Anda di halaman 1dari 2

Paradigma Hukum

Paradigma hukum adalah seperangkat asumsi atau keyakinan dasar, konsep atau nilai
yang melandasi pandangan ontologikal dan epistemologikal seseorang terhadap hukum. Terdapat
beberapa paradigma yang melandasi pandangan mengenai hukum, antara lain:
1. Paradigma positivis-formalis
Dalam paradigma postivis-formalis hukum diidealisasikan sebagai institusi yang
dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak tanpa
berpihak/netral. Hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma hukum yang telah
disepakati wakil rakyat akan memiliki kekuatan internal guna mengikat siapa pun
(termasuk pembuat dan penegak hukum itu sendiri) dan dapat ditegakkan dengan
suatu silogisme secara objektif oleh badan peradilan yang netral.1 Paradigma hukum
ini masih merupakan paradigma yang dominan dan melandasi pembentukan dan
penegakan hukum di Indonesia.
2. Paradigma Pasca-Positivisme
Paradigma ini mempertanyakan objektivitas dan universalitas fakta sosial
sebagaimana di klaim oleh kaum positivisme. Menurut kaum pasca-positivisme, tidak
ada fakta sosial yang eksis secara objektif di luar ranah subjektivitas manusia. Fakta
sosial merupakan suatu konstruksi oleh subjektivitas manusia. Berdasarkan keyakinan
dasar ini kaum pasca-positivisme mempertanyakan apakah benar norma-norma
hukum itu sebagai hasil proses positifisasi (atas wibawa institusi-institusi
pemerintahan dan/atau politik) ataupun yang diperoleh melalui proses observasi
dalam wujud pola perilaku (yang signifikan secara statistikal sebagai realitas sosial)
benar-benar bersifat netral, dan oleh sebab itu lalu boleh berlaku atau diberlakukan
dalam suatu ruang lingkup yang universal.2 Menurut kaum pasca-positivist norma
hukum dirasuki berbagai kepentingan yang relatif dan subjektif. Hukum dari awal
pembentukan hingga penegakkannya selalu merupakan objek interpretasi dan
konstruksi para pelaku atau pengemban hukum.

1
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah. Jakarta: ELSAM dan
HUMA, 2002, hal. 34.
2
Wignjosoebroto, hal. 46.
3. Paradigma Hermeneutik
Paradigma hermeneutik berkembang di bawah pengaruh paradigm pasca-positivisme.
Paradigma hermeneutik berpandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
interpretasi yang terjadi dalam interaksi sosial yang berdampak pada adanya pluralitas
makna. Dalam paradigma hermeneutik pembentukan dan penegakan hukum juga
diasumsikan dipengaruhi oleh interpretasi. Paradigma hermeneutik membebaskan
kajian-kajian hukum dari otorianisme para yuris positif yang elit (yang di masa lalu
selalu mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pusat yang berkewenangan akademis
dan profesional untuk menginterpretasi dan memberikan makna kepada hukum).3
Paradigma ini perlu dikembangkan lebih luas dalam pembentukan dan penegakan
hukum Indonesia, dimana hukum tidak dikaji secara positivistis dan logikal formal
semata, tetapi juga perlu dikaji dari perpsektif para pengguna dan/atau pencari
keadilan secara kasuitis.Paradigma hermeneutik ini akan menjadi pendekatan
alternative yang berguna untuk melengkapi kelemahan pendekatan positivism dalam
rangka mencapai keadilan.

3
Wignjosoebroto, hal. 47.

Anda mungkin juga menyukai