Rasa terbakar di dada/perut (heartburn) dan regurgitasi adalah gejala khas dari
sindrom refluks tipikal[9]. Sindrom refluks tipikal dapat didiagnosis berdasarkan
manifestasi klinis tanpa uji diagnostik [1], asalkan gejala alarm telah disingkirkan.
Gejala alarm adalah gejala yang menimbulkan kecurigaan kuat terhadap penyakit
keganasan atau komplikasinya. Gejala alarm tersebut antara lain muntah, perdarahan
gastrointestinal, anemia, teraba/adanya massa di perut, penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan, dan disfagia progresif. Selama bertahun-tahun, beberapa
kuesioner diagnostik berbasis gejala telah dikembangkan untuk membantu dokter
pelayanan primer dalam membuat kategorisasi sementara pasien yang mengalami
keluhan pada perut bagian atas dan dalam pemilihan pasien dengan gejala refluks untuk
menjalani terapi empiris. Kuesioner penyakit refluks yang asli dikembangkan oleh
Carlsson dkk. [39] dan versi modifikasi dari kuesioner tersebut [40] telah terbukti
berguna untuk membantu diagnosis sindrom refluks.
7.2. Radiologi.
Pemeriksaan radiologi ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah untuk
diagnosis esofagitis erosif. Tidak dapat digunakan untuk membantu diagnosis NERD.
7.3. Endoskopi
Endoskopi ini memiliki spesifitas yang tinggi namun sensitivitas rendah karena
lebih dari 60% pasien dengan GERD benar-benar memiliki NERD [14]. Di masa depan,
prosedur pencitraan baru diharapkan dapat memberi lebih banyak pencerahan, terutama
untuk membedakan kasus-kasus yang sampai sekarang diklasifikasikan sebagai NERD
melalui pemeriksaan endoskopi cahaya putih standar. Prosedur tersebut antara lain
endoskopi pembesaran resolusi tinggi, kromoendoskopi, pencitraan pita sempit, dan
endomikroskopi confocal [41-43].
7.4. Histologi.
Berbagai lesi histologis telah dijelaskan di NERD, termasuk adanya ruang
interselular yang melebar (DIS) [44], hiperplasia sel basal [45], elastisasi/peningkatan
elastisitas papilla [46], eosinofil intraepitel, dan neutrofil [48]. Pemeriksaan histologi ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi. Zentilin dkk. [49] telah
membentuk suatu sistem penilaian untuk memperhitungkan kelainan histologi yang
terjadi. Dengan menggunakan analisis kurva karakteristik operator penerima, skor 2
dianggap sebagai nilai titik potong (cut-off) yang optimal untuk membedakan antara
pasien GERD dengan pasien bukan GERD. Sebuah studi terbaru pada pasien di Nigeria
dengan NERD menunjukkan tingkat infiltrasi neutrofil intraepitel yang tinggi pada
mukosa esofagus (temuan ini mungkin terkait dengan adanya esophagus Barrett pada
masyarakat Nigeria yang relatif langka) [50]. Tanpa memandang kemampuan diagnosis
dari pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan histopatologi ini sepertinya masih belum
dapat digunakan secara luas karena tidak memiliki teknik biopsi dan teknik pemeriksaan
mikroskopi yang baku..
7.6. Manometri.
Pada pasien dengan gejala refluks persisten meskipun telah mendapat terapi PPI
dan memiliki temuan yang normal berdasarkan pemeriksaan endoskopi, evaluasi lebih
lanjut dengan manometri dapat dilakukan untuk mengidentifikasi apakah pasien
memiliki diagnosis yang lain, seperti kelainan pada sistem motorik esofagus.
Manometri membantu menganalisis fungsi dan aktivitas peristaltik badan esofagus dan
sfingter esofagus bagian bawah (LES) sebelum pasien menjalani operasi antireflux.
Namun manometri tidak diindikasikan untuk mengkonfirmasikan pasien yang dicurigasi
mengalami GERD. Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk pasien yang mengalami
disfagia namun tidak dapat ditemukan bukti adanya sumbatan (misalnya, penyempitan).
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menentukan apakah pasien perlu dilakukan
operasi antireflux atau tidak, untuk menyingkirkan achalasia atau adanya peristaltik
yang tidak efektif [53]. Selain itu, manometri berfungsi untuk melokalisasi LES guna
memantau pH lambung kemudian untuk menentukan apakah LES tersebut pernah
mengalami paparan oleh asam lambung yang abnormal.
8. Pengobatan
Tujuan pengobatan termasuk menghilangkan gejala, penyembuhan esofagitis,
pencegahan kekambuhan, dan pencegahan komplikasi. Prinsip pengobatan meliputi
modifikasi gaya hidup dan pengendalian sekresi asam lambung dengan menggunakan
obat-obatan atau perawatan bedah dengan operasi korektif antireflux.
10. Bedah
Hingga saat ini terdapat dua pilihan terapi untuk mengatasi gejala GERD yang
kronis dan sering kambuh. Dua pilihan terapi tersebut antara lain terapi medikamentosa
jangka panjang dan operasi. Keuntungan dan kerugian terapi medikamentosa jangka
panjang dan pembedahan ditunjukkan pada Tabel 2 [104]. Sebuah studi multicentre
yang membandingkan terapi esomeprazol yang telah dioptimalkan dan operasi
antireflux laparoskopi standar (LARS) pada pasien dengan GERD menunjukkan bahwa
kedua terapi tersebut sama-sama efektif karena kebanyakan pasien mencapai dan tetap
dalam periode remisi pada 5 tahun [105].
12. Kesimpulan
Kesimpulannya, GERD merupakan salah satu aspek gastroenterologi yang telah
mengalami inovasi luar biasa dalam 30-40 tahun terakhir dan masih menjadi bahan
penelitian yang intensif. Terdapat inovasi/perubahan dalam hal definisi, klasifikasi,
diagnosis, jalur klinis, dan manajemen GERD. Nonerosive reflux disease (NERD)
adalah varian dari GERD yang terjadi pada lebih dari 60% pasien dengan GERD.
NERD ini tidak hanya lebih heterogen daripada esofagitis erosif namun juga memiliki
patofisiologi dan respons yang berbeda terhadap terapi medis standar. Karena GERD
adalah penyakit kronis yang sering kambuh, pasien harus ditangani dengan perawatan
medis jangka panjang atau operasi setelah melakukan analisis menyeluruh terhadap
poin-poin yang dapat mendukung atau menghambat tindakan operasi tersebut. Sejumlah
isu mengenai GERD masih belum terselesaikan dan diharapkan beberapa tahun ke
depan ada lebih banyak hasil penemuan mengenai penyakit penting ini.