Anda di halaman 1dari 15

PERDARAHAN PASCAPERSALINAN (PPP)

1. Definisi dan Epidemiologi

PPP adalah perdarahan yang melebihi 500 mL setelah bayi lahir pada persalinan
pervaginam atau lebih dari 1000 mL pada persalinan seksio caesar. Pada praktisnya tidak perlu
mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan
memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal,
apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi >100/menit), maka penanganan
harus segera dilakukan.
Secara tradisional, perdarahan pascapartum didefinisikan sebagai kehilangan 500 mL atau
lebih darah setelah selesainya kala 3 persalinan. Hal ini menimbulkan masalah karena separuh
perempuan yang melahirkan per vagina mengeluarkan darah dalam jumlah sebesar itu, bahkan
lebih, jika diukur secara kuantitatif. Pritchard dkk., (1962) menggunakan metode pengukuran yang
akurat dan menemukan bahwa sekitar 5 persen perempuan yang melahirkan per vagina kehilangan
lebih dari 1000 mL darah. Mereka juga melaporkan bahwa hasil perkiraan kehilangan darah
umumnya hanya sekitar separuh volume kehilangan darah yang sebenarnya.
PPP adalah perdarahan yang massif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan
pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di
samping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.
PPP yang dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi
lahir, 68 73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82 88% dalam dua minggu setelah
bayi lahir.
Perdarahan pascapartum menggambarkan suatu peristiwa, bukan diagnosis, dan bila
dijumpai, etiologinya harus ditentukan. Sebab lazim antara lain perdarahan dari tempat implantasi
plasenta, trauma terhadap traktus genitalis dan struktur sekitar, atau keduanya.

2. Karakteristik Klinis
Perdarahan pascapartum dapat terjadi sebelum atau sesudah terlepasnya plasenta. Biasanya
yang terjadi bukanlah perdarahan massif mendadak, melainkan perdarahan yang konstan dan dapat
timbul hypovolemia berat. Khususnya pada perdarahan setelah pelahiran plasenta dapat
menyebabkan kehilangan darah yang massif.
Efek perdarahan bergantung hingga derajat tertentu, pada volume darah saat tidak hamil
dan besarnya hypervolemia yang diinduksi kehamilan. Gambaran perdarahan pascapartum yang
dapat menyesatkan adalah kegagalan denyut nadi tekanan darah untuk mengalami perubahan yang
drastic (hanya terjadi perubahan sedang) hingga telah terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang
besar. Perempuan yang awalnya normotensive bahkan dapat menjadi hipertensif sebagai respons
terhadap perdarahan. Perempuan yang sebelumnya hipertensif dapat dianggap normotensive
walaupun sebenarnya berada dalam keadaan hypovolemia berat. Dengan demikian, hypovolemia
dapat tidak dikenali hingga telah sangat lanjut.
Perempuan dengan preeklamsia berat atau eklamsia tidak mengalami pertambahan volume
darah yang normalnya terjadi. Jadi, perempuan perempuan ini sangat sensitive terhadap, atau
bahkan tidak dapat menoleransi, kehilangan volume darah yang dianggap normal. Pada beberapa
perempuan, setelah melahirkan, darah mungkin tidak keluar per vagina, tetapi mengumpul dalam
kavitas uteri, yang dapat melebar akibat terkumpulnya 1000 Ml lebih darah.

3. Kausa
Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
o Hipotoni sampai atonia uterus
Akibat anestesi
Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion)
Partus lama, partus kasep
Partus presipitatus/partus terlalu cepat
Persalinan karena induksi oksitosin
Multiparitas
Korioamnionitis
Pernah atonia sebelumnya
o Sisa plasenta
Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
Plasenta susenturiata
Plasenta akreta, inkreta, perkreta
Perdarahan karena robekan
o Episiotomi yang melebar
o Robekan pada perineum, vagina, dan serviks
o Rupture uteri
Gangguan koagulasi
o Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya pada kasus
trombofilia, sindrom HELLP, preeclampsia, solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, dan emboli air ketuban

Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang terjadi dalam 24 jam
pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian
plasenta, serta DIC (disseminated intravascular coagulation) yaitu gangguan pembekuan darah.
Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri. PPP sekunder yang terjadi setelah 24 jam
persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
4. Pencegahan

5. Diagnosis
Dengan beberapa pengecualian, seperti akumulasi darah intrauterus dan intravagina yang
tidak diketahui atau rupture uterus dengan perdarahan intraperitoneal, diagnosis perdarahan
pascapartum seharusnya jelas. Perbadaan antara perdarahan akibat atonia uteri dan perdarahan dari
laserasi traktus genitalis secara tentative ditentukan oleh faktor risiko predisposisi dan kondisi
uterus. Jika perdarahan berlanjut meskipun uterus keras dan berkontraksi baik, penyebab
perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah berwarna merah terang juga mendukung
dugaan darah berasal dari arteri, akibat laserasi.
Kadang kadang perdarahan dapat disebabkan baik oleh atonia uteri maupun trauma,
khususnya setelah pelahiran dengan tindakan operatif mayor.

Atonia uteri

Keadaan lemahnya tonus/kontraksi Rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu


menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Mendekati aterm, diperkirakan setidaknya 600 mL/menit darah mengalir keluar melalui
ruang intervilus. Aliran ini dibawa oleh arteri spiralis dan vena penyertanya. Dengan terlepasnya
plasenta, pembuluh pembuluh ini akan terputus. Hemostasis pada lokasi implantasi plasenta
pertama kali dicapai dengan kontraksi myometrium yang menekan sejumlah banyak pembuluh
darah yang berukuran relative besar. Hal ini diikuti dengan pembekuan darah obliterasi lumen
pembuluh. Jadi, potongan plasenta atau bekuan darah besar yang melekat dan mencegah kontraksi
efektif myometrium dapat mengganggu hemostasis pada lokasi implantasi.
Dengan demikian, jelas bahwa perdarahan pascapartum yang fatal dapat terjadi akibat
atonia uterus meskipun system pembekuan darah normal. Sebaliknya, jika myometrium di dalam
dan di sebelah area implantasi yang terbuka berkontraksi kuat, kecil kemungkinannya terjadi
perdarahan fatal dari lokasi implantasi plasenta, bahkan dalam kondisi sangat terganggunya system
koagulasi sekalipun.
Meskipun faktor risiko diketahui dengan baik, kemampuan untuk mengidentifikasi
perempuan mana yang akan mengalami atonia uterus masih terbatas. Rouse dkk., meneliti 23900
perempuan yang menjalani pelahiran Caesar untuk pertama kalinya dan melaporkan bahwa
separuh diantara mereka yang mengalami atonia tidak memiliki faktor risiko.
Uterus yang mengalami distensi berlebihan (perempuan dengan janin besar, multiple, atau
hidramnion) rentan menjadi hipotonus setelah pelahiran. Perempuan yang persalinannya ditandai
oleh aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga berisiko
mengalami perdarahan massif akibat atonia pascapartum. Serupa dengan hal tersebut, persalinan
yang dimulai atau dibantu dengan oksitosik lebih berisiko diikuti oleh atonia dan perdarahan.
Paritas tinggi merupakan faktor risiko atonia uterus. Risiko lain adalah jika perempuan tersebut
pernah mengalami perdarahan pascapartum. Terakhir, upaya untuk mempercepat pelahiran
plasenta dapat mencetuskan atonia.
Pencegahan:
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin
karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia
uteri.
Pemberian misoprostol peroral 2 3 tablet (400 600 g) segera setelah bayi lahir.

Faktor predisposisi:
Regangan Rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak
terlalu besar.
Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
Grande-multipara.
Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
Mioma uteri yang mengganggu kontraksi Rahim.
Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi lahir dan plasenta lahir trnyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat
atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri
didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500 1000 cc yang sudah
keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan
dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

Agen Uterotonik
Sejumlah senyawa yang digunakan untuk menginduksi kontraksi uterus pascapartum.
1. Oksitosin
2. Turunan ergot. Jika oksitosin tidak efektif untuk memulihkan atonia uterus, biasanya
diberikan 0,2 mg methylergonovine intramuscular. Obat ini dapat merangsang
kontraksi uterus secara adekuat untuk mengendalikan perdarahan. Jika turunan ergot
diberikan secara intravena, mereka dapat menyebabkan hipertensi yang berbahaya,
khusunya pada wanita preeklamsia.
3. Analog prostaglandin. Dosis awal yang dianjurkan adalah 250 g (0,25 mg), diberikan
secara intramuscular. Dosis ini diulangi jika perlu dengan interval 15 hingga 90 menit.,
maksimum delapan dosis.

Perdarahan yang tidak bersepons terhadap oksitosik


Perdarahan yang berlanjut setelah pemberian berulan oksitosik dapat disebabkan robekan
jalan lahir yang terlewatkan, termasuk rupture uterus. Langkah tata laksana:
1. Mulai kompresi bimanual uterus
2. Panggil bantuan
3. Pasang kanula intravena berdiameter besar kedua sehingga kristaloid dan oksitosisn
dapat dilanjutkan bersama sama dengan pemberian darah.
4. Mulai transfuse darah.
5. Eksplorasi kavitas uteri secara manual untuk mencari fragmen plasenta yang tertinggal
atau laserasi.
6. Inspeksi serviks dan vagina secara menyeluruh untuk mencari laserasi
7. Pasang kateter foley untuk memantau keluaran urin, yang merupakan ukuran yang baik
untuk perfusi ginjal.
8. Mulai resusitasi volume.

Tindakan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bias
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan
pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Pada umumnya dilakukan
secara simultan (bila pasien syok) hal hal sebagai berikut:
Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberi oksigen.
Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
o Masase fundus uteri dan merangsang putting susu.
o Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m., i.v., atau
s.c.
o Pemberian misoprostol 800 1000 g per-rektal
o Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal
o Kompresi aorta abdominalis
o Pemasangan tampon kondom
Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif
laparotomy dengan pilhan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan
histerektomi.

Robekan jalan lahir

Umumnya terjadi pada persalinan dengan trauma. Dihindarkan memimpin persalinan pada
saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan
spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bias ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding
vagina, forniks uteri, serviks, derah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat, rupture
uteri. Oleh karena itu pada setiap persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk
mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik,
biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai speculum untuk mencari
sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.
Perdarahan dengan rupture uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus
dengan lokusminoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal.
Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-
gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi local, penerangan lampu yang cukup serta
spekulumndan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperatif,
perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat homeostasis.
Laserasi Traktus Genitalis
1. Laserasi Perineum
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai oleh cedera pada
bagian bawah vagina dalam derajat yang bervariasi. Robekan semacam ini dapat mencapai
kedalaman yang bervariasi menembus dinding vagina.
2. Laserasi Vagina
Laserasi terisolasi yang melibatkan sepertiga tengah atau atas vagina, tetapi tidak berkaitan
dengan laserasi perineum atau serviks, lebih jarang dijumpai. Laserasi semacam ini
biasanya memanjang dan umumnya terjadi karena cedera yang diperoleh saat pelahiran
menggunakan forceps atau vakum. Namun, laserasi ini dapat pula timbul pada pelahiran
spontan. Laserasi seperti ini sering meluas ke dalam ke jaringan di bawahnya dan dapat
menyebabkan perdarahan hebat, yang biasanya dikendalikan dengan penjahitan sesuai
indikasi. Laserasi tersebut dapat tidak teridentifikasi kecuali dilakukan inspeksi yang teliti
pada vagina bagian atas.
3. Cedera musculus Levator Ani
Cedera terhadap m.levator ani terjadi akibat distensi berlebihan jalan lahir. Serat otot
terpisah, dan penurunan tonisitas mereka dapat cukup berat sehingga mengganggu fungsi
difragma. Pada kasus seperti ini, dapat timbul relaksasi pelvis. Jika cedera melibatkan
m.pubokoksigeus, dapat pula terjadi inkontinensia uri.
4. Cedera Serviks
Serviks mengalami robekan pada lebih dari separuh pelahiran per vagina. Sebagian besar
robekan ini kurang dari 0,5 cm, meskipun robekan serviks dalam dapat meluas hingga
sepertiga atas vagina. Cedera semacam ini kadang terjadi setelah rotasi forceps yang sulit
atau pelahiran yang dilakukan melewati serviks yang belum membuka lengkap dengan
bilah forceps menjepit serviks. Kadang, robekan serviks dapat mencapai segmen bawah
uterus dan arteri uterine serta cabang cabang utamanya, dan bahkan hingga meluas ke
peritoneum.

Ruptur Uterus
Ruptur uterus dapat terjadi akibat cedera atau kelainan yang telah ada, rupture juga dapat
terjadi akibat trauma, atau dapat terjadi sebagai komplikasi persalinan pada uterus yang
sebelumnya tidak memiliki jaringan parut.
Penyebab tersering rupture uterus adalah terpisahnya parut bekas histerotomi Caesar.
Dengan menurunnya tindakan percobaan persalinan pada perempuan yang pernah menjalani
pelahiran Caesar, rupture pada uterus tanpa parut sekarang ini menyebabkan hampir separuh di
antara semua kasus rupture uterus. Faktor predisposisi lain yang lazim adalah riwayat bedah atau
tindakan yang menyebabkan trauma, seperti kuretase, perforasi, atau miomektomi.

Retensio Plasenta

Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebagai
retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bias
disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila
implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila
plasenta sampai menembus myometrium dan disebut plasenta prekreta bila vili korialis sampai
menembus perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea,
pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam
uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan
pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian terlepas tetapi tidak keluar
pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi., plasenta lahir. Pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan.
Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
(perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meskipun
kala uri belum lewat setengah jam.
Perdarahan pascapartum segera jarang disebabkan oleh tertinggalnya fragmen plasenta,
tetapi potongan plasenta yang tertinggal merupakan sebab lazim perdarahan lanjut pada masa
nifas. Inspeksi plasenta setelah pelahiran harus menjadi prosedur rutin. Jika ada bagian yang
hilang, uterus harus dieksplorasi dan fragmen dikeluarkan, khusunya jika terjadi perdarahan
pascapartum berlanjut. Tertinggalnya lobus suksenturiatus merupakan penyebab jarang
perdarahan pascapartum.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan
plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan
pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi
Rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke
dalam Rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai dengan keperluannya.

Plasenta Akreta, Inkreta, dan Perkreta

Pada sebagian kasus, plasenta terlepas secara spontan dari lokasi implantasinya alam
beberapa menit pertama setelah lahirnya bayi. Kadang kadang, pelepasan ini terlambat karena
plasenta melekat di tempat implantasi dengan cara yang tidak biasa. Pada kasus kasus ini, desidua
tipis atau tidak ada, dan jalur fisiologis untuk pelepasan plasenta melalui tunika spongiosa
deciduae tidak ditemukan. Akibatnya, satu atau lebih lobules placentae, disebut juga kotiledon,
melekat erat ke desidua basalis yang cacat atau bahkan ke myometrium. Jika plasenta terikat kuat
dengan cara seperti ini, kondisi tersebut dinamakan plasenta akreta.
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan tiap jenis implantasi yang melekat
terlalu erat secara abnormal ke dinding uterus. Akibat ketiadaan total atau parsial desidua basalis
dan ketidaksempurnaan perkembangan lapisan Nitabuch atau fibrinoid, vili plasenta melekat ke
myometrium pada plasenta akreta. Pada plasenta inkreta, vili benar benar menginvasi ke dalam
myometrium. Pada plasenta prekreta, vili menembus seluruh ketebalan myometrium. Perlekatan
abnormal ini dapat mengenai semua lobuli plasenta akreta total. Atau, dapat hanya melibatkan
beberapa hingga sebagian lobuli plaseenta akreta parsial. Semua atau sebagian lobules tunggal
dapat melekat abnormal plasenta akreta fokal.

Insiden
Selama beberapa decade terakhir, insiden plasenta akreta, inkreta, dan perkreta
telah meningkat. Peningkatan ini terjadi karena bertambahnya angka pelahiran Caesar.
Berbagai bentuk plasenta akreta merupakan penyebab penting kematian ibu akibat
perdarahan.

Inversi Uterus

Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya
inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan dalam uterus (endometrium) turun
dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.
Inversi uterus komplet pascapelahiran janin hampir selalu disebabkan oleh tarikan kuat
terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang berimplantasi di fundus. Inversi uterus
inkomplet dapat juga terjadi. Hal lain yang juga berperan dalam terjadinya inversi uterus adalah
tali pusat yang kokoh dan tidak mudah terputus dari plasenta, dikombinasikan dengan tekanan
pada fundus dan uterus yang berelaksasi, termasuk segmen bawah uterus dan serviks uteri.
Plasenta akreta dapat juga berperan.
Faktor faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang
masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya karena
plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik kerasa dari bawah) atau ada tekanan
pada fundus uteri atas (maneuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba tiba
(misalnya batuk keras atau bersin). Inversio uteri ditandai dengan tanda tanda:
Syok karena kesakitan
Perdarahan banyak bergumpal
Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat.
Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis,
dan infeksi.

Tindakan:
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan
pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik
sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam
vagina dan terus melewati seriviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi
normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.
3. Di dalam uterus, plasenta dilepaskan secara manual sembari memberikan uterotonika lewat
infus atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan
kemudian tangan operator dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan maneuver
di atas tidak bias dikerjakan, maka dilakukan laparotomy untuk reposisi dan kalau terpaksa
dilakukan histerektomi bila uterus sudah mngalami infeksi dan nekrosis.

Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah

Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan
sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan
perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari
gusi, rongga hidung, dan lain lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal.
Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi fibrinogenemia,
dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes prothrombin dan
PTT (partial thromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eclampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan
transfuse darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi
atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid)

Pencegahan
Kalsifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tingi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan
melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit
rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi
terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidroamnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi
lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan dukun.
6. Menguasai langkah langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Leveno KJ, Gant NF. Obstetri Williams Paduan Ringkas. Edisi 21. EGC,
2009.
Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: 2008

Anda mungkin juga menyukai