Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita sekalian, terutama kepada kami sehingga tugas referat
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini dibuat dengan tujuan untuk mempelajari Ilmu Kesehatan
Mata dalam stase kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi. Dengan
terselesaikannya penyusunan laporan kasus ini kami mengucapkan terimakasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan laporan ini terutama kepada yang terhormat,
Dokter Masitah Wilya, Sp.M, selaku dokter pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, bantuan, serta pengarahan.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................1

DAFTAR ISI..................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................3

I. 1 LATAR BELAKANG..........................................................................3

I. 2 TUJUAN................................................................................................3

BAB II ANATOMI & FISIOLOGI MATA....................................................5

BAB III STRABISMUS....................................................................................11

III. 1 DEFINISI............................................................................................11

III. 2 ETIOLOGI.........................................................................................11

III. 3 PATOGENESIS.................................................................................13

III. 4 KLASIFIKASI...................................................................................16

III. 5 PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI..............................................25

III. 6 PENATALAKSANAAN...................................................................28

III. 7 KOMPLIKASI...................................................................................30

III. 8 PROGNOSIS......................................................................................31

BAB IV KESIMPULAN..................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................33

2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Mata merupakan salah satu organ indera manusia yang mempunyai manfaat
sangat besar. Kelainan yang menggangu fungsi mata salah satunya adalah strabismus.
Strabismus ini terjadi jika ada penyimpangan dari penjajaran okular yang sempurna.
Pada usia enam bulan sampai enam tahun memiliki prevalensi strabismus sekitar
2,5%, sedangkan temuan ini tetap konstan tanpa memandang jenis kelamin atau etnis,
prevalensi cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Strabismus terjadi pada
kira-kira 2% anak-anak usia di bawah 3 tahun dan sekitar 3% remaja dan dewasa
muda. Kondisi ini mengenai pria dan wanita dalam perbandingan yang sama.
Strabismus mempunyai pola keturunan, jika salah satu atau kedua orang
tuanya strabismus, sangat memungkinkan anaknya akan strabismus. Anak-anak
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan mata saat usia 3-4 tahun. Strabismus
menyebabkan posisi kedua mata tidak lurus maka akan mengakibatkan penglihatan
binokuler tidak normal yang akan berdampak pada berkurangnya kemampuan orang
tersebut dalam batas tertentu.
Strabismus adalah kondisi dimana kedua mata tidak tertuju pada satu obyek
yang menjadi pusat perhatian. Satu mata bisa terfokus pada satu obyek sedangkan
mata yang lain dapat bergulir ke dalam, ke luar, ke atas, atau ke bawah. Keadaan ini
bisa menetap (selalu tampak) atau dapat pula hilang timbul. Penyebab juling yang
pasti belum seluruhnya diketahui. Enam otot mata, yang mengontrol pergerakan bola
mata, melekat pada bagian luar masing-masing mata. Pada setiap mata, dua otot
menggerakkan ke kanan dan ke kiri. Empat otot lainnya menggerakkan ke atas, ke
bawah, dan memutar. Agar kedua mata lurus dan dapat berfokus pada satu obyek yang
menjadi pusat perhatian, semua otot pada setiap mata harus seimbang dan bekerja
secara bersama-sama.

I.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui etiologi, gejala klinis,
dan pemeriksaan ophtalmologi yang dapat menentukan diagnosis, penatalaksanaan

3
dan pencegahan Strabismus. Serta untuk menambah wawasan kami sebagai coass di
bagian Ilmu Penyakit Mata dan sebagai calon dokter umum mengenai Strabismus.

4
BAB II

ANATOMI & FISIOLOGI MATA

Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 1. Anatomi Bola Mata

Gambar 2. Jaras
Pengelihatan
Mata

5
Struktur ekstraokular

Beberapa struktur yang ada dalam kategori struktur luar mata adalah orbit, otot
ekstraokular konjungtiva, sistem lakrimal, dan kelopak mata. Berbagai fungsi yang
terkait dengan struktur ini meliputi perlindungan dan pelumasan.

Orbit(2,3,4)

Orbit adalah struktur berbentuk kerucut (Rongga piramidal dengan 4 sisi) yang terdiri
dari basis (margin orbital) yang terbuka ke garis tengah wajah, puncak, ujung sempit
ke arah posterior kepala, dan 4 dinding.

Pada orang dewasa, orbit dibentuk oleh 7 tulang: (1) frontal, (2) zygoma, (3)
maxilla, (4) ethmoid, (5) sphenoid, (6) lacrimalis, dan (7) palatina. Tulang frontal,
ethmoid, dan sphenoid adalah 3 tulang orbit yang tidak berpasangan. Margin orbital
(basis) yang dibentuk oleh, tulang maksilar, zygomatic, frontal, dan lacrimal. Sayap
yang lebih kecil dari tulang sphenoid dan frontal membentuk atap orbit, sedangkan
maksilar, zygomatic, dan palatina membentuk lantai orbit. Dinding medial dibentuk
oleh tulang sphenoid ,ethmoid, lacrimalis, dan maksilar. Dinding lateral dibentuk oleh
sayap yang lebih besar dari tulang sphenoid dan zygomatic.

Orbit memiliki volume 30 mL, diukur 4 cm secara horizontal, 3.5 cm secara


vertikal, dan memiliki kedalaman (secara anteroposterior) 4,5 cm. Terkait dengan
orbit adalah foramina dan fisura (lihat Tabel 1, di bawah), yang penting dalam
transmisi saraf, arteri, dan vena. Fungsi utama dari orbit adalah untuk melindungi
mata dari luka fisik.

Otot luar mata secara histologis berbeda dari kebanyakan otot rangka lainnya
karena mereka terdiri dari 2 jenis sel otot yang berbeda. Setiap sel otot terdiri dari
kelompok myofibril yang disebut sarkomer. Fibril otot Fibrillenstruktur (atau
kedutan-cepat) fibril otot menghasilkan gerakan mata yang cepat dan terdiri dari
miofibril yang terlihat jelas dengan sarkomer yang berkembang dengan baik . Fibril
otot Felderstruktur menghasilkan gerakan mata lambat atau tonik dan terdiri dari
miofibril yang tidak jelas terlihat dengan sarkomer kurang berkembang

Motor neuron kolinergik memasok kedua jenis serat otot. Persarafan ke fibril
fibrillenstruktur tebal dan sangat bermyelin, dengan en plaque tunggal sambungan

6
neuromuskular, sedangkan persarafan ke fibril felderstruktur tipis, dengan kumpulan
menyerupai buah anggur dar sambungan neuromuskuler.

Otot Penggerak Mata: (2,4)

1. m. rectus medial menggerakkan mata ke arah dalam atau mendekati hidung


(adduction)
 dipersarafi N. III (Oculomotor)

2. m. rectus lateral menggerakan mata ke arah luar atau menjauhi hidung


(abduction)
• dipersarafi N. VI (Abducens)

3. m. rectus superior menggerakkan mata ke atas (elevation)


 membantu otot superior oblique memutarkan bagian atas mata kearah
mendekati hidung (intorsion)
 membantu otot medial rectus melakukan gerakan adduction

 dipersarafi N. III (Oculomotor)

4. m. rectus inferior menggerakkan mata ke bawah (depression)


 membantu otot inferior oblique memutarkan bagian tas mata ke arah
menjauhi hidung (extorsion)
 membantu otot lateral rectus melakukan gerakan abduction.

 dipersarafi N. III (Oculomotor)

5. m. oblique superior memutarkan bagian atas mata mendekati hidung


(intorsion)
 membantu gerakan depression dan abduction
 dipersarafi N. IV (Trochlear)

6. m. oblique inferior memutarkan bagian atas mata menjauhi hidung


(extorsion)
 membantu gerakan elevation dan abduction.
 dipersarafi N. III (Oculomotor)

7
Gambar 4. Pergerakan Bola Mata beserta Otot-ototnya

Gambar 5. Terminologi Pergerakan Bola Mata

Otot rektus(2,4)

Otot Rektus Horizontal

Otot rektus medial dan lateral berasal dari anulus Zinn. Mereka melakukan
perjalanan sepanjang dinding anterior orbit, dan masuk masing-masing 5,5 mm dan
6,9 mm dari limbus,. (Lihat gambar di bawah.)

8
Gambar 3. Otot-otot penggerak bola mata

Otot Rectus Vertical

Otot rectus superior dan inferior juga berasal dari anulus Zinn. Mereka
melakukan perjalanan anterior dan lateral pada sudut 23 º dengan sumbu visual dari
mata dalam posisi utama. Mereka memasukkan 7,7 mm dan 6,5 mm dari limbus,
masing-masing.

Otot oblique(2,4)

Otot superior oblique berasal dari apeks orbit di atas anulus dari Zinn dan
melewati sepanjang dinding anterior orbit superomedial. Tendon dari otot oblik
superior melewati troklea (yang terletak di tepi nasal oblique superior) dan ini
tercermin inferior, posterior, dan lateral pada sudut 51 º terhadap sumbu visual dengan
mata dalam posisi primer. Tendon melewati bawah otot rektus superior sebelum
masuk di posterior equator pada aspek superior dan lateral bola mata

Otot inferior oblique berasal dari tulang maksilar di belakang fossa lacrimalis,
sedikit ke tepi posterior orbit. Melewati posterior dan lateral di orbit, membentuk
sudut 51 º dengan sumbu visual dari mata dalam posisi utama, sebelum melewati

9
bawah otot rektus inferior dan masukkan posterior equator pada aspek inferior dan
lateral bola mata.

Vaskularisasi otot ekstraokular(2,4)

Suplai darah utama mata berasal dari arteri oftalmik. Cabang otot lateral arteri
oftalmik memasok rektus lateral, rektus superior, dan superior oblique. Cabang medial
memasok rektus inferior, rektus medial, dan oblique inferior

Cabang medial dan lateral arteri menimbulkan 7 pembuluh silier anterior, yang
berjalan dengan 4 otot rektus untuk memberikan sirkulasi untuk segmen anterior
mata. Setiap otot rektus memiliki 2 pembuluh silier anterior, kecuali untuk otot rektus
lateral, yang hanya memiliki 1 pembuluh. Kapal ini melewati anterior episclera dan
memasok segmen anterior mata, termasuk sklera, limbus, dan konjungtiva.

Otot-otot Intrinsik Bola Mata(2,3,4)

1. M.ciliaris :
- Fungsi : mengatur kecembungan lensa.
- Inervasi : Serabut parasimpatis N.III melalui ganglion ciliare.

2. Otot-otot iris:
- M.sphincter pupillae :
 Mengecilkan ukuran pupil
 Inervasi oleh sistem parasimpatis melalui nn.ciliares breves.
- M.dilator pupilae:
 Melebarkan pupil
 Inervasi oleh sistem simpatis

10
BAB III

STRABISMUS

III.1 Definisi

Strabismus merupakan suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang


nyata di mana sumbu penglihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi. (10)

III.2 Etiologi (5)

1. Faktor Keturunan
“Genetik Pattern”nya belum diketahui dengan pasti, tetapi akibatnya sudah
jelas. Bila orang tua yang menderita strabismus dengan operasi berhasil baik,
maka bila anaknya menderita strabismus dan operasi akan berhasil baik pula.

2. Kelainan Anatomi
Kelainan otot ekstraokuler

a. Over development
b. Under development
c. Kelainan letak insertio otot.

3. Kelainan dari tulang-tulang orbita


a) Kelainan pembentukan tulang orbita menyebabkan bentuk dan orbital
abnormal,sehingga menimbulkan penyimpangan bola mata.
b) Kelainan pada saraf pusat yang tidak bisa mensintesa rangsangan.
c) Fovea tidak dapat menangkap bayangan.
d) Kelainan kwantitas stimulus pada otot bola mata.
e) Kelainan Sensoris

4. Kelainan Inervasi
Gangguan proses transisi dan persepsi

11
III.3 Patogenesis

Bila terdapat satu / lebih otot mata yang tidak dapat mengimbangi gerak otot-otot
lainnya maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerak kedua mata, sumbu
penglihatan akan menyilang, mata menjadi strabismus & penglihatan menjadi ganda
(diplopia)

1. Gangguan gerakan mata :

a) Tonus yang berlebihan.


b) Paretik / paralytik.
c) Hambatan mekanik.
Contoh : parese / paralyse rectus lateralis mata kanan, maka akan terjadi
esotropi mata kanan. (10)

2. Gangguan Faal Otot Penggerak Bola Mata(4,7,10)

Kedua bola mata digerakkan oleh otot-otot mata luar sedemikian rupa
sehingga bayangan benda yang menjadi perhatian akan selalu jatuh tepat di kedua
fovea sentralis. Otot penggerak kedua bola mata, yang berjumlah dua belas akan
selalu bergerak secara teratur; gerakan otot yang satu akan mendapatkan
keseimbangan gerak dari otot-otot lainnya. Keseimbangan yang ideal seluruh otot
penggerak bola mata ini menyebabkan kita dapat selalu melihat secara binokular.

Apabila terdapat satu atau lebih otot penggerak bola mata yang tidak dapat
mengimbangi gerak otot-otot lainnya, maka terjadilah gangguan keseimbangan
gerak antara kedua mata, sehingga sumbu penglihatan menyilang pada tempat diluar
letak benda yang menjadi perhatiannya dan disebut “juling‟ (crossed Eyes).
Gangguan keseimbangan gerak bola mata (muscle imbalance) bisa disebabkan oleh
hal-hal berikut:

 Pertama apabila aktivitas dan tonus satu atau lebih otot penggerak menjadi
berlebihan; dalam hal ini otot bersangkutan akan menarik bola mata dari
kedudukan normal. Apabila otot yang hiperaktif adalah otot yang berfungsi
untuk kovergensi terjadilah juling yang konvergen (esotropia).
 Kedua, adalah kebalikan dari pertama, apabila satu atau lebih dari otot
penggerak bolamata aktivitas atau tonusnya menjadi melemah atau paretik.

12
Bila hal ini terjadi pada otot yang dipakai untuk konvergensi, maka terjadilah
juling divergen (ekstropia).

Dapatlah dimengerti bahwa ada dua keadaan tersebut di atas, besarnya sudut
deviasi adalah berubah-ubah tergantung pada arah penglihatan penderitaan.
Keadaan juling seperti itu disebut sebagai gangguan keseimbangan gerak yang
inkomitan. Sebagai contoh adalah suatu kelumpuhan otot rektus lateral mata kanan,
maka besar sudut deviasi adalah kecil bila penderita melihat kearah kiri dan
membesar bila arah pandang ke kanan. Gangguan keseimbangan gerak bola mata
dapat pula terjadi karena suatu kelainan yang bersifat sentral berupa kelainan stimulus
pada otot. Stimulus sentral untuk konvergensi bisa berlebihan sehingga akan
didapatkan seorang penderita kedudukan bola matanya normal pada penglihatan jauh
(divergensi) tetapi menjadi juling konvergen pada waktu melihat dekat (konvergensi);
demikian kita kenali :

o Convergence excess
Bila kedudukan bola mata penderita normal melihat jauh dan juling ke
dalam esotopia pada waktu melihat dekat.

o Divergence excess
bila kontraksi otot penggerak bola mata penderita normal pada penglihatan
dekat, tetapi juling keluar (divergent squint) bila melihat jauh.

o Convergence insuffiency
Bila kedudukan bola mata normal pada pennglihatan jauh tapi juling
keluar pada waktu melihat dekat.

o Divergence insuffience
Bila penderita mempunyai kedudukan bola mata yang normal untuk dekat
tetapi juling ke dalam bila melihat jauh.

3. Anisometropia

Apabila seseorang berbeda derajat hipermetropinya sebanyak dua dioptri atau


lebih, maka secara sadar atau tidak ia akan memakai mata dengan derajat
hipermetropia yang lebih ringan untuk penglihatan jauh maupun dekat, karena jumlah
enersi untuk akomodasi yang diperlukan untuk melihat jelas adalah lebih ringan.

13
Dengan jumlah akomodasi ini mata dengan hipermetropi yang lebih berat tidak
pernah melihat dengan jelas, baik untuk penglihatan dekat maupun jauh. Bila
keadaan ini terjadi secara dini dalam masa perkembangan penglihatan dan dibiarkan
sampai anak berumur lebih dari lima tahun maka kemajuan melihat dari mata dengan
hipermetropia yang lebih tidaklah sebaik di banding mata lainnya. Kelemahan
penglihatan yang tidak di dasarkan pada adanya kelainan organik disebut ambilopia.

Perbedaan kekuatan miopia antara mata satu dan lainnya pada umumnya
tidak mengakibatkan timbulnya ambliopia yang mencolok, disebabkan oleh kerena
mata dengan miopia yang lebih berat sifatnya masih dapat melihat berbeda-beda
secara jelas untuk dekat tanpa akomodasi, lagi pula kelainan miopia umumnya
bersifat progresif dan umumnya belum terdapat secara menyolok pada usia sangat
muda.

4. Aniseikonia

Apabila kita melihat ke suatu benda yang berjarak antara satu dan dua meter
dihadapan kita, kemudian menutup satu mata berganti, maka kita akan mengetahui
bahwa terdapat perbedaan bentuk, tempat maupun besarnya benda yang kita
perhatikan. Perbedaan penglihatan antara mata kanan dan kiri tersebut dikenal dengan
nama penglihataan diantara dua mata kita. Disparitas yang ringan memang diperlukan
untuk kemampuan penglihatan stereoskopik.

Disparitas penglihatan yang terlalu besar, seperti contohnya seorang dengan


afakimonokular yang dikoreksi dengan kaca mata, mengakibatkan kesulitan bagi
sistem saraf pusat untuk menyatukan (memfusikan) menjadi satu bayangan tunggal
dan benda-benda yang dilihat akan tampak ganda. Disparitas penglihatan yang
menimbulkan gangguan berupa penglihatan ganda atau diplopia disebut aniseikonia.

Seseorang yang menderita diplopia sudah barang tentu akan menjadi binggung
seperti seorang yang baru belajar menggunakan mikroskop monokular, secara sadar
ataupun tidak akan menutup salah satu matanya agar penglihatan menjadi tunggal
kembali. Lama kelamaan orang tersebut akan belajar mengeliminasi bayangan salah
satu matanya dan disebut sebagai image supression dan dalam pembahasan ini akan
disebut sebagai supresi.

14
Supresi dapat dilakukan secara sadar pada kedua mata berganti - ganti menjadi
dan disebut Alternating Suppression, tapi dapat pula terjadi secara terus menerus pada
mata yang sama dan memilih menggunakan mata lainnya untuk penglihatan. Dalam
hal ini maka mata yang dipakai untuk penglihataan sehari-hari disebut sebagai mata
yang dominan sedang mata yang mengalami supresi sebagai mata malas (lazy eye).
Mata malas dalam keadaan sehari-hari tidak dipakai melihat, maka pada umumnya
mata ini mengalami kemunduran-kemunduran fungsional dan menjadi ambliopia
bahkan kadang-kadang mengalami deviasi sumbu penglihatan dan menjadi juling.

Hukum dalam Strabismus (10)

1. Hukum Desmarrens : bila sumbu penglihatan bersilangan maka bayangan


tidak bersilangan
2. Hukum Donder : Kedudukan bola mata terhadap fiksasi penglihatan
ditentukan oleh arah mata. Bola mata berputar pada sumbu penglihatan tanpa
disadari atau disengaja.
3. Hukum Gullstrand : bila pasien yang sedang berfiksasi jauh digerakkan
kepalanya maka reflex kornea pada kedua mata akan bergerak searah dengan arah
gerakan kepala atau bergerak ke arah otot yang lebih lemah.
4. Hukum Hering : Pada pergerakan bersama kedua bola mata didapatkan
rangsanag yang sama dan simultan pada otot-otot mata agonis dari pusat
persarafan okulogiri untuk mengarahkan kedudukan mata.
5. Hukum Listing : bila terjadi perubahan grafis fiksasi bola mata dari posisi
primer ke posisi yang lainnya maka sudut torsi pada posisi sekunder ini sama
seperti bila mata itu kembali pada posisinya dengan berputar pada sumbu yang
tetap yang tegak lurus pada sumbu permulaan dan posisi akhir dari garis fiksasi.
6. Hukum Sherington : otot mata luar seperti pada otot serat lintang
menunjukkan persarafan resiprokal pada otot antagonisnya.

15
III.4 Klasifikasi

Strabismus diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Menurut manifestasi
a) Heterotropia : strabismus manifes (sudah terlihat)
Suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua
penglihatan tidak berpotongan pada titik fikasasi.
• Esotropia
Juling Kedalam atau strabismus konvergen manifest dimana sumbu
pengelihatan mengarah ke arah nasal. Esotropia merupakan suatu
penyimpangan sumbu pengelihatan yang nyata dimana salah satu sumbu
pengelihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu pengelihatan lainnya
menyimpang pada bidang horizontal ke arah medial.
• Eksotropia
Merupaka strabismus divergen manifest dimana sumbu penglihatan ke
arah temporal. Karena syarat penglihatan binokuler tidak terpenuhi misalnya
pada myopia yang lama tidak dikoreksi, pada anisokonia atau lesi retina akan
terjadi amblyopia kemudian eksotropia. 7,10
- Eksotropia intermiten
Onset deviasi mungkin pada tahun pertama dan dalam praktiknya semua
kasus sudah muncul dalam usia 5 tahun. Dari anamnesis sering diketahui
kelainan tersebut memburuk secara progresif. Suatu tanda yang khas adalah
penutupan satu mata dalam cahaya yang terang. Karena anak melakukan fusi
paling tidak pada sebagian waktu, amblyopia jarang terjadi, walaupun ada
hanya ringan.10
- Eksotropia konstan
Lebih jarang dibandingkan intermiten. Kelainan ini dijumpai sejak lahir.
Karena itu anak-anak dengan eksotropia infantile berisiko mengalami
kerusakan neurologi dan keterlambatan perkembangan. Derajat dari eksotropia
konstan bervariasi, lamanya penyakit atau adanya penurunan penglihatan pada
satu mata dapat menjadikan deviasi semakin besar. 10

• Hipertropia
Hipertropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata
dimana salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu
penglihatan yang lainnya menyimpang pada bidang vertikal ke arah superior
(atas).

16
• Hipotropia
Hipotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana
salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu
penglihatan yang lainnya menyimpang pada bidang vertikal ke arah inferior
(bawah).

Gambar 6. Gambaran Macam-macam Heterotropia

b) Heteroforia: strabismus laten (belum terlihat jelas)


Heterotrofi adalah keadaan kedudukan bola mata yang normal namun
akan timbul pengimpangan (deviasi) apabila refleks fusi diganggu. Deviasi
hilang bila faktor desosiasi ditiadakan akibat terjadinya pengaruh refleks fusi.
Macam-macam heterotrofi bergantung kepada bidang penyimpangannya;
pada bidang horizontal ditemukan esofori dan eksofori, pada bidang vertikal
ditemukan hipo atau hiperforia sedang pada bidang frontal ditemukan

17
insiklofori dan eksiklofori. Penyebabnya adalah akibat tidak seimbangnya atau
insufisiennya otot penggerak mata.
Terdapat 75-90% penduduk menderita heteroforia dan biasanya tidak
menimbulkan keluha[n. Pada penelitian ditemukan bahwa bila kekuatan fusi
vergens 2 kali sebesar kekuatan heteroforianya maka heteroforia ini tidak akan
menimbulkan keluhan. Fusi pasien dapat terganggu bila pasien letih atau saat
mata tertutup misalnya pada uji tutup mata dan uji tutup mata bergantian.
Pada penderita heteroforia tidak terdapat ambliopia dan mungkin masih
terdapat penglihatan stereoskopik.
Heteroforia ini dapat dibagi menururt arah penyimpangan sumbu penglihatan.
• Esoforia, mata berbakat juling ke dalam.
Esofori adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan ke arah nasal
yang tersembunyi oleh karenan masih adanya refleks fusi. Esoforia yang
mempunyai sudut penyimpangan lebih besar pada waktu melihat jauh
daripada waktu melihat dekat disebabkan oleh suatu insufisiensi divergen.
Esoforia yang mempunyai sudut penyimpangan lebih kecil pada waktu
melihat dekat disebabkan oleh suatu ekses konvergen. Biasanya diakibatkan
oleh suatu akomodasi yang berlebihan pada hipermetropia yang tak dikoreksi.
Bila besar sudut penyimpangan sama besar pada waktu melihat dekat dan
melihat jauh, maka ini disebut sebagai basic type.
• Eksforia, mata berbakat juling ke luar
Eksforia atau strabismus divergen latin adalah suatu tendensi
penyimpangan sumbu penglihatan ke arah temporal. Dimana pada eksforia
akan terjadi deviasi ke luar pada mata yang ditutup atau dicegah terbentuknya
refleks fusi.
Eksoforia merupak kelainan yang paling sering dijumpai pada keadaan
kelainan keseimbangan kekuatan otot luar bola mata karena kedudukan bola
mata pada waktu istirahat pada umumnya ada pada keadaan sedikit menggulir
ke arah luar. Eksoforia kecil tanpa keluhan sering pada anak-anak.
Eksoforia besar sering akan memberikan keluhan astenopia. Apabila
sudut penyimpangan pada waktu melihat jauh lebih besar daripada waktu
melihat dekat, maka hal ini biasanya disebabkan oleh suatu ekses divergen.
Sedangkan apabila sudut penyimpangan pada waktu melihat dekat lebih besar
dibanding waktu melihat jauh, maka hal ini disebabkan oleh kelemahan
akomodasi.
Pada orang miopia mudah terjadi eksoforia karena mereka jarang
berakomodasi akibatnya otot-otot untuk berkonvergensi menjadi lebih lemah
dibanding seharusnya. Juga suatu perbaikan yang mendadak pada orang

18
dengan hipermetropia dan presbiopia yang mendapat koreksi kaca mata dapat
menimbulkan eksoforia karena hilangnya ketegangan akomodasi yang tiba-
tiba.
Pengobatan ditujukan kepada kesehatan secra umum. Bila ada kelainan
refraksi harus diberikan koreksi. Bila mungkin diberikan latihan-latihan
ortoptik. Bila tidak berhasil dapat diberikan prisma base in yang kekuatannya
dibagi dua sama besar untuk masing-masing mata, kiri dan kanan.
• Hiperforia, mata berbakat juling ke atas
Hiperforia atau strabismus sursumvergen laten adalah suatu tendensi
penyimpangan sumbu penglihatan kearah atas.
Dimana pada hiperforia akan terjadi deviasi ke atas pada mata yang
ditutup. Umumnya keadaan ini disebabkan kerja yang berlebihan (over action)
otot-otot rektus inferior dan obliqus superior atau kelemahan (under action)
otot-otot rektus inferior dan obliqus superior. Keadaan hipertrofi mudah sekali
menyebabkan astenopia. Pengobatan dapat dengan kacamata prisma dan
puncak diatas (vertical base up) di depan mata yang sumbu penglihatannya
lebih rendah. Dapat juga dilakukan operasi pada otot-otot rektus superior dan
rektus inferior.
• Hipoforia, mata berbakat juling ke bawah.
Hipoforia atau strabismus deorsumvergen laten adalah suatu tendensi
penyimpangan sumbu penglihatan ke arah bawah. Mata akan berdeviasi ke
bawah bila ditutup.

2. Menurut jenis deviasi


a) Horizontal : esodeviasi atau eksodeviasi
b) Vertikal : hiperdeviasi atau hipodeviasi
c) Torsional : insiklodeviasi atau eksiklodeviasi
d) Kombinasi: horizontal, vertikal dan atau torsional

3. Menurut kemampuan fiksasi mata


a) Monokular : bila suatu mata yang berdeviasi secara konstan
b) Alternan : bila kedua mata berdeviasi secara bergantian

4. Menurut sudut deviasi


a. Strabismus Inkomitan/Noncomitan (paralitik)

Sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan kasus disebabkan


kelumpuhan otot penggerak bola mata.

Seringkali heteroforia bertambah secara progresif, sehingga kelainan


deviasi ini tidak dapat lagi diatasi, sehingga menjadi = strabismus.

19
Tanda-tanda :

- Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal
ini menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese.
(12)

- Deviasi
Deviasi akan tampak lebih jelas, bila kedua mata digerakkan kearah
dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata digerakkan kearah
dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh, deviasinya tak tampak.
- Contoh : kelumpuhan m.rektus lateralis, menyebabkan esotropia, mata
berdeviasi kenasal. Deviasi ini tampak jelas bila kedua mata digerakkan
kearah temporal dan menjadi tidak nyata, bila digerakkan kearah nasal.
Deviasi dari mata yang strabismus disebut deviasi primer, selalu kearah
berlawanan dengan arah bekerjanya otot yang lumpuh. Kalau mata yang
sakit melihat sesuatu obyek dan mata yang sehat ditutup maka mata yang
sehat ini akan berdeviasi pada arah yang sesuai dengan mata yang sakit,
tetapi dengan kekuatan yang lebih besar. Deviasi dari mata yang sehat
disebut deviasi sekunder. (7,12)

- Ini merupakan cara untuk membedakan strabismus paralitik dari yang


nonparalitika, dimana deviasi primer sama dengan deviasi sekunder.

- Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih
nyata bila mata digerakkan kearah ini.

- Ocular torticollis (head tilting)


- Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh.
Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus
paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa berkurang.

- Proyeksi yang salah


- Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi yang benar. Bila
mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu obyek yang
ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah
disamping obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan
otot yang lumpuh. (10,12)

20
- Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.
Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.

Kelumpuhan Dari N.III (N. Okulomotorius)

Pada kelumpuhan total dari saraf ini didapatkan :


- ptosis.
- bola mata hampir tak dapat bergerak. Keterbatasan bergerak kearah atas,
kenasal dan sedikit kearah bawah.
- Sedikit Eksoftalmus, karena otot yang di persarafi N.III menarik bola
mata.
- mata berdeviasi ketemporal, sedikit kebawah. Kepala berputar kearah
bahu pada sisi otot yang lumpuh.
- pupil midriasis, reaksi cahaya negatif, akomodasi lumpuh.

- Diplopia

Hal tersebut terjadi oleh karena N.III mengurusi :


M.rektus superior, m.rektus medialis, m.rektus lateralis, m.obliqus inferior, m.
sfingter pupil, mm.siliaris.

Kelumpuhan m.rektus medialis :


Menyebabkan strabismus divergens, gangguan gerak kearah nasal, crossed
diplopia. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah nasal (aduksi).
Kepala dimiringkan kearah otot yang sakit.

Kelumpuhan m.rektus superior :


Terdapat keterbatasan gerak keatas, hipotropia, diplopia campuran (diplopi
vertikal dan crossed diplopia). Bayangan dari mata yang sakit terdapat diatas
bayangan mata yang sehat. Kelainan bertambah pada gerakan mata keatas.

Kelumpuhan m.rektus inferior :

Terdapat keterbatasan gerak mata kebawah, hipertropia, diplopi campuran,


crossed, yang bertambah hebat bila mata digerakkan kebawah. Bayangan dari
mata yang sakit terletak lebih rendah.

Kelumpuhan m.obliqus inferior :

21
Terdapat keterbatasan gerak keatas, terutama atas nasal, strabismus vertikal,
diplopia campuran, homonim. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan
kearah temporal atas. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih tinggi.

Kelumpuhan m.obliqus superior (N.IV):


Terdapat keterbatasan gerak kearah bawah terutama nasal inferior, strabismus
yang vertikal, diplopia campuran, terutama vertikal dan homonim yang
bertambah hebat bila mata digerakkan kearah nasal inferior. Bayangan dari mata
yang sakit terletak lebih rendah. (7,12)

2. Strabismus Nonparalitik (Concomitant)

Sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi, mengikuti gerak mata
yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang
sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi
sekunder (deviasi pada mata yang sehat).
.

a. Strabismus Nonparalitik Nonakomodatif :

Deviasinya telah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama.
Deviasinya sama kesemua arah dan tidak dipengaruhi oleh akomodasi. Karena itu
penyebabnya tak ada hubungannya dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan
otot-otot. Mungkin disebabkan oleh :

- Insersi yang salah dari otot-otot yang bekerja horizontal,

- kelainan persarafan supranuklear atau kelainan genetis. (12,13)

Untuk melakukan konvergensi dari kedua mata, harus ada kontraksi yang
sama dan serentak dari kedua m.rektus internus, sehingga terjadi gerakan yang
sama dan simultan dari mata ke nasal. Divergensi dan konvergensi adalah
bertentangan, overaction dari yang satu menyebabkan kelemahan dari yang lain
dan sebaliknya. Dibedakan :

- Kelebihan konvergensi : (convergence excess)


- Kelebihan divergensi (divergence exess)
- Kelemahan konvergensi (convergence insufficiency)

22
- Kelemahan divergensi (divergence insufficiency)

b. Strabismus Nonparalitik Akomodatif :

Gangguan keseimbangan konvergensi dan divergensi dapat juga


berdasarkan akomodasi, jadi berhubungan dengan kelainan refraksi.

Dapat berupa : - strabismus konvergens (esotropia)


- strabismus divergens (eksotropia)

 Strabismus Konvergens Nonparalitik Akomodatif (Esotropia Konkomitan


Akomodatif)

Dinamakan juga esotropia, dimana mata berdeviasi kearah nasal. Kelainan


ini berhubungan dengan hipermetropia atau hipermetropia yang disertai astigmat.
Tampak pada umur muda, antara 1-4 tahun, dimana anak mulai mempergunakan
akomodasinya untuk melihat benda-benda dekat seperti mainan atau gambar-
gambar. Mula-mula timbul periodik, pada waktu penglihatan dekat atau bila
keadaan umumnya terganggu, kemudian menjadi tetap, baik pada penglihatan
jauh ataupun dekat.
Anak yang hipermetrop, mempergunakan akomodasi pada waktu
penglihatan jauh, pada penglihatan dekat akomodasi yang dibutuhkan lebih
banyak lagi. Akomodasi dan konvergensi erat hubungannya, dengan penambahan
akomodasi konvergensinyapun bertambah pula. Pada anak dengan hipermetrop
ini, mulai terlihat esoforia periodik pada penglihatan dekat, disebabkan
rangsangan berlebihan untuk konvergensi. Lambat laun kelainan deviasi ini
bertambah sampai fiksasi binokuler untuk penglihatan dekat tak dapat
dipertahankan lagi, dan terjadilah strabismus konvergens untuk dekat. Kemudian
terjadi pula esotropia pada penglihatan jauh.

 Strabismus Divergens Nonparalitik Akomodatif (Eksotropia Konkomitan


Akomodatif)

Mata berdeviasi kearah temporal. Hubungannya dengan miopia. Sering


juga didapat, bila satu mata kehilangan penglihatannya sedang mata yang lain
penglihatannya tetap baik, sehingga rangsangan untuk konvergensi tak ada, maka

23
mata yang sakit berdeviasi keluar. Strabismus divergens biasanya mulai timbul
pada waktu masa remaja atau dewasa muda.
Dapat dimulai dengan :
 Kelemahan konvergensi.
Pada miopia mulai dengan kelemahan akomodasi pada jarak dekat,
orang miop hanya sedikit atau tidak memerlukan akomodasi, sehingga
menimbulkan kelemahan konvergensi dan timbullah kelainan
eksotropia untuk penglihatan dekat sedang untuk penglihatan jauhnya
normal. tetapi pada keadaan yang lebih lanjut, timbul juga eksotropia
pada jarak jauh.
 Kelebihan divergensi
Bila penyebabnya divergens yang berlebihan, yang biasanya
merupakan kelainan primer, mulai tampak sebagai eksotropia untuk
jarak jauh. Tetapi lama kelamaan kekuatan konvergensi melemah,
sehingga menjadi kelainan yang menetap, baik untuk jauh maupun
dekat.

(5,8,11)
III.5 Pemeriksaan Oftalmologi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur derajat strabismus. Diantara nya:

1. Tes Hirschberg
Tujuan : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai derajat pengguliran bola
mata abnormal dengan melihat refleks sinar pada kornea
Dasar : bila terdapat fiksasi sentral pada satu mata maka refleks sinar yang
diberikan pada kornea mata lainnya dapat menentukan derajat deviasi mata
secara kasar.
Alat : sentolop
Teknik :

 Sentolop disinarkan setinggi mata penderita, sebagai sinar fiksasi


 Sentolop terletak 30 cm dari penderita
 Refleks sinar pada mata fiksasi diletakkan ditengah pupil
 Dilihat letak refleks sinar pada kornea mata yang lain
 Nilai :
o Refleks sinar pada mata normal terletak pada kedua mata
sama-sama di tengah pupil.

24
o Bila satu refleks sinar di tengah pupil sedang pada mata
yang lain di nasal pupil berarti pasien juling ke luar atau
eksotropia.
o Bila satu refleks sinar di tengah pupil sedang pada mata
yang lain di temporal pupil berarti pasien juling ke dalam
atau esotropia.
o Refleks cahaya pada mata yang berdeviasi bila : lebih dekat
pertengahan pupil, berarti deviasi 5o-6o , sedang bila pada
tepi pupil, berarti deviasi 12-15o (30 prisma dioptri). Bila
refleks sinar pada kornea terletak antara pinggir pupil dan
limbus, berarti deviasi 25o , dan bila pada pinggir limbus
berarti deviasi 45-60o

Gambar 7. Tes Hirscberg

2. Tes Krimsky (untuk mengukur derajat deviasi mata)

Caranya: Penderita melihat ke sumber cahaya yang jaraknya ditentukan.


Perhatikan refleks cahaya pada mata yang berdeviasi. Kekuatan prisma
yang terbesar diletakkan di depan mata yang berdeviasi, sampai refleks
cahaya yang terletak disentral kornea

25
Gambar 8. Tes Krimsky

3. Cover Uncover Test


Caranya: menyuruh mata pasien berfiksasi pada satu obyek. Bila telah
terjadi fiksasi kedua mata maka mata kiri ditutup dengan lempeng
penutup. Di dalam keadaan ini mungkin akan terjadi:
 Mata kanan bergerak berarti mata tersebut mempunyai kejulingan
yang manifes. Bila mata kanan bergerak ke nasal berarti mata
kanan juling ke luar atau eksotropia. Bila mata kanan bergerak ke
temporal berarti mata kanan juling ke dalam atau esottropia.
 Mata kanan bergoyang yang berarti mata tersebut mungkin
ambliopia atau tidak dapat berfiksasi.
 Mata kanan tidak bergerak sama sekali, yang berarti bahwa mata
kanan berkedudukan normal, lurus atau telah berfiksasi.

Gambar 9. Cover uncover test

Pemeriksaan lain yang berhubungan dengan strabismus:

Tes Duksi

Tujuan : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat pergerakan setiap otot mata
menurut fungsi gerakan otot tersebut
Dasar : setiap otot penggerak mata mempunyai fungsi khusus pada pergerakan mata
Alat : lampu fiksasi

26
Teknik :
- Pemeriksaan ini dilakukan pada jarak dekat atau 30 cm
- Mata diperiksa satu persatu mata
- Dilihat pergerakan mata dengan menyuruh mata tersebut mengikuti
gerakan sinar ke atas, kebawah, kekiri, kekanan, temporal atas, temporal
bawah, nasal atas dan nasal bawah

Nilai : bila tidak terlihat kelambatan pergerakan otot disebut fungsi otot normal

III.6 Penatalaksanaan (7,10.14,15)

Terjadinya strabismus adalah akibat dari tidak dipenuhinya syarat-syarat


binokuler vision normal, karena itu tujuan pengobatan strabismus adalah
mendapatkan binokuler vision yang baik

3 tahap pengobatan strabismus :

1. Memperbaiki visus masing-masing mata :


a) Dengan menutup mata yang baik
b) Pemberian kaca mata
c) Latihan ( oleh orthoptist )
2. Memperbaiki kosmetik :
a) Mata diluruskan dengan jalan operasi
b) Pemberian kaca mata
c) Kombinasi keduanya
3. Penglihatan binokuler :
a) Latihan orthoptic
b) Operasi & orthoptic
c) Kaca mata & orthoptic

Jadi pengobatan strabismus dapat disimpulkan :

A. Non operatif

1. Kaca Mata
2. Orthoptics :

27
a. Oklusi Mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan mata
yang ambliopia. Oklusi sebagian juga harus bisa dilakukan dengan
membrane plastik, pita, lensa, atau mata ditutup dengan berbagai cara.
b. Pleoptic
c. Obat-obatan
d. Latihan Synoptophore

3. Memanipulasi akomodasi
a. Lensa plus / dengan miotik
Menurunkan beban akomodasi dan konvergensi yang menyertai

b. Lensa minus dan tetes


siklopegik
Merangsang akomodasi pada anak-anak

4. Penutup Mata
Jika anak menderita strabismus dengan ambliopia, dokter akan
merekomendasikan untuk melatih mata yang lemah dengan cara menutup
mata yang normal dengan plester mata khusus (eye patch). Penggunaan
plester mata harus dilakukan sedini mungkin dan mengikuti petunjuk
dokter. Sesudah berusia 8 tahun biasanya dianggap terlambat karena
penglihatan yang terbaik berkembang sebelum usia 8 tahun.

B. Operatif
a. Melemahkan otot : Recession
b. Memperkuat otot : Recection

III.7 Komplikasi (7)

Komplikasi pada strabismus dapat berupa :

1. Supresi
Merupakan usaha yang tak disadari dari penderita untuk menghindari diplopia
yang timbul akibat adanya deviasinya.

2. Ambliopia
Yaitu menurunkan visus pada satu/dua mata dengan atau tanpa koreksi
kacamata dan tanpa adanya kelainan organiknya.
28
3. Defect otot
a. Misal : Kontraktur otot mata biasanya timbul pada strabismus yang
bersudut besar & berlangsung lama.
b. Persubahan2 sekunder dari struktur conjungtiva & jaringan fascia yang
ada di sekeliling otot menahan pergerakan normal mata
4. Adaptasi posisi kepala antara lain :
Head Tilting, Head Turn.
Keadaan ini dapat timbul untuk menghindari pemakaian otot yang mengalami
defect atau kelumpuhan untuk mencapai penglihatan binokuler. Adaptasi
posisi kepala biasanya kearah aksi otot yang lumpuh. Contoh : Paralyse Rectus
Lateralis mata kanan akan terjadi Head Turn kekanan.
5. Kosmetik

III.8 Prognosis

Setelah dilakukan operasi, mata bisa melihat langsung namun masalah tajam
penglihatan masih dapat terjadi. Pada anak-anak dapat memiliki masalah membaca di
sekolah dan untuk orang dewasa lebih terbatas dalam melakukan kegiatan.
Dengan diagnosis dini dan penanganan segera masalah dapat secepatnya teratasi.
Penganan yang terlambat akan menyebabkan kehilangan penglihatan mata secara
permanen. Sekitar sepertiga anak-anak dengan strabismus akan mengalami ambliopia
sehingga harus dipantau secara ketat

29
BAB IV

KESIMPULAN

1. Secara umum strabismus merupakan suatu keadaan penyimpangan sumbu bola


mata yang nyata di mana sumbu penglihatan tidak berpotongan pada titik
fiksasi. Nama lain yang lebih tepat untuk strabismus adalah “VISUAL
SENSORIMOTOR ANOMALIES”.
2. Strabismus disebabkan oleh kelainan otot ekstraokuler, kelainan dari tulang-
tulang orbita yang paling sering adalah faktor keturunan yang “Genetik
Pattern”nya belum diketahui dengan pasti, tetapi akibatnya sudah jelas. Bila
orang tua yang menderita strabismus dengan operasi berhasil baik, maka bila
anaknya menderita strabismus dan operasi akan berhasil baik pula.
3. Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana
salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu
penglihatan lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke arah medial.
4. Penyebab Esotropia adalah faktor esotropia paralitikus dan nonparalitikus,
hipertoni rektus medius, hipotoni rektus lateralis, penurunan fungsi
penglihatan satu mata pada bayi dan anak (hipermetrop, astigmat)
5. Gejala klinis esotropia adalah posisi bola mata menyimpang ke arah nasal.
6. Eksotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana
salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu
penglihatan lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke arah lateral.
7. Penyebab Eksotropia adalah hipotoni rektus medius, hipertoni rektus lateralis,
penurunan fungsi penglihatan satu mata pada remaja dan dewasa muda (miop,
kelemahan konvergensi, kelebihan divergensi)
8. Gejala klinis eksotropia adalah posisi bola mata menyimpang ke arah
temporal.
9. Diagnosis dapat ditegakan dengan anamnesa, inspeksi, pemeriksaan ketajaman
penglihatan, pemeriksaan kelainan refraksi, mengukur sudut deviasi.
10. Penatalaksanaan esotropia dan eksotropia yaitu pengobatan secara non operatif
dan operatif.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kahle W. “The Eye”, in Color Atlas And Textbook of Human Anatomy , p.348,
Stuttgart, Germany, 2003.Noble J, Chaudray V. CMAJ. 2010.
2. Snell, Richarcd. Anatomi Klinik Edisi Keenam. Jakarta : EGC; 2006.
3. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2001. Penerbit EGC:
Jakarta. hal 171.

4. Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta :
EGC; 2008
5. Kanski, Jack J., clinical ophthalmology fourth edition. Glasgow: Bath Press
Colourbooks;1999.
6. Friedman, Kaiser. The Massachussets Eye and Ear Infirmary Illustrated Manual
of Ophtalmology.2004.Saunders.Pensylvania.

7. Voughan, Asbury, Daniel G, Taylor, dan Riordan-Eva, Paul. Editor; Diana


Susanto.Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC; 2009
8. Nema HV. Textbook of Opthalmology. Edition 4. 2002. Medical Publisher.
New Delhi. Page 249-51.
9. Elkington AR, Khaw PT. Petunjuk Penting Kelainan Mata. 1995. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.hal 162-165.

10. Ilyas,Sidarta.Yulianti, Sri Rahayu. 2012.Ilmu Penyakit Mata.Edisi IV.Cetakan


ke II.Jakarta.
11. Ilyas, Sidarta. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata edisi
ketiga. Jakarta:FK UI; 2009.
12. Wijana. N, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta,
282-311.
13. Radjamin. T, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Perhimpunan
Dokter Ahli Mata Indonesia, Airlangga University Press, 121-126.
14. James, Bruce, Chew, Chris., Bron, Anthony. Oftalmologi edisi kesembilan.
Jakarta :Erlangga; 2006
15. Perhimpunan dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata edisi kedua.
Jakarta:Sagung Seto; 2007

31

Anda mungkin juga menyukai