Anda di halaman 1dari 2

Diagnosis dan Tatalaksana GERD Terbaru Menurut ACG

(American College of Gastroenterology)

American College of Gastroenterology baru saja mempublikasikan guideline baru


untuk mendiagnosis dan menangani gastroesophageal reflux disease (GERD), seperti yang
dipublikasikan secara online dalam The American Journal of Gastroenterology pada 19 Februari
2013 yang lalu.
Beberapa rekomendasi tampak berbeda dari guideline ACG 2005 yang lalu. Dr. Lauren B. Gerson
(Stanford University School of Medicine, Redwood City, California), anggota dari panel guideline ini
memberikan highlight terhadap 6 topik baru dalam guideline ini:
1.Penurunan berat badan, sebagai tambahan elevasi posisi kepala saat tidur (untuk pasien dengan
gejala GERD nokturnal) merupakan modifikasi gaya hidup yang efektif untuk pasien GERD.
Menghindari makanan yang diduga memicu refluks tidak secara rutin disarankan untuk kebanyakan
pasien GERD.
2.Screening rutin dan perawatan infeksi H. pylori tidak direkomendasikan karena tidak ada bukti yang
cukup kalau pemeriksaan dan perawatan H. Pylori akan mempengaruhi gejala GERD. Sebagai
tambahan pemeriksaan H. pylori tidak direkomendasikan karena terdapat kekuatiran bahwa pasien
dengan infeksi H. Pylori yang diberikan terapi proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang mungkin
memiliki gastritis atrofi.
3.Guideline baru ini tetap tidak menyarankan biopsi rutin di bagian distal dari esofagus untuk
mendiagnosa GERD, eosinophilic esophagitis (EoE) sudah lebih umum sejak guideline 2005,
khususnya pada pasien dengan GERD dan disfagia atau pada pasien dengan GERD refrakter. Karena
itu sebaiknya dilakukan biopsi di bagian distal dan tengah dari esofagus ketika diduga terdapat EoE.
4.Sejak guideline terakhir, terdapat kekuatiran mengenai keamanan jangka panjang dari PPI.
Tampaknya tidak ada peningkatan risiko osteoporosis, kecuali pada pasien dengan faktor risiko lain
untuk fraktur panggul. Tampaknya juga tidak ada peningkatan risiko kardiovaskuler pada pasien PPI
yang juga diberikan clopidogrel. Terapi PPI tampaknya bukan merupakan faktor risiko terjadinya infeksi
Clostridium difficile.
5.GERD dapat dipertimbangkan sebagai ko-faktor untuk pasien dengan gejala extra-esophageal
termasuk batuk, laringitis, dan asma. PPI dapat dipertimbangkan untuk dicoba pada pasien yang juga
memiliki gejala GERD yang tipikal, tetapi pengawasan refluks harus dipertimbangkan sebelum
mencoba pemberian PPI pada pasien tanpa gejala GERD. Evaluasi untuk penyebab non-GERD harus
dilakukan pada semua pasien.
6.Terapi endoskopi tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk GERD. Pasien obesitas dengan
GERD sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan operasi gastric bypass sebagai perawatan untuk
gejala heartburn.
Secara keseluruhan, guideline ini mencakup 9 rekomendasi untuk menegakkan diagnosis GERD, 13
rekomendasi untuk penanganan GERD, di mana 6 poin mengenai pilihan operasi untuk GERD, dan 5
risiko potensial terkait PPI, 7 poin mencakup presentasi extra-esophageal dari GERD, 6 rekomendasi
untuk penanganan GERD refrakter dengan PPI, dan 8 catatan mengenai komplikasi GERD.
Disebutkan pula, dikarenakan angka obesitas semakin meningkat di Amerika, insidens GERD dan
komplikasi terkait GERD (termasuk esofagitis erosif dan Barrett’s esophagus) akan terus meningkat.
Walaupun PPI sangat efektif untuk penanganan GERD, PPI sebaiknya diberikan dalam dosis efektif
terendah untuk pasien yang memerlukan terapi PPI jangka panjang, termasuk penggunaan on
demand atau intermiten. Efikasi dari PPI yang ada saat ini kurang lebih sebanding. Terapi pemeliharaan
PPI sebaiknya diteruskan pada pasien dengan komplikasi terkait GERD.
Pada pasien yang refrakter (kurang atau tidak merespons) terhadap PPI sekalipun sudah dilakukan
optimalisasi waktu pemberian dan peningkatan dosis, evaluasi harus dilakukan dengan endoskopi
bagian atas dan pemeriksaan pH ambulatory. Untuk pasien dengan geja ekstra esophageal yang
refrakter, evaluasi harus dilakukan oleh dokter spesialis paru, THT, dan alergi.
Anggota panel guideline juga mengatakan bahwa respons terhadap terapi PPI, sebagai tambahan
ada/tidaknya gejala heartburn tipikal, tetap merupakan prediktor terbaik untuk hasil operasi yang baik.
Pasien yang refrakter terhadap PPI dan dengan gejala extra-esophageal, respons terhadap
fundoplication cenderung kurang baik.(AGN)

Image: Ilustrasi
Referensi: Philip O Katz, Lauren B Gerson and Marcelo F Vela. Guidelines for the Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease. The American Journal of Gastroenterology 108,
308-328 (March 2013) | doi:10.1038/ajg.2012.444

Rangkuman
Fokus utama untuk pengembangan obat pada pasien GERD refraktorik adalah reduksi
TLESR dan supresiasam yang lebih poten, dini dan konsisten. Namun, karena beragam
penyebab kegagalan PPI, satu strategi terapeutik mungkin bukan merupakan solusi untuk
semua pasien. Kemungkinan bahwa terapi yang disesuaikan secara individual akan menjadi
pendekatan manajemen yang paling tepat.

Poin praktis
4.1.Evaluasi mengenai kepatuhan yang sesuai dan waktu pemberian dosis yang adekuat
harus menjadi manajemen awal pada pasien-pasien dengan heartburn yang tidak
bersifat responsif terhadap PPI.
4.2.Pada pasien yang gagal terhadap PPI satu kali sehari, melipatgandakan dosis PPI atau
mengganti menjadi PPI lainnya merupakan strategi terapeutik yang berpotensi.
4.3.Endoskopi atas memiliki nilai yang sangat terbatas pada pasien-pasien yang gagal
terhadap penatalaksanaan PPI dan tidak memiliki gejala-gejala tanda bahaya.
4.4.Pemantauan PH impedans intralumen multikanal esofageal memberikan alat diagnostik
yang terbaik untuk menstratifikasi pasien GERD yang gagal terhadap penatalaksanaan
PPI.
4.5.Pada pasien-pasien dengan refluks non-asam, penurun TLESR, modulator nyeri dan
operasi antirefluks harus dipertimbangkan.
4.6.Pada pasien-pasien dengan heartburn fungsional, modulator nyeri merupakan
landasarn terapinya.

Anda mungkin juga menyukai