Anda di halaman 1dari 10

The Six Thinking Hats

Proses Cara Berpikir Yang Tidak Biasa Retno Utari


Widyaiswara Madya Pusdiklat KNPK

Think Globally, Act Locally Abstract

Almost all new ideas have a Critical Thinking berbeda dengan Creative Thingking.
certain aspect of foolishness Critical Thinking merupakan eksplorasi daya pikir hingga
when they are first produced tahap evaluasi, sedangkan tahap Creative Thinking sudah
(Alfred North Whitehead) sampai memodifikasi ide menjadi ide cemerlang. Perpaduan
Critical Thinking yang didominasi otak kiri dan Creative

Thinking yang didominasi otak kanan merupakan good
thinking process dalam menyelesaikan masalah dan
menghasilkan solusi yang brilliant. Proses mengoptimalkan otak kiri dan kanan ini disebut
Lateral Thinking yang dalam men-generate ide kadang menggunakan illogical imagination (out
of the box). Tentunya solusi tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan tidak keluar dari
aturan yang ditetapkan atau nilai yang dianut. Lateral Thinking disebut juga dengan Parallel
Thinking dimana seluruh personil yang terlibat akan memandang masalah dari arah yang sama
dan jika terjadi pergantian topik, maka mereka akan mengubah arah berpikir secara bersama
pula. The Six Thinking Hats (STH) yang diciptakan oleh Edward de Bono merupakan
penerapan dari Lateral Thinking. STH memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang
dan mengelola ide agar selalu tetap on the track sehingga mempercepat pengambilan
keputusan. STH terdiri dari enam topi dengan warna-warna yang memiliki makna tersendiri
yaitu putih (informasi), hitam (resiko), kuning (manfaat), merah (perasaan), hijau (kreativitas)
dan biru (pengendali).

Pendahuluan
Jika kita mendengar kata kreatif, seringkali dikonotasikan dengan hal-hal yang berbau
seni. Seolah-olah kreativitas itu identik dengan hasil karya seniman, aktor/artis film, desainer,
penyanyi, koreografer, pelukis, dan lain lain. Dalam dunia bisnis, kreativitas biasanya terkait
dengan karya mereka yang berkecimpung di dunia pemasaran. Sebenarnya apapun profesinya,
semua orang bisa kreatif dalam berkarya jika mau berpikir lebih dalam dengan cara yang
berbeda. Berpikir bukanlah proses yang mudah, tapi harus selalu diasah. Dengan berpikir, kita
dapat menyelesaikan masalah baik pribadi, bisnis maupun kantor. Lalu, proses berpikir yang
bagaimana yang dapat memecahkan masalah sekaligus memperoleh solusi terbaik?
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita menemui masalah. Ada masalah yang
memang bisa dengan mudah diselesaikan karena masalah tersebut adalah masalah yang
berulang dan kita masih ingat cara mengatasinya. Masalah seperti ini tentu mudah diselesaikan
dengan cara berpikir biasa. Namun, tidak jarang kita menemui masalah rumit, isu dan
tantangan yang memerlukan pemikiran
mendalam. Menghadapi hal ini, sering
kita menemui jalan buntu, terjebak pada
pokok permasalahan tanpa tahu jalan
keluarnya. Dan biasanya brainstorming
terlama justru terletak pada
pembahasan masalah bukan pada
solusinya. Kadang solusi yang
dihasilkanpun biasa-biasa saja, imitasi
dari solusi yang lalu. Untuk
menghasilkan solusi terbaik, perlu
perubahan cara berpikir.

Berpikir Kritis (Critical Thinking) dan Berpikir Kreatif (Creative Thinking)

Setiap orang harus berpikir kritis


dalam menyelesaikan masalah. Apa
sebenarnya Critical Thinking atau berpikir
kritis itu? Critical Thinking adalah kemampuan
untuk berpikir jernih dan rasional. Chance
(1986) mendefinisikannya sebagai
kemampuan menganalisis fakta,
mencetuskan dan menata gagasan,
mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan , menarik kesimpulan,
mengevaluasi argumen dan memecahkan
masalah. Berpikir kritis tidak sama dengan mengkritik, mengecam ataupun berdebat. Berpikir
kritis lebih bersifat netral dan obyektif. Dengan berpikir kritis, kita dapat menunjukkan kelebihan
dan kekurangan serta menjelaskan alasan di balik itu. Tentunya berpikir kritis lebih dari sekedar
mengumpulkan informasi. Seseorang yang memiliki daya ingat yang kuat dan memiliki banyak
fakta bukan berarti pemikir kritis. Pemikir yang kritis dapat memilah mana informasi yang
relevan dan yang tidak relevan. Selanjutnya, mereka dapat memanfaatkan informasi untuk
merumuskan solusi dan mengambil keputusan. Dengan selalu berlatih untuk berpikir kritis,
seseorang dapat meningkatkan keterampilan verbal dan analisis.
Sedikit berbeda dengan Critical Thinking, maka Creative Thinking telah satu langkah
lebih maju. Jika dalam Critical Thinking cara berpikir hanya sampai tahap evaluasi dan memilih
ide terbaik, maka dalam Creative Thinking tahapnya sudah sampai memodifikasi ide menjadi
ide cemerlang. Huitts (1992) membedakan kedua teknik pemecahan masalah atau cara berpikir
ini. Ia mengatakan bahwa Critical Thinking cenderung lebih linier, berurutan, terstruktur, rasional
dan berorientasi pada tujuan. Sedangkan Creative Thinking cenderung holistik dan parallel,
lebih intuitif dan emosional, kreatif, visual dan taktual. Jika dikaitkan dengan dominasi
lateralisasi otak, maka menurut Springer dan Deutsch (1993), berpikir kritis didominasi oleh otak
kiri (analitik, sekuensial, logis dan objektif), sedangkan dominasi berpikir kreatif terletak pada
otak kanan (global, parallel, emosional dan subyektif).
Dalam proses pembelajaran kita tentu sudah sangat familiar dengan istilah Bloom
Taxonomy. Apabila dikaitkan dengan istilah tersebut, maka Creative Thinking merupakan level
tertinggi dalam ranah kognitif yaitu menciptakan (Creating).
Langkah menuju kepada Creative Thinking, dapat dijelaskan dengan gambar berikut:

Berpikir Kritis : Berpikir Kreatif :


Mengevaluasi Menciptakan

Menganalisis
Menerapkan
Memahami
Mengingat

Baik Critical maupun Creative Thinking


diperlukan dalam proses brainstorming. Jadi,
Jika dalam Critical
keduanya merupakan cara berpikir yang saling
Thinking cara berpikir
melengkapi. Dapat dikatakan bahwa Critical
hanya sampai tahap
Thinking merupakan proses konvergen yang
evaluasi dan memilih ide
mempersempit ide-ide baru sehingga terpilih ide
terbaik yang disesuaikan dengan keterbatasan dan terbaik, maka dalam
sumber daya yang ada. Sedangkan Creative Creative Thinking tahapnya
Thinking adalah proses divergen yang men sudah sampai memodifikasi
generate ide-ide, imajinasi dan mencari hubungan ide menjadi ide cemerlang.
antara unrelated concepts. Kombinasi keduanya
tentunya akan menjadi good thinking process.
Lateral Thinking

Tiap manusia tidak terlahir dengan kemampuan berpikir


yang mendalam. Kemampuan berpikir bukanlah bakat
melainkan harus dilatih. Para pemikir hebat telah melatih otak
mereka untuk bekerja dengan cara tertentu yang
memungkinkan mereka menciptakan kreasi/pemikiran yang luar
biasa. Kitapun bisa melakukan hal yang sama yaitu dengan
selalu mengasah dan belajar cara berpikir yang berbeda dan
kreatif.
Apa yang biasa kita lakukan selama ini adalah cara
berfikir tradisional yang diawali dengan identifikasi masalah,
analisis melalui brainstorming dan pengambilan keputusan.
Karena melalui penyaringan pendapat di awal proses dan pemikiran logis yang sistematis,
maka cara ini disebut juga dengan Vertical Thinking. Namun, dalam prakteknya, brainstorming
sangat memakan waktu dan acapkali terjadi perdebatan yang dapat berdampak negatif
terhadap psikologis individu. Perdebatan memang kerap memancing emosi dan prasangka
karena kentalnya budaya argumentatif. Menurut De Bono vertical thinking yang dipelopori oleh
the Greek gang of three (Socrates, Plato and Aristotle) ini adalah pola berpikir yang kaku.
Selain memakan waktu, cara ini kurang efektif dan berakibat turunnya sense of involvement
anggota.
Mengapa sulit sekali memperoleh keputusan atau solusi yang brilliant? Itu karena dalam
cara tradisional, dari pokok permasalahan yang ada, kita langsung melompat ke pencarian
solusi tanpa melalui tahap men generate ide-ide. Oleh karena itu, kita perlu tools untuk
menjembatani masalah dengan solusi tersebut. Dan untuk sampai ke solusi, kita perlu
mengubah cara berpikir standar/rutin menjadi berpikir sistematis dan kreatif atau yang popular
dengan istilah Lateral Thinking. Bertahan dengan cara berpikir tradisional ini tidak akan pernah
bisa menghasilkan solusi yang out of the box.
Banyak orang sering beranggapan, bahwa rahasia orang sukses karena mereka selalu
optimis dan berpikir positif. Padahal mereka sukses karena mereka selalu melihat suatu
permasalahan dari berbagai sisi baik positif maupun negatif. Dalam memecahkan masalah dan
mengambil keputusan, mereka berusaha memperoleh masukan/ide sebanyak-banyaknya,
bahkan ide-ide gila sekalipun, kemudian memeringkatkan ide-ide tersebut untuk bisa
memperoleh solusi terbaik. Jadi dalam mencari solusi terbaik, mereka telah mengeksplorasi
daya berpikir baik secara logis dan imajinatif. Inilah yang disebut dengan Lateral Thinking.
Apa sebenarnya Lateral Thinking itu? The Oxford English Dictionary mendefinisikan Lateral
Tinking sebagai a way of thinking which seeks solutions to interactable problem through
unorthodox methods or elements that would normally be ignored by logical thinking. Jadi,
Lateral Thinking adalah cara memecahkan masalah dengan cara yang tidak biasa yaitu dengan
menggunakan daya imaginasi yang kadang terabaikan oleh logika. Pemikiran Lateral ini
dipelopori oleh Dr. Edward De Bono, seorang pakar cara berpikir. Lateral Thinking tidak
bermaksud menggantikan pola pikir tradisional, tetapi hanya untuk mencari cara terbaik dan
menarik dalam mencari solusi tanpa keluar dari nilai yang dianut atau kriteria yang dikehendaki.
Think Globally, Act Locally, mungkin frase yang cocok untuk mengungkapkan hal ini. Bebas
berimajinasi dalam mengumpulkan ide, namun pemilihan ide terbaik disesuaikan dengan
kebijakan, aturan dan nilai-nilai yang berlaku. Studies have shown that 90% of error in thinking
is due to error in perception. If you can change your perception, you can change your emotion
and this can lead to new ideas. (Edward de Bono). Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa
ide-ide cemerlang justru muncul ketika kita menggunakan daya imajinasi, perasaan dan emosi,
tidak hanya dengan mengandalkan logika saja. Oleh karena itu, Lateral Thinking sangat
membantu seseorang dalam berpikir kreatif.
Proses Lateral Thinking meliputi:
1. Menyeleksi dan mendefinisikan fokus.
Pada tahap ini, masalah, tantangan dan kesempatan diidentifikasi. Fokus diredefinisikan
secara hati-hati dan seksama.
2. Mengenerate ide (Idea generation).
Ada beberapa tools dalam men generate ide-ide, yaitu
Istilah Lateral Thinking
dengan cara Concept Extraction, Challenge, Random
sering disamakan dengan
Entry serta Provocation and Movement Parallel Thinking
3. Mengihtisarkan ide-ide.
Pemikiran-pemikiran baru yang merupakan hasil dari
tahap kedua akan dikelola agar lebih bermanfaat. Pada
tahap ini akan dicari hubungan antar ide dan dipilih beberapa ide yang benar-benar unik
untuk kemudian diidentifikasikan konsepnya. Ide-ide tersebut kemudian di- rating dengan
menggunakan beberapa kriteria agar konsep dan ide baru tersebut benar-benar dapat
diimplementasikan.
4. Pemilihan ide terbaik.
Dari hasil treatment dan assessment, akan diperoleh ide yang benar-benar luar biasa untuk
diterapkan.
Istilah Lateral Thinking sering disamakan dengan Parallel Thinking. Parallel thinking
adalah cara memproses informasi secara bersama-sama dalam satu waktu. Parallel thinking
dapat dilakukan dengan cara horisontal dimana masalah dapat dipisahkan menjadi beberapa
sub-masalah yang lebih sederhana sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan secara
bersama-sama. Dengan parallel thinking setiap personil yang terlibat akan memandang
masalah dari arah yang sama. Jika ada pergantian topik pembahasan, maka mereka akan
mengubah arah berpikir secara bersama pula. Misalnya, dalam suatu rapat diagendakan 10
menit untuk fokus pada pembahasan manfaat dari pengenaan sanksi kepada PNS, maka yang
dibahas dalam sepuluh menit itu hanya manfaat, belum saatnya membicarakan sisi negatif atau
solusinya. The Six Thinking Hats yang akan dijelaskan berikut ini adalah penerapan dari parallel
thinking.
The Six Thinking Hats

The Six Thinking Hats (STH) yang


diciptakan oleh Edward de Bono pada
tahun 1995 ini adalah suatu metode
berpikir lateral yang mengajarkan cara
meningkatkan kualitas daya pikir untuk
menghasilkan sesuatu yang kreatif.
Dalam metode STH, seseorang tidak
hanya dilatih untuk berkonsentrasi
menyelesaikan suatu masalah dalam
sekuens waktu tertentu, tetapi juga
dipersiapkan untuk dapat menerima dan
menghargai pendapat orang lain. STH
dapat digunakan baik individu maupun
dalam grup diskusi. Disini, individu atau kelompok belajar memisahkan cara
berpikir tentang sebuah topik ke dalam enam kategori. Setiap kategori diwakili dengan warna
topi yang berbeda. Dengan memakai topi dan berganti topi, individu atau kelompok dapat
dengan mudah memfokuskan pemikiran ke dalam topik pembicaraan. Dengan demikian, kita
bisa mengeksplorasi suatu subjek tanpa harus mengambil posisi yang bersifat kontra.
Lalu apa hubungan antara topi dengan cara berpikir? Mengapa de Bono
menganalogikannya dengan topi? Tidak ada penjelasan yang pasti mengenai hal ini, tapi
mungkin karena topi dapat mengidentifikasikan peran yang diembannya. Misalnya topi
pramuka, paskibraka, tentara, polisi, topi haji, topi bayi, semua memiliki keunikan masing-
masing dan menunjukkan peran pemakainya. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa
dianalogikan dengan topi dan disebut Thinking Hats. Adapun penjelasan enam topi berpikir
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Topi putih Informasi
Topi putih memfokuskan pada data yang tersedia dan data yang diperlukan. Melalui data
dan informasi tersebut, kita dapat mempelajari dan menganalisa situasi dan kondisi.
2. Topi hitam Resiko.
Dengan mengenakan topi hitam kita belajar melihat sisi negatif /resiko dari keputusan yang
akan diambil. Hal ini penting untuk menyiapkan contingency plan dalam mengantisipasi
kondisi force majeur sebelum memulai sebuah tindakan.
3. Topi kuning Manfaat
Topi kuning memungkinkan kita untuk berpikir positif/optimis dan melihat seluruh manfaat
dan nilai yang dihasilkan dari suatu keputusan.
4. Topi merah Perasaan.
Dengan mengenakan topi merah, kita memandang masalah dengan menggunakan intuisi,
naluri dan emosi. Selain itu, dengan topi merah kita dapat melihat reaksi/respons emosi
orang terhadap keputusan yang diambil.
5. Topi hijau - Kreativitas (Solusi kreatif)
Topi hijau mendorong seseorang untuk mengembangkan daya pikir imajinatif, lateral dan
think out of the box sehingga dapat dihasilkan solusi-solusi yang kreatif dan benar-benar
berbeda.
6. Topi biru - pengendali
Pemakai topi biru adalah personil yang ditunjuk untuk mengendalikan jalannya diskusi. Ia
bertindak sebagai pemimpin rapat yang mengatur jalannya proses berpikir. Ia yang
menentukan saatnya para peserta diskusi/rapat menggunakan dan mengganti topi-topi
tersebut.

Penerapan The Six Thinking Hats

Bayangkan ketika dalam rapat


kita diminta pendapat oleh pemimpin
rapat mengenai masalah yang
dihadapi. Pertanyaan spontan tersebut
sering membuat kita terpojok, pikiran
buntu dan tidak tahu bagaimana harus
memulai penciptaan ide. Akhirnya hasil
pemikiran yang keluar hanyalah ide
berdasarkan intuisi/perasaan saja.
Ketika pembahasanpun sering kita
menjadi bingung karena pikiran
terpecah antara memikirkan sisi positif,
negatif dan solusi. Semua peserta
berusaha mengemukakan apa saja yang terlintas di kepalanya dan pemimpin rapatpun
berusaha mengumpulkan seluruh pendapat itu sekaligus sehingga mengakibatkan pembahasan
menjadi tidak fokus.
Saat itu, setiap orang memposisikan dirinya hanya pada satu sisi saja atau dalam STH
mereka seolah-olah hanya mengenakan satu topi yang mereka sukai saja. Masing-masing ingin
mempertahankan egonya sehingga terjadi perdebatan berkepanjangan. Dengan mengenakan
keenam topi ini secara bersama-sama dan bergantian dalam melihat sebuah masalah, maka
kita bisa mengeksplorasi ide-ide tanpa harus mengambil posisi kontra. Disinilah peran topi biru
yang bertindak sebagai moderator atau organizer untuk mampu mengatur orang-orang kapan
saatnya mengenakan dan melepaskan topi untuk mengubah pola pikir. Pada dasarnya semua
topi itu baik, namun untuk mendapatkan solusi terbaik, semua peserta rapat dianjurkan untuk
mengenakan semua topi itu bersama-sama secara bergantian.
Sebagai contoh, dalam rapat akan dibahas topik Penghematan Listrik di kantor. Untuk
mengatur jalannya rapat yang harus selesai dalam waktu 60 menit, maka ditunjuk si topi biru
sebagai pemimpin rapat. Tenggang waktu mengenakan masing-masing topi secara bersama-
sama adalah sepuluh menit.
1. Semua peserta rapat diarahkan untuk mengenakan topi putih yaitu mengumpulkan
informasi mengenai hal-hal terkait dengan kondisi sekarang, misalnya tarif listrik per kwh
yang ditetapkan PT PLN semakin meningkat, pemakaian listrik meningkat karena
penambahan pembelian komputer. Dan dalam waktu dekat bangunan asrama akan
selesai yang tentunya akan menambah biaya listrik.
2. Dengan menggantinya dengan topi merah, peserta diminta mengemukakan
perasaannya atas kenaikan biaya listrik yang dihadapi. Tindakan memicu emosi ini
dapat menstimulasi daya pikirnya untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi.
3. Peserta mengganti topi dengan topi kuning untuk melihat sisi positif dari penghematan
listrik. Misalnya biaya umum dan operasional akan menurun, penghematan anggaran
bisa dialihkan untuk meng cover biaya lainnya dan efisiensi waktu kerja.
4. Peserta mengganti topi dengan topi hitam untuk melihat resiko dan dampak negatifnya,
misalnya diklat hanya bisa dilaksanakan siang hari, pemanfaatan asrama tidak
maksimal, penurunan peserta diklat.
5. Peserta mengganti topinya dengan topi hijau untuk men generate ide dan memilih yang
paling mungkin bisa diterapkan dengan cara me rating nya. Misalnya: AC di ruang kerja
akan mati secara otomatis dan lampu akan meredup sepuluh menit sebelum jam pulang
kantor. Ide lain yaitu dengan membunyikan sirine atau peringatan agar para pegawai
segera bersiap-siap menghentikan pekerjaannya. Alternatif lainnya yaitu dengan
mengganti semua fasilitas dengan peralatan yang hemat listrik.
6. Topi biru menampung semua pendapat, perasaan, ide yang dikemukakan oleh seluruh
peserta saat mengenakan tiap jenis topi. Pendapat disampaikan secara verbal, di-input
ke dalam komputer dan ditayangkan sehingga seluruh peserta dapat melihat kontribusi
mereka. Pendapat dapat juga dituliskan dalam post it dan ditempelkan di media/karton
yang disediakan. Setelah ide terkumpul, topi biru akan me rating nya dan memilih ide
yang memiliki score tertinggi dan yang paling mungkin dapat diterapkan. Dalam memilih
solusi terbaik, topi biru juga diperbolehkan menggunakan intuisinya berdasarkan
pengalamannya.
Dapat dibayangkan berapa banyak pendapat / ide yang bisa diperoleh dari penggunaan
metode ini. Jika dalam rapat tersebut ada 15 orang dan tiap orang menyumbangkan dua
pendapat saja, maka sedikitnya ada 30 alternatif ide. Tentu dalam prakteknya mungkin akan
banyak kesamaan ide dari para peserta. Tapi, yang
terpenting adalah bahwa semua peserta telah ikut Sebagai contoh, dalam
berkontribusi dan mereka merasa dihargai. Dengan rapat akan dibahas
menerapkan metode ini, rapat dapat berlangsung secara topik Penghematan
singkat, tidak terjadi perdebatan, banyak ide yang diperoleh Listrik di kantor.
dan juga akan timbul sense of involvement dari para peserta
rapat karena ide-idenya dipertimbangkan dalam mengambil Untuk mengatur jalannya
keputusan. Solusi yang dihasilkanpun benar-benar kreatif rapat yang harus
karena merupakan saringan dari ide-ide cemerlang, walau selesai dalam waktu 60
kadang terasa tidak masuk akal. Pernyataan Alfred North menit, maka ditunjuk si
Whitehead yang menyebutkan bahwa Almost all new ideas topi biru sebagai
have a certain aspect of foolishness when they are first pemimpin rapat.
produce, rasanya cukup tepat. Ide yang tidak biasa memang
kadang terlihat aneh pada awalnya, namun itu bukan sesuatu Tenggang waktu
yang mustahil untuk dilaksanakan. mengenakan masing-
Tidak hanya dalam rapat rutin, STH pun dapat masing topi secara
diterapkan dalam diskusi kelas, penciptaan produk bersama-sama adalah
baru/inovasi, continuous improvement, problem solving, sepuluh menit.
penyelesaian konflik, customer focus groups, pengembangan
diri dan juga kegiatan berpikir untuk diri sendiri.

Penutup
Dalam menghadapi masalah sehari-hari, kita perlu
melatih daya pikir dan mengeksplorasi otak kiri dan kanan.
Perpaduan Critical Thinking yang didominasi otak kiri dan
Creative Thinking yang didominasi otak kanan merupakan
good thinking process yang dapat menghasilkan solusi yang
brilliant. Lateral Thinking adalah kemampuan berpikir kreatif
yang tidak biasa karena menggunakan daya imajinasi yang
kadang berada di luar logika. Jadi, Lateral Thinking berusaha
mengoptimalkan otak kiri dan kanan. Think Globally, Act
Locally merupakan slogan yang bisa dijadikan acuan untuk
mengeksplorasi imajinasi kita dalam men generate ide.
Namun, solusi harus disesuaikan dengan kondisi yang ada
dan tidak keluar dari nilai yang dianut atau kriteria yang
dikehendaki.
The Six Thinking Hats yang diciptakan oleh Edward de Bono merupakan penerapan dari
Lateral Thinking. Metode ini melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mengelola
ide/pemikiran agar tidak melebar dan selalu tetap on the track sehingga akan memudahkan
pengambilan keputusan. Tekniknya yang sederhana sangat cocok diterapkan dalam rapat dan
diskusi terbuka. Dengan teknik ini, rapat akan berjalan
singkat, efektif dan bebas konflik. Namun demikian,
personil yang akan menerapkan teknik STH ini
sebaiknya diikutsertakan dalam pelatihan lebih dahulu
agar dapat memahami urutan langkahnya. Dalam
pelatihan tersebut simulasi rapat dilakukan berkali-kali
hingga proses pengambilan keputusan dapat
dilakukan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Anda
ingin mencoba?

Daftar Pustaka:

De Bono Thinking Systems, Six Thinking Hats, Tools for Parallel Thinking, 2012, USA

De Bono Thinking Systems, Lateral Thinking, The Power of Provocation, 2012, USA

http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/e/edwarddebo4547222.html#khasFQ6b
BbEyfoyy.99

http://www. critical-thinkers.com/.../creative-thinking-vs-critical-thinking

http://www. eduscapes.com/tap/topic69.htm 4/3/2013

http://www. fk.uns.ac.id/.../Berpikir_Kritis-Prof_Bhisma_Murti

Anda mungkin juga menyukai