Anda di halaman 1dari 67

BAB 1.

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. KONSTRUKSI

Yang dimaksudkan konstruksi pada umumnya berujud suatu bangunan untuk suatu kebutuhan
tertentu, misalnya :

1. rumah, untuk tempat tinggal.


2. jembatan, untuk melintasi sungai/kelancaran lalu lintas ataupun transportasi.
3. bendung, untuk meninggikan elevasi muka air di sungai ataupun di saluran.
4. bangunan terjun, untuk menurunkan elevasi muka air dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah.

Selain di atas masih banyak lagi nama ataupun istilah yang dipergunakan yang disesuaikan
dengan keperluan dan peruntukannya.

1.2. PRA RENCANA, RENCANA DAN DETAIL DESIGN

Untuk dapat mewujudkan konstruksi seperti yang diharapkan (sesuai dengan kebutuhannya)
biasanya terlebih dahulu disiapkan rancangan (pra rencana dan rencana) yang selanjutnya
diikuti dengan penyiapan detailed design.

Dalam proses penyusunan rancangan/pra rencana, rencana dan detail design (terlebih-lebih
pada rencana pembangunan jaringan irigasi), sangat tergantung pada hasil-hasil penelitian di
lapangan yang antara lain menyangkut penelitian :
topografi
geologi teknik
hidrologi dan meteorologi
bahan-bahan untuk konstruksi, dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian diatas akan dapat ditentukan konstruksi yang akan dipilih dan
sangat menguntungkan, dilihat dari segi kekuatan konstruksi maupun dari segi
pembangunannya.

Disamping hal tersebut diatas, biasanya dijumpai berbagai faktor yang perlu diperhitungkan,
dimana diantaranya faktor sosial masyarakat (misalnya adanya tuntutan ganti rugi
tanah/perawatan yang terlalu tinggi dan lain sebagainya).

Walaupun detail design telah ada, namun perlu pula dipersiapkan metoda pelaksanaannya
(Construction Method), sehingga konstruksi tersebut benar-benar dapat berfungsi
sebagaimana mestinya untuk jangka waktu tertentu yang biasa disebut "umur konstruksi".

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor dari kondisi tersebut diatas akan dapat ditentukan
metoda pelaksanaan pembangunan (Construction Method) yang paling efektif.

1
BAB 2. PELAKSANAAN KONSTRUKSI

2.1. URUTAN PELAKSANAAN KONSTRUKSI

2.1.1. PENGUKURAN UNTUK PELAKSANAAN DAN PENGECEKAN


LAPANGAN

Berpedoman kepada design/gambar konstruksi yang tersedia, maka sebelum dimulainya suatu
pelaksanaan konstruksi perlu segera dilakukan pengecekan lokasi bangunan/konstruksi yang
akan dilaksanakan, antara lain memeriksa elevasi rencana bangunan dengan berpatokan
kepada titik tetap (bench-mark) yang berada dekat dengan lokasi konstruksi yang akan
dilaksanakan.

Elevasi titik pada bench-mark dapat ditarik untuk menetapkan elevasi pada bouw-plank, yang
kemudian dapat dipakai untuk menentukan elevasi bagian-bagian konstruksi yang
dilaksanakan.

Mengingat bahwa ketelitian pelaksanaan ini sangat menentukan hasil pelaksanaan konstruksi,
maka harus dilakukan dengan baik dan benar (bila perlu dilakukan secara berulang).

Pengukuran dimaksud juga sangat diperlukan dalam menentukan derajat dan arah as bendung
dan saluran-saluran, sehingga benar-benar sesuai dengan yang direncanakan (peralatan yang
diperlukan diantaranya, theodolit, waterpas, metroll dan sebagainya).

Pengecekan lokasi rencana konstruksi dapat berguna sekali untuk menentukan bangunan-
bangunan pelengkap yang perlu dilaksanakan terlebih dahulu guna menunjang lancarnya
pelaksanaan konstruksi, antara lain :

jalan masuk untuk transportasi tenaga dan bahan.


barak bagi para pekerja/base-camp, pool kendaraan dan lain-lain.
bahan-bahan yang dapat diperoleh dekat dengan lokasi pelaksanaan konstruksi dan
memenuhi syarat (borrow-area ataupun borrow-pits).
pembuatan cofferdam (bila diperlukan).
pemilihan peralatan kerja yang diperlukan dengan efisien tinggi, yang typenya
cocok/sesuai dengan kondisi lapangan setempat.
kemungkinan diperlukannya saluran pengelak ataupun pengalihan saluran alam
yang ada di sekitar lokasi konstruksi yang akan dilaksanakan.
periode penggalian tanah untuk pondasi serta untuk pembuatan saluran dengan
tanah timbunan hendaknya diilaksanakan secara berurutan, agar tidak terjadi
saling mengganggu atau menghambat antara kepentingan yang satu dengan yang
lainnya.

2
2.1.2. PENYUSUNAN JADWAL PELAKSANAAN KONSTRUKSI

Program dan jadwal pelaksanaannyadisusunberdasarkan jenis dan kapasitas pekerjaan dengan


karakteristik bagian-bagian pekerjaan yang dikaitkan adanya pertimbangan-pertimbangan
setelah melihat keadaan dan kondisi lapangan pelaksanaannya.

Pertimbangan tersebut terutama yang menyangkut beberapa faktor antara lain sebagai berikut:
Faktor topografi
Pada umumnya keadaan lapangan dengan topografi cukup datar, umumnya
tidak berpengaruh besar terhadap trasportasi bahan-bahan yang diperlukan
serta keleluasan bergeraknya peralatan yang dipergunakan.

Faktor geologi
Kondisi geologi akan sangat berpengaruh pada proses pelaksanaan pekerjaan
konstruksi bendung dan komponen pelengkap lainnya, khususnya dalam
pekerjaan galian untuk pondasi dan sebagainya.
Faktor meteorologi
Untuk pelaksanaan pekerjaan di udara terbuka, faktor meterologi akan dapat
sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan.
Hal-hal yang menyangkut intensitas, banyaknya waktu hujan dan durasinya,
suhu udara, radiasi sinar matahari, kelembaban kabut dan sebagainya,
disamping sangat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan juga sangat
berpengaruh terhadap mutu/kualitas pekerjaan.

Faktor hidrologi
Bila pelaksanaan pekerjaan berada pada jalur sungai, maka karakteristik debit
sungai/debit banjir akan dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan.

Faktor karakteristik bahan timbunan


Pada pekerjaan yang memerlukan bahan timbunan, dapat pula berpengaruh
pada kelancaran pelaksanaan dalam hal gradasi, kadar air, berat isi, kekuatan
geser, permeabilitas, tingkat kompresi dan lain-lain dari bahan timbunan
tersebut.

Faktor lain-lain
Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan pekerjaan
adalah faktor sosial, misalnya adanya tuntutan masyarakat setempat tentang
perlindungan kelestarian alam sekitarnya ataupun adanya tuntutan untuk
mempertahankan suasana harmonis dalam periode pelaksanaan dan lain-lain.
Disamping hal tersebut perlu diperhatikan dalam memperoleh/mempergunakan
jasa tenaga kerja setempat.

Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diatas, maka penyusunan program dan shedule
haruslah secara realitas dan disesuaikan dengan jumlah jenis peralatan serta tenaga kerja yang
tersedia dengan jumlah hari kerja yang optimal, sehingga dengan demikian akan dicapai
pembiayaan yang optimal pula.

Untuk mendapatkan waktu pelaksanaan konstruksi yang dapat dipertanggungjawabkan dan


lebih meyakinkan, maka kapasitas progres pelaksanaan rata-rata perhari agar diturunkan
sebesar 20%. Hal ini terutama disebabkan oleh belum tercapainya kapasitas tenaga secara
3
penuh pada awal pelaksanaan ataupun pengurangan pada saat-saat akhir penyelesaian
pekerjaan.

2.1.3. PEKERJAAN PERSIAPAN

Sebelum pelaksanaan pekerjaan konstruksi, selalu didahului oleh pelaksanaan pekerjaan


persiapan yang dapat berupa kegiatan administrasi :

izin dimulainya pekerjaan konstruksi.


pemberitahuan tentang segera dimulainya pelaksanaan pekerjaan konsttruksi.
pembebasan tanah/perwatasan.

disamping itu, pekerjaan persiapan yang bersifat fisik seperti :

pengukuran untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi.


pembersihan lapangan.
pembuatan jalan masuk.
pembuatan barak kerja/base-camp.
dan lain-lain.

Mengingat bahwa lokasi pekerjaan konstruksi tidak seberapa jauh dari kampung/desa
disekitaranya, maka pembuatan barak kerja/base camp dapat diganti dengan penyewaan
rumah penduduk, sehingga dapat menghemat waktu pelaksanaan pekerjaan persiapan untuk
dimanfaatkan sebagai waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

Untuk pembuatan jalan masuk ke lokasi pekerjaan konstruksi sebaiknya menggunakan jalan
yang sudah ada dan bilamana perlu ditingkatkan kondisinya, sehingga dapat membantu
kelancaran transportasi baik bagi pelaksanaan pekerjaan konstruksi maupun bagi mobilitas
masyarakat khususnya dalam mengangkut hasil-hasil pertanian dan lain sebagainya. Yang
perlu diperhatikan pula adanya tempat-tempat pembuangan hasil excavasi (pembersihan
lapangan kerja), cara pengangkutannya, jaraknya dari daerah kerja, apakah hasil pembuangan
tersebut dapat mengganggu aktifitas masyarakat dan lain sebagainya.

2.1.4. SPESIFIKASI KHUSUS

Bilamana diperlukan dan ditentukan bahwa spesifikasi khusus untuk pekerjaan-pekerjaan


antara lain :

1. Cara pelaksanaan pembersihan lapangan (excavation).


Perlu ditegaskan kedalaman permukaan tanah yang harus dikupas. Biasanya untuk permukaan
tanah yang tertutup rumput-rumputan atau ilalang, kedalaman kupasan antara 10 - 15 cm,
sedangkan untuk semak belukar antara 20 - 25 cm (untuk menghilangkan akar-akar belukar
tersebut).

2. Pekerjaan timbunan.
Setelah pembersihan lapangan dilakukan, penimbunan tanah baru dapat dilakukan.
Apabila keadaan tanah terlalu kering, perlu kiranya disiram dengan air terlebih dahulu (tetapi
harus dijaga jangan sampai terlalu basah).

4
Tanah timbunan harus bersih dari tumbuh-tumbuhan ataupun akar-akar dan dalam keadaan
gembur (tidak bergumpal-gumpal, atau bila ada gumpalan haruslah dihancurkan terlebih
dahulu).

Timbunan harus dihampar selapis demi selapis dengan tebal :


0,15 - 0,20 m , bila pemadatan dilakukan dengan menggunakan alat berat (Sheepfoot roller,
tandem roller, vibro roller dan sejenisnya).
0,07 - 0,10 m , bila dilaksanakan secara manual dengan tenaga manusia dengan alat
penimbris/compactors.

Bila keadaan tanah kering perlu setiap lapis terlebih dahulu disiram air hingga basah, barulah
diatasnya ditimbunkan tanah timbunan selanjutnya dan digilas/dipadatkan.
Prosedur ini berlaku juga pada pengisian kembali bekas galian.

Pada pekerjaan saluran dengan timbunan, maka timbunan dilakukan tidak langsung sesuai
dengan profil saluran tetapi ditimbun untuk seluruh "profil luar" saluran. Setelah padat dan
mencapai elevasi yang diperlukan, barulah digali dan dibentuk sesuai dengan profil/dimensi
saluran.

3. Galian tanah untuk pondasi.


Pada pekerjaan galian tanah untuk pondasi, bilamana untuk menjumpai jenis tanah yang daya
dukungnya sangat rendah haruslah dibuang dan diganti dengan jenis tanah yang baik yang
memenuhi syarat, namun bila lapisan tanah jenis tersebut sangat dalam dan dapat
membahayakan konstruksi, sebaiknya dilakukan perbaikan tanah tersebut dengan grouting
(dicampur semen), walaupun akan banyak menelan biaya.

4. Pemilihan bahan bangunan.


Dengan memperhatikan faktor ekonomis, maka selalu dicari bahan bangunan yang memenuhi
syarat-syarat konstruksi, yang mudah didapat disekitar lokasi bangunan/konstruksi. Hal ini
akan sangat menguntungkan dari segi biaya dan waktu pelaksanaan karena transportasi yang
dekat.

Walaupun demikian masih perlu diteliti lagi cara-cara pengambilan yang paling efisien dan
jenis alat angkutan yang efektif. Untuk memperoleh gambaran yang selengkap-lengkapnya
mengenai bahan-bahan yang terdapat disekitar lokasi konstruksi yang akan dilaksanakan,
maka harus dilakukan pengamatan secara visual baik dari penelitian geologi serta sumur
uji/test-pit, hand-auger dan lain-lain.

Selanjutnya terhadap bahan-bahan yang diperkirakan akan dipilih dan dapat dipergunakan
untuk pelaksanaan, perlu diteliti lagi mengenai luas daerah penyebarannya dan volume
karakteristik teknisnya dan lain-lain.

Dalam pelaksanaan penelitian tersebut dapat pula langsung dipertimbangkan tentang


kemudahan/cara transportasinya, biaya pembebasannya ataupun hambatan-hambatan yang
mungkin ada seperti keadaan topografi serta meteorologinya dan lain-lain.

Khusus untuk bahan tanah timbunan perlu tetap diperhatikan mengenai syarat teknisnya,
terutama mengenai hal-hal sebagai berikut (lihat hasil laboratorium) :
kepadatan dan kekuatan gesernya.
permeabilitasnya.
5
angka konsolidasinya kecil.
mudah pengerjaannya (penggalian, pengolahan, pengangkutan, penimbunan maupun
pemadatannya).
Tanah yang berbutir kasar yang bercampur secara homogen dengan butir-butiran yang
halus merupakan bahan yang baik. Karena butir-butiran yang halus akan mengisi celah
diantara butiran yang kasar, sehingga koefisien filtrasinya rendah dan lebih kedap air.

Selain metode penelitian pengambilan contoh bahan dengan cara hand-auger ataupun test-pit,
dapat pula digunakan metode lain, diantaranya mengambil contoh pada bekas penggalian pada
pembangunan yang lain (jalan dan lain-lain) ataupun pada tempat terjadinya longsoran, tebing
sungai serta tempat-tempat penampakan lainnya yang dijumpai di lokasi survey.
Untuk bahan-bahan lainnya seperti pasir, kerikil dan batu perlu diperhatikan syarat-syarat
sebagai berikut :
gradasinya sesuai dengan fungsinya yang dibutuhkan.
memiliki kekerasan dan kekuatan geser yang tinggi.
tidak mengandung/tercampur zat organis dan mineral yang mudah larut.
memiliki kestabilan struktur yang cukup tinggi terhadap pengaruh udara maupun zat
kimiawi lain.

Bilamana diperlukan untuk bahan tersebut diatas dilakukan pengujian khusus sesuai dengan
tujuan penggunaannya.

5. Pekerjaan pasangan batu dan beton.


Bilamana alas pondasi telah dipersiapkan, maka untuk pekerjaan pondasi ataupun bagian
konstruksi lainnya dengan pasangan batu ataupun beton, dapat mulai dilaksanakan.
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa sebelum dilaksanakannya pekerjaan pasangan batu
ataupun konstruksi beton, hendaknya selalu diperiksa kedudukan profil untuk pasangan
tersebut apakah telah duduk/berada pada tempat yang benar sesuai rencana, demikian pula
mengenai ukuran dari bagian-bagian konstruksi.

Pada pekerjaan beton yang memerlukan cetakan, maka rangkaian konstruksi daripada
bekisting harus kuat dan kokoh untuk menanggung beban campuran beton yang masih basah,
berat para pekerja serta peralatan-peralatan lainnya.

Disamping hal tersebut, bahan-bahan yang akan dipergunakan, walaupun telah melalui
pengujian dan memenuhi syarat harus tetap dijaga kebersihannya, dan bilamana perlu
dilakukan pencucian terlebih dahulu.

Perbandingan campuran bahan maupun ukuran bahan harus memenuhi persyaratan, demikian
pula cara pengecoran dan lain-lain hendaknya mengikuti prosedur/tata cara sebagaimana
diatur dalam Buku SNI

6. Pekerjaan besi.
Pada pekerjaan besi, baik untuk penulangan beton ataupun untuk konstruksi besi/baja serta
pintu-pintu hendaknya dipakai jenis besi/baja yang memenuhi persyaratan teknis yang
diperlukan baik mengenai ukuran, mutu maupun cara penyambungannya. Hal ini harus jelas
dicantumkan dalam gambar konstruksi maupun specifikasi teknisnya.

Untuk jenis-jenis konstruksi besi/baja yang sudah jadi (misalnya pintu-pintu bangunan sadap
dan lain-lain), yang dibuat secara pre-fabricated hendaknya dipelajari/diteliti manual
6
montagenya (cara pamasangannya). Kecuali besi untuk penulangan beton, sebaiknya sebelum
konstruksi besi/baja dipasang pada tempatnya terlebih dahulu dilakukan pengecatan dengan
cat tahan karat.

7. Lain - lain.
Biasanya untuk pelaksanaan pekerjaan/konstruksi, diperlukan alat-alat bantu. Agar alat-alat
bantu tersebut tidak mengganggu pelaksanaan pekerjaan yang lain, sebaiknya setelah tidak
diperlukan, segera dibongkar dan disingkirkan dari lokasi pekerjaan.

2.2. PELAKSANAAN PEMBUATAN BENDUNG & JARINGAN SALURAN

Untuk pembuatan jaringan ini dapatlah dibagi pelaksanaan pembuatan bendung dan jaringan
sebagai berikut :
Pelaksanaan Aquaduct
Jaringan Pembawa (Suplesi)

2.2.1. PELAKSANAAN AQUADUCT

1. Siapkan bahan-bahan yang akan diperlukan secara keseluruhan misal besi, semen, pasir,
koral, ruberwaterstop, sheet pile, pompa air dsb.
2. Pelaksanaan bendung, akan dilaksanakan perbagian dengan cara membagi dua
penampang sungai yang mana pada sisi pertama dapat dikerjakan dengan memasang
sheet pile, goni isi tanah dan timbunan tanah secara berjajar sehingga penampang sungai
terbagi dua dan yang satu dapat melewatkan debit sungai sedangkan yang sisi lain dapat
dikerjakan. Tinggi aquaduct direncanakan dapat mengalirkan debit banjir rencana 5
tahunan (Q5). Untuk mengatasi rembesan air yang muncul diantara sheet pile maka
daerah yang sedang dikonstruksi akan dipompa 24 jam sehingga pelaksanaan konstruksi
dapat terbebas dari genangan air.
3. Setelah pekerjaan penggalian sudah selesai maka dapat dimulai pekerjaan pasangan batu
kali pada pondasi, pembuatan lantai kerja pada retaining wall, penulangan dan
pemasangan begisting, namun jangan lupa memasang ruber water stop pada sisi yang
mana nanti pekerjaan ini akan dilanjutkan.
4. Setelah pekerjaan pengecoran pada lantai dan pondasi sudah selesai maka dapat dimulai
pekerjaan pembuatan begisting untuk dinding serta pembesiannya.
5. Selanjutnya pemasangan ruber water stop (antara dinding dan tubuh bendung) sebelum
mengecor konstruksi bagian dinding dan pasangan batu kali pada tubuh bendung.
6. Setelah itu untuk menunggu keringnya beton selama 28 hari, maka dapat dilakukan
pekerjaan bangunan pelengkap dari bendung tersebut pada sisi mana dikerjakan misal
pembuatan intake, kantong lumpur, saluran pembilas dan lainnya.
7. Setelah semua proses waktu perkerasan beton sudah terlampaui maka dapat dilakukan
perapian dan pemindahan aliran ke sisi lain sehingga langkah proses 1 s/d 6 dapat
dilakukan kembali guna pengerjaan sisi ini.

7
2.2.2. JARINGAN PEMBAWA (SUPLESI)

Jaringan ini merupakan sarana untuk membawa dan mengalirkan air irigasi sampai ke saluran
sekunder Kerasaan, baik berupa saluran maupun bangunannya. Jaringan pembawa ini dimulai
dari bangunan pengambilan pada bangunan bendung sampai ke saluran sekunder Kerasaan,
terdiri :

saluran pembawa
bangunan bagi/sadap ------> bangunan pengatur
gorong-gorong pembawa
bangunan pelengkap, dapat berupa :
jembatan
jalan inspeksi, dan lain-lain.

Pembangunan jaringan pembawa tersebut biasanya juga terpengaruh beberapa faktor,


terutama mengenai faktor topografi. Bila rencana saluran terpaksa harus melewati lereng
perbukitan yang curam, tentunya akan sangat sulit pelaksanaannya ataupun harus dilengkapi
dengan bangunan pelengkap/pengamannya terhadap aliran air permukaan, baik yang berasal
dari air hujan maupun dari aliran air tanah dan lain-lain yang dapat pula mengakibatkan
pengikisan/erosi permukaan, bahkan juga dapat mengakibatkan terjadinya longsoran.
Untuk mengatasinya antara lain dengan mengalihkan aliran agar tidak masuk ke dalam saluran
dengan membuatkan parit yang mampu menampung serta mengalirkan aliran tersebut ke sisi
yang lain dari arah saluran pembawa (menjauhi saluran pembawa).
Yang perlu mendapatkan perhatian lagi dalam saat dilaksanakannya penimbunan, kadang-
kadang diperlukan penyiraman dengan air.
Tetapi pelaksanaannya harus berhati-hati karena bila kadar air yang terkandung dalam tanah
timbunan terlalu banyak, justru akan berpengaruh terhadap karakteristik bahan timbunan
tersebut.

Untuk pelaksanaan bangunan-bangunan pada jaringan pembawa pada umumnya tidak banyak
berbeda dengan bangunan yang lain, namun yang harus mendapatkan perhatian extra adalah
akuratnya. Letak ataupun elevasi dari bangunan tersebut maupun bagian-bagian konstruksinya
karena kesalahan elevasi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan program
pembangunan tersebut. Demikian juga pada saat pemasangan pintu haruslah tepat pada
tempatnya.

8
BAB 3. BENDUNG

3.1. UMUM

Penggunaan metode dan parameter yang diperlukan dalam analisis hidrologi disesuaikan
dengan kondisi Areal Proyek dan ketersediaan data. Analisis hidrologi yang dilakukan
sehubungan dengan perencanaan jaringan irigasi adalah meliputi :

- Analisis kebutuhan air irigasi (NFR) :


Curah hujan efektif
Evapotranspirasi
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan
Kebutuhan air irigasi di sawah
- Analisis Debit Andalan
- Analisis curah hujan rencana
- Analisis debit banjir rencana.

3.2. KEBUTUHAN AIR IRIGASI (NFR)

3.2.1. CURAH HUJAN EFEKTIF

Curah hujan efektif didefinisikan sebagai bagian dari keseluruhan curah hujan yang secara
efektif tersedia untuk kebutuhan air bagi tanaman. Besaran curah hujan efektif diprediksikan
sebesar 70% dari curah hujan tengah bulanan dengan probabilitas 80%, dengan bentuk
persamaan :

Ref = 0,70 x R80

dimana,
Ref = Curah hujan efektif (mm)
R80 = Data curah hujan tengah bulanan dengan probabilitas terlampaui 80% (mm).

3.2.2. EVAPOTRANSPIRASI

Bentuk persamaan dasar rumus Penman Modifikasi Metode Nedeco/Prosida adalah seperti
berikut :

ETo = B * (Hi - Hb) + (1 - B) * Ea

Hi = (1 - r) * Ra * (a1 + a2 * S)

Hb = c * _a4 * (a3 - a4 * ed) * (a5 + a6 * s)

dimana,
ETo = Indeks evapotranspirasi (mm)
9
B = Angka faktor berat yang digunakan akibat radiasi pada ETo, pada perbedaan
temperatur dan altitude (mm/hari).
Hi = Radiasi datang (mm/hari)
Hb = Radiasi pantulan (mm/hari)
Ea = Aerodinamic term (mm/hari)
r = Albedo (0,25)
Ra = Radiasi gelombang pendek yang memasuki batas luar atmosfer, dimana
Besarannya dipengaruhi oleh letak daerah tersebut terhadap permukaan air laut
(kalori/cm2/hari)
c_a4 = Konstanta Stefan - Boltzman
ed = Tekanan uap sebenarnya (mb)
ea = Tekanan uap jenuh (mb)
Rh = Kelembaban udara relatif (%)
U2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2,00 m diatas permukaan tanah (Km/hari)
a1... = Koefisien derivat empiris, dengan besaran seperti berikut :
a1 = 0,24 a6 = 0,55
a2 = 0,41 a7 = 0,26
a3 = 0,56 a8 = 1,00
a4 = 0,08 a9 = 0,006
a5 = 0,28

3.2.3. KEBUTUHAN AIR UNTUK PENYIAPAN LAHAN

Besaran kebutuhan air untuk penyiapan lahan diprediksikan berdasarkan kedalaman air yang
diinginkan serta porositas tanah di sawah, yang mana hubungan tersebut dinyatakan dalam
bentuk persamaan seperti berikut :

(Sa - Sb) * N * d + Pd + F1
PWR =
10.000

M * ek
IR =
ek - 1

M = Eo + P

M*T
k =
S

dengan,

PWR = Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm)


Sa = Derajad kejenuhan tanah setelah penyiapan lahan dimulai (%)
Sb = Derajad kejenuhan tanah sebelum penyiapan lahan dimulai (%)
N = Besaran rerata porositas tanah pada variasi kedalaman tanah (%)
d = Asumsi kedalaman tanah setelah kegiatan penyiapan lahan (mm)

10
Pd = Tinggi genangan setelah kegiatan penyiapan lahan (mm)
F1 = Kehilangan air di sawah selama 1 hari (mm)
IR = Kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan (mm/hari)
M = Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi
pada
areal persawahan (mm/hari)
Eo = Evaporasi air terbuka selama penyiapan lahan (mm/hari)
P = Perkoasi (mm/hari)
T = Jangka waktu penyiapan lahan (hari)
S = Kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air setinggi 50 mm.

3.2.4. PENGGUNAAN KONSUMTIF

Prediksi besaran penggunaan konsumtif dilakukan dengan menggunakan persamaan seperti


berikut :
Etc = k * Eto

dimana,

Etc = Penggunaan konsumtif (mm/hari)


Eto = Evapotranspirasi (mm/hari)
k = Koefisien tanama

11
Variasi besaran koefisien tanaman untuk jenis tanaman padi dan palawija dipengaruhi
oleh umur tanaman, sebagaimana terlihat pada Tabel.

Tabel 3-1Besaran Koefisien Tanaman Padi dan Palawija

Tengah Nedeco/Prosida F.A.O


Bulanan
Ke Varietas Varietas Varietas Varietas Palawija
Biasa Unggul Biasa Unggul

1 1,20 1,20 1,10 1,10 0,50


2 1,20 1,27 1,10 1,10 0,75
3 1,32 1,33 1,10 1,05 1,00
4 1,40 1,30 1,10 1,05 1,00
5 1,35 1,30 1,10 0,95 0,82
6 1,24 0,00 1,05 0,00 0,45
7 1,12 0,95 0,00
8 0,00 0,00

3.2.5. KEBUTUHAN AIR IRIGASI (NFR)

Besaran kebutuhan air irigasi di sawah (NFR) untuk tanaman padi dipengaruhi oleh
faktor-faktor GFR serta curah hujan efektif, dimana bentuk persamaan dasarnya adalah
seperti berikut :

NFR = Etc + P + WLR - Re

DR = (NFR * A)/

dimana,

NFR = Kebutuhan air irigasi di sawah (lt/det/Ha)


DR = Kebutuhan air di pintu pengambilan (lt/det/Ha)
Etc = Penggunaan konsumtif (mm/hari)
P = Perkolasi (mm/hari)
WLR = Penggantian lapisan air (mm/hari)
Re = Curah hujan efektif (mm/hari)
A = Luas areal irigasi rencana (Ha)
= Efisiensi irigasi

3-7
3.3. DEBIT ANDALAN

Debit andalan adalah debit aliran sungai yang dapat diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan air irigasi pada suatu areal rencana. Dan dalam menganalisis debit andalan
ini digunakan metode Dr. FJ. Mock yang bentuk persamaannya dirumuskan seperti
berikut :

RO = DRO + BF
dimana,

RO = Debit andalan (mm)


DRO = Limpasan langsung (mm)
BF = Limpasan dasar/base flow (mm)

3.4. CURAH HUJAN RENCANA

Curah hujan rencana diperlukan sebagai data masukan pada analisis debit banjir rencana
maupun analisis modulus drainase. Untuk itu perlu dilakukan analisis curah hujan
rencana, yang dalam pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan metode EJ. Gumbel
dengan bentuk persamaan seperti berikut :

XT = Xa + K *

YT + Yn
K=
n
dengan,

XT = Besaran curah hujan rencana dengan kala ulang T tahun (mm)


Xa = Rerata curah hujan maksimum (mm)
= Standard deviasi data
K = Faktor frekwensi
YT = Reduced variate (Tabel 2.4-1)
Yn = Reduced Mean (Tabel 2.4-2)
n = Reduced standard deviation (Tabel 2.4-3)

Perhitungan analisa frekuensi ini dilakukan untuk menghitung curah hujan rencana 1
harian dari data curah hujan, untuk menghitung modulus pembuang untuk perencanaan
debit banjir. Ada beberapa metode dalam analisis frekuensi ini. Pada kajian ini analisis
frekuensi yang digunakan adalah metode Log Pearson Type III.

Keistimewaan metode Log Pearson Type III adalah dapat digunakan untuk semua
sebaran data. Adapun langkah-langkah analisis frekuensi dengan metode Log Pearson
Type III adalah sebagai berikut :

3-8
1. Urutkan data dari kecil ke besar dan ubah data (X1, X2, ., Xn) dalam bentuk
logaritma (log X1, log X2, ., log Xn).

2. Hitung nilai rerata, dengan persamaan :

3. Hitung standart deviasi, dengan persamaan :


i n
n (logXi log X) 2

Sr2 i 1
(n 1)
4. Hitung koefisien kepencengan, dengan persamaan :
in
n (log Xi log X)
i1
3

Cs
(n 1)(n 2).S13
5. Hitung logaritma X dengan persamaan :
log X log X G.S1
6. Hitung anti log X
X = ANTI LOG X

Dimana :
log X = Logaritma debit atau curah hujan.
log X = Logaritma rerata dari debit atau curah hujan
log X1 = Logaritma debit atau curah hujan tahun ke 1
G = Konstanta Log Pearson Type III, berdasarkan koefisien kepencengan
S1 = Simpangan baku
Cs = Koefisien kepencengan
n = Jumlah data

Hasil perhitungan Curah hujan rancangan disajikan dalam tabel.

3.5. ANALISIS DEBIT RENCANA

Penerapan suatu metode analisis debit banjir rencana sangat bergantung pada
ketersediaan data pada daerah kajian tersebut. Dimana untuk daerah yang tidak
mempunyai data debit aliran sungai dan hanya mempunyai data curah hujan saja, maka
analisisnya dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan empiris dengan
memperhitungkan parameter-parameter alam yang terkait. Sehubungan dengan hal
tersebut, ragam metode analisis yang biasa diterapkan antara lain adalah :
- Weduwen
- Melchior
- Haspers

3-9
1 i n
LogX (LogXi)
n i 1

3-10
Dari ketiga metode diatas yang sahih digunakan untuk berbagai ragam luasan daerah
aliran sungai (DAS) hanyalah metode Haspers, sedangkan untuk metode Weduwen
hanya sahih digunakan untuk luasan DAS kurang dari 100 Km2 serta metode Melchior
sahih untuk luas DAS lebih besar dari 100 Km2. Karena itu, dalam suatu analisis harus
senantiasa dilakukan dengan 2 (dua) metode dimana metode Haspers senantiasa bisa
dijadikan sebagai pembanding.

3.5.1. METODE WEDUWEN

Bentuk persamaan dasar analisis debit banjir rencana metode Weduwen adalah sebagai
berikut :

QT = **q*A

= 1 - (4,1/(q + 7))

120 + A * ((t + 1)/(t + 9))


=
120 + A

q = 67,65/(t + 1,45)

0,476 * A0,375
t =
( * * q)0,125 * I0,25

dimana,

QT = Debit banjir rencana dengan kala ulang T tahun (m3/det)


= Koefisien limpasan
= Koefisien reduksi
q = Intensitas curah hujan (m3/Km2/det)
t = Waktu konsentrasi (jam)
A = Luas Daerah Aliran Sungai (Km2)
I = Rerata kemiringan dasar sungai utama

Prosedur analisis pada metode ini bisa dilakukan dengan nomogram atau dengan cara
coba-coba (trial and eror).

3-11
3.5.2. METODE MELCHIOR

Bentuk persamaan dasar analisis debit banjir rencana metode Melchior dirumuskan
seperti berikut :

QT = **q*A

240 * * qo
* qn =
200

Tc = 0,186 * L * Qo-0,2 * I-0,4

dimana,

QT = Debit banjir rencana dengan kala ulang T tahun (m3/det)


= Koefisien limpasan
= Koefisien reduksi
q = Intensitas curah hujan rencana (m3/Km2/det)
A = Luas Daerah Aliran Sungai (Km2)

Prosedur analisis dilakukan dengan cara coba-coba (trial and eror) sampai didapatkan
harga waktu konsentrasi yang sama

3.5.3. METODE HASPERS

Keterkaitan parameter alam yang diperhitungkan dalam metode ini dinyatakan dalam
bentuk persamaan dasar seperti berikut :

QT = **q*A

1 + 0,012 * A0,7
=
1 + 0,075 * A0,7

t + 3,7 * 10-0,4t A-0,75


1/ = 1 + *
2
t + 15 12

dimana,

QT = Debit banjir rencana dengan kala ulang T tahun (m3/det)


3-12
= Koefisien limpasan
= Koefisien reduksi
q = Intensitas curah hujan rencana (m3/Km2/det)
A = Luas Daerah Aliran Sungai (Km2)
t = Waktu konsentrasi (jam)

3-13
BAB 4. HIDROLIS BANGUNAN UTAMA

4.1. UMUM

Bangunan utama adalah suatu bangunan yang dibuat disekitar sumber air dan merupakan
sarana utama untuk menyadap serta mengalirkan air irigasi. Beberapa jenis bangunan utama
yang biasa digunakan dalam perencanaan jaringan irigasi, antara lain adalah :

- Bendungan (dam)
Bangunan utama ini digunakan pada sungai (rencana sumber air) yang
mempunyai debit air kecil serta elevasi muka air sungai rendah. Dengan demikian
bendungan ini difungsikan untuk meninggikan muka air serta sekaligus
menampung aliran debit.

- Bendung (weir)
Bangunan utama jenis ini dipakai pada sungai yang mempunyai debit air cukup
tetapi elevasi muka air sungai tersebut rendah. Dengan demikian bangunan utama
bendung berfungsi sebagai peninggi muka air sungai.

- Pengambilan bebas (free intake)


Bangunan utama ini digunakan pada sungai yang mempunyai debit air dan elevasi
muka air cukup. Dengan demikian bangunan pengambilan bebas difungsikan
sebagai penyadap aliran air sungai untuk memenuhi kebutuhan air irigasi.

4.2. PEMILIHAN SITE BANGUNAN UTAMA

Pemilihan lokasi rencana bangunan utama dan kelengkapannya perlu dipertimbangkan


terhadap kajian pengaruh timbal balik antara morfologi sungai, bangunan lain yang ada serta
yang akan dibangun, antara lain :

1. Pemilihan site dipertimbangkan terhadap kondisi yang paling menguntungkan


ditinjau dari segi perencanaan, keamanan bangunan utama dan lingkungannya,
pengaruhnya terhadap morfologi sungai dan lingkungannya serta kemudahan
dalam pelaksanaan dan pengoperasian bangunan utama tersebut.

2. Pemilihan lokasi bangunan utama perlu didasarkan pada studi perbandingan atas
beberapa site yang ada dengan mempertimbangkan fungsi bangunan utama
tersebut serta faktor-faktor yang antara lain :
- kondisi topografi
- kondisi morfologi dan medan disekitarnya
- kondisi hidrolis sungai dan sedimen transport
- kondisi geoteknik
- kemudahan dalam pelaksanaan konstruksi bangunan utama dan
kelengkapannya.
- dan lain-lain.

14
3. Faktor morfologi sungai yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi
bangunan utama antara lain meliputi :
- kondisi geometri sungai yang meliputi : tebing, palung dan lembah sungai,
serta bentuk antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan morfologi
sungai.

- pengaruh morfologi sungai terhadap pola aliran dan sedimen transport


diusahakan yang menguntungkan fungsi bangunan utama dan
kelengkapannya.

- perkembangan sungai arah vertikal dan horisontal yang mungkin terjadi masih
memungkinkan untuk ditanggulangi.

4. Faktor hidrolis sungai dan transportasi sedimen yang perlu diperhatikan antara lain
:
- arah dan pola aliran kecepatan air.
- tekanan dan kemiringan hidrolis pada saat debit besar (banjir), normal dan
kecil.
- kedalaman dan lebar muka air pada kondisi debit banjir, normal dan kecil.
- potensi dan distribusi transportasi sedimen.
- material sediment transport yang meliputi jenis, ukuran dan kuantitasnya.
- tinggi muka air pada kondisi debit rencana.

5. Faktor geoteknik yang perlu diperhatikan adalah kondisi geoteknik ditempat


bangunan utama dan sekitarnya dalam kaitannya dengan :
- potensi terhadap gerusan atau erosi karena arus aliran air.
- potensi terhadap kestabilan bangunan terhadap pengaruh kelongsoran lereng
atau tebing, kemampuan daya dukung, deformasi, rembesan dan likuifaksi.
- ketersediaan material yang sesuai disekitar lokasi bangunan.
- potensi gempa.

6. Faktor lingkungan yang perlu diperhatikan antara lain adalah :


- kemungkinan terjadinya perubahan morfologi sungai disekitar lokasi
bangunan utama.
- kemungkinan kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan.
- kemungkinan pengambilan material dari badan sungai.
- kemungkinan pembuangan material ke palung sungai yang ada.
- pengaruh manusia dan pengaruh alamiah lainnya.

15
4.3. HIDROLIS SUNGAI

Pelaksanaan pengukuran penampang memanjang dan melintang sungai sepanjang 2,00 Km


ke arah hulu dan hilir dari rencana site bangunan utama dimaksudkan untuk mendapatkan data
primer mengenai kondisi hidrolis sungai yang meliputi rerata kemiringan dasar saluran,
bentuk penampang melintang sungai serta kedalaman air. Dari data primer tersebut dan data
sekunder yang berhasil dihimpun selanjutnya dilakukan analisis hidrolis sungai dengan
menggunakan persamaan-persamaan seperti berikut :

v = 1/n * R2/3 * I0,5

R = A/P

Q =v * A

dimana,

Q = Debit aliran sungai (m3/det)


v = Kecepatan aliran (m/det)
A = Luas penampang basah (m2)
P = Perimeter basah (m)
R = Jari-jari hidrolis (m)
I = Rerata kemiringan dasar sungai
n = Koefisien kekasaran Manning

4.4. BENDUNG (WEIR)

Dalam perencanaan bendung akan meliputi komponen-komponen seperti elevasi crest, lebar
efektif bendung, tipe mercu, tipe bangunan peredam energi serta panjang lantai depan (apron).
Dimana dalam perencanaannya senantiasa didasarkan pada pertimbangan kondisi hidrolis dan
kestabilan bangunan. Hal ini dimaksudkan agar bangunan yang direncanakan dapat berfungsi
secara optimal dan aman terhadap pengaruh gaya-gaya yang bekerja.

4.4.1. ELEVASI CREST

Perencanaan elevasi crest bendung dipertimbangkan terhadap kondisi topografi areal irigasi
rencana, tinggi genangan air rencana serta kehilangan tinggi tekan yang terjadi. Sedangkan
rumusan secara umum perencanaan elevasi crest bendung adalah seperti berikut :

Ecrest = Es + Hg + Ht + Hs +Hp

dimana,

Ecrest = Elevasi crest bendung rencana (m)


Es = Elevasi sawah terjauh tertinggi (m)
Hg = Tinggi genangan air di sawah (m)
Ht = Kehilangan tinggi tekan di tingkat tersier (m)
Hs = Kehilangan tinggi tekan ditingkat sekunder (m)

16
Hp = Kehilangan tinggi tekan ditingkat primer (m)

4.4.2. LEBAR BENDUNG EFEKTIF

Perencanaan lebar efektif bendung didasarkan pada kondisi topografi di lokasi bendung dan
kemungkinan adanya lalu lintas jalan serta pengaruh hidrolis akibat adanya bangunan tersebut
sebagaimana rumusan pada persamaan berikut :

Le = L t 0.20.B

dimana,

Le = Lebar efektif tubuh bendung (m)


B = Total lebar pintu penguras (m)
t = Total Lebar Pilar (m)

4.4.3. MERCU BENDUNG VLUGTER

Harga koefisien debit yang cukup tinggi (44%) pada mercu bendung tipe vlughter
memungkinkan dapat mengurangi tinggi muka air di bagian hulu dan sekaligus
memperpendek pengaruh air balik (back water). Dengan lebih rendahnya muka air dibagian
hulu berarti tinggi bangunan lain seperti tanggul maupun tembok pangkal bendung (abutment)
menjadi relatif lebih rendah juga.

Tekanan yang bekerja pada mercu bendung merupakan fungsi perbandingan antara tinggi
energi diatas mercu dengan jari-jari mercu bendung. Untuk menghindari terjadinya kavitasi
pada tubuh bendung maka tekanan minimum pada mercu dibatasi sampai -4 m (tekanan air)
untuk mercu dengan konstruksi beton, sedang untuk mercu dari pasangan batu tekanan
subatmosfir dibatasi sampai -1 m tekanan air.

Hubungan antara tinggi energi dan debit yang melimpah diatas mercu bendung tipe vlughter
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut :

Q = Cd * 1,705 * b * (H1)1,5

Cd = C0 * C1 * C2

dimana,

Q = Debit aliran diatas mercu (m3/det)


Cd = Koefisien debit
C0 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari H1/r
C1 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1
C2 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1 dan kemiringan hulu bendung.
g = Percepatan gravitasi (m/det2)
b = Lebar efektif mercu bendung (m)
H1 = Tinggi energi diatas mercu bendung (m)

17
4.4.4. TEMBOK PANGKAL BENDUNG

Tembok pangkal bendung dan sayap bagian hulu mempengaruhi pola aliran air yang melewati
mercu bendung, karenanya dalam menentukan dan merencanakan lokasi, arah, ketinggian dan
kemiringannya yang paling baik dengan melalui model test. Selain itu tembok tersebut juga
berfungsi sebagai dinding penahan yang berarti harus stabil terhadap beban/gaya-gaya yang
bekerja. Karena itu, dalam perencanaannya didasarkan pada pertimbangan hidrolis dan kajian
stabilitas terhadap gaya-gaya bekerja pada tembok tersebut.

4.4.5. PANJANG APRON

Fungsi utama dari lantai depan (apron) adalah untuk memperkecil gradien aliran rembesan
dibawah tubuh bendung dan memperkecil gaya angkat (uplift pressure) agar tidak
membahayakan stabilitas. Karena itu, dalam perencanaan panjang apron mempertimbangkan
macam bahan pondasi, tinggi tekan yang ada serta panjang rayapan (creep line) yang ada.
Analisis panjang rayapan dilakukan dengan menggunakan cara Lane dan Bligh, dimana dari
kedua hasil perhitungan tersebut dipilih nilai yang paling kritis untuk digunakan dalam
perencanaan.

Nilai angka rembesan Lane pada suatu pondasi bangunan dihitung berdasarkan persamaan
seperti berikut :

LV + * LH
CL =
H

dimana,

CL = Angka rembesan Lane


LV = Jumlah panjang vertikal (m)
LH = Jumlah panjang horisontal (m)
H = Beda tinggi muka air upstream dan downstream (m)

Nilai minimum angka rembesan Lane untuk berbagai jenis tanah pondasi dapat dilihat pada
Tabel . Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya erosi pada lapisan tanah dibawah tubuh
bendung maka elevasi dasar downstream diasumsikan tepat pada pangkal koperan hilir,
sedang untuk menghitung gaya angkat elevasi dasar hilir diasumsikan dibagian atas ambang
ujung.

Tabel 4-1Nilai Minimum Angka Rembesan Lane (CL)

No: Jenis Tanah Dibawah Tubuh Bendung CL


18
1. Pasir sangat halus atau lanau 8,5
2. Pasir halus 7,0
3. Pasir sedang 6,0
4. Pasir kasar 5,0
5. Kerikil halus 4,0
6. Kerikil sedang 3,5
7. Kerikil kasar termasuk berangkal 3,0
8. Bongkah dengan sedikit berangkal dan kerikil 2,5
9. Lempung lunak 3,0
10. Lempung sedang 2,0
11. Lempung keras 1,8
12. Lempung sangat keras 1,6

19
4.4.6. PANJANG AIR BALIK (BACK WATER)

Dengan dibangunnya bendung pada suatu sungai akan mengakibatkan kenaikan muka air
pada lokasi bendung dan bagian hulunya. Untuk mengetahui sampai sejauh mana
pengaruh kenaikan muka air (panjang air balik) dapat digunakan 2 (dua) metode, yaitu :

- Metode Langsung
Pada cara ini, panjang air balik dicari secara langsung dengan menggunakan
persamaan seperti berikut :

L = 2 * H/I

dimana,
L = Panjang pengaruh air balik (m)
H = Tinggi muka air diatas mercu bendung (m)
I = Rerata kemiringan dasar sungai

- Metode tahapan standard

4.5. BANGUNAN PENGURAS

Untuk mencegah menumpuknya sedimen di depan pintu pengambilan (intake) dan


kemungkinan masuknya sedimen (bed load) ke saluran irigasi, maka pada bangunan
bendung dilengkapi dengan bangunan penguras. Fungsi utama bangunan penguras adalah
menggelontor sedimen yang ada disekitar bangunan pengambilan agar proses penyadapan
air oleh bangunan pengambilan tidak terganggu.

Pada bangunan penguras ini, tinggi pintu penguras direncanakan setinggi mercu bendung
sehingga bagian atas dari pintu masih tetap bisa dilimpasi air. Perencanaan tebal pintu
penguras disesuaikan dengan besarnya gaya-gaya yang bekerja pada pintu, antara lain
tekanan air pada kondisi banjir dan tekanan sedimen di depan pintu. Sedangkan lebar pintu
penguras disesuaikan terhadap kecepatan pembilasan yang diperlukan, ketersediaan debit
pengurasan dan ukuran partikel sedimen yang akan digelontor.

4.6. BANGUNAN PENGAMBILAN

Bangunan pengambilan direncanakan dengan maksud untuk menyadap sebagian debit air
sungai guna memenuhi kebutuhan air irigasi pada areal rencana. Namun demikian, dalam
perencanaan kapasitas pengambilan diperhitungkan juga terhadap fleksibilitas pada
kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek (120 % x debit kebutuhan).

Perencanaan lebar pintu pengambilan dipertimbangkan terhadap kapasitas maksimum


kebutuhan air, tinggi pengambilan dan kecepatan, dan selanjutnya dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut :

b = Q/(a x v)
4-7
dimana,
Q = Debit rencana pengambilan
a = Tinggi bersih bukaan (m)
b = Lebar bersih bukaan (m)
v = Kecepatan aliran pada pintu (m/dt)

Kapasitas rencana lubang pintu pengambilan ditetapkan sebear 120 % x debit kebutuhan
rencana, dimana perhitungan digunakan seperti berikut :

Q = * b * a * 2 * g * z
Dimana,

Q = Debit penyadapan rencana (m3/dt)


= Koefisien debit
b = Lebar bukaan pintu (m)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
z = Kehilangan tinggi energi (m)

Batas tinggi minimum ambang bangunan (P) untuk beberapa sungai dengan karakteristik
sedimen transportnya ditentukan seperi berikut :
- Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa lanau, Pmin = 0,50m
- Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa pasir dan kerikil,
Pmin = 1,00 m.
- Untuk sungai dengan material sedimen terangkut berupa batu-batu bongkah,
Pmin = 1,50 m.

Pada kondisi bangunan pengambilan terdiri dari pintu, maka posisi pilar harus
dimundurkan guna mendapatkan kondisi aliran masuk yang lebih menguntungkan.
Untuk keperluan pemeliharaan, pada kedua sisi perletakan pintu dilengkapi dengan
sponeng dan balok sekat agar pelaksanaan perbaikan/pemeliharaan dapat dilakukan
dalam kondisi kering. Selain itu untuk mencegah benda-benda hanyutan (pada saat
banjir) masuk ke jaringan irigasi pada bagian depan pintu pengambilan dilengkapi
dengan kisi-kisi penyaring. Kehilangan tinggi energi akibat adanya kisi-kisi dihitung
dengan menggunakan persamaan :

hf = c * v2
2*g

c = * (s/b)4/3 * sin

Dimana,
hf = Kehilngan tinggi energi (m)
v = Kecepatan datang ( approach velocity) . m/dt
g = Percepatan gravitasi ( 9,81 m/dt2)
c = Koeficien kehilangan tinggi energi
= Koefisien faktor bentuk
s = Tebal jeruji (m)
b = Jarak bersih antar jeruji (m)

4-8
= Sudut kemiringan terhadap bidang horizontal ( derajat)

4.7. KANTONG LUMPUR

Untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen pada seluruh saluran irigasi, maka
setelah bangunan pengambilan direncanakan kantong lumpur yang berfungsi sebagai
tempat pengendapan sedimen layang ( suspended load). Keakurasian dalam perencanaan,
sangat bergantung pada ketersedian data sedimen transport, pola operasi dan pertimbangan
ekonomis. Data tentang transpotrasi sedimen yang diperlukan antara lain adalah :
- Ukuran butiran
- Pola penyebaran sedimen arah vertikal
- Konsentrasi sedimen dasar ( bed load)
- Volume sedimen

Perancanaan kantong lumpur akan meliputi : bentuk penampang dan panjang kantong
lumpur yang diperlukan, untuk kemudian dilakukan pengecekan terhadap rerata
kedalaman muka air selama pembilasan, rerata kemiringan hidrolis, kecepatan jatuh
butiran sedimen, kedalaman muka air untuk pegendapan serta kemiringan hidrolis untuk
pengendapan.

a) Rerata kedalaman muka air selama pembilasan


Analisis rerata kedalaman muka air selama pembilasan dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
As Qs / vs
As = (Bs + m * hs) * hs
Dimana,
As = Rerata luas penampang basah ( m2)
Qs = Debit untuk pembilasan (m3/dt)
vs = Kecepatan Pembilasan (m/dt)
Bs = Rerata lebar saluran (m)
hs = Rerata kedalaman muka air (m)
m = Kemiringan talud

Batasan kecepatan pembilasan untuk masing-masing jenis butiran sedimen


diambil ketentuan seperti berikut :
- Pasir halus, kecepatan pembilasan diambil sebesar 1,00 m/dt
- Pasir kasar, kecepatan pembilasan diambil sebesar 1,50 m/dt
- Pasir dan kerikil, kecepatan pembilasan diambil sebesar 2,00 m/dt

b) Rerata Kemiringan hidrolis


Persamaan untuk merencanakan rerata kemiringan hidrolis adalah :


I s (Vs x n) / (R s2/3 ) 2

Dimana :
Is = Kemiringan rata-rata
Vs = Kecepatan pembilasan (m/det)
Rs = Jari-jari hidrolis rata-rata
n = Koefisien kekasaran

4-9
c) Kecepatan jatuh partikel sedimen

1 G - Gw
W x D2 x ( s ) / (u x g)
8 u
Dimana :
W = Kecepatan jatuh butiran (m/det)
D = Diameter butiran minimum (m)
Gs = Spesifik grafity butiran
Gw = Spesifik grafity air
g = Percepatan grafitasi
u = Viskositas air pada suhu 25o C, C = 0,00899

d) Panjang kantong lumpur


Panjang kantong lumpur dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
V
L 1 x H1
W
Dimana :
L = Panjang saluran (m)
V1 = Kecepatan pada kantong lumpur (m/det)
W = Kecepatan jatuh butiran (m/det)
H1 = Tinggi jatuh rata-rata (m)

e) Tinggi air untuk pengendapan


Tinggi air untuk pengendapan dihitung dengan rumus :
Q
Ao s
Vst
A o (B s m h o ) h o
Dimana :
Ao = Luas penampang yang dibutuhkan untuk pengendapan (m2)
Bs = Lebar rata-rata saluran (m)
ho = Tinggi air yang dibutuhkan untuk pengendapan (m)
Qs = Debit pembilasan (m3/det)
Vst = Kecepatan pengendapan (m/det)
m = Kemiringan Talud

f) Kemiringan hidrolis yang dibutuhkan untuk pengendapan


Analisis mengenai kemiringan hidrolis yang dibutuhkan untuk
pengendapan dihitung dengan rumus :
2
(V x n)
I st n 2/3
(R st )
Dimana :
Ist = Kemiringan hidrolis gradien
Vst = Kecepatan pengendapan (m/det)
Rst = Jari-jari hidrolis (m)
n = Angka kekasaran

4-10
4.8. BANGUNAN PEMBILAS

Untuk membilas endapan sedimen yang tertangkap di kantong lumpur, maka perlu dibuat
Bangunan Pebilas yang dilengkapi pintu dan saluran pembilas (pembuang sedimen kearah
sungai). Pintu pembilas dioperasikan (dibuka) dalam waktu-waktu tertentu yang dikaitkan
dengan volume endapan yang tertampung di Kantong Lumpur.

1. Kecepatan Pembilas, dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Vc = 1.5 C (d)1/2
Dimana :

Vc = Kecepatan rencana (m/det)


C = Koefisien butiran
Untuk pasir & kerkil = 3.2~3.9
Untuk campuran kerikil = 4.5~5.5
d = diameter maksimum butiran (m)

Hubungan antara diameter butiran (d) dengan kecepatan pembilasan (Vc)


sebagaimana ditunjukkan pada grafik pada K-02, sedang untuk menghitung
kecepatan minimum dihitung dengan menggunakan persamaan :

Vc = C 2g .H

.H = H-a/2 = (Vc)2/ (C2 2g)

Dimana :

Vc = kecepatan pembilas (m/det)


C = koefisien 0.62
a = bukaan pintu (m)

2. Kapasitas Pintu Pembilas, dihitung minimal dua kali kapasitas debit yang mengalir
pada pintu pengambilan. Sedang untuk menghitung lebar pintu pembilas digunakan
rumus berikut :
b = (gQ) / (Vc)3

dimana,
b = lebar pintu pembilas (m)
Q = debit pembilasan (m3/det)
Vc = kecepatan pembilas (M/det)
g = percepatan gravitasi 9.80 m/det2

3. Lebar Lubang Pintu Pembilas, dihitung berdasarkan kapasitas aliran air dan sedimen
yang akan dibuang dengan menggunakan rumus :

b = N x W1

W1 = B - (N - 1) W2
4-11
Dimana :
b = lebar bersih pintu pembilas (m)
N = jumlah pintu
W1 = lebar saluran pembilas (m)
B = lebar total saluran pembilas (m)
W2 = lebar pilar (m)

4. Tinggi Pintu Pembilas, dihitung dengan menggunakan rumus berikut :


QS = 1.543 B H

Dimana :

Qs = debit pembilasan (m3/det)


h = tinggi bukaan (m)
b = lebar bersih pintu (m)

4.9. BANGUNAN UKUR

Agar penjatahan air irigasi dapat dilakukan secara proporsional (efektif dan efisien), maka
pada bagian hulu dari saluran primer dipasang bangunan ukur (meansurement stucture) .
Pemilihan type bangunan ukur yang akan digunakan didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan teknis, ekonomis dan kemudahan dalam pelaksanaan operasi dan
pemeliharaan, yang antara alin adalah :
- Kesesuaian type bangunan tersebut untuk keperluan pengukuran debit
- Ketelitian pengukuran di lapangan
- Konstruksi bangunan kokoh, sederhana dan ekonomis
- Kalibtasi (rumus) perhitungan debit sederhana dan teliti
- Eksploitasi dan pembacaan papan duga mudah
- Pemeliharaan sederhana dan murah (ekonomis)
- Sesuai dengan kondisi setempat dan dapat diterima oleh petani

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, penggunaan bangunan ukur ambang lebar


(broad crested weir) lebih dianjurkan karena mempunyai konstruksi yang kokoh dan
mudah dibuat. Selain itu, mempunyai bentuk mercu yang beraneka ragam sehingga mudah
disesuaikan dengan semua type saluran. Terciptanya hubungan tunggal antara tinggi muka
air di hulu dengan aliran debit mempermudah dala hal pembacaan debit secara langsung
dari papan duga, tanpa memerlukan tabel debit. Ringkasan perbandingan beberapa
bangunan ukur yang biasa dipakai pada tabel 3.10-1

Aliran debit yang melalui bangunan ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol
berbentuk segi empat, dihitung dengan persamaan seperti berikut :

Q = Cd * Cv * 2/3 * b * h11,5 * 2/3 * g

Untuk 0,1< H1/L< 1,0, nilai Cd = 0,93 + 0,10 * H1/L


4-12
Dimana,
Q = Aliran debit (m3/dt)
Cd = Koefisien debit
Cv = Koefisien kecepatan datang
b = Lebar mercu (m)
h1 = Kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur (m)
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
H1 = Tinggi energi di hulu ambang (m)
L = Panjang mercu bangunan ukur (m)

Untuk bangunan ukur ambang lebar dengan bentuk penampang trapesium, aliran
debit dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Q = Cd * (bc * Yc + mc2) * ( 2 * g (H1 Yc)0,5 )

Dimana,
Q = Aliran debit (m3/dt)
Cd = Koefisien debit
bc = lebar mercu pada bagian pengontrol (m)
Yc = Kedalaman air pada bagian pengontrol (m)
mc = Kemiringan talud pada bagian pengontrol (m)

4-13
BAB 5. STRUKTUR DAN PERHITUNGAN STABILITAS

5.1. UMUM

Perencanaan struktur bangunan dalam desain jaringan irigasi akan meliputi antara lain: tubuh
bendung, pilar, dinding penahan dan lain-lain. Dimana dalam perencanaan dimensi bangunan
tersebut disesuaikan dengan besarnya beban luar yang bekerja dan didasarkan atas
pertimbangan kondisi yang paling menguntungkan ditinjau dari aspek teknis, ekonomis serta
kemudahan dalam pelaksanaan.

Untuk mengetahui kemantapan suatu struktur bangunan terhadap pengaruh gaya-gaya luar,
perlu dilakukan perhitungan stabilitas dengan memperhitungkan faktor-faktor pembatas
seperti berikut :
daya dukung tanah.
sudut geser dalam.
susunan, jenis dan kedalam lapisan tanah.
kohesivitas tanah
dan lain-lain.

Pengaruh gaya-gaya luar yang diperhitungkan dalam analisis stabilitas bangunan air, antara
lain meliputi :

berat sendiri konstruksi


tekanan tanah
tekanan hidrostatis
gaya angkat air (uplift pressure)
beban hidup
dan lain-lain.

Perhitungan stabilitas bangunan pada Pekerjaan Survey Investigation Design DI. Aek Sige
seluas 538 Ha , akan meliputi :

Stabilitas bangunan terhadap geser tanpa dan dengan pengaruh gempa.


Stabilitas bangunan terhadap guling tanpa dan dengan pengaruh gempa.
Stabilitas bangunan terhadap gelincir tanpa dan pengaruh gempa
Stabilitas bangunan terhadap settlement/penurunan.

5.2. ANALISIS STABILITAS

Pengaruh gaya luar terhadap suatu konstruksi bangunan akan dapat mengakibatkan geser,
guling, penurunan/settlement maupun patah. Karenanya, dalam perencanaan konstruksi suatu
bangunan perlu dikontrol kemantapan/kestabilannya sehingga nantinya pada saat konstruksi
tersebut direalisasikan benar-benar dapat tahan terhadap pengaruh gaya luar yang terjadi.

Pengaruh gaya luar yang perlu diperhitungkan dalam kontrol kestabilan konstruksi antara lain
akan meliputi :

berat sendiri konstruksi


5-1
beban guna yang direncanakan
tekanan hidrostatis
gaya angkat air (uplift pressure)
tekanan tanah aktif dan pasif

Sedang hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam analisis stabilitas ini adalah faktor
pembatas yang antara lain adalah :

sudut geser dalam ()


berat isi tanah (yt)
kohesivitas (C)
angka pori (e)
koefisien konsolidasi (Cc)
koefisien pemampatan (Cv)
jenis, susunan dan ketebalan lapisan tanah

5.2.1. TEKANAN HIDROSTATIS

Tekanan hidrostatis merupakan fungsi dari kedalaman air, dimana semakin dalam letak suatu
bangunan terhadap muka air akan semakin besar pula tekanan yang diterimanya. Besaran
tekanan hidrostatis yang terjadi dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut :

P = w H
dimana :

P = Tekanan hidrostatis (t/m')


w = Berat isi air (t/m)
H = Kedalaman air (m)

Gambar 5.2-1 Tekanan Hidrostatis (P)

5.2.2. TEKANAN TANAH

Pengaruh tekanan tanah terhadap bangunan dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: tekanan
tanah aktif dan tekanan tanah pasif. Pengaruh tekanan tanah terhadap suatu bangunan
dinyatakan dalam bentuk rumus seperti berikut :

5-2
Pa = Ka yt H - 2 c H Ka
Pp = Kp yt H + 2 c H Kp
Ka = tan (45 - /2)
Kp = tan (45 + /2)

dimana,

Pa = Tekanan tanah aktif (t/m')


Pp = Tekanan tanah pasif (t/m')
t = Berat isi tanah (t/m)
c = Kohesivitas
H = Kedalaman tanah (m)
Ka = Koefisien tanah aktif
Kp = Koefisien tanah pasif
= Sudut geser dalam

5.2.3. GAYA AKIBAT GEMPA

Besaran pengaruh gempa terhadap kestabilan suatu bangunan diperoleh dari perkalian antara
koefisien gempa dengan berat sendiri konstruksi. Dimana besaran koefisien gempa
disesuaikan dengan Peta Gempa Indonesia, sedang pada pekerjaan ini besaran koefisien
gempa diambil sebesar 0,12 - 0,15. Dapat dilihat pada Peta Gempa Indonesia.

5.2.4. BERAT SENDIRI KONSTRUKSI

Berat konstruksi suatu bangunan ditentukan oleh dimensi dan bahan yang dipakai, untuk
tujuan perencanaan digunakan berat isi seperti berikut :

pasangan batu kali = 2,2 t/m


beton tumbuk = 2,3 t/m
beton bertulang = 2,4 t/m

5.2.5. RAYAPAN

Panjang rayapan yang terjadi pada appron dihitung dengan menggunakan metode Lane,
dimana bentuk persamaan dasar dari metode ini adalah :

L = Lv + _ Lx

dimana,
L = Total panjang rayapan aktual (m)
Lv = Panjang rayapan arah vertikal (m)
Lx = Panjang rayapan arah horisontal (m)

5-3
Perbandingan total panjang rayapan aktual dengan panjang rayapan yang dibutuhkan harus
lebih besar dari 1 (satu). Dimana panjang rayapan yang dibutuhkan dihitung berdasarkan
persamaan sebagai berikut :

Lp = c x H

dimana,
Lp = Panjang rayapan yang dibutuhkan (m)
c = Koefisien rembesan
H = Beda tinggi muka air (m)

Besaran koefisien rembesan untuk masing-masing jenis tanah disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 5-1Koefisien Rembesan

Jenis Tanah Pondasi Lane

- Pasir sangat halus atau lanau 8,5


- Pasir halus 7,0
- Pasir sedang 6,0
- Pasir kasar 5,0
- Kerikil halus 4,0
- Kerikil sedang 3,5
- Kerikil kasar (termasuk berangkal) 3,0
- Bongkahan dengan sedikit berangkal 2,5
dan kerikil
- Lempung lunak 3,0
- Lempung sedang 2,0
- Lempung keras 1,8
- Lempung sangat keras 1,6

5-4
5.2.6. GAYA ANGKAT AIR ( UPLIFT PRESURE)

Gaya angkat air (uplift pressure) bekerja pada dasar/pondasi suatu konstruksi dan akan
mengakibatkan berkurangnya berat efektif bangunan, dimana perhitungan besarannya
didasarkan pada teori rembesan Lane dengan cara membagi beda tinggio energi yang
terjadi sesuai dengan panjang relatif pondasi bangunan. Besaran gaya angkat air yang
bekerja pada suatu titik kontrol dinyatakan sebagai berikut :

Ux = Hx (Lx/L).H
Dimana :
Ux = gaya angkat air pada titik x
Hx = tinggi energi
L = jarak bidang kontak pondasi bangunan dengan tanah (m)
Lx = jarak bidang kontak pondasi bangunan dengan tanah sampai titik x (m)
H = beda tinggi energi (m)

5.2.7. STABILITAS TERHADAP GESER

Kestabilan suatu konstruksi terhadap pengaruh gaya geser dianalisis dengan


menggunakan persamaan sebagai berikut :
f V cL
SF
H
Dimana :
Sf = angka keamanan
f = koefisien gesekan
c = kohesivitas (t/m)
L = panjang telapak pondasi (m)
V = gaya vertikal (ton)
H = gaya horisontal (ton)
Tabel 5-2faktor Keamanan Geser

Faktor
No Kombinasi Pembebanan
Keamanan
1 M + H + K + T + Thn 1,5
2 M + H + K + T + Thn + G 1,3
3 M + H + K + T + Thb 1,3
4 M + H + K + T + Thb + G 1,1
5 M + H + K + T + Thb + Ss 1,2

Keterangan :
M = beban mati ; Thn = tekanan air normal
H = beban hidup ; Thb = tekanan air banjir
K = beban kejut ; G = beban gempa
T = beban tanah ; Ss = beban sementara

5-1
Tabel 5-3Perkiraan Harga Koefisien Geser (f)

Jenis Material f
Pasangan batu pada pasangan batu 0,60-0,75
Batu keras berkualitas baik 0,75
Kerikil 0,50
Pasir 0,40
Lempung 0,30

5.2.8. STABILITAS TERHADAP GULING

Stabilitas konstruksi bangunan terhadap guling dianalisis dengan menggunakan


persamaan sebagai berikut :
Mr
SF
Mg
Dimana :
SF = angka keamanan
Mr = momen penahan (tm)
Mg = momen guling (tm)
Angka keamanan yang diijinkan disesuaikan dengan kombinasi pembebanan seperti
pada Tabel berikut :

Tabel 5-4Faktor Keamanan Guling

Faktor
No Kombinasi Pembebanan
Keamanan

1 M + H + K + T + Thn 1,5
2 M + H + K + T + Thn + G 1,3
3 M + H + K + T + Thb 1,3
4 M + H + K + T + Thb + G 1,1
5 M + H + K + T + Thb + Ss 1,2

5.2.9. STABILITAS TERHADAP DAYA DUKUNG (SETTELMENT)

Untuk mengetahui kemampuan tanah (pondasi) dalam menahan beban konstruksi


diatasnya, dilakukan analisis stabilitas terhadap daya dukung dengan maksud untuk
mencegah terjadinya penurunan (settlement) ekstrim. Bentuk persamaan yang
digunakan dalam perhitungan stabilitas daya dukung adalah seperti berikut :

5-2
M L
e = V 2 L / 6

V 6e
max 1 t '
L L

V 6e
min 1 t '
L L
Dimana :
e = eksentrisitas (m)
M = momen gaya (tm)
V = gaya vertikal (ton)
L = panjang telapak pondasi (m)
t = tegangan ijin tanah (t/m3)
max = tegangan maksimum yang terjadi (t/m3)
min = tegangan minimum yang terjadi (t/m3)

5.2.10. STABILITAS LERENG TANGGUL

Untuk menghindari terjadinya longsor pada lereng tanggul, maka rencana kemiringan
lereng tanggul diperhitungkan terhadap sudut geser dalam dan kohesivitas material
tanggul yang digunakan. Pada pekerjaan ini, analisis stabilitas lereng tanggul dihitung
dengan menggunakan metode Fellenius dengan bentuk persamaan dasar seperti
berikut :

Berat Irisan

W = h l cos
Dimana :
W= berat irisan
= berat volume tanah (kN/m3)
h= tinggi irisan (m)
l= lebar irisan (m) ; l = b/cos
= sudut antara permukaan horisontal dengan permukaan selip.

Reaksi Normal

Reaksi normal (N) pada permukaan selip, yang terdiri dari reaksi antar butiran (N)
ditambah dengan gaya (U) akibat tekanan pori.

Gaya Tangen

Gaya tangen (T) akibat perlawanan kohesif dan gesekan yang terjadi pada permukaan
selip, yaitu :
cl + Ntan
5-3
T=
F

Dimana :
c = tegangan kohesif efektif (kN/m2)
l = lebar irisan (m)
N = tegangan normal efektif (kN/m2)
F = faktor keamanan
= sudut efektif gesekan dalam ()

5.3. PERHITUNGAN STUKTUR DAN PENULANGAN

Perhitungan Struktur Bangunan secara umum berpedoman kepada SNI Indonesia.


Dengan memperhatikan peraturan SNI maka perhitungan dan tinjauan terhadap struktur
dipakai lentur n yang merupakan analisa terhadap penggunaan koeficien penampang
untuk menentukan apakah suatu konstruksi bangunan yang kita tinjau perlu adanya
tulangan tunggal atau rangkap, dan tinjauan tersebut berdasarkan tegangan yang terjadi
baik tulangan (besi) maupun betonnya sendiri.

Tahapan dalam perencanaan struktur perlu terlebih dahulu dikontrol stabilitas


bangunannya baik terhadap geser, guling maupun daya dukung pondasinya. Dengan
memperhatikan gaya-gaya yang bekerja tersebut dan analisa faktor keamanan yang
terjadi masih aman terhadap bangunan maka momen dan beban yang bekerja kita
teruskan ke analisa penulangannya.

Secara umum besarnya koeficien penampang yang terjadi akibat momen dan gaya luar
yang bekerja akan menentukan jumlah dan besarnya tulangan (perhitungan lentur
Dengan Cara n).

Ca : h / ((n x M) / ( b x teg.baja))

Dimana :
Ca = Koefisien penampang
h = tinggi penampang yang ditinjau
b = lebar penampang yang ditinjau
M = Momen yang terjadi ( tergantung dari metode yang digunakan) dari
perhitungan mekanika teknik
n = Angka ekivalen beton ( tergantung mutu beton)

Kontrol terhadap geser tegangan yang terjadi diperoleh dari parameter yang ada ( tabel
lentur n) dengan memperhatikan besarnya Ca ( koefisien penampang) dan tegangan
yang terjadi baik baja dan betonnya harus lebih kecil dari tegangan ijin material yang
digunakan, seperti tabel dibawah ini :

Tabel 5-5Tegangan-tegangan Baja Tarik / Tekan yang Dijinkan (kg/cm2)

5-4
Mutu Pada Pembebanan Pada Pembebanan
Tetap Sementara
U22 1250 1800
U24 1400 2000
U32 1850 2650
U39 2250 3200
U48 2750 4000
Umum 0.58 . Tegtau 0.58 . Tegtau
0.58.Teg 0.2 0.58.Teg 0.2

Tabel 5-6Tegangan-Tegangan Baja Rencana

Kekuatan Tarik/Tekan Baja Rencana


Mutu ( Teg*a = Teg*au) kg/cm2
U22 1250
U24 1400
U32 1850
U39 2250
U48 2750
Umum 0.58 . Tegtau
0.58.Teg 0.2

Tabel 5-7Tegangan-Tegangan Beton Yang Dijinkan Untuk = 1 (kg/cm2)

Mutu Pada Pembebanan Tetap Pada Pemebebanan Sementara

B1 35 55
K125 40 70
K175 60 100
K225 75 125
Umum 0.33. Teg bk 0.56.Tegbk
0.48.Teg48 0.63.Tegbk

Penggunaan tabel baja dan beton diatas tersebut digunakan sebagai kontrol agar setiap
penampang (dimensi) yang digunakan tidak boleh bekerja tegangan-tegangan akibat
beban luar sehingga melampaui tegangan yang dijinkan dari material.

5-5
BAB 6. KRITERIA PERENCANAAN
SALURAN

6.1. DETAIL DESAIN SALURAN INDUK/SEKUNDER

Untuk menunjang perencanaan saluran induk/sekunder diperlukan data-data sebagai


berikut :
Struktur tanah yang akan dilalui saluran
Data bahan-bahan konstruksi
Data peta topografi/situasi

6.1.1. DEBIT RENCANA

Debit rencana saluran pembawa dihitung dengan rumus :

C.NFR.A
Q=
e
dimana,
Q = debit rencana
C = koefesien pengurangan karena adanya sistem golongan
NFR = Kebutuhan bersih (netto) air di sawah l/det/ha.
A = Luas daerah yang diari keseluruhan
e = Efesiensi irigasi diairi keseluruhan.

Desain hidrolis saluran didasarkan pada pemberian air irigasi secara penuh.
Muka air di saluran akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Saluran kwarter akan memberi air ke sawah
Pembuang kwarter dan tersier menerima kelebihan air dari sawah
Jalan inspeksi atau jalan petani 0,50 meter diatas permukaan sawah
Kedalaman pondasi bangunan dikaitkan langsung dengan elevasi sawah asli
Muka air di saluran kwarter sekurang-kurangnya 0,15 meter di atas muka sawah.

6.1.2. DIMENSI SALURAN

Perencanaan dimensi saluran dilakukan dengan menganggap bahwa aliran di saluran


adalah aliran seragam (Unifrom flow) maka digunakan rumus Strickler.

V= K.R 2/3 I.1/2


R= A/P
A= bxh
P b 2h
Q= V.A

6-6
dimana :
Q = debit saluran, m3/dt
V = kecepatan aliran, m/dt
A = luas potongan melintang aliran, m2
R = jari-jari hidrolis, m
P = keliling basah, m
b = lebar dasar, m
h = tinggi air, m
I = kemiringan energi/kemiringan dasar saluran
K = Koefisien kekasaran strickler
w = tinggi jagaan

6.1.3. LENGKUNG SALURAN

Lengkung saluran yang diijinkan untuk saluran tanah bergantung kepada :


ukuran dan kapasitas saluran
jenis tanah
kecepatan aliran

Jari-jari minimum lengkung pada as saluran harus diambil sekurang-kurangnya 8 kali


lebar atas pada lebar permukaan air rencana.

Jika jari-jari minimum dibutuhakan, maka saluran harus diberi pasangan. Panjang
pasangan dibuat paling sedikit 4 kali kedalaman air pada tikungan saluran.

Jari-jari lengkung saluran yang diberi pasangan harus sebagai berikut :


3 kali lebar permukaan air untuk saluran-saluran kecil (< 0.6 m3/dt)
7 kali lebar permukaan air untuk saluran-saluran besar (> 10 m3/dt)

6.1.4. TINGGI JAGAAN DAN LEBAR TANGGUL/JALAN INSPEKSI

Fungsi tinggi jagaan adalah :


Keamanan pada saat elevasi muka air naik diatas tinggi muka air maksimum
Mencegah kerusakan tanggul saluran

Meningginya muka air sampai diatas tinggi yang telah direncana bisa disebabkan oleh
penutupan pintu secara tiba-tiba disebelah hilir, variasi ini akan bertambah dengan
membesarnya debit, meningginya muka air buangan kedalam saluran.

Besarnya tinggi jagaan dan lebar minimum tanggul bergantung pada debit rencana
saluran, untuk saluran-saluran yang membawa aliran air buangan, kapasitas dari saluran
diperiksa terhadap debit totalnya (QT) dengan tinggi jagaan seperti dalam Tabel 3-1, 3-
2, 3-3 dan Tabel 3-4 berikut ini.

6-7
Tabel 6-1Tinggi Jagaan Minimum Untuk Saluran Tanah
Debit - Q Tinggi Jagaan W
(m3/dt) (m)
< 0, 5 0,40
0,5 - 1,5 0,50
1,5 - 5,0 0,60
5,0 - 10,0 0,75
10,0 - 15,0 0,85
> 15,0 1,00
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi Kriteria Perencanaan Bagian Saluran
KP-03, hal. 26.

Tabel 6-2Tinggi Jagaan Untuk Saluran Pasangan


Debit Tanggul F
Pasangan - F1 (m)
(m3/dt) (m)
< 0, 5 0,40 0,20
0,5 - 1,5 0,50 0,20
1,5 - 5,0 0,60 0,25
5,0 10,0 0,75 0,30
10,0 15,0 0,85 0,40
> 15,0 1,00 0,50
Sumber : Standard Perencanaan Irigasi
Kriteria Perencanaan Bagian Saluran, Kp-03, hal.43.

Tabel 6-3Tinggi Jagaan Saluran Minimum Untuk QT


Jagaan
QT Tanggul
Pasangan
(m3/dt) f (m)
(m)
< 0, 5 0,20 0
0,5 - 1,5 0,30 0
1,5 - 5,0 0,40 0,05
5,0 - 10,0 0,55 0,10
10,0 - 15,0 0,65 0,20
> 15,0 0,80 0,30

6-8
Tabel 6-4Lebar Minimum Tanggul

Tanpa Jalan Dengan Jalan


Debit
Inspeksi Inspeksi
Rencana (m3/dt)
(m)
(m)
Q<1 1,00 3,00
1<Q<5 1,5 5,00
5 < Q < 10 2,00 5,00
10 < Q < 15 3,50 5,00
Q > 15 3,50 5,00
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi Kriteria Perencanaan Bagian
Saluran,
Kp-03 Galang Persada, Bandung, 1986, hal. 27.

Jalan Inspeksi yang terletak di tepi saluran dimaksudkan agar bangunan sadap dapat
dicapai dengan mudah dan usaha penyadap liar sulit dilakukan.

Lebar jalan inspeksi pada saluran induk/sekunder adalah 5.00 m dan lebar perkerasan
3.00m. Perkerasan jalan inspeksi tersebut dibuat dari komposisi tanah dan pasir dengan
ketebalan antara 0.15 m sampai dengan 0.20 m

6.1.5. KEMIRINGAN SISI SALURAN

Kemiringan sisi saluran akan didesain securam mungkin sesuai dengan jenis tanahnya.
Kemiringan sisi dalam saluran yang dianjurkan diberikan dalam Tabel 2-5 berikut :

Tabel 6-5Kemiringan Sisi Saluran (1.0 tegak :m Datar)

Jenis tanah Kemiringan Sisi(m)


Batuan 0,25
Batuan Lunak 0,5 - 0,7
Lempung berat 0,5 - 1,2
Geluh, D < 1, 0 m 1
Geluh, D > 1, 0 m 1,5
Geluh pasiran 1,5
Pasir Lepas 2,0

Dimana :
D = h + f (m)
h = kedalaman air rencana (m)
f = Tinggi jagaan (m)

6-9
6.1.6. KEMIRINGAN MEMANJANG SALURAN

Kemiringan muka air rencana (slope) I sedapat mungkin akan cocok dengan kemiringan
dasar saluran yang ada. Bentuk dan kemiringan rencana saluran akan dipilih sehingga
kecepatan yang didapat tidak melampaui kecepatan maksimum ijin.

6.1.7. KONTROL KECEPATAN

Perencanaan saluran harus mengacu pada perencanaan saluran yang stabil yaitu erosi
dan sedimentasi di setiap potongan melintang harus minimal dan berimbang dan ruas-
ruas saluran harus mantap.

Untuk perencanaan saluran irigasi, aturan perencanaan adalah menjaga agar kapasitas
angkutan sedimen per satuan debit tiap ruas setidak-tidaknya adalah konstan ke arah
hilir.

Kriteria yang digunakan adalah IR adalah konstan atau makin besar ke arah hilir.
Kecepatan maksimum yang diijinkan adalah kecepatan aliran yang tidak akan
menyebabkan erosi di permukaan saluran.

Kecepatan maksimum yang diijinkan ditentukan dalam dua langkah :


1. Penetapan kecepatan dasar (vb) untuk saluran lurus dengan ketinggian air 1 m. Vb
adalah 0.6 m untuk harga-harga PI di bawah 10.
2. Penentuan faktor koreksi pada Vb untuk lengkung saluran, berbagai ketinggian air
dan angka pori (faktor A,B,C).

Vmaks = Vb x A x B x C
Dimana :
Vmaks = kecepatan maksimum yang diijinkan, m/dt
A = faktor koreksi untuk angka pori permukaan saluran
B = faktor koreksi untuk kedalaman air
C = faktor koreksi untuk lengkung saluran.

Kontrol Bilang Froude (Fr)


Perhitungan bilangan Froude adalah penting apabila dipertimbangkan pemakaian
kecepatan aliran dan kemiringan saluran yang tinggi. Untuk aliran yang stabil, bilangan
Froude akan kurang dari 0,55.

Saluran dengan bilangan Froude antara 0,55 dan 1,4 dapat memiliki pola aliran dengan
gelombang Tegak (muka air bergelombang, yang akan merusak kemiringan talut).
Apabila terjadi aliran Super kritis, bangunan diperhitungkan sebagai got miring.

6-10
6.1.8. CEK PERBANDINGAN LEBAR TERHADAP KEDALAMAN
SALURAN

Idealnya, saluran-saluran didesain dengan perbandingan lebar, kedalaman B/h = n = 1,0


ini untuk saluran-saluran yang relatip kecil. Saluran -saluran dengan debit besar
biasanya didesain dangkal dengan nilai banding "n" bisa sampai 10. Nilai-nilai banding
n yang digunakan untuk desain diberikan dalam Tabel 3-6.

Akan tetapi, untuk pekerjaan rehabilitasi dan upgrading saluran-saluran yang sudah ada,
bentuk saluran rencana tidak akan memenuhi nilai-nilai seperti pada Tabel 3-6.

Bentuk saluran yang sudah ada tidak dapat diubah begitu saja tanpa alasan-alasan yang
jelas. Pengerukan lumpur yang terkumpul didasar saluran mungkin diperlukan untuk
memperkecil nilai banding "n". Tetapi penimbunan sisi-sisi saluran tidak boleh
dilakukan bila alasan hanya untuk mengurangi nilai banding "n". Harga n yang tinggi
untuk debit-debit yang besar adalah perlu sebab jika tidak, kecepatan rencana akan
melebihi kecepatan maksimum yang diijinkan.

Tabel 6-6Nilai Banding Saluran/Kedalaman "n"

Debit rencana
N
Qp (m3/dt)
0,15 - 0,30 1,0
0,30 - 0,50 1,0 - 1,2
0,50 - 0,75 1,2 - 1,3
0,75 - 1,00 1,3 - 1,5
1,00 - 1,50 1,5 - 1,8
1,50 - 3,00 1,8 - 2,3
3,00 - 4,50 2,3 - 2,7
4,50 - 5,00 2,7 - 2,9
5,00 - 6,00 2,9 - 3,1
6,00 - 7,50 3,1 - 3,5
7,50 - 9,00 3,5 - 3,7
9,00 - 10,00 3,7 - 3,9
10,00 - 11,00 3,9 - 4,2
11,00 - 15,00 4,2 - 4,9
15,00 - 25,00 4,9 - 6,5
25,00 - 40,00 6,5 - 9,0

6-11
6.2. DETAIL DESAIN SALURAN DRAINASE

6.2.1. DEBIT PEMBUANGAN DARI SAWAH

Untuk areal sawah < 200 Ha, maka harga modulus pembuangan boleh ditentukan dari
hujan rencana R(1)5, : yaitu curah hujan terbesar 1 hari dengan periode ulang 5 tahun,
sebagai berikut :

Tabel 6-7 Drainage Modul (Dm)

R (1)5 Rata-rata Modulus Pembuang


(mm) Untuk desain (mm) Dm (1/dt/ha)
<120 115 6,0
120 150 135 7,0
151 200 175 9,0

Qd= Dm . A
dimana :
Qd = debit pembuang (1/dt)
Dm = modulus pembuang (1/dt/ha)
A = luas tangkapan (ha)

Untuk areal sawah > 200 ha, harga modulus pembuang dihitung dari R (3)5, (curah hujan
selama 3 hari dengan periode ulang 5 tahun ) seperti dalam kriteria desain Kp-0,3.
Untuk areal sawah 200 -400 Ha dipakai Rumus dibawah ini :

[R(3) 5 + 3 (IR - ET - P) - S]
Dm = l/dt ha
3 x 8,64

dimana:

Dm=Modulus pembuang (1/dt/ha)


R(3) 5 = Curah hujan 3 hari dengan periode ulang 5 tahun
IR = Pemberian Air Irigasi pada waktu itu
ET = Evapotranspirasi
P = Perkolasi
P = 0 untuk dataran rendah
P = 3 untuk dataran terjal
S = Tampungan tambahan, dan diambil maksimum 50 mm.

Jadi debit pembuang adalah :

Qd = Dm .A
dimana :

6-12
A = luas tangkapan (ha)
dan untuk areal sawah > 400 Ha pakai Rumus sebagai berikut :

Qd = 1,62 .Dm. A0,92

6.2.2. DEBIT PEMBUANG UNTUK NON-SAWAH

Debit yang dipakai untuk rencana adalah debit puncak yang terjadi dari hujan harian
periode ulang 25 tahun.
Metode yang dipakai adalah "
U.S Soil Conservation Service
Weduwen

6.2.3. KEMIRINGAN SISI SALURAN DRAINASE

Pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan kemiringan talut sebuah saluran


pembuang (drainase) dilakukan mirip dengan pertimbangan untuk saluran irigasi.

Harga-harga kemiringan minimum talut untuk saluran pembuangan pada berbagai


bahan tanah mengikuti Tabel dibawah.

Tabel 6-8Kemiringan Talut Minimum Saluran Pembuang

Kedalaman Galian, D Kemiringan Minimum Talut


(m) (1 hor : m vert.)
D < 1,0 1,0
1,0 < D <2,0 1,5
D > 2,0 2,0
Sumber : Standard perencanaan Irigasi Kriteria perencanaan bagian saluan,
Kp-03, Galang Persada, Bandung 1986, hal.82.

6.2.4. KONTROL KECEPATAN MAKSIMUM YANG DIIJINKAN

Penentuan kecepatan maksimum yang diijinkan untuk saluran pembuang dengan bahan
kohesif mirip dengan yang dilakukan pada saluran Irigasi.

Untuk jaringan pembuang intern, air akan dihitung sebagai bebas sedimen. Untuk
konstruksi pada tanah - tanah non kohesif, kecepatan yang diijinkan adalah 0,6
m/dt (Kp-3).

6-13
6.3. PERENCANAN BANGUNAN

6.3.1. BAGI/SADAP

Untuk perencanaan bangunan bagi/sadap atau bangunan lainnya, digunakan standar


perencanaan irigasi Kp-O4 dan KP-Penunjang
Hal-hal lain yang perlu untuk diperhatikan dalam perencanaan bangunan bagi/sadap
dalam hal ini :
a. Bangunan bagi/sadap direncanakan dengan konstruksi yang permanen dilengkapi
dengan pintu-pintu air.
b. Pintu-pintu yang mempunyai fungsi untuk membagi air ke saluran primer/utama
atau ke saluran sekunder.
c. Sedangkan pintu-pintu yang berfungsi menyadap air kesaluran tersier dibuat dengan
type pintu sorong yang dilengkapi dengan bangunan ukur ambang lebar.

Pintu pengatur direncanakan berupa pintu sorong, dimana untuk perhitungan hidrolis
digunakan rumus :
1. Aliran Sempurna
Perhitungan hidrolis pintu sorong dengan aliran sempurna dirumuskan dengan
persamaan sebagai berikut :
Q = . b .a . 2.g.h1
dimana :
Q = Debit aliran (m3/dt)
b = Lebar bukaan pintu (m)
a = Tinggi bukaan pintu (m)
= Koefisien aliran
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
h1 = Kedalaman air di depan pintu diatas ambang (m)
2. Aliran Tenggelam
Perhitungan hidrolis pintu sorong dengan aliran tenggelam digunakan rumus :
Q = K. . b .a . 2.g.h1
dimana :
Q = Debit aliran (m3/dt)
K = Faktor untuk aliran tenggelam
b = Lebar bukaan pintu (m)
a = Tinggi bukaan pintu (m)
= Koefisien aliran
g = Percepatan gravitasi (m/.dt2)
h1 = Kedalaman air di depan pintu diatas ambang (m)

6.3.2. BANGUNAN UKUR AMBANG LEBAR

Untuk mengendalikan dan mengukur kapasitas debit yang diperlukan oleh


masing-masing saluran, maka bangunan bagi dan bangunan sadap dilengkapi bangunan
ukur ambang lebar.

6-14
Perhitungan hidrolis bangunan ukur ambang lebar adalah sebagai berikut :
Q Cd . C v . 2/3 2 g b c . h1
1,5

dimana :
Q = debit, m3/detik
Cd = koefisien debit
Cd adalah 0,93 + 0,10 H1/L untuk 0,1 < H1/L < 1,0
H1 = tinggi energi hulu, meter
L = panjang mercu, meter
Cv = koefisien kecepatan datang
g = percepatan grafitasi, m/det2
bc = lebar mercu, meter
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter

6.3.3. PERENCANAAN BANGUNAN TERJUN

Pada daerah dengan kemiringan medan yang lebih terjal dari kemiringan saluran
rencana, maka direncanakan bangunan terjun dimana bangunan tersebut untuk menjaga
kemiringan dasar saluran. Bangunan terjun yang ada diusahakan berada pada setiap
bangunan sadap untuk memberikan keuntungan dalam pengaturan dan pengukuran
debit.

Bangunan terjun tegak dibuat dengan perbedaan tinggi energi maksimum (Z) = 1,50 ,
dan jika melebihi 1,50 m dipakai bangunan terjun miring. Apabila pada satu ruas
saluran diperlukan adanya bangunan terjun yang sangat banyak., dimana hal tersebut
menyebabkan biaya pembuatan saluran menjadi lebih tinggi maka perlu dibuat alternatif
yang lain.

Pemilihan alternatif akan didasarkan pada keadaan yang secara teknis dapat
dipertanggung-jawabkan dan dalam segi pembiayaan lebih ekonomis.

Untuk perhitungan hidrolis bangunan terjun digunakan rumus sebagai berikut :


Q = Cd . 2/3 . 2 / 3.g.b.h 1.5
Z = (H + Hd) H1
Hd = 1.67 H1
Vu = 2.9.z
Yu = q/Vu
Fr = Vu/(g.Yu)

dimana :
H = Selisih tinggi energi hilir dan hulu (m)
Hd = Tinggi energi hilir di kolam olakan (m)
Vu = Kecepatan aliran di kolam olakan peredam (m.dt)
Yu = Tinggi air di kolam peredam (m)

6-15
g = Percepatan grafitasi (m/dt2)
Fr = angka froude
n = Tinggi ambang di ujung kolam olakan (m)

6.3.4. GORONG-GORONG

Gorong-gorong direncanakan karena saluran pembawa memotong jalan, sedang


gorong-gorong pembuang (cross drain) direncanakan karena saluran pembuang
memotong saluran pembawa tersebut.

Gorong-gorong direncanakan berupa aliran bebas agar material hanyutan (debris) dapat
lewat dengan mudah.

Adapun bentuk/tipe gorong-gorong dapat direncanakan berbentuk bulat maupun


segiempat. Sedang perhitungan hidrolis gorong-gorong menggunakan persamaan
berikut :

1. Gorong-gorong aliran penuh


Q . A. 2.g . z
dimana :
Q = debit rencana, m3/det
= koefisien debit
A = luas penampang gorong-gorong, m2
z = kehilangan tinggi energi pada gorong-gorong, m
g = percepatan grafitasi

2. Gorong-gorong aliran tidak penuh


Q 1 . C 2 . D 8/3 . Sc
2
n
Q.n
C 2 8/3 1/2
D .S
dimana :
Q = debit aliran, m3/det
n = koefisien kekasaran bahan
C2 = koefisien
D = diameter gorong-gorong, m
Sc = kemiringan kritis dasar saluran

Karena terjadi perubahan pola aliran pada waktu masuk dan keluar, maka diperlukan
transisi. Sedang kehilangan tinggi diperhitungkan meliputi saat masuk, di
gorong-gorong dan pada saat keluar.

a. Panjang Transisi

L = B b ctg
2
dimana,

6-16
L = panjang transisi (m)
B = lebar saluran (m)
b = lebar gorong-gorong (m)
= sudut penyempitan

b. Kehilangan Tinggi
1. Transisi masuk
h1 = 0,5 (hVp- hv)

2. Di gorong-gorong
h2 = S2 x L2

3. Transisi keluar
h1 = 1,0 (hVp- hv)

6.3.5. TANGGA CUCI

Tangga cuci direncanakan sebagai fasilitas penunjang bagi penduduk setempat


(perkampungan dekat saluran) yang memanfaatkan saluran untuk keperluan mandi,
mencuci dan sebagainya.

6.3.6. PERENCANAAN JEMBATAN

Perencanaan jembatan direncanakan sesuai dengan kelas jalan, adapun kriteria yang
diambil adalah sebagai berikut :
1. Apabila saluran menyilang jalur, sehingga diperlukan adanya jembatan, maka
design jembatan yang direncanakan sesuai dengan kelas jalan.
2. Jembatan jalan desa dan jalan inspeksi, termasuk jembatan jalan penghubung (kelas
III).
3. Lebar jembatan minimum 3 m.
4. Type jembatan umumnya cukup berupa jembatan plat beton (jembatan beton
bertulang), untuk bentang yang lebih besar dari 5 m dipakai balok T.

6.4. DETAIL DESAIN JARINGAN TERSIER

Setelah didapat hasil pengukuran profil memanjang dan melintang berdasarkan lay-out,
maka membuat design saluran dan bangunan dapat dilaksanakan.

6.4.1. DESIGN SALURAN

1. Untuk menentukan dimensi saluran dipakai rumus Strickler :

6-17
V = K R2/3 I1/2
dimana :
V = Kecepatan aliran air dalam/detik
K = Koefisien kekasaran dinding saluran
i = Kemiring besar saluran
R. = A/P = Jari-jari hidrolis
P = Keliling basah saluran.
A = Luas penampang basah
2. Kecepatan aliran V diambil 0,20 - 0,60 m/dt. Khusus untuk saluran kwarter bila
terpaksa dapat diambil V minimum = 0,10 detik. Pembuatan lining saluran
(pelindung talud) karena kecepatan aliran V = 0,60 m/detik sedapat mungkin dapat
dihindari. Khusus untuk saluran kwater pembuatan lining saluran sama sekali yidak
diperkenankan, karena akan dapat mengairi langsung petak-petak sawah di
sebelahnya.
3. Dalam menentukan dimensi saluran agar diusahakan I saluran = I medan lapangan (i
rencana = i lapangan) dengan mengingat kecepatan aliran V masih dalam batas-
batas seperti tersebut pada nomor 2 diatas. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
pembuatan bangunan-bangunan terjun dan sebagainya.
4. Apabila akan dibuat bangunan terjun, maka bangunan terjun yang bersangkutan
akan digambarkan memakai gambar standard.
5. Agar dihindarkan adanya saluran-saluran pembawa yang sejajar berdampingan.
Kalau karena keadaan topografis hal ini tak dapat dihindari agar diusahakan saluran
yang berdampingan tersebut dipisahkan oleh satu petak sawah.
6. Pada daerah datar diusahakan agar saluran pembuangan tersebut terpisah dengan
saluran pembawa, tetapi daerah pegunungan bila terpaksa boleh tidak terpisah
(saluran pembawa atau sebaliknya).
7. Untuk tiap petak tersier dibuat skema pembawa dan saluran pembuang dilengkapi
dengan ketinggian muka air yang direncanakan dan panjang masing-masing strook
saluran serta kemiringannya.
8. Saluran pembawa .
Untuk saluran pembawa ditetapkan b = h diambil angka-angka bulat kelipatan 5 cm.
a. Saluran tersier dan saluran sub tersier.
Oleh karena saluran tersier dan sub tersier tidak boleh diambil airnya langsung ke
petak-petak sawah dikanan kirinya maka akan diusahakan agar maksud tersebut
dapat tercapai, bila mungkin agar diusahakan supaya ketinggian muka air disaluran
tersier dan sub tersier masih lebih rendah pada ketinggian muka tanah sawah
dikanan kirinya.
Tinggi jagaan W = 0.30 m
Kemiringan tebing 1 : 1
Koefesien Kekasaran K = 60

Lebar Tanggul d = 0.50 m sebaliknya salah satu tanggul diperbesar menjadi lebih
besar dari 1.50 m untuk jalan petani/farmroad.

b. Saluran kwarter

6-18
Karena air dalam saluran kwarter akan diambil langsung kepetak sawah
disebelahnya, maka ketinggian airnya ditetapkan 0,15 di atas muka tanah sawah
tertinggi yang akan diairi dan 0,10 m di atas muka tanah sawah yang terjauh.
Tinggi jagaan W = 0.20 m
Koefesien Kekasaran K = 60
Lebar Tanggul d = 0.40 m

9. Saluran Pembuang
Untuk perhitungan kapasitas saluran pembuang diambil q = 5.834 l/det/ha.
Koefesien kekasaran K = 40
Lebar dasar minimum 0.30 m, dasar saluran minimum 0.4 m di bawah muka dasar
tanah.

6.4.2. DESIGN BANGUNAN

3. Bangunan Pembagi air (Box tersier/kwarter)


a. Untuk memudahkan eksploitasi maka box tersier/kwarter akan diusahakan
agar dapat membagi air secara proposional sesuai dengan areal yang diairi.
Untuk memudahkan maka dalam satu box ketinggian drempel akan sama,
sedangkan lebarnya sebanding dengan luas areal yang diairi. Perhitungan
lebar pintu dan tinggi air di atas ambang dipakai rumus sebagai berikut :
Q Cd 1,7 b h 1
3/2

dimana :
Q = debit, m3/det
Cd = koefisien debit = 0,85
b = lebar ambang, m
h1 = kedalaman air di hulu ambang, m
b. Khusus pada daerah yang sangat datar, box tersier/kwarter agar didesign
tanpa memakai drempel, tetapi tetap akan dapat membagi air secara
proposional sesuai dengan areal yang diairi.
c. Box tersier akan dilengkapi dengan pintu-pintu air yang dapat diatur
membuka/menutup, sehingga memungkinkan pelaksanaan rotasi
pembagian air mampu memperkecil/memperlebar jumlah air yang dialirkan
sesuai dengan kebutuhan tanaman.
d. Box kwarter tidak perlu dilengkapi dengan pintu-pintu karena tidak
diperlukan rotasi pembagiaan air secara petak kwarter. Namun
diperlukan/disediakan stop-log untuk memungkinkan adanya perbaikan
saluran.
e. Tiap-tiap bangunan pembagi air (box tersier/kwarter) akan digambar satu
persatu (tidak boleh memakai gambar standar).

4. Alat Bangunan Pengukur Debit


Bila headloss terbatas (didaerah datar) pengukuran debit air cukup dilakukan pada
pintu penyadap tersier saja. Bila sewaktu-waktu diperlukan pengukuran debit pada
salah satu strook saluran dapat dipakai alat ukur portable (yang dapat dipindah-
pindahkan)
5. Bangunan Akhir (End Control)

6-19
Bangunan ini ditempatkan pada ujung dari saluran kwarter dan berfungsi untuk
menaikan air, secara sebagai bangunan pelimpah pada waktu air berlebihan untuk
bangunan akhir ini cukup dipakai gambar standar.

6. Bangunan lain-lain
Yang dimaksud bangunan disini adalah gorong-gorong, jembatan talang, syphon,
bangunan terjun, got mirirng dan sebagainya. Bangunan-bangunan ini hanya dibuat
bila benar-benar diperlukan saja. Jumlahnya akan diusahakan sedikit mungkin.
Untuk bangunan lain-lain ini digunakan gambar standar.

7. Pondasi Bangunan-bangunan
Sejauh mungkin diusahakan pondasi bangunan-bangunan dengan pondasi langsung,
Untuk tanah yang baik dasar pondasi adalah minimum : 0,40 m dibawah dasar
saluran dan 0,60 m dibawah muka sawah. Untuk tanah-tanah yang kurang baik
dilakukan perbaikan pondasi. Untuk tanah yang jelek digunakan cerucuk bambu
atau jenis pondasi yang lain.

6.4.3. DESIGN FARM ROAD (JALAN SAWAH/JALAN INSPEKSI)

1. Jalan sawah (farm road) perlu dibuat agar tidak terdapat petak-petak sawah yang
terisolir, sehingga pengangkutan hasil produksi, pupuk-pupuk dan alat kerja dan
sebagainya dapat lancar, ukuran farm road ditetapkan lebih besar minimum = 1.50
m.
2. Untuk kepentingan inspeksi saluran-saluran tersier sub tersier maka salah satu
tanggul dari saluran tersebut diperlebar menjadi minimum = 1,50 m untuk dipakai
sebagai jalan inspeksi (dapat dilalui sepeda/sepeda motor).

6.4.4. GAMBAR-GAMBAR DESIGN

Gambar-gambar design akan dibuat sebagai berikut :


1. Peta situasi rencana seluruh Daerah Irigasi yang didesign (plan lay out) skala 1 :
2.000
2. Tiap-tiap petak tersier dibuat satu paket design (untuk petak-petak tersier yang kecil,
beberapa petak tersier dengan jumlah luas 100-150 ha, dapat dibuat merupakan satu
paket, tiap-tiap paket terdiri atas :
a. Peta situasi skala 1 : 2.000
b. Gambar saluran terdiri atas :
Situasi trace saluran skala 1 : 2.000
Penampang memanjang saluran
Untuk daerah datar skala panjang 1 : 2.000 skala tinggi 1 : 50.
Untuk daerah perbukitan skala panjang 1 : 2.000 skala tinggi 1 : 100
Penampang melintang saluran dengan skala 1 : 50, skala panjang
sama dengan skala tinggi.
Untuk daerah datar jika trace saluran merupakan baru, cukup dibuat
atau digambar penampang melintang tetap interval (strook) saluran.

6-20
Untuk daerah perbukitan dan trace saluran dibuat satu penampang
melintang setiap 100 m.

c. Gambar-gambar bangunan
Semua gambar akan terdiri atas : denah dan potongan-potongan
memanjang skala 1 : 50
Untuk gambar bangunan bagi box tersier/kwarter akan digambar satu
persatu tiap bangunan, boleh memakai gambar type yang ukurannya
masih kosong, kemudian ukurannya tersebut diisi angka-angka hasil
perhitungan design.
Gambar bangunan lainnya menggunakan gambar standar dilengkapi
dengan tabel dimensi, ketinggian dan sebagainya.

6.4.5. BOKS BAGI

Untuk membagi air keseluruhan petak tersier dan kwarter diperlukan boks bagi yang
dibangun diantara saluran tersier dengan kwarter. Boks bagi ini direncanakan dapat
membagi air secara proposional dan secara rotasi, karenanya lebar bukaannya
disesuaikan dengan luas areal yang akan diairi dan kebutuhan air irigasi (NFR)
Elevasi ambang dan muka air diatas ambang direncanakan sama untuk semua bukaan
boks. Dan untuk keperluan operasi dimana air dibagi secara rotasi, boks perlu
dilengkapi dengan pintu yang dapat ditutup dan dibuka sesuai dengan keperluan.
Boks bagi biasanya direncanakan dari pasangan batu kali , yang mana setiap lubang
aliran adalah merupakan ambang lebar. Perhitungan debit yang mengalir di atas ambang
boks dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Q = 1,70 . Cd .b . h1 1,5
Dimana,
Q = Aliran debit diatas ambang boks (m3/dt)
Cd = Koefisien debit (0,85)
b = Lebar ambang (m)
h1 = Tinggi air di hulu ambang (m)

6.4.6. BANGUNAN TALANG

Bangunan talang ( aquaduct) direncanakan karena saluran rencana memotong alur alam
( sungai ) dan untuk konstruksinya dapat terbuat dari kayu, beton bertulang maupun
baja. Bentuk penampangnya dapat direncanakan berupa segi empat maupun setengah
lingkaran. Batasan kecepatan aliran diijinkan pada bangunan talang sesuai dengan
material konstruksinya :
- Kayu, beton : v = (1,5 2,0 ) m/dt
- Besi : v = (2,5 3,0) m/dt
Posisi dasar bangunan talang harus cukup tinggi terhadap muka air banjir di sungai agar
konstruksi aman dari benda-benda hanyutan seperti batang-batang kayu dan lain-lain.
Perhitungan hidrolis bangunan talang segi emapat manggunakan rumus pengaliran pada
saluran tegak ( flume). Untuk merencanakan dimensi bagian peralihan (transisi) masuk
dan keluar diguankan persamaan berikut ini :

6-21
L = B b ctg
2
Dimana,
L = panjang transisi (m)
B = Lebar muka air di hulu (m)
b = Lebar muka air di talang (m)
= Sudut penyempitan

Kehilangan tinggi yang diperhitungkan dalam perencanaan bangunan talang meliputi :


Peralihan pada bagian pemasukan, pada talang serta peralihan pada bagian keluar.
Persamaan yang digunakan untuk memprediksi besaran kehilangan tinggi pada masing-
masing section tersebut adalah seperti berikut :
- Peralihan di bagian masuk:
Kekasaran bahan : 0,50 . L1. ( I1+ I2)
Penyempitan : fi .( v22 v12)/(2 . g)
- Pada talang
Kekasaran bahan : I2 . L2
- Peralihan di bagian keluar
Kekasaran bahan : 0,50 . L3. ( I2+ I3)
Pelebaran : fo .( v22 v32)/(2 . g)

6.4.7. PIPA SADAP SEDERHANA ( ONCORAN )

Untuk menganbil bangunan sadap tersier yang mengambil air dari saluran primer /
sekunder yang besar , dimana pembuatan bangunan pengatur akan sangat mahal dan
muka air yang diperlukan di petak tersier relatif lebih rendah di saluran pada kondisi
debit rendah , akan menguntungkan untuk memakai bangunan sadap pipa sederhana
dengan pintu sorong sebagai bangunan penutup.

Pipa sederhana berupa sebuah pipa yang terbuat dari buis beton dengan diameter
standart 0.15, 0.20, 0.30, 0.40, 0.50, atau 0.60 yang bisa ditutup dengan pintu sorong .
Aliran melalui bangunan ini tidak dapat diukur tapi dibagi sampai debit maksimum ,
yang bergantung pada diameter pipa dan beda tinggi energi .Untuk bangunan
bangunan yang mengalirkan air ke saluran tanpa pasangan , kecepatan maksimum di
dalam pipa dibatasi 1.0 m/dt. Jika bangunan itu mengalirkan air ke saluran pasangan ,
kecepatan maksimumnya mungkin sampai 1.5 m/dt.

6-22
BAB 7. PERENCANAAN SALURAN PRIMER DAN
SEKUNDER

7.1. DATA PERENCANAAN


Untuk mendapatkan hasil perencanaan yang handal diperlukan ketersediaan data primer
dan data pendukung (data sekunder) yang akurat. Data primer yang diperlukan dalam
proses perencanaan detail antara lain meputi : data topografi, hidroklimatologi serta data
geologi dan mekanika tanah.

Data topografi yang merupakan basic data diperoleh dari 2 (dua) cara yaitu hasil
pengukuran pada pekerjaan sebelumnya yang meliputi Peta Situasi Areal Studi, selain itu
juga diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan pada Pekerjaan Detail Desain Jaringan
Irigasi yang meliputi : pengukuran situasi bangunan utama, pengukuran trase saluran dan
pengukuran situasi bangunan-bangunan penting.

Data geologi dan mekanika tanah diperoleh dari hasil investigasi di lapangan yang
meliputi bor inti, bor tangan, sondir dan test pit. Sedangkan untuk data hidroklimatologi
diambil dari hasil analisis pekerjaan system planning.

7.1.1. SURVEY TOPOGRAFI DAN PEMETAAN

Tengah ini, pelaksanaan pengukuran topografi di lapangan antara lain meliputi :


1. Peta Situasi Detail 1 :2000, 1 : 5000
2. Penampang Memanjang Sungai A dan Sungai B
3. Penampang Melintang Sungai A dan Sungai B
4. Penampang memanjang rencana saluran pembawa utama.
5. Penampang melintang rencana saluran pembawa utama
6. Penampang memanjang rencana saluran pembawa tersier
7. Penampang melintang rencana saluran pembawa tersier
8. Penampang memanjang rencana saluran pembuang utama
9. Penampang melintang rencana saluran pembuang utama
10. Penampang memanjang rencana saluran pembuang tersier
11. Penampang melintang rencana saluran pembuang tersier

7.1.2. HIDROKLIMATOLOGI

Data hidroklimatologi yang diperlukan untuk proses perencanaan detail diambil dari hasil
analisis hidrologi yang dilakukan pada Pekerjaan System Planning, yang mana hasil
tersebut adalah sebagai berikut :.
1. Kebutuhan Air Irigasi dan Neraca Air
Besaran kebutuhan air irigasi diperngaruhi oleh curah hujan efektif dan faktor lainnya
seperti :

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan

7-1
Penggunaan konsumtif
Perkolasi dan rembesan
Penggantian lapisan air

Sebagai dasar pemilihan besaran kebutuhan air irigasi yang digunakan dalam perencanaan
adalah analisis Neraca Air. Dari analisis ini diperoleh nilai kebutuhan air untuk irigasi
(NFR) sebesar 0,98liter/detik./ha untuk Daerah Irigasi., dan alternatif yang terpilih adalah
pada alternatif 11, dengan rencana pola tanam sebagai berikut :
Masa Tanam Padi I, dimulai pada awal bulan Agustus sampai dengan awal
Desember
Masa Tanam Padi II, dimulai akhir bulan Desember sampai dengan akhir bulan
Maret
Masa Tanam Palawija, mulai awal bulan April sampai dengan bulan Juli
2. Modulus Drainase
Besaran kelebihan air yang harus dibuang (modulus drainase) pada Daerah Irigasi 9,70
liter/detik/ha.

7.2. PERENCANAAN HIDROLIS SALURAN


Perencanaan saluran pembawa induk dan sekunder didasarkan pada kebutuhan elevasi
muka air yang telah dihitung pada jaringan tersier serta kriteria pada Bab II.

Dimensi Saluran dihitung dengan berdasarkan rumus Strickler sebagai berikut dan besar
kebutuhan air sebesar 1.70 l/dt/ha untuk saluran induk dan 1.53 l/dt/ha untuk saluran
sekunder. Besar debit rencana dan skema jaringan disajikan pada Lampiran.

Contoh : Saluran Induk


A = 93,24 Ha
Q = 0.128 m3/dt
Ketentuan :
n = 1,06
K = 35
W = 0,33
Penyelesaian :
Dicoba :
b = 0,50 m
h = 0.47 m
m = 1
A = (b + m x h) h
= (0,50 x 1x 0.47) 0.47
= 0,456 m2
P = b + 2h (1+m2)
= 0,50 +2x0.47 (1 x12)
= 1,289 m
R = A/P
= 0,456/1,2898
= 0,249 m
V = Q/A
7-2
= 0,128 / 0456
= 0,2809 m/dt
I = ((V)/(K*R2/3))2
= ((0.2809)/(35*0.2492/3))2
= 0,00041
Kontrol Terhadap kecepatan

V rencana Vmaks
0,2809 m/dt V maks .OK

Kontrol sedimentasi terhadap kemiringan


Kemiringan (I) saluran makin ke hilir makin besar atau tetap konstant

7.3. LENGKUNG SALURAN


Berdasarkan kriteria pada Bab II dan layout saluran.

Kontrol kecepatan :
Kecepatan maksimum yang diijinkan adalah kecepatan aliran yang tidak akan
menyebabkan erosi di permukaan saluran.

Kecepatan maksimum yang diijinkan ditentukan dalam dua langkah :


1. Penetapan kecepatan dasar (vb) untuk saluran lurus dengan ketinggian air 1 m. Vb
adalah 0.6 m untuk harga-harga PI di bawah 10.
2. Penentuan faktor koreksi pada Vb untuk lengkung saluran, berbagai ketinggian air dan
angka pori (faktor A,B,C).
Vmaks = Vb x A x B x C
Dimana :
Vmaks = kecepatan maksimum yang diijinkan, m/dt
A = faktor koreksi untuk angka pori permukaan saluran
B = faktor koreksi untuk kedalaman air
C = faktor koreksi untuk lengkung saluran.

7.4. BANGUNAN BAGI / SADAP


Untuk bangunan Bagi/Sadap pada jaringan Irigasi mengikuti Kriteria Perencanaan
Bangunan Irigasi KP.04 dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Bangunan bagi/sadap yang berfungsi sebagai bangunan pembagi / pengatur / penyadapan


air yang dilengkapi dengan pintu pengatur, pintu sadap dan bangunan pengukur debit
aliran.

Agar diperoleh kemudahan dalam eksploitasi dan perawatan, maka pintu-pintu pengatur
dan penyadap air di jaringan Irigasi, digunakan :

Pintu Pengatur : Pintu sorong


Pintu Sadap : Pintu sorong
7-3
Bangunan ukur : Alat ukur ambang lebar

7-4
BAB 8. DESAIN JARINGAN TERSIER DAN
BANGUNAN

8.1. LAYOUT PETAK TERSIER

Untuk menentukan layout, aspek-aspek berikut akan dipertimbangkan. Kebutuhan air di


sawah Q = 1.11 lt/dt/Ha.
luas petak tersier
batas-batas petak tersier
bentuk yang optimal
kondisi medan
jaringan irigasi yang ada
eksploitasi jaringan

Ukuran optimum suatu petak tersier adalah antara 50 sampai 100 ha. Ukurannya dapat
ditambah sampai 150 ha jika keadaan topografi memaksa demikian. Sedangkan kriteria
umum untuk pengembangan petak tersier adalah sebagai berikut :
Ukuran petak tersier 50 100 ha
Ukuran petak kwarter 8 - 15 ha
Panjang saluran tersier < 1500 m
Panjang saluran kwarter < 500 m

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka dibuat suatu perencanaan layout


petak tersier dengan daftar petak tersier, disajikan pada Tabel .

8-1
Tabel 8-1Tabel Petak Tersier

No Petak Tersier A ( Ha)

1 AS1-ka 6.58
2 AS2-ka 17.05
3 AS2-tg 21.62
4 J1-ki 8.08
5 J2-Tg 95.60
6 J2-ka 54.19
7 J3-ki 48.59
8 J4-Tg 153.83
9 J4-ki 63.61
10 J4-ka 37.95
11 SM1-ki 5.90
12 SM2-ki 5.40
13 SM3-ki 18.80
14 SM3-Tg 29.21
15 SD1-ka 3.10
16 SD2-ka 4.40
17 SD3-ka 4.60
18 SD4-ka 0.96
19 SD5-ka 22.40
20 SD5-Tg 57.78

8.2. PERENCANAAN SALURAN


Dimensi Saluran dihitung dengan berdasarkan rumus Strickler
Pada Petak tersier SM.1 ki
Contoh : Saluran Tersier BBSM1-T1
A = 5.90 Ha
Q = 0.015 m3/dt

Ketentuan :

8-2
n = 2.31
K= 35
w= 0.30
m= 1

Penyelesaian :
Dicoba :
b = 0.30 m
h = 0.13 m

A = (b + m x h) h
= (0.30 x 1x 0.13) 0.13
= 0.06 m2

P = b + 2h (1+m2)
= 0.30 +2x0.13 (1 x12)
= 0.67 m

R = A/P
= 0.06 /0.67
= 0.08 m

V = Q/A
= 0.005 / 0.06
= 0.268 m/dt < V Kontrol

I = ((V)/(K*R2/3))2
= ((0.268)/(35*0.082/3))2
= 0.001605

Untuk selanjutnya perhitungan dimensi saluran dilakukan dengan cara yang sama dan
dengan memeperhatikan kemiringan medan.

8.3. PERENCANAAN BANGUNAN


Yang dimaksud dengan bangunan pada jaringan tersier adalah Box Tersier, Box Kwarter
serta bangunan pelengkap lainnya.

Pada perencanaan box digunakan tinggi drempel yang sama sehingga air dapat dibagi
secara proporsional pada setiap elevasi.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :


Q Cd 1,7 b h 1
3/2

8-3
dimana :
Q = debit, m3/det
Cd = koefisien debit = 0,85
B = lebar ambang, m
h1 = kedalaman air di hulu ambang, m

Contoh :
Petak Tersier SM.3-ki
Box Tersier T.1
A = 10.20 Ha
Q = 0.015 m3/dt

Dengan coba-coba
h = 0.15 m

maka (b) didapat


b = 0.18 m diambil b = 0.20 m

8-4
BAB 9. SALURAN PEMBUANG

9.1. UMUM

Saluran pembuang didefinisikan sebagai saluran yang berfungsi menampung dan sekaligus
membuang kelebihan air yang sudah tidak dipakai pada suatu sistem irigasi rencana.
Berdasarkan letak daerah tangkapannya, saluran pembuang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

8. Saluran Pembuang Eksternal


Saluran pembuang yang menampung dan mengalirkan air buangan dari luar areal
irigasi rencana.

9. Saluran Drainase Internal


Saluran pembuang yang direncanakan menampung dan mengalirkan air buangan yang
berasal dari areal irigasi.

Berdasarkan fungsi saluran drainase tersebut dalam jaringan irigasi, dibedakan menjadi 4
(empat) yaitu :

10. Saluran Pembuang Primer


Saluran pembuang yang berfungsi menampung dan mengalirkan air buangan dari
beberapa petak sekunder.

11. Saluran Pembuang Sekunder


Saluran pembuang yang direncanakan untuk menampung dan mengalirkan air buangan
yang berasal dari beberapa petak tersier.

12. Saluran Pembuang Tersier


Saluran pembuang yang direncanakan untuk menampung dan mengalirkan air buangan
yang berasal dari beberapa petak kwarter.

13. Saluran Pembuang Kwarter


Saluran pembuang yang direncanakan untuk menampung dan mengalirkan air buangan
dari petak kwarter.

5
9.2. TRASE SALURAN

Trase saluran pembuang terutama untuk pembuang primer dan sekunder, sedapat mungkin
memanfaatkan saluran alam atau sungai yang ada dengan tetap memperhatikan kondisi
topografinya. Untuk trase saluran pembuang tersier dan kwarter dipilih pada daerah lembah
(elevasi terendah), agar dapat mematus kelebihan air/air buangan dari daerah irigasi tersebut
secara efektif tanpa menimbulkan genangan yang dapat mengganggu jaringan.

9.3. PERENCANAAN SALURAN


Dimensi Saluran dihitung dengan berdasarkan rumus Strickler
Pada Petak tersier SM.1 ki
Contoh : Saluran Tersier BBSM1-T1

A = 5.90 Ha
Q = 0.015 m3/dt

Ketentuan :
n = 2.31
K= 35
w= 0.30
m= 1

Penyelesaian :
Dicoba :
b = 0.30 m
h = 0.13 m

A = (b + m x h) h
= (0.30 x 1x 0.13) 0.13
= 0.06 m2

P = b + 2h (1+m2)
= 0.30 +2x0.13 (1 x12)
= 0.67 m

R = A/P
= 0.06 /0.67
= 0.08 m

V = Q/A
= 0.005 / 0.06
= 0.268 m/dt < V Kontrol

I = ((V)/(K*R2/3))2
= ((0.268)/(35*0.082/3))2
= 0.00160

Anda mungkin juga menyukai