruk Rendahnya Kualitas SDM

C. Prioritas Masalah
Variabel yang digunakan untuk memprioritaskan masalah diantaranya:
1. Bagaimana dampak baik terhadap kematian maupun terhadap angka
absentisme, biaya rehabilitasi dan lain-lain
2. Apakan kelompok ibu dan anak-anak mempunyai resiko
3. Apakah ada cara untuk mengatasi masalah tersebut (baik kuratif maupun
preventif)
4. Masalah yang belum pernah disentuh atau terlupakan untuk diintervensi
5. Masalah yang apabila diintervensi dengan tepat akan mempunyai daya ungkit
yang tinggi dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat dan juga untuk
economic saving
6. Adanya dukungan dana ( diprioritaskan oleh daerah setempat)

Tabel prioritas masalah

Problem Variabel yang dipertimbangkan dan nilai Total


Varia- Varia- Varia- Varia- Varia- Varia- nilai
bel (1) bel (2) bel (3) bel (4) bel (5) bel (6)
Rendahnya 4 3 6 5 7 6 31
pendapatan
Rendahnya 2 3 6 5 6 6 28
kualitas SDM
DBD 8 7 8 5 7 7 42
Gizi buruk 6 8 8 5 7 7 41

Jadi yang menjadi prioritas masalah adalah penyakit Demam Berdarah.


DIAGNOSIS PERILAKU

A. Diagnosis Perilaku
Pada fase ini selain diidentifikasikan masalah prilaku yang mempengaruhi
masalah kesehatan juga sekaligus diidentifikasikan masalah lingkungan (fisik dan
social) yang mempengaruhi prilaku dan status kegiatan ataupun kualitas hidup
seorang atau masyarakat. Di sini seorang perencana harus dapat membedakan antara
masalah prilaku yang dapat di control secara individual maupun yang harus di
control melalui institusi. Misalnya pada kasus malnutrisi yang di sebabkan karena
ketidakmampuan untuk membeli bahan makanan maka intervensi pendidikan tidah
akan bermanfaat,jadi health promoter perlu melakukan pendekatan perubahan social
(behavioral change)untuk mengatasi masalah lingkungan.
Untuk mengidentifikan masalah prilaku yang mempengaruhi status kesehatan
seseorang ,digunakan indicator prilaku seperti : pemanfaatan pelayanan kesehatan
(utilization), upaya pencegahan (preventive action), pola konsumsi makanan
(consumption partern), kepatuhan (compliance), upaya pemeliharaan kesehatan
sendiri (self care). Dimensi prilaku yang di gunakan adalah : earliness, quality,
percistence,frequency dan range. Indicator lingkungan yang di gunakan meleputu :
keadaan sosial, ekonomi, fisik dan pelayanan kesehatan, dengan dimensinya yang
terdiri dari : keterjangkauan, kemampuan dan pemerataan.
Langkah yang harus dilakukan dalam diagnosis prilaku dan lingkungan adalah:
a) Memisahkan factor prilaku dan non prilaku penyebab timbulnya masalah
kesehatan
b) Mengidentifikasi prilaku yang dapat mencegah timbulnya masalah
kesehatan dan prilaku yang berhubungan dengan tindakan perawatan/pengobatan,
sedangkan untuk factor lingkungan yang harus di lakukan adalah mengeliminasi
factor non -prilaku yang tidak dapat di ubah, seperti : factor genetis dan demografis
c) Urutkan factor prilaku dan lingkungan berdasarkan besarnya pengaruh
terhadap masalah kesehatan
d) Urutkan factor prilaku dan lingkungan berdasarkan kemungkinan untuk
diubah
e) Tetapkan prilaku dan lingkungan yang menjadi sasaran program. Setelah itu
tetapkan tujuan perubahan prilaku dan lingkungan yang ingin dicapai program

Tujuan diagnosa perilaku dan lingkungan adalah:

Untuk mengidentifikasi siapa atau kelompok mana yang terkena masalah


kesehatan. Melputi : umur, jenis kelamin dan lokasi.
Untuk mengetahui pula bagaimana pengaruh atau akibat dari masalah
kesehatan, meliputi mortalitas, morbiditas, disabilitas, tanda dan gejala yang timbul.
Untuk mengetahui masalah kesehatan, meliputi imunisasi, perawatan atau
pengobatan, modifikasi lingkungan atau perilaku.
Untuk mengetahui, memahami dan menentukan factor-faktor kesehatan yang
berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat.

B. Penyebab DBD
1. Lingkungan kumuh
Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan
yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang
penyakit. Apabila pemukiman kumuh tidak dapat diatasi maka kualitas lingkungan
serta derajat kesehatan masyarakat juga akan terus menurun

2. Tidak membersihkan saluran air


Saluran air yang tidak dibersihkan akan menyebabkan genangan air. Seperti
kita ketahui genangan air ini bisa saja menyebabkan banyak nyamuk yang akan
bersarang dan bertelur di genangan air tersebut sehingga dapat meningkatkan risiko
terkena penyakit Demam berdarah
3. Perilaku buruk ( tidak melaksanakan 3M plus )
Gerakan 3M Plus adalah paradigma baru dalam upaya memberantas wabah
DBD atau Demam Berdarah Dengue. Tidak jauh berbeda dengan gerakan 3M yang
lama, hanya dengan sedikit modifikasi.
Keterlibatan masyarakat dalam pencegahan DBD sangat diperlukan karena
sangat mustahil dapat memutus rantai penularan jika masyarakat tidak terlibat sama
sekali. Peran serta masyarakat ini dapat berwujud pelaksanaan kegiatan 3M Plus
disekitar rumah dan melaksanakan PSN pada lingkungannya. Ketidakberhasilan
pemberantasan DBD secara menyeluruh dapat terjadi dikarenakan tidak semua
masyarakat melakukan upaya pemberantasan vektor penular dan pemberantasan
sarang nyamuk tidak mungkin dapat dilakukan apabila anggota masyarakat dari
perkotaan sampai ke lingkungan pedesaan atau rumah tangga tidak mau
melakukannya
4. Letak geografis
Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor risiko yang berperan dalam
peningkatan, penyebaran, morbiditas serta mortalitas infeksi virus dengue antara lain
adalah faktor lingkungan ekosistem yaitu suhu, hari hujan, pencahayaan matahari,
kelembaban, kecepatan angin, curah hujan.
Hal ini menunjukkan bahwa letak geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit Demam Berdarah di masyarakat. Karena tiap wilayah dengan
letak geografis yang berbeda tentu akan mempunyai karakteristik lingkungan yang
berbeda pula.
5. Tingkat Ekonomi yang rendah
Pertumbuhan ekonomi disamping dapat berdampak peningkatan pendapatan
pada akhirnya juga akan berpengaruh pada pendapatan daerah. Semakin mampu
menggali potensi perekonomian daerah yang ada, akan semakin besar Produk
Domestik Regional Bruto dan Pendapatan Asli Daerah, sehingga mampu
meningkatkan keuangan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah.
Pertumbuhan Ekonomi kota Semarang cenderung mengalami tren yang
menurun. Pada tahun 2007 rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5,98, tertinggi
selama tahun 2007-2010. Pada tahun 2008-2009 mengalami penurunan masing-
masing menjadi sebesar 5,59 dan 5,34. Sedangkan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan menjadi sebesar 5,87.
Tingkat ekonomi yang rendah tentu akan mempengarui tingkat kesehatan
masyarakat, karena dengan pendapatan yang rendah akan mempersulit masyarakat
tersebut dalam memperoleh layanan kesehatan yang baik. Hal ini tentu akan
mempermudah masyarakat terkena penyakit termasuk penyakit DBD
6. Membuang sampah tidak pada tempatnya
Faktor perilaku masyarakat dalam mengelola sampah permukiman merupakan
pondasi awal dalam pengelolaan sampah permukiman yang dapat memberikan
dampak yang cukup signifikan. Perilaku positif dalam memanajemen sampah
semenjak dari sumbernya akan mempermudah dalam tata kelola persampahan
permukiman yang akhirnya memberikan dampak kepada kualitas kebersihan
lingkungan permukiman khususnya dan perkotaan pada umumnya.
Kegiatan pemilahan sampah merupakan bagian yang sangat penting dalam
upaya mengurangi timbunan sampah yang akan dibawa ke TPA. Kegiatan pemilahan
ini dilakukan dengan memasukkan sampah ke dalam 3 wadah/tempat berdasarkan
jenisnya. Sampah-sampah organik, seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dan
daun-daunan. Sampah jenis ini dapat dimanfaatkan untuk diolah menjdai
kompos.Sampah-sampah anorganik yang bermanfaat, seperti kertas bekas, plastik,
gelas/kaca. Sampah keras dapat dimanfaatkan kembali menjadi kertas daur dan
memiliki nilai ekonomis. Sampah plastik dapat digunakan kembali atau dapat dijual.
Sampah gelas/kaca dapat dimanfaatkan kembali atau dijual. Sampah-sampah
anorganik yang tidak bermanfaat, seperti logam kecil, puntung rokok. Sampah ini
ditampung, dikumpulkan untuk kemudian diangkut oleh petugas kebersihan.
No Faktor perilaku Faktor non perilaku
1 Tidak melaksanakan 3 M plus Letak geografis
2 Lingkungan kumuh Tingkat ekonomi yang rendah
3 Tidak membersihkan saluran air
4 Membuang sampah tidak pada
tempatnaya

Importance
+ -

Change ability + Perilaku 3 M Plus Perilaku membuang


sampah
Perilaku tidak -
- membersihkan saluran air

Jadi yang menjadi prioritas utama yaitu perilaku 3 M plus

C. Objective Goal
1. Who : Individu yang diharapkan berubah perilakunya. Adalah masyarakat di
Kota Semarang.
2. What : Perubahan perilaku yang diharapkan atau yang akan dicapai, yaitu dari
yang tidak melaksanakan 3M Plus menjadi melaksanakan 3M Plus.
3. When : Kapan perubahan perilaku itu dapat terjadi atau diharapkan tercapai
saat 6 bulan setelah penyuluhan.
4. Where : Kelompok individu yang diharapkan berubah perilakunya berada di
daerah Kota Semarang.
5. How Much : Berapa banyak kelompok individu dapat berubah yaitu 80% dari
seluruh masyarakat Kota Semarang.
DIAGNOSIS PENDIDIKAN

A. Diagnosis Pendidikan
Determinan perilaku yang mempengaruhi status kesehatan seseorang atau
masyarakat dapat dilihat dari factor :
a) faktor predisposisi (predisposing factor) seperti pengetahuan, sikap
persepsi, kepercayaan dan nilai atau norma yang diyakini seseorang
b) faktor pemungkin (enabling factor), yaitu factor lingkungan yang
memfasilitasi perilaku seseorang
c) faktor penguat (reinforcing facto), seperti prilaku orang lain yang
berpengaruh (tokoh masyarakat, guru, petugas kesehatan, orang tua, pemegang
keputusan) yang dapat mendorong untuk berprilaku.

Pada fase ini setelah didentifikasi factor pendidikan dan organisasional, maka
langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
berdasarkan factor predisposisi yang telah didentifikasi. Selain itu berdasarkan factor
pemungkin dan penguat yang telah didentifikasi ditetapkan tujuan organisasional
yang akan dicapai melalui upaya pengembangan organisasi dan sumber daya.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku


1. Faktor Predisposing
Faktor predisposing adalah faktor yang mempermudah dalam penerapan
perilaku 3 M plus. Faktor predisposing merupakan faktor yang bersal dari dalam diri
masyarakat itu sendiri. Faktor predisposing diantaranya:
a. Pengetahuan
Yang dimaksud pengetahuan disini adlah pengetahuan masyarakat Kota
Semarang tentang Perilaku 3 M Plus.
b. Sikap
Sikap yang dimaksud disini adalah sikap masyarakat terhadap perilaku 3 M
Plus. Apakah mereka mempunyai sikap yang baik serta menyetujui tentang penerapan
perilaku 3 M plus atau justru bersikap negatif dan menolak perilaku 3 M plus
2. Faktor Enabling
faktor sarana dan prasarana yang memudahkan dalam penerapan perilaku 3 M
plus
a. Ketersedian pelayanan kesehatan
Apakah dilingkungan masyarakat sasaran tersedia pelayan kesehatan yang
memadai?
b. Adanya promosi kesehatan
Promosi kesehatan berpengaruh terhadap penyebarluasan informasi tentang
grekan 3 M plus itu sendiri. Dengan adanya promosi kesehatan maka akan
mempermudah masyarakat dalam menerapkan perilaku 3 M plus.
3. Faktor Reinforsing
Faktor reinforcing merupakan faktor penguat untuk terjadinya perilaku 3 M
plus. Faktor reinforcing dapat datang dari dukungangan:
a. Keluarga
b. Tetangga
c. Petugas kesehatan

C. Penentuan Prioritas
1. Faktor Predisposing
Importance
+ -

Change ability Pengetahuan tentang -


+ perilaku 3 M Plus
Sikap tentang perilaku 3 -
- M plus
2. Faktor Enabling
Importance
+ -

Change ability Promosi kesehatan -

Pelayan kesehatan -

3. Faktor Reinforcing

Importance
+ -

Change ability + Keluarga Petugas kesehatan

Tetangga -
-

4. Prioritas Keseluruhan
Importance
+ -

Change ability + Pengetahuan tentang 3 M Keluarga


plus
Promosi kesehatan -
- tentang 3 M plus

Jadi yang menjadi prioritas adalah Pengetahuan tentang 3 M Plus


D. Objective goal
1. Who : Individu yang diharapkan berubah perilakunya. Adalah masyarakat di
Kota Semarang.
2. What : Perubahan perilaku yang diharapkan atau yang akan dicapai, yaitu dari
yang tidak melaksanakan 3M Plus menjadi melaksanakan 3M Plus.
3. When : Kapan perubahan perilaku itu dapat terjadi atau diharapkan tercapai
saat 3 bulan setelah penyuluhan.
4. Where : Kelompok individu yang diharapkan berubah perilakunya itu berada
di daerah Kota Semarang.
5. How Much : Berapa banyak kelompok individu dapat berubah yaitu 80% dari
seluruh masyarakat Kota Semarang.
DIAGNOSIS STRATEGI PENDIDIKAN

A. Diagnosis Strategi Pendidikan


Pada fase ini hal yang harus dilakukan adalah memilih metode yang nantinya
akan digunakan. Pertimbangan pemilihan metode diantaranya:
1. Sesuaikan tujuan pendidikan
2. Sesuaikan kemampuan pengajar dan pihak yang belajar
3. Tergantung besarnya kelompok sasaran
4. Sesuaikan waktu dan fasilitas yang ada
Disamping itu juga perlu dipertimbangkan
Masing-masing keunggulan dan kelemahan dari tiap-tiap metode.
Hendaknya kita memilih minimun 3 metode yang sesuai dan diantaranya
perlu adanya penggunaan media audiovisual.
Hendaknya dimulai dengan mengguanakan metode yang sederhana dan
murahseperti tanya jawab dan ceramah.
Makin lama waktu dan jumlah sesion yang diperlukan dan komplek
penyebab perilaku makin banyak variasi metode yang digunakan.
Hendaknya metode juga memperhatikan pengaruh pada fktor predisposing,
enabling, dan reinforcing.
B. Metode yang Akan Digunakan
Metode yang akan digunakan adalah metode Ceramah. Metode Ceramah,
adalah suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau
pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi
tentang kesehatan.
Situasi tepat untuk penggunaan Metode Ceramah:
1. Penyampaian fakta atau pendapat yang tidak/belum memiliki referensi yang
memadai
2. Sasaran pembelajaran yang cukup besar.
3. Bila pendidik/guru memiliki keterampilan berbicara yang atraktif yang dapat
membangkitkan motivasi peserta didik
4. Penyimpulan pokok-pokok bahan ajar
5. Pengenalan bahan ajaran baru

Kelebihan ceramah:
1. Pendidik/guru menguasai arah pembahasan / pembicaraan secara terfokus
dan terhindar dari penyimpangan.
2. Organisasi kelas sederhana
Kelemahan metode ceramah
1. Memungkinkan guru tidak mengatahui pemahaman peserta didik
2. Memungkinkan peserta didik mengalami salah faham/ salah pengertian/
salah tafsir terhadap isi pembicaraan
DIAGNOSIS ADMINISTRATIF
A. Diagnosa Administratif
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan sumber daya dan peraturan yang
berlaku yang dapat memfasilitasi atau menghambat pengembangan program promosi
kesehatan.
kebijakan adalah seperangkat pengaturan yang digunakan sebagai petunjuk
untuk melaksanakan suatu kegiatan.
peraturanadalah penerapan kebijakan dan penguatan hukum serta perundang-
undangan
organisasionaladalah kegiatan memimpin atau meng koordinasi sumber daya
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program
Pada dignoisis atministratif dilakukan tiga penelitian yaitu: sumberdaya yang
dibutuhkan untuk melaksanakan program, sumber daya yang ada di organisasi dan
masyarakat , serta hambatan pelaksanaan program.sedangkan pada diagnosis
kebijakan dilakukan identifikasi dukungan dan hambatan politis, peraturan dan
organisasional yang memfasilitasi program dan pengembangan lingkungan yang
dapat mendukung kegiatan masyarakat yang kondusif bagi kesehatan.
Pada fase ini kita melangkah dari perencanaan dengan PRE-CEDE ke
implementasi dan evaluasi dengan PROCEED. PRE-CEDE digunakan untuk
menyakinkan bahwa program akan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan individu
atau masyarakat sasaran. PROCEED untuk menyakinkan bahwa program akan
tersedia dapat dijangkau, dapat di terima dan dapat di pertanggungjawabkan. Oleh
sebab itu, penilaian sumberdaya yang dibutuhkan dapat meyakinkan keberadaan
program, perubahan organisasional dibutuhkan untuk program dapat di jangkau,
perubahan olitis dan peraturan dibutuhkan untuk meyakinkan program dapat di terima
oleh masyarakat dan evaluasi dibutuhkan untuk meyakinkan proram dapat di
pertanggungjawabkan pada penentu kebijakan, administrator, konsumen/klien, dan
stake holder terkait,yaitu untuk menilai apakah program sesuai dengan standar yang
teelah di tetapkan.
B. Tahapan Diagnosis Administratif
Dalam diagnosa administratif ada 3 tahapan yang perlu dilakukan yaitu:
1. Within Progaram Analysis
Program yang akan dilaksanakan adalah program penyuluhan bagi Kader di
kelurahan yang ada di Kota Semarang. Program akan dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kota Semarang Bagian Promosi Kesehatan
2. Within Organizational Analysis
Dalam pelaksanaan program ini bagian promosi kesehatan Dinas Kesehatan
Kota Semarang akan bekerja sama dengan Bagian Pemberantasan Penyakit Menular
dan Non Menular
3. Inter Organizational Analysis
Unuk memperlancar berjalannya program maka Dinas Kesehatan Kota
Semarang akan bekerja sama dengan LSM yang peduli terhadap pemberantasan DBD
di Kota Semarang.

C. Alokasi Waktu Menurut Alur PERT


2 bulan pertama 2 bulan kedua 2 bulan terakhir
Pembentukan Penyusunan konsep Pelaksanaan
panitia acara penyuluhan dan
Penentuan target Survei lokasi dan evaluasi
sasaran persiapan acara
Pemilihan materi Menghubungi
Penentuan waktu target sasaran
dan tempat
pelaksanaan
D. Evaluasi

- Kendala apa saja yang dihadapai selama proses persiapan sebelum


dilaksanakannya semua program?
- Bagaimana aktivitas selama proses ceramah dan penyuluhan ?
- Bagaimana interaksi antara pemateri dengan sasaran?
- Apakah metode yang digunakan dalam menyampaikan materi sudah tepat?
- Bagaimana kelangsungan dari seluruh program kegiatan yang telah
dilakaksanakan?
Evaluasi proses dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi bersama. Setiap
panitia dan semua pihak yang berlibat memberikan pendapatnya untuk
mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan. Dapat juga dilakukan dengan
wawancara kepada sasaran, dan menanyakan mengenai kritik serta saran dari
kegiatan yang dilakukan.

1. Evaluasi Impact (Dampak)


- Bagaimana respon sasaran sebelum, saat, dan setelah mendapatakan materi
mengenai DBD? (dengan melakukan obervasi kepada sasaran selama kegiatan
berlangsung, dan dilakukan wawancara).
- Sejauh mana tingkat pemahaman sasaran setelah diberikan materi? (bisa
diketahui dengan memberikan pre and post test).

2. Evaluasi Out Come


- Apakah setelah dengan diadakannya program peningkatan pengetahuan kader
mengenai 3M Plus DBD berdampak pada penurunan angka kesakitan DBD di
kota Semarang ? (evaluasi dilakukan dengan membandingkan data).
.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Data umum Kota Semarang Tahun 2007-2010

Afriza, Tuti dan Nasriati.2012.Pengaruh Perilaku Masyarakat Dalam 3M Plus


Terhadap Resiko Kejadian Demam Berdarah Di Wilayah Kerja Puskesmas
Labuhanhaji Timur Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2012. S-1 Kesehatan
Masyarakat Stikes UBudiyah Banda Aceh

Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Dinas Kesehatan. 2014. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2013.

Fitri, Reni Mustika. 2013. Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Rasio Gender Terhadap Tingkat kemiskinan di Provinsi
Sumatera Barat. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 1 No. 2

Junghans Sitorus. 2003. Hubungan Iklim dengan Kasus Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 1998 2002.Skripsi:
Universitas Indonesia.

Maulana, Heri.D.J. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC

Murti, Bhisma. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: UGM
Press.

Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ridhlo, Muhammad Agung. 2002.Karakteristik Kemiskinan Perkotaan pada


Permukiman Kumuh dan Liar Kota Semarang. Tesis, Program Studi Magister
Teknik Pembangunan Kota, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang
Sumber lain:

http://simgakin.semarangkota.go.id/2015/website diakses pada 10 Juni 2015

http://semarangkota.bps.go.id diakses pada 10 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai