Disusun Oleh :
Novan Fachrudin 2012730070
Pembimbing :
Dr.H.Abdul Wahid Usman,Sp.PD
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan kasus ini kami buat dengan tujuan memenuhi tugas
kami selama menjalani kepanitraan klinik stase Interna dan juga dengan referat ini kami bisa
mempelajari proses perjalanan penyakit baik secara subjektif maupun objektif.
Terimakasih kami ucapkan kepada pembimbing kami Dr.H.Abdul Wahid
Usman,Sp.PD yang telah membantu serta membimbing kami dalam kelancaran pembuatan
laporan kasus ini. Terimakasih juga pada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pencarian materi dan mengumpulkan data. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat kepada
kami pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
referat kami.
Penyusun
i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
Daftar Isi .................................................................................................................................... 2
Daftar Tabel ............................................................................................................................. iii
Daftar Gambar .......................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 2
2.1. DEFINISI .................................................................................................................... 2
2.2. EPIDEMIOLOGI ........................................................................................................ 2
2.3. FAKTOR RESIKO ..................................................................................................... 3
2.4. PATOFISIOLOGI ....................................................................................................... 4
2.5. DIAGNOSIS ............................................................................................................... 5
2.6.1. Anamnesis1 .......................................................................................................... 6
2.6.2. Pemeriksaan Fisik1 ............................................................................................... 6
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang10..................................................................................... 7
2.6. KLASIFIKASI ............................................................................................................ 9
2.7. ASSESMENT............................................................................................................ 10
2.8. PENATALAKSANAAN .......................................................................................... 12
2.8.1. Edukasi ............................................................................................................... 13
2.8.2. Berhenti Merokok .............................................................................................. 15
2.8.3. Farmakologi ....................................................................................................... 15
2.8.4. Oksigen .............................................................................................................. 19
2.8.5. Rehabilitasi Medik ............................................................................................. 19
2.8.6. Ventilator Mekanik ............................................................................................ 20
2.9. DIAGNOSIS BANDING .......................................................................................... 20
2.9.1. Perbedaan antara Inflamasi PPOK dan Asma .................................................... 21
2.9.2. PPOK dengan Penyakit Lain dengan Keluhan Sesak Kronik ............................ 25
2.9.2.1. Anamnesis .................................................................................................. 26
2.9.2.2. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 27
2.9.2.3. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis ...................................................... 28
2.10. PENCEGAHAN .................................................................................................... 29
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................... 30
Daftar Pustaka ............................................................................................................................ v
2
Daftar Tabel
iii
Daftar Gambar
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Kronik Obstruktif (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan oleh
hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non reversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.1 Estimasi
dari 12 negara Asia Tenggara diperkirakan bahwa prevalensi PPOK sebesar 6.3 % dengan
prevalensi maksimum ada di negara Vietnam (6.7%) dan RRC (6.5%).3 Hasil penelitian
Buist yang dilakukan dengan pemeriksaan spirometri, kuesioner yang berisi gejala respirasi,
status kesehatan dan faktor pajanan menunjukkan bahwa secara umum prevalensi PPOK
lebih tinggi pada lelaki dibandingkan perempuan.4
World Health Organization (WHO) menyebutkan PPOK merupakan penyebab
kematian keempat didunia. Menurut perkiraan sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK pada
tahun 2005 dengan merujuk pada 5% dari seluruh kematian secara global. Total kematian
akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat > 30% pada 10 tahun mendatang. Hal ini
dihubungkan dengan pertambahan penduduk, kebiasaan merokok yang meningkat,
industrialisasi dan polusi udara.5 Di Indonesia tidak ada data yang akurat mengenai prevalensi
terjadinya PPOK, namun pada survei kesehatan rumah tangga Depkes RI pada tahun 1992
asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.1
Di seluruh dunia, faktor risiko COPD yang paling banyak ditemui adalah merokok
tembakau. Jenis tembakau lainnya, (misalnya pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan
faktor risiko COPD. Polusi udara di luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan - yang terakhir
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa - merupakan faktor risiko PPOK utama
lainnya. Orang yang tidak merokok juga dapat mengembangkan PPOK. PPOK adalah hasil
dari interaksi kompleks dari keterpaparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel
berbahaya, dikombinasikan dengan berbagai faktor inang termasuk genetika, responsivitas
saluran napas dan pertumbuhan paru yang buruk selama masa kanak-kanak.5
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Penyakit Paru Kronik Obstruktif (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan oleh
hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non reversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.1
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.5 Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat diobati
yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan pembatasan aliran udara yang
disebabkan oleh kelainan jalan napas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan
partikel atau gas berbahaya. Keterbatasan aliran udara kronis yang khas pada PPOK disebabkan
oleh campuran penyakit saluran udara kecil (mis, Bronchiolitis obstruktif) dan penghancuran
parenkim (emfisema), yang kontribusi relatifnya bervariasi dari orang ke orang.5
2.2. EPIDEMIOLOGI
Estimasi dari 12 negara Asia Tenggara diperkirakan bahwa prevalensi PPOK sebesar
6.3 % dengan prevalensi maksimum ada di negara Vietnam (6.7%) dan RRC (6.5%).2 Hasil
penelitian Buist yang dilakukan dengan pemeriksaan spirometri, kuesioner yang berisi
gejala respirasi, status kesehatan dan faktor pajanan menunjukkan bahwa secara umum
prevalensi PPOK lebih tinggi pada lelaki dibandingkan perempuan.3
World Health Organization (WHO) menyebutkan PPOK merupakan penyebab
kematian keempat didunia. Menurut perkiraan sekitar 80 juta orang akan menderita PPOK pada
tahun 2005 dengan merujuk pada 5% dari seluruh kematian secara global. Total kematian
akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat > 30% pada 10 tahun mendatang. Hal ini
dihubungkan dengan pertambahan penduduk, kebiasaan merokok yang meningkat,
industrialisasi dan polusi udara.4 Di Indonesia tidak ada data yang akurat mengenai prevalensi
terjadinya PPOK, namun pada survei kesehatan rumah tangga Depkes RI pada tahun 1992
asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.1
2
2.3. FAKTOR RESIKO
Di seluruh dunia, faktor risiko COPD yang paling banyak ditemui adalah merokok
tembakau. Jenis tembakau lainnya, (misalnya pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan
faktor risiko COPD. Polusi udara di luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan - yang terakhir
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa - merupakan faktor risiko PPOK utama
lainnya.5
Orang yang tidak merokok juga dapat mengembangkan PPOK. PPOK adalah hasil dari
interaksi kompleks dari keterpaparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel
berbahaya, dikombinasikan dengan berbagai faktor inang termasuk genetika, responsivitas
saluran napas dan pertumbuhan paru yang buruk selama masa kanak-kanak.5
Seringkali, prevalensi PPOK terkait langsung dengan prevalensi merokok tembakau,
meskipun di banyak negara di luar ruangan, polusi udara kerja dan ruangan (akibat pembakaran
kayu dan bahan bakar biomassa lainnya) adalah faktor risiko PPOK utama.5
3
4. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurangnya melakukan aktivitas fisik
memberikan kontribusi terjadinya PPOK.5
5. Asthma dan airway hyper-reactivity: asthma dapat menjadi faktor resiko
berkembangnya dari keterbatasan airflow dan PPOK.
6. Chronic bronchitis: dapat meningkatkan jumlah eksaserbasi dan meningkatkan
keparahan PPOK.
2.4. PATOFISIOLOGI
Salah satu karakteristik dari PPOK adalah terjadinya inflamasi kronis yang dimulai
dari saluran nafas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Pada awalnya proses
inflamasi terjadi dikarenakan adanya proses kontak terhadap inhalan bahan yang berbahaya,
namun lama kelamaan inflamasi ini terjadi terus menerus sehingga menjadi kronik. Pada
perubahan patologis disini dapat ditemukan infiltrasi sel- sel radang pada permukaan epitel.
Kelenjar-kelenjar mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini
menyebabkan hipersekresi bronkus.1
Proses berulangnya siklus injury dan repair pada inflamasi kronis akan mengakibatkan
terciptanya structural remodeling dari dinding saluran pernafasan dengan peningkatan
kandungan kolagen dan pembentukkan jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen
dan obstruksi kronis saluran pernafasan. Pada parenkim paru akan terjadi dekstruksi terus
menerus.Perubahan struktur yang pertama kali terjadi yaitu penebalan tunika intima yang
diikuti dengan peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembulu darah oleh sel-sel radang.
Jika penyakit bertambah lanjut, produksi proteoglikan dan kolagen akan bertambah banyak
sehingga dinding pembuluh darah akan semakin tebal.1
Pada bronkitis sakut maupun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan
ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronis saluran nafas
akan menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi dikarenakan metaplasia
sel-sel goblet dan hiperplasia kelenjar mukus. Sedangkan pada emfisema terjadi penyempitan
saluran pernafasan yang disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru.1
4
Gambar 2.1 Patofisiologi PPOK1
2.5. DIAGNOSIS
PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang menderita dispnea, batuk kronis atau
produksi sputum, dan / atau riwayat terpapar faktor risiko penyakit ini. Riwayat medis rinci
tentang pasien baru yang diketahui atau dicurigai memiliki PPOK sangat penting. Spirometri
diperlukan untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis ini ; kehadiran post-bronchodilator
FEV1 / FVC <0.70 mengkonfirmasi adanya pembatasan aliran udara persisten dan dengan
demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang tepat dan eksposur yang signifikan terhadap
rangsangan berbahaya. Spirometri adalah ukuran pembatasan aliran udara yang paling mudah
direproduksi dan obyektif. Ini adalah tes noninvasif dan mudah didapat. Meskipun
sensitivitasnya bagus, pengukuran arus ekspirasi puncak saja tidak dapat diandalkan sebagai
satu-satunya tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.5
5
Tabel 2.1 Indikator Kunci Diagnosis PPOK1
2.6.1. Anamnesis1
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
6
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada PPOK fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada PPOK hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
Auskultasi :
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer: Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasanpursed-lips breathing
Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing: sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
o Hiperinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar
o Hiperlusen
o Ruang retrosternal melebar
o Diafragma mendatar
o Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)
7
Pada bronkitis kronik :
o Normal
o Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
Uji Bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
<20% nilai awal dan <200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Pemeriksaan elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan
Pemeriksaan laboratorium
Hb, Ht, Tr, Lekosit
8
2.6. KLASIFIKASI
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK diklasifikasikan ke
dalam :
9
2.7.ASSESMENT
Tujuan penilaian COPD adalah untuk menentukan tingkat keparahan pembatasan aliran
udara, dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan risiko kejadian di masa depan (seperti
eksaserbasi, penerimaan di rumah sakit atau kematian), untuk akhirnya memberi panduan
terapi. Untuk mencapai tujuan ini, penilaian COPD harus mempertimbangkan aspek penyakit
berikut secara terpisah :5
Kehadiran dan tingkat keparahan kelainan spirometrik
Sifat dan besarnya gejala pasien saat ini
Riwayat eksaserbasi dan risiko masa depan
Adanya komorbiditas
10
Tabel 2.5 CAT Assessment5
11
2.8. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:1
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan menangani komplikasi
6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkan kematian
12
Tabel 2.6 Manajemen Non-Pharmacologic dari PPOK5
2.8.1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik
yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi
atau tujuan pengobatan dari asma.1
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :1
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
Melaksanakan pengobatan yang maksimal
Mencapai aktiviti optimal
Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat
diberikan di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di
rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus
disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan soaial, kultural dan
kondisi ekonomi penderita.1
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :1
Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
13
Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioriti bahan edukasi sebagai berikut :1
Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
Penggunaan obat-obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau kalau perlu
saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau dan sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
Mendeteksi dan menghinddari pencetus eksaserbasi
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan
berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi
merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK
merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.1
14
2.8.2. Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.1
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:1
a. Ask (Tanyakan) Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise(Nasihati) Dorongan kuatpadasemua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess(Nilai) Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke
depan).
d. Assist(Bimbing) Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange(Atur) Buat jadwal kontak lebih lanjut.
2.8.3. Farmakologi
1. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).1
Macam-macam bronkodilator :1
- Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4
kali perhari).
- Golongan agonis ẞ-2 Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis ẞ-2 Kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat
kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
15
- Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
2. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. Digunakan pada PPOK
stabil mulai derajat III dalam bentuk glukokortikoid,kombinasi LABACs danPDE-
4.1
3. Inhaled Cortico Steroid (ICS)
ICS dikombinasikan dengan terapi bronkodilator jangka panjang. Pada
pasien dengan PPOK moderat dan sangat parah dan eksaserbasi, ICS
dikombinasikan dengan LABA lebih efektif daripada komponen baik saja dalam
memperbaiki fungsi paru-paru, status kesehatan dan pengurangan eksaserbasi.5
4. Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.1
5. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous
(misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis
kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.1
6. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor,
roflumilast dapat mengurangi eksaserbasi, diberikan secara oral dengan
glukokortikosteroid. Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika
dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini belum ada penelitian yang
membandingakan Roflumilast dengan glukokortikosteroid inhalasi.1
16
Gambar 2.4 Algotitma tatalaksana dengan GOLD Grade5
17
Tabel 2.7 Obat-obatan yang digunakan pada PPOK5
18
2.8.4. Oksigen
19
2.8.6. Ventilator Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal
napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :1
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik dengan intubasi
2.9.DIAGNOSIS BANDING
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) Adalah penyakit obstruksi saluran
napas yang ditemukan pada penderia pascatuberkulosis dengan lesiparu yang minimal
Pneumotoraks
Gagal Jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,destroyed lung
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosid yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya
berbeda.1
20
Tabel 2.8 Diagnosis Banding1
21
Tabel 2.9 Perbedaan PPOK dengan Asma1
22
Gambar 2.6 Perbedaan inflamasi Asma dengan PPOK1
23
Pada pasien dengan riwayat asma, diagnosis kemungkinan gabungan asma dengan ppok
dapat ditegakan.11
24
Tabel 2.10 Spirometri pada Asma, PPOK dan ACO11
2.9.2.1. Anamnesis
26
2.9.2.2. Pemeriksaan Fisik
27
2.9.2.3. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
28
Gambar 2.13 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis (Lanjutan)12
2.10. PENCEGAHAN
1. Mencegah terjadinya PPOK1
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK1
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi berulang
29
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah
dan dapat diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan pembatasan aliran
udara yang disebabkan oleh kelainan jalan napas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan
oleh paparan partikel atau gas berbahaya.5
Pada PPOK terapi yang bisa diberikan berupa edukasi, berhenti merokok, farmakologi,
rehabilitasi medik dan ventilator mekanik. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan
jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda
dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.1
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.1
Pencegahan pada pasien PPOK dapat dilakukan dengan pencegahan terjadinya PPOK (hindari
asap rokok, hindari polusi udara, dan hindari infeksi saluran nafas berulang) dan pencegahan
terjadinya perburukan (berhenti merokok, gunakan obat-obatan yang adekuat, mencegah
eksaserbasi berulang).1
30
Daftar Pustaka