Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN TUBERKULOSIS PARU

KONSEP MEDIS

1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tubeculosis.

2. Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet
nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif.
Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei.
Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat
tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung
basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat
bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan
Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara
dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut
di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling
sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).

3. Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang
lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan dan tidak menyebabkan
penyakit (Dannenberg, 1981 dikutip dari Price, 1995). Setelah berada dalam
ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus
bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan. Lekosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi
tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka lekosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan
timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan jaringan paru atau proses
dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam
sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang
mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
biasanya berlangsung selama 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat
seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami
nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi
menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk
suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks
Gohn yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang
kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana
bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular
yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau
basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus
dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan
perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat
mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang
tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama
atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan
aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah
(limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai
aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan
tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah

2
sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke
dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.

4. Gambaran Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita
gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang
asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala
respiratorik dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
1.1 Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
1.2 Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh
darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh
darah yang pecah.
1.3 Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan
lain-lain.
1.4 Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini
timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik, meliputi:


2.1 Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin
panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
2.2 Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan

3
serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan
tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat
juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

5. Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik,
radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena
merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi
sebagai berikut:
1. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
- Dengan atau tanpa gejala klinik
- BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali
disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
- Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
2. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
- Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
- BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
3. Bekas TB Paru dengan kriteria:
- Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
- Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
- Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial
foto yang tidak berubah.
- Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

6. Terapi
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga
mnecegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta
memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari
obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan
Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon,
Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara
kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut:

4
Obat Anti TB Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)
Aksi Potensi Per Minggu
Esensial Per Hari
3x 2x
Isoniazid (H) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirasinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu
berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping
itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan
oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam
penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung
sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan
kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan
pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
7. Komplikasi Pneumothorax pada Tuberkulosis Paru
Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara dalam rongga
pleura. Normalnya pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara masuk dalam rongga pleura melalui
3 jalan, yakni:
1. Udara atmosfir masuk ke dalam rongga pleura melalui penetrasi di dinding
dada misalnya pada trauma (pneumothorax traumatik).
2. Pembentukan gas oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada
penyakit ifeksi paru (pneumothorax spontan)
3. Pneumothorax artifisial yang sengaja dilakukan melalui tidakan
pembedahan pada trauma.
Penumothorax pada TB paru merupakan pneumothorax spontan yang
timbul akibat nekrosis jaringan yang menjalar sampai pinggir jaringan parut
parenkim paru, membentuk bulla yang selanjutnya robek ke dalam pleura.

5
Gejala Klinis Pneumothorax:
Keluhan dan gejala penumothorax tergantung pada besarnya lesi dan ada
tidaknya komplikasi penyakit paru. Gejala bervariasi dari asimtomatik yang
hanya dapat dideteksi melalui foto thorax sampai timbulnya gejala utama
berupa rasa nyeri tiba-tiba dan bersifat unilateral. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan perkusi yang hipersonor, fremitus melemah sampai menghilang,
suara napas melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumothorax trakea dan
mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke
bawah, pada sisi yang sakit gerakan pernapasan terbatas. Fungsi respirasi
menurun sehingga dapat terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun.
Di samping berdasarkan gambaran klinis di atas, diagnosis dapat lebih
meyakinkan melalui foto thorax dengan tampaknya bayangan udara dari
pneumothorax yang berbentuk cembung dan memisahkan pleura parietalis
dengan pleura viseralis.

a. FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN

8. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:


Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan
yang perlu dikaji adalah:
4. Aktivitas/istirahat:
Gejala:
- Kelelelahan umum dan kelemahan
- Dispnea saat kerja maupun istirahat
- Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari,
menggigil dan atau berkeringat
- Mimpi buruk
Tanda:
- Takikardia, takipnea/dispnea pada saat kerja
- Kelelahan otot, nyeri, sesak (tahap lanjut)
5. Sirkulasi
Gejala:
- Palpitasi
Tanda:

6
- Takikardia, disritmia
- Adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal jantung akibat effusi)
- Nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal
- Tanda Homman (bunyi rendah denyut jantung akibat adanya udara
dalam mediatinum)
- TD: hipertensi/hipotensi
- Distensi vena jugularis
6. Integritas ego:
Gejala:
- Gejala-gejala stres yang berhubungan lamanya perjalanan penyakit,
masalah keuangan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya
produktivitas.
Tanda:
- Menyangkal (khususnya pada tahap dini)
- Ansietas, ketakutan, gelisah, iritabel.
- Perhatian menurun, perubahan mental (tahap lanjut)

7. Makanan dan cairan:


Gejala:
- Kehilangan napsu makan
- Penurunan berat badan
Tanda:
- Turgor kulit buruk, kering, bersisik
- Kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan
8. Nyeri dan Kenyamanan:
Gejala:
- Nyeri dada meningkat karena pernapsan, batuk berulang
- Nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin menyebar
ke bahu, leher atau abdomen.
Tanda:
- Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
9. Pernapasan:
Gejala:
- Batuk (produktif atau tidak produktif)
- Napas pendek
- Riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi
Tanda:

7
- Peningkatan frekuensi pernapasan
- Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada
dada, leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat
- Pengembangan dada tidak simetris
- Perkusi pekak dan penurunan fremitus, pada pneumothorax perkusi
hiperresonan di atas area yang telibat.
- Bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral
- Bunyi napas tubuler atau pektoral di atas lesi
- Crackles di atas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk
pendek (crackels posttussive)
- Karakteristik sputum hijau purulen, mukoid kuning atau bercak darah
- Deviasi trakeal
10. Keamanan:
Gejala:
- Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi
sekunder.
Tanda:
- Demam ringan atau demam akut.
11. Interaksi Sosial:
Gejala:
- Perasaan terisolasi/penolakan karena penyakit menular
- Perubahan aktivitas sehari-hari karena perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran
12. Penyuluhan/pembelajaran:
Gejala:
- Riwayat keluarga TB
- Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk
- Gagal untuk membaik/kambuhnya TB
- Tidak berpartisipasi dalam terapi.
9. Tes Diagnostik
Tes diagnostik yang dilakukan diuraikan pada tabel berikut:

Jenis Pemeriksaan Interpretasi Hasil


Sputum:
-Kultur Mycobacterium tuberculosis positif pada
tahap aktif, penting untuk menetapkan
diagnosa pasti dan melakukan uji kepekaan
terhadap obat.

8
-Ziehl-Neelsen BTA positif

Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer) Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau
lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan
adanya antibodi tetapi tidak berarti untuk
menunjukkan keaktivan penyakit.

Foto thorax Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada


area paru, simpanan kalsium lesi sembuh
primer, efusi cairan, akumulasi udara, area
cavitas, area fibrosa dan penyimpangan
struktur mediastinal.

Histologi atau kultur jaringan Hasil positif dapat menunjukkan serangan


(termasuk bilasan lambung, urine, ekstrapulmonal
cairan serebrospinal, biopsi kulit)

Biopsi jarum pada jaringan paru Positif untuk gralunoma TB, adanya giant cell
menunjukkan nekrosis.

Darah:
-LED Indikator stabilitas biologik penderita, respon
terhadap pengobatan dan predeksi tingkat
penyembuhan. Sering meningkat pada proses
aktif.

-Limfosit Menggambarakan status imunitas penderita


(normal atau supresi)

-Elektrolit Hiponatremia dapat terjadi akibat retensi


cairan pada TB paru kronis luas.

-Analisa Gas Darah Hasil bervariasi tergantung lokasi dan


beratnya kerusakan paru
Tes faal paru Penurunana kapasitas vital, peningkatan ruang
mati, peningkatan rasio udara residu dan

9
kapasitas paru total, penurunan saturasi
oksigen sebagai akibat dari infiltrasi
parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru
dan penyaki pleural

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
13. Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas,
penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk
menghindari pemajanan patogen.
14. Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara,
nyeri dada, proses inflamasi.)
15. Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental, hemoptisis,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
16. (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif
paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.
17. Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada,
kurang pengetahuan tentang pengamanan drainase.
18. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, peningkatan
status metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang
tidak adekuat.
19. Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan
perawatan penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang
ada.

c. INTERVENSI KEPERAWATAN
4.1 Risiko tinggi terhadap infeksi sekunder (reaktivasi) b/d penurunan imunitas,
penurunan kerja silia, stasis sekret, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk
menghindari pemajanan patogen.
Intervensi dan Rasional:
20. Kaji fase patologis penyakit (aktif/tidak aktif) dan potensi penyebaran
infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa.
- Membantu klien menyadari/menerima perlunya mematuhi program
pengobatan untuk mencegah reaktivasi dan komplikasi.
21. Jelaskan penyebab penyakit, proses dan upaya pencegahan penularan yang

10
dapat dilakukan klien (Anjurkan klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan
sekret pada tisu sekali pakai dan menghindari meludah).
- Pemahaman klien tentang bagaimana penyakit disebarkan dan
kesadaran kemungkinan transmisi dapat membantu klien dan orang
terdekat mengambil langkah untuk mencegah penularan kepada orang
lain.
22. Identifikasi orang lain yang berisiko (anggota keluarga, teman karib)
- Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
23. Identifikasi faktor risiko individu terhadap reaktivasi tuberkulosis
(alkoholisme, merokok, malnutrisi, minum obat
imunosupresant/kortikosteroid, adanya penyulit DM)
- Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah pola
hidup dan menghindari hal-hal yang dapat menghambat penyembuhan
penyakit.
24. Awasi peningkatan suhu tubuh klien
- Reaksi demam merupakan indikator adanya infeksi lanjut.
25. Tekankan pentingnya melanjutkan terapi obat sesuai jangka waktu yang
diprogramkan.
- Fase aktif berakhir 2-3 hari setelah periode kemoterapi awal tetapi pada
caverne atau lesi yang luas risiko penyebaran infeksi dapat berlanjut
sampai 3 bulan.
26. Tekankan pentingnya mengikuti pemeriksaan ulangan (kultur, BTA, foto
thoraks) sesuai jadual yang ditetapkan.
- Pemeriksaan diagnostik tersebut merupakan satu-satunya alat evaluasi
keberhasilan terapi, bukan berdasarkan kemajuan klinis penyakit.

4.2 Pola pernapasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara dalam
rongga pleura, nyeri dada, proses inflamasi)
Intervensi dan Rasional:
1. Identifikasi etiologi/faktor pencetus (kolaps spontan, trauma, keganasan,
infeksi, komplikasi ventilasi mekanik)
- Pemahaman penyebab kolaps paru penting untuk pemasangan WSD
yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lainnya.
2. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis dan
perubahan tanda vital
- Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai

11
akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok
akibat hipoksia.
3. Auskultasi bunyi napas.
- Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang meliputi
satu lobus, segmen paru atau seluruh area paru (unilateral).
4. Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
- Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi
yang sehat pada tension pneumothorax.
5. Kaji fremitus.
- Suara dan taktil fremitus menurun pada jaringan yang terisi cairan dan
udara seperti pada pneumothorax.
6. Kaji area nyeri bila klien batuk atau napas dalam.
- Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih
efektif dan mengurangi trauma.
7. Pertahankan posisi nyaman (biasanya dengan meninggikan kepala tempat
tidur). Balik ke sisi yang sakit dan dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
- Meningkatkan inspirasi minimal, meningkatkan ekspansi paru dan
ventilasi pada sisi yang sehat.
8. Bila dipasang WSD:
8.1 Periksa pengontrol penghisap, jumlah hisapan yang benar.
- Mempertahankan tekanan negatif intrapleural yang meningkatkan
ekspansi paru optimum.
8.2 Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang
ditentukan.
- Air dalam botol penampung berfungsi sebagai sekat yang mencegah
udara atmosfir masuk kedalam pleura.
8.3 Observasi gelembung udara dalam botol penampung
- Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan keluarnya udara dari
pleura sesuai dengan yang diharapkan. Gelembung biasanya menurun
seioring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung
udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau
tersumbatnya selang drainase.
9. Setelah WSD dilepas, tutup sisi lubang masuk dengan kasa steril, observasi
tanda yang dapat menunjukkan berulangnya pneumothorax seperti napas
pendek, keluhan nyeri.
- Deteksi dini terjadinya komplikasi penting seperti berulangnya

12
pneumothorax.

4.3 Bersihan jalan napas tak efektif b/d sekresi mukus yang kental, hemoptisis,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan
penggunaan otot asesori)
- Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan
akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang
selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori dan
peningkatan kerja pernapasan..
2. Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum dan
adanya hemoptisis.
- Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi
yang tidak adekuat). Sputum berdarah bila ada kerusakan (kavitasi)
paru atau luka bronkial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
3. Berikan posisi semi/fowler tinggi dan bantu pasien latihan napas dalam dan
batuk yang efektif.
- Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk
dikeluarkan.
4. Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak
diindikasikan.
- Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan
mengefektifkan pembersihan jalan napas.
5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, bila perlu lakukan penghisapan
(suction)
- Mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila pasien
tidak mampu mengeluarkan sekret.
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi seperti agen mukolitik,
bronkodilator dan kortikosteroid.
- Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru
untuk memudahkan pembersihan.
- Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan
trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
- Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan

13
bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.
4.4 (Risiko tinggi) Gangguan pertukaran gas b/d penurunan jaringan efektif paru,
atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, edema bronkial.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,
ekspansi thorax dan kelemahan.
- TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkopenumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi
pleura dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi
dari gejala ringan , dispnea berat dampai distres pernapasan.
2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna
kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
- Akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat
menggangu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
3. Tunjukkan dan dorong pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk
pasien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
- Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah
kolaps/penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan
udara melalui paru dan mengurangi napas pendek
4. Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas dan bantu kebutuhan perawatan
diri sehari-hari sesuai keadaan pasien.
- Menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapsan
dan dapat menurunkan beratnya gejala.
5. Kolaborasi pemeriksaan AGD
- Penurunan kadar O2 (PaO2) dan atau saturasi, peningkatan PaCO2
menunjukkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program terapi.
6. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
- Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat
penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.

4.5 Risiko tinggi trauma/henti napas b/d pemasangan sistem drainase dada, kurang
pengetahuan tentang pengamanan drainase.
Intervensi dan Rasional:
1. Diskusikan dengan klien tujuan/fungsi pemasangan drainase dada.
- Informasi tentang bagaimana sistem kerja dan tujuan drainase memberi
rasa tenang kepada klien dan mengurangi ansietas.
2 Pastikan keamanan unit drainase (sambungan selang, kemungkinan

14
terlepas, terlipat/tersumbat, teregang)
- Memastikan selang tidak terlepas atau teregang yang dapat
menimbulkan rasa nyeri pada klien serta memastikan funsi drainase
berjalan semestinya.
3. Awasi sisi lubang insersi pemasangan selang, amati kondisi kulit, ganti
kasa pentup steril setiap hari atau setiap kali bila kotor atau basah.
- Tindakan deteksi dini komplikasi pemasangan drainase dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
4. Pastikan keamanan pemasangan drainase bila klien harus meninggalkan
unit perawatan untuk tujuan pemeriksaan atau terapi (periksa batas cairan
dalam botol, ada tidaknya gelembung udara, perlu tidaknya selang diklem
sementara).
- Meningkatkan kontinuitas evaluasi optimal selama pemindahan.

4.6 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, peningkatan status
metabolisme (penyakit kronis), kelemahan, dispnea, asupan yang tidak adekuat.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, dan derajat penurunan
berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat
mual/muntah dan diare.
- Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan
pilihan intervensi yang tepat.
2. Fasilitasi klien memperoleh diet biasa yang disukai klien (sesuai indikasi)
- Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan
nutrisi.
3. Pantau asupan dan haluaran, timbang berat badan secara periodik (sekali
seminggu).
- Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
4. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta
sebelum dan sesudah intervensi/pemeriksaan peroral.
- Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum atau obat
untuk mengobatan sistem respirasi yang dapat merangsang pusat
muntah.
5. Fasilitasi pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
- Memaksimalkan asupan nutrisi tanpa kelelahan dan energi besar serta
menurunkan iritasi saluran cerna.
6. Kolaborasi dengan ahli diet untuk menetapkan komposisi dan jenis diet

15
yang tepat.
- Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehuvungan
dengan status hipermetabolik klien.
7. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium khususnya BUN, protein
serum dan albumin.
- Menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi
selanjutnya.

4.7 Kurang pengetahuan (tentang proses terapi, kemungkinan kambuh dan perawatan
penyakit) b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Intervensi dan Rasional:
1. Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan,
kelelahan umum, pengetahuan klien sebelumnya, suasana yang tepat).
- Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik,
emosional dan lingkugan yang kondusif.
2. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan
dan alasan mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
- Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobtan dan
mencegah putus berobat karena membaiknya kondisi fisik klien
sebelum jadual terapi selesai.
3. Ajarkan dan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda
reaktivasi penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas,
kehilangan pendengaran, vertigo).
- Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat
yang memerlukan evaluasi lanjut.
4. Tekankan pentingnya mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung
protein dan kalori yang tinggi serta asupan cairan yang cukup setiap hari.
- Diet TKTP dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal tersebut
meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC,


Jakarta

16
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,


EGC, Jakarta

Soedarsono (2000), Tuberkulosis Paru-Aspek Klinis, Diagnosis dan Terapi, Lab. Ilmu
Penyakit Paru FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, BP FKUI, Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai