TB Anak
614.542
Ind
P
PETUNJUK TEKNIS
MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS
MANAJEMEN TB ANAK
ISBN 978-602-235-3436-9
1. Judul
I. TUBERCULOSIS PREVENTION AND CONTROL
II. CHILD HEALTH SERICES III. COMMUNICABLE DISEASE
Juknis
TB Anak
KATA PENGANTAR
KATA SAMBUTAN
Ketua Kelompok Kerja Nasional Tuberkulosis Anak
Assalamualaikum wr.wb
Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat
maka akan meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak
yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya.
Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang
telah membantu terbitnya buku ini.
Wassalamualaikum wr.wb
DAFTAR KONTRIBUTOR
Pengarah
Prof .Dr. Tjandra Yoga Aditama
Dr . Slamet, MHP
Penanggung jawab
Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH
Editor
Dr. Triya Novita Dinihari
Dr. Retno Kusuma Dewi
Kontributor
Dr. Nastiti Noenoeng Rahajoe, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr .Darmawan B Setyanto , SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr Rina Triasih, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Wahyuni Indawati, SpA : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Landia Setiawati, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. M Syarofil Anam, SpA : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Ery Olivianto, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Fifi Sofiah, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Tjatur KS, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Ida Bagus Subanada, SpA(K) : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Khairiyadi, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr Bob Wahyudin , SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Dewi Kartika : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Retno Kusuma Dewi : Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Dr. Triya Novita Dinihari : Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Dr. Vanda Siagian : Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Dr. Setya Budiono : Pengelola Program TB Prov Jatim
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
KATA SAMBUTAN............................................................................................................. iii
DAFTAR KONTRIBUTOR............................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Epidemiologi....................................................................................... 1
B. Patogenesis.......................................................................................... 2
BAB II DIAGNOSIS TB PADA ANAK.................................................................... 7
A. Penemuan Pasien TB Anak............................................................ 7
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak............ 8
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring................. 11
D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus.......................... 16
E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak.................................... 24
BAB III PENGOBATAN TB ANAK.......................................................................... 27
A. Paduan OAT Anak.............................................................................. 27
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak........................ 31
BAB IV MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL..................................... 34
BAB V MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK....................................................... 39
BAB VI MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK............................. 44
A. Definisi................................................................................................... 44
B. Diagnosis TB MDR pada anak...................................................... 44
C. Prinsip penatalaksanaan TB MDR pada anak....................... 45
D. Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV... 48
BAB VII PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK.................................. 49
A. Vaksinasi BCG pada Anak............................................................... 49
B. Skrining dan Manajemen Kontak.............................................. 50
C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid........................... 52
BAB I
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi
yang menjelaskan beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan
lingkungan. Secara sistematis dan informatif menguraikan sejarah
penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis
dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak
adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Cara Penularan:
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa
maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada
pasien TB dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
Besaran masalah TB Anak
Tuberkulosis anak merupakan faktor
penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia kurang dari
15 tahun adalah 4050% dari jumlah
seluruh populasi (Gambar ).
B. Patogenesis
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya
sangat kecil (<5 m), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus..
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang
biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
*1)
*4)
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis
regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau
reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe
dewasa (adult type TB)
BAB II
DIAGNOSIS TB PADA ANAK
A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah
atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular
adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA
positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan
kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan
pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan
bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk
telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak
spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit
lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis
pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan
foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena
juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan
foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang
TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada
bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status
gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000
(lihat lampiran).
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi
selama 1 bulan.
Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik
setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan
infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas
kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA
positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur
anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada
TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka
dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan
dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis,
maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas
(uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi
dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB
dengan syarat skor 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
2. Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan
TB dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,
diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta
pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan
tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan
edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI,
untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus. Apabila
keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
3. TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis
berat dan merupakan 37% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara
kasat mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu
1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius,
serta sosioekonomi).
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai
sesak nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi
hipoksia, pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum, sampai
gangguan fungsi organ, serta syok.
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 23 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat
khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di
seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang
hampir seragam (13 mm).
Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan
klinis diduga TB milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis
ditegakkan melalui rewayat kontak dengan pasien TB BTA positif, gejala
klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan
lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya
demam setelah 23 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan,
perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan.
Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang
dalam 510 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan
sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat
melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.
4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 17% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan,
dan nyeri pada pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa
ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya
seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna
benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan
abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang
lanjut, membutuhkan operasi bedah sebagai tatalaksananya
Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan pincang
dan kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan
di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang
ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan
dan MRI. Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat
kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan minimal umumnya
dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
5. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering
terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus
timbul 69 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa
kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran
kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,
supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal
penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete,
dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan
di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral,
tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah
dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya
menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat normal.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan
bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat dilakukan di
fasilitas rujukan.
6. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura.
Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi
pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2
bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai
; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal
mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala
hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan
sebagai TB paru
Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28
dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di
atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat
diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati
kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
BAB III
PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan)
dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
BAB IV
MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL
TB neonatal
Ada 2 istilah pada TB neonatal yang harus dibedakan yaitu :
TB kongenital : terjadi ketika neonatus tertular M tuberculosis saat
dalam rahim melalui penyebaran hematogen lewat vena umbilikal,
atau saat persalinan melalui aspirasi atau meminum cairan amnion
atau sekresi cervicovaginal yang terkontaminasi M tuberculosis. Gejala
TB kongenital biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan dan
mortalitas TB kongenital tinggi.
TB neonatal/TB perinatal : adalah ketika neonatus terinfeksi setelah
lahir dengan terpapar pada kasus TB BTA (+), yaitu biasanya ibu atau
kontak dekat lain. Penularan pascanatal terjadi secara droplet dengan
patogenesis yang sama seperti TB pada anak.
Seringkali sulit membedakan antara TB kongenital dan TB neonatal/perinatal.
Neonatus yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada
neonatus mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda
tidak spesifik, diagnosis sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis.
Gejala awal seperti letargi, sulit minum, berat badan lahir rendah dan kesulitan
pertambahan berat badan. Tanda klinis lain meliputi distres pernapasan,
pneumonia yang sulit sembuh, hepatosplenomegali, limfadenopati, distensi
abdomen dengan asites, atau gambaran sepsis neonatal dengan TB diseminata.
Diagnosis TB harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada infeksi
kronis neonatal yang berespon buruk terhadap terapi antimikroba, infeksi
kongenital, dan pneumoni atipikal. Petunjuk yang paling utama dalam diagnosis
TB pada neonatus yaitu riwayat ibu terinfeksi TB atau HIV. Poin utama pada
riwayat ibu meliputi pneumonia yang sulit membaik, kontak dengan kasus
indeks TB , dan riwayat pengobatan TB dalam 1 tahun terakhir.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah
pemeriksaan M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada
plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan
adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu dilakukan kuretase endometrium
untuk mencari endometritis TB.
Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari nafsu makan yang
meningkat, pertambahan berat badan dan perbaikan radiologis. Menyusui bayi
tetap dilakukan oleh karena risiko penularan M tuberculosis melalui ASI dapat
diabaikan. Demikian juga tentang OAT yang dikonsumsi ibu, hanya dieksresikan
dalam jumlah kecil, dan tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat.
Bayi tidak boleh dipisahkan dari ibu, oleh karena menyusui dapat diandalkan
menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup
neonatus dengan TB.
Gambar 4. Alur pengelolaan neonatus dan bayi dari ibu dengan TB aktif
*Catatan
1) Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis dan
mikrobiologis. Bila ibu terdiagnosis TB aktif maka diobati dengan
OAT. Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tetapi ibu
harus memakai masker untuk mencegah penularan TB pada bayinya.
Pada ibu yang sangat infeksius (BTA positif), bayi dipisahkan sampao
terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap
diberikan ASI yang dipompa. Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang
memberikan ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan. Dosis obat
TB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis
terapeutik bayi.
2) Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), dan
darah v.umbilikalis (Mikrobiologi=BTA & biakan TB).
3) Klinis:
Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan, hepato-
splenomegali, demam, letargi, toleransi minum buruk, gagal
tumbuh, distensi abdomen.
Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.
4) Pemeriksaan penunjang :
Foto rontgen toraks dan bilas lambung
Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear
discharge, lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA
Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, lakukan
pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan
dengan biopsi hati
5) Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu dinyatakan
tidak infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif,
isoniazid dihentikan dan diberikan BCG pada bayi.
BAB V
MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK
Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko
paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata
(milier), TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada
daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi
TB cukup tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan
pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba,
akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi
pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV
saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa
HIV.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering
ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka
kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian
TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat.
Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya
transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari
15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa
telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada
umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama
TB berat (milier dan meningitis)
Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis
dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :
1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB,
banyak mempunyai kemiripan gejala.
2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi
imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun
sebenarnya telah terinfeksi TB.
3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum
positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini
terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan
keteraturan pengobatan.
Pemberian ART
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung
diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi
BAB VI
MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK
Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti
karena kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian
TB kebal obat di Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus
ini perlu ditingkatkan mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih
belum optimal dan angka kejadian TB kebal obat pada dewasa yang terus
meningkat. Diperkirakan banyak anak yang kontak dengan kasus TB dewasa
kebal obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada anak akan mencerminkan
pengendalian TB kebal obat pada dewasa.
A. Definisi
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR,
dan XDR. Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan
resisten terhadap isoniazid atau rifampisin.3 Seorang pasien TB anak
dikatakan mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil
M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan
extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan
hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents
BAB VII
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK
Gejala utama TB
a. BB turun atau sulit naik
b. Demam menetap > 2 minggu dan atau keringat malam
c. Batuk menetap 3 minggu, non remitting
d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh
e. Fatique, kurang bermain, kurang aktif
f. Diare menetap> 2 minggu
Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/
kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke
3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB
dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen
terapi TB anak dimulai dari awal
Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu
diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
BAB VIII
PENCATATAN, PELAPORAN DAN INDIKATOR TB ANAK
Catatan:
Pada kasus TB dengan gejala klinis yang berat, setelah menelan seluruh
dosis OAT pengobatan pada bulan 6, hasil akhir pengobatan dapat
dinyatakan sebagai PL (Pengobatan Lengkap). Anak tetap melanjutkan
pengobatan sampai dinyatakan selesai oleh dokter berdasarkan
perbaikan tanda-tanda klinis..
Pada TB 03, di kolom Paduan Obat diubah menjadi Kode Paduan Obat,
dengan pilihan: 1 (Kat 1), 2(Kat 2), 3(Kat Anak dg 3 obat), 4(kat Anak
dg 4 obat), 5 (IPT)
Pasien TB anak setelah evaluasi 2 bulan, kemudian dinyatakan bukan
TB, dalam pencatatan hasil akhir pengobatan dilaporkan sebagai
Default.
1. Proporsi TB anak yang berumur 0-4 tahun terhadap seluruh kasus TB anak
Adalah prosentase seluruh kasus TB anak umur 0-4 tahun yang diobati di
antara seluruh kasus TB anak yang diobati dalam periode satu tribulan
Numerator Jumlah kasus TB anak umur 0-4 tahun yang
diobati (tidak termasuk anak yang mendapatkan
pengobatan pencegahan dengan INH)
Sumber Data :
TB.07
Contoh :
Jumlah kasus TB anak umur 0-4 tahun (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) yang diobati pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 adalah 3
Denominator Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
TB.07
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2013 adalah 15
Rumus perhitungan Jumlah kasus TB anak umur 0 - 4
indikator tahun yang diobati x 100%
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 3/15 x 100% = 20%
Frekuensi perhitungan Setiap triwulan
Penanggung Wasor Kabupaten/ Kota
jawab
BAB IX
PERAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN DALAM TATALAKSANA TB ANAK
3 PENGOBATAN
A. PEMBERIAN Bila diagnosis TB anak Bila diagnosis TB anak Bila diagnosis TB anak
OAT telah ditegakkan, maka telah ditegakkan, maka telah ditegakkan, maka
dilakukan pemberian dilakukan pemberian dilakukan pemberian
oat sesuai kategori anak oat sesuai regimen oat sesuai regimen
yang digunakan secara yang digunakan secara yang digunakan secara
nasional sesuai dengan nasional sesuai dengan nasional sesuai dengan
penyakitnya penyakitnya penyakitnya kecuali
pada kasus-kasus khusus
seperti reaksi obat yang
tidak diinginkan, suspek
MDR)
B. FOLLOW UP Pemantauan kasus Pemantauan kasus Pemantauan kasus
KASUS dilakukan dengan cara dilakukan dengan cara dilakukan dengan cara
menilai kemajuan menilai kemajuan menilai kemajuan
perbaikan klinis, perbaikan klinis, perbaikan klinis,
perkembangan fisik dan perkembangan fisik dan perkembangan fisik dan
psikologis psikologis psikologis
Bila dalam 2 bulan Menerima rujukan dari Menerima rujukan dari
pengobatan tidak fasyankes dasar dan fasyankes dibawahnya
ada perbaikan maka menindak lanjuti dengan dan menindak lanjuti
obat tetap diteruskan, melakukan pemeriksaan dengan melakukan
pasien harus dirujuk ke yang dianggap perlu. pemeriksaan yang
fasyankes rujukan dianggap perlu
Setelah dilakukan Setelah dilakukan
pengobatan maka pengobatan maka
fasyankes rujukan dapat fasyankes rujukan
merujuk kembali ke dapat merujuk kembali
fasilitas kesehatan dasar ke fasilitas kesehatan
sebelumnya bila kondisi sebelumnya
pasien stabil.
4 PENCATATAN Semua fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pencatatan & pelaporan
DAN dengan form TB yang baku (TB.06, TB.05, TB.04, TB.01, TB.02, TB.09 dan
PELAPORAN TB.10)
5 INDIKATOR Untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan TB di fasyankes, maka
dibutuhkan pencatatan yang baku dan menggunakan indikator sesuai
Buke Pedoman Nasional TB dan melengkapi dengan indikator proses yang
diperlukan oleh fasyankes
6 SISTEM
RUJUKAN
A. RUJUKAN (1). Bila ditemukan (1). Bila ditemukan (1). Bila pasien TB akan
TATA LAKSANA kasus-kasus berat,dan kasus-kasus berat, dan pindah ke Fasyankes
PASIEN adanya komplikasi paru adanya komplikasi yang setingkat karena
maka Fasyankes dasar paru yang memerlukan alasan dekat ataupun
harus merujuk pasien TB sarana prasarana yang alasan lainnya.
ke Fasyankes Rujukan lebih lengkap maka (2). Bila dalam
dengan menggunakan Fasyankes harus kasus berat, kondisi
form standar TB merujuk pasien TB ke pasien telah teratasi
(2). Bila pasien TB akan Fasyankes Rujukan maka pasien dapat
pindah ke Fasyankes dengan menggunakan dikembalikan ke
yang setingkat karena form standar TB Fasyankes yang merujuk.
alasan dekat ataupun (2). Bila pasien TB akan (3). Bila pasien TB
alasan lainnya pindah ke Fasyankes mangkir, Fasyankes
yang setingkat karena Rujukan dapat
alasan dekat ataupun berkoordinasi dengan
alasan lainnya. Puskesmas dan Wasor
(3). Bila dalam untuk membantu
kasus berat, kondisi pelacakan pasien
pasien telah teratasi mangkir.
maka pasien dapat
dikembalikan ke
Fasyankes yang merujuk.
(4). Bila pasien TB
mangkir, Fasyankes
Rujukan dapat
berkoordinasi dengan
Puskesmas dan Wasor
untuk membantu
pelacakan pasien
mangkir.
B. RUJUKAN (1). Fasyankes dasar (1) Rujukan Tk 1 dapat (1) Rujukan Tk 2 dapat
PENYUNTIKAN dapat berfungsi sebagai berfungsi sebagai berfungsi sebagai
TUBERKULIN fasyankes dan fasyankes fasyankes dan fasyankes fasyankes dan fasyankes
rujukan tuberkulin rujukan tuberkulin rujukan tuberkulin
(2.).Fasyankes rujukan (2.).Fasyankes rujukan (2.).Fasyankes rujukan
tuberkulin menerima tuberkulin menerima tuberkulin menerima
rujukan untuk rujukan untuk rujukan untuk
melakukan uji tuberkulin melakukan uji tuberkulin melakukan uji tuberkulin
dari fasyankes dari fasyankes dari fasyankes
(3). Fasyankes rujukan (3). Fasyankes rujukan (3). Fasyankes rujukan
tuberkulin dapat tuberkulin mendiagnosis tuberkulin mendiagnosis
mendiagnosis TB anak TB anak dengan TB anak dengan
dengan tambahan tambahan uji tuberkulin tambahan uji tuberkulin
uji tuberkulin atau atau dapat mengirim atau dapat mengirim
mengirim pasien pasien yang diuji pasien yang diuji
yang diuji tuberkulin tuberkulin untuk dibaca tuberkulin untuk dibaca
untuk dibaca dan dan atau didiagnosis dan atau didiagnosis
atau didiagnosis oleh oleh fasyankes pengirim. oleh fasyankes pengirim.
fasyankes pengirim.
BAB X
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB
BAB XI
DAFTAR PUSTAKA
Department of Health and Human Services, 2002, 2000 CDC Growth Chart for
the United States: Methods and Development
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2004, Bab Jumlah
Populasi berdasarkan usia, 8:627-9
Kemenkes, 2013, Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB HIV
Kemenkes, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Kemenkes, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Depkes-IDAI, 2008, Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak, Kelompok
Kerja TB Anak
Mark Nicol, use of Xpert MTB/RIF for the diagnosis of tuberculosis in
children, Unpublished
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, edisi ke2 dengan revisi
WHO, 2006, Guidance for national tuberculosis programmes on yhe
management of tuberculosis in children
WHO, September 2009, Dosing instruction for the use of currently available
fixed-dose combination TB medicines for children
WHO, 2006, Ethambutol efficacy and toxicity: literature review and
recommendations for daily and intermittent dosage in children
WHO, 2012, Rapid Advice Treatment of Tuberculosis in Children
WHO, 2012, Draft of Guidance for national tuberculosis programmes on yhe
management of tuberculosis in children, Second edition
Lampiran 1.
Pelaksanaan Uji Tuberkulin
4. Pengecekan suntikan
a. Setelah dilakukan injeksi yang benar, akan terlihat intradermal wheal
(penonjolan di tempat penyuntikkan berwarna pucat dengan gambaran
pori-pori seperti kulit jeruk) dengan diameter 56mm.
b. Setelah jarum suntik dicabut, daerah penyuntikkan jangan diusap atau
ditekan dengan kapas atau alat lain.
c. Jika tidak berhasil (tidak terlihat intradermal wheal), lakukan ulangan
pada lokasi paling sedikit berjarak 5 cm dari tempat suntikan
sebelumnya.
d. Jangan dilingkari dengan pulpen/spidol, karena dapat menghalangi
pembacaan hasil. Data-data dicatat di dalam catatan medis.
5. Pencatatan data
a. Catat data yang diperlukan pada catatan medis, yaitu berupa tanggal
dan jam dilakukannya penyuntikan, lokasi penyuntikan dan nomer lot
PPD.
indurasi
2. Palpasi indurasi
- Gunakanlah ujung jari untuk meraba
batas / tepi indurasi. Palpasi jari
dilakukan dari area luar ke arah indurasi.
3. Tandai indurasi
- Ujung jari digunakan sebagai petunjuk
untuk menandai tepi indurasi, tandai
dengan pena.
- Dapat juga menggunakan metode
ballpoint, yaitu ujung pena ditarik dari
area di luar kemerahan menuju ke arah
indurasi sampai ujung pena terasa
mengenai tepi indurasi
Lampiran 2
Pengambilan Sampel pada Anak
Prosedur dasar metode umum mendapatkan spesimen dari anak untuk
pemeriksaan mikroskopi : ekspektorasi, bilas lambung dan induksi sputum.
A. Ekspektorasi
Latarbelakang
Semua spesimen sputum yang diproduksi oleh anak harus dikirim
untuk pemeriksaan mikroskopi, dan bila tersedia untuk biakan kuman
Mtb. 3 spesimen sputum harus didapatkan yaitu :
1. Spesimen sewaktu (pada evaluasi pertama)
2. Spesimen pagi hari hari dan spesimen sewaktu kedua (pada kunjungan
selanjutnya)
Prosedur
Jelaskan pada anak dan keluarganya tujuan pengumpulan spesimen
1. Perintahkan anak untuk berkumur dengan air sebelum menghasilkan
sputum. Tujuan : untuk membersihkan makanan dan bakteri yang dapat
mengkontaminasi di mulut.
2. Perintahkan anak menarik dua kali nafas panjang, tahan selama beberapa
detik setelah setiap inhalasi lalu keluarkan nafas perhalan. Bernafas lagi
untuk ketiga kalinya lalu dengan kuat keluarkan udara keluar. Minta anak
untuk menarik nafas kembali lalu batuk. Tindakan ini akan menghasilkan
sputum dari dalam paru. Minta anak memegang kontainer sputum dekat
dengan bibir dan masukkan sputum ke kontainer setelah batuk produktif.
3. Jika jumlah sputum tidak cukup, minta pasien untuk batuk lagi.Banyak
pasien tidak dapat memproduksi sputum dari dalam saluran pernafasan
hanya dalam beberapa detik. Berikan anak waktu yang cukup untuk
memproduksi ekspektorasi.
4. Bila tidak ada ekspektorasi, anggap kontainer sudah digunakan dan buang
pada tempat yang sesuai.
B. Bilas lambung
Latarbelakang
Anak dengan TB dapat menelan mukus yang mengandung M.
tuberculosis. Bilas lambung merupakan teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan isi lambung untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis TB
dengan mikroskop dan biakan kuman Mtb. Karena distress yang akan
dialami anak, dan rendahnya lapang pandang BTA positif di mikroskop,
maka prosedur ini hanya dilakukakan bila biakan tersedia. Mikroskopi
kadang bisa memberikan hasil false-positive (terutama pada anak yang
terinfeksi HIV yang berisiko memiliki mycobacteria nontuberculous).
Biakan dapat menentukan kepekaan organisme terhadap obat anti TB.
Bilas lambung digunakan untuk mengumpulkan spesimen untuk
pemeriksaan mikroskopi dan biakan kuman MTb dimana sputum tidak
dapat diekpektorasi secara spontan ataupun diinduksi dengan menggunakan
salin hipertonis. Prosedur ini paling berguna untuk anak yang dirawat di RS.
Namun, hasil biakan positif dari 3 set bilas lambung hanya sekitar 25-50%
dari anak dengan TB aktif.Sehingga, hasil smear ataupun biakan negatif tidak
mengeksklusi TB pada anak.Bilas lambung dikumpulkan dari anak yang
dicurigai pulmonary Tb. Selama tidur, sistem mukosiliary menyebabkan
mukus berkumpul di tenggorakan. Mukus lalu tertelan dan tertinggal di
lambung sampai lambung kosong. Sehingga, spesimen yang mengandung
jumlah bakteri terbanyak didapatkan di pagi hari.
Bilas lambung tiga pagi berturut-turut harus dilakukan pada tiap
pasien.Angka ini untuk memaksimalkan lapang pandang smear-positivity.
Sebagai catatan, bilas lambung yang pertama memiliki lapang pandang
terbesar.Untuk melaksanakan test secara benar biasanya dibutuhkan dua
orang (satu melaksanakan test dan satu lagi sebagai asisten). Anak puasa
setidaknya 4 jam (3 jam pada bayi) sebelum prosedur dan anak dengan
hitung trombosit yang rendah atau kemungkinan pendarahan sebaiknya
tidak menjalani prosedur ini.
Peralatan yang dibutuhkan:
Sarung tangan
Nasogastric tube ( biasanya ukuran 10 F atau lebih besar )
Syringe 5, 10, 20 or 30 cm3dengan konektor nasogastric tube yang
sesuai
Kertas litmus
Kontainer spesimen
Pulpen untuk memberi label spesimen
Formulir permintaan laboratorium
Air steril atau normal salin (0.9% NaCl)
Larutan Na bicarbonate (8%)
alkohol/chlorhexidine.
Prosedur
Prosedur dapat dilakukan pada pasien rawat inap, pagi hari ketika
pasien bangun di bedside atau di ruangan tindakan yang ada di bangsal, atau
pada pasien rawat jalan (diperlukan fasilitas yang lengkap). Anak berpuasa
setidaknya 4 jam (bayi 3 jam) sebelum prosedur.
1. Cari asistan untuk membantu
2. Siapkan semua peralatan sebelum memulai prosedur
3. Posisikan anak dengan posisi terlentang atau miring. Asisten membantu
memegang pasien.
4. Tentukan jarak antara hidung dan lambung, untuk memperkirakan jarak
yang akan dibutuhkan untuk memasukan tube ke dalam lambung.
5. Sambungkan syringe ke nasogastric tube.
6. Masukan nasogastric tube dengan lembut melalui hidung sampai ke
lambung.
7. Aspirasi isi lambung (2-5 ml) menggunakan syringe yang sudah melekat ke
nasogastric tube.
8. Untuk memeriksa posisi tube benar atau tidak, test isi lambung dengan
kertas litmus, kertas litmus biru berubah menjadi merah (dalam respons
terhadap asam lambung) (Juga bisa diperiksa dengan memasukan beberapa
udara (3-5 ml0 dari syringe ke lambiung dan dengarkan menggunakan
stetoskop).
9. Jika tidak ada cairan yang teraspirasi, masukan 5-10 ml air atau normal
saline dan coba untuk mengaspirasi lagi
Jika masih belum berhasil coba lagi (walaupun posisi nasogastric tube
tidak benar dan air ataupun normal salin masuk kedalam saluran udara,
risiko efek samping sangatlah kecil)
Jangan diulangi lebih dari tiga kali.
10. Ambil isi lambung (idealnya 5-10 ml)
Setelah prosedur
1. Seka kontainer spesimen dengan alkohol/chlorhexidineuntuk mencegah
infeksi silang dan beri label.
2. Isi formulir permintaan laboratorium.
3. Transportasikan spesimen (di cool box) ke laboratorium untuk diproses
secepat mungkin (dalam 4 jam)
4. Jika ada kemungkinan dibutuhkan waktu lebih dari 4 jam untuk
metransportasikan spesimen, letakkan dalam refrigerator (48 C) dan
simpan sampai bisa ditransportasikan.
5. Berikan anak makanan seperti biasa.
Keamanan
Bilas lambung biasanya merupakan prosedur yang tidak menghasilkan
aerosol. Anak hanya berisiko kecil mentransmisikan infeksi, sehingga dapat
dilakukan dengan aman di kamar rawat inap atau ruang tindakan rutin.
C. Induksi sputum
Tidak seperti bilas lambung, induksi sputum merupakan prosedur yang
menghasilkan aerosol. Bila memungkinkan, prosedur ini sebaiknya dilakukan
diruang isolasi yang memiliki tindakan pencegahan kontrol infeksi yang
mencukupi (negative pressure, sinar ultraviolet (nyalakan jika ruang tidak
digunakan) dan kipas ekstraktor).
Induksi sputum merupakan prosedur yang berisiko rendah. Hanya sedikit
efek samping yang dilaporkan,seperticoughing spells, mild wheezingdan
epistaksis. Penelitian terbaru menunjukkan prosedur ini dapat dilakukan
dengan aman pada bayi.(2), namun staf memerlukan pelatihan dan peralatan
khusus untuk melakukan prosedur ini pada bayi.
Pendekatan umum
Periksa anak sebelum prosedur untuk memastikan mereka cukup sehat
untuk menjalani prosedur.Anak dengan karakteristik dibawah ini sebaiknya
tidak menjalani induksi sputum :
Belum cukup puasa : jika anak belum puasa setidaknya 3 jam, tunda
prosedur sampai waktu yang tepat.
Distress pernafasan berat (termasuk tachypnea, wheezing, hipoksia)
Sedang dalam intubasi
Perdarahan : hitung trombosit rendah, kemungkinan pendarahan,
epistaksis (simptomatik atau hitung platelet<50/ml darah).
Penurunan kesadaran
Riwayat asma (yang didiagnosis dan ditatalaksana oleh klinisi)
Prosedur
1. Berikan bronkodilator (contoh salbutamol) untuk mengurangi risiko
wheezing.
2. Berikan nebulisasi saline hipertonic (3% NaCl) selama 15 menit atau
sampai 5 cm3larutan sudah diberikan.
3. Berikan fisioterapi dada bila perlu; hal ini berguna untuk memobilisasi
sekresi.
4. Untuk anak yang lebih besar dan sudah bisa ekspektorasi, ikuti prosedur
di section A untuk mengekspektorat sputum.
5. Untuk anak yang tidak dapat mengekspektorate (contoh anak yang
lebih muda), lakukan :
(i) suction hidung untuk membersihkan sekresi nasalatau (ii)aspirasi
nasopharyngealuntuk mengumpulkan spesimen yang sesuai.
Setiap peralatan yang akan digunakan kembali harus didisinfektan dan
disterilisasi sebelum digunakan pada pasien berikutnya.
Lampiran 3
Perhitungan status gizi pada anak
Perhitungan status gizi pada anak sebaiknya menggunakan parameter BB/TB,
tetapi pengkuran BB/U dapat membantu
Perhitungan BB/TB
1. Perhitungan status gizi anak usia < 5 tahun
a. menghitung BB/PB pada anak < 2 tahun atau BB/TB pada anak >2
tahun
b. Menggunakan kurva WHO Z score 2007 yang dibedakan berdasar
jenis kelamin, dengan cara sebagai berikut:
1) Pada kurva WHO sesuai dengan kriteria umur dan jenis kelamin,
tentukan titik perpotongan Berat (Weight) di aksis sebelah kiri
dengan Tinggi (Length) di aksis bawah dari kurva.
2) Tentukan titik tersebut berada pada garis kurva berapa SD
(Standard Deviasi)
3) Kriteria yang dipakai sebagai berikut:
< -3 SD : gizi buruk
< -2 SD : gizi kurang
-2 SD s.d +1 SD : gizi baik
2. Perhitungan status gizi anak usia > 5 tahun
a. Menggunakan kurva CDC tahun 2000 dengan cara sebagai berikut
1) Pilih kurva CDC sesuai dengan jenis kelamin dan umur dari anak
yang akan diukur status gizinya
2) Pada kurva CDC, terdapat 2 macam grafik (dengan masing-
masing 7 garis) dalam 1 kurva
3) Hitung Tinggi badan dan Berat Badan dari anak yang akan
diukur.
4) Dengan Tinggi badan anak yang akan diukur status gizinya,
pada grafik sebelah atas, tentukanperpotongan antara Panjang
(Length) dengan garis kurva yang paling tengah
5) Dari titik perpotongan tersebut, tarik garis ke bawah sampai
memotong garis tengah dari grafik kedua (grafik bawah).
6) Pada perpotongan dengan grafik kedua, tarik garis ke kanan dan
tentukan berapa Berat (Weight).
7) Berat (Weight) yang ditemukan merupakan Berat Badan Ideal
Perhitungan BB/U
Perhitungan BB/U menggunakan tabel sesuai dengan jenis kelamin dan
kelompok umur.
Lampiran Tabel Berat Badan Menurut Umur (Sampai Usia 3 Tahun 5 Bulan) Lampira
LAKI-LAKI (sampai usia 3.5 tahun) PEREMPUAN (sampai usia 3.5 tahun) LAK
Lampiran Tabel Berat Badan Menurut Umur (Usia 3 Tahun 5 Bulan 15 Tahun)
ISBN 978-602-235-436-9