Anda di halaman 1dari 39

TINJAUAN PUSTAKA

DISPEPSIA

Disusun Oleh:

Novan Fachrudin

2012730070

Stase Bedah

Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi

Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

Program Studi Pendidikan Dokter

Universitas Muhammadiyah Jakarta

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan tinjauan pustaka dengan judul “Dispepsia” ini tepat
pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Tulisan ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan kepaniteraan
klinik stase bedah di RSIJ Pondok Kopi tahun 2017.

Penulis menyadari ketidaksempurnaan ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
saran dan kritikan untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.

Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing tinjauan pustaka ini Dr. Sumono
SpOT yang telah mendeskripsikan tentang penyusunan tulisan ini. Terimakasih juga pada
semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan materi dan penyusunan tulisan
ini.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSIJ Pondok Kopi pada umumnya.

Jakarta, Juli 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2

2.1 DEFINISI ...................................................................................................... 2

2.2 ETIOLOGI .................................................................................................... 4

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER ..................................................... 7

2.4 PATOFISIOLOGI ....................................................................................... 12

2.5 GEJALA KLINIK ....................................................................................... 19

2.6 ANAMNESIS .............................................................................................. 21

2.7 PEMERIKSAAN FISIK ............................................................................. 23

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................ 23

2.9 DIAGNOSIS ............................................................................................... 26

2.10 DIFERENSIAL DIAGNOSIS ................................................................... 27

2.12 PENCEGAHAN ........................................................................................ 32

2.13 PROGNOSIS ............................................................................................. 33

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Keluhan dyspepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam


praktek praktis sehari-hari. Diperkirakan hamper 30% kasus pada praktek umum
dan 60% praktek gastroenterologis merupakan kasus dyspepsia. Istilah dyspepsia
mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan
atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi dan dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini
dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula
penyakit lambung, yang diasumsikan oleh orang awam seperti penyakit
maag/lambung, Penyakit hepatitis, pancreatitis kronik, kolesistitis kronik)
merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologis
pada tukak peptic dan gastritis. Beberapa penyakit di luar system gastrointestinal
dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindrom dyspepsia, seperti gangguan infark
miokard, penyakit tiroid, obat-obat dan sebagainya.1

Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat


dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan
bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari
data di Negara barat di dapatkan prevalensinya berkisar 7-41% tapi hanya 10-20%
yang mencari pertolongan medis. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.1

\
Gejala yang esensial adalah selalu adanya komponen dari nyeri atau
gangguan abdomen bagian atas. Untuk membedakannya dari ICS (Irritable Colon
Syndrome) dikatakan bahwa dyspepsia meliputi gejala-gejala yang berpredominasi
pada abdomen bagian atas. Sejak pemakaian istilah dyspepsia hingga sekarang
banyak timbul bermacam-macam batasan mengenai dyspepsia.1

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang


terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah,
sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan


(Pepse),berarti pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan
keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik
berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi
termasuk dispepsia.3

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang


dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang
terdiri dari keluhan - keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus
bagian proksimal yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa
penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih
dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang
bersifat kronik.2

Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan


gastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa
patologik, dan tidak semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua
kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia.
Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi
sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.3

2
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :

1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai


penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,
radang empedu, dan lain-lain.1,6

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7

Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,


membagi

dispepsia menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi


b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan


gejala:

a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).2

2.2 ETIOLOGI

Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.

Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.

Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis,


kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit
jantung koroner.

Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu
dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.1

Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi

A. Organik

1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,


metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol),
Kortikosteroid, Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine,
Theophiline.8-10

2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)


a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis
produk kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

 Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

4
 Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat,
nitrit, nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh


penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa
mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah
sering memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau
esophagitis.10

3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus

 Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

 Akhalasia

 Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

 Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS


dan sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan,
trauma, shock

 Ulkus gaster dan duodenum

 Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

 Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

 Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

 Pankreatitis

 Karsinoma pankreas

5
e. Penyakit usus

 Malabsorbsi

 Obstruksi intestinal intermiten

 Sindrom kolon iritatif

 Angina abdominal

 Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif

5. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen5-11

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus

Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau
organik atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran
makanan.Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan

6
motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita
dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung
yaitu kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan
dispepsia fungsional.12
Kelainan non organik saluran cerna:
o Gastralgia
o Dispepsia karena asam lambung
o Dispepsia flatulen
o Dispepsia alergik
o Dispepsia essensial
o Pseudoobstruksi intestinal kronik
o Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
o Psikogen : Histeria, psikosomatik

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER

Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah


diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana
makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat
dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah
bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian
tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang
berhubungan dengan usus 12 jari duodenum.13

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa,


submukosa, muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel
mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon.
Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara luas
dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat
dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena

7
dapat ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus
untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel-sel
tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang membantu perut dalam pencernaan
mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot melingkar,
memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam lapisan otot tersebut
mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak peristaltik
menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar yaitu
serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara
perut dengan anggota tubuh lainnya.13

Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput


Lendir, 5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik,
9.Pilorus, 10.Duodenum

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu
sel goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief cell]. Sel
goblet berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan

8
terluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal
berfungsi untuk memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna
dalam pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5
mol dm-3 asam lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai
pH 2 yang bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi
pepsinogen, yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi
dalam bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki
oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.13

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang


menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap makanan
secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung
mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung
berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen
menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi
molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan
makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia,
berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari
susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud
cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.13

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung
bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum.
Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika
tersentuh kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke
duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim
yang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga
makanan lewat. Oleh karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus
menutup. Makanan tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan
yang bersifat basa di belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka.
Akibatnya, makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian

9
seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi
segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam,
lambung kosong kembali.13

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan
motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung.
Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak
yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh
hormon saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang
dibentuk dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung.
Dengan demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik
humoral.13

Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung,
yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-
1,5, yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang
dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi
protein makanan dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam
klorida juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah
pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin. 13

Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi
atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).13

Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan


penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf
pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan
dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi

10
langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G
antrum. Melalui aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan
menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam
klorida ini, histamin juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit
karena stimulasi vagus (gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasan
histamin ini gastrin dapat bekerja.13

Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang


masuk ke dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein,
kafein atau alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan
gastrin. Jika pH turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.13

Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti
dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus
duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan
merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya
dilakukan oleh kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak
mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.13

Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon saluran cerna lainnya
yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide)
menghambat sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi
insulin dari kelenjar pankreas.13

Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di


sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta
kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung
dan sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan
turun (sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Di
samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah n.
Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.13

11
Rangsang bau dan
Rangsang n. Vagus
rangsang kecap

Rangsang Lokal Rangsang Ganglion


(makanan)

Degranulasi mastosit
Pembebasan
Stimulasi sel G
asethilkolin

Pembebasan histamin Pembebasan Gastrin

Stimulasi Sel Parietal

Pembebasan HCl

Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal

2.4 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor


berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):

 Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien


dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan
dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan
motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut

12
dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom
dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat
mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan
duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non
ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian
antrum terlalu cepat.2

 Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap


distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan
yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan
kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial
dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.10

 Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan


morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non
ulkus daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan
bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan
stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat
gangguan akomodasi dan motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus
menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi
disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan
sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri
muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba
menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi
sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila
dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus
ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.5

13
 Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis


non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan
klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi
Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas.
Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran
endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa
gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi
Helicobacter pylori adalah:

a. Erosi kronik di daerah antrum.

b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah


korpus.13

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah
diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus
masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus
menderita infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia
non ulkus dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari
beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik
peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang
nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam
taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan
cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang
sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.2

14
 Kelainan gastrointestinal fungsional

Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan


fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-
kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom
Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan
dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien
dengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI seperti migrain,
myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia
jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri
abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau
bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang
air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia,
lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk
menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih darah. Ini
memerlukan perbaikan tingkah laku.Abnormalitas di atas belum semua
diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua
penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang
digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman
kelompok ini. 2,12,14.

Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa


lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada
linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang
sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi
ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan amoniak”
yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella
Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi.
Bagian yang menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal.

15
Melalui zat yang disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu
jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel.13

Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase,


oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan
musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan
fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin
yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.13

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa


mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor
defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat
merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam
obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian
aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung,
sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.13

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa


esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah
epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,
walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan
ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi,
ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah
asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal,
juga jejunum.13

Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan


duodenum. Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan
perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya
degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan
dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa
lambung.13

16
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi
balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh
darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan
meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan
sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,
mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa
tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik
dihambat oleh gastrin.13

Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam


patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena
mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu,
kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum
diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh
produksi yang berkurang. 13

Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat
fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang
memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan
kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan.
Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya
tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan cepatnya
regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan
mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum. 13

17
18
2.5 GEJALA KLINIK

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.

Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,
makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi
nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare
dan flatulensi (perut kembung).6

Dispepsia Organik

a. Dispepsia Ulkus

Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di


negara negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan
dengan ulkus duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia
frekuensi ulkus lambung lebih tinggi. Ulkus lambung biasanya diderita pada
usia yang lebih tinggi dibandingkan ulkus duodeni.4

Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief.
Untuk ulkus duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan,
dan penderita sering terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak
juga kasus kasus yang gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada
ulkus lambung seringkali gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkan
kadang kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.15

Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum


adalah infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni
adalah H. pylori positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H.
pylori positif.13

19
b. GERD
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah
ditemukan dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia
organik. Penyakit ini disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardia yang
menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam esofagus.

Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD


dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya
jelas maka GERD dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke
dalam dispepsia organik.7

Gejala GERD :

Gejala khas, terdiri dari :

o “Heart Burn”
o Rasa panas di epigastrium
o Rasa nyeri retrosternal
o Regurgitasi asam
o Pada kasus berat : ada gangguan menelan

Gejala tidak khas :

o Nafas pendek
o Wheezing
o Batuk-batuk

Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring terlentang dan
berkurang bila penderita duduk.

Gambaran Endoskopi:

Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter esophagus yang dibagi menjadi
4 derajat (Pembagian Los Angeles) :

20
Grade A :

Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm

Grade B :

Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan mukosa di tempat
lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang pertama.
Grade C :

Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan lipatan mukosa yang
lain tetapi tidak difus.

Grade D :

Robekan mukosa difus.15

Dispepsia Fungsional

Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :

a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.


b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)

2.6 ANAMNESIS

Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau


anamnesis dengan lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan
terjadi keluhan, adakah berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah
pengambilan obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan keluhan atau
memperberat keluhan? Adakah pasien mengalami nafsu makan menghilang,
muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada?11

21
Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat – obat tertentu? Atau adakah
dalam masa terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung
atau paru? Adakah pasien menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin? 11
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan
jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus
dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda
dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap
dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering,
hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit
serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT
Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus,
penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.11

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial


misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar
manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri
sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan
rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat
eksaserbasi gejala pada beberapa orang.5

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien


ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang
dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan
pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis
sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu
perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien
jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala
dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus,
gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah
makan sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering
mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai
riwayat pemakaian psikotropik. 2, 6-11

22
2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra


lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan
adanya ransang peritoneal/peritonitis.1
Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi,
asites, parut, hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan
karekteristik motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan
tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani.6 Pemeriksaan tanda vital bisa
ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.10
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya. Perlu
ditanyakan perubahan tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran
pasien diperhatikan. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru
untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap
ektremitas, adakah terdapat perifer edema dan dirasakan adakah akral hangat atau
dingin. Lakukan juga perabaan terhadap kelenjar limfa.6-11

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi


(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA
19-9, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja,
jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa
CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9. 1

23
2. Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk
bila penderita makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan
struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
gambaran ke arah tumor.1,3,15

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus


halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan
lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.2,3,7
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut
disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan
berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah
darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih
dari 45tahun.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian15

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan


kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia
di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian
atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan
tampak peristaltik di esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak
anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus,

24
sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung,
maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu
kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak
umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung secara
radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut
off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut
sentina loops.1

5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus atau


respon esofagus terhadap asam.

25
.10

Management of dyspepsia based on age and alarm features. EGD,


esophagogastroduodenoscopy.

2.9 DIAGNOSIS

Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan


antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional

26
adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan
organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang
pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan
pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum.
Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada
saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan
perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat
mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan
saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda
tumor.1,5

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III


yaitu:

1. berasa terganggu setelah makan

2. cepat kenyang

3. nyeri epigastrik

4. panas/ rasa terbakar di epigastrik

Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang


dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.

Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala
klinis sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.3

2.10 DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau


gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia
adalah seperti box 1. Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan
keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. 50%–60% kasus, didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi
di mana pasien dikatakan merupakan dispepsia fungsional. Prevalensi ulkus

27
peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-15%. Kanker
digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur
<50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50
tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan
yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk.2

Box 1: Diagnosis banding dispepsia

 Dispepsia non ulkus

 Gastro-oesophageal reflux disease.

 Ulkus peptikum.

 Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen


kalium, digoxin.

 Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

 Cholelithiasis or choledocholithiasis.

 Pankreatitis Kronik.

 Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism,


connective tissue disease).

 Parasit intestinal.

 Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

2.11 PENATALAKSANAAN

Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori


1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra
kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas
endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.

28
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasid

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya
hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam
waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik,
namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan
fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering
digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien
gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium
bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut.15

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.10

3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik


atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor
H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.10,15

29
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi,
bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran
normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu
sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.15

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).


Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective),
yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa
menyebabkan konstipasi (2–3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik.
Dosis standard adalah 1 g per hari.15

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan


metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional
dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam
lambung (acid clearance).10

7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada


sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline
(Sumycin).6

30
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti-
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang
keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan
depresi.2,6-12

Terapi Dispepsia Fungsional :

1. Farmakologis

Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat. (regular
medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada keluhan. (on
demand medication)

2. Psikoterapi

 Reassurance
 Edukasi mengenai penyakitnya

3. Perubahan diit dan gaya hidup

 Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
 Makanan tinggi lemak dihindarkan

Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi


simptomatik. Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan keluhan
seperti nyeri pada abdomen bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan PPI
(Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian
abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan
tricyclic antidepressants, walaupun data yang menyokong masih kurang.16

Pasien dengan keluhan dismotility – like symptom bisa diobati dengan sama
ada dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT1 agonists.
Metoclopramide dan domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam
pengobatan dispepsia fungsional.16

31
2.12 PENCEGAHAN

 Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama


makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama
pentingnya dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan
adalah bagaimana cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup,
pada waktunya dan lakukan dengan santai.
 Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis
lapisan mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan
pendarahan.
 Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung,
membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga
meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung
dan merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk
dapat berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat.
Konsultasikan dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu
untuk berhenti merokok.
 Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan
pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus
sehingga membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih
cepat.
 Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya
permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan
melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang
tidak dapat dihindari, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara
effektif dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga
teratur dan relaksasi yang cukup.
 Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan
OAINS, obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan

32
dan akan membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti
dengan penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.
 Ikuti rekomendasi dokter.6-11

2.13 PROGNOSIS

Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia mempunyai ulkus


peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang daripada 1% pasien
terkena kanker, dan dispepsia fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.17

Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya


penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena
kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu: Usia 50 tahun
ke atas, kehilangan berat badan tanpa disengaja, kesulitan menelan, terkadang
mual-muntah, buang air besar tidak lancar dan merasa penuh di daerah perut.

BAB III

33
KESIMPULAN

Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari
seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke
dokter. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau
penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor,
infeksi Helicobacter pylori. Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit
pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia
fungsional atau dispepsia non ulkus. Dispepsia adalah merupakan suatu simptom
atau kelompok keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat
penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan
etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan
endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi
pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi
pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah
meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif dan pemakanan yang sehat dan
seimbang, selain daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia adalah antaranya
seperti antasid, antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump Inhibitor,
sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori dan
kadang – kadang diperlukan psikoterapi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam, Ed. IV, 2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285

2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical


Journal. 2003;79:25-29.

3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al.


Functional Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.

4. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan


Tahun 2007. Edisi 2010. Diunduh dari,
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&
id.

5. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional.
Bagian Psikiatri FK USU 2003.

6. Dyspepsia. Edition 2010. Available from:


http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

7. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological


Association technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology.
2005;129:1754

8. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:


http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.

9. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available


from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorder
s/474.html.

iii
10. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library.
2008 March. Available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.

11. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available


from: http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.

12. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and


Hepatology. 2005;1:1-3.

13. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6.
EGC; 2006.h.417-19.

14. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34
2007;1:99–108.

15. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al.
Peptic ulcer disease in Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th ed,
Vol.II.2008. USA: Mc Graw Hill Medical, p.287

16. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch
Gastroenterology. 2008 april;

17. Dyspepsia. Edition 2001. Available from:


http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information.

iv

Anda mungkin juga menyukai