Isi3 PDF
Isi3 PDF
Prosiding
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN
Bogor, 9 November 2011
Editor:
Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si.
Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
Prof. Ir. Dulsalam, MM.
Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc.
KEMENTERIAN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN
DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN
BOGOR, 2012
i
Prosiding Seminar Nasional
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN
ISBN 978-979-3132-41-9
Tim Editing:
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan
Ketua Tim : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Hasil Penelitian
Editor : Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si.
Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
Prof. Ir. Dulsalam, MM.
Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc.
Staf Editor : Ayit Taufik Hidayat, S.Hut. T, M.Sc.
Marthen L. Hanas, S.H.
Drs. Juli Jajuli
Deden Nurhayadi, S.Hut.
Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610
Telp.: 0251-8633378; Fax.: 0251 86334134
Website: www.pustekolah.org
Oleh sebab itu, apabila tidak ingin kehilangan pasar, industri kehutanan dituntut untuk
bertransformasi menjadi industri hijau, yakni industri yang bersahabat dengan lingkungan (eco-
friendly) dan aman bagi kesehatan (health-safe). Parameter industri pengolahan hasil hutan yang
eco-friendly dan health-safe mencakup antara lain penyediaan bahan baku, efisiensi penggunaan
bahan baku, konsumsi energi fosil, penggunaan bahan pembantu anorganik, serta karakteristik dan
penanganan limbah. Sejalan dengan itu, untuk mewujudkan industri kehutanan yang eco-friendly
dan health-safe diperlukan berbagai teknologi, mulai dari teknologi untuk menghasilkan bahan
baku tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya hutan, untuk mengolah bahan baku secara
efisien (zero waste), untuk menyediakan energi alternatif pensubstitusi energi fosil, untuk
menyediakan bahan pembantu alternatif, serta untuk menangani limbah industri.
Berangkat dari keinginan untuk menghimpun hasil-hasil riset yang mendukung terwujudnya
industri hijau di bidang kehutanan, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil
Hutan menyelenggarakan seminar sehari Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan pada
tanggal 9 November 2011 di Bogor. Prosiding ini mendokumentasikan keynote speech serta
berbagai makalah yang dibahas dalam seminar tersebut. Semoga prosiding ini bermanfaat.
iii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PADA SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN
Bogor, 9 November 2011
Saudara sekalian para peserta seminar dan undangan yang saya hormati,
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Pertama sekali, seyogyanya kita mengucap syukur kehadapan Tuhan YME, karena hanya atas
limpahan karuniaNya pagi ini kita semua ada dalam keadaan sehat walafiat, berkumpul di sini
untuk acara pembukaan Seminar Naional TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN. Semoga seminar yang akan kita selenggarakan ini menjadi ajang untuk
menghasilkan sesuatu yang positif yang bermanfaat bagi kehutanan dan bagi masyarakat. Amin.
Saudara-saudara sekalian,
Salah satu isu penting belakangan ini ialah green economic atau ekonomi hijau. Ekonomi hijau
sendiri ialah ekonomi yang menyediakan produk dan jasa yang dalam prosesnya tidak melibatkan
hal-hal yang bersifat negatif terhadap lingkungan atau alam. Tren dalam perdagangan dunia
dewasa ini semakin kuat mengarah mensyaratkan produk-produk yang diperdagangkan harus
demikian. Tidak bisa kita hindari karena pasar dunia mulai mendiskriminasikan produk-produk
yang ditengarai atau tidak dipercaya diproses secara hijau.
Ekonomi sebuah negara terdiri dari industri-industri. Sedangkan sebuah industri terdiri dari
manufaktur-manufaktur. Oleh sebab itu, sebuah ekonomi suatu negara akan menjelma menjadi
ekonomi hijau, apabila industri-industri di dalamnya sudah menjadi industri hijau.
Industri kehutanan sangat bisa berdampak besar bagi terwujudnya ekonomi Indonesia yang hijau.
Karena industri kehutanan meliputi berbagai manufaktur mulai dari penyediaan bahan baku,
pembuatan bahan pembantu hingga prosesing dan distribusi produk. Untuk mewujudkan industri
hijau kehutanan, maka seluruh komponen tersebut harus bersifat eco-friendly. Penyediaan bahan
baku harus eco-friendly, berdampak minimal atau bahkan zero impact terhadap alam, tidak
membahayakan kelestarian sumberdaya. Proses produksi juga harus eco-friendly, efisien, tidak
meninggalkan banyak limbah, khususnya limbah-limbah berbahaya. Proses produksi juga dituntut
menggunakan energi yang carbon-neutral atau setidaknya dengan carbon foot-print atau jejak
karbon minimal. Produk yang dihasilkan juga dipersyaratkan tidak mengandung komponen-
komponen yang dalam jangka pendek maupun jangka panjang bisa membawa dampak negatif
v
bagi lingkungan dan kesehatan. Kita tahu, bahwa dewasa ini sudah ada berbagai standar produk
yang mengakomodasi berbagai persyaratan tersebut. Negara-negara pengimpor produk kehutanan
semakin hari semakin memperketat standar produk tersebut.
Saudara-saudara sekalian,
Apabila kita ingin produk kita masih diterima dengan baik di pasar global, maka tidak ada pilihan
selain mengikuti tuntutan-tuntutan tersebut. Untuk bisa memenuhi segala tuntutan tersebut
diperlukan teknologi. Teknologi penyediaan bahan baku, teknologi prosesing yang efisien bahkan
zero waste, teknologi energy alternatif, teknologi pembuatan bahan pembantu alternatif berbahan
organik, teknologi pengolahan limbah, dan sebagainya.
Pertanyaan besar yang kita hadapi sekarang ialah: apakah kita sudah siap untuk itu? Khususnya
dalam hal teknologi, apakah kita sudah menguasai teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan
industri kehutanan hijau? Mungkin saja sudah cukup banyak teknologi dan invensi yang
dihasilkan peneliti-peneliti kita, baik yang ada di Badan Litbang Kehutanan, diperguruan tinggi,
maupun di sektor swasta, khususnya perusahaan. Namun teknologi dan invensi yang terserak
tersebut, perlu kita konsolidasikan, perlu kita kumpulkan, untuk menjawab pertanyaan tentang
kesiapan teknologi tadi. Oleh sebab itu, menurut saya tema seminar kita kali ini sangat tepat.
Sangat timely untuk menjawab pertanyaan besar tadi.
Saudara-saudara sekalian,
Seminar adalah wahana bagi peneliti dan ilmuwan untuk menginformasikan capaian, temuan,
kepada sesama ilmuwan-peneliti, maupun kepada khalayak umum termasuk pembuat kebijakan
dan pengguna teknologi. Saya harapkan, dalam seminar ini para peneliti akan menyampaikan
capaian terkininya tentang teknologi-teknologi tadi. Seminar, lokakarya, ekspose, dan sejenisnya
memang belakangan seakan sebuah rutinitas. Tetapi apabila kita lakukan secara terarah, terfokus
pada suatu tema yang relevan, maka tetap menjadi sebuah ajang yang bermanfaat, tidak hanya
bagi kalangan ilmiah dan akademisi, tetapi juga bagi dunia industri. Oleh sebab itu pula, saya
menghargai Pustekolah yang merancang seminar kali ini cukup terfokus pada teknologi
mendukung industri hijau kehutanan.
Seminar-seminar atau ekspose yang bersifat multi-topik bunga rampai, bukan tidak boleh, tetapi
seminar seperti itu mungkin perlu didisain khusus semacam kongres IUFRO. Event besar seperti
kongres IUFRO, sebenarnya sebuah gabungan dari banyak seminar-seminar topik spesifik. Bulan
depan kita akan melakukan kongres INAFOR yang dapat dikatakan sebagai sebuah IUFRO mini
lingkup nasional. Pada kongres tersebut nanti semua peneliti kehutanan di Indonesia dak hanya
yang dari Badan Litbang Kehutanan, akan diundang untuk berpartisipasi.
Saudara-saudara sekalian,
Kembali ke topik seminar kita, dari hasil pemetaan kesediaan teknologi guna mendukung industri
kehutanan hijau, juga bisa kita identifikasi aspek-aspek yang mememerlukan penelitian lebih jauh,
atau pengembangan hasil penelitian. Dengan bersinergi dengan pihak praktisi industri, kita
harapkan akan ada upaya lebih kongkrit ke arah mewujudkan industri kehutanan. Dalam hal ini
vi
saya sangat berharap para peneliti akan menjalankan peran agen atau aktor kunci. Karena sekali
lagi, jawaban atas segala tuntutan pasar yang saya kemukakan tadi tidak lain ialah penguasaan
teknologi.
Saudara-saudara sekalian,
Dukungan pihak praktisi industri tentu sangat menentukan. Teknologi seperti apapun yang
tersedia, apabila pihak calon pengguna masih resisten untuk mengadopsi maka akan percuma saja.
Dalam hal ini kita perlu mencontoh Korea Selatan. Di Korea, pelaku riset, pelaku industri dan
pemerintah sudah demikian kompak, satu visi. Itu salah satu hal yang menjadikan Korea negara
industri dalam waktu yang relatif singkat. Seminar-seminar yang diselenggarakan KFRI (Badan
Litbang Kehutanan Korea) selalu dihadiri pelaku industri yang antusias, bahkan industri
mensponsori. Sebaliknya, riset-riset yang dipresentasikan juga memang amat relevan dengan
kebutuhan industri. Pemerintah Korea juga sangat sigap mendukung segala kebijakan.
Di Indonesia situasi ideal seperti itu memang masih jauh. Tetapi dengan mengadakan seminar
semacam ini, yang temanya relevan, mengundang para praktisi, kita bisa berharap semoga situasi
ideal seperti di Korea itu segera kita wujudkan. Itu sangat kita harapkan, dan Badan Litbang akan
terus berusaha ke arah itu.
Saudara-saudara sekalian,
Itu beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Semoga dapat memberikan
dorongan bagi kita semua untuk lebih giat lagi berkarya, berkontribusi bagi kemajuan penelitian,
bagi pembangunan kehutanan, bagi bangsa dan negara.
vii
SINTESIS MAKALAH
Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Bogor, 9 November 2011
Dewasa ini konsumen semakin menuntut bahwa suatu produk harus hijau. Secara sederhana,
produk hijau ialah produk yang pengadaan bahan baku serta proses produksinya tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Industri kehutanan juga tidak lepas dari
perubahan pelaku konsumen tersebut. Oleh sebab itu, industri kehutanan Indonesia harus
bertransformasi menjadi industri hijau bila ingin produknya tetap diterima pasar.
Industri hijau kehutanan terintegrasi dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, bahan baku industri
kehutanan harus legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Ke depan, diharapkan
industri kayu Indonesia akan dipasok utamanya dari hutan tanaman yang dikelola secara lestari.
Di sektor hilir, semua proses produksi harus ramah lingkungan. Dalam hal konsumsi energi,
penghematan energi, dan konversi dari energi fosil ke energi terbarukan adalah sebuah keharusan.
Demikian pula halnya dengan penggunaan air. Industri kehutanan, khususnya furniture dan
woodworking, juga harus menggunakan bahan pembantu atau bahan kimia yang diperbolehkan.
Teknologi untuk mewujudkan industri hijau kehutanan saat ini sudah mulai tersedia namun masih
perlu upaya invensi dan inovasi lebih lanjut, sebagaimana tercermin dalam ringkasan berikut.
Standardisasi
Upaya untuk mewujudkan industri hijau membutuhkan teknologi, mulai dari teknologi
penyediaan bahan baku, pengolahan, energi terbarukan, bahan pembantu organik, penanganan
limbah, dan sebagainya. Selain itu, satu aspek yang juga sangat penting sejak hulu sampai hilir
ialah standardisasi (pengembangan standar dan penerapan standar). Standar diperlukan sebagai
acuan pencarian teknologi dan operasional produksi dalam menghasilkan produk yang diterima
pasar, khususnya pasar global. Ketersediaan standar akan memberi manfaat berupa:
x Dorongan percepatan transfer atau adopsi teknologi,
x Peningkatan hubungan antara pelaku ekonomi,
x Peningkatan akses pasar dan daya saing,
x Optimasi penggunaan infrastruktur,
x Peningkatan kualitas, keselamatan, keamanan, kesehatan dan kualitas lingkungan, serta
x Peningkatan diseminasi sistem manajemen dan proses bisnis yang baik.
ix
Khusus untuk sektor kehutanan, Kementerian Kehutanan telah menggariskan kebijakan
standardisasi berikut:
Pengembangan SNI bidang kehutanan: mengusulkan rencana penyusunan rancangan standar
menjadi bagian dari Program Nasional Penyusunan Standar (PNPS) di Badan Standardisasi
Nasional (BSN), menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) melalui 3 (tiga)
Panitia Teknis, yaitu; Pengelolaan Hutan (PT.65-01), Hasil Hutan Kayu (PT. 65-02), dan
Hasil Hutan Bukan Kayu (PT. 79-01) untuk diusulkan penetapannya oleh BSN, dan review
SNI sesuai ketentuan yang ditetapkan dan kebutuhan/perkembangan IPTEK.
Harmonisasi SNI dengan standar internasional, khususnya untuk proses/produk yang
berpengaruh terhadap daya saing produk kehutanan Indonesia.
Pengembangan Standar Kompetensi Bidang Kehutanan.
Peningkatan pemahaman dan peran stakeholders.
Partisipasi aktif dalam forum-forum standardisasi regional dan internasional.
Secara umum, kebijakan diimplementasikan melalui: (1) adopsi RIL (Reduced Impact Logging)
atau pemanenan ramah lingkungan, secara konsisten sejak pembukaan wilayah hutan hingga
pemanenan, (2) pengelolaan lingkungan sesuai ISO 14001 pada seluruh aktifitas, dan (3)
pengelolaan High Conservation Value Forests (HCVF) pada bagian kawasan yang memiliki nilai
konservasi atau keragaman hayati tinggi. Pengelolaan lingkungan mencakup: pengendalian polusi
udara, pengendalian pencemaran badan air, pengendalian pencemaran tanah, pembatasan
penggunaan sumberdaya khususnya air, pembatasan pengunaan energi (BBM dan listrik),
pengendalian emisi, pengelolaan B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dan limbah B3. Selain itu juga
perlu penerapan konsep reduce, re-use and re-change. Reduce ialah penggunaan teknik
operasional tertentu untuk mengurangi jenis maupun jumlah bahan tanpa menurunkan
produktivitas dan kualitas produk. Re-use adalah penggunaan kembali barang bekas. Sedangkan
re-change ialah penggantian peralatan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dengan
peralatan dengan dampak lebih kecil.
x
pengelola hutan kepada prinsip dasar pengelolaan hutan lestari yang menyeimbangkan kelestarian
usaha dan kelestarian sumberdaya.
Satu material lignocellulose yang sangat potensial sebagai pensubstitusi kayu ialah batang sawit.
Setiap tahun dilakukan peremajaan ratusan ribu hektar kebun sawit yang menciptakan jutaan
meter kubik limbah berupa batang sawit. Limbah batang sawit sangat dilematis, karena apabila
dibiarkan membusuk akan menjadi inang hama, sedangkan apabila dimusnahkan secara benar
(bukan dibakar) membutuhkan biaya besar.
Teknologi mengolah batang sawit menjadi kayu solid sudah beberapa tahun lalu tersedia. Namun
pemanfaatan teknologi tersebut hingga skala komersial belum ada. Saat ini telah diuji-coba
teknologi lain, yaitu untuk mengolah batang sawit menjadi kayu lapis. Teknologi ini diharapkan
akan lebih komersial mengingat kayu lapis untuk konstruksi tidak memerlukan kekuatan dan
keindahan yang prima. Pengolahan batang sawit menjadi kayu lapis dapat memanfaatkan fasilitas
konvensional pada pabrik kayu lapis. Uji coba menunjukkan rendemen sebesar 42-63%
tergantung fasilitas produksi. Sedikit modifikasi mesin akan meningkatkan rendemen. Meskipun
panel kayu lapis sawit relatif kurang stabil dengan kualitas rekatan lebih rendah, namun
memenuhi standar Jepang (JIS) untuk panel interior.
Limbah sawit lainnya yang bisa dimanfaatkan ialah tandan kosong sawit (TKS) sebagai bahan
baku pulp. TKS dapat diolah melalui proses organosolv menggunakan pelarut asam asetat
maupun asam formiat yang ramah lingkungan. Kertas yang dihasilkan dari TKS dapat dijadikan
kertas cetak maupun kertas pembungkus.
Lebih operasional, industri diarahkan kepada efisiensi bahan baku, efisiensi bahan bakar minyak
dan batubara khususnya efisiensi refining dan drying, efisiensi air termasuk pemanfaatan ulang air
xi
pasi (white water), penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunanan bahan
baku kertas bekas, serta pengelolaan limbah (udara, cair dan padat) termasuk pemanfaatan limbah
padat (sludge). Teknologi pengolahan pulp dan kertas ramah lingkungan sudah mulai tersedia,
namun masih terus ditingkatkan.
Industri pulp dan kertas pada dasarnya dapat memenuhi sendiri kebutuhan energinya dari
pemanfaatan limbah biomass ( recovery boiler dari lindi hitam) dan bark boiler berbahan bakar
kulit kayu. Secara teoritis, boiler dapat memproduksi steam 15,8 GJ/Adt dan listrik 655 kWh/Adt.
Kebutuhan steam untuk proses dapat dipenuhi dari recovery boiler, sedangkan kekurangan listrik
dapat dipenuhi dari power boiler. Konservasi energi utamanya dapat dilakukan pada proses
pemasakan dan pemutihan. Pada pemasakan dapat dilakukan modifikasi dari digester ke
delignifikasi berlanjut (extended delignification). Sedangkan penghematan energi pada pemutihan
dapat dilakukan dengan penambahan instalasi sistem perpindahan panas pada sistem umpan ClO2.
Pemanfaatan kertas bekas cukup menjanjikan dalam hal efisiensi bahan baku dan penghematan
energi. Satu ton pembuatan kertas dari serat daur ulang diperkirakan dapat menghemat 25-30 m3
air, 20-30 batang pohon, 4000 kWh listrik, serta menurunkan polusi karena hanya menggunakan
sedikit bahan kimia.
Pengolahan emisi partikulat dan gas juga dapat menghasilkan energi. Proses pemisahan partikulat
dan pembakaran di unit Chemical Recovery Plant, akan menghasilkan senyawa sulfur yang
berbau dan beracun. Senyawa ini dapat didestilasi untuk menghasilkan methanol sebagai
pensubstitusi bahan bakar.
Dalam hal pengolahan limbah (selain digunakan untuk bahan bakar), industri pulp dan kertas juga
mengadopsi pengolahan secara biologis. Yang banyak digunakan ialah pemanfaatan bakteri
anaerob melalui digestasi anaerobik. Proses ini akan menghasilkan biogas: metana (50-70%), CO2
(25-45%), dan sejumlah kecil H, N dan H2S. Satu kg biogas ekivalen dengan 0,4 kg minyak disel
atau 0,6 kg besin atau 0,8 kg batubara.
Selain sebagai bahan bakar (baik dibakar langsung maupun melalui proses pembuatan ethanol),
limbah pulp dan kertas juga bisa diproses menjadi pupuk organik. Percobaan telah menunjukkan
bahwa sludge dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah bekas tambang, yakni
memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah termasuk menurunkan kandungan logam.
Ditunjukkan pula penggunaan sludge dengan dosis 50% (v/v) dapat memperbaiki KTK,
peningkatan ketersdiaan N dan P, pada tailing pond maupun tailing dump di areal pertambangan.
Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan kompos sludge dapat meningkatkan produksi
tanaman pertanian/perkebunan/kehutanan. Tanaman-tanaman kangkung, jagung, karet, akasia dan
nyamplung terbukti sangat responsif terhadap kandungan hara dalam kompos sludge.
Secara umum industri pulp dan kertas Indonesia sudah mulai bergerak ke arah industri hijau.
Invensi-invensi dan inovasi-inovasi baru untuk memberikan akselerasi transformasi masih
diperlukan.
xii
Bioenergi
Bioenergi adalah alternatif potensial pengganti bahan bakar fosil dalam upaya mewujudkan
industri hijau. Salah satu yang sudah cukup banyak diteliti ialah bioenergi dari nyamplung
(Calophyllum inophyllum). Telah diketemukan teknologi pengolahan biji nyamplung yang
menghasilkan biodiesel dengan parameter-parameter berat jenis, viskositas kinematik, bilangan
setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, korosi air dan sedimen, suhu destilasi, abu
tersulfaktan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkali, dan bilangan iodium
yang memenuhi standar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751.
Secara umum proses pembuatan biodiesel nyamplung terdiri dari: perlakuan/penyiapan biji hingga
kadar air 8-12%, pengupasan, pengukusan biji tanpa tempurung, pengeringan biji tanpa
tempurung, pengepresan, degumming (pemisahan kotoran) pada suhu 80 dan penambahan asam
fosfat, dan esterifikasi-transesterifikasi. Salah satu yang menonjol dari minyak nyamplung ialah
dengan proporsi 30% minyak nyamplung terhadap solar sudah menghasilkan bilangan setana
sesuai SNI. Artinya nilai kalor minyak nyamplung 100% (tanpa pencampuran) sangat tinggi dan
dapat digunakan untuk tujuan pembakaran langsung.
Bioenergi juga dapat diproses dari limbah padat industri pulp/kertas (sludge), yang volumenya
relatif besar yaitu mencapai sekitar 2-10% dari kapasitas produksi (sebagai gambaran, kapasitas
terpasang produksi pulp Indonesia 6,2 juta ton/tahun dan kapasitas terpasang industri kertas 10,9
juta ton/tahun). Melalui proses simultaneous sacharification fermentation, sludge dengan bahan
padatan 6% telah dibuktikan sangat baik untuk menghasilkan bioethanol. Hidrolisis dilakukan
menggunakan enzim lokal selulase dan betaglusidase. Sedangkan fermentasi menggunakan ragi
Sacharomices cerivisae. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 2,68-3,45%.
Perekat Organik
Dalam industri kayu, perekat adalah salah satu bahan utama, mencapai 20-60% dari biaya
produksi. Sampai saat ini industri kayu majemuk sebagian besar menggunakan perekat sintetis
jenis termoset seperti urea formaldehida (80%), phenol formaldehida (10%) dan melamin
formaldehida (10%). Sedangkan untuk keperluan kayu struktural dan perkapalan, digunakan
perekat dingin tipe WBP dari jenis phenol-resorsinol formaldehida atau resorsinol formaldida.
Selain itu juga digunakan perekat termoplastik termoset berbahan baku isosianat, poliuretan atau
poliviliasetat dan perekat hotmelt. Karena sebagian dari jenis-jenis perekat tersebut diperoleh
melalui impor maka harganya relatif mahal. Lebih penting dari masalah harga, produk yang
menggunakan perekat sintetis dengan komponen formaldehida semakin tidak mendapat tempat di
pasar internasional. Misalnya, negara-negara pengimpor kayu lapis sudah menerapkan standar
ambang batas emisi formaldehida.
Penelitian yang saat ini masih berlangsung telah menunjukkan bahwa ekstrak cair kulit kayu
merbau (Intsia spp) cukup menjanjikan sebagai bahan baku perekat organik karena senyawa yang
terkandung dalam ekstrak tersebut identik dengan senyawa fenolik (resorsinol) dengan bobot
molekul 753. Ekstrak cair tersebut dapat direaksikan dengan formaldehida dalam suasana basa
xiii
untuk membentuk polimer berbobot molekul 9308. Percobaan penggunaan perekat berbahan dasar
ekstrak cair merbau menghasilkan kayu lamina tipe eksterior rendah emisi (0,22mg/L) dengan
kategori emisi E0 atau F****. Produk kayu lamina tipe eksterior dengan emisi sangat rendah
(0,03mg/L) dapat diperoleh dengan kopolimerisasi ekstrak kayu merbau dengan monomer
resorsinol dan formaldehida yang membentuk kopolimer berbobot molekul 49.658.
xiv
DAFTAR ISI
KEYNOTE SPEECH
MAKALAH UTAMA
9. Pemanfaatan Sludge dari Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Pulp dan
Kertas sebagai Bahan Baku Bioetanol
Rina S. Soetopo, Sri Purwati, Susi Sugesty dan Yusup Setiawan ...................... 115 127
10. Ketahanan Papan Serat MDF terhadap Serangan Rayap Kayu Kering
(Cryptotermes cynocephalus Light.)
Jasni, Gustan Pari dan Rena M. Siagian ............................................................. 129 134
xv
11. Hasil Uji-Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Padatan ( Densified Oil Palm
Plywood)
Jamal Balfas ........................................................................................................ 135 143
MAKALAH PENUNJANG
14. Sifat Pemesinan Kayu Dolok Diameter Kecil Jenis Manglid (Manglieta glauca
Bl.)
Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto .............................................................. 173 179
15. Pengaruh Waktu dan Nisbah Pelarut pada Ekstraksi Tumbuhan Pewarna Alami
Lawsonia inermis
Yelin Adalina ...................................................................................................... 181 189
18. Potensi Nyamplung (Callophyllum spp) sebagai Sumber Energi Alternatif bagi
Masyarakat Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat
Burhanuddin, Sudirman Muin, Eddy Thamrin dan Abdurrani Muin ................. 207 214
20. Manfaat Sludge Limbah Padat Pabrik Kertas untuk Pupuk Bioorganik
Happy Widiastuti dan Tati Rostiwati .................................................................. 227 234
21. Pengawetan Kayu Mindi ( Melia azedarach L.) melalui Rendaman Dingin
dengan Bahan Pengawet BAE
Endah Suhaendah ................................................................................................ 235 240
22. Selektivitas Delignifikasi Proses Kraft dan Soda dari Jenis Acacia mangium
pada Tingkat Waktu Pemasakan dan Alkali Aktif
Saptadi Darmawan dan I.M. Sulastiningsih ........................................................ 241 248
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
KEYNOTE SPEECH
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN
LATAR BELAKANG
Industri pengolahan kayu yang berada dibawah binaan Kementerian
Perindustrian adalah industri hilir yang mengolah lebih lanjut hasil produksi
industri primer hasil hutan, yaitu meliputi industri wood working, furniture kayu
dan rotan serta pulp/kertas, sedangkan industri primer hasil hutan yang
mengolah langsung kayu bulat sesuai dengan PP 34 Tahun 2002 merupakan
binaan Kementerian Kehutanan.
Industri hijau kehutanan merupakan sebuah proses terintegrasi dari hulu sampai
ke produk hilir. Di sektor hulu, bahan baku industri kehutanan harus memenuhi
aturan legalitas yang menjamin bahwa bahan baku berasal dari hutan yang
terjaga kelestariannya. Di sektor hilir, semua proses produksi harus
memperhatikan prinsip ramah lingkungan.
Untuk mewujudkan industri hijau di bidang pengolahan hasil hutan mutlak
diperlukan dukungan teknologi. Teknologi diperlukan untuk menghasilkan bahan
baku tanpa membahayakan kelestarian sumber daya hutan, untuk berproduksi
secara efisien (limbah minimal atau zero waste), untuk menyediakan energi
alternatif (terkait emisi gas rumah kaca) serta untuk menangani limbah industri.
INDUSTRI PULP
TAHUN
NO. URAIAN SATUAN
2007 2008 2009 2010
1 Jumlah Perusahaan Unit 14 14 14 14
2 Kapasitas Izin Ton/th 6.697.100 7.902.100 7.902.100 7.813.500
3 Produksi Riil Ton/th 6.282.330 5.910.416 6.525.099 6.674.550
4 Nilai Produksi Rp. Juta 17.998.897 18.032.897 19.908.318 20.759.000
5 Utilisasi Kapasitas % 94 75 83 85,42
6 Konsumsi Ton 4.448.414 4.141.474 4.878.086 5.285.438
7 Ekspor Ton 2.826.687 2.770.153 2.134.268 2.557.501
Ribu US$ 1.129.670 1.107.077 733.881 1.457.072
8 Investasi Rp. Juta 12.477.075 12.477.075 13.100.929 13.231.938
9 Tenaga Kerja Orang 79.923 78.325 78.577 79.363
National Action
Udara
Udara Bahan Bahan
bakar baku
Landfill
Proses
produksi Organik Insinerasi
PADAT Anorganik
IPAL
Kadar air Pengomposan
Power plant
Digestasi anaerobik
Pemisahan Partikulat
CRP Emisi Sulfur
GAS Digester Emisi Karbon
Power plant Emisi NOx
Pemisahan Gas
PROSES DASAR
PROSES PERALATAN EMISI
PEMILIHAN
Sistem
Fisika - Partikel kasar upengendapan Clarifier Lumpur
Clarifier
Partikel halus
Sistem koagulasi dilengkapi dgn
Kimia - tersuspensi dan Lumpur
flokulasi koagulator
Koagulator-
koloid
flokulator
CO2
Org terlarut Bak aerasi dgn
Aerobik Activated sludge HH 2O
sederhana clarifier
lumpur
CO2
CH4
Org terlarut Reaktor,
Reaktor UASB HH 2
kompleks penangkap gas,
HH 2O
Biologi
Lumpur
lumpur
Anaerobik
(prospektif) Bahan organik tinggi : 10 30 kg COD/m3. hari
Reduksi COD : 70 85%
Konsumsi energi rendah : rendah
Kebutuhan nutrisi : rendah
Menghasilkan emisi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai
energi 0,3 0,4m 3 CH4/kg COD red
Jenis teknologi
item Digestasi
Landfill Incinerator Composting
anaerobik
Organik B3 Organik Organik Organik
Sifat limbah
Anorganik B3 Nilai kalor tinggi Unsur hara bulki
Tinggi Tinggi
Potensi GRK Sedang (tanpa pemanfaatan energi) Rendah (tanpa pemanfaatan
energi)
Standardisasi
Standarisasi Produk-produk industri kehutanan
saat ini juga telah disusun dalam bentuk
Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI),
baik RSNI produk kertas maupun produk furniture.
Ir.S.Y.Chrystanto, M.For.Sc
OUTLINE
BACK GROUND
KEBIJAKAN STANDARDISASI
PERUMUSAN SNI
RANGKUMAN
STANDAR......?
STANDARDISASI
Rangkaian proses mulai dari pengembangan standar
(pemrograman, perumusan, penetapan dan pemeliharaan
standar) dan penerapan standar yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerjasama dengan para pemangku kepentingan
MUTU (Q)
Manajemen Mutu
METROLOGI STANDARDISASI PENILAIAN KESESUAIAN
Pemasyarakatan
Sistem Legal
Sistem Ekonomi
PRODUK GLOBALISASI
GLOBAL
EVALUASI INDONESIA
FREE TRADE
GLOBAL RATIFIKASI
AGREEMENT
TH. 1994
GLOBALISASI
KOMITE STANDARDISASI RANTAI
TEKNIS DAN PASOKAN
AKREDITASI
AKREDITASI STANDAR
LABORATORIUM PENGUKURAN
/ LMBG
SERTIFIKASI PENGUJIAN/
SERTIFIKASI
MANFAAT STANDAR
Pengembangan SNI sesuai kebutuhan pasar dan peningkatan mutu SNI melalui penerapan tata
cara internasional yang baik dalam pengembangan Standar (international code of good practices);
Penyelarasan SNI dengan standar internasional sejauh mungkin untuk memfasilitasi
perdagangan global ADOPSI DAPTASI BOLISI
Pengusulan SNI untuk menjadi standar internasional (ISO);
Penyusunan SNI dengan parameter seminimal mungkin, tetapi berfungsi secara maksimal
mencakup perlindungan terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pelestarian
lingkungan hidup;
Peningkatan efektifitas dukungan penerapan SNI untuk mendorong perkembangan akses
pasar Pemberian insentif (kemudahan) bagi penerap SNI dan penyediaan jasa penilaian
kesesuaian yang terpercaya (LSPro)
Penyusunan Regulasi Tekn is mengacu pada prinsip Good Regulatory Practices (GRP).
Penegakan integritas tanda SNI dan tanda kesesuaian lainnya yang berbasis SNI;
Edukasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran akan fungsi dan manfaat SSN.
BSN KAN
Lembaga Penilaian
Panitia Teknis
Kesesuaian/ Lembaga
Perumusan RSNI PUSTANLING Sertifikasi
STANDARDISASI, LINGKUNGAN,
(produk, proses, PERUBAHAN IKLIM
jasa kehutanan)
Fasilitasi sertifikasi
PHBML (pelatihan,
pendampingan),
bekerjasama
dengan Dinas
Kehutanan
setempat.
Review REDD+ demonstration activities dan penyiapan Draft Premenhut ttg MRV
REDD+_ DA
Membangun ISS- REDD+
Membangun standar
(RSNI)
Pengukuran carbon
CONSENSUS
AND IMPARTIALITY Pelaksanaannya melalui
COHERENCE konsensus nasional dan tidak
memihak
SNI dibuat dgn
memperhati-kan EFFECTIVENESS
keberadaan standar AND RELEVANCE
internasional, sebaiknya
harmonis dengan standar
internasional
Standar dibuat
Adopted from the Decision of the WTO- sesuaikebutuhan pasar,
TBT Second triennial review hasilnya harus efektif dipakai
untuk fasilitasi perdagangan
REGULASI TEKNIS
Dokumen yang mengatur sifat produk atau proses dan metode produksi
terkait, termasuk aturan administrasi yang berlaku, yang pemenuhannya
bersifat wajib.
Regulasi teknis juga dapat meliputi atau berkaitan secara khusus dengan
persyaratan terminologi, simbol, pengepakan, penandaan atau pelabelan
yang diterapkan untuk suatu produk, proses atau metode produksi.
PEMELIHARAAN SNI
TANDA SNI
Standar
Standar Industri
Industri Produk
Produk Konsumen
Konsumen
(SNI)
(SNI)
MUTU Sertifikasi
Sertifikasi
KOMPETENSI
Akreditasi
Akreditasi LPK
LPK
Oleh:
Tjipta Purwita
Direktur Tanaman PT Musi Hutan Persada
E-mail: purwita-pht@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
PT Musi Hutan Persada (MHP) merupakan salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri
(HTI) dengan Acacia mangium sebagai spesies utama untuk bahan baku pulp bagi industri PT
Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper (TELPP). PT MHP didirikan pada tahun 1991 di Sumatera
Selatan, meliputi 6 wilayah kabupaten, yaitu: Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi Rawas,
Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten
Ogan Komering Ulu Timur.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 038/Kpts-II/1996 luas bruto HTI
ditetapkan 296.400 ha, terdiri atas tanaman pokok seluas 138.000 ha (46,5%), tanaman
kehidupan seluas 68.128 ha (22,9%), tanaman unggulan seluas 30.812 ha (10,4%), serta
sisanya berupa kawasan lindung (Daerah Perlindungan Satwa Liar dan Kawasan Perlindungan
Plasma Nutfah) seluas 44.098 ha (15%) dan areal tidak efektif untuk produksi (sarana-prasarana
& areal penelitian) seluas 15.362 ha (5,2%).
PT MHP merupakan perusahaan patungan (joint-venture) antara PT Marubeni Corporation
Jepang (menguasai 60% saham) dan PT Inhutani V (menguasai 40% saham). Kemampuan pasok
PT Musi Hutan Persada kepada PT Tanjung Enim Lestari (yang mayoritas sahamnya dikuasai
oleh PT Marubeni Corporation) adalah sebesar 2,0 juta m3. Kekurangan pasok kepada industri
dipenuhi sendiri oleh PT TELPP dengan membeli kayu dari perusahaan lain.
PT MHP dalam usahanya menerapkan prinsip pengelolaan hutan lestari yang diwujudkan
dalam pengelolaan yang berkelanjutan, antara lain ditopang oleh adanya penggunaan benih
unggul melalui upaya tree improvement, penerapan sistem silvikultur yang intensif, serta
didukung dengan penerapan best practice pengelolaan hutan yang ramah lingkungan.
II. FALSAFAH
Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan antara lain
tercermin dalam visi maupun misi perusahaan PT Musi Hutan Persada, yaitu:
1. Visi Perusahaan
Menjadi perusahaan hutan tanaman terdepan yang berkelanjutan dengan selalu
meningkatkan kapasitas pertumbuhan tegakan, kualitas karyawan, sistem dan struktur yang
bertujuan untuk mengamankan lahan dan memaksimalkan hasil kayu untuk memuaskan
pelanggan.
PT Musi Hutan Persada adalah perusahaan timber growing business, sehingga prinsip
sustainibiltas menjadi sangat penting, yaitu filosofinya adalah: bagaimana produktivitas pada
rotasi kedua dan rotasi-rotasi berikutnya tidak hanya bisa dipertahankan, melainkan harus dapat
ditingkatkan.
Dari hasil riset PT MHP, pertumbuhan tegakan Acacia mangium dari rotasi 1, rotasi 2 dan
rotasi 3 terus mengalami peningkatan, sebagaimana disajikan pada grafik yang tertera pada
Gambar 1, 2, dan 3 berikut.
50
45
40
35
V o l. (m 3 /h a /th )
30 MAI - R1
25
20
CAI - R1 Gambar 1. Hubungan MAI dan CAI
15 Tegakan Rotasi 1
10
5 Perpotongan antara MAI dan CAI
0 Tegakan Rotasi 1 adalah pada umur 8,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 tahun. Artinya, tegakan rotasi 1 paling
Umur (tahun) optimal dipanen pada umur 8 tahun
dengan riap 32,8 m3/ha/tahun.
60
50
40
)
Vo l. m( 3 /h a /th
30 MAI - R2
125
100
Vo lu m e (m 3/h a)
75 Rotasi 1
Rotasi 2
50
Rotas i 3
25 Gambar 3. Produktivitas Tegakan
Rotasirotasi 2 dan Rotasi 3
0
1 2 3 4 Pertumbuhan tegakan A.mangium dari
Umur (tahun) rotasi 1, rotasi 2 dan rotasi 3 terus
mengalami peningkatan.
Daur pada rotasi 1 yaitu 8 tahun dapat diperpendek menjadi 6 tahun pada rotasi 2 dengan
riap yang lebih tinggi. Apabila tidak ada gangguan yang signifikan, diharapkan pada rotasi 3 daur
lebih pendek lagi dengan riap yang semakin meningkat.
Peningkatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kualitas benih yang digunakan antar
rotasi semakin unggul. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri, bahwa teknik silvikultur
seperti manajemen residu panen, masukan unsur hara, pengendalian gulma, dan sebagainya juga
mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan produktivitas.
IV. KEBIJAKAN
Dalam rangka mencapai visi dan misi perusahaan sebagai timber growing business company
yang berkelanjutan, PT Musi Hutan Persada memiliki kebijakan terdokumentasi yang wajib
dipahami oleh seluruh karyawan dan bisa diakses oleh publik. Kebijakan tersebut adalah selalu
mempertimbangkan dampak lingkungan ketika menjalankan usahanya, mengurangi risiko
lingkungan, melindungi lingkungan serta mencegah pencemaran lingkungan dengan cara:
1. Memperhatikan pedoman-pedoman lingkungan internasional, undang-undang lingkungan,
serta persyaratan lingkungan lain yang berlaku.
2. Mengurangi dampak lingkungan ketika akan memulai operasi baru atau penggunaan mesin/
peralatan baru, terutama pada areal-areal yang kondisi ekosistem dan lingkungan perlu
mendapat perhatian ekstra.
3. Penghematan energi dan sumberdaya, mengurangi limbah, peningkatan efisiensi usaha dan
pengadaan barang yang ramah lingkungan.
4. Melaksanakan upaya untuk menghasilkan produk, jasa dan pembinaan sosial guna
memperbaiki dan meningkatkan mutu lingkungan.
V. SASARAN
VI. IMPLEMENTASI
Implementasi pengelolaan hutan ramah lingkungan pada PT. Musi Hutan Persada
diwujudkan dalam 3 kegiatan, yaitu:
1. Penerapan RIL (reduce impact logging) pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH)
dan pemanenan.
2. Penerapan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 pada seluruh aktivitas operasional
dan administrasi.
3. Pengelolaan high conservation value forest (HCVF) atau kawasan hutan dengan nilai
konservasi tinggi.
2. Pemanenan
a. RIL pada proses pemanenan bertujuan untuk keselamatan pekerja, pencegahan erosi dan
pemadatan tanah, perlindungan area HCV, perlindungan lahan usaha masyarakat, dan
pencegahan kerusakan tegakan tinggal (tanaman muda).
b. Sebelum tebang dilakukan verifikasi dan pemastian batas area HCV, lahan usaha
masyarakat dan tanaman muda disekitar petak tebang. Arah rebah pohon menjauhi dan
mesin berat tidak diperbolehkan melintasi area-area tersebut.
c. Penebangan secara manual (dengan chainsaw) lebih diprioritaskan, untuk menghindarkan
mesin berat terlalu sering masuk area produksi.
d. Metode pemanenan full mechanized (dengan harvester atau mesin berat lain) dilakukan
secara selektif, terutama pada area yang berbahaya bagi pekerja jika dilakukan secara
manual.
e. Koridor tebang dibuat setiap 5 baris tanaman, dimana rebah pohon kearah baris tengah,
dan jarak antar negara penebang minimal 25 m untuk menghindarkan pekerja tertimpa
pohon rebah.
8. Reduce (Pengurangan)
a. Prinsip utama dalam reduce adalah penggunaan teknik operasional tertentu untuk
mengurangi penggunaan jumlah maupun jenis bahan namun tetap memperoleh hasil yang
optimal.
b. Prinsip ini salah satunya diterapkan pada proses penanaman, dimana pada beberapa tahun
lalu digunakan pupuk dengan dosis Urea dan TSP. Dari hasil penelitian lanjutan oleh
Divisi R & D didapatkan bahwa Acacia mangium mempunyai perakaran yang dapat
mengikat N, serta seresah dan limbah tebangan sudah mencukupi N, K dan unsur lain
yang dibutuhkan tanaman, sehingga saat ini pemupukan cukup menggunakan TSP.
c. Pengurangan jumlah ATK sampai 20% ternyata tidak mengganggu efektivitas kegiatan
administrasi, justru membuat pekerja lebih berhati-hati dan cermat dalam penyusunan
surat menyurat, pencatatan dan laporan.
10.Rechange (Mengganti)
a. Penyaradan menggunakan skidder dengan 4 roda tidak lagi dipergunakan karena
menimbulkan pemadatan tanah yang merata di beberapa bagian petak tebangan, dan
beralih menggunakan pontoon darat dengan tapak roda yang lebar sehingga tekanan
terhadap tanah lebih kecil.
VII. PENUTUP
Pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai
wacana, namun harus diimplementasikan secara konsisten. Pengelolaan hutan yangramah
lingkungan harus dilakukan bukan semata-mata karena pasar dunia menghendaki produk hijau,
namun juga untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan stakeholder
(utamanya masyarakat sekitar hutan) atas manfaat pengelolaan hutan bagi mereka. Semua
langkah-langkah yang dilakukan tersebut merupakan kegiatan yang sejalan dan dapat
mempercepat terjadinya Industri Hijau dan akhirnya Indonesia Hijau.
Oleh:
Dulsalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
E-mail: dul.salam@gmail.com
ABSTRAK
Pemanenan kayu ramah lingkungan merupakan bagian kegiatan pengelolaan hutan yang cukup
berperan dalam menunjang ekonomi dan sosial masyarakat. Kegiatan pemanenan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: teknis, ekonomi, sosial, lingkungan dan politik. Berkaitan dengan isu
lingkungan, kegiatan pemanenan kayu menjadi penting untuk disempurnakan dan dikembangkan
menuju pemanenan kayu yang ramah lingkungan. Tulisan ini menyajikan pemanenan kayu ramah
lingkungan pada kegiatan pembukaan wilayah hutan, penebangan, penyaradan muat bongkar dan
pengangkutan.
Kata kunci: Hutan alam, hutan tanaman, pemanenan kayu, ramah lingkungan
I. PENDAHULUAN
Kegiatan pemanenan kayu di hutan alam luar Jawa berkembang sangat cepat pada tahun
1970 dengan menggunakan alat berat modern yang semuanya diimpor dari luar negeri. Peraturan
dan petunjuk teknis pemanenan hutan pada saat itu boleh dikatakan sangat minim. Baru pada
tahun 1972 ditetapkan beberapa sistem silvikultur yang dapat diterapkan di hutan alam. Salah satu
sistem silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) (Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan No. 35, 1972). Pada tahun 1989 sistem silvikultur TPI disempurnakan pelaksanaannya
(Keputusan Menteri Kehutanan No. 485, 1989) dan teknis pelaksanaannya diterjemahkan dalam
Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan
Hutan No. 564, 1989). TPTI tersebut disempurnakan pelaksanaannya pada tahun 1993 (Keputusan
Ditektur Jenderal Pengusahaan Hutan No 151, 1993). Pada tahun 2005, sistem Tebang Pilih
Tanam Indonesia Intensif diperkenalkan sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan No. SK.226/VI-BPHA/2005.
Untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu baik di hutan alam maupun di hutan
tanaman maka berbagai upaya perlu dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi
optimal dan pemborosan sumberdaya dan gangguan lingkungan menjadi minimal. Dalam kegiatan
pemanenan kayu, semua kayu yang ditebang seharusnya dapat dikeluarkan dari hutan untuk
dimanfaatkan. Teknik penggunaan sumberdaya yang demikian akan meningkatkan efisiensi
pemanenan dan akan menekan besarnya limbah pemanenan yang terjadi. Peningkatan efisiensi
pemanenan kayu tersebut sangat dituntut dalam rangka penyediaan bahan baku industri kayu yang
memadai secara kuantitas dan kualitas di satu pihak dan minimasi gangguan lingkungan yang
terjadi di lain pihak.
Dalam artikel ini diuraikan pemanenan kayu ramah lingkungan yang meliputi aspek teknik,
kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan tanah, produktivitas, biaya dan upaya peningkatan
efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan,
penyaradan, muat bongkar dan pemanenan kayu.
A. Hutan Alam
Dalam pelaksanaan PWH, sebagian dari kawasan hutan harus dibuka untuk dijadikan jalan,
jembatan, kemah basis dan bengunan pendukung lainnya. Proses pembukaan dan pembersihan
tersebut tentu mengakibatkan terjadinya pengurangan lahan hutan produktif, pengurangan
produksi kayu, gangguan lingkungan (erosi tanah) dan sebagainya. Tanpa perencanaan dan
praktik pelaksanaan PWH yang baik maka aspek negatif dari PWH akan signifikan pengaruhnya
terhadap tingkat efisiensi pemanenan kayu. Dengan perencanaan dan praktik pelaksanaan PWH
yang baik maka aspek negatif tersebut di atas akan tidak berarti dibandingkan dengan aspek
positif berupa kelancaran dan peningkatan efisiensi dalam pelaksanaan pemanenan kayu.
PWH yang baik mempunyai karakteristik berikut ini: (1) Pelaksanaan dan pembangunan
dilakukan secara integral; (2) Kerapatan jalan yang optimal; (3) Jalan dapat difungsikan sepanjang
tahun; (4) Seluruh kawasan hutan terlayani; (5) Pengelola PWH memperhatikan dampak
lingkungan; (6) Bagian khusus yang menangani PWH di tiap perusahaan hutan tersedia; dan (7)
PWH merupakan salah satu kunci terpenting untuk mencapai sukses dalam pengelolaan hutan.
Kegiatan utama pada PWH adalah pembuatan jalan angkutan.
Jalan angkutan dibuat dengan prinsip sependek mungkin dan menghindari tanjakan dan
turunan yang berat (>12%), menyebarangi sungai besar, memotong alur air, daerah rawa dan
daerah konservasi. Untuk jalan yang diperkeras, lebar untuk jalan ranting cukup 5-6 m sedangkan
lebar jalan cabang dan jalan utama secara berurutan adalah 6-8 m dan 10 m. Pada jalan angkutan
yang badan jalannya banyak mengandung tanah liat lebar jalan tersebut cukup 6-7 m untuk jalan
ranting, 11 m untuk jalan cabang dan 15 m untuk jalan utama. Untuk jari-jari tikungan,
panjangnya tergantung keadaan topografi dan jarak pandang serta kecepatan kendaraan. Di
samping jalan angkutan, jalan sarad diperlukan untuk memindahkan kayu dari tempat pohon
ditebang ke tempat pengumpulan sementara (TPn).
Syarat yang diperlukan dalam pembuatan jalan sarad pada dasarnya sama dengan syarat
yang diperlukan pada pembuatan jalan angkutan. Untuk membuat rencana jalan sarad maupun
jalan angkutan dapat digunakan foto udara atau citra satelit serta peta topografi skala yang cukup
besar, yaitu 1:5.000 dan apabila memungkinkan sebaiknya menggunkan peta skala 1:1.000. Dari
peta tersebut dapat dibuat rencana secara rinci baik jalan angkutan maupun jalan sarad sehingga
kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pembuatan jalan angkutan dan jalan sarad menjadi
minimal.
Tempat pengumpulan kayu di hutan ditetapkan pada lokasi yang dipilih sedemikian rupa
sehingga di samping tidak terlalu luas juga bukaan lahan tidak banyak yang mengakibatkan
sedimentasi pada saluran air. Lokasi yang dipilih harus relatif datar, terutama di punggung bukit,
untuk memungkinkan dapat dilakukannya penyaradan ke arah punggung bukit (uphill logging).
Pemotongan bukit dan penggalian tanah harus dihindari. Bentuk tempat pengumpulan kayu dan
ukurannya memudahkan pengaturaan kayu bundar yang disarad kemudian di tumpuk di TPn yang
selanjutnya akan dimuat ke atas truk. Lokasi yang ditetapkan menjadi tempat pengumpulan kayu
harus dicantumkan dalam peta kerja dan diberi nomor sehingga memudahkan dalam melakukan
pengawasan. Di daerah TPn penggenangan air diusahakan tidak terjadi.
B. Hutan Tanaman
Sebagai dasar kegiatan operasional pengusaha hutan tanaman adalah Rencana Karya Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (RKUPHHK-HT), yang merupakan rencana
pengusahaan jangka panjang. Perkembangan dokumen perencanaan tersebut menjadi acuan dalam
penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) perusahaan. RKT selanjutnya menjadi dasar legal di
dalam melaksanakan seluruh kegiatan operasional hutan tanaman, khususnya kegiatan pemanenan
dan penanaman.
Kegiatan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah penataan batas areal kerja dimana
walaupun secara hukum pengusaha hutan tanaman telah memiliki Ijin Hak Pemanfaatan Hutan
Tanaman dari Pemerintah, tetapi dalam kenyataan di lapangan areal yang menjadi konsesi
tersebut sebagian dikuasai secara adat, kelompok atau individu oleh masyarakat. Untuk
mewujudkan penataan batas areal kerja, perusahaan hutan tanaman dapat melaksanakan penataan
batas melalui perjanjian kerja sama penggunaan lahan dengan masyarakat setempat. Selain itu,
dapat dilakukan pula penataan batas secara internal dalam rangka penataan areal berupa
pembuatan batas petak dan batas luar konsesi.
Pembukaan wilayah hutan sebagai awal dari pembangunan hutan tanaman dengan kegiatan
pokok penyiapan sarana prasarana dan pembagian unit-unit pengelolaan hutan. Prinsip utama
kegiatan PWH adalah tersedianya akses untuk semua kegiatan pengelolaan hutan dengan baik dan
efisien. Pembangunan sarana prasarana meliputi pembangunan jalan dan infrastruktur berupa
bangunan seperti kantor, camp, persemaian, tempat pengumpulan/penimbunan kayu dan lain-lain.
Selain pembangunan jalan untuk menunjang kegiatan operasional, di setiap distrik dibangun
camp permanen beserta fasilitas pendukungnya seperti kantor distrik, perumahan karyawan,
sarana ibadah, kesehatan, bengkel dan yang lainnya. Dengan adanya sarana prasarana tersebut,
khususnya jalan, telah ikut membuka akses bagi masyarakat di wilayah-wilayah terpencil untuk
berinteraksi dengan wilayah lainnya. Kegiatan PWH di hutan tanaman dilakukan bersamaan pada
saat pembangunan hutan tanaman. Dampak negatif dari PWH di hutan tanaman ini akan pulih
kembali seiring dengan berjalannya waktu
III. PENEBANGAN
A. Hutan Alam
Penebangan pohon biasanya menimbulkan kerusakan kayu yang ditebang dan kerusakan
tegakan tinggal. Hal ini mudah dipahami karena penebangan pohon adalah kegiatan merobohkan
B. Hutan Tanaman
Penebangan di hutan tanaman biasanya dilakukan dengan sistem tebang habis, yaitu seluruh
pohon harus ditebang hingga bersih tanpa memperhatikan bentuk dan kualitas termasuk jenis kayu
yang tidak dapat diterima di pabrik kecuali pohon-pohon di lokasi yang menjadi larangan
penebangan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Menumbangkan pohon
dengan cara mencabut atau mendorong menggunakan alat berat yang dapat merusakan fisik kayu
atau struktur tanah tidak diperbolehkan. Penebangan dapat menggunakan chainsaw atau feller
buncher. Untuk pohon mati yang berdiameter cukup besar sebaiknya penebangan tidak dilakukan
dengan menggunakan chainsaw, tetapi menggunakan feller buncher atau excavator.
Di hutan tanaman yang mempunyai ukuran kayu kecil, kegiatan penebangan sebaiknya
menggunakan chainsaw yang berukuran kecil. Keuntungan penggunaan chainsaw yang berukuran
kecil adalah sebagai berikut: (1) Menghemat tenaga dalam transportasi dan pengoperasiannya,
(2) Memudahkan dalam membuat takik rebah dan takik balas, (3) Dapat menebang kayu dengan
rendah tunggak, (4) Biaya pemilikan lebih rendah, (5) Biaya operasional relatif lebih murah,
(6) Berpindah tempat lebih cepat, dan (7) Biaya pemeliharaan lebih rendah.
Penebangan dilakukan sesuai rencana lajur tebangan pada perencanaan mikro, di mana lajur
1 dan 3 terlebih dahulu dilakukan penebangan, sedangkan lajur 2 dan 4 dibiarkan terlebih dahulu.
Penebangan berselang seling tersebut sampai ke batas petak. Untuk pohon dengan diameter 20 cm
IV. PENYARADAN
A. Hutan Alam
Penyaradan kayu merupakan kegiatan pemindahan kayu dari tempat di mana pohon
ditebang dan telah mengalami pemotongan batang tingkat pertama ke tempat pengumpulan kayu
melalui jalan sarad yang tidak dipersiapkan secara maksimal. Penyaradan kayu dilakukan oleh
satu regu penyarad dengan menggunakan alat penyarad untuk penyaradan kayu. Penyaradan
secara manual dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia dan tenaga hewan (gajah, kerbau,
sapi atau kuda). Penyaradan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat feller
buncher, forwader, bulldozer, trakor berban karet (wheel skidder) dan yarder (sistem kabel).
Cara penyaradan yang dikenal sampai saat ini adalah: (1) pemikulan dan penarikan kayu
oleh manusia; (2) penyaradan dengan bantuan gaya penarik binatang (sapi, gajah, kuda dan
kerbau); (3) penyaradan dengan gaya berat gravitasi; (4) penyaradan dengan traktor; (5)
penyaradan dengan kabel; (6) penyaradan dengan balon; dan (7) penyaradan dengan pesawat
B. Hutan Tanaman
Penyaradan kayu ramah lingkungan di hutn tanaman dapat dilakukan seperti diuraikan
berikut ini. Kayu yang telah ditumpuk pada penyaradan potong pendek di dalam lokasi
penebangan harus secepatnya ditarik keluar dari lokasi penebangan, paling lambat 2 minggu dari
A. Hutan Alam
Kegiatan muat bongkar dilakukan secara manual dengan tenaga manusia dan secara
mekanis dengan menggunakan traktor pemuat kayu. Pemuatan kayu secara manual telah diteliti
pada tahun 1999 dengan hasil sebagai berikut: (1) produktivitas pemuatan kayu berkisar antara
2,32 - 6,38 m3/jam dengan rata-rata 3,83 m3/jam, jarak pemuatan kayu berkisar antara 15 - 35 m,
(3) biaya pemuatan berkisar antara Rp 1.990 - Rp 4.310/m3 dengan rata-rata Rp 3.235/m
B. Hutan Tanaman
Pemuatan kayu dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Kayu yang dimuat dilarang
tercampur dengan barang yang bukan merupakan satu kategori (tanah, pasir, paku, tali dan
material lain), kayu terbakar, afkir dan kayu yang tidak diterima oleh pabrik. Pemuatan kayu ke
sampan besi atau truk harus tersusun rapi dan diikat supaya tidak tumpah atau jatuh di perjalanan.
Produktivitas pemuatan kayu rata-rata adalah 44 m3/jam. Biaya rata-rata pemuatan kayu adalah
Rp 9.312/m3 (Dulsalam dkk., 2009).
Pengngkutan kayu dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Pengangkutan kayu dilakukan
melalui jalan darat dan air sesuai dengan jenis dan kapasitas alat angkut yang ditentukan oleh
peraturan perundangan yang berlaku. Setiap pengangkutan kayu wajib disertai dengan dokumen
angkutan kayu yang sah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen yang sah
untuk kayu bahan baku serpih adalah Faktur dan surat keterangan sah hasil hutan (SKSHH) yang
pengadaannya dilakukan oleh tata usaha kayu (TUK). Isi dokumen harus sesuai dengan fisik kayu
yang diangkut. Produktivitas pengangkutan arata-rata adalah 18,5 m3/jam pada jarak rata-rata 26
km atau 518 m3.km/jam dengan biaya pengankutan rata-rata sebesar Rp 1.054/m3.km (Dulsalam
dkk., 2009).
A. Hutan Alam
Efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, sampai diameter minimal 30 cm dan 10 cm pada
pemungutan kayu yang disempurnakan di hutan lahan kering disajikan dalam Tabel 1. Pada tabel
tersebut terlihat bahwa rata-rata efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, kayu sampai dengan
batas diameter minimal 30 cm dan kayu sampai batas diameter minimal 10 cm secara berurutan
adalah 83%, 70% dan 68%. Rata-rata tingkat efisiensi pemungutan kayu yang telah
disempurnakan lebih tinggi dari pada rata-rata tingkat efisiensi pemungutan kayu secara
konvensional, yaitu 83% dibanding 77%. Dengan perbaikan teknik pemungutan terjadi
peningkatan efisiensi sebesar 7%. Volume kayu per batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan
berkisar antara 6 - 16 m3/pohon dengan rata-rata 10 m3/pohon. Kayu yang diselamatkan dengan
Tabel 1. Efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, sampai diameter minimal 30 cm dan 10 cm
pada pemungutan kayu yang ramah lingkungan di hutan lahan kering
Efisiensi pemanenan kayu di hutan rawa lebih tinggi bila dibandingkan dengan efisiensi
pemanenan kayu di hutan lahan kering. Efisiensi pemungutan kayu (bebas cabang) yang telah
disempurnakan di hutan rawa disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi pemanenan kayu (bebas cabang) yang ramah lingkungan di hutan rawa
B. Hutan Tanaman
Efisiensi pemanenan kyu di hutan tanaman lebih tinggi bila dibanding efisiensi pemnenan
kayu di hutan lahan kering. Efisiensi pemnenan kayu di hutan tanaman mangium pada kelerengan
lpangan 0 15% disajikan pada Tabel 3.
VII. KESIMPULAN
Pemanenan kayu ramah lingkungan selain dapat mengurangi dampak negatif terhadap
lingkungan juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu. Efisiensi pemanfatan kayu
ramah lingkungan di hutan alam dapat mencapai lebih besar dari 85% sedangkan efisiensi
pemanfatan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman dapat mencapai lebih besar dari 95%.
Pemanenan kyu ramah lingkungan di hutan alam juga dapat mengurangi kerusakan tegakan
tinggal sebesar 4 - 9% dan mengurangi keterbukaan tanah sebekitar 2%. Pemanenn kayu ramah
lingkungan seyogyanya diaplikasikan pada seluruh perusahaan hutan .
DAFTAR PUSTAKA
Abeli, W.S. and R.E.L. Ole-Meiludie.1991. Future harvesting strategies in tanzania forest.
Proceedings of A Symposium on Forest Harvesting ini South East Asia. Forest Engineering
Inc. Oregon.
Anonim. 1988. Case Study on Intermediate Technology in Forest Harvesting: Agricultural Tractor
and Forest Trailer with Mechanical Crane. Funds - In-Trust Project: GCP/Int/343/ SW.
FAO. Rome.
_______. 1989. Studi identifikasi pemanfaatan limbah pembalakan di DAS Mahakam, Provinsi
Kalimantan Timur. Tidak diterbitkan.
______. 1991. Tebang habis cara jalur, intensitas samp ling, tabel isi pohon, faktor eksploitasi dan
angka pengaman serta faktor konversi di hutan alam pinus Daerah Takengon di Provinsi
Aceh yang dikelola secara tebang habis dengan permudaan buatan. Laporan Kerjasama
Penelitian antara Badan Litbang Kehutanan dengan PT Alas Helau. Tidak diterbitkan.
_______. 1995. Penentuan faktor eksploitasi di konsesi hutan PT Mangole Timber Producer di
Maluku. Kerjasama Penelitian antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan &
Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT Mangole Timber Producer. Ttidak diterbitkan.
_______. 1997. Penelitian faktor eksploitasi (FE) PT Putraduta Indah Wood, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Dati I Jambi. Kerjasama Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT Putraduta Indah
Wood. Tidak diterbitkan.
KOICA. 2001. The Feasibility Study on Small Diameter Log Resources Development in
Indonesia. Final Report. Korea International Cooperation Agency and Korea Forest
Research Institute. Seoul.
Oleh:
Ngakan Timur Antara* dan Susi Sugesty**
Balai Besar Pulp dan Kertas
E-mail: *ngakan_ta@yahoo.com; **sugestyms@yahoo.com
ABSTRAK
Kata kunci: Efisiensi sumberdaya, ekolabel, green industry, industri pulp dan kertas
I. PENDAHULUAN
Kemajuan dan perkembangan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pembangunan
industrinya. Salah satu jenis industri yang dapat menunjang pembangunan Indonesia adalah
industri selulosa yang mengolah bahan baku serat alam menjadi produk pulp dan kertas serta
rayon. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan baku pulp kertas dan pulp rayon yaitu kayu dan
non-kayu seperti jerami/merang, ampas tebu, bambu, batang jagung dan lainnya.
WWF (World Wildlife Fund ) pernah menyatakan bahwa kertas adalah produk berharga yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya. Pada dasarnya kertas dibuat
dari bahan terbarukan, dan kertas merupakan bagian yang penting dari kehidupan modern,
membantu meningkatkan pendidikan dan demokrasi di seluruh dunia. Saat ini industri pulp dan
kertas telah menggunakan kayu dari hutan lestari yaitu hutan tanaman industri (HTI). HTI yang
dikelola secara lestari dan mampu berperan positif terhadap masyarakat sekitar (CSR) dan HTI
yang menyerap karbon, dapat membantu mengurangi (mitigasi) pemanasan global.
Indonesia memiliki kawasan hutan produksi yang sangat luas, sekitar 59 juta hektar yang
berpotensi menyediakan bahan baku kayu bagi industri secara berkesinambungan. Iklim tropis,
kondisi tanah dan topografi Indonesia memungkinkan pohon tumbuh dengan cepat (2-3 kali lebih
cepat dibandingkan daerah non tropis). Posisi geografis Indonesia sangat strategis, berdekatan
dengan pasar yang sedang tumbuh pesat. Pasar domestik cukup besar dan akan terus tumbuh
karena konsumsi per kapita masih relatif rendah dan sumber daya manusia cukup tersedia.
Saat ini industri kertas banyak beralih menggunakan kertas bekas, walaupun tidak
mengurangi peran kayu dari HTI. Pada tahun 2010 Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas
no. 9 dunia (Menurut APKI, 2011). Kertas bekas merupakan sumber bahan baku yang penting
disamping serat virgin. Proses daur ulang kertas dapat menurunkan penebangan hutan, konsumsi
energi, emisi polutan dan problem pengolahan limbah. Satu ton pembuatan kertas dari serat daur
ulang dapat menghemat 25-30 m3 air, 20-30 pohon, sekitar 4000 kWh listrik dan menurunkan
polusi lingkungan karena hanya sedikit menggunakan bahan kimia jika dibandingkan pembuatan
kertas dari serat alami.
Industri pulp dan kertas menuju Green industry di Indonesia diarahkan pada efisiensi
sumber daya yaitu bahan baku, bahan bakar minyak dan batubara, air serta dalam mengelola
produksinya menggunakan konsep 3R (Recycle, Reduce and Re-use) sehingga produk yang
dihasilkan menjadi produk yang ramah lingkungan, keuntungan lainnya yaitu dapat memangkas
biaya produksi. Pada proses produksi juga dilakukan efisiensi pemulihan bahan kima kembali di
chemical recovery plant, penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunaan
bahan baku kertas bekas, pemanfaatan kembali air pasi (white water), efisiensi energi refining dan
drying, dan pengelolaan limbah cair, udara dan padat termasuk pemanfaatan sludge/limbah padat.
Penggunaan bahan baku kayu yang cepat tumbuh dari HTI dan pemanfaatan pinchips dapat
menghemat bahan baku pulp, selain itu dengan memanfaatkan buangan gas seperti NCG (Non-
Condensable dapat menghemat bahan bakar. Dengan konsep pengelolaan hutan yang
berkelanjutan dan proses produksi yang ramah lingkungan untuk menghasilkan eco-product,
perusahaan tidak hanya mampu meningkatkan daya saing industrinya, namun sekaligus juga ikut
berperan dalam menurunkan emisi gas karbon dan berkontribusi nyata dalam upaya mitigasi
perubahan iklim.
Sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, beberapa Industri pulp dan kertas sudah
mempunyai sertifikat produk ekolabel. Ekolabel adalah label, tanda atau sertifikasi pada suatu
Industri pulp di Indonesia, sebagian besar menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari
(HTI). Filosofi HTI dikembangkan dari lahan hutan yang sudah rusak akibat eksploitasi yang
berlebihan di masa lalu, untuk kemudian ditanami kembali (reforestrasi). Sebagian hasil kayunya
dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, namun sebagian besar lainnya masih merupakan tanaman
hutan atau dengan kata lain pengelolaan HTI diatur sedemikian rupa berkelanjutan mengikuti
kaidah-kaidah kelestarian (Sustainable Forest Management). Pada Tabel 3 disajikan alokasi
pasokan kayu untuk industri pulp sampai tahun 2025 yaitu sebesar 68 juta m3.
Konsumsi Konsumsi
No. Negara No. Negara
(kg/kapita/tahun) (kg/kapita/tahun)
1 Finlandia 368,6 10 Malaysia 110,8
2 Amerika Serikat 288,0 11 China 54,8
3 Jepang 245,5 12 Thailand 62,1
4 Kanada 206,0 13 Brazil 42,2
5 Italia 204,6 14 Indonesia 26,0
6 Taiwan 204,0 15 Mesir 20,0
7 Inggris 199,5 16 Philippina 17,4
8 Singapura 197,7 17 India 7,7
9 Perancis 182,9 18 Afganistan 0,2
Sumber: Roadmap Industri Pulp dan Kertas, Kementerian Perindustrian (2009)
Seiring dengan makin terbatasnya pasokan kayu dan makin tingginya kesadaran dunia
terhadap masalah lingkungan, maka pada dekade terakhir berkembang pesat penggunaan kertas
bekas sebagai bahan baku industri kertas (daur ulang). Di samping itu, pemakaian kertas bekas
sebagai bahan baku industri juga dipicu oleh harganya yang relatif murah serta adanya dukungan
teknologi yang dapat dipakai untuk membuat kertas dengan kualitas yang lebih baik dan adanya
tekanan internasional di bidang lingkungan hidup. Kebutuhan kertas bekas untuk industri kertas
nasional pada saat ini sekitar 6 juta ton per tahun, sekitar 3 juta ton dipasok dari pengumpulan
kertas bekas lokal, sisanya sekitar 3 juta ton masih diimpor.
Di samping itu juga akan berkembang penggunaan bahan baku non-kayu, yang potensinya
besar antara lain adalah limbah perkebunan/pertanian seperti: tandan kosong kelapa sawit, bambu,
jerami, abaca dan kenaf. Pada Tabel 5 dapat dilihat rendemen serat dan pulp yang dihasilkan per
ton per tahun dalam 1 hektar.
Indonesia pada umumnya mengimpor pulp serat panjang dan dissolving pulp (pulp
rayon). Impor pulp sekitar 1,0 juta ton pada tahun 2009 dan meningkat sekitar 0,2 juta ton
menjadi 1,2 juta ton pada tahun 2010, sedangkan untuk impor kertas umumnya kertas bekas dan
kertas khusus sekitar 0,4 juta ton pada tahun 2009 dan sedikit meningkat pada tahun 2010 sekitar
0,5 juta ton.
Di Indonesia, sumber penghasil emisi GRK diklasifikasikan dalam beberapa kegiatan, yaitu
dari sektor kehutanan dan tata guna lahan, sektor energi, sektor industri, sektor pertanian dan
sampah perkotaan. Indonesia sebagai negara berkembang ikut berperan serta meratifikasi protokol
Kyoto melalui UU No. 17 Tahun 2004 yang berkomitmen menurunkan emisi CO 2. Indonesia
membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) yang menetapkan komitmen untuk menurunkan emisi
CO2 sebesar 26% dengan pendanaan sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan donor internasional.
Komitmen tersebut disampaikan oleh Presiden pada pertemuan G20 di Pittsburg, USA pada
November 2009 dan COP-15 pada Desember 2009. Terkait dengan penggunaan energi,
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2009 tentang
konservasi energi yang mengharuskan penghematan energi di atas 6000 TOE (ton setara minyak)
per tahun, pada industri yang tergolong mengkonsumsi energi tinggi.
Dalam rangka implementasi PP No 70 tahun 2009, Kementerian Perindustrian telah
melakukan kerjasama dengan ICCTF untuk tahun 2010-2011. Salah satunya adalah program
penyusunan Guidelines Technology Map for Pulp and Paper Industry dan Guidelines Technology
Carbon Calculationfor Pulp and Paper Industry, yang disusun oleh Balai Besar Pulp dan Kertas
(BBPK) dalam rangka mendukung program implementasi konservasi energi dan reduksi emisi
CO2 di Industri Pulp dan Kertas.
Gambaran umum tentang teknologi proses pembuatan pulp menunjukkan bahwa proses
kimia memiliki sifat dan kualitas produk lebih baik dari proses mekanik dan semikimia, sehingga
dapat digunakan untuk bahan baku kertas bermutu tinggi. Proses kimia mendominasi hampir
diseluruh dunia, karena dari pulp ini dapat dibuat berbagai jenis kertas diantaranya adalah kertas
budaya. Sembilan puluh persen dari berbagai jenis proses kimia didominasi oleh proses kraft.
Digester Slaker/
Causticizer
White
Liquor Green Liquor
Blow Tank
Direct Contact
Evaporator/ Flue
Black
Recovery Furnace Gas
Washing/ Liquor
Filtering
Multiple-
Condensed
effect
Water/ Vapor
Screening Evaporator
Screen
Rejects
Bleaching Water/
Chemicals
Washing/
Screening White
water
Refiner
Pulp
Clean/Screen Paper Making
White water
Pulping Process
Steam Listrik
No Proses
(GJ/ADT) (kWh/ADT)
1. Persiapan bahan baku - 50
2. Pemasukan serpih ke sistem digester - 20
3. Pemasakan dalam digester 1,7 40
4. Pencucian dan penyaringan pulp - 30
5. Delignifikasi oksigen 0,5 75
6. Pemutihan pulp 2,3 100
7. Pulp machine 2,3 141
8. Evaporator 3,1 30
9. Power plant 2,3 60
10. Lime kiln dan rekaustisasi - 50
11. Penyediaan air panas - 32
12. Pengolahan air dan air limbah - 30
13. Lain-lain - 30
Total konsumsi 12,2 688
Proses pembuatan kertas adalah mencampurkan serat dan aditif dengan air. Pembuatan
kertas umumnya menggunakan energi yang sangat besar dan diperoleh dari power plant yang
biasanya menggunakan bahan bakar fosil. Penghematan energi pada proses pembuatan kertas
dapat dilakukan pada setiap tahap proses. Konsumsi air yang cukup besar untuk pembentukan
lembaran kertas akan dikeluarkan sebagai limbah cair. Proses pemisahan air ini berlangsung
dalam 3 (tiga) tahap, yakni:
1. Secara gravitasi pada unit forming di wire part;
2. Secara mekanis pada unit pressing di press part;
3. Secara termal pada unit drying di dryer part.
Unit drying merupakan tahap dewatering akhir yang dilakukan dimana air tidak dapat lagi
dikeluarkan dari lembaran kecuali dengan cara menguapkannya. Energi termal yang digunakan
berupa steam bertekanan rendah hingga sedang yang disuplai kedalam sejumlah silinder dryer
yang berputar. Panas selanjutnya ditransfer ke permukaan luar silinder dimana lembaran
ditempelkan. Kadar air akhir dalam lembaran kertas sangat menentukan sifat kertas yang
dihasilkan dan juga kinerja unit drying
Dilihat dari jumlah air yang dikeluarkan, unit forming merupakan operasi yang paling tinggi
mengeluarkan air dan unit drying paling sedikit mengeluarkan air. Proses drying merupakan suatu
tahapan penting didalam pengembangan sifat lembaran kertas/karton yang dihasilkan dan
mengkonsumsi energi paling tinggi (paling mahal) dibanding dua tahap sebelumnya. Kocurek
memberikan gambaran alokasi biaya operasi pengeluaran air di mesin kertas adalah sebagai
berikut: unit forming sekitar 10%; unit pressing 12% dan unit drying 78%.
Main Main process Type and role of energy in each process Potential for
processes units energy saving
Stock Slushing Up to 60 kWh power/t to break up dry pulp Moderate
preparation
Cleaning/ The amount of pumping energy and stock Low for virgin
screening heating depend on the number of stage required fibre
and they type of fibre (recycled fibre needs
more than virgin); About 5 kWh/t is used for
virgin stock
Refining Very energy intensive. Electrical energy is High
mostly used to drive the rotor in the refiner.
Depends strongly on the paper properties to be
achieved: 100 - 3,000 kWh/t.
Wet end Forming and It uses large amounts of electricity for machine Moderate
draining drive and vacuum processes. Energy efficient
design of the headbox and twin wire machine
leads to power savings; About 70 kWh/t is used
for vacuum systems (varies with grade and
porosity)
Dry end Pressing It is not energy intensive in itself but efficient Moderate
dewatering can give very large energy savings
in the dryers
Drying Apart from refining it is the most energy Very high
intensive process in papermaking. Mostly heat
energy
Size press and Heat energy for after size press drying Low
2nd dryer section
Calendering Electrical energy for machine drives and Low
pressing
Coating Coating and Electrical and heat energy for re-drying Low
dryer
Sumber: EU-China, 2009.
IV. PENUTUP
Green industry bukan merupakan cost tetapi merupakan capital bagi industri. Untuk
mendorong gerakan green industry di Indonesia, pemerintah merencanakan pemberian insentif
pajak tax allowance dan tax holiday bagi industri terutama yang mampu menyerap banyak tenaga
kerja (MS Hidayat dalam Seputar Indonesia, 2011).
Dalam rangka mendukung program implementasi konservasi energi dan reduksi emisi CO2
di Industri Pulp dan Kertas (IPK). Kementerian Perindustrian bekerjasama dengan Indonesian
Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah menyusun pedoman pemetaan teknologi di industri
pulp dan kertas.
Secara keseluruhan penghematan energi di IPK dapat dilakukan dengan konservasi energi
pada setiap unit proses yaitu pemasakan bahan baku, pemutihan pulp, Chemical Recovery, stock
preparation, mesin kertas, dan power plant serta pengelolaan limbah. Selain itu industri pulpdapat
menyediakan sendiri energi yang diperlukan untuk menggerakkan operasi pabrik dari Chemical
Recovery Plant.
Penggunaan bahan baku HTI dan pemanfaatan pinchips dapat menghemat bahan baku pulp.
Teknologi pembuatan pulp dengan delignifikasi berlanjut ke arah perolehan bilangan kappa
rendah dimaksudkan agar dapat menerapkan teknologi pemutihan yang berwawasan lingkungan
sehingga dapat mengurangi kadar AOX/dioksin. Selain itu memanfaatkan buangan gas seperti
NCG dapat menghemat bahan bakar. Pada proses pembuatan kertas, unit stock preparation
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Han Roliadi, Rena M. Siagian, Dian Anggraini Indrawan dan Rosi M. Tampubolon
Staf Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, P.O.Box 182, Bogor 16610
E-mail: elizabethdianreza@gmail.com
ABSTRAK
Papan serat berkerapatan sedang (MDF) sebagai salah satu produk rekonstruksi kayu
memiliki banyak kegunaan untuk antara lain bahan isolasi, dinding penyekat, produk furniture,
bagian peralatan listrik, bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat.
Untuk Indonesia, saat ini ketersediaan kayu hutan alam tropis sebagai bahan baku konvensional
industri pengolahan MDF semakin terbatas dan langka. Akibatnya, produksi papan serat
Indonesia saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan domestik. Oleh sebab itu perlu dicari sumber
alternatif bahan serat berligno-selulosa lain untuk MDF, di antaranya yang cukup potensial adalah
limbah pembalakan kayu hutan tanaman industri (HTI). Untuk memperbaiki sifat dan
meningkatkan daya guna MDF sehingga memenuhi persayaratan standar, bahan aditif dapat
ditambahkan selama proses pembuatannya, seperti perekat tanin-formaldehida (TF), perekat urea
formaldehida (UF), dan arang aktif. Terkait dengan uraian tersebut telah dilakukan percobaan
pembuatan MDF menggunakan bahan baku limbah pembalakan kayu HTI jenis Eucalyptus
hybrid, dicampur dengan bahan aditif tertentu (perekat TF, UF, dan arang aktif).
Limbah pembalakan dibuat menjadi serpih, lalu diolah menjadi pulp menggunakan proses
semi-kimia soda panas terbuka pada kondisi: konsentrasi NaOH 8%, nilai banding bahan baku
serpih dengan larutan pemasak 1 : 8 (b/v), dan suhu pemasakan maximum 100qC yang
dipertahankan selama 3 jam. Pembentukan MDF menggunakan cara basah dari campuran limbah
pulp pembalakan HTI dan arang aktif dengan komposisi (b/b) 100% + 0%, 97,5% + 2,5%, 95% +
5%, 92,5% + 7,5%, dan 90% + 10%. Sebelum dibentuk lembaran, pada campuran tersebut
ditambahkan dua macam perekat (TF dan UF) secara terpisah masing-masing 5%.
Rata-rata rendemen pulp sebesar 81,8%, dan konsumsi alkali 7,12%. Produk MDF
berperekat TF memiliki sifat kekuatan lebih tinggi dan penambahan panjang lebih rendah
dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Peningkatan porsi campuran arang aktif berakibat
penurunan sifat kekuatan dan rekat internal (IB), menurunkan pengembangan tebal, tetapi
meningkatkan kadar air dan penambahan panjang MDF. Dibandingkan dengan persyaratan JIS,
sifat MDF yang banyak memenuhi adalah dengan penggunaan perekat TF. Diharapkan yang
belum memenuhi syarat dapat diperbaiki dengan penambahan lebih banyak bahan perekatdan/atau
penggunakan cross-linking agent. MDF yang paling menjanjikan adalah MDF dengan perekat TF
pada porsi campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5% dan 95% + 5%, dan
MDF dengan perekat UF dari campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97.5%+2.5%, yang
mengindikasikan bahwa kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF.
Kata kunci: Arang aktif, kayu hutan alam, limbah pembalakan kayu HTI, MDF, perekat
TF dan UF, sifat fisik dan kekuatan
Papan serat didefinisikan sebagai salah satu produk panel hasil rekonstitusi kayu atau bahan
berserat ligno-selulosa lain. Papan serat tersebut dibuat dengan pertama-tama menceraiberaikan
kayu atau bahan berserat lain menjadi serat-serat terpisah (pulp). Selanjutnya, serat-serat terpisah
tersebut dibentuk menjadi lembaran papan serat dengan bantuan media air (proses pembentukan
basah) atau media udara (proses kering). Ikatan antar serat bisa berasal dari bahan kimia serat
sendiri (lignin termoplastis). Guna memperbaiki sifat-sifat papan serat (seperti kekuatan,
ketahanan air, dan ketahanan api), bahan lain bisa ditambahkan selama pembentukan lembaran
(aditif internal) atau sesudah lembaran terbentuk (aditif external/finishing), seperti perekat
thermosetting, lilin, bahan laminasi/coating, bahan pengawet, bahan tahan api, dan perlakuan
minyak (oil tempering). Salah satu keuntungan papan serat adalah dapat dibuat dari kayu bermutu
rendah, limbah kayu, atau kayu (bahan berserat ligno-selulosa lain) berukuran kecil. Papan serat
banyak digunakan untuk bahan isolasi (peredam suara), dinding penyekat, produk furniture,
bagian peralatan listrik (radio, televisi), bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan
hingga berat.
Di Indonesia arti penting kegunaan papan serat tercermin dari kecenderungan peningkatan
ekspor dan impor papan serat selama periode 2004-2008. Selama periode tersebut expor papan
serat meningkat dari 53,4 juta kg menjadi 102,2 juta kg, sedangkan impor pada periode yang sama
berkisar 180,0-234,8 juta kg (Anonim, 2008). Terlihat bahwa pada periode tersebut (2004-2008)
impor papan serat Indonesia jauh melebihi ekspornya. Ini mengindikasikan bahwa produksi papan
serat Indonesia dalam negeri saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan domestiknya. Dewasa ini
bahan baku pembuatan papan serat di Indonesia menggunakan bahan baku kayu karet tua (yang
sudah tidak produktif lagi menghasilkan getah lateks), jenis tertentu kayu hutan rakyat (HR), dan
kayu hutan tanaman (HTI) (Anonim, 2007; 2009).
Anjuran menggunakan kayu hutan tanaman kayu sisa sebagai bahan baku papan serat
mengacu pada kebijakan soft landing Kementerian Kehutanan, di mana salah satu pokok isinya
adalah mengurangi peran kayu hutan alam sebagai pemasok industri perkayuan, termasuk industri
pulp/kertas/papan serat, dan mengganti secara bertahap dengan bahan serat berligno-selulosa lain,
seperti kayu HR atau HTI dan kayu karet tua (Pasaribu dan Roliadi, 2006), mengingat sumber
persediaan kayu hutan alam semakin langka dan terbatas. Di samping itu adanya illegal logging
dan pengrusakan hutan alam untuk tujuan konversi (seperti pemukiman penduduk, perkebunan,
dan pendirian kawasan industri), berakibat laju kerusakan hutan mencapai 2,87 juta ha/tahun
(Anonim, 2006).
Sejalan dengan laju pertambahan penduduk Indonesia di masa mendatang, diperkirakan
kebutuhannya pada produk kayu (termasuk papan serat) akan meningkat pula. Dikhawatirkan,
bahwa kesenjangan (defisit) antara kemampuan produksi papan serat Indonesia dan kebutuhan
domestiknya yang sudah terjadi saat ini akan semakin parah lagi di masa mendatang. Hal ini
mencetuskan gagasan penggunaan sumber serat berligno-selulosa lain untuk papan serat. Sumber
lain yang dapat disarankan untuk hal tersebut adalah limbah kayu hutan tanaman. Potensi limbah
pembalakan hutan tanaman diperkirakan sebesar 8-10% dari potensi kayu HTI yang ditanam
berdasarkan keseluruhan jenis dan rotasi yang diterapkan yaitu sekitar 150-300 juta m3 kayu/ha.
Atas dasar itu potensi limbah pembalakan HTI diperkirakan mencapai 1,5-3,0 juta m3/tahun.
II. METODOLOGI
B. Sifat Fisik-Mekanik
Hasil analisa keragaman terhadap data sifat fisik dan mekanik MDF (Tabel 1, Tabel 1a, dan
Tabel 2) menunjukkan bahwa pengaruh interaksi interaksi antara faktor komposisi campuran
(limbah dan arang aktif) dengan faktor macam bahan perekat juga nyata. Penelaahan lebih lanjut
terhadap sifat tersebut dilakukan dengan uji BNJ (Tabel 2). Kerapatan MDF dengan perekat tanin
formaldehida (TF), yaitu 0,641-0,730 gram/cm3, cenderung lebih rendah dari pada dengan perekat
urea formadehida, yaitu 0,633-0,772 g/cm3 (Tabel 2). Di duga karena tanin (polifenol) merupakan
makromolekul, sedangkan urea memiliki dimensi lebih kecil dari pada tanin. Dengan demikian
diindikasikan pula bahwa luas permukaan partikel perekat/polimer TF jauh lebih kecil
dibandingkan polimer UF (Blomquist et al., 1981; Tsoumi, 1993). Hal tersebut berakibat
intensitas berkontak (adesi) antara partikel TF dengan permukaan serat (pulp MDF) lebih rendah
dibandingkan antara partikel UF dengan permukaan serat. Dengan perkataan lain, diduga dalam
struktur ikatan dan anyaman serat dalam MDF dengan perekat TF lebih banyak rongga kosong
(kurang kompak/padat) dibandingkan dalam MDF dengan perekat UF.
Lebih lanjut, kerapatan MDF yang menggunakan perekat TF cenderung menurun dengan
meningkatnya porsi arang aktif. Diduga, semakin tingginya porsi arang aktif tersebut berakibat
lebih banyak terjadi interfere terhadap ikatan dan anyaman serat dalam struktur MDF, dan juga
interfere terhadap ikatan antara perekat TF dengan permukaan serat pulp MDF. Untuk dengan
perekat UF, peningkatan porsi arang aktif hingga 2,5% mula-mula mengakibatkan kerapatan
MDF, dan selanjutnya menurun. Diduga sifat higroskopis serat MDF akibat peningkatan porsi
arang tersebut berakibat lebih efisiennya penyebaran perekat UF pada permukaan serat dan
akibatnya menyempurnakan ikatan/anyaman antar serat (struktur serat MDF lebih kompak).
Selanjutnya, porsi arang aktif di atas 2,5%, berakibat pula interfere terhadap ikatan dan anyaman
antar serat dan terhadap ikatan perekat UF dengan permukaan serat, seperti halnya terjadi pada
1. Rendemen pulp semi-kimia soda panas terbuka dari limbah pembalakan kayu hutan tanaman
jenis Eucalyptus hybrid sebesar 81,8%, dengan konsumsi alkali 7,12%. Rendemen tersebut
terletak dalam selang yang umum untuk pengolahan pulp semi-kimia (60-85%).
2. Konsumsi alkali (NaOH) sebesar 7,12% mengindikasikan bahwa dari konsentrasi awal NaOH
(8%), sekitar 89% digunakan untuk pemasakan serpih limbah pembalakan tersebut menjadi
pulp.
3. MDF dengan perekat TF memiliki sifat kekuatan (MOR dan MOE) lebih tinggi dan
penambahan panjang lebih rendah dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Akan tetapi,
dalam hal pengembangan tebal dan keteguhan rekat internal (IB), keadaan untuk MDF dengan
perekat TF lebih buruk dibandingkan dengan perekat UF (pengembangan tebal lebih besar dan
IB lebih rendah). Peningkatan porsi campuran arang aktif terhadap limbah pembalakan
berakibat penurunan sifat kekuatan dan IB, meningkatkan kestabilan dimensi pada arah tegak
lurus lembaran (menurunkan pengembangan tebal), tetapi meningkatkan kadar air dan
penambahan panjang MDF.
4. Dibandingkan dengan persyaratan JIS, sifat MDF yang banyak memenuhi adalah dengan
perekat TF. Diharapkan yang tidak memenuhi tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan
lebih banyak bahan perekat (TF atau UF) dan/atau penggunakan cross-linking agent.
5. Berdasarkan telaahan sifat fisik dan mekanik, MDF yang berprospek paling menjanjikan dan
banyak memenuhi persyaratan JIS adalah MDF dengan perekat TF pada porsi campuran pulp
limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5% dan 95% + 5%, dan MDF dengan perekat UF
dari campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5%. Telaahan tersebut
mengindikasikan pula bahwa kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF,
sehingga perekat TF (dari bahan terbarukan) cukup berprospek menggantikan UF (dari bahan
tidak terbarukan).
Dengan tersusunnya makalah ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebesarnya
dan penghargaan setingginya pada Ibu Ir. Rena M. Siagian, MS, yang telah melakukan
pencermatan, memberikan petunjuk dan pengarahan selama melaksanakan kegiatan terkait dengan
tulisan ini serta Ibu Setyani B. Lestari dan Ibu Yoswita (Teknisi di Lab Teknologi Serat Pusat
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Fiberboard. Japanese Industrial Standard (JIS) A 5905. Tokyo. Japan.
Anonim. 2006. Kayu Hutan Alam Distop Total: Laju Degradasi Mencapai 2,87 Juta Hektar per
Tahun. Harian Kompas, tanggal 28 April 2006. Hlm. 22. Jakarta.
Anonim. 2009. Masari Board. Environmemtally Friendly Products. PT. Masari Dwisepkat Fiber.
Jakarta Karawang.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Blomquist, R.F., A.W. Christiansen, R.H. Gillespe dan G.E. Myers. 1981 . Adhesive Bonding of
Wood and Other Structural materials. Forest Products Laboratory, USDA Forest Service in
Cooperation with the University of Wisconsin - Extension. Madison, Wsiconsin.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI). Departemen Kehutanan. Jakarta.
Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2006. Kajian potensi kayu pertukangan dari hutan rakyat pada
beberapa kabupaten di Jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil Hutan 2006: Kontribusi Hutan
Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan, tanggal 21 September 2006. Pusat
Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Pasaribu, R.A., Dulsalam, H. Roliadi, dan R.M. Siagian. 2006. Penetapan faktor konversi bahan
baku serpih beberapa jenis kayu HTI dan limbah pembalakan hutan tanaman. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Pusat Litbang Hasil Hutan. 2007. Hasil Studi Lapangan Pengukuran dan Pengujian Kayu Bulat
Berdiameter Kecil (KBK). Laporan Final. Tim Studi Pusat Litbang Hasil Hutan dengan
Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan. Pusat Litbang Hasil Hutan.
Bogor.
Saptadi, D. 2009. Kualitas papan isolasi dari campuran kayu mangium dan arang. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan, 27 (4): 291-302. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry: Fundamental and Applications. Academic Press, Inc.
Orlando San Diego New York L ondon Sydney Tokyo.
Snedecor, G.W. and W.G. Cochran. 1980. Statistical Methods. The Iowa State College Press.
Ames. Iowa.
Tsoumi, G. 1993. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, and Uses. Van
Nostrand Reinhold. New York.
Oleh:
Adi Santoso dan Jamaludin Malik
Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610
Telp. 0251-8633378; Fax. 0251-8633413
E-mail: asanto10@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
Perekat merupakan salah satu bahan utama yang amat penting (2060% dari seluruh biaya
produksi) dalam industri kayu majemuk sampai saat ini, sebagian besar perekat yang digunakan di
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri kayu tersebut adalah perekat sintetis jenis termoset
seperti: Urea formaldehida (80%), Phenol formaldehida (10%) dan Melamin formaldehida (10%).
Untuk produk kayu keperluan struktural atau bangunan dan perkapalan masih menggunakan
perekat impor dari Belgia dan Jepang, yaitu perekat dingin tipe WBP dari jenis phenol resorsinol
formaldehida (Phenol Resorcinol Formaldehyde, PRF) dan resorsinol formaldehida (Resorcinol
Formaldehyde, RF). Selain itu juga digunakan jenis perekat termoplastik termoset yang berbahan
baku isosianat (epoksi), poliuretan atau polivinilasetat dan perekat hotmelt (Santoso, 2011).
Menurut data statistik (BPS, 2010), pada tahun 2008 Indonesia mengimpor perekat jenis
termoset seperti: Urea formaldehida: 201,9 ton (Rp2,5 milyar), Phenol formaldehida: 56,5 ton
(Rp30,9 milyar) dan Melamin formaldehida: 353,8 ton (Rp21,8 milyar). Sementara jenis perekat
termoplastik termoset: 2.214,5 ton (Rp28,6 milyar), jenis perekat sintetis lainnya: 1.336,5 ton
(Rp38,3 milyar) dan jenis perekat alami: 193,2 ton (Rp3 milyar). Jenis-jenis perekat tersebut di
atas sebagian besar merupakan perekat sintetis yang berasal dari hasil pengolahan minyak bumi di
mana sumber dayanya bersifat tidak dapat dipulihkan (non renewable). Penggunaannya juga
menyebabkan pencemaran dan menghasilkan emisi gas. Untuk itu perlu ditemukan solusi
alternatif pengganti bahan baku perekat yang bersumber dari dalam negeri dan bersifat dapat
dipulihkan (renewable) serta ramah lingkungan.
Upaya penelitian penggunaan bahan perekat berbasis biomassa didasarkan pada tinjauan
teoritis bahwa dalam materi tersebut selain terdiri dari lignoselulosa juga terkandung komponen
kimiawi yang merupakan campuran senyawa polifenol sehingga reaksinya dengan formaldehida
mirip dengan reaksi pembuatan phenol formaldehida (PF). Contoh nyata salah satu hasil
penelitian ini adalah penemuan perekat berbahan dasar alami berbasis ekstrak tanin cair dari kulit
kayu A. mangium (Santoso, 2005), yang mendorong dilakukannya penelitian sejenis untuk
mendapatkan bahan alternatif perekat alami dari pohon/kayu merbau (Intsia spp).
Kayu merbau sebagai salah satu jenis kayu komoditi ekspor Indonesia, mudah dikenal dari
seratnya yang berwarna merah kecokelatan, memiliki keunggulan dalam kekerasan dan tektur
halus kayunya. Kegunaanya cukup luas sebagai property karena sifat fisik dan mekanik yang
dimilikinya membuat kayu merbau menjadi sebuah simbol eklusifitas dalam interior
(Martawijaya, 2005). Kelemahan kayu ini adalah dalam keadaan hujan atau lembab,
Ekstrak cair kayu merbau berwarna merah kecokelatan mirip dengan larutan fenol atau
resorsinol. Derajat kemasaman (pH) 4,8 dengan rendemen ekstrak padatannya 5,59% (b/b). Hasil
identifikasi dengan spektofotometer UV-Vis pada O= 273,50 nm, menunjukkan spektrum senyawa
ekstrak cair limbah kayu merbau ini identik dengan resorsinol (Gambar 1), dengan kadar
kemurnian 78,03% (b/b). Perolehan kadar resorsinol tersebut cukup besar dan dapat bernilai
komersial karena nilainya ada dalam kisaran 70-80% (Palfreyman, 1998). Berdasarkan
perhitungan, dari 1 m3 kayu merbau dapat diperoleh 2,55 kg resorsinol.
(a) (b)
Gambar 1. Spektrum standar resorsinol (a) dan ekstrak kayu Merbau (b)
Hasil analisis lebih lanjut dengan Py-GCMS (Gambar 2) menunjukkan ekstrak cair limbah
kayu merbau mengandung senyawa fenolik yang didominasi oleh resorsinol (1,3-benzenediol
(CAS) resorcin), dengan waktu retensi 22,187 menit. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
resorsinol yang terkandung dalam ekstrak cair limbah kayu merbau mencapai 55%, bahkan
berpotensi lebih besar (73%) bila 1,2,3-Benzenetriol (CAS) 1,2,3-Trihydroxybenzene dapat berubah
menjadi 1,3-benzenediol atau 1,3-dihidroksibenzene dengan melepas satu gugus OH (Malik dan
Santoso, 2009).
Hasil analisis gugus fungsi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah (FTIR)
memperlihatkan ekstrak cair limbah kayu merbau mengandung senyawa yang didominasi senyawa
fenolik yang ditunjukkan oleh adanya puncak pita serapan di daerah 3.134 3.366 cm-1 untuk
gugus-OH dan 1.510 1.693 cm-1 untuk aromatik (Gambar 3).
100
%T
90
80
707.89
975.03
628.80
841.94
1510.29
70
1088.84
1452.42
1342.48
1304.87
1114.87
60
1199.74
2943.42
1157.31
1029.04
50
1619.27
3134.38
40
3361.98
30
20
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
E0 1/cm
Berdasarkan hasil analisis dengan difraksi sinar-X diketahui derajat kristalinitas senyawa
yang terkandung dalam ekstrak cair kayu merbau 20,86% (Gambar 4).
Dari hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 5) diperoleh suhu transisi
fase pelelehan ekstrak cair kayu kayu merbau ini 110,89oC dengan suhu dekomposisi/disosiasi
308,01oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair kayu merbau ini relatif sama dengan suhu
transisi fase pelelehan resorsinol, yaitu 111,59 oC (Astu, 2005).
Hasil analisis dengan IV-meter intrinsic viscosity diperoleh data bobot molekul dari ekstrak
cair limbah kayu merbau: 753.
Ekstrak cair kayu merbau yang didominasi senyawa resorsinol dapat direaksikan dengan
formaldehida dan aditif (katalis), membentuk polimer dan/atau kopolimer untuk aplikasi perekat
kayu.
105
%T
90
1045.44
3117.98
75
2955.00
2716.78
3220.21
60
45
3431.42
2831.55
30
775.40
15
1364.66
1599.02
0
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
ET0 1/ cm
Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 7)
yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda yang didominasi turunan polimer
senyawa fenolik yaitu: 5-methoxy-2,3-dimethyl(CAS)-3-methoxy-5,8-dimethylphenol dengan
waktu retensi 24,747 menit yang bila dibandingkan dengan puncak-puncak pita ekstrak kayu
merbau sendiri yang dominan mengandung resorsinol (1,3-benzenediol atau 1,3-
dihidroksibenzene), dengan waktu retensi 22,187 menit.
Dari hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 9) diperoleh suhu transisi
fase pelelehan produk reaksi ekstrak cair limbah kayu merbau dengan formaldehida: 111,08 oC
dengan suhu dekomposisi/disosiasi 299,65oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau
ini meskipun relatif sama dengan suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair limbah kayu merbau
(110,89o C), namun suhu dekomposisi/disosiasinya lebih rendah daripada ekstrak cair kayu
merbau (308,01oC).
100
%T
90
1019.40
1469.78
80
2830.59
778.29
70
3110.27
60
50
1357.91
40
3425.64
30
1586.48
20
403 13
10
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
E4 1/cm
Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 11)
yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda, yang didominasi turunan kopolimer
senyawa resorsinol, yaitu: 1,3-benzenediol, 4,5-dimethyl-(CAS)-4,5-dimethylresorcinol dengan
waktu retensi 24,378 menit yang berbeda dengan puncak-puncak pita turunan polimer fenolik
Identifikasi lebih lanjut dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung
dalam produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini memiliki derajat kristalinitas 23,32%
(Gambar 12), lebih mendekati nilai derajat kristalinitas ekstrak cair kayu merbau (20,86%), yang
mengindikasikan terbentuknya kopolimer dari resorsinol.
Hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 13) menunjukkan suhu
transisi fase pelelehan produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini: 115,31 oC dengan suhu
dekomposisi/disosiasi:468,77oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau ini lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu transisi fase pelelehan produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau
(111,08o C) yang suhu dekomposisi/disosiasinya: 299,65oC.
Terbentuknya kopolimer lebih teridentifikasi lagi dengan alat IV-meter intrinsic viscosity yang
menetapkan bobot molekul produk tersebut: 49.658, jauh lebih besar dibanding dengan bobot
molekul produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau (9.308).
Aplikasi produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau pada kayu lamina sengon: 44,84
56,91 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 80 - 100% (uji kering), dan 29,62 33,43kg/cm2 dengan
kerusakan kayu 20-75% (uji basah). Nilai keteguhan rekat produk perekatan ini lebih tinggi
dibanding dengan produk sejenis yang menggunakan produk polimerisasi ekstrak cair kayu
merbau. Emisi formaldehida dari kayu lamina sengon yang menggunakan perekat ini: 0,03 mg/L
yang tergolong F**** (klasifikasi produk paling rendah emisi).
Secara keseluruhan karakteristik dan aplikasi formula produk polimerisasi dan
kopolimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau ini diringkas pada Tabel 1.
Produk Pembanding
No. Sifat
Polimerisasi Kopolimerisasi PF PRF
1. Kenampakan:
Bentuk Cair Cair Cair Cair
Warna Cokelat-hitam Merah-cokelat Merah-cokelat Merah-cokelat
Bau Fenol Fenol Fenol Fenol
2. Kekentalan, poise 1,98 2,87 1,74 3,40
3. Kemasaman (pH) 11 11 11 8
4. Bobot molekul 9.308 49.658 - -
5. Suhu Depolimerisasi, 0C:
Titik gelas 111,08 115,31 - 161
Dekomposisi/disosiasi 299,65 468,77 - -
6. Derajat kristalinitas, % 30,47 23,32 - 51,53
7. Waktu retensi, menit 24,75 24,38 - -
8. Bobot jenis 1,08 1,12 1,19 1,15
9. Solid content, % 14,46 17,64 41,03 57,03
10. Formaldehida bebas, % 0,1 0,03 < 1,0 0,04
11. Uji pada kayu lamina sengon
a. Keteguhan rekat, kg/cm2:
Uji kering 21,65 44,27 44,84 56,91 47,32 -
Uji basah (100oC, siklus) 8,82 19,16 29,62 33,43 21,48 -
b. Emisi formaldehida (mg/L) 0,22 0,03 - -
Keterangan: (-) = tidak ada data.
Rendemen ekstrak cair kayu merbau: 5,59% (b/b), dengan tingkat kemurnian 78,03%.
Berdasarkan identifikasi dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA danIV-
meter intrinsic viscosity disimpulkan bahwa senyawa yang terkandung dalam ekstrak cair kayu
merbau identik dengan senyawa fenolik (resorsinol), dengan bobot molekul: 753.
Ekstrak cair kayu merbau dapat direaksikan dengan formaldehida dalam suasana basa,
membentuk polimer berbobot molekul 9.308. Identifikasi terjadinya polimerisasi dapat dilakukan
dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA dan IV-meter intrinsic viscosity.
Aplikasi produk polimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau sebagai perekat menghasilkan kayu
lamina tipe eksterior rendah emisi (0,22 mg/L) dengan katagori E0 atau F****.
Kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau dengan monomer resorsinol dan formaldehida
dalam suasana basa, menghasilkan kopolimer berbobot molekul 49.658. Identifikasi terjadinya
kopolimerisasi dapat dilakukan dengan spektofoto-meter UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA
dan IV-meter intrinsic viscosity. Aplikasi produk kopolimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau
sebagai perekat menghasilkan kayu lamina tipe eksterior sangat rendah emisi (0,03 mg/L) dengan
katagori E
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Standar Nasional Indonesia: Venir Lamina. Badan Standardisasi Nasional-BSN.
Jakarta. SNI-5008.9-2000.
_______. 2003. Japanese Agricultural Standard for Structural Glued Laminated Timber. Japanese
Agricultural Standard (JAS). Japanese Plywood Inspection Corporation (JPIC). Tokyo.
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Industri Besar dan Sedang: Bahan Baku Indonesia 2008.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Brandt, T.B. 1953. Mangrove Tannin-Formaldehy de Resins as Hot-Press Plywood Adhesive.
Pengumuman No. 37 Balai Penyelidikan Kehutanan. Bogor.
Comyn, J. 2004. Theory of Adhesion in Philippe Cognard (Ed.) Adhesion and Sealant: General
Knowledge, Application Techniques, New Curing Techniques. Handbook of Adhesive and
Sealant Vol. 2. Elsevier. Versailles. France. p: 1-47.
Coppens, H.A., M.A.E. Santana and F.J. Pastore. 1980. Tannin formaldehyde adhesive for
exterior grade plywood and particleboard manufacture. For. Prod. J. 30(4) : 38-42.
Hans. 2006. Concise International Chemichal Assasment: Resorcinol. WHO Library Cataloguing.
Hanover.
Malik, J. dan A. Santoso. 2009. Peningkatan pemanfaatan kayu merbau untuk produk pertukangan
melalui penanggulangan zat ekstraktif. Laporan Hasil Penelitian 2009. Pusat Litbang Hasil
Hutan. Bogor.
Martawijaya. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Media Aksara. Bogor.
Prayitno, T.A. 1996. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Santoso, A. dan J. Malik. 2011. State of the Art Penelitian Perekat dan Perekatan Kayu di Pusat
Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Makalah Utama. Disampaikan
pada Diskusi Perekatan tanggal 30 Juni 2011 di Bogor.
Santoso, A. 2011. Tanin dan Lignin dari Acacia mangium Willd. sebagai Bahan Perekat Kayu
Majemuk Masa Depan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pengolahan Hasil Hutan.
Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, tanggal 25 Oktober 2011 di Jakarta.
Oleh:
R. Sudradjat
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
E-mail: adegemini@yahoo.com
ABSTRAK
Tanaman nyamplung adalah tanaman pantai yang tersebar luas merata di seluruh Indonesia.
Tanaman ini tumbuh pada tanah yang tandus dan toleran terhadap ketinggian yaitu 0 400 dpl,
toleran terhadap iklim kering dan basah, range pH yang lebar 4 7,4. Produksi biji kering per
tahun 10 20 ton/hektar dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Setiap pohon menghasilkan 50 100 kg
biji kering dan kadar minyak berkisar 40 - 60%.
Berdasarkan analisa citra satelit, luas lahan yang sesuai untuk nyamplung di Indonesia
adalah 480.000 ha, yang sudah eksis tanamannya di dalam kawasan dan luar kawasan hutan seluas
255.000 ha. Keuntungan lain dari pengembangan tanaman nyamplung sebagai bahan baku
biodiesel di daerah pantai, selain menghasilkan biodiesel untuk para nelayan juga menghasilkan
kayu yang keras dan tahan terhadap marine borrer. Kayu nyamplung telah laku dijual secara
komersial dengan harga yang lebih tinggi dari kayu sengon. Hal tersebut menyebabkan para
nelayan sejak lama telah menggunakan kayu tersebut untuk pembuatan perahu dan dayung
mereka. Demikian pula ditinjau dari aspek ekologi, bentuk mahkota daun pohon nyamplung yang
rimbun, memungkinkan tanaman ini berfungsi sebagai wind breaker di sepanjang pantai.
Proses yang sesuai untuk pengolahan biodiesel nyamplung adalah proses ET (esterifikasi-
transesterifikasi). Hasil penelitian menunjukkan parameter kualitas biodiesel seluruhnya telah
sesuai dengan standar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751. Biodiesel nyamplung telah dicoba
dengan road test menggunakan bus dan jeep dengan jarak tempuh 300 km dengan hasil yang baik.
Biodiesel nyamplung yang digunakan adalah B-100 atau biodiesel tanpa campuran solar.
Hasil analisis ekonomi menunjukkan BEP 93,46 kg biodiesel per jam, dengan bunga 16%
dan masa proyek 10 tahun layak secara ekonomi dengan PBP 4 tahun 8 bulan, NPV Rp 343,8 juta,
ARR 32,19%, IRR 33% dan B/C rasio 2,03.
I. PENDAHULUAN
Krisis energi dunia yang terjadi pada dekade terakhir memberikan dampak yang signifikan
pada meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM), telah mendorong pengembangan energi
alternatif dengan pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan (renewable resources). Salah satu
bentuk energi alternatif yang saat ini mulai dikembangkan adalah biofuel yang mempunyai tingkat
kelayakan teknologi cukup tinggi.
Untuk mendorong pengembangan biofuel, pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan Energi
Nasional diantaranya dengan menetapkan target produksi biofuel pada tahun 2025 sebesar 15%
dari total kebutuhan energi minyak nasional dan penugasan kepada Kementrian Kehutanan untuk
II. PENGOLAHAN
Gambar 1. Buah basah, buah kering, biji sebelum dan dan setelah ekstraksi
C. Pengepresan Biji
Alat yang digunakan untuk mengekstrak minyak nyamplung dari bijinya ada dua tipe yaitu:
mesin pres hidrolik manual, dan mesin pres ekstruder/ulir. Mesin tipe hidrolik sesuai digunakan
untuk skala rumah tangga atau rakyat, sedangkan tipe ekstruder digunakan untuk pabrik. Produksi
minyak tipe hidrolik sangat kecil yaitu sekitar 10 liter/hari, sedang tipe ekstruder yang mampu
dibuat sampai saat ini dapat menghasilkan 100 liter minyak/hari.
Hasil pengerpresan selain minyak akan dihasilkan juga limbah berupa bungkil yang terdiri
dari tempurung, daging biji dan sisa minyaknya dengan jumlah sekitar 80% dari berat biji kering.
Oleh karena itu, pabrik pengolahan minyak nyamplung harus disertai dengan pengolahan limbah
bungkil menjadi briket bungkil. Hasil uji laboratorium cara pres dengan menggunakan pelarut
kimia menghasilkan minyak sebesar 48,8%, air 23,0%, protein 11,4% dan karbohidrat sebesar
5,3% atau total sebesar 63,5%.
Biji
NYAMPLUNG ESTERIFIKASI (E)
PENGUPASAN, PENGUKUSAN,
PENGERINGAN TRANSESTERIFIKASI (T)
EKSTRAKSI/PENGEPRESAN
PENCUCIAN DAN
PEMURNIAN
cruid oil
DEGUMING
BIODIESEL
NYAMPLUNG
refined oil
Karakterisasi sifat fisiko kimia minyak nyamplung dilakukan dalam rangka mengevaluasi
perubahan karakteristik minyak tersebut yang terjadi setelah proses pengolahannya menjadi
biodiesel. Pada Tabel 1 diperlihatkan karakteristik minyak nyamplung sebelum deguming (crude
oil) dan sesudah deguming (refined oil).
Minyak nyamplung tersusun oleh beberapa komponen asam lemak utama yaitu asam
palmitat, stearat, oleat dan linoleat, yang jumlah keseluruhan dari empat jenis asam lemak tersebut
yaitu 98,46%. Jumlah komposisi asam lemak utama pada minyak jarak pagar sebesar 93,1%, dan
minyak kelapa sawit 95,7%. Dengan demikian minyak nyamplung memiliki kemiripan dengan
minyak-minyak tersebut yang sudah biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
Analisis sifat fisiko kimia biodiesel terdiri dari massa jenis, viskositas kinematik, bilangan
setana, titik nyala, titik kabut, korosi kepingan tembaga, residu karbon, air dan sedimen, suhu
distilasi, abu tersulfatkan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkil dan
bilangan iodium. Metode uji menggunakan prosedur dari ASTM, AOCS dan SNI.
Sifat-sifat biodiesel minyak nyamplung hampir seluruhnya telah memenuhi persyaratan SNI
04-7182-2006. Khusus untuk bilangan asam dengan proses EET dapat diturunkan dari nilai yang
sangat tinggi 59,94 mg KOH/g menjadi sangat rendah, sehingga memenuhi persyaratan SNI.
Tabel 3. Sifat fisiko kimia biodiesel nyamplung dibandingkan dengan standar SNI 04-7182-2006
Beberapa parameter kualitas nyamplung yang memenuhi syarat SNI 04-7182-2006 adalah:
bilangan setana, bilangan asam, titik nyala, korosi kepingan tembaga, suhu destilasi, belerang,
phospor, gliserol total, ester alkali dan bilangan iod. Beberapa parameter yang belum memenuhi
standar adalah: viskositas, titik kabut dan residu karbon. Bilangan setana menentukan suhu ruang
pembakaran dan kemudahannya untuk mesin di starter, bilangan asam menentukan tingkat
korositas biodiesel terhadap mesin, titik nyala berhubungan dengan keamanan pengangkutan
biodiesel karena kemudahannya terbakar, ester alkali menunjukkan persentase asam lemak yang
diubah menjadi metil ester, bilangan iod menunjukkan banyaknya jumlah ikatan rangkap pada
asam lemak, viskositas menunjukkan kekentalan biodiesel yang menentukan kelancaran aliran
dalam permesinan, titik kabut berhubungan dengan kemudahannya biodiesel tersebut membeku.
Parameter lainnya berhubungan dengan emisi dan polusi.
Alternatif lain dari pembuatan minyak nyamplung adalah sebagai pengganti minyak tanah
(biokerosene). Pemanfaatannya untuk biokerosene akan lebih realistis dan lebih menyentuh
masyarakat pedesaan khususnya masyarakat yang kurang mampu.
Cara pembuatannya terdri dari 2 tahap yaitu proses Deguming dan Netralisasi.
1. Proses Deguming
Minyak nyamplung apabila akan digunakan sebagai biokerosin lebih dahulu harus
dihilangkan getahnya denga proses deguming, karena keberadaan getah akan meyebabkan
minyak tidak bisa mengalir ke sumbu bagian atas, demikian pula pada aplikasi kompor
semawar akan membuat nozzle akan menjadi tersumbat. Prosedur proses deguming sama
seperti prosedur proses deguming untuk pembuatan biodiesel.
2. Proses Netralisasi
Tujuannya adalah mengurangi viskositas dengan jalan mengendapkan bagian tersabunkan
serta memberi warna minyak yang lebih cerah. Caranya yaitu : setelah minyak dipisahkan dari
getah dengan cara dekantasi, kemudian minyak direaksikan dengan NaOH teknis. Banyaknya
NaOH yang ditambahkan tergantung besarnya nilai kandungan FFA yang dinyatakan dalam
satuan derajat Be. Kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 60oC selama 15 menit,
selanjutnya didekantasi untuk mengendapkan sabun selama 1 jam. Minyak dipisahkan dari
sabun dengan cara gravitasi.
1. Tanaman nyamplung adalah tanaman yang habitatnya di daerah pantai, menyukai tanah pasir
berlempung (sandy loam). Struktur pohon rindang, bercabang banyak dan tinggi > 20 meter.
Mulai berbuah pada umur 5 tahun, biasanya mulai berbuah sekitar bulan Juli sampai
Desember.
2. Tanaman ini ini bisa tumbuh pada tanah yang tandus, cukup toleran pada ketinggian yaitu
0 -400 meter dpl, toleran terhadap iklim kering sampai sangat basah (curah hujan 1000 -
3000 mm).
3. Kelebihan tanaman nyamplung dari tanaman biofuel lainnya yaitu nyamplung tumbuh dan
tersebar secara alami hampir di seluruh pantai berpasir di Indonesia, relatif mudah
dibudidayakan, produktifitas biji lebih tinggi, pemanfaatan nyamplung sebagai biofuel tidak
berkompetisi dengan kebutuhan pangan, hampir seluruh bagian tanaman berdaya guna dan
memiliki nilai ekonomi serta dapat di tanam sebagai tanaman wind breaker dan konservasi
sempadan pantai.
4. Cara pengolahan biji nyamplung menjadi biodiesel terdiri dari beberapa tahapan: a. Perlakuan
dan penyimpanan biji, b. Pengupasan, pengukusan dan pengeringan biji, c. Pengepresean biji,
d. Pemisahan kotoran minyak/degumming, e. Pengolahan minyak menjadi biodiesel dengan
cara proses esterifikasi transesterifikasi, dan f. Pencucian dan pemurnian biodiesel.
5. Parameter kualitas biodiesel nyamplung adalah: berat jenis, viskositas kinematik, bilangan
setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, korosi air dan sedimen, suhu destilasi, abu
tersulfatkan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester lkali dan bilangan
iodium. Seluruh parameter tersebut sudah sesuai dengan stndar SNI 04-7182-2006 dan
ASTM D 6751.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, F. dan A. Prabaswara . 2008. Biji Nyamplung sebagai sumber energi alternatif.
Pemenang Karya Tulis SMA Wisata Iptek 2007. Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Indartono, Y.S. 2005. Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan harus bagaimana. INOVASI
Online. Ed. Vol.5/XVII/November 2005 Website: http://io.ppi-jepang.org Email:
redaksi@io.ppi-jepang.org.
Friday, J.J. and D. Okano. 2006. Calophyllum inophyllum-Kamani.
Jker, D. 2004. Calophyllum inophyllum L. Seed Leaflet No 87 (was prepared in collaboration
with indonesia forest seed project). Forest & Landscape. Denmark.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I
(Ed. Revisi). Badan Litbang Kehutanan. DEPHUT. Bogor. Indonesia.
Oleh:
Rina S. Soetopo, Sri Purwati, Susi Sugesty dan Yusup Setiawan
Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK), Kementerian Perindustrian Indonesia
E-mail: rnsusilowati@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian pemanfaatan limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas untuk bahan baku
bioetanol telah dilakukan pada skala laboratorium dengan sistem batch. Penelitian dilakukan
terhadap 4 jenis sludge dari industri pulp dan kertas yang berbeda, yang diawali dengan uji
potensi sludge sebagai bahan baku bioetanol melalui proses sakarifikasi sludge 2%. Bagi sludge
yang memiliki efisiensi sakarifikasi lebih besar dari 75%, dianggap memiliki potensi. Penelitian
dilakukan terhadap sludge terpilih. Percobaan dilakukan dalam 3 tahap yaitu (1) penentuan
kondisi optimum hidrolisis selulosa dalam sludge; (2) Penentuan kondisi optimum fermentasi gula
hasil proses hidrolisis dan (3) Percobaan sakarifikasi-fermentasi serentak. Proses hidrolisis
dilakukan dengan rancangan percobaan RAL dengan 3 faktor perlakuan yaitu kadar padatan
sludge (2-8%), dosis selulase (5,0-27,0 FPU/g selulosa) dan lama inkubasi (24 - 96 jam). Beta
glukosidase ditambahkan sebanyak 6,7 IU/FPU pada setiap perlakuan. Kondisi percobaan
hidrolisis ditentukan berdasarkan kondisi optimum selulase yaitu pada suhu 50oC; pH 5,5 dan
putaran pengadukan 110 rpm. Parameter pengamatan adalah konsentrasi gula pereduksi, dan
efisiensi proses hidolisis. Metoda uji gula pereduksi mengacu pada cara Somogy Nelson.
Percobaan proses fermentasi merupakan lanjutan proses hidrolisis dari perlakuan yang
menghasilkan kadar gula pereduksi tertinggi. Variasi perlakuan proses fermentasi adalah pH dan
waktu inkubasi. Kondisi percobaan fermentasi adalah suhu 28oC dan jumlah inokulum ragi
Saccharomyces Cereviceae 10% v/v dengan jumlah sel 106 per mL. Pengamatan kadar bioetanol
dengan metoda GC. Hasilujipotensi sludge menunjukkan bahwa sludge (A) dan sludge (B) pada
padatan total 2% memiliki efisiensi sakarifikasi lebih besar dari 75%, dimana sludge (A) adalah
sludge primer yang berasal dari pabrik kertas berbahan baku virgin pulp, sedangkan sludge (B)
adalah sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan kertas berbahan baku kayu. Kondisi
optimum untuk proses hidrolisis adalah kadar padatan sludge 6%, dengan penambahan selulase
sebesar 9 FPU/g selulosa dan beta glukosidase 6,7 U/FPU pada kondisi pH 5,5 dan suhu 50oC
selama 48 jam. Kadar gula pereduksi yang dihasilkan adalah 31,3%, dari sludge A dengan
efisiensi hidrolisis 64% dan 36,2%, dari sludge B dengan efisiensi 64%. Proses SSF telah
dilakukan pada pH 4,5, suhu 28oC selama 96 jam menghasilkan etanol dengan konsentrasi sebesar
3,45% menggunakan substrat sludge A, dan 2,89% menggunakan sludge B. Efisiensi masing-
masing adalah 72% dengan substrat sludge A dan 60% dengan subsrat B.
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat 84 industri pulp dan kertas dengan kapasitas terpasang produksi pulp
6,2 juta ton per tahun dan kapasitas terpasang produksi kertas 10,9 (APKI, 2008). Industri pulp
dan kertas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu industri pulp dan kertas terpadu dan non
terpadu sebagai industri pulp atau industri kertas. Industri pulp dan kertas terpadu menggunakan
II. METODOLOGI
A. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat jenis limbah sludge yang
diperoleh dari 4 industri pulp dan kertas yang berbeda yang dianggap dapat mewakili
kelompoknya berdasarkan bahan baku. Industri tersebut adalah: (1) sludge A berupa sludge
primer dari industri kertas dengan bahan baku virgin pulp di Tangerang; (2) sludge B berupa
sludge primer dari industri pulp dengan bahan baku kayu di Riau; (3) sludge C berupa sludge
primer dari industri kertas dengan bahan baku kertas bekas di Bekasi; dan (4) sludge D sludge
campuran primer dan sekunder dari industri pulp dan kertas terpadu dengan bahan baku kayu di
Jambi.
Sampel limbah sludge diambil dari outlet clarifier atau dari keluaran mesin press limbah
sludge pada sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari setiap industri. Sampel diangkut
dalam kontainer. Penyimpanan sampel dilakukan dalam cold storage 4 oC. Bahan pendukung
penelitian yang digunakan adalah enzim lokal yaitu selulase yang memiliki aktivitas 6 FPU/mL
dan beta glukosidase yang memiliki aktivitas 10 unit/mL pengkondisi pH pada proses hidrolisis
digunakan larutan buffer asam phosphat; ragi untuk fermentasi alkohol digunakan
Saccharomycetes cereviceae.
C. Metodologi Penelitian
1. Karakterisasi sludge IPAL industri pulp dan kertas
Terhadap sludge dari masing-masing industri dilakukan karakterisasi yang meliputi
beberapa parameter yang berhubungan dengan potensi sebagai bahan baku bioetanol yang
meliputi: kadar abu, lignin, hemiselulosa, holoselulosa, dan ekstraktif serta beberapa parameter
logam berat yang meliputi timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), nikel (Ni), seng (Zn),
kromium (Cr), kobalt (Co) dan mangan (Mn). Analisis di lakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas
(BBPK) Bandung dengan menggunakan metoda SNI.
2. Tahapan penelitian
Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu: (1) Uji potensi sludge
sebagai bahan baku etanol; (2) Penentuan kondisi optimum proses hidrolisis sludge; (3) Penentuan
kondisi optimum proses fermentasi gula sakarifikasi; dan (4) Proses sakarifikasi-fermentasi
serentak.
Uji potensi dilakukan dengan cara melakukan hidrolisis enzimatis terhadap 4 jenis sludge
pada kadar padatan 2% dalam erlenmeyer 250 mL. Enzim yang digunakan adalah selulase dengan
dosis 11 FPU/g selulosa, pH diatur pada kisaran 5,5 dengan asam phosphat. Uji ini dilakukan
secara aseptik dalam shaker inkubator pada suhu 50oC selama 96 jam. Masing-masing uji
dilakukan dengan 3 replikasi dengan parameter pengamatan adalah gula pereduksi. Metoda uji
gula pereduksi mengacu pada cara Somogy Nelson. Sludge yang memberikan konsentrasi gula
pereduksi tertinggi dengan efisiensi proses lebih besar dari 75% dianggap memiliki potensi untuk
digunakan sebagai bahan baku etanol.
Penentuan kondisi optimum hidrolisis selulosa dalam sludge dilakukan hanya terhadap
sludge yang memiliki efisiensi sakarifikasi > 75% pada uji potensi di atas. Proses hidrolisis
dilakukan dengan rancangan percobaan RAL dengan 2 faktor perlakuan yaitu:
a. Kadar padatan sludge, per dasar kering: 2%; 4%; 6%; 8%; dan 10%.
b. Dosis selulase FPU per g selulosa: 5; 7; 9; 18; dan 27.
Beta glukosidase ditambahkan sebanyak 6,7 U/FPU. Kondisi percobaan ditentukan
berdasarkan kondisi optimum selulase yaitu suhu 50oC; pH 5,5 dan putaran pengadukan 110 rpm.
Parameter pengamatan adalah konsentrasi gula pereduksi. Efisiensi hidrolisis dihitung dengan
menggunakan persamaan (1), dan rendemen dihitung dengan persamaan (2) menurut Vertes, 2010
sebagai berikut:
Percobaan penentuan kondisi optimum proses fermentasi hanya dilakukan terhadap cairan
hasil proses hidrolisis sludge yang memiliki kadar gula pereduksi tertinggi dengan menggunakan
gelas erlenmeyer 250 mL Terhadap cairan tersebut ditambah 12,5% (v/v) medium nutrisi yang
komposisinya terdiri dari 0,5 g/L (NH4)HPO4; 0,025 g/L MgSO4.7H2O dan 1 g/L yeast extract.
o
Semua medium disterilisasi pada suhu 121 C selama 30 menit pada autoclave. Fermentasi
dilakukan dengan ragi Saccharomyces cerevisiae yang telah diaklimatisasi terhadap gula hasil
o
hidrolisis selulosa dalam sludge pada suhu 28 C. Percobaan dilakukan dengan 2 faktor perlakuan
yaitu pH (4,5; 5,0; 5,5; 6,0) dan lama inkubasi (24; 48; 72; 96; 120) dengan penambahan
6
inokulum ragi Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10% v/v dengan jumlah sel 10 /mL. Parameter
pengamatan dilakukan terhadap kadar etanol yang dianalisis dengan Gas Chromatografi (GC).
Setelah diperoleh kondisi optimum proses hidrolisis dan proses fermentasi, kemudian
dilakukan Simoultaneous Saccharification Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi Fermentasi
Simultan yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi yang dilakukan secara simultan pada satu
reaktor.
Hasil analisis
Contoh Pentosan sebagai Ekstraktif
Sludge Abu Lignin Holoselulosa
Hemiselulosa Alkohol/Benzen
(%) (%) (%)
(%) (%)
A 21,96 - 77,70 4,25 3,07
B 3,10 3,24 93,26 16,32 2,08
C 39,63 - 61,01 5,72 4,81
D 31,65 4,27 48,99 4,45 7,18
Berdasarkan data karakteristik sludge pada Tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa sludge
IPAL ini masih memiliki selulosa yang cukup tinggi. Kandungan selulosa yang tinggi merupakan
sumber utama pembentuk glukosa sebagai bahan yang akan dikonversi menjadi etanol melalui
proses hidrolisis-fermentasi. Sedangkan rendahnya kandungan lignin dalam sludge menunjang
pembentukan glukosa. Lignin merupakan komponen sludge yang berpotensi sebagai inhibitor
pada proses hidrolisis selulosa enzimatis. Keberadaan lignin dalam sludge dapat menghambat
dalam proses degradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa. Oleh karena itu, bahan baku
untuk pembuatan bioetanol sebaiknya tidak mengandung lignin (Trisanti, 2009).
Tabel 2. Kandungan logam berat pada sludge IPAL industri pulp dan kertas
Sumber sludge
Parameter Sludge A Sludge B Sludge C Sludge D
(mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg)
Kromium (Cr) 4,929 4,894 9,533 31,112
Seng (Zn) 41,105 8,479 224,09 99,804
Kadmium (Cd) < 0,046 < 0,053 < 0,047 1,169
Kobalt (Co) 8,468 7,865 11,144 12,165
Tembaga (Cu) 54,136 0,924 12,781 41,655
Nikel (Ni) 8,468 7,885 11,144 29,389
Timbal (Pb) 4,154 3,708 3,834 13,739
Bahan anorganik yang terkandung dalam sludge cukup bervariasi seperti terlihat dari kadar
abu (Tabel 1). Komponen pencemar yang dapat menghambat proses hidrolisis maupun
fermentasi, antara lain logam berat yang terkandung dalam masing-masing sludge (Tabel 2).
Gambar 1. Hasil uji potensi limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas: (A) ditinjau dari
kandungan gula pereduksi; (B) Ditinjau dari efisiensi hidrolisis selulosa
Kondisi ini sejalan dengan jumlah selulosa yang dihidrolisis dalam sludge yang makin besar
sehingga gula pereduksi yang terbentuk makin besar pula. Namun kadar gula pereduksi dari hasil
hidolisis sludge dengan kadar padatan 8% hingga 10% menunjukkan penurunan. Hal tersebut
disebabkan oleh karena proses hidolisis sludge dengan TS di atas 8%, tidak cocok dengan metoda
shaker sebagai pengocokannya karena pencampuran antara sludge dengan enzim tidak dapat
terjadi secara sempurna sehingga reaksi hidrolisis kurang efektif. Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Marques (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi TS di atas
7,5% (w/v), tidak efektif digunakan sebagai bahan baku untuk proses hidolisis enzimatis.
Berdaarkan perhitungan efisiensi hidrolisis, menunjukkan kecenderungan yang berbeda dari
yang ditunjukkan oleh kadar gula pereduksi (Tabel 3). Perbedaan kadar padatan sludge
memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap efisiensi hidrolisa, namun pada kadar TS Sludge
terendah (2%) memberikan efisiensi hidolisis tertinggi dan berbeda nyata terhadap kadar TS
lainnya yang lebih tinggi (4 - 14%) yang ditampilkan pada Tabel 3. Keadaan ini berbanding
terbalik dengan data analisis kadar gula pereduksi. Menurut Yang, Reeses, dan Sinitsyn dalam
Peng (2011), hal ini dapat disebabkan oleh adanya penghambat dalam lumpur, adanya enzyme
inactivation dan terjadinya penurunan reaktivitas terhadap penambahan selulosa. Berdasarkan uji
Duncan dari dua parameter pengamatan yaitu kadar gula pereduksi dan efisiensi hidrolisis, maka
kondisi sludge yang optimum diperoleh pada kondisi TS 8%. Sedangkan berdasarkan
pertimbangan lapangan proses pengelolaan sludge di industri pulp dan kertas, dengan kadar TS
sludge 6% dapat dicapai pada primary clarifier tanpa penambahan perlakuan.
Kadar etanol yang dihasilkan dari proses SSF dengan substrat sludge A berkisar pada 2,68%
- 3,45%, yang menunjukkan lebih tinggi dibanding dengan menggunakan sludge B berkisar
0,67% -2,89% (Gambar 5). Kecenderungan tersebut sejalan dengan efisiensi proses SSF untuk
masing-masing substrat yaitu 58% - 72% dengan substrat sludge A dan 34% - 60% dengan
subsrat sludge B. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya pembentukan asam-asam organik
selama proses yang mengakibatkan pH tidak optimum dan kemungkinan adanya unsur-unsur
penghambat yang berasal dari limbah industri pulp dan kertas. Unsur-unsur tersebut kemungkinan
berasal dari derivat lignin (Petro et al., 2010).
1. Karakteristik sludge 4 (empat) jenis yang digunakan dalam percobaan ini memiliki komponen
organik dengan komposisi terdiri dari: lignin berkisar 0,5-21,96%; holoselulosa sekitar 70,70-
77,70%; -selulosa berkisar 28,79-80,15%; hemiselulosa yang berupa pentosan sekitar 4,25-
13,81%.
2. Hasil uji potensi sludge menunjukkan bahwa sludge primer yang berasal dari pabrik kertas
berbahan baku virgin pulp (sludge A) dan sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan
kertas berbahan baku kayu (sludge B) pada padatan total 2% memiliki efisiensi hidolisis
>75%.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah
mendanai penelitian ini melalui Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan
Perekayasa (PIPKPP) Tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA
Harry, T.C. 2008. Paper Sludge-to-Ethanol Process and Conceptual Design. Alabama Center for
Pulp and Bioresource Engineering. Auburn University. Auburn. Alabama.
Hettenhaus, J.R. 1998. Ethanol Fermentation Strains: Present and Future Requirements for
Biomass to Ethanol Commercialization. Amerika Serikat: United States Department of
Energy.
Lark, Nicole, Youkun Xia, Cheng Guo Xin, C.S.Gong, G.T. Tsao. 1997. Production of ethanol
from recycled paper sludge using cellulase and yeast, Kluveromyces marxianus. Biomass
and Bioenergy Vol.12, No.2.pp.135-143,1997.
Marques, S., L. Alves, J.C. Roseiro, F.M. Grio.2008. Conversion of recycled paper sludge to
ethanol by SHF and SSF using Pichia stipitis. Biomass and Bioenergy 32 ( 2008 ) 400
406.
Peng, Lincai, Yuancai Chen. 2011. Conversion of paper sludge to ethanol by seperate hydrolysis
and fermentation (SHF) using Saccharomyces cerevisiae. Biomass and Bioenergy 35 (2011)
1600-1606.
Petro, Susan. 2010. Fermentation in the yeast Saccharomyces cerevisiae. phobos.ramapo.
edu/~spetro/lab_pdf/ Fermlab.pdf - Amerika Serikat.
Philippidis, George. P, Smith, Tammy K, Charles E. Wyman. 1992. Study of the enzymatic
hydrolysis of cellulose for production of fuel ethanol by the simultaneous saccharification
and fermentation process. Biotechnology and Bioengineering, Vol. 41, Pp. 846-853 (1993).
Oleh:
Jasni, Gustan Pari dan Rena Siagian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
Email: jasni_m@yahoo.com
ABSTRAK
Produk papan serat khususnya yang berkerapatan sedang (MDF) semakin digemari oleh
konsumen. Hal ini disebabkan produk MDF mempunyai kelebihan, seperti fleksibilitas ukuran,
permukaan yang bagus, mudah dibentuk akan mudah dalam pengerjaan akhir. Namun demikian
sebagian besar produk papan serat tidak tahan terhadap serangan organisme perusak. Tulisan ini
mempelajari keawetan papan serat terhadap organisme perusak, khususnya rayap kayu kering.
Papan serat MDF yang diuji dibuat dari kayu gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dengan beberapa
tingkat asetilasi (25% dan 50%). Perekat yang digunakan adalah Urea Formaldehida (UF) dan
Khitosan. Hasilnya menunjukan papan serat yang di tingkat 50% dengan menggunaan perekat
khitosan menghasilkan papan serat dengan ketahanan paling baik, dimana mortalitasnya mencapai
81,6%, dan termasuk dalam kelas ketahanan I II.
I. PENDAHULUAN
Papan serat adalah salah satu papan tiruan yang terbuat dari serat kayu atau bahan
berlignoselulosa lain melalui ikatan antar serat menjadi lembaran papan dengan bantuan kempa
panas. Bahan pengikat dan bahan lainnya perlu di tambahkan untuk meningkatkan sifat fisis-
mekanis, ketahanan terhadap air, api, organisme perusak, dan pelapukan. Papan serat
dikategorikan berkerapatan sedang (Medium Density Fibreboard) jika memiliki kerapatan antara
0,35 sampai 0,80 g/cm3 (JIS, 2003). Salah satu sifat MDF yang penting adalah memiliki
permukaan yang halus dan sisi yang solid (solid-edge) sehingga memudahkan proses pemesinan
dan penyelesaian akhir (finishing).
Salah satu upaya peningkatan kualitas papan serat adalah perlakuan asetilasi serat-serat
kayunya sebelum dibentuk papan. Asdar et al. (1998), telah melakukan asetilasi serat pulp kayu
magium untuk pembuatan papan serat. Hasilnya penelitian menunjukan bahwa asetilasi serat pulp
kayu akasia mampu menaikan persentase penambahan berat (WPG). Bertambahnya tingkat
asetilasi dapat memperbaiki sifat fisis papan serat, yaitu menurunkan kadar air, meningkatkan
stabilitas dimensi yang ditandai dengan penunurunan pengembangan tebal. Akan tetapi perlakuan
asetilasi menurunkan sifat mekanis yaitu modulus patah, modulus elatis dan keteguhan rekat
internal. Keawetan papan serat yang sudah di asetilasi belum diketahui, oleh karena itu penelitian
bertujuan mempelajari ketahanan papan serat MDF yang sudah diasetilasi terhadap serangan
rayap kayu kering.
A. Bahan
Kayu yang digunakan dalam pembuatan papan serat berkerapatan sedang adalah kayu
gmelina (Gmelina arborea Roxb.). Perekat yang digunakan adalah urea formadehida dan
khitosan.
B. Metode
1. Pembuatan papan serat MDF
Pembuatan lapik MDF dilakukan dengan cara kering terhadap serat pulp yang sudah
diasetilasi sebanyak 0%, 25% dan 50%. Papan serat yang dibuat adalah papan serat kerapatan
sedang (MDF) dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Pencampuran perekat dan serat dilakukan
dalam blender. Serat kering yang telah di asetilasi disemprot perekat dengan spray gun secara
merata. Perekat yang digunakan adalah perekat khitosan sebanyak 10% dengan kadar kepadatan
2% dan urea formadehida (UF) dengan kadar kepadatan 55% sebanyak 10% dari bobot kering
pulp. Setelah itu serat-serat tersebut dibentuk lembaran-lembaran yang siap di kempa kemudian
terbentuk papan serat berbentuk lembaran.
3. Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu akhir penelitian 12 minggu
pengujian. Pada akhir pengujian kemudian ditetapkan persen kematian (mortality) data yang
diperoleh dari transformasi data kedalam aresin % dan penurunan berat (weight loss) akibat
serangan rayap, data ini untuk menentukan klasifikasi ketahan kayu dan untuk mengetahui kelas
ketahanan kayu digunakan klasifikasi kelas ketahan kayu, SNI 01-7207 (Anonim, 2006) seperti
pada Tabel 1.
Table 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering ( Crptotermes
cynocephalus) berdasrkan pengurangan berat dan presentase rayap yang hidup
4. Analisis data
Untuk mengatuhui pengaruh perlakuan kadar tiap macam perekat pada setiap jenis kayu
maka dilakukan sidik ragam menggunakan program mikrostat. Untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilakukan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Pengaruh phenol-formaldehyda
terhadap serangan rayap kayu kering dianalisis secara statistik non parametrik yaitu uji Kruskal-
Wallis menggunakan mikrostat (Mustafa, 1990).
Ketahanan contoh uji papan serat dari kayu gmelina dinilai berdasarkan ketahanan kayu
tersebut masing-masing terhadap serangan rayap kayu kering. Parameter yang digunakan untuk
menilai efektifitas bahan perlakuan (perekat UF dan kitosan) terhadap serangan rayap kayu kering
adalah jumlah kematian (mortalitas), penurunan berat dan derajat serangan. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan tersebut terhadap kematian rayap dan penurunan berat contoh uji dilakukan
sidik ragam seperti disajikan dalam Tabel 3.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata di antara kedua jenis perekat
terhadap jumlah kematian, dan penurunan berat, terhadap kematian rayap dan penurunan berat
contoh uji akibat serangan rayap kayu kering. Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan uji
lanjut yaitu uji beda Duncan (Tabel 4).
Jenis perekat
Asetilasi UF (A) Khitosan (B)
(%) Kematian Penurunan Kelas Kematian Penurunan Kelas
(%) berat (%) ketahanan (%) berat (%) ketahanan
X SD* X SD* X SD* X SD*
0 81,600,12 2,790,11a II 93,60 0,11 0,860,03a I
25 100 0 b 0,960,01b I 100 0 b 0,750,03b I
50 100 0 b 0,920,01b I 100 0 b 0,690,02b I
Keterangan nilai: *Nilai rata-rata diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris tidak berbeda nyata; Nilai rata-
rata diikuti huruf kecil yang sama pada kolok tidak nyata; X = rata-rata; SD = Standar deviasi
Berdasarkan data Tabel 4, dapat diketahui bahwa kematian rayap kayu kering pada papan
serat dengan perekat UF(A) terendah pada control tidak diasetilasi yaitu 81,60% demikian pula
pada perekat kitosan 93,60%, sedangkan presentase kematian tertinggi terdapat pada perlakuan
asetilasi 25% ke atas baik pada perekat UF maupun khitosan, mortalitas mencapai 100%.
Sebagaimana diketahui rayap kayu kering mempunyai sifat bergerombol, sehingga rayap tersebut
menyerang kayu secara bersamaan. Dalam hal ini rayap mati secara bersama-sama makan serat
kayu yang mengandung racun.
Disamping itu pada Tabel 4 terlihat ada hubungan antara perlakuan asetilasi dengan
pemberian perekat UF dan khitosan dengan penurunan berat contoh uji, dengan pemberian
perlakuan tersebut akan memperkecil penurunan berat contoh uji. Penurunan berat ini dapat juga
digunakan sebagai salah satu factor untuk menentukan ketahanan papan serat. Papan serat control
tanpa perlakuan termasuk kelas II, sedangkan dengan asetilasi 25% ke atas dengan perekat urea
formaldehida maupun khitosan naik dari kelas II menjadi kelas I.
Menurut Jasni dan Supriana (1999) serta House dan Supriana dalam Martawijaya (1996),
penurunan berat atau kehilangan berat adalah salah satu faktor menentukan ketahanan kayu.
Menurunnya berat kayu akibat serangan rayap, karena serat kayu mengandung selulosa yang
cukup tinggi, sedangkan selulosa adalah makan utama rayap, akibatnya selulosa yang ada dalam
kayu akan dimakan rayap dan terjadi kehilangan berat kayu tersebut.
Perlakuan asetilasi 25% keatas dengan perekat UF dan kitosan dalam pembuatan papan
serat (MDF) dapat meningkatkan kelas ketahanan dari kelas II (control) menjadi kelas I. dengan
demikian pemakaian asetilasi diatas 25% dengan pemberian perekat UF dan kitosan sebagai
pembuatan papan serat MDF cukup efektif untuk mencegah serangan rayap kayu kering.
Kemampuan bahan perlakuan asetilasi, perekat UF dan khitosan untuk mencegah serangan rayap
kayu kering dapat pula dinyatakan dalam nilai dan tingkat serangan rayap kayu kering pada
contoh uji kayu (Tabel 5). Hasil penelitian menunjukan bahwa derajat serangan kedua jenis bahan
perekat terjadi perbedaan nyata berdasarkan uji Kruskal-Wallis (H hitung <H Tabel, yaitu 18,96
<3,84), namun ada perbedaan diantara perlakuan seperti disajikan pada Tabel 5.
Jenis perekat
Asetilasi UF A Kitosan B
% kerusakan* Nilai % kerusakan* Nilai
0 36 a 70 23,4 a 70
25 31 b 70 11 b 90
50 29,6c 70 10,2 c 90
Keterangan: *Nilai rata-rata diikuti oleh huruf besar pada baris tidak berbeda nyata dan huruf kecil pada jalur
yang sama tidak berbeda nyata
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pada kontrol dengan perekat UF ternyata kerusakan
paling tinggi yaitu 36% (nilai 70), sedangkan terendah pada asetilasi 50% dengan perekat
khitosan, kerusakan hanya mencapai 10,2% (nilai 90). Hal ini sesuai dengan kelas ketahanan
papan serat terhadap rayap kayu kering. Pemberian perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat
UF maupun khitosan dalam pembuatan papan serat MDF dapat menurunkan tingkat serangan
rayap kayu kering.
IV. KESIMPULAN
Pada serat MDF dari kayu gmelina, perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF,
kelas ketahanannya meningkat dari kelas II (penurunan 2,79%) menjadi kelas I (penurunan berat
0,92 - 0,96%). Sedangkan untuk perekat kitosan papan serat MDF tetap masuk dalam kelas I,
walaupun kontrol, yaitu kelas I (penurunan berat 0,69 - 0,86%).
Di samping meningkat kelas ketahananya juga dapat mengurangi kerusakan papan serat
akibat serangan rayap kayu kering, dimana derajat serangan pada papan serat tanpa asetlasi
(kontrol) dengan perekat UF kerusakan mencapai 36% (nilai 70), sedangkan untuk kontrol pada
perekat kitosan, kerusakan mencapai 23,4% (nilai 70). Namun untuk asetilasi di atas 25% dengan
perekat UF, kerusakan berkisar 29,6 - 31% (nilai 70), sedangkan papan sera dengan perlakuan
asetilasi di atas 25% dengan perekat kitosan, kerusakan hanya berkisar 10,2 - 11% (nilai 90).
Pemberian perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF maupun khitosan dalam pembuatan
papan serat MDF dapat menurunkan tingkat serangan rayap kayu kering.
DAFTAR PUSTAKA
Asdar, M., Y.S. Hadi, K. Sofyan dan R. Siagian. 1998. Physical and mechanical properties of
medium density fiberboard made from acetylated Acacia mangium fiber. Proceeding The
Fourt Pacufuc Rim_Bio-Based Composites Symposium. Nov. Bogor.
BSN. 2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-7207. ICS 79.020. Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Jakarta.
Oleh:
Jamal Balfas
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
E-mail: jamalbs2000@yahoo.com
ABSTRAK
Keterbatasan pasokan bahan kayu lingkup nasional telah menyebabkan penurunan produksi
industri panel kayu lapis Indonesia secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan ini
praktis menurunkan devisa, pajak, lapangan kerja serta kontribusi lainnya dari sektor industri
tersebut. Pemulihan situasi ini hanya dapat dilakukan melalui revitalisasi potensi bahan baku atau
melalui pemanfaatan bahan baku alternatif.
Indonesia memiliki bahan berkayu dari peremajaan kebun sawit secara berlimpah, dan
sampai saat ini belum digunakan untuk keperluan industri perkayuan. Dalam penelitian ini
dilakukan evaluasi teknis terhadap penggunaan kayu sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis.
Sumber keragaman yang diamati dalam adalah fasilitas teknologi produksi, jumlah lapisan pada
panel dan komposisi lapisan panel. Penentuan kualitas panel dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan parameter karakteristik fisis dan mekanis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi dan efektivitas produksi panel kayu sawit
secara nyata dipengaruhi oleh faktor fasilitas produksi. Pabrik pertama menghasilkan kualitas
produk yang lebih baik namun memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pabrik
kedua. Karakteristik fisis dan mekanis pada panel kayu sawit dipengaruhi secara nyata oleh faktor
proses produksi, jumlah lapisan dan komposisi lapisan. Kualitas fisis dan mekanis panel kayu
sawit menurun dengan pertambahan jumlah lapisan dan komposisi venir kayu sawit. Terdapat
korelasi positif antara nilai kerapatan dan keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit. Panel kayu
lapis yang dihasilkan dalam percobaan ini dapat memenuhi kualifikasi produk interior.
I. PENDAHULUAN
Industri panil kayu Indonesia mengalami penurunan secara drastis dalam beberapa tahun
terakhir, sebagai salah satu implikasi dari pelaksanaan program restrukturisasi industri kehutanan,
yang memuat kebijakan Soft landing pada tahun 2002. Menurut laporan data Asosiasi Panil
Kayu Indonesia (APKINDO) yang diuraikan oleh Purwanto (2008), jumlah anggota asosiasi
tersebut pada periode puncak produksi tahun 2003 mencapai 130 perusahaan dengan kapasitas
produksi sekitar 6,1 juta m3/tahun. Namun pada tahun 2006 jumlah anggotanya menurun sekitar
50%, dan dari jumlah tersebut hanya 19 unit perusahaan yang berproduksi secara normal dengan
volume kumulatif sekitar 1,54 juta m3/tahun. Perubahan ini praktis menurunkan devisa, pajak,
lapangan kerja serta kontribusi lainnya dari sektor industri panil kayu lapis nasional. Faktor
dominan yang menyebabkan perubahan tersebut adalah defisit pasokan bahan baku kayu bulat
baik dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat maupun sumber kayu lainnya.
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua unit pabrik kayu sawit dalam selang waktu sekitar dua
tahun. Penelitian pertama dilakukan di pabrik kayu lapis PT Sumalindo, Loh Janan, Kalimantan
Timur pada tahun 2006. Penelitian ke dua dilakukan di pabrik kayu lapis PT Forestama Raya
(Group RGM), Rumbai, Riau pada tahun 2008.
B. Bahan Penelitian
Bahan kayu bulat sawit yang digunakan dalam penelitian pertama berasal dari tanaman
sawit berusia 24 tahun di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Bahan kayu bulat sawit pada
percobaan ke dua berasal dari perkebunan sawit berumur sekitar 22 tahun milik PTP Nusantara V,
Riau. Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah perekat Urea
Formaldehida (UF), dempul, pita gulung (reeling tape) dan pita rekat (gummer tape).
D. Rancangan Percobaan
Percobaan ini memiliki tiga faktor utama, yaitu proses produksi, jumlah lapisan dan
komposisi lapisan. Proses produksi panel dilakukan secara berbeda menurut fasilitas pengolahan
pabrik. Pembuatan panel secara umum dibuat dalam dua kelompok contoh panel menurut
perlakuan jumlah lapisan (JL) dan komposisi lapisan (KL). Jumlah lapisan terdiri dari dua taraf,
yaitu 7 dan 11 lapis. Komposisi lapisan terdiri dari 3 taraf, yaitu 82, 92 dan 100% kandungan
venir sawit. Masing-masing taraf memiliki ulangan sebanyak 5 buah contoh panel. Untuk
mengetahui pengaruh masing-masing faktor di atas terhadap karakteristik panel dilakukan analisis
data menurut prosedur faktorial.
Gambaran efisiensi (rendemen) pada proses produksi kayu lapis sawit menurut tahapannya
disajikan pada Tabel 1. Proses pemotongan bagian ujung kayu bulat (log) pada tahap awal
menyebabkan kehilangan volume sekitar 3%. Porsi kehilangan pada tahap ini relatif sama dengan
kehilangan volume yang terjadi dalam pengolahan jenis kayu lainnya yang berasal dari hutan
tanaman maupun kayu rakyat.
Proses pengupasan kayu bulat sawit pada percobaan pertama di PT Sumalindo, yang
dilakukan dengan menggunakan sudut kupas sekitar 23o pada mesin Rotary lathe dan 21o pada
mesin Spindle less cenderung menimbulkan kerusakan pada venir yang dihasilkan, sehingga
menyebabkan rendemen venir pada percobaan ini tidak lebih dari 43%. Pengubahan ukuran sudut
pisau pada mesin kupas menjadi 19o dalam percobaan ke dua di PT Asia Forestama Raya secara
efektif dapat meningkatkan rendemen venir menjadi sekitar 63%. Hasil ini menunjukkan bahwa
rendemen venir kayu sawit pada tahap awal (sebelum perlakuan kompresi) mendekati nilai
rendemen venir kayu tanaman (69 - 70%). Namun demikian, hasil pengupasan venir kayu sawit
akan menjadi lebih baik apabila kecepatan putar (RPM) pada spindle rotary dapat diperlambat
Proses pengempaan dan pengeringan venir pada percobaan pertama terjadi secara
bersamaan pada satu unit mesin (press dryer) dan kadar air venir setelah melalui perlakuan
tersebut mencapai 6%, sehingga venir mengalami kehilangan volumetris sekitar 26% dalam press-
drying. Pada percobaan ke dua perlakuan pengempaan dan pengeringan venir masing-masing
menyebabkan kehilangan volume sekitar 24 dan 13%. Kedua perlakuan tersebut menunjukkan
kehilangan volumetris pada venir sawit sekitar 60% dari volume venir kayu sawit basah.
Perubahan dimensi secara drastis pada struktur kayu sawit bersifat unik, serupa dengan struktur
kayu kelapa (Balfas, 2007), namun tidak dijumpai pada struktur kayu tradisional baik yang
berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh
kandungan air dan jaringan parenkim dalam jumlah besar pada kayu sawit (Balfas, 2006). Pada
tahap inilah kompatibilitas (kuantitatif) venir kayu sawit menjadi sangat rendah dibandingkan
dengan venir kayu asal hutan tanaman yang sampai tahap kondisi venir kering dapat mencapai
rendemen lebih dari 50%. Namun demikian, perlakuan pengempaan tersebut menghasilkan venir
dengan kerapatan struktur lebih dari dua kali kerapatan kayu sawit asal, sehingga memiliki sifat
keteguhan longitudinal lebih baik daripada venir kayu hutan tanaman, terutama dari jenis pohon
cepat tumbuh.
Dalam tahap pengempaan panel pada mesin hot press terjadi kehilangan volumetris sekitar
0,2% pada percobaan pertama, yang nilainya relatif kecil dibandingkan dengan 1,5% pada
percobaan ke dua (Tabel 1). Perbedaan ini terutama berkaitan dengan perbedaan kadar air venir
setelah proses pengeringan, di mana metode pertama mencapai kadar air 6%, sedangkan pada
metode ke dua hanya sekitar 12%. Menurut Haygreen dan Bowyer (1985) nilai kadar air venir
saat penyusunan panel sangat menentukan besaran penyusutan panel dalam proses pengempaan
panas.
Nilai kadar air pada panel 7-lapis lebih rendah daripada kadar air panel 11-lapis (Tabel 2).
Sebalikanya nilai kerapatan pada panel 7-lapis lebih tinggi daripada kerapatan panel 11-lapis.
Perbedaan kedua sifat fisis tersebut tampak konsisten pada percobaan pertama maupun percobaan
ke dua. Perbedaan sifat ini merupakan suatu kecenderungan teknis yang lazim dijumpai dalam
proses produksi panel kayu lapis, sebagai akibat dari proses pengempaan panas (hot pressing)
terhadap karakteristik panel. Panel kayu lapis yang terbuat dari kondisi venir yang sama akan
mengalami penurunan kadar air dan peningkatan kerapatan dengan berkurangnya jumlah lapisan
pada panel Anonim (2008).
Kadar air pada panel kayu lapis sawit mengalami peningkatan dengan pertambahan
komposisi venir sawit (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa venir kayu sawit bersifat lebih
higroskopis dibandingkan dengan venir kayu kamper yang digunakan sebagai komponen
kombinasi dalam penelitian ini. Karakteristik tersebut berkaitan dengan sifat dasar kayu sawit
yang memiliki kadar air lebih tinggi dari kayu tradisional dari hutan alam maupun tanaman,
sehingga secara alami kayu sawit memiliki tempat ikatan air (water sorption sites) lebih banyak
daripada kayu lainnya (Balfas, 1998).
Karakteristik mekanis panel kayu lapis sawit disajikan pada Tabel 4. Nilai keteguhan rekat
pada panel kayu sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor proses percobaan, jumlah lapisan,
komposisi lapisan, serta kombinasi ketiga faktor tersebut (Tabel 5). Keragaman nilai keteguhan
rekat pada panel kayu sawit mengikuti pola keragaman pada nilai kerapatan panel. Kedua
parameter ini memiliki korelasi yang sangat erat (p>99%) dengan koefisien korelasi (R2) sebesar
0,884. Hal ini berarti nilai keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit mengalami peningkatan
dengan pertambahan nilai kerapatan panel. Fenomena serupa telah dilaporkan oleh Santoso dan
Sutigno (2004) pada panel kayu lapis kapur.
Nilai keteguhan geser rekatan pada Tabel 4 secara umum memiliki nilai keteguhan lebih
rendah daripada batasan minimal yang ditetapkan dalam standar Jepang (7 kg/cm2). Hal ini berarti
bahwa kualitas rekatan pada panel kayu lapis sawit lebih rendah daripada rekatan pada panel kayu
lapis sengon yang dilaporkan oleh Iskandar (2006). Namun demikian, panel kayu lapis sawit
Tabel 5. Analisis keragaman pada sifat mekanis panel kayu lapis sawit
db F- Hitung
Sumber keragaman
Keteguhan rekat Kerusakan kayu Delaminasi
EXP = Percobaan 1 308,710 sn 0 tn 0 tn
NUMBER = Jumlah lapisan 1 174,661 sn 0 tn 0 tn
COMP = Komposisi lapisan 2 0,920 sn 0 tn 0 tn
EXP * NUMBER 1 1,448 sn 0 tn 0 tn
EXP * COMP 2 0,134 tn 0 tn 0 tn
NUMBER * COMP 2 0,897 sn 0 tn 0 tn
EXP * NUMBER * COMP 2 0,659 sn 0 tn 0 tn
Galat 48
Keterangan: db = derajat bebas; sn = sangat nyata; tn = tidak nyata
Nilai kerusakan kayu dan delaminasi pada semua panel kayu lapis sawit masing-masing
menunjukkan nilai yang sama (Tabel 4). Nilai kerusakan kayu pada panel sebesar 100%
menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat pada panel tersebut sesungguhnya menggambarkan
nilai keteguhan geser pada venir kayu sawit. Artinya keteguhan rekat pada garis rekatan (bonding
line) dapat mencapai lebih dari nilai yang tercantum pada Tabel 4, karena pada garis rekatan
tersebut tidak terjadi kerusakan. Dengan demikian kelemahan yang dijumpai pada kualitas rekatan
A. Kesimpulan
1. Batang sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan panel kayu lapis dengan menggunakan
fasilitas konvensional yang terdapat pada industri kayu lapis.
2. Percobaan produksi venir kayu sawit menghasilkan rendemen venir basah sebesar 42 sampai
dengan 63% tergantung fasilitas dalam proses produksi.
3. Peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam pembuatan venir dan panel kayu lapis sawit
dapat dilakukan melalui beberapa modifikasi pada mesin dan peralatan yang digunakan dalam
proses produksi.
4. Kualitas panel kayu lapis sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor proses percobaan, jumlah
lapisan dan komposisi lapisan.
5. Keteguhan rekat pada kayu lapis sawit memiliki korelasi positif dengan nilai kerapatannya.
6. Panel kayu lapis sawit relatif kurang stabil dan memiliki kualitas rekatan lebih rendah
dibandingkan dengan panel kayu lapis sengon.
7. Mengacu pada standar Jepang (JAS) kayu lapis sawit hanya memenuhi persyaratan panel
interior.
B. Saran
1. Percobaan pemanfaatan batang kayu sawit untuk produksi kayu lapis menunjukkan hasil
produk yang cukup baik, namun masih banyak hal yang perlu disempurnakan melalui
modifikasi mesin, peralatan, serta tahapan dalam proses produksi, sehingga kegiatan produksi
dapat dilakukan secara lebih praktis dan efisien, serta pencapaian kualitas produk yang lebih
tinggi.
2. Kelemahan pada struktur anatomi kayu sawit perlu disempurnakan melalui suatu proses
densifikasi yang lebih efektif agar diperoleh stabilitas dimensi dan keteguhan rekat panel yang
lebih sempurna.
Anonim. 1993. Japanese Agricultural Standard for Structural Plywood. Japan Plywood Inspection
Corporation. Tokyo.
______. 2008. Plywood Design Fundamentals. Canadian Plywood Association. Canada.
Balfas, J. 1998. Sifat dasar kayu sawit. Prosiding Diskusi Nasional Hutan Rawa dan Ekspose
Hasil Penelitian di Sumatra Utara. Medan 18-19 September 1998. Balai Penelitian
Kehutanan. Pematang Siantar.
_______, 2006. New approach to oil palm wood utilization for wood working production, Part 1:
Basic properties. Journal of Forestry Research 3(1):55-66. Forestry Research and
Development Agency. Jakarta.
_______. 2007. Perlakuan resin pada kayu kelapa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 25(2):108-118.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Direktorat Paten. 2011. Metode pembuatan produk kayu lapis padatan dari kayu sawit. Deskripsi
Paten ID P0028355. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
Haygeen, J.G. and L. Bowyer. 1985. Forest Products and Wood Science. Second Printing. The
IOWA State University Press. Ames.
Iskandar, M.I. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L)
Nielsen) untuk kayu rakitan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006. Bogor, 21
September 2006; 142-150. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Purwanto, B.E. 2008. Alokasi bahan baku kayu untuk keperluan domestik. Prosiding Seminar
Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 25 Oktober 2008; 7-15. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Santoso, A. dan P. Sutigno. 2004. Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat
Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan. 22(2):61-68. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Oleh:
Dedi Setiadi
Balai Beasar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
Jalan Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582
Telp. (0274) 895954, 896080, Fax. (0274) 896080
E-mail: setiadi2009@yahoo.com
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Pemuliaan pohon merupakan salah satu upaya dalam rangka peningkatan produktifitas
hutan melalui penyediaan benih yang berkualitas/unggul. Sumbangan keberhasilan kegiatan
pemuliaan pohon akan dapat diidentifikasi bahwa pertumbuhan tanaman, kualitas produksi,
ketahanan terhadap hama dan penyakit dan adaptasi terhadap lingkungan akan menjadi lebih baik
jika dibandingkan dengan tanpa adanya kegiatan pemuliaan pohon. Sangat tepat kiranya bahwa
kegiatan pemuliaan pohon di Indonesia harus mendapatkan perhatian yang cukup serius baik
dalam perencanaan, pengelolaan maupun pelaksanaan di lapangan, karena Indonesia memiliki
potensi sumberdaya hutan alam tropis yang cukup besar. Hal ini ditunjang lagi dengan adanya
komitmen pemerintah untuk mensukseskan program pembangunan hutan tanaman industri yang
bercirkan meningkatnya produktifitas hutan tanaman tanpa meninggalkan aspek kelestarian
sumberdaya hutan dan lingkungan.
A. Koleksi Benih
Benih dikumpulkan dari pohon induk dari hutan alam di Papua. Pemilihan pohon plus
didasarkan pada fenotipenya, yang sifat fenotipik tersebut merupakan cerminan dari faktor genetik
dan lingkungan tempat tumbuhnya (Wright 1976, Zobel dan Talbert 1984). Seleksi pohon induk
didasarkan baik pada sifat kualitatif, maupun kuantitatif seperti tinggi dan diameter batang, tinggi
hingga bebas cabang, lebar tajuk, bentuk batang, resistensi terhadap serangan hama dan penyakit.
Contoh pohon plus yang berhasil ditunjuk disampaikan pada Gambar 1. Informasi detil mengenai
provenan dimana benih dikoleksi disampaikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sumber asal benih yang digunakan dalam uji keturunan A. cunninghamii di Bondowoso,
Jawa Timur
No. Provenan Jumlah Lokasi Garis Lintang Garis Bujur Ketinggian tempat
Famili Selatan Timur (m dpl)
1 Serui 11 Kanobon 02 o - 34 ' 135 o - 11 ' 800
2 Wamena 28 Napua 04 o - 21 ' 135 o - 11 ' 1600
3 Manokwari 12 Kebar 02 o - 59 ' 139 o - 09 ' 1200
4 Jayapura 6 Cyklop 04 o - 25 ' 140 o - 38 ' 1600
5 Queensland 16 Yarraman 26 o - 52 ' 152 o - 25 ' 1000
6 Fak-fak 7 Fak-fak 02 o - 34 ' 132 o - 31 ' 900
Estimasi heritabilitas famili setiap sifat yang diukur dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut (Hardiyanto, 2007);
V2f
2
h f=
V2f + (V2bf) / b + (V2e) / nb
3 V2f
hi2 =
V2f + V2bf + V2e
Komponen varans famili (V2f) diasumsikan sebesar 1/3 varians genetik aditif (V2A), karena
benih dikumpulkan dari pohon induk dengan penyerbukan alami pada hutan alam di mana
sebagian benih kemungkinan hasil dari kawin kerabat (neighborhood inbreeding).
Keterangan:
h2i = nilai heritabilitas individu
h2f = nilai heritabilitas famili
V2f = komponen varians famili
V2bf = komponen varians interaksi antara blok dan famili
V2e = komponen varians error
n = rerata harmonik jumlah pohon per plot
b = rerata harmonik jumlah blok
Taksiran korelasi genetik antar karakteristik, dihitung menggunakan formula sebagai berikut
(Zobel dan Talbert, 1984):
V f xy
rg =
(V2fx . V2fy)
Sedangkan untuk menghitung besarnya komponen kovarians untuk dua sifat (x dan y),
menggunakan rumus sebagai berikut (Fins et al,. 1992):
V f xy = 0,5 (V2 f (x + y) - V2f x - V2f y)
rg = korelasi genetik
f (x y) = komponen kovarians untuk sifat x dan y
2f (x+y) = komponen varians untuk sifat x dan y
2f (x) = komponen varians famili untuk sifat x
2f (y) = komponen varians famili nuntuk sifat y
A. Pertumbuhan Tanaman
Berdasarkan Gambar 1 yaitu pada tingkat lapang umur 6 bulan penampilan pertumbuhan
provenan untuk tinggi terbaik dicapai oleh provenan dari Queensland dan penampilan
pertumbuhan provenan dengan pertumbuhan terendah dicapai provenan dari Manokwari. Tetapi
pada umur 12 bulan di lapangan terlihat bahwa terjadi perubahan rangking pertumbuhan dalam
provenan yaitu penampilan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh provenan dari Manokwari dan
penampilan pertumbuhan terendah dicapai oleh provenan dari Queensland seperti terlihat pada
Gambar 2. Keragaman pertumbuhan tanaman pada tingkat lapang umur 6, 12 dan 24 bulan
disajikan pada Gambar 3.
60
53.57
49.81 49.85 49.81 50.18
Tinggi (cm) / Diameter (mm)
50 46.06
40
30
20
0
1. Fak-fak 2. Jay ap ura 3. Serui 4. Wamena 5. M anokwari 6. Queensland
Provenan
Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter uji keturunan A. cunninghamii umur 6 bulan
pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur
100 88.03
83.52 84.24
Tinggi (cm) / Diameter (mm)
Gambar 2. Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter uji keturunan A. cunninghamii umur 12 bulan
pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur
Untuk mengetahui rerata pertumbuhan tinggi dan diameter umur 6 bulan dan 12 bulan
diurut berdasarkan rangking disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter A. cunninghamii umur 6 dan 12 bulan pada
tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur
Tabel 3 serta Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa rerata pertumbuhan tinggi pada
umur 6 bulan di tingkat lapang mencapai 49,88 cm dengan nilai tertinggi sebesar 53,57 cm yang
dicapai provenan dari Queensland dan nilai terendah sebesar 46,06 cm dari provenan Manokwari.
Sedangkan rerata pertumbuhan diameternya sebsar 7,56 mm, dengan nilai tertinggi diameter
sebesar 8,06 mm yang dicapai provenan dari Wamena dan nilai diameter terendah sebesar 6,84
mm dari provenan Manokwari. Pada umur 12 bulan rerata pertumbuhan tinggi sebesar 83,85 cm
dengan nilai tertinggi sebesar 88,03 cm yang dicapai provenan dari Manokwari dan nilai terendah
sebesar 81,35 cm yang dicapai provenan dari Queensland. Untuk rerata pertumbuhan diameter
pada umur 12 bulan, di lapangan sebesar 13,74 mm dengan nilai diameter terbesar 14, 30 mm
yang dicapai provenan dari Jayapura dan nilai diameter terendah sebesar 12,72 mm yang dicapai
provenan dari Queensland.
Tabel 4. Analisis varian dan nilai heritabilitas famili (h 2f) uji keturunan A. cunninghamii umur 6,
12 dan 24 bulan pada tingkat lapang di Bondowoso-Jawa Timur
db Kuadrat tengah
Sumber keragaman
Tinggi Diameter
Umur 6 bulan
Blok 3 2628,068** 29,689**
Provenan 5 881,821** 35,321**
Famili (Provenan) 82 303,692** 3,515**
Blok x Fam (Provenan) 230 101,733** 1,543**
Error 959 77,788 1,136
Umur 12 bulan
Blok 3 12578,659** 108,049**
Provenan 5 1368,889** 66,773**
Famili (Provenan) 82 632,044** 10,851**
Blok x Fam (Provenan) 230 279,147** 4,884**
Error 959 220,025 4,240
Umur 24 bulan
Blok 3 64086.6212** 1035.238422**
Provenan 5 4111.9809** 433.926526**
Famili (Provenan) 82 2230.1741** 112.361133**
Blok x Fam (Provenan) 230 1100.7361** 41.505599*
Error 959 752.853 32.91372
Keterangan: ** = signifikan pada taraf uji 1%, * = signifikan pada taraf uji 5%
Berdasarkan hasil analisis varians di atas (Tabel 4) menunjukkan bahwa perbedaan blok,
provenan dan famili adalah sangat berbeda nyata untuk sifat tinggi dan diameter tanaman di kebun
benih uji keturunan A. cunninghamii sampai dengan umur 24 bulan di Bondowoso. Hal ini
menunjukkan bahwa dari awal pertumbuhan pada saat umur 6, 12 dan sampai umur 24 bulan
terlihat keragaman famili dalam provenan sangat berbeda nyata. Dengan demikian berarti bahwa
keragaman yang tinggi untuk sifat-sifat tersebut disebabkan oleh sifat genetik A. cunninghamii
Tabel 5. Estimasi heritabilitas famili, individu dan Korelasi Genetik dari karakter pohon A.
cunninghamii umur 6, 12 dan 24 bulan di Bondowoso, Jawa Timur
IV. KESIMPULAN
1. Persen hidup rata-rata famili-famili A.cunninghamii sampai umur 24 bulan secara umum baik.
2. Variasi pertumbuhan tinggi dan diameter dipengaruhi oleh faktor keragaman sumber
benih/provenan dan famili yang diuji.
3. Provenan terbaik pada umur 6 bulan ditunjukkan oleh provenan Queensland, diikuti oleh
provenan Wamena, Serui, Fak-fak, Jayapura dan Manokwari. Tetapi terjadi perubahan
rangking pada umur 12 bulan provenan dari Manokwari menujukkan penampilan
pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena, Jayapura, Fak-fak, Serui
dan Queensland.
4. Nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter tanaman termasuk klasifikasi sedang, hal ini
memberi indikasi bahwa keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter itu dipengaruhi oleh
faktor genetik selain oleh faktor lingkungan.
5. Korelasi sifat tinggi dan diameter cukup kuat, sehingga perbaikan satu sifat itu akan secara
langsung memperbaiki sifat lainnya.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr. A.Y.P.B.C.
Widyatmoko sebagai koordinator penelitian jenis A. cunninghamii yang mengarahkan penulisan
dan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada peneliti dan teknisi team
penelitian A. cunninghamii yang telah membantu dalam pembangunan kebun benih tersebut, serta
pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Zulfansyah , Hari Rionaldo1 dan Nur Asma Deli 2
1*
1
Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, Pekanbaru
Kampus Binawidya Jalan H.R. Subrantas Km. 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru 28293
*
E-mail: zulfansyah@unri.ac.id
2
Program Studi Teknologi Pengolahan Sawit Politeknik Kampar, Bangkinang
Jalan Tengku Muhammad Bangkinang Km. 2 Batu Belah, Riau 28461
ABSTRAK
Peningkatan komsumsi pulp dan kertas tidak hanya mengakibatkan perlunya ketersediaan
bahan baku yang lebih, tetapi juga memerlukan pengembangan proses-proses baru dalam
pembuatan pulp yang dapat meningkatkan produksi pulp dan lebih ramah lingkungan. Bahan
bukan kayu (non-wood), seperti limbah agroindustri sawit, merupakan bahan baku alternatif yang
layak diperhitungkan sebagai sumber selulosa untuk pembuatan pulp dan kertas dengan kualitas
yang memenuhi standar. Makalah ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian pembuatan
pulp dengan bahan baku limbah agroindustri sawit menggunakan pelarut organik asam formiat
dan asetat. Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) sangat menarik untuk
dikembangkan, karena lebih ramah lingkungan dibanding proses pembuatan pulp konvensional
(kraft dan soda). Selain itu, proses organosolv juga dapat memanfaatkan keseluruhan komponen
utama biomassa menjadi sumber bahan baku produk yang bernilai jual. Sehingga upaya
penerapan teknologi hijau bagi industri pulp dan kertas menjadi lebih mungkin pelaksanaannya.
Pelarut organik yang digunakan, kondisi proses pembuatan pulp, seperti konsentrasi asam
organik, suhu dan waktu pemasakan, nisbah cairan terhadap biomassa, jenis dan konsentrasi
katalis yang digunakan, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pulp yang
dihasilkan dari proses organosolv.
I. PENDAHULUAN
Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri yang sangat berperan dalam memacu
roda perekonomian Indonesia. Kebutuhan pulp diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya,
seiiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kebutuhan pulp dunia
mencapai 20% setiap tahunnya (Gracia et al., 2008), sedangkan di Indonesia rata-rata sebesar 5%
pertahun (Pattinasarany, 2010). Namum demikian, perkembangan industri pulp di Indonesia
masih menemui beberapa kendala, seperti ketersediaan bahan baku. Hal ini dikarenakan pasokan
kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) belum sepenuhnya dapat menggantikan bahan baku dari
hutan alam (Pattinasarany, 2010). Selain itu, perkembangan teknologi proses pembuatan pulp juga
diharuskan untuk mampu menyelesaikan beberapa persoalan yang berhubungan dengan dampak
lingkungan. Bahan baku alternatif, seperti dari bahan non-wood, serta teknologi proses pembuatan
pulp yang ramah lingkungan, mulai dari proses pemasakan sampai proses pemucatan pulp, akan
menjadi suatu upaya dalam mendorong berkembangnya industri pulp dan kelestarian lingkungan.
Agroindustri sawit berkembang sangat pesat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.
Sampai tahun 2009, luas perkebuan sawit telah melebihi 7,5 juta hektar dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 4,7% pertahun. Kemudian, total jumlah pabrik CPO di Indonesia sebanyak
680 unit, dengan kapasitas terpasang 34.280 ton TBS/jam, telah mampu menghasilkan produk
CPO sekitar 19,8 juta ton (Hambali et al., 2010). Namun demikian, perkembangan agroindustri
Upaya pemanfaatan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pulp sangatlah tepat. Selain dapat
memenuhi kebutuhan pulp dan kertas yang terus meningkat, pemanfaatkan TKS dan pelepah
sebagai bahan baku pulp dan kertas juga mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi
agroindustri sawit, sekaligus meningkatkan program pelestarian lingkungan. TKS dan pelepah
Pembuatan pulp dengan pelarut organik akan sangat menarik untuk dikembangkan
prosesnya jika menggunakan bahan baku TKS dan pelepah sawit. Selain menjadi solusi bagi
penanggulangan limbah padat agroindustri sawit, proses organosolv juga diyakini mampu
mewujudkan produksi bersih pada industri pulp (Villaverde et al., 2010). Proses organosolv
dilangsungkan dengan menerapkan konsep fraksionasi biomassa, dengan memilah biomassa
menjadi komponen utama penyusunnya yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, dan tanpa banyak
merusak ataupun mengubahnya. Selanjutnya, hasil pemilahan tersebut dapat diolah dengan
berbagai proses menjadi produk yang dapat dipasarkan, dan konsep ini dikenal dengan
biomassrefinery (Myerly et al., 1981). Prinsip pengolahan proses organosolv adalah berdasarkan
perbedaan sifat kimia fisik komponen utama penyusun biomassa, perbedaan sifat-sifat tersebut
disajikan dalam Tabel 2, dan secara sederhana skema proses organosolv ditampilkan pada
Gambar 2.
Tandan kosong dan pelepah sawit merupakan biomassa non-wood, sehingga sangat sesuai
jika diolah dengan proses organosolv untuk menghasilkan produk pulp. Umumnya, bahan baku
pulp non-wood diolah secara semi kimia berbasis alkali. Adanya senyawa silika pada sebagian
besar bahan non-wood dan densiti bahan yang relatif lebih rendah dibanding kayu, menyebabkan
sulitnya pengolahan bahan non-wood dengan proses Kraft (Rousu et al., 2002). Sehingga
penggunaan asam asetat dan formiat sebagai media penyisihan lignin dalam pembuatan pulp dari
TKS dan pelepah lebih tepat dibanding proses konvensional. Selengkapnya beberapa keunggulan
proses organosolv dibanding proses pembuatan pulp konvensional (kraft) ditabulasikan dalam
Tabel 3. Walaupun demikian, proses organosolv masih memiliki kekurangan yaitu sulitnya
mengambil kembali seluruh pelarut organik yang diumpankan ke dalam sistem proses organosolv.
Beberapa pelarut organik membentuk sistem azeotrop dengan air, sehingga membutuhkan unit
operasi yang lebih rumit.
Pengunaan pelarut organik dalam pembuatan pulp dari limbah agroindustri sawit telah
dilakukan sebagai upaya penanggulangan TKS dan pelepah, seperti yang diperlihatkan dalam
Tabel 4. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa, baik TKS maupun pelepah dapat diproses
oleh pelarut organik menjadi pulp dengan kualitas yang beragam, tergantung kondisi operasi. TKS
dapat dijadikan bahan baku pulp dengan pelarut asam asetat (Zulfansyah dan Susanto, 1998;
Zulfansyah, 2000), asam formiat (Azman et al., 2002; Fermi et al., 2010; Mariana et al., 2010;
Ferrer et al., 2011), dan beberapa asam organik bertitik didih tinggi seperti etilen glikol
(Rodriquez et al., 2007; Arliols et al., 2009), dietilen glikol, etanol amin, dietanol amin
(Rodriquez et al., 2008). Sedangkan pelepah dapat dijadikan bahan baku pulp dengan
menggunakan pelarut asam formiat (Deli et al., 2005; Zulfansyah et al., 2010; Wanrosli et al.,
2011). Kualitas pulp berbahan baku TKS dan pelepah dipengaruhi kondisi operasi pembuatan
pulp, seperti konsentrasi asam organik, lama pemasakan, jenis dan konsentrasi katalis, suhu
pemasakan, dan nisbah cairan terhadap biomassa (C/B). Pemasakan TKS dan pelepah dalam
media asam asetat dan formiat dapat dilakukan dengan proses tahap tunggal, baik delignifikasi
maupun hidrolisis hemiselulosa berlangsung secara serempak.
Tabel 4. Pembuatan pulp berbahan baku TKS dan pelepah sawit menggunakan pelarut organik
asam asetat dan formiat
No. Pelarut organik Bahan baku Kondisi operasi Yield, % Lignin Peneliti
1. Asam asetat TKS Asetat= 70, 90% Zulfansyahdan
(Acetosolv) C/P = 8/1,10/1,12/1 Susanto
t = 3 jam 40-50 4-7% (1998)
[HCl] = 1%
T = 120oC
2. Asam asetat TKS Asetat= 70% Zulfansyah
(Acetosolv) C/P = 10/1 (2000)
t = 1-4 jam 32-72 0,5-13%
[HCl] = 0-2%
T = 120-160oC
3. Asam formiat TKS Formiat = 85% Azman et al.
(milox 2 tahap) t tahap 2 = 2 jam (2002)
t tahap 1 = 1-3 jam
32,8-42,3 1,4-6,4%
C/P = 8/1 dan 10/1
H2O2 = 1,3,5%
T = 107oC
4. Asam formiat TKS Formiat = 70,80,90% Fermi et al.
(milox 1 tahap) t = 1,2,3 jam (2010)
Kappa No
C/P =8/1,10/1,12/1 35,9-39,7
3,5-28,9
H2O2 = 5%
T = 107oC
No. Pelarut organik Bahan baku Kondisi operasi Yield, % Lignin Peneliti
5. Asam formiat TKS Formiat = 70-90% Mariana et al.
(milox 1 tahap) T = 5-240 menit (2010)
C/P =10/1 35-63 8-13,5%
H2O2 = 5%
T = 107oC
6. Asam formiat TKS Formiat = 80-95% Ferrer et al.
(milox 2 tahap) C/P = 10/1 (2011)
Kappa No
t = 1-3 jam 41,7-56,5
7-31,6
H2O2 = 2-4%
T = 107oC
7. Asam formiat Pelepah Formiat = 70,80,90% Deli et al.
(milox 1 tahap) C/P = 8/1,9/1,10/1 (2005)
Kappa No
t = 1,2,3 jam 23,8-38,4
9,5-30
H2O2 = 5%
T = 107oC
8. Asam formiat Pelepah Formiat = 65,75,85% Zulfansyah et
(milox 1 tahap) C/P = 10/1 al. (2010)
t = 1,2,3 jam 33,1-50,7 9,4-13,1%
H2O2 = 1,3,5%
T = 107oC
9. Asam asetat Pelepah Asetat = 65-95% Wanrosli et al.
(Acetosolv) C/P =10/1 (2011)
t = 2 jam - 13-16
HCl = 0-1%
T = 110-170 oC
Secara umum kualitas pulp yang dihasilkan dari TKS dan pelepahdengan pelarut asam
asetat dan formiat memenuhi persyaratan kualitas pulp untuk kertas, baik sebagai kertas cetak
maupun kertas pembungkus. Pulp TKS yang dihasilkan dari pemasakan dengan pelarut asam
asetat kualitasnya cukup berimbang jika dibandingkan dengan pulp pelepah sawit yang dimasak
dengan pelarut organik yang sama, dan dengan pulp TKS yang dimasak dengan pelarut organik
asam formiat menggunakan proses 2 tahap. Tetapi, pulp TKS yang dimasak dengan pelarut
organik asam asetat kualitasnya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pulp pelepah sawit
yang dimasak dengan pelarut organik asam formiat menggunakan proses tahap tunggal. Selain itu,
pulp TKS yang dihasilkan dari pemasakan dalam media asam asetat juga memenuhi standar pulp
kimia, dengan kadar lignin <1%, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produk berbasis
selulosa (Zulfansyah, 2000). Penambahan tahap pada pemasakan TKS dengan pelarut asam
formiat dapat memperbaiki kualitas pulp menjadi lebih baik, jika dilihat dari kadar lignin pulp
(Azman et al., 2002; Ferrer et al., 2011).
Pembuatan pulp TKS dan pelepah sawit dengan pelarut organik asam asetat dan formiat
dapat dilakukan dengan konsentrasi asam berkisar antara 65 - 95%-berat, baik untuk asam asetat
maupun formiat. Penggunaan konsentrasi asam asetat 70 - 75% dalam pemasakan TKS dan
pelepah ternyata memberikan pulp dengan kualitas yang terbaik, yield memadai dan kadar lignin
pulp terendah. Sedangkan pada penggunaan asam formiat untuk pemasakan TKS dan pelepah,
pulp dengan kualitas terbaik diperoleh dengan konsentrasi asam 85 - 90%. Pelarut organik asam
Gambar 4. Yield vs kadar lignin pada pemasakan TKS dengan proses organosolv (pelarut asam
asetat, asam formiat 1 tahap, asam formiat 2 tahap)
Nisbah cairan terhadap biomassa yang digunakan pada pemasakan TKS dan pelepah dengan
pelarut organik asam asetat dan formiat berkisar antara 8/1 - 12/1. Pemasakan menggunakan
pelarut organik asam asetat dengan nisbah yang besar (12/1) menghasilkan kualitas pulp yang
lebih baik dibandingkan dengan penggunaan nisbah yang lebih kecil. Sebaliknya, pemasakan
dengan pelarut asam formiat penggunaan nisbah yang kecil 8/1 menghasilkan pulp dengan
kualitas yang lebih baik dibandingkan penggunaan nisbah yang lebih besar. Penggunaan pelarut
oganik asam formiat dalam pembuatan pulp TKS dan pelepah lebih ekonomis dibanding asam
asetat, jika melihat perbandingan nisbah cairan terhadap biomassa yang dapat menghasilkan pulp
dengan kualitas terbaik. Perbandingan cairan yang lebih sedikit menyebabkan kapasitas
pemasakan biomassa yang lebih banyak. Sebagai perbandingan proses konvensional biasanya
menggunakan nisbah cairan terhadap biomassa sekitar 3,5 - 4,5.
Katalis yang ditambahkan untuk pemasakan dengan menggunakan pelarut organik adalah
asam klorida (HCl), dengan konsentrasi 1 - 2%. Sedangkan, katalis yang digunakan pada
pemasakan menggunakan pelarut asam formiat adalah H2O2, dengan konsentrasi 1 - 5%.
Gambar 5. Delignifikasi biomassa dalam pelarut asam asetat dan formiat (a. yield pulp; b. kadar
lignin pulp) (Villaverde et al., 2010)
Selain bisa digunakan untuk memprediksi kualitas pulp, model empiris yang dihasilkan juga
dapat digunakan untuk mengetahui kondisi proses yang paling mempengaruhi kualitas pulp.
Untuk pemasakan TKS dalam media asam asetat, suhu (T) merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap yield pulp, kadar lignin dan kadar -selulosa pulp. Sedangkan konsentrasi
katalis (C) merupakan faktor paling sedikit pengaruhnya terhadap yield dan kadar lignin pulp
TKS. Sementara, waktu (t) menjadi faktor yang kurang berpengaruh terhadap kadar -selulosa
pulp. Kemudian, pada pemasakan pelepah dalam media asam formiat, konsentrasi asam formiat
merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar terhadap yield, tetapi menjadi faktor yang
60 50 45
55
45 40
50
%
%
, 45 ,%40 ,d 35
d
le ld l
i e
iy ie
y 40 35 y 30
35
30 25
30 3
1 1
25 25 20
65 65
65 2 2
2 t, jam 70
t, jam t, jam
75
75 75
[HCOOH], % 80 1
3 [HCOOH], % 3 [HCOOH], %
85
85 85
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi asam formiat dan waktu pemasakan terhadap yield pada
pembuatan pulp dari pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal (Zulfansyah
et al., 2010)
a) Konsentrasi asam formiat 65% b) konsentrasi asam formiat 75% c. Konsentrasi asam formiat 85%
5 5 14-16 5
14-16 13-15
12-14
12-14 11-13
10-12
Konsentrasi hidrogen peroksida, %
3 3 3
1 1
1
1 2 3 1 2 3
1 2 3
Waktu pemasakan (t), jam waktu pemasakan (t), jam
Waktu pemasakan (t), jam
Gambar 7. Pengaruh kondisi operasi terhadap kadar lignin pulp pada pembuatan pulp dari
pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal (Zulfansyah et al., 2010)
V. KESIMPULAN
Tandan kosong dan pelepah sawit merupakan limbah agroindustri sawit yang sangat
berpotensi untuk dijadikan bahan baku alternatif pada industri pulp dan kertas. Penggunaan proses
organosolv, baik dengan pelarut asam asetat maupun asam formiat, merupakan pilihan yang tepat
untuk memanfaatkan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pembuatan pulp, karena proses ini
ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan proses organosolv dapat mendorong terwujudnya
produksi bersih bagi industri pulp dan agroindustri sawit. Pengunaan asam asetat sebagai pelarut
organik dalam pemanfaatan TKS dan pelepah memberikan selektivitas delignifikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan asam formiat. Namum demikian, jumlah asam asetat yang
DAFTAR PUSTAKA
Alriols, M.G., A. Tejado, M. Blanco, I. Mondragon and J. Labidi. 2009. Agricultural palm oil tree
residues as raw material for cellulose, lignin and hemicelluloses production by ethylene
glycol pulping process. Chemical Engineering Journal 148:106114.
Azman, N., A.E. Putra, Zulfansyah dan P.S. Utama. 2002. Pembuatan pulp dari tandan kosong
sawit dengan proses milox. Prosiding Seminar Skripsi Mahasiswa Universitas Riau 2002.
Biermann, C.J. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking, 2nd ed. Academic Press. USA.
Budiman, A.F.S., F.G. Winarno, T. Silitonga dan B. Soewardi. 1985. Potensi pemanfaatan limbah
can pemanfaatan hasil perkebunan. Kantor Menteri Negara Muda Urusan Produksi Pangan.
Fermi, M.I., Zulfansyah dan S.K. Dewi. 2010. Pembuatan pulp pelepah sawit dengan proses
milox tahap tunggal. Prosiding Seminar Nasional SATEK III Universitas Lampung. Bandar
Lampung 18-19 Oktober 2010.
Deli, N.A., N. Khafiya, D. Susanti, Yusmay eni dan Zulfansyah. 2005. Pembuatan pulp pelepah
sawit dengan pelarut asam formiat. Prosiding Seminar Teknik Kimia Teknologi Oleo dan
Petrokimia Indonesia 2005. Pekanbaru 21 Desember.
Ferrer, A., A. Vega, A. Rodrguez, P. Ligero and L. Jimnez. 2011. Milox fractionation of empty
fruit bunches from Elaeis guineensis. Bioresour. Technol. 102:97559762.
Gracia, M.M., F. Lopez, A. Alfaro, J. Ariza, and R. Tapias. 2008. The use of tagasaste
(Chamaecytus proliferus) from different origin for biomass and paper production.
Bioresour. Technol. 99(9):3451-3457.
Hambali, E., A. Thahar and A. Komarudin. 2010. The potential of oil palm and rice biomass as
bioenergy feedstock. Proceeding 7th Biomass Asia Workshop. 29 November 29 1
December. Jakarta. Indonesia.
Husain, Z, Z.A. Zainal, and M.Z. Abdullah. 2003. Analysis of biomass-residue-based
cogeneration system in palm oil mills. Biomass Bioenergy 24: 117124.
Jahan, M.S., D.A. Nasima Chowdhury, and M. Khalidul Islam. 2007. Atmospheric formic acid
pulping and TCF bleaching of dhaincha (Sesbania aculeata), kash (Saccharum spontaneum)
and banana stem (Musa Cavendish). Ind. Crop.Prod. 26: 324331.
Johansson, A., O. Aaltonen, and P. Ylinen. 1987. organosolv pulping method and pulp
properties. Biomass 13: 45-65.
Oleh:
Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto
Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
Jalan Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis
E-mail: ddient@yahoo.co.id
ABSTRAK
Manglid (Manglieta glauca Bl.) merupakan jenis yang banyak dikembangan di hutan rakyat
Jawa dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Namun demikian
pemanfaatan jenis ini masih banyak menghasilkan limbah batang diameter kecil (diameter kurang
dari 15 cm). Dalam rangka mengembangkan pemanfaatan limbah manglid menjadi produk olahan
yang memiliki nilai tambah lebih baik, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji sifat
pemesinan kayu manglid diameter kecil yang berasal dari hutan rakyat. Pengamatan sifat
pemesinan dilakukan pada 15 sampel papan dari dolok diameter kecil (10-15 m) yang berasal dari
limbah tebangan manglid di hutan rakyat di di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir
Kabupaten Tasikmalaya. Hasil menunjukan bahwa kayu manglid yang berasal dari batang
diameter kecil memiliki mutu pemesinan yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan
dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan,
pemboran dan pembubutan. Berdasarkan sifat pemesinannya, kayu manglid yang berasal dari
batang diameter kecil memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan
tampilan halus dan konstruksi ringan seperti mebelair dan produk kerajinan.
I. PENDAHULUAN
Perkembangan hutan rakyat dewasa ini semakin diperhitungkan sebagai alternatif pemasok
kebutuhan kayu yang selama ini lebih banyak berasal dari hutan alam. Hutan rakyat yang
terkonsentrasi di Jawa, yaitu seluas 778.253,26 ha, atau 49,6% dari total luas hutan rakyat di
Indonesia, memiliki kontribusi yang cukup baik dalam memasok kebutuhan kayu. Menurut
Astraatmaja (2000) produksi log dari hutan rakyat mencapai 32,47% dari total produksi log di
Jawa. Persentase tersebut bahkan didapatkan dari luasan hanya 13,23% dari total luas hutan
negara dan hutan rakyat di Jawa.
Manglid (Manglieta glauca Bl.) merupakan jenis yang banyak dikembangan di hutan rakyat
Jawa. Walaupun tidak terdapat data pasti mengenai potensi jenis ini, pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa ketersediaan jenis ini cukup banyak di hutan rakyat, khususnya di Jawa
Barat. Jenis ini menjadi salah satu jenis andalan Jawa Barat dan masih terus dikembangkan dalam
kegiatan-kegiatan penghijauan. Menurut Djaman (2008), manglid di Jawa Barat sudah banyak
dibudidayakan dengan masa penebangan setiap 35 tahun dengan hasil 12,1 m/ha.
Manglid dikenal masyarakat sebagai bahan baku pembuatan perkakas meja, kursi, almari,
konstruksi ringan dan lain-lain. Menurut Seng (1990), kayu manglid memilik berat jenis 0,32-0,58
B. Metode Penelitian
1. Pembuatan contoh uji
Kayu bulat manglid dibuat menjadi papan dengan ukuran 125 cm x 12 cm x 2 cm sejumlah
15 lembar dan dibiarkan hingga mencapai kadar air kering udara. Papan-papan yang dijadikan
sebagai contoh uji tersebut dipilih papan yang bebas cacat baik cacat alami, cacat fisik maupun
biologis. Selanjutnya masing-masing papan dibagi menjadi contoh uji sifat pemesinan seperti
pada Gambar 1 dengan ukuran seperti pada Tabel 2. Metode pengujian mengikuti prosedur ASTM
D1666-64 yang dimodifikasi menurut Abdurachman dan Karnasudirdja (1982).
Gambar 1. Pola pembuatan contoh uji: (A) penyerutan dan pembentukan; (B) pembubutan; (C)
pengampelasan; (D) pemboran
2. Pengujian
Penilaian sifat pemesinan didasarkan pada perbandingan luas bagian permukaan bagian
permukaan yang cacat per total luas seluruh permukaan, dinyatakan dalam persen. Pengamatan
cacat menggunakan alat bantu loupe dengan pembesaran 10 kali. Jenis cacat yang diamati secara
visual pada masing-masing sifat serta klasifikasinya tercantum dalam Tabel 3 dan Tabel 4.
Hasil pengujian sifat pemesinan kayu manglid dari batang diameter kecil disajikan dalam
Tabel 5.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang berasal dari
batang diameter kecil. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu manglid dari dolok
manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik sampai sangat baik atau kelas mutu I
sampai II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan pengampelasan yang sangat baik atau kelas
mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa batang manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang
memerlukan tampilan permukaan yang baik seperti mebelair, kerjinan dan lain-lain. Sementara
IV. KESIMPULAN
1. Kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil memiliki mutu pemesinan yang sangat
baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan
baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran dan pembubutan.
2. Berdasarkan sifat pemesinannya, kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil
memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan
konstruksi ringan seperti mebelair dan produk kerajinan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan N. Hadjib. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat untuk komponen bangunan.
Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Abdurachman, A.J. d an S. Karnasudirdja. 1982. Sifat pemesinan kayu-kayu indonesia. Laporan
No. 160. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
American Society for Testing and Meterial (ASTM). 1981. Annual Book of ASTM Standards.
Part 22: Wood; Adhesives. Philadelphia. USA. pp. 494- 520.
Oleh:
Yelin Adalina
Peneliti pada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
Telp. (0251) 863324; 7520067; Fax (0251) 8638111
E-mail: yelinadalina@yahoo.com
ABSTRAK
Lawsonia inermis atau pacar kuku terkenal karena daunnya yang dapat memberikan warna
merah. Tumbuhan ini sering digunakan untuk mewarnai rambut, kuku dan kulit tangan seseorang
dengan tujuan untuk memperindah penampilan. Kegunaan lainnya dari daun pacar kuku yaitu
untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, di antaranya kusta, cacar, sakit kepala, panas,
demam, penyakit saraf, reumatik, iritasi kulit dan lain sebagainya. Di Indonesia, penyebarannya
merata mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara ekstraksi yang tepat dan optimum dari
tumbuhan Lawsonia inermis dalam pembuatan zat warna alami yang siap pakai. Percobaan ini
menggunakan rancangan Percobaan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor (perlakuan). Setiap
taraf perlakuan dilakukan dua kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah dengan
menggunakan dua jenis pelarut organik, yaitu metanol teknis 70% dan air suling. Pada
penggunaan pelarut air dengan 2 perlakuan pemanasan, yaitu pemanasan selama 10 menit dan 20
menit. Konsentrasi pelarut terdiri dari 2 level, yaitu 5% dan 10%, sehingga diperoleh 6 kombinasi
perlakuan. Parameter pengamatan meliputi rendemen, nilai pH, dan intensitas warna. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis pelarut organik, lama pemanasan dan
konsentrasi pelarut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap intensitas warna
yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Intensitas warna tertinggi diperoleh
pada perlakuan penggunaan pelarut akuades, konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit yaitu
sebesar 31,81, sedangkan intensitas terendah pada penggunaan pelarut metanol dengan
konsentrasi 5% yaitu sebesar 4,84.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zat warna yang dipergunakan untuk mewarnai makanan, kulit, produk kerajinan, tekstil dan
produk lainnya selama ini masih didominasi oleh zat warna sintesis, karena lebih mudah didapat,
lebih praktis dan lebih stabil dalam pemakaiannya maupun dalam penyimpanan dan diproduksi
dalam jumlah besar. Riset telah menunjukkan bahwa zat warna buatan (sintetik) dicurigai
berkadar zat kimia yang menyebabkan alergi, kanker dan merugikan kesehatan manusia.
Saat ini terdapat peningkatan perhatian terhadap bahan pewarna alami, berkaitan dengan
hasilnya yang bersifat non-toksis, tidak bersifat polutif, tidak berefek samping, tidak merugikan
kesehatan, tidak bersifat karsinogenik (tidak membahayakan sebagai penyebab kanker), dan tidak
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik atau metode ekstraksi yang sesuai
dari tumbuhan Lawsonia inermis dan mengetahui kualitas zat warna yang dihasilkan.
C. Metode
1. Prosedur kerja
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap perlakuan dan
tahap analisa. Prosedur kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Daun dipisahkan dari rantingnya, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu
50-60C selama 24 jam. Daun yang telah kering kemudian diblender menjadi serbuk
halus.
b. Ditimbang 90 gram daun, dan dimasukkan ke dalam panci.
c. Ditambahkan air suling dengan perbandingan masing-masing perlakuan dengan
konsentrasi 10% (1 bagian sampel : 10 bagian pelarut) dan 5% (1 bagian sampel : 20
bagian pelarut).
d. Dipanaskan campuran bahan tersebut sesuai perlakuan selama (10 dan 20 menit) setelah
air dalam panci mendidih, sambil sesekali diaduk. Sebagai indikasi bahwa pigmen warna
yang ada dalam tumbuhan sudah keluar ditunjukkan dengan air setelah perebusan menjadi
berwarna. Jika larutan tetap bening berarti tanaman tersebut diindikasikan tidak
mengandung pigmen warna. Pada perlakuan dengan pelarut etanol tidak dilakukan
pemanasan tetapi dengan cara maserisasi selama 24 jam dengan perbandingan masing-
masing perlakuan (1 bagian bahan tanaman : 10 bagian pelarut) dan (1 bagian bahan
tanaman : 20 bagian pelarut).
e. Larutan hasil ekstraksi disaring menggunakan kain planel untuk memisahkan sisa bahan
yang diekstrak (residu). Kemudian disaring kembali dengan kertas saring Whatman.
Larutan ekstrak hasil penyaringan ini disebut larutan zat warna alam.
c. Rendemen ekstrak
Setelah pelarut diuapkan dengan evaporator didapatkan ekstrak pekat. Ekstrak tersebut
ditimbang dan dibandingkan dengan berat awal sampel. Rendemen ekstrak kasar pigmen
warna yang dihasilkan:
Berat ekstrak
x 100%
Berat sampel
D. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dengan satu
faktor (perlakuan). Setiap taraf perlakuan dilakukan 2 kali ulangan. Isolasi zat warna dilakukan
dengan cara infundasi dengan berbagai variasi konsentrasi, yaitu 10% (1 bagian sampel : 10
bagian pelarut ) dan 5% (1 bagian sampel : 20 bagian pelarut) dan lamanya waktu pemanasan
selama 10 menit dan 20 menit. Jenis pelarut yang digunakan yaitu, metanol dan aquades/air
suling. Dengan demikian banyaknya perlakuan yang dicobakan adalah sebanyak 6 kombinasi
perlakuan. Setiap kombinasi diulang sebanyak 2 kali, sehingga banyaknya percobaan adalah 12
unit percobaan.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kualitatif.
Gambar 3. Daun tumbuhan Lawsonia inermis L. Gambar 4. Bunga tumbuhan Lawsonia inermis L.
Hasil analisis
No. Perlakuan Rendemen pH Panjang gelombang Absorben Intensitas
% (b/b) maksimum () (A) warna
1 T1 46,78 4,60 594 0,063 31,81
2 T2 45,77 4,10 594 0,029 12,36
3 T3 25,17 3,85 594 0,070 31,58
4 T4 19,94 3,80 594 0,049 23,05
5 T5 19,00 4,75 594 0,012 5,72
6 T6 14,72 4,80 594 0,010 4,84
Keterangan: T1 = Pelarut akuades, konsentrasi 5%, pemanasan 10 menit
T2 = Pelarut akuades, konsentrasi 5%, pemanasan 20 menit
T3 = Pelarut akuades, konsentrasi 10%, pemanasan 10 menit
T4 = Pelarut akuades, konsentrasi,10%, pemanasan 20 menit
T5 = Pelarut metanol, konsentrasi 10%
T6 = Pelarut metanol, konsentrasi 5%
a. Rendemen
Penggunaan jenis pelarut memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen ekstrak
pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji
b. pH Larutan
Penggunaan berbagai jenis pelarut memberikan pengaruh sangat nyata terhadap pH ekstrak
pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji
BNJ, pH tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan pelarut metanol, yaitu sebesar
4,80 dan pH terendah pada penggunaan pelarut aquades dengan konsentasi 10% dengan waktu
pemanasan selama 20 menit, yaitu sebesar 3,80. Perbedaan pH ekstrak ini mungkin disebabkan
karena larutan metanol yang bersifat basa sehingga mengakibatkan pH larutan menjadi lebih
tinggi.
c. Panjang gelombang
Penggunaan jenis pelarut, lama pemanasan dan konsentrasi larutan memberikan panjang
gelombang maksimum yang sama, yaitu 594. Warna yang dihasilkan pada penggunaan pelarut air
memberikan warna yang sama yaitu merah kecokelatan, sedangkan pada penggunaan pelarut
metanol menghasilkan larutan yang berwarna kuning kehijauan.
d. Absorben
Penggunaan jenis pelarut, lama pemanasan dan konsentrasi larutan memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap absorben ekstrak pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata
0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ pada taraf 5%, absorben tertinggi diperoleh pada
perlakuan dengan menggunakan pelarut aquades dengan konsentrasi 10% dan lama pemanasan
selama 10 menit, yaitu sebesar 0,07 dan absorben terendah pada penggunaan pelarut metanol
dengan konsentrasi 5%, yaitu sebesar 0,01.
Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap nilai absorben ekstrak pigmen yang
dihasilkan. Absorben yang dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades lebih tinggi
dibandingkan pada penggunaan jenis pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena
aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daum
Lawsonia inermis L.
e. Intensitas warna
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap intensitas warna ekstrak pekat pigmen daun
Lawsonia inermis L., maka terlihat bahwa penggunaan jenis pelarut organik, lama pemanasan dan
konsentrasi pelarut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap intensitas warna
yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ pada taraf
5%, intensitas warna tertinggi diperoleh pada perlakuan penggunaan pelarut aquades, konsentrasi
5% dan lama pemanasan 10 menit, yaitu sebesar 31,81, sedangkan intensitas terendah pada
penggunaan pelarut metanol dengan konsentrasi 5%, yaitu sebesar 4,84.
Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap intensitas warna ekstrak pigmen yang
dihasilkan. Intensitas warna yang dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades lebih tinggi
dibandingkan pada penggunaan jenis pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena
aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daun
Lawsonia inermis L.
Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap intensitas warna yang dihasilkan. Pemanasan
selama 10 menit menghasilkan intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pemanasan selama 20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadinya penguapan kandungan
Lawson yang terdapat dalam larutan ekstrak pigmen yang diakibatkan oleh pemanasan yang
terlalu lama.
Hasil analisa ekstrak pigmen tanaman Lawsonia inermis L. menunjukkan bahwa rendemen
tertinggi dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades dengan konsentrasi 5% dan lama
pemanasan 10 menit. Absorben tertinggi dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut akuades
dengan konsentarsi !0% dan lama pemanasan 10 menit, tetapi hasil absorben tersebut tidak jauh
berbeda dengan penggunaan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan pemanasan 10 menit.
Nilai intensitas warna tertinggi dihasilkan pada penggunaan pelarut akuades dengan konsentrasi
5% dan lama pemanasan 10 menit. Oleh karena itu metode yang sesuai dalam ekstraksi tanaman
lawsonia inermis L. yaitu dengan menggunakan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan lama
pemanasan 10 menit.
1. Isolasi pigmen dapat dilakukan dengan cara mengekstrak bahan tumbuhan dengan
menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen
yang terdapat dalam tanaman. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari sifat dan
karakteristik tumbuhan.
2. Pengaruh perlakuan (metode ekstraksi) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kualitas ekstrak pigmen yang dihasilkan.
3. Metode yang paling sesuai dalam ekstraksi tumbuhan Lawsonia inermis adalah dengan
menggunakan pelarut akuades dengan perbandingan (1 bagian bahan tanaman : 20 bagian
pelarut) dan lama pemanasan 10 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Devy P. Kuswantoro dan Tri S. Widyaningsih
Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
E-mail: devylator@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji karakteristik responden petani
hutan rakyat di daerah pesisir dan persepsi para petani mengenai pemanfaatan dan budidaya
nyamplung sebagai sumber biofuel. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten
Tasikmalaya dan Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap. Responden petani hutan rakyat
termasuk dalam kelompok usia produktif, jumlah keluarga kecil dengan pendidikan didominasi
oleh tamatan Sekolah Dasar dengan pekerjaan utama sebagai petani/buruh tani. Responden
mengetahui manfaat tanaman nyamplung sebagai kayu bangunan, kayu bakar, dan manfaatnya
sebagai pelindung pantai dan penahan angin, namun banyak yang tidak mengetahui teknik
budidaya nyamplung. Pengembangan budidaya nyamplung di hutan rakyat untuk sumber bahan
baku biofuel perlu dibarengi dengan kejelasan keuntungan, harga, dan pasarnya sehingga menarik
diusahakan oleh petani.
I. PENDAHULUAN
Untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah menetapkan Kebijakan Energi Nasional, yang salah
satu sasarannya adalah meningkatkan peran bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%
pada tahun 2025. Seiring dengan kebijakan tersebut, pencarian sumber energi baru sebagai
alternatif sumber biofuel terus dilakukan. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) yang
telah diteliti secara intensif sejak tahun 2005 oleh Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang
Kehutanan mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber biofuel. Produk
bodiesel dari pengolahan biji nyamplung telah diteliti memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) untuk biodiesel menurut SNI 04-7182-2006 dan telah diuji coba di jalan raya dengan hasil
yang memuaskan (Masyhud, 2008). Perhitungan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman
nyamplung maupun industri minyaknya secara ekonomi layak diusahakan (Bustomi et al., 2008).
Sosialisasi nyamplung ke masyarakat dilakukan dengan pembuatan demplot Desa Mandiri Energi
(DME) berbasis nyamplung yang berupa pembangunan unit pengolahan biodiesel dan upaya
penanaman nyamplung. DME diharapkan dapat menjadi percontohan dalam mendukung
kemandirian energi masyarakat.
Secara alami tanaman nyamplung di Indonesia dijumpai di hampir seluruh daerah terutama
wilayah pesisir pantai baik di kawasan konservasi maupun di luar kawasan seperti di Taman
Nasional (TN) Alas Purwo, TN Kepulauan Seribu, TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Berbak,
A. Karakteristik Responden
Karakteristik responden petani yang diuraikan meliputi jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, dan pekerjaan. Deskripsi tentang karakteristik responden dikemukakan untuk
mengetahui latar belakang responden yang diteliti. Karakteristik responden penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1.
IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Titi Kalima
Puslibang Konservasi dan Rehabilitasi Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor
Email: titi_kalima@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pemenuhan sumber energi dalam bentuk cair terutama solar pada sektor transportasi
merupakan sektor paling kritis dan perlu mendapat perhatian khusus. Melalui pemanfaatan
teknologi bioenergi, Indonesia memliki kesempatan yang besar di dalam penyediaan energi
bersih, termasuk biodiesel. Sebagai negara tropis memiliki berbagai jenis tumbuhan yang dapat
dikembangkan sebagai bahan baku produksi energi, salah satunya Ceiba petandra, yang
mempunyai peluang untuk menjadi penghasil biodiesel.
Kata kunci: Bahan baku biodiesel, Ceiba petandra L. Gaertn., prospek pengembangan
I. PENDAHULUAN
Diperkirakan terdapat sekitar 4000 jenis pohon di Indonesia, termasuk pohon yang dapat
menghasilkan energi alternafif. Oleh karena itu, peranan pengembangan energi alternatif harus
ditingkatkan. Kebutuhan energi alternatif tersebut dapat dipenuhi dari sumber-sumber energi
alternatif lainnya seperti biodiesel. Biodiesel yang sedang gencar dikembangkan di Indonesia saat
ini kebanyakan dari minyak jarak (Ricinus communis ) dan minyak nyamplung (Calophyllum
inophyllum). Padahal sebenarnya masih banyak energi alternatif bahan lain yang dapat
digunakan untuk pembuatan biodiesel seperti minyak biji Ceiba petandra L.Gaertn. (Tatang,
2006). Karena pentingnya spesies Ceiba petandra L. Gaertn. dalam penyediaan bahan baku
berupa biodiesel, ada beberapa keunggulan yang dimiliki minyak biji Ceiba petandra
L.Gaertn. antara lain mudah di dapat, harga relatif murah, kadar asam lemak tak jenuh relatif
tinggi (71,95%) (Dewayani, 2008).
Ceiba pentandra L.Gaertn. adalah jenis pohon tropis yang tergolong famili Bombacaceae,
dengan nama lokal Kapuk randu atau kapuk yang berasal dari bagian utara Amerika Selatan,
Amerika Tengah dan Karibia. Kata "kapuk"atau "kapuk" juga digunakan untuk menyebut serat
yang dihasilkan dari bijinya. Pohon ini juga dikenal sebagai kapas Jawa atau kapok Jawa, atau
pohon kapas-sutra. Selain sebagai penyediaan bahan baku biodsel, penting juga penyediaan
berupa kayu gergajian, obat-obatan dan lain-lain di kawasan Asia Tenggara, maka dilakukan
survei kajian botani yang bertujuan untuk memperoleh informasi keanekaragaman manfaat
spesies dan keberadaan sebaran tempat tumbuh jenis pohon Ceiba petandra L.Gaertn. di Cagar
Alam Gunung Celering, Jepara, Jawa Tengah. Diharapkan hasil kajian ini dapat dijadikan data
dasar dalam pengambilan langkah-langkah lebih lanjut dalam usaha penanganannya.
B. Deskripsi
Pohon Ceiba petandra L. Gaertn. tumbuh tegak hingga setinggi 60-70 m dan dapat memiliki
batang pohon yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m. Batang dengan atau tanpa cabang,
kadang-kadang berduri. Akar menyebar horizontal, di permukaan tanah. Daun majemuk menjari
dengan 5 - 8 anak daun, melambai di ujung tangkai yang panjang, tersusun berseling; bentuk anak
daun memanjang - lanset, gundul. Percabangan mendatar seperti jeruji roda pedati. Bunga
bisexual; kelopak menggenta, di bagian luar gundul; mahkota bunga memanjang - bulat telur
terbalik, bersatu pada pangkal, biasanya berwarna putih kekuningan, di bagian dalam gundul dan
di bagian luar berambut lebat seperti sutra; benang sari bersatu pada pangkal dalam kolom
staminal, kepala sari bergelung atau seperti ginjal. Buah berbetuk kapsul, lonjong, panjang dan
keras, berwarna hijau, ketika masak berubah menjadi coklat, dengan gumpalan putih serat kapuk
bertabur bulir biji hitam menyembul dari cangkang yang membuka. Biji bulat telur, coklat tua,
putih, kuning muda atau berwarna seperti sutra.
A B
Gambar 1. A. Habitus pohon Ceiba petandra; B. Buah dan serat kapuk putih Ceiba petandra di
lereng Gunung Celering, Jepara, Jawa Tengah (Foto Titi Kalima)
C. Persebaran
Ceiba petandra L. Gaertn berasal daerah tropis di Amerika berkembang dan menyebar ke
Afrika sepanjang pantai barat dari Senegal ke Angola. Pohon Ceiba petandra ini di Asia
dibudidayakan.dan terlukis di relief Jawa sejak 1000 setelah Masehi. Di Indonesia, pohon ini
tersebar merata di seluruh daerah tropika, terutama di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Jawa,
Gambar 2. Lereng CA.Gunung Celering, tempat tumbuh pohon Ceiba petandra (Foto Titi Kalima)
G. Perbanyakan
Ceiba petandra L.Gaertn. diperbanyak dengan biji atau stek. Biji disebarkan pada
bedengan-bedengan pembibitan dimana untuk 1Ha diperlukan biji kapuk sebanyak 16 kg. Setelah
berumur 1 (satu) tahun akar tunggang dipotong sampai tertinggal kurang lebih 30 cm dan lingkar
batang pada leher akar telah mencapai kurang lebih 10 cm. Ketika tanaman muda mencapai tinggi
12-15 cm, diletakkan di bawah cahaya matahari penuh. Tanaman yang tidak menerima banyak
sinar matahari tumbuh tinggi dan kurus. Cara kedua adalah stek, yaitu dengan cara mengambil
dari batang kapuk randu yang sudah tua, sepanjang 1,5 - 2 m. Akan tetapi cara stek ini bentuk
pohon maupun produksinya tidak sebaik tanaman yang berasal dari biji.
Apabila Ceiba petandra L.Gaertn. akan dilakukan penanaman pada tanah yang berpasir,
maka 2-3 bulan sebelumnya harus sudah dibuat lubang tanam. Penanaman sebaiknya dilakukan
pada awal musim hujan. Untuk tanah subur, lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x
40 cm, jika tanahnya kurang subur maka dibuat lubang tanam dengan ukuran 80 cm x 80 cm x 80
cm. Setelah dibuat lubang tanam, dibiarkan terlebih dahulu 2-3 hari, kemudian diberikan pupuk
kandang sebanyak 5 kg. Pada saat penanaman, dibuat lubang secukupnya untuk memasukkan akar
tanaman. Untuk mengurangi penguapan, di sekitar tanaman sebaiknya diberikan mulsa dari
serasah daun atau lainnya. Dalam penanaman komersial di Jawa, Ceiba petandra L.Gaertn.
ditanam dengan jarak 7 m 7 m atau 8 m 8 m. Penanaman dilakukan dengan tumpang sari
antara Ceiba petandra L.Gaertn dengan palawija sebaiknya berjarak tanam 10 m 10 m serta
H. Nilai Ekonomi
Buah randu (Ceiba petandra L. Gaertn.) biasanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan
baku kasur dan bijinya dapat diolah menjadi minyak biji randu (Ricinus comunis) sebagai bahan
bakar nabati atau sumber energi alternatif atau biodiesel. Satu pohon Ceiba petandra,
menghasilkan buah randu sebanyak 140 kg, dijual dengan harga Rp 2.500/kg, akan menghasilkan
Rp 350.000. Namun demikian Ceiba petandra merupakan salah satu pohon yang berpotensi
menghasilkan minyak. Setiap gelondong buah Ceiba petandra mengandung 26% biji, sehingga
setiap 100 kg gelondong Ceiba petandra akan menghasilkan 26 kg limbah biji, dijual dengan
harga Rp 500/kg lebih murah dibandingkan dengan minyak biji jarak (Ricinus communis) dengan
harga Rp 4000/kg (Hambali dkk., 2006; Prihandana dan Endroko, 2007). Namun minyak biji
Ceiba petandra berpotensi untuk dijadikan subsitusi biodiesel, dimana sumber minyak nabati
yang terkandung di dalam biji Ceiba petandra sebesar 24-40% (http://www.disbunjatim-
online.htm ).
Dengan semakin mahal dan terbatasnya BBM fosil di alam maka harus dicari energi
alternatif yang dapat diperbaharui yang antara lain biofuel misalnya biodiesel. Beberapa kajian
seperti yang dikemukakan oleh peneliti ITB bahwa minyak nabati dapat langsung digunakan
sebagai minyak diesel. Pengembangan biodiesel sebagai pengganti solar, meskipun dari aspek
lingkungan lebih menguntungkan maka yang tidak kalah pentingnya adalah tinjauan dari aspek
ekonomisnya, karena kalau biodiesel jauh lebih mahal dari BBM maka akan kurang mendapat
respon dari pengguna (masyarakat atau industri). Oleh karena itu diperlukan bahan baku biodiesel
yang banyak terdapat atau mungkin dapat dikembangkan di indonesia, misal Minyak biji Ceiba
petandra mempunyai potensi yang besar untuk dieksplorasi sebagai bahan baku biodiesel
(Rahmat Hidayat, 2010).
Ceiba petandra adalah salah satu komoditas yang dipilih oleh masyarakat Indonesia
terutama Jawa Timur, karena memiliki beberapa keunggulan, yakni: Pertama, mudah
dibudidayakan, Kedua, waktu panen lebih singkat (5 tahun) dengan daur pohon bisa mencapai 50
tahun, Ketiga, harga buah randu relatif lebih stabil dengan pangsa pasar yang terjamin, Keempat,
termasuk tanaman konservasi, makanya ditanam di tepi-tepi sungai, Kelima, memberikan
keuntungan lain berupa industri lebah madu bagi masyarakat dan Keenam, bijinya pun dapat
menghasilkan minyak. Peluang untuk mengembangkan jenis pohon Ceiba petandra sebagai
sumber bahan bakar biodiesel sangat diperlukan (http://kapukrandukaraban-pati.blogspot.
com/2011 08_01 archive.html).
Pengembangan pohon Ceiba petandra dilakukan di Pandaan dekat dengan Perusahaan
minyak biji Ceiba petandra pada areal 12.604 ha dengan jumlah pohon 2.048.757 pohon dan
menghasilkan biji kapuk randu 7.900 ton dengan kapasitas produksi mencapai 600 ton per tahun.
Selain bijinya dimanfaatkan sebagai minyak, kapuknya dapat dimanfaatkan untuk kasur/jok.
III. PENUTUP
Ceiba pentandra L.Gaertn. adalah salah satu komoditas yang dipilih oleh masyarakat
Indonesia memiliki beberapa keunggulan, yakni mudah dibudidayakan, waktu panen lebih singkat
(5 tahun), harga buah randu relatif lebih stabil dengan pangsa pasar yang terjamin, termasuk
tanaman konservasi, dan bijinya dapat menghasilkan minyak atau sumber bahan bakar biodiesel.
Selain bijinya dimanfaatkan sebagai minyak, kapuknya dapat dimanfaatkan untuk kasur/jok.
Biodiesel tidak akan habis karena bahan bakunya dapat ditanam atau diperbaharui
sumbernya. Dengan berkembangnya biodiesel jelas akan dapat memanfaatkan tanah-tanah kritis
yang banyak tersebar diseluruh pelosok tanah air. Penggunaan biodiesel ini akan menurunkan
polusi udara karena emisi hidrokarbon lebih sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
Chatarina, S.R. 1992. Sifat fisik dan mekanika kayu randu (Ceiba petandra L. Gaern.). Skripsi
INSTIPER Yogyakarta (tidak diterbitkan).
Dewayani. H. 2008. Potensi minyak biji randu (Ceiba petandra) sebagai alternatif bahan baku
Biodiesel. Jurnal Teknologi Separasi Vol.I No.2. DISTILAT.
Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta. 1994. Laporan Tahunan. Yogyakarta.
Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan. 2008. Budidaya Kapuk ( Ceiba petandra L.Gaern.).
Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Hambali, Erliza. 2006. Diversifikasi Produk Olahan Jarak Pagar dan Kaitannya dengan Corporate
Social Responsibility. Perusahaan Swasta di Indonesia. Eka Cipta Foundation. Bogor.
Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia IV. Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jakarta.
http://kapukrandukaraban-pati.blogspot.com/2011_08_01_archive.html. Prospek Kapuk Randu
(Ceiba petandra L.Gaern.). Diunduh 12 September 2011.
http://www.kapuk-kasurcplus.com/berita-103-kapuk-randu-ceiba-pentandra-l.html. Kapuk Randu
(Ceiba petandra L.Gaern.). Diunduh 12 September 2011.
Prihandana, R. dan R. Endroko. 2007. Energi Hijau Pilihan Menuju Negeri Mandiri Energi.
Penebar Swadana. Jakarta.
Oleh:
Burhanuddin, Sudirman Muin, Eddy Thamrin dan Abdurrani Muin
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura
E-mail: hans_borneo@yahoo.co.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi tegakan alam dan kadar minyak nyamplung
(penage) sebagai sumber energi alternatif di Kabupaten Kayong Utara. Penelitian dilakukan di
sepanjang daerah pesisir Kabupaten Kayong Utara mulai dari daerah Telok Batang ke arah selatan
dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan secara sensus (100%) terhadap jumlah,
ukuran keliling pangkal batang dan tinggi pohon, dan secara sampling terhadap jumlah dan berat
buah serta kandungan minyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kayong Utara
terdapat tegakan alam nyamplung sebanyak 219 pohon di Desa Tambak Rawang dan 71 pohon di
Pulau Datok. Hasil pengukuran terhadap tinggi dan keliling pangkal batang menggambarkan
bahwa pohon-pohon yang terdapat di kedua lokasi tersebut sudah berukuan besar, namun rendah
(tidak lebih dari 8 meter). Dari hasil uji kandungan minyak mentah, ternyata biji nyamplung dari
tegakan alam yang terdapat di Kayong Utara cukup tinggi (53-63%). Kondisi ini menggambarkan
bahwa nyamplung ini cukup potensial untuk dijadikan sumber bahan energi alternatif dimasa yang
akan datang, terutama untuk kebutuhan masyarakat Kayong Utara.
I. PENDAHULUAN
Menurunnya tingkat produksi minyak bumi yang seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk termasuk di Kabupaten Kayong Utara, menyebabkan harga bahan bakar minyak
bumi akan semakin sulit diperoleh dan harganya akan terus mahal karena persediaan yang
semakin terbatas. Menurut Saufi (2011) untuk menjamin pasokan energi dalam negeri terutama
penyediaan energi bagi industri, transportasi dan rumah tangga, serta untuk pengembangan
ekonomi lebih lanjut, perlu dilakukan langkah-langkah penghematan dan pengembangan
diversifikasi energi, termasuk energi alternatif yang terbarukan. Karena itu mulai sekarang sudah
harus dipersiapkan bahan energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar minyak bumi
tersebut. Minyak nabati sebagai biofuels dari biji nyamplung (Callophyllum spp.) merupakan
salah satu alternatif untuk menggantikan minyak bumi, terutama bagi masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir. Menurut Budi dan Rosika (2011) biodiesel yang dihasilkan dari nyamplung pun
memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman lain, rendemen minyak nyamplung lebih
tinggi, yaitu 40-73%, dari jarak pagar 40-60%, dan sawit 46-54%. Selain itu, daya bakar minyak
nyamplung dua kali lebih lama dibandingkan dengan minyak tanah.
Karena keunggulannya tersebut, maka jenis ini sudah dijadikan sebagai sumber energi
alternatif (bioenergi) di daerah Jawa dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan di daerah
A. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di sepanjang daerah pesisir Kabupaten Kayong Utara mulai dari daerah
Telok Batang ke arah selatan. Lokasi-lokasi ini ditentukan setelah mendapatkan informasi dari
masyarakat Kabupaten Kayong Utara.
B. Metode Penelitian
1. Potensi tegakan dan buah penage
Penelitian dilakukan dengan metode survei dan pengambilan data pohon nyamplung
ditentukan secara sensus. Data yang dikumpulkan meliputi lokasi pohon penage, ukuran batang
(tinggi total pohon), ukuran tajuk (luas dan tinggi tajuk), produksi buah (kg/pohon). Untuk
menghitung produksi buah, dilakukan pengambilan sampel buah di setiap cabang dan berat basah
buah ditimbang. Selain itu dilakukan juga pendataan terhadap potensi dan sebaran permudaan
alam yang terdapat di setiap lokasi.
A. Potensi Tegakan
1. Jumlah tegakan
Hasil survei yang dilakukan di sebelas tempat (Tabel 1) di Kabupaten Kayong Utara,
ternyata tegakan alam nymaplung hanya dijumpai di dua tempat yakni Tambak Rawang dan Pulau
Datok. Daerah Tambak rawang memiliki potensi tegakan alam nyamplung yang terbanyak (219
pohon) dengan lokus (luas daerah sebaran) sepanjang pantai 1.400 m dan melebar ke arah daratan
sepanjang 50 m. Sementara itu di Pulau Dato terdapat tegakan alam sebanyak 71 pohon dengan
lokus sepanjang pantai 1.250 m dan sebaran ke arah darat sepanjang kurang lebih 50 m.
Tabel 1. Lokasi dan potensi ditemukannya tegakan nyamplung di Kabupaten Kayong Utara
Jumlah 290
Pohon-pohon seperti ini sangat cocok jika digunakan sebagai pohon penghasil buah.
Arsitektur pohon yang rindang dengan tajuk yang melebar, merupakan ciri khas pohon penghasil
buah. Pohon dengan arsitektur tajuk yang lebar ini dapat menghasilkan buah dalam jumlah yang
banyak dan pohon yang tinggi seperti ini akan mempermudah dalam pemanenan.
Tabel 5. Hasil analisis kandungan minyak dengan sistem pemeresan dan ekstraksi dengan
penyulingan
Dari berbagai uji kandungan minyak tersebut (Tabel 5), ternyata kandungan minyak biji
nyamplung yang dihasilkan dengan membelender biji dan diperes menghasilkan minyak sebanyak
32,44 sampai 40%. Biji yang hanya dibelender kasar dan diperes menghasilkan minyak yang lebih
sedikit dibandingkan dengan dibelender dan ditumbuk serta dibelender halus. Selanjutnya sisa
peresan tersebut disuling dan menghasilkan minyak antara 23% sampai 25%. Dari kedua cara
tersebut menghasilkan minyak (diperes dan ekstrak), ternyata kandungan miinyak biji nyamplung
Kabupaten Kayong Utara berkisar antara 57,67 - 63,42%. Sementara itu kandungan minyak yang
diperoleh dari ekstrak langsung biji yang sudah dibelender hanya berkisar 54% (Tabel 6).
Menurut Yunarlaeli dan Rochmatika (2011) yang melakukan pemeresan biji karet, bahwa faktor
yang berpengaruh pada proses pengepresan yang pertama adalah ukuran bahan baku (karet).
Semakin kecil diameter biji karet, maka rendeman yang dihasilkan semakian besar. Faktor kedua
adalah ukuran pori-pori biji dan yang ketiga adalah daya tekan press.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang pernah dilakukan terhadap biji
nyamplung di pulau Jawa. Menurut Candra dan Sugiharto (2011) biji nyamplung yang sudah tua
mengandung minyak berkisar antara 40-70%. Menurut Sutrisno (2011) produksi nyamplung
pertahun sekitar 5-7 ton dengan jarak tanam 3 m x 3,5 m, dan menurut Friday dan Okano, 2005
dalam Sutrisno (2011) bahwa setiap pohon menghasilkan 30-50 kg biji dengan kadar minyak
berkisar antara 50-70%. Hargono dan Haryani (2010) juga menyatakan kandungan minyak pada
biji nyamplung yang tua yang diperoleh secara mekanik (pressing) mencapai 50-70%.
Produktivitas biji keringnya tinggi, 10 ton/ha dari jarak tanam 5 m x 10 m dan 20 ton dari jarak 5
m x 5 m, dengan kadar minyak 60 hingga 65% dari kapasitas total dan 45-40 minyak yang
diekstrak (Anonim, 2008).
Nomor sampel Berat sampel (g) Hasil ekstrak (g) Persentase (%)
1 5,135 2,767 53,89
2 5,147 2,754 53,51
3 5,112 2,771 54,21
Total 15,394 8,292 53,87
Dari hasil penelitian, ternyata di Kayong Utara terdapat sebanyak 219 pohon tegalan
nyamplung di Tambak Rawang dan 271 di Pulau Datok. Dari hasil analisis pengamatan pada
bulan Agustus (waktu tidak musim berbuah) masih ada sebagian dari pohon tersebut sedang
berbuah. Menurut data yang ada, rata-rata setiap pohon menghasilkan buah sekitar 8,5 kg,
sehingga diperkirakan tegakan alam nyamplung tersebut akan menghasilkan 2,32 ton buah segar.
Produksi buah akan lebih banyak pada musim berbuah yang menurut informasi masyarakat
setempat akan terjadi sekitar bulan Oktober atau Nopember. Pada waktu pengamatan, hampir
seluruh pohon tegakan alam nyamplung tersebut sedang berbunga dan hampir seluruh cabang dari
pohon tersebut terdapat bunga. Diperkirakan pada waktu musim berbuah, setiap pohon akan
menghasilkan 20-40 kg buah. Dalam perhitungan, jika sebanyak 80% dari pohon tersebut
berbuah, maka akan dihasilkan sebanyak 290 x 0,80 x 30 kg = 6.96 ton buah segar nyamplung
dengan biji kering sebanyak 1,6 ton.
Berdasarkan berat kering biji dan persentase minyak, maka tegakan alam nyamplung pada
waktu musim berbuah akan menghasilkan sebanyak 1,6 ton x 0,634% = 1000 liter minyak
mentah yang siap diolah menjadi bahan bakar elternatif. Produksi buah sebanyak ini sudah bisa
dimanfaatkan untuk kebutuhan bahan bakar (biodiesel) masyarakat setempat (nelayan dan bahan
bakar keperluan rumah tangga) dengan cara membangunan home industry berskala kecil sampai
menengah. Heryana (2010) mengemukakan bahwa nyamplung memiliki kelebihan sebagai bahan
baku biodiesel yang dihasilkan dari bijinya dengan rendemen cukup tinggi dan dalam
pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan pemanfaatan lain. Karena itu nyamplung merupakan
tanaman hutan yang memiliki potensial tinggi untuk dikembangkan sebagai bahan baku biofuels
(Hendra, Setiawan dan Wibowo, 2010). Kebutuhan bahan baku bisa ditingkatkan dengan
mendatangkan buah atau biji nyamplung dari daerah lain seperti Kabupaten Ketapang yang
menurut pengamatan Muin (2010) memiliki sejumlah tegakan alam. Perawatan secara intensif
terhadap tegakan alam juga akan meningkatkan produksi buah nyamplung di Kayong Utara
tersebut. Namun yang lebih penting jika ingin meningkatkan produksi sumber energi yang
didukung industri berkapasitas tinggi, perlu dilakukan pembangunan hutan tanaman nyamplung di
Kabupaten Kayong Utara dengan menggunakan tegakan alam sebagai sumber benih.
Untuk menggalakan penanaman nyamplung bagi masyarakat di Kabupaten Kayong Utara
perlu disusun suatu program dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:
a. Program pertama diarahkan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat
nyamplung nyamplung.
b. Pemberian bantuan atau pembuatan demplot pembibitan.
c. Penanaman nyamplung serta pelatihan teknik menanam dan pemeliharaan tanaman.
A. Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kayong Utara terdapat tegakan alam
nyamplung atau disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan penage. Tegakan alam
tersebut terdapat di Tambak Rawang sebanyak 219 pohon dan Pulau Datok sebanyak 71
pohon. Tegakan alam yang di Tambak Rawang menyebar sejajar pesisir pantai sepanjang
kurang lebih 1.400 m dan kearah daratan selebar 50 m, sedangkan di Pulau Datok sepanjang
1.250 m dan kearah darat selebar 50.
2. Hasil pengukuran terhadap tinggi dan keliling pangkal batang menggambarkan pohon-pohon
yang terdapat di kedua lokasi tersebut sudah berukuran besar, namun rendah (tidak lebih dari
6 meter). Tinggi pohon antara 3-4 meter merupakan yang terbanyak baik di Tambak Rawang
maupun di Pulau Datok. Sebagian besar pohon-pohon tersebut bercabang lebih dari satu pada
pangkal batangnya dengan ukuran diameter cabang lebih dari 15 cm. Di Tambak Rawang
sebagian besar ditemukan pohon dengan ukuran keliling antara 34-49 cm, sedangkan di Pulau
Datok antara 50-74 cm.
3. Dari hasil uji kandungan minyak mentah, ternyata biji nyamplung (penage) dari tegakan alam
yang terdapat di Kayong Utara cukup tinggi (53-63%). Kondisi ini menggambarkan bahwa
nyamplung (penage) ini cukup potensial untuk dijadikan sumber bahan baku enegri alternatif
(biofuel) dimasa yang akan datang, terutama bagi masyarakat Kabupaten Kayong Utara.
B. Saran
1. Dalam rangka mendukung Program Pemerintah untuk memanfaatkan nyamplung sebagai
bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi, maka Kayong Utara dengan potensi tegakan
alam yang ada sekarang perlu menyusun program penyediaan bahan baku biofuel dimasa
mendatang.
2. Program tersebut dimulai dengan memanfaatkan tegakan alam yang tersedia sekarang ini
(Tambak Rawang dan Pulau Datok) sebagai awal penggunaan biofuel dan dilanjutkan dengan
pembangunan hutan tanaman nyamplung dengan tegakan yang berkualitas (cepat berbuah,
produksi buah tinggi dan kandungan minyak yang lebih tinggi).
Anonim. 2008. Pusat Penelitian dan Pengambangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian
pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophyllum inopyllum L.) tahun 2005-2008.
http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf.
Benny. 2007. Pemanfaatan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai biokarosen,
benny.blog.uns.ac.id/2010/07/21/136/. Diunduh tanggal 28-2-2011.
Budi, A dan N. Rosika. 2011. Nyamplung, Tanaman Penghasil Biofuel. http://www.
agrikaindoraya.com/nyamplung-tanaman-penghasil-biofuel/.Diunduh tanggal 28 2 -2011.
Chandra, W.S.A. dan M.S. Sugiharto. 2011. Prints.undip.ac.id/1347/1/makalah_penelitian_pdf.
pdf. Dikutip 28 September 2011.
Hargono dan K. Haryani. 2010. Pengaruh jenis solvent dan variasi tray pada pengambilan minyak
nyamplung dengan metode ekstrasi kolom. Prosiding Seminar Nasional Teknik
KimiaKejuangan, Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya
Alam Indinesia. Tanggal 26 Januari 2010. Repository.upnyk.ac.id./593/1/50.pdf. Dikutip
tanggal 28 Sept 2011.
Hendra D., D. Setiawan dan S. Wibowo. 2010. Anilisis sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung
(Callophyllum inophyllum L.) hasil proses degumming. Bulletin Hasil Hutan 16 (1) : 63-70.
Heryana, D. 2010. Perbanyakan tanaman nyamplung (Callopyllum inophyllum) melalui sambung
pucuk. Jur. Info Teknik 1(1) : 63-69.
Saufi, A. 2011. Agroforestri nyamplung sebagai sumber bahan baku biodiesel.
www.facebook.com/ topic.php?uid=214087676235. Diunduh tanggal 28-2 2011.
Sutrisno, E. 2011. Nyamplung (Calophyllum inophyllum). Soetrisnoeko.blogspot.com
/2011//nyamplung-Calopyllum.
Yunarlaeli, F. dan B. Rochmatika. 2011. Penga ruh metode pengepresan terhadap minyak biji
karet. Puslit.petra.ac.id.journals/pdf.php?publishedID=MES 09110209. Dikutip Tanggal 28
Sept 2011.
Oleh:
Enny Widyati
Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan
Puslitbang Produktivitas Hutan
E-mail: enny_widyati@yahoo.com
ABSTRAK
Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas kelas atas dunia maka yang juga
menghasilkan paper mills sludge (PMS) sebagai salah satu limbahnya dalam jumlah besar.
Sampai saat ini belum ada pemanfaatan secara optimal bahan tersebut karena masih terdapat
polemik berkepanjangan antara kekhawatiran akan bahan berbahaya yang terdapat di dalamnya
dengan potensi manfaat yang terdapat dalam bahan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa
PMS yang berasal dari virgin pulp tidak mengandung bahan yang berbahaya. Aplikasi PMS pada
dosis 50% dapat memperbaiki sifat-sifat tanah gambut, tanah bekas tambang batubara dan tailing
tambang mineral secara signifikan setelah 15 hari aplikasi. Bahan tersebut dapat memperbaiki pH,
KTK, ketersediaan unsur hara makro serta menurunkan kelarutan logam-logam berat secara
signifikan. Dengan demikian saatnya mengubah image PMS dari limbah menjadi sumber bahan
organik untuk memperbaiki lahan-lahan terdegradasi yang banyak terdapat di Indonesia.
I. PENDAHULUAN
Hingga saat ini, Indonesia masih merupakan salah satu negara pengekspor pulp dan kertas.
Dengan total produksi nasional mencapai lebih dari 16 juta ton per tahun, diperkirakan setiap hari
di seluruh industri kertas di Indonesia dihasilkan lebih dari 4.800 ton limbah padat yang dikenal
dengan nama sludge (paper mills sludge = PMS). Namun karena di Indonesia PMS dikategorikan
sebagai limbah B3 (walaupun tidak tercantum dalam tabel lampirannya), sampai saat ini
pengelolaan PMS di beberapa industri pulp dan kertas, sebagian besar hanya dibenamkan ke
dalam tanah sebagai land filling, ditumpuk di lahan terbuka (opened dumping) atau dibakar.
Penanggulangan dengan cara-cara tersebut mempunyai beberapa resiko.
Pengelolaan PMS di beberapa industri besar di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan
cara pengomposan. Investasi besar telah dialokasikan untuk mengelola PMS menjadi kompos, di
samping itu berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji apakah kompos PMS layak untuk
diaplikasikan di sektor pertanian dan kehutanan. Hasil penelitian kerjasama PT Arara Abadi
dengan Biotrop yang dilakukan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa kompos PMS dapat
meningkatkan produktivitas jagung, sayur mayur dan jamur merang.
Walaupun perusahaan telah mengelola PMS dengan baik melalui pengomposan, regulasi
dari pemerintah belum mendukung upaya pemanfaatan kompos PMS tersebut. Regulasi
pemerintah cenderung melarang walaupun pendapat para pakar yang didasarkan pada hasil
Sejalan dengan meningkatnya populasi penduduk dunia, masalah krusial yang akan dihadapi
oleh umat manusia (termasuk penduduk Indonesia) adalah prediksi terjadinya krisis pangan,
energi dan air (food, energy and water scarecity = FEWS). Hal ini mulai dirasakan di Indonesia
misalnya terjadinya antri bahan bakar, kebanjiran di musim hujan dan kelangkaan air di musim
kering serta teridentifikasinya daerah-daerah rawan pangan dan mencuatnya kasus balita gizi
buruk di berbagai mass media.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi hal tersebut.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan antara lain melalui perluasan lahan pertanian
(ekstensifikasi pertanian) dan program intensifikasi pertanian serta program diversifikasi pangan.
Namun demikian luas bumi tidak akan pernah bertambah, sedangkan selain untuk lahan pertanian,
permintaan akan lahan pemukiman, industri, dan prasarana penunjang lainnya juga semakin
meningkat. Oleh karena itu, optimasi produksi pertanian sebagai salah satu upaya intensifikasi
pertanian merupakan suatu solusi yang paling sesuai. Optimasi dapat dilakukan dengan
meningkatkan produktivitas lahan atau memperbaiki lahan yang kurang produktif agar dapat
berproduksi optimal.
Krisis energi dapat diatasi melalui penyediaan energi alternatif. Indonesia kaya akan
sumber-sumber energi misalnya energi surya, energi angin, energi air atau energi panas bumi. Di
samping itu, banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu energi (kayu bakar dan
arang). Penggalakan penanaman tanaman penghasil bioenergi atau biodiesel juga merupakan
upaya yang dapat mengatasi krisis energi sekaligus dapat meningkatkan pendapatan nasional.
Krisis air hanya dapat diatasi dengan menampung semaksimal mungkin, menyimpan selama
mungkin dalam tanah, air yang datang dari hujan serta mengeluarkannya sebagai air permukaan
sepanjang tahun. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui revitalisasi fungsi hutan. Dengan
demikian rehabilitasi lahan dan hutan yang sudah dilaksanakan selama ini harus mencapai hasil
yang lebih memuaskan.
Cara yang paling mudah untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah managemen bahan
organik tanah. Menurut Stevenson (1994), bahan organik akan memperbaiki sifat fisik tanah
antara lain meningkatkan water holding capacity (WHC) tanah, sehingga dapat memperbaiki
kelembaban dan suhu tanah, ketersediaan air bagi tanaman dan mikroba. Selain itu bahan organik
Indonesia memiliki luasan hutan gambut yang cukup besar. Seperti kondisi hutan yang lain,
hutan gambutpun banyak mengalami kerusakan. Namun demikian, lingkungan gambut
mempunyai kondisi yang unik, memiliki pH sangat masam, ketersediaan unsur hara makro sangat
rendah, unsur hara mikro defisien, jenuh air, dan sebagainya, maka untuk melakukan rehabilitasi
hutan gambut memerlukan perbaikan tanah.
Penelitian yang dilakukan Widyati et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian PMS dan
kompos PMS pada tanah gambut yang diambil dari Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa
penambahan PMS dosis 25% dapat meningkatkan ketersediaan N 300% sedangkan penambahan
kompos PMS dosis 50% meningkatkan ketersediaan N 800% dibanding kontrol (Gambar 1).
Kontrol 8.00
0.9 800 Kontrol
SOP
Kontrol
Sludge 25% SOP 7.20
0.8 Sludge 50% 700 SOP 7.00 Sludge 25%
Kompos sludge 25% Sludge 25%
0.7 kompos sludge 50% Sludge 50% Sludge 50% 6.31
K etersediaan K (m e/100g gam but)
500 5.00
4.52
N total (% )
0.5
400 4.00
3.75
0.4 3.50 3.40
3.38
3.00 3.08
300
0.3
200 2.00
0.2
0 0.00
0
H-0 H-5 H-10 H-15 H-0 H-5 H-10 H-15
H-0 H-5 H-10 H-15
Pengamatan hari ke- Pengamatan hari ke- Pengamatan hari ke-
Gambar 1. Dinamika ketersediaan N, P dan K dalam tanah gambut setelah perlakuan pemberian
PMS maupun kompos PMS
Indonesia memiliki cadangan bahan galian yang cukup menjanjikan sehingga dalam
percaturan industri pertambangan dunia, Indonesia memainkan peranan yang sangat strategis.
Menurut data pada tahun 2005, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor
batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah
peringkat ke-2, tembaga ke-3, nikel ke-4 (Gautama, 2007). Sedangkan untuk tambang emas
Indonesia menempati peringkat ke-8 dunia (Gautama, 2007).
Namun di lain sisi, sektor pertambangan juga disadari telah menimbulkan kerusakan
lingkungan yang sangat serius. Hal ini karena selama proses eksploitasi dan ekstrasi bahan galian
tidak dapat dihindari akan mengganggu bahkan merusak bentang lahan. Proses pertambangan
umumnya dilakukan melalui dua proses, tergantung letak dan struktur batuan induknya. Apabila
deposit bahan galian terletak di dekat permukaan tanah atau struktur batuan induknya bersifat
rapuh, maka tambang terbuka (open pit mining) merupakan cara ekstraksi yang paling tepat
karena aman dan ekonomis. Sebaliknya apabila deposisi bahan galian terletak jauh dari
permukaan tanah dengan batuan induk yang kokoh maka praktek tambang dalam (underground
mining) merupakan cara yang paling bijaksana.
Pertambangan sistem terbuka (batubara atau mineral) akan meninggalkan lahan dengan
kepadatan tanah yang sangat tinggi, kandungan unsur hara makro sangat rendah, akumulasi logam
tinggi dan tanah miskin akan bahan organik tanah. Sebagian besar batuan Indonesia tersusun atas
mineral sulfidik akibat terbentuk melalui proses vulkanik hal ini akan menyebabkan fenomena air
asam tambang. Air asam tambang merupakan proses teroksidasinya mineral sulfidik
menghasilkan asam sulfat sehingga pH menjadi sangat masam. Masamnya pH (<3) akan
Tabel 2. Perbaikan ketersediaan unsur hara makro dan mikro dalam tanah bekas tambang
batubara 15 hari setelah penambahan PMS
pH KTK Corg N P K Fe Mn Zn Cu
Perlakuan Me/100g
% ppm me/100g Tersedia (ppm)
tanah
Kontrol 2,99 6,51 1,32 0,02 3,22 2,21 315 153 53 8,75
SOP 4,82 21,25 1,21 0,16 6,80 1,80 97 298 36 6,04
PMS 6,41 22,57 3,70 0,63 145,99 8,72 14 79 12 1,30
Sumber: Widyati (2006)
Tabel 3. Hasil penghitungan efisiensi peningkatan unsur hara makro dan KTK (%)
Perlakuan N P K KTK
TD 0 3,89 8 23,3
TD + 25% sludge 1029 100,2 -10 76,5
TD + 50% sludge 2414 150,8 -6 93,9
TP 0 0 0 12,3
TP + 25% sludge 1086 181,2 -21 99,5
TP + 50% sludge 3243 442,5 -3 154,3
Tabel 4. Hasil penghitungan efisiensi penurunan beberapa mineral dan logam (%)
Perlakuan S Fe Cu Cd Pb CN
TD 6,1 5,9 0,0 0,0 1,3 -16,4
TD + 25% sludge 52,9 21,5 30,0 87,0 9,5 99,8
TD + 50% sludge 82,2 63,7 73,3 90,0 53,6 99,8
V. PENUTUP
Paper mills sludge (PMS) merupakan limbah pabrik kertas yang ternyata mempunyai
beberapa sifat yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah pertanian, kehutanan dan pertambangan.
Dengan demikian saatnya dimulai pemanfaatan bahan tersebut untuk membantu kelangkaan
ketersediaan bahan organik yang sangat diperlukan baik untuk memperbaiki sifat-sifat tanah
maupun untuk memperbaiki produktivitas lahan dan tegakan. Seandainya masih terdapat hal-hal
yang mengkhawatirkan akan adanya kandungan bahan-bahan berbahaya dalam sludge, saat ini
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meperbaiki kualitas limbah telah berkembang dengan baik.
Dengan demikian sudah saatnya mengubah image PMS dari limbah menjadi semberdaya.
DAFTAR PUSTAKA
Cooperband, L., A. Stone and B. Foley. 2000. Using paper mill sludge and compost in potato
production: first year effects on soil quality and crop production. http://www.soils.wisc.
eduextensionwcmcproceedings5A.cooperband.pdf (18 Februari 2010).
Gautama, R.S. 2007. Pengelolaan air asam tambang: Aspek penting menuju pertambangan
berwawasan lingkungan. Pidato Guru Besar ITB. http://www.itb.ac.id/favicon.ico20 (Mei
2007).
Jakcson, M.J., M.A. Line, S. Wilson dan S.J. Hetherington. 2000. Application of composted pulp
and paper mill sludge to a young pine plantation. Journal of Environmental
Quality. Vol. 29, n o2, pp. 407-414.
N'Dayegamiye, A. 2006. Mixed paper mill sludge effects on corn yield, nitrogen efficiency, and
soil properties. Agron J (98):1471-1478 (2006).
Oleh:
Happy Widiastuti 1) dan Tati Rostiwati 2)
1)
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
2)
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
E-mail: happywidiastuti@yahoo.com
ABSTRAK
Sludge merupakan salah satu alternatif bahan kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk
organik, karena ketersediaannya yang melimpah dan mengandung karbon dan beberapa hara
makro serta mikro yang cukup tinggi. Kemampuan Limbah sludge Pabtrik Kertas (LSPK) dalam
media tanaman yang dapat meningkatkan produktivitas bibit dan tanaman telah ditunjukkan
dengan beberapa hasil penelitian. Penelitian terhadap keefektifan pupuk biorganik sludge ini telah
dilakukan pada tanaman pertanian (kangkung dan jagung), tanaman perkebunan (karet), tanaman
kehutanan (akasia dan nyamplung). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
pemanfaatan LSPK dapat menekan penggunaan pupuk anorganik sebanyak 50% dan responsnya
yang ditunjukkan dengan penambahan pupuk biorganik sludge berupa pertambahan tinggi bibit
kangkung, karet dan akasia di persemaian, pertambahan jumlah tangkai daun jagung, pertambahan
jumlah daun bibit nyamplung, pertambahan diameter batang tanaman akasia di lapangan serta
produksi jamur tiram.
I. PENDAHULUAN
Lumpur sludge pabrik kertas (LSPK) merupakan limbah pabrik kertas di samping limbah
lainnya seperti lignosulfonat, fiber, dan flush. Di antara jenis limbah limbah tersebut, LSPK
merupakan limbah terbesar. Produksi sludge di satu pabrik dapat mencapai 15 - 400 ton per hari
(Nur, 1990). Potensi produksi LSPK secara nasional berkisar sekurangnya 500 ton per hari. Pada
saat ini, limbah sludge belum dimanfaatkan dan penanganannya hanya sebagai open dumping dan
land fill. Bagaimanapun juga, dengan terus meningkatnya kebutuhan kertas akan diikuti
peningkatan jumlah limbah pabrik kertas sehingga limbah ini akan menjadi masalah yang serius.
Seperti halnya limbah agroindustri lain, limbah sludge pabrik kertas adalah limbah organik
yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin dalam jumlah tinggi. Analisis laboratorium
menunjukkan bahwa kandungan C limbah sludge tersebut sangat tinggi sedangkan kandungan N
sangat rendah sehingga menghasilkan nisbah C/N sangat tinggi yaitu berkisar antara 50 - 200
(Newspaper Industry Environmental Technology Initiative , 2000). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa baik selulosa, hemiselulosa, maupun lignin dapat digunakan sebagai sumber
C bagi organisme lignoselulolitik. Dalam metabolismenya organisme tersebut menghasilkan
senyawa C sederhana di samping hara tersedia. Terbentuknya senyawa C sederhana dan hara
terlarut menjadikan bahan ini dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk bioorganik. Saat ini
.
II. MANFAAT PADA TA NAMAN PERTANIAN
Jenis tanaman pertanian yang digunakan untuk mengetahui keefektifan penggunaan pupuk
biorganik sludge adalah:
A. Kangkung
Pupuk bioorganik sludge yang digunakan terdiri dari pupuk bioorganik sludge tanpa
pengaya (CS dan GS) dan pupuk bioorganik sludge yang diperkaya (G16-50PK dan C16-50PK).
Hasil yang diperoleh dalam uji keefektifan pupuk bioorganik sludge terhadap tanaman kangkung
terlihat bahwa pertumbuhan kangkung dipacu oleh pemberian pupuk baik dalam bentuk pupuk
anorganik maupun pupuk bioorganik sludge G4-50PK, C4-50PK, G16-50PK dan C16-50PK
terutama pada 20 hari setelah tanam (Gambar 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis pupuk
kandang dapat dikurangi 50% asalkan digantikan dengan pupuk bioorganik.
B. Jagung
Pada percobaan pemanfaatan pupuk biorganik sludge pada tanaman jagung, diperoleh hasil
bahwa walaupun 50% pupuk anorganik dapat digantikan dengan pemberian pupuk bioorganik
sludge G4, C4, C16, atau C4H. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk bioorganik sludge
dapat meningkatkan efisiensi pupuk anorganik.
Pada peubah jumlah tangkai daun ditunjukkan bahwa perlakuan G4, C4, C16 yang disertai
pupuk anorganik 50% menghasilkan jumlah tangkai daun tertinggi (Gambar 2). Perlakuan C4 dan
C16 yang disertai pupuk anorganik 50% menghasilkan jumlah tangkai daun sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan pemupukan anorganik 100%.
Gambar 2. Jumlah tangkai daun jagung umur 3 bulan pada perlakuan pupuk bioorganik G4 dan
C4 serta C16 disertai pemberian pupuk anorganik (50%) (Widiastuti dkk., 2008).
Pengujian keefektifan pupuk sludge pada tanaman karet telah dilakukan di kebun Merbuh
PTPN X. Pada pengujian di pembibitan di polibag, pupuk bioorganik sludge diaplikasikan di
perakaran batang bawah tanaman karet. Tinggi tanaman karet yang dipupuk bioorganik sludge
formula G4 lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman karet yang dipupuk anorganik 100%
(Gambar 3).
Hasil ini menunjukkan bahwa di samping pupuk bioorganik sludge formula G4 dapat
mengurangi dosis pupuk anorganik 50%, demikian juga pada respon pertumbuhan tinggi yang
lebih baik dibandingkan dengan bibit karet yang dipupuk anorganik 100%. Hasil yang sama juga
dikjumpai pada peubah lilit batang
B. Nyamplung
Widiatuti dan Rostiwati (2010) telah melakukan aplikasi pupuk bioorganik sludge pada bibit
nyamplung umur 3,5 bulan, ternyata perlakuan tersebut memberikan peningkatan pertumbuhan
tinggi dan diameter yang paling baik dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik saja atau
yang dikombinasi dengan pupuk bioorganik sludge 20 g (K50S2). Respons yang paling mencolok
adalah pada parameter jumlah daun yang menunjukkan peningkatan yang cukup besar yaitu
64,44% (Gambar 5). Peningkatan beberapa peubah pertumbuhan sebagai respons penggunaan
pupuk bioorgnaik sludge diduga disebabkan karakteristik pupuk bioorganik sludge. kandungan
unsur makro serta mikro yang lengkap sehingga dapat meningkatkan kandungan hara rhizosfer
nyamplung yang selanjutnya dapat meningkatkan serapan hara bibit nyamplung. Selain itu,
penambahan pupuk bioorganik sludge dapat memperbaiki kandungan karbon yang sangat
diperlukan bagi mikroba tanah sebagai sumber karbon.
Dengan demikian, pemberian pupuk dengan dosis pupuk bioorganik sludge 50% dan
ditambah dengan 50% dosis pupuk anorganik akan menghasilkan pertumbuhan tinggi, diameter
dan jumlah daun nyamplung yang lebih tinggi dengan umur yang relatif muda dibandingkan
dengan penggunaan media kompos organik + arang kayu 1:2 (v:v). Perbedaan respons tersebut
mengindikasikan bahwa pemupukan anorganik dengan dosis yang tepat diperlukan untuk
meningkatkan efektivitas penyerapan hara ke dalam organ tanaman nyamplung sedangkan
pemberian pupuk bioorganik sludge berfungsi mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik
tersebut.
Produksi jamur tiram putih diuji menggunakan campuran sludge, serbuk gergaji dan bekatul
serta kapur di rumah produksi jamur. Pengujian sludge sebagai media jamur tiram menunjukkan
bahwa jamur tiram dapat tumbuh baik di medium campuran sludge dan serbuk gergaji
(Gambar 5).
Gambar 5. Pertumbuhan miselium jamur tiram di media campuran sludge dan serbuk gergaji di
rumah produksi jamur (Widiatuti dkk, 2008).
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian uji coba keefektifan pemanfaatan pupuk biorganik sludge yang
berasal dari limbah padat pabrik kertas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hara yang tersedia pada bahan organic sludge memberikan respons positif terhadap komoditi
pertanian, perkebunan, kehutanan serta produksi jamur tiram sehingga mempunyai peluang
untuk pemanfaatan dalam skala yang lebih luas.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk melakukan kajian terhadap pengelolaan limbah
pabrik kertas untuk bahan baku media tanam sehingga dapat diaplikasikan oleh para petani di
masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Allahdadi, I., C.J. Beauchamp, and F. Chalifour. 2004. Symbiotic dinitrogen fixation in forage
legumes amended with high rates of de-inking paper sludge. Agron J: 96: 956-965.
Chu, H., T. Fujii, S. Morimoto, X. Lin, K. Yagi, J. Hu, and J. Zhang. 2007. Community structure
of ammonia oxidizing bacteria under long-term application of mineral faertlizer and organic
manure in a sandy loam soil. Appl. Environ. Microbiol. 73: 485-491.
DAmor, J.J., S.R. Al Abed, K.G. Scheckel and J.A. Ryan. 2005. Methods for speciation of metals
in soils: a review. J. Environ Qual. 34, 1707-1745.
Darby, H.M., A.G. Stone. and R.P. Dick. 2006. Compost and manure mediated impacts on
soilborne pathogens and soil quality. Soil Sci. Soc. Am. 70(2): 347-358.
Flavel, T.C., and D.V. Murphy. 2006. Carbon and nitrogen mineralization rates afeter application
of organic amendments to soil. J. Environ Qual. 35:183-193.
Foley, B.J. and L.R. Cooperband. 2002. Paper mill residuals and compost effects on soil carbon
and physical properties. J. Environ. Qual. 31: 2086-2095.
Vallad, G.E., L. Cooperband. and R.M. Goodmana. 2003. Plant foliar disease suppression
mediated by composted forms of paper mill residuals exhibit molecular features of induced
resistance. Physiol and Molec. Plant Pathol 63: 65-77.
Bipfubusa, M., D.A Angers, A.N. Dayegam iye, and H. Anton. 2008. Soil aggregation and
biochemical properties following the application of fresh and composted organic
amendments. Soil Sci. Soc Am J., 72: 160-166.
Oleh:
Endah Suhaendah
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
E-mail: endah_ah@yahoo.com
ABSTRAK
Mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu tanaman yang dikembangkan di hutan
rakyat karena sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Namun,
kayu mindi termasuk ke dalam kayu dengan kelas awet rendah yaitu IV-V sehingga rentan
terhadap serangan organisme perusak kayu. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan masa
pakai melalui pengawetan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama
perendaman dingin dan ukuran sortimen terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE
(Boric Acid Equivalent) pada kayu mindi. Sampel kayu berasal dari pohon di hutan rakyat Desa
Parigi, Ciamis. Percobaan disusun secara faktorial dengan 3 perlakuan lama perendaman (3, 5 dan
7 hari) serta 2 ukuran sortimen kayu (tebal 2,5 dan 5 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE, dengan
kecenderungan peningkatan retensi dan penetrasi dengan meningkatnya lama perendaman.
Berdasarkan persyaratan SNI untuk perumahan dan gedung, pengawetan kayu mindi dengan
bahan pengawet BAE 10% yang disarankan adalah dengan lama perendaman selama 3 hari (tebal
2,5 cm) dan 5 hari (tebal 5 cm).
I. PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 2,5% per tahun mengakibatkan
meningkatnya permintaan akan bahan kayu konstruksi dan untuk mebel. Sedangkan di sisi lain,
ketersediaan kayu semakin menurun baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1980-an
kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti kapur, kempas, jati, merbau dan ulin
yang termasuk jenis-jenis kayu kelas kuat dan kelas awet cukup tinggi. Pada saat sekarang ini
dengan meningkatnya permintaan akan kayu, penyediaan kayu yang berkualitas tinggi dari hutan
alam mengalami penurunan. Oleh karena itu penyediaan bahan baku untuk bangunan banyak
beralih pada kayu yang berasal dari hutan rakyat.
Berdasarkan penggolongan keawetan kayu di Indonesia (mulai dari kelas I yang paling awet
sampai kelas V yang tidak awet), 85% dari 4000 jenis kayu yang dikembangkan di hutan rakyat
termasuk dalam kelas awet rendah (kelas III, IV dan V). Kenyataan ini ditunjang pula oleh letak
geografis Indonesia di khatulistiwa dengan iklim tropisnya yang memungkinkan hadirnya
berbagai jenis organisme perusak kayu seperti rayap, bubuk kayu kering dan jamur pelapuk.
Mindi merupakan salah jenis pohon cepat tumbuh yang dibudidayakan di hutan rakyat.
Kayu mindi bercorak indah dan mudah dikerjakan sehingga banyak digunakan sebagai bahan
A. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2009. Pengambilan
contoh uji kayu mindi dilaksanakan di Desa Parigi, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Secara
keseluruhan keadaan alam Desa Parigi mempunyai topografi dataran rendah dengan ketinggian
rata-rata 3,2 m dpl.
C. Prosedur Kerja
Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman dingin dengan faktor
utama ukuran sortimen dan lama perendaman. Contoh uji berupa kayu mindi dipotong dengan dua
ukuran sortimen yaitu 2,5 cm x 5 cm x 100 cm dan 5 cm x 5 cm x 100 cm. Contoh uji disimpan
pada suhu kamar sampai kering udara dan ditimbang kemudian direndam ke dalam larutan bahan
pengawet pada suhu kamar dengan konsentrasi 10%. Perlakuan dibedakan berdasarkan lama
perendaman, yaitu selama 3, 5 dan 7 hari. Contoh uji setiap perlakuan sebanyak 10 buah sehingga
total contoh uji sebanyak 60 buah.
A. Hasil
Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui
bahwa perlakuan lama perendaman dan ukuran sortimen berpengaruh nyata (taraf kepercayaan
95%) terhadap retensi bahan pengawet BAE pada kayu mindi.
Tabel 1.Sidik ragam pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap retensi bahan
pengawet pada kayu mindi
Hasil pengamatan retensi bahan pengawet BAE pada kayu mindi disajikan pada Gambar 1.
Tabel 2. Sidik ragam pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap penetrasi bahan
pengawet pada kayu mindi
Hasil pengamatan penetrasi BAE pada kayu mindi disajikan pada Gambar 2.
B. Pembahasan
Salah satu kelemahan kayu dari hutan rakyat adalah mudah terserang oleh jamur dan rayap
terutama terjadi pada keadaan kayu lembab. Dengan adanya kelemahan ini, maka kayu tersebut
perlu diawetkan dengan bahan kimia tertentu untuk membunuh atau mencegah serangan jamur
dan rayap.
Bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal
maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara
benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga, dan perusak-perusak
kayu lainnya.
Kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet tergantung pada toksisitas (daya racun = daya
bunuh) terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu.
Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin
efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu. Disamping bersifat racun
bagi organisme perusak kayu, bahan pengawet yang layak digunakan dalam proses pengawetan
kayu juga harus memenuhi persyaratan mudah meresap pada kayu menuju ke bagian dalam, harus
dapat digunakan secara mudah dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit atau membahayakan
kesehatan, tidak mudah menguap dan tidak mudah terurai menjadi unsur-unsur yang tidak
beracun, namun harus mampu berada secara permanen di dalam kayu, harganya relatif murah
serta mudah didapatkan di pasaran, tidak mengkorosikan (mengauskan) logam (sebagai contoh:
paku) yang bersentuhan (digunakan bersama) dengan kayu yang diawetkan, tidak mengurangi
sifat baik (misal: keindahan dan kekuatan) yang melekat pada kayu, tidak berwarna dan berbau,
tidak mudah terbakar dan tidak mengembangkan (memperbesar ukuran panjang, lebar, tebal)
dimensi kayu.
BAE merupakan bahan pengawet yang memiliki beberapa sifat baik antara lain beracun
terhadap jamur dan serangga perusak kayu tetapi tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak,
dapat digunakan baik dengan proses tekanan maupun dengan proses diffusi, tidak korosif terhadap
logam, tidak berbau dan tidak merubah warna serta kayu yang diawetkan dapat dicat, diplitur atau
IV. KESIMPULAN
1. Perlakuan lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet
BAE pada kayu mindi, dengan kecenderungan peningkatan retensi dan penetrasi dengan
meningkatnya lama perendaman.
2. Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet menurut Standar Nasional Indonesia untuk
perumahan dan gedung adalah sebesar minimal 8,0 kg/m3 dan 5 mm. Berdasarkan kriteria
tersebut pengawetan kayu mindi menggunakan larutan BAE yang disarankan adalah dengan
konsentrasi 10% dengan lama perendaman 3 hari untuk tebal kayu 2,5 cm, sedangkan kayu
mindi dengan tebal 5 cm diawetkan dengan BAE 10% selama 5 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S. 2006. Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet ccb secara
rendaman panas dingin dan sel penuh. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan:
Penyelamatan Industri Kehutanan Melalui Implementasi Hasil Ristek. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Hal 55-62.
Anonim. 1999. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Standar Nasional Indonesia
(SNI) 03-5010.1-1999. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Barly dan S. Abdurrochim. 1996. Petunjuk Teknis Pengawetan Kayu untuk Bangunan Hunian dan
Bukan Hunian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi
Kehutanan. Bogor.
Martawijaya, A dan N. Supriana. Penembusan Persenyawaan Bor pada Sepuluh Jenis Kayu
Indonesia yang diawetkan dengan Proses Diffusi. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Mindi. Brosur terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Oey, D.S. 1990. Spesific Grafity of Indonesian Woods and Its Significance for Practical Use.
Diterjemahkan oleh Suwarsono P.H. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Departemen Kehutanan Indonesia. Bogor. Indonesia.
Oleh:
Saptadi Darmawan dan I.M. Sulastiningsih
1
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi HHBK, Mataram
2
Penelti pada Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hail Hutan, Bogor
E-mail: saptadi-darmawan@yahoo.com
ABSTRAK
Kayu mangium merupakan bahan baku pembuatan pulp kertas yang potensial dan di dalam
proses pembuatannya menjadi pulp akan dipengaruhi oleh jenis proses dan kondisi pemasakan.
Proses soda dan kraft menggunakan bahan pemasak NaOH yang bersifat basa, dan untuk proses
kraft terdapat bahan kimia lain berupa Na2S. Pada kedua proses tersebut akan terjadi reaksi kimia
yang berbeda selama pulping. Dalam penelitian ini dikaji karakteristik pulp yang dihasilkan dan
tingkat selektivtas delignifikasi yang terjadi dan dari pengaruh perlakuan lainnya yaitu waktu
pemasakan dan pamakaian alkali aktif.
Kata kunci: Acacia mangium, alkali aktif, proses soda dan kraft, selektivitas delignifikasi,
sifat pulp, waktu pemasakan
I. PENDAHULUAN
Kayu mangium banyak dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman industri sebagai bahan
baku pembuatan pulp kertas. Ukuran kayu yang dimanfaatkan sebagian besar adalah batangnya
hingga diameter terkecil 15 cm. Dimensi kayu dibawah ukuran tersebut belum banyak
dimanfaatkan padahal jumlahnya cukup besar yaitu mencapai 20% dari volume kayu yang
diproduksi. Jika pada tahun 2002 produksi Hutan Tamanan Industri (HTI) untuk kayu serat
sebesar 7,6 juta m3 maka limbah kayu berdiameter kurang dari 10cm mencapai 1,5 juta m3
(Siagian, 2007).
Tujuan utama proses pulping adalah mendegradasi lignin untuk mendapatkan serat. Teknik
pemisahan antara lignin dan serat (pulping) dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu secara
kimia dan mekanis. Pada delignifikasi kimia diperlukan penambahan sejumlah bahan kimia
sebagai pereaksi seperti soda, sulfite, anthraquinone, polysulfide dan hydrogen sulfide (Berggren,
2003). Penggunaan bahan tersebut pada umumnya mencirikan tipe proses pulping. Sementara itu
delignifikasi secara mekanis lebih mengandalkan pada kekuatan fisik dan mekanis dalam
pemisahan serat dan dapat juga dikombinasikan menggunakan uap air.
Kualitas pulp dari masing-masing proses tersebut tentunya akan memberikan hasil yang
berbeda tergantung dari bahan kimia pemasak. Salah satu parameter yang dapat digunakan dalam
menentukan kualitas pulp dan proses pulping adalah selektivitas delignifikasi. Pulp dengan
rendemen yang tinggi belum tentu selektif dalam mendegradasi lignin. Selain bahan kimia,
selektivitas delignifikasi dipengaruhi juga oleh kondisi pemasakan (Gustavsson, 2007).
A. Bahan
Jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan pulp adalah Acacia mangium Willd.
berdiameter kecil (< 10 cm) dari Sumatera Selatan. Untuk pemasakandigunakan rotari digester
AU/E-20 merek Regmed dengan pamanasan tidak langsung menggunakan media air yang terdiri
dari 4 tabung kapasitas serpih 150 g (o.d).
B. Metode
Kayu mangium dibuat serpih secara manual dengan ukuran 3 x 2,5 x 0,2-0,3 cm3 dan
dikering udarakan hingga diperoleh kadar air kesetimbangan. Serpih tersebut dimasak sebanyak
150g (o.d) dalam rotary digester.
Pemasakan menggunakan proses sulfat dan soda dengan alkali aktif masing-masing 16 dan
17% dan sulfiditas 20% (untuk sulfat) pada perbandingan kayu:larutan 1:4. Kondisi pemasakan
diterapkan pada suhu maksimum 170oC yang dipertahankan selama 2 dan 2,5 jam, serta waktu
tuju 2 jam. Untuk setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan pemasakan. Pulp hasil pemasakan
dicuci dan disaring kemudian ditetapkan kadar air, rendemen, konsumsi alkalidan bilangan
Kappa. Penentuan parameter tersebut dilakukan duplo untuk setiap kali ulangan.
Perhitungan persentase lignin sisa (Klason), lignin pada pulp dan karbohidrat pada pulp
dilakukan menggunakan rumus:
Persentase lignin sisa (%) = bilangan Kappa x 0,13 (TAPPI 236 cm-85) ....................... (1)
Lignin pada pulp (g) = persentase lignin sisa x berat pulp tersaring ...................... (2)
Karbohidrat pada pulp (g) = berat pulp tersaring lignin pada pulp ............................... (3)
Kraft Soda
Gambar 1. Rendemen tersaring dan bilangan kappa pulp kraft dan soda
Pada proses kraft terdapat dua jenis eksternal nukleophile yaitu ion OH- dan SH- sedangkan
pada proses soda hanya terdapat OH-. Ion hidrogen sulfid merupakan nukleo filik yang sangat
kuat, sehingga kehadirannya pada proses kraft akan meningkatkan delignifikasi lignin terutama
terhadap pemutusan ikatan E aril ether pada unit fenol (Gambar 2), pada proses soda hal tersebut
tidak terjadi. Pemutusan ikatan E aril ethermemberikan dampak yang besar pada penurunan
bilangan Kappa mengingat hampir 60% ikatan tersebut terdapat pada unit fenilpropana dalam
ligninkayu daun lebar (Sjostrom,1995).Pemutusan ikatan E-aril ether unit non-fenolik melalui HS-
SN2 terjadi pada proses kraft (Gambar 4). Pemutusan alkil gugus metoksil pada unit non-fenol
pada proses kraft terjadi oleh ion hidrosulfida (Gambar 5).
Kahadiran ion hidrosulfida juga memiliki peran yang penting untuk mencegah terjadinya
kondensasi pada lignin, yaitu bersaing dengan internal nukloephile dari struktur enol (Gambar 3).
Reaksi tersebut akan membantu dalam menurunkan bilangan Kappa. Pemutusan CJ unit fenol
yang menghasilkan formaldehid (Gambar 2) pada proses soda berpeluang menyebabkan
terjadinya reaksi kondensasi (Sjostrom, 1995).
Gambar 3. Kompetisi penambahan eksternal (kraft) dan internal nukleophile melalui quinon
methida intermediat (Chakar, 2001)
Gambar 4. Pemutusan ikatan E-aril ether unit non-fenolik melalui HS- SN2 pada proses kraft
Gambar 5. Pemutusan alkil gugus metoksil pada unit non-fenol pada proses kraft (Chakar, 2001)
C. Selektifitas Delignifikasi
Selektivitas delignifikasi pada proses kraft jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proses
soda (Gambar 6) dan pengaruhnya sangat nyata (Tabel 1). Fenomena tersebut terjadi karena pada
proses kraft terdapat ion hidrosulfida yang sangat reaktif menyerang lignin dan melindungi
terjadinya degradasi karbohidrat oleh ion hidrogen.
Gambar 6. Selektivitas delignifikasi pulping proses kraft dan soda pada beberapa tingkat alkali
aktif dan lama pemasakan
Karbohidrat (g)
16%
2,5 jam
17%
2 jam
Lignin (g)
Waktu pada suhu 170qC, Alkali Aktif
Karbohidrat (g)
16%
17%
2,5 jam
2 jam
A. Kesimpulan
1. Selektivitas delignifikasi dan bilangan Kappa pada proses kraft lebih baik dari pada proses
sulfat karena keberadaan ion hidrosulfida yang merupakan nukleofilik secara selektif mampu
mendegradasi lignin dan pengaruhnya sangat nyata.
2. Rendemen pulp soda lebih tinggi dari pulp sulfat tetapi kandungan lignin di dalamnya lebih
besar.
3. Semakin lama waktu pemasakan cenderung menurunkan bilangan Kappa dan meningkatkan
konsumsi alkali dan selektivitas delignifikasi.
4. Penggunaan alkali aktif yang lebih tinggi cenderung menurunkan bilangan Kappa dan
konsumsi alkali serta meningkatkan selektivitas delignifikasi.
B. Saran
Untuk mengetahui kecenderungan dari perlakuan waktu pemasakan dan pemakaian alkali
aktif secara lebih mewakli, diperlukan pengambilan tingkat selang yang lebih banyak untuk
masing-masing perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Baptista, R.D. and A.P. Duarte. 2008. Relationship between lignin structure and delignification
degree in Pinus pinaster kraft pulps. Bioresource Technology 99: 2349-2356.
Berggren, R. 2003. Cellulose Degradation in Pulpfibers Studied as Changes in Molarmass
Distributions. Thesis doctoral. Royal Institute of TechnologyDepartment of Fibre and
Polymer Technology. Division of Wood Chem istry and Pulp Technology. Stockholm.
Chakar, F.S. 2001. Fundamental Delignification Chemistry of Laccase-Mediator System on High-
Lignin-Content Kraft Pulps. Dissertation. Institute of Paper Science and Technology.
Atlanta, Georgia.
Fengel, D. and G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan.
Yogyakarta. Gadjah Mada University PressGustavsson M. 2007. The Significance of
Liquor-to-Wood Ratio on the Reaction Kinetics of Spruce Sulphate Pulping. Thesis. Dept.
of Chem. Engi. Fakulty of Technology and Science. Depart. Of Chemical Engineering.
Karlstads Universitiet.
Ragauskas, A.J. 2009. High Selectivity Oxygen Delignification. Final Technical Report. Institute
of Paper Science and TechnologyGeorgia Institute of Technology. Atlanta. Georgia.
Siagian, R.M. 2007. Teknologi produksi pulp rayon dan papan isolasi dari limbah pembalakan
hutan tanaman kayu pelita (Eucalyptus pellita). Laporan Hasil Penelitian (tidak
dipublikasikan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Terjemahan.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
KETIGA
SESI I
SESI II
A. MAKALAH UTAMA
2. Diskusi:
a. Pertanyaan/saran/masukan:
2) Subarudi (Puspijak)
Untuk Bu Dian:
x Ada 2 proses yaitu basah dan kering. Yang berkembang adalah proses kering. Dari
lingkungan basah yang lebih ramah lingkungan karena tidak perlu perekat. MDF perlu
proses basah. Bagamana kualitas apabila dilihat dari proses yang cenderung memakai
proses kering.
x Arang aktif dapat menurunkan sifat-sifat MDF. Penambahan arang aktit dengan
penambahan 4%, semua kualitas meningkat termasuk kualitas dan emisi
formaldehidnya.
5) UNTAN
Untuk Pustanling:
x Indonesia dalam ISO 14001, industri mebel berada nomor dua dari bawah. Perlu
klarifikasi dari Pustanling, supaya nanti bisa lebih meningkat lagi.
8) Wesman (Pustekolah)
b. Jawaban/tanggapan:
x Posisi di negara Asian ISO 14001. ASEAN itu ada pertemuan yang khusus membahas
standar, hanya saja data yang masuk sebetulnya kadangkala tidak valid, karena seluruh
negara tidak memberi data yang pas. Disepakati masing-masing negara rajin untuk
menyampaikan informasi data yang lengkap. Tidak mengajak dirjen-dirjen terkait
untuk pemantauan kegiatan-kegiatan dan rajin memberi informasi, sehingga posisi
Indonesia bisa lebih baik dari sekarang.
2) Tjipta Purwita
3) Dian Anggraeni
Untuk Sukma:
x Weatbilitas tidak diuji, karena hanya menggunakan perekat tanin dan urea. Apakah
dengan penambahan arang bisa menaikkan stabilitas dimensinya, tidak untuk
penelitian ke depan.
Untuk Saptadi:
x Penambahan arang aktif kekuatan MOE MOR dan stabilitas meningkat, mengapa
penelitian kita menurun. Apakah karena perbedaan proses? Apakah karena
perekatnya? Harus diteliti lebih lanjut. Dilakukan dengan menggunakan sabut apakan
menurun pengaruh dari proses atau perekatnya.
Untuk Wesman:
x Pulp sekecil apapun, ranting pun bisa digunakan selama bisa dimasak asal jangan
terlalu hancur. Karena sekarang masih menggunakan proses manual dengan golok.
x Proses basah itu akan menyebabkan lebih sedikit penggunakan perekat sehingga air
folutionnya sedikit. Sedangkan proses kering menggunakan perekat yang lebih banyak
sehingga air folutionnya lebih banyak. Jadi untuk pengusaha kecil lebih banyak
menggunakan dengan proses basah.
x Tanin berprospek baik, lebih ramah lingkungan.
Untuk Pusdiklat:
x Bagaimana green isndurtri: salah satunya adalah penghematan sumberdaya,
peningkatan efisiensi. Dalam paparan kami, industri IPK telah melakukan komitmen
pemerintah pada batas mendorong. Mereka telah melakukan ekolabel, semua hal-hal
yang berkaitan dari huluhilir harus mengacu SNI produk multi kriteria. Penggunaan
air, energi, dan lain-lain, tersirat dalam ekolabel. Pemerintah/Kementrian
Perisndustrian ada komitmen besar yang harus digarap bersama. Memetakan industri
pulp dan kertas, dimana terjadi penghematan-penghematan: apakah peralatan perlu
diganti tapi proses tidak berubah.
Untuk Sukma:
x Dengan adanya capaian yang telah dilakukan, komitmen pemerintah untuk
memetakan teknologi, itu proses yang sedang berjalan. Industri PK cukup tinggi
memenuhi komitmen tersebut. BBPK mensuplai perangkat infrastruktur, peralatan dan
sertifikasi produk ekolabel. IPK kita menuju dan sejalan dengan program pemerintah
dalam mengurangi emisi dan menuju undustri hijau.
x Pembelian BB cukup rendah, tidak banyak menyentuh itu. Jika salah satu pihak
merasa dirugikan, bisnis tidak lama dan tidak merubah. Akan workshop bulan
Desember. Dari hasil pemetaan akan ada beberapa kategori, low, medium, high cost.
Mereka mau pakai yang mana?
Untuk Sulistyo:
x Industri tidak bergerak sendirian, akan mengikuti dengan porsi yang sesuai. Ini harus
dilakukan seharusnya demikian. Harus dilakukan kontribusi sesuai porsi.
x Ranting apa dimanfaatkan? Efisiensi, jika tidak efektif sama saja mencacah air,
sehingga proses tidak efisien. Pernah dilakukan tanaman (atas, tengah, bawah) tapi
ada perbedaan yang signifikan.
x Cara pemotongan tidak melihat, serta dengan cara pemotongan tidak terpotong. Saya
kira tidak signifikan.
x Tiap tahun sebaiknya dilakukan kegiatan seminar seperti ini. Kita ingin tahu
barometer IPK sejauh mana. Printing teknologi sangat maju, harus diikuti kertas untuk
memenuhi kebutuhan printing.
5) Dulsalam
x Pemanfaatan limbah dibagi dua, HT langsung diproses, di hutan alam ada, tapi belum
diteliti. Mudah-mudahan ada tambahan target, kegiatan sudah ada tapi target
penelitian belum. Di Sarminto ada, malah khusus mengeluarkan tidak bersama dengan
traktor tapi dengan eksavator mengambil kecil-kecil dan diangkut. Tapi ada industri
dalam hutan/industri veenir, bisa mengupas kayu-kayu berdiamer kecil. Belum diteliti,
baru melihat di lapangan. Ada yang sudah diangkut tapi tidak dibeli, rugi, akhirnya
ditinggal. Apabila digunakan portible kupas/rotary bisa dilakukan di lapangan,
membantu sekali pemanfaatan limbah di lapangan.
B. MAKALAH PENUNJANG
2. Diskusi:
a. Pertanyaan/saran/masukan:
1) Han Roliadi
2) Joko
3) Krisdianto (Pustekolah)
5) Dulsalam
Untuk Bu Rina:
x Mengkomersilkan teknologi untuk membuat energi dari limbah pembalakan, bisa
membuat biozat dari limbah pembalakan. Apakah bisa sludge ini dibuat menjadi
biozat atau bio gas? CH8?
Untuk Pak Jasni:
x Kerusakan dengan derajat serangan. Apa tidak kebalik? Derajat serangan dan
kerusakannya?
Untuk Pak Jamal:
x 130rb dan pengangkutan 60rb. Tergantung dari jarak pengangkutannya. Selain
pengangkutan di lapangan ada kegiatan pemotongan, dan lain-lain. Apakah harga
tersebut sudah termasuk itu? Termasuk uang untuk RT, polisi dan lain-lain.
1) Adi Santoso
2) Jasni
3) R. Sudradjat
x Spring back pada kayu konvensional berbeda dengan kayu monokotil. Dalam kasus
kayu sawit, kelapa, aren relatif mudah dilakukan densifikasi. Makin ke dalam porsi
jaringan parenkim makin besar dan makin mudah dilakukan pemadatan vasculer
bundels. Itu yang dilakukan densifikasi dengan tujuan untuk meningkatkan kerapatan,
kekuatan stabilitas kayu sawit.
x Densifikasi 30 derajat terjadi perubahan kimia. Terjadi karamelisasi berbau enak.
Densifikasi ada dua: Press dryer. Banyak karamel. Pada saat pressing metal dari
bagian mesin, veneer lekat skali dengan alas. Sehingga alat ini harus disodok-sodok
dan recovery-nya hanya 30%. Perubahan kimianya ekstrim karena ada perubahan
selulosa, lignin yang paling tegas pada pati. Penambahan yang efektif terhadap
struktur. Perubahan ini dicontoh dari ilmu food teknologi. Dan diadopsi pada proses
pengolahan kayu sawit.
x Spring back terjadi pada kayu konvensional.
Untuk Pak Barly:
x Pengawetan dilakukan yaitu treatment borak borik. Untuk propilatik efektif. Namun
untuk yang pengawetan permanen di luar negeri mereka umum menggunakan
pestisida tertentu. Kita bisa mengadospsi cara tersebut. Varisasi tinggi pada kayu sawit
sangat mengganggu. Veneer dimasukkan ke dalam larutan sebelum dilakukan
pengeringan. Variasi rotarinya sudah minimal. Cara paling efektif untuk mengurangi
densitas kayu sawit dan lainnya.
x Di Riau 7 tahun terakhir sudah menggunakan kayu kepala untuk plywood. Satu
potensi yang paling kuat untuk menggunakan kayu sawit.
x Di Malaysia perusahaan perkebunan wajib menyuplai kayu sawit ke pabrik kayu yang
mengolah dan dikenakan ongkos kirim 130 ribu. Cost perusahaan perkebunan. Ke
pabrik kayu. Ongkos kirim ke pabrik kayu sawitnya. Termasuk biaya plus lainnya.
Kebun sawit posisinya sangat mudah. Bahkan ada yang di tengah kota. Jadi tidak
memerlukan biaya yang besar. Dan hanya membutuhkan biaya yang mahal.
Untuk Yusuf:
x Densitas keliru satuan: kg/m3 sehingga ada nilai yang seribu kali lebih besar.
6) Rina S. Sutopo
x Konversi sludge menjadi metanol. Belum ada pengalaman. Untuk menjadi metanol
diperlukan mikroba yang lain. Dan kita belum mendalami soal itu.
Untuk Pak Joko:
x Limbah padat dikeringkan dan dimasukkan ke boiler. Kadar airnya 60-70%.
Permasalahan industri limbah padat untuk menghasilkan energi, karena kadar air yang
tinggi. Limbah lignin dimasukkan sudah bisa digunakan untuk sumber energi.
x Kadar etanol 2-3% adalah kadar etanol setelah fermentasi. Tidak ekonomis, namun
karena bahan bakunya menggunakan limbah, sehingga melihat keekonomisnya perlu
diperhitungan lagi.
SESI - III
a. Pertanyaan/saran/masukan:
1) Kusmintarjo
2) Ratih
Untuk Bu Rina:
x Kalau ekspor ditolak karena mengandung kayu ramin. Bagaimana bisa membedakan
kertas yang ada itu mengandung kayu raminnya?
Untuk Pak Jamal:
x Kelemahan kayu sawit yaiut pada anatominya, parenkimnya yang terlalu besar.
Batang sawit apakah cocok?
b. Jawaban/tanggapan:
1) R. Sudradjat
x Bahan yang diambil dari nabati, biji-bijian. Selain dari lipid, lipase alamiah yang
dikandung oleh biji.
x Harus dibuat reaksi enzimatik. Lalu proses esterfikasi karena pH-nya rendah karena
kalau diproses tetap akan menjadi panjang. Prosesnya panjang.
2) Jamal Balfas
3) Rina S. Sutopo
x Mengenai produksi kertas, saya tidak research dengan produksi kertas dan
mengindentifikasi kertas terbuat dari jenis kayu apa.
Untuk Bu Susy:
x Industri telp ke BPPK ada masalah dimana pulpnya mengandung kayu ramin. Balai
Besar adalah balai besar proses pulp dan kertas. Yang bisa mengindentifikasi jenis apa
yaitu Pustekolah.
x Pulp dengan menggunakan ramin Mixard wood?
x Produksi pulp kertas massa jenis 0,3-0,5. IPK tidak mungkin menggunakan kayu yang
massa jenisnya lebih dari 0,5 karena polusinya lebih tinggi.
x Perekat ektrak kayu merbau dapat sebagai perekat sisntetis formaldehid terbarukan,
ramah lingkungan dan murah, penacapaian green teknologi dan green produk.
x Biji nyamplung kadar minyak tinggi, non pangan (tidak kompetitif dengan pangan),
tersebar di seluruh Indonesia, untuk biodiesel dan karosen. Ramah lingkungan dan
green produk.
x Sludge dapat untuk BB bioetanol yang ramah lingkungan sebagai alternatif bioenergi
yang ramah lingkungan.
x Pada MDF dapat meningkatkan serangan terhadap RKK.
x Permanfaatan batang kayu kelapa sebagai kalap dapat alternatif.
x Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas dari kayu lapisnya.