Best Practice Sharing Manajemen Rumah Sakit dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan di era jaminan kesehatan nasional
Tahun 2008 RS An-Nisa menjadi Rumah Sakit Umum Tipe C, tetapi klaim RS ke BPJS
sudah mencapai 9M (sembilan milyar) per bulan, dengan pengelolaan sistem pembiayaan
pasien pada era JKN yang terbaik di Indonesia. RS An-Nisa memiliki 160 tempat tidur
dengan hanya 400 orang karyawan.
Pada sistem pembiayaan layanan medis yang lama (fee for service), berlaku rumus price =
cost + profit, karena price ditentukan oleh RS. Rumus ini berbeda sekali dengan sistem
pembiayaan total komponen atau case-mix (package payment) pada era JKN, yaitu berlaku
rumus profit = price cost, karena konsentrasi RS harus pada profit dan price sudah
ditetapkan oleh sistem tarif INA CBGs. Kalau pola pelayanan RS tidak berubah, akan terjadi
risiko bisnis karena adanya tekanan kenaikan cost, tetapi tidak dapat menaikkan besaran tarif.
Perlu diingat bahwa ada rumus price = unit cost + margin, sehingga unit cost, bukan price
yang harus dibandingkan dengan besaran tarif INA CBGs, untuk melihat apakah akan ada
potensi selisih biaya klaim. Dengan unit cost yang rendah, maka selisih biaya negatif dapat
dihindari.
The Cost Reduction Principle
price
price price
price
Profit
Profit
Cost
Cost
Selain itu, dikenal juga rumusan pendapatan dikurangi HPP (Harga Pokok Penjualan)
adalah laba kotor, yang bila dikurangi jasa medis, gaji karyawan dan biaya operasional
menjadi penerimaan RS. Kalau dikurangi depresiasi atau penyusutan dan bunga hutang
bank akan menjadi pendapatan RS sebelum terkena pajak. Setelah dikurangi pajak akan
diperoleh laba bersih RS. RS yang ideal akan memiliki laba bersih 15-20% dari total
pendapatan. Kalau belum ideal, harus ditelusur, pada sektor mana yang harus diperbaiki
dengan ketentuan ideal adalah HPP 12%, jasa medis 25%, gaji karyawan 18%, biaya
operasional 8%, depresiasi 5%, bunga bank 1%. Oleh sebab itu, perlu ditentukan langkah
apa yang harus diambil oleh RS, apakah berupa efisiensi dan atau peningkatan
productivity berdasarkan persentase tadi.
Komponen cost ada 2 yaitu fixed cost (yang harus selalu keluar meski tanpa seorang
pasien pun, misalnya gaji karyawan RS) dan variabel cost (yang hanya keluar apabila ada
pasien, misalnya biaya makan pasien). Efisiensi juga harus dilakukan pada fixed cost,
tidak cukup hanya sekedar pada variabel cost. Fixed cost hanya dapat dilakukan efisiensi
hanya dengan peningkatan volume yang besar, jumlah pasien yang harus ditingkatkan.
Efisiensi pada sektor gaji karyawan hanya dapat dilakukan dengan peningkatan jumlah
pasien yang dilayani oleh setiap karyawan.
Rumah sakit harus dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan (pasar, teknologi, dan
regulasi) dan mampu mengendalikan semua elemen rumah sakit agar selaras dan
berfokus pada tujuan. Untuk itu, rumusan masalah di setiap RS harus dilakukan, strategi
bisnis RS harus rinci dalam RENSTRA.
Tantangan dalam penerapan INA-CBG :
1. Business Strategy
Rumah sakit harus dapat menentukan strategi bisnis yang akan dipilih, dimulai dari
mengidentifikasi bagaimana keadaan rumah sakit saat ini, tentukan target yang kita
inginkan bagi rumah sakit, lalu tentukan bagaimana cara rumah sakit agar mampu sampai
pada target yang telat ditentukan. RS juga harus membuat sasaran market yang jelas, dan
peluang terbesar untuk menang dalam kompetisi.
2. Growing Complexity
Antar bagian rumah sakit memiliki kompleksitas dan keterkaitan yang saling
berhubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Untuk itu diperlukan adanya
kolaborasi dari berbagai pihak yang terlibat, contoh kolaborasi manajemen dan staf medis
berupa kebijakan mengenai pemakaian obat dan pemeriksaan penunjang dapat
menggunakan prinsip Pasien yang butuh banyak diberikan banyak, yang butuh sedikit
diberikan sedikit.
3. Leadership & change management
4. Cost control & quality control
5. Information technology
How to compete adalah program untuk memenangkan persaingan antar RS dan menjadi
pilihan pasien, biasanya karena ada nilai tambah atau value yang dikembangkan. Di RS
An-Nisa Tangerang, nilai tambah dapat dilakukan dengan ketentuan tanpa diskriminasi
layanan antara pasien JKN dan umum, fleksibilitas waktu layanan, tanpa kuota, tanpa iur
biaya, dan adanya benefit non medis yaitu berupa gift, layanan antar pulang dari RS dan
foto copy serba gratis.
Mengelola tarif paket (jasa medis, obat dan penunjang) berdasarkan ketentuan tarif
CBGs, verifikasi klaim dan rujukan berjenjang. Prinsip yang digunakan adalah tim
casemix RS harus bekerja keras, solid dan kuat dalam proses mengubah kertas berkas
menjadi uang, yang harus dilakukan secara harian dan tidak boleh ditunda. Personilnya
adalah full time pada tugasnya dan jumlah tenaga dalam tim ditingkatkan, sesuai dengan
peningkatan jumlah pasien. Adanya masalah atau sengketa klaim harus cepat
diselesaikan, dengan ketentuan bahwa cash is king, meskipun tidak harus semua kasus
sengketa klaimnya dimenangkan oleh RS.
Kinerja RS An-Nisa dapat dilihat dari AVLOS (Average Length of Stay = rata rata
lamanya pasien dirawat). Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi,
juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan. Secara umum nilai AVLOS yang
ideal antara 6-9 hari, tetapi di RS An-Nisa dapat dipangkas hanya 3,7 hari. Selain itu,
juga dilakukan persiapan pasien pulang pada malam sebelumnya, dari aspek farmasi
(termasuk obat sisa), gizi (tidak disediakan makan siang), dan kelengkapan berkas RM.
Yang terakhir, diberikan fasilitas penghantaran pulang, yang dilakukan dengan mobil
operasional RS sebelum jam makan siang, sehingga TOI (Turn Over Interval = tenggang
perputaran) dapat sangat rendah. TOI adalah rata rata hari dimana tempat tidur tidak
ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran
tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada
kisaran 1-3 hari, sementara TOI di RS An-Nisa hanya 8 jam.